Teori Tentang Hukum Pidana Dan Tindak Pidana Hukum Pidana: Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Tentang Hukum Pidana Dan Tindak Pidana Hukum Pidana: Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Disusun oleh:
lindakharismaputri@gmail.com
nessyawidya@gmail.com
nickocyber15@gmail.com
alfinauradwinanta1@gmail.com
Dosen pengampu:
NIP. 196903101999031008
2023
PERSETUJUAN DOSEN PENGAMPU
Tugas mata kuliah hukum pidana yang ditulis oleh kelompok II:
Semester : II (Dua)
Makalah dan atau tugas ini telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pengampu Mata Kuliah
Hukum Pidana dan dapat diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti Ujian Akhir
Semester (UAS) pada semester genap tahun ajaran 2023.
Dosen pengampu,
NIP. 196903101999031
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu. Tidak lupa sholawat dan salam senantiasa kami
hanturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S A W, yang telah
membimbing kami dari jaman kegelapan menuju jaman terang yaitu agama islam.
Kami menyadari bahwa penullisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Dan kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna dikarena kan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang
kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta
masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Menurut W.F.C. van Hattum, hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari
asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat
hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban
hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat
melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa
hukuman.
Ilmu hukum pidana dapat diartikan dengan kumpulan asas dan kaidah
hukum pidana tertulis yang pada saat ini berlaku dan mengikat secara umum atau
secara khusus ditegakkan melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara
Indonesia ini, Maka ilmu hukum pidana sangat diperlukan dan menjadi bagian
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam mempelajari,menganalisis dan
mengkaji hukum pidana.
B. Rumusan masalah
Materi karya tulis ilmiah berupa makalah ini yang bertema Ilmu Hukum
Pidana dan ilmu lain yang berkaitan, terdiri dari beberapa Sub bab materi yang
akan bahas yaitu Ilmu hukum pidana,Ilmu hukum Pidana dan alat
bantu ,pembagian hukum pidana ,Teori tentang hukum pidana dan tindak
pidana ,teori sebab akibat hukum pidana, dan macam macam delik pidana. Semua
sub bab materi yang menarik dan penuh ilmu serta pengetahuan ini akan dibahas
secara teliti dari beberapa referensi untuk menambah wawasan dan pembelajaran
tentang ilmu hukum pidana secara detail.
C. Tujuan makalah
Penulisan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami dan
serta sebagai media pembelajaran tentang Ilmu hukum pidana dan ilmu lain yang
berkaitan . hukum pidana merupakan hukum yang memiliki keistimewaan, yang
mana keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan yang berupa
ancaman pidana sehingga hukum ini ditaati oleh individu sebagai subjek hukum
dan tentunya kita sebagai subjek hukum akan mencari tahu serta menganalisis
mana hukum yang berlaku (positif) dalam pidana .dari pernyataan tersebut kita
dapat simpulkan betapa pentingnya untuk mempelajari hukum pidana secara lebih
terperinci dan normatif.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hukum pidana terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri pidana, yaitu :1. Pidana
itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan; dan
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut Undang-Undang.
Dari tiga unsur tersebut, para ahli telah merumuskan beberapa teori mengenai
pemidanaan, yang menjadi dasar hukum dan tujuan dari pemidanaan (Strafrecht
Theori), yaitu :
Teori ini dikenal sejak abad ke-18, dimana dalam teori ini dasar pemidanaan
tersebut adalah atas alam pemikiran pembalasan. Menurut Immanuel Kant, bahwa
1
Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M. H. , Hukum Pidana, (Surabaya : Revka Prima Media , 2022) hal. 49
“kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, harus juga dibalas dengan
ketidakadilan”. Teori ini dinamakan teori absolut atatu pembalasan2.
2
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2010, hlm.
10-16
Teori ini menganggap bahwa dasar dari pemidanaan itu adalah tujuan dari
pidana itu sendiri, karena pidana itu mempunyai tujuan tertentu. Menurut teori ini
sebagai dasar pidana itu ialah tujuan pokok, yaitu mempertahankan ketertiban
masyarakat. Cara untuk mencapai tujuan itu dari pidana tersebut dikenal beberapa
teori, yaitu :
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
Teori ini mencakup kedua teori diatas, yaitu teori absolut (pembalasan) dan
teori relative (tujuan). Berdasarkan teori ini, pemidanaan didasarkan atas
pembalasan dan tujuan pidana itu sendiri. Karena itu, harus ada keseimbangan
antara pembalasan dengan tujuan pemberian pemidanaan terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan, agar tercapai keadilan dan kepuasan masyarakat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
b. Expiation Theory yaitu teori tobat untuk membuat pelaku tindak pidana
menjadi insyaf dan sekaligus merupakan penebusan dosa atas kesalahan yang
dilakukannya.
Yaitu pencegah kejahatan ang bersifat khusus bagi pelaku agar tidak berbuat jahat
kembali, dalam hal ini erat kaitannya dengan residivis;
B. Untuk mencegah terjadinya kejahatan, baik secara khusus bagi sipelaku agar
tidak melakukan lagi, maupun secara umum agar masyarakat tidak melakukan
kejahatan.
Dikarenakan tidak puas dengan berbagai teori yang ada, maka L. Packer
mengajukan teori pembenaran pemidanaan terpadu (Integrated Theori of Kriminal
Punisment). Menurut L. Packer, adanya ambiguistitas (arti ganda) dalam
pemidanaan, yaitu : “Pemidanaan itu perlu, tapi patut diselesaikan”. Oleh karena
itu, dalam menjatuhkan pidana diperlukan adanya syarat kesalahan pelaku.
Menurut Packer dalam penjatuhan pidana harus dipertimbangkan 3 (tiga) hal,
yaitu :
Dengan adanya hubungan segi-tiga tersebut, maka tidak semua orang yang
melakukan kejahatan dapat dipidana, karena itu diperlukan syarat adanya
kesalahan. Terkait dengan hal itu L. Packer mengajukan usul kepada pembuat
Undang-Undang, yaitu :
2. Perlu pengawasan yang teliti dari institusi yang menangani proses peradilan
pidana; dan
3. Kriteria apa saja yang dapat dipakai untuk menentukan sesuatu sebagai
perbuatan pidana.
B. Tindak Pidana (strafbaar feit)
Dalam rangka melihat pengistilahan ini secara tepat, maka perlu ditinjau dari
bahasa aslinya, yakni bahasa Belanda dengan istilah 'strafbaar feit'. Helen sugesti
Mengartikan secara kebahasaan 'strafbaar' sebagai dikenakan hukuman,
sedangkan 'feit' berartikan kenyataan. Artinya apabila digabungkan dapat
dimaknai sebagai salah satu (kenyataan) yang dapat dikenakan hukum3.
Dalam perkembangan hukum Pidana Indonesia istilah strafbaar feit yang berasal
dari Bahasa Belanda diterjemahkan dengan beberapa istilah salah satunya :
1. “Tindak pidana”, merupakan istilah yang biasa dipergunakan dalam perundang-
undangan sekarang. Undang-undang yang pertama kali menggunakan istilah
‘tindak pidana” adalah Undang-undang Darurat No. 7 tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 1 UU drt
No. 7 tahun 1955 ini dirumuskan sebagai berikut,”…yang disebut ‘tindak pidana’
ekonomi adalah…”. Istilah ini juga dipergunakan oleh Satochid Kartanegara
dengan alasan bahwa istilah tindak (tindakan) memberikan pengertian melakukan
atau berbuat (active handeling) dan mengandung pengertian tidak berbuat atau
melakukan suatu perbuatan (passieve handeling) 4. Demikian pula Wirjono
Prodjodikoro dan Sianturi menyebut istilah tindak pidana, sama pula dengan
3
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni AHAEM –
PETAHAEM, 1989). hal.208.
Sudarto menggunakan istilah yang sama dengan alasan bahwa istilah “tindak
pidana” telah dipakai oleh pembentuk undang-undang dan telah diterima oleh
masyarakat (sociologische gelding)5. Istilah ini juga diusulkan untuk
dipergunakan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
2012.65
4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta- Bandung : PT Eresco,
1981), hal. 50
5
Wirjono Prodjodikoro, Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, P.T Eresco, Jakarta , 1980,
hlm. 3.
6
Sudarto.,Op Cit. hlm. 73
yang lain, yakni penjahat- penjahat. Tujuan pemidanaan ada kaitannya dengan
hakekat dari pemidanaan, bahwa “hukum pidana merupakan sistem sanksi yang
negatif. Ia diterapkan jika sarana (upaya) lain sudah tidak medai, maka hukum
pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidiair”.7
Perihal tujuan pemidanaan Muladi membagi teori-teori tentang tujuan
pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni: 8
1. Teori Retributif (retributivism)
Kaum retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang sepatutnya
diterima sangat diperlukan berdasarkan alasan, baik keadilan maupun beberapa
nilai moral. Pidana yang tidak layak selalu menimbulkan ketidakadilan dan
merugikan nilai moral.
2. Teori teleologis (teleological theory)
Memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku
tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas keadilan.
3. Retributifisme teleologis (teleological retributivist) Teori ini memandang
bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-
prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan.9 Teori ini terbagi
menjadi 2 yang pertama karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai
suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu
reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
11
Zainal Arifin, Pengertian dan Konsep Dasar Tindak Pidana, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4,
No. 2 (2015), hal. 167-181
12
Satjipto Rahardjo, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, 2017.
kepentingan orang lain atau kepentingan masyarakat secara umum, sedangkan
unsur subjektif adalah kesalahan atau kesengajaan dari pelaku tindak pidana.
Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana harus dilakukan secara
adil dan proporsional, dengan memperhatikan hak-hak korban dan kepentingan
masyarakat. Hukum pidana memberikan perlindungan kepada korban dengan
memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Namun, hukum pidana
juga harus memperhatikan hak-hak pelaku dan prinsip-prinsip keadilan dalam
penerapannya.
Oleh karena itu, penegakan hukum pidana harus dilakukan dengan prinsip-
prinsip keadilan dan proporsionalitas. Penanganan tindak pidana harus
memperhatikan hak-hak pelaku dan korban secara seimbang, serta
mengedepankan tujuan pemulihan sosial dan pencegahan kejahatan.
Untuk menjalankan hukum pidana dengan adil dan efektif, negara harus
memiliki sistem peradilan pidana yang baik dan independen. Sistem peradilan
pidana harus mampu menjamin hak asasi manusia, memberikan perlindungan
kepada masyarakat, dan memberikan sanksi yang sesuai kepada subjek tindak
pidana yang telah melakukan perbuatan.13
13
Nuryanto, Perbuatan Pidana dan Perlindungan Hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11, No. 2
(2018), hal. 189-198.
1. Unsur objektif terdiri dari:
c. Dengan : 1. Kekerasan
2. Ancaman kekerasan
2. Memberi hutang
3. Menghapus piutang
1. Diri sendiri.
2. Orang lain.
Perumusan dengan cara materiil adalah yang menjadi pokok larangan tindak
pidana yang dirumuskan adalah penimbulan akibat tertentu, disebut dengan akibat
yang dilarang atau konstitutif. Misalnya pada pasal 338 ( pembunuhan) yang
menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain,
sedangkan wujud apa dari perbuatan menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi
soal, apakah dengan menembak, meracun dan sebagainya. Dalam hubungan
dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan
tergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi tergantung apakah dari wujud
perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan
14
Adami Chazawi, Op. Cit, blm 116-118
telah selesai, namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai yang
terjadi adalah percobaan. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil
disebut tindak pidana materiil ( materiil delict).
3. Dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih
berat dan lebih ringan
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat atau lebih ringan dari tindak
pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diualang kembali
atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok misalnya
pasal 364, pasal 373, pasal 379 atau kualifikasi bentuk pokok misalnya pasal 339,
pasal 363, pasal 365. Kemudian, menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan
diperingan atau diperberat tindak pidana itu.15
15
Ibid, hlm. 119
16
Frank E. Hagan, op. cit., hlm. 15.
resmi oleh negara.17 kejahatan merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang
tempat, dan institusi.
Pembedaan delik ke dalam bentuk delik formil dan delik materiil tidak
terlepas dari makna yang terkandung dari istilah 'perbuatan' itu sendiri. dapat
dikatakan bahwa delik formil adalah delik menitikberatkan pada tindakan,
sedangkan delik materiil adalah deli yang menitikberatkan pada akibat.
Delik Formil adalah yang menguraikan perbuatan yang dilarang, delik ini
tidak mengatur akibat dari perbuatan dilarang tersebut. Misalnya delik pencurian
hanyalah mengandung perbuatan yang dilarang berupa pengambilan barang orang
17
ibid hlm 17
lain dengan maksud untuk dimilikinya dengan melawan hukum. Di dalam Pasal
362 KUHP 18.
Pembedaan delik konkret dan delik abstrak sebenarnya tidak terlepas dari
pemilahan mengenai delik formil dan delik materiil. Delik abstrak selalu
dirumuskan secara formil karena menimbulkan bahaya yang masih abstrak
18
jurnal ilmiah hukum dirgantara hlm. 71
19
jurnal ilmiah dirgantara hlm. 71
20
Eddy O.S hiariej rinsip-prinsip hukum pidana hlm.139
sehingga lebih menitikberatkan pada perbuatan. Sebagai misal delik abstrak
adalah pasal terkait penghasutan. Delik abstrak dirumuskan secara formal dan
tidak mementingkan akibat. Demikian pula bahaya yang ditimbulkan dari pasal
tersebut masih abstrak karena orang yang dihasut belum tentu melakukan
perbuatan-perbuatan yang diminta oleh penghasut.
Jika delik abstrak selalu dirumuskan secara formil, tidaklah berarti delik
konkret selalu dirumuskan secara materiil. Delik konkret pada hakikatnya
menimbulkan bahaya langsung terhadap korban dan dapat dirumuskan secara
formil maupun materiil. Contoh-contoh delik konkret adalah seperti pembunuhan,
pencurian, penganiayaan dan lain-lain.
Delik umum atau delicta communia adalah delik yang dapat dilakukan
oleh siapa pun. Sebagian besar delik dalam KUHP adalah delik umum. Sedangkan
delik khusus atau delicta propria adalah delik yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Demikian pula kejahatan jabatan.
Menurut Jan Remellink, salah satu bentuk delik abstrak adalah delik-delik
persiapan atau voorbereidingsdelicten. Delik persiapan ini ditujukan untuk delik
yang menimbulkan bahaya konkret tetapi tidak memenuhi unsur-unsur delik
percobaan". Contoh konkret voorbereidingsdelicten adalah Pasal 88 KUHP yang
berbunyi, "Dikatakan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun".
Delik biasa atau biasa disebut gewone delic untuk melakukan proses
hukum terhadap perkara-perkara tersebut tidak dibutuhkan pengaduan.
Sebaliknya, ada beberapa delik yang membutuhkan pengaduan untuk memproses
perkara tersebut lebih lanjut. Delik-delik ini dikenal dengan klacht delic atau delik
aduan. Bahkan secara eksplisit syarat pengaduan tersebut dinyatakan dalam pasal.
Paling tidak ada tiga bab dalam KUHP yang berkaitan dengan delik aduan.
PERTAMA, Bab XVI KUHP tentang penghinaan atau defamation atau
belediging. Ada lima perbuatan yang dikualifikasikan sebagai penghinaan.
Pertama adalah menista atau smaad. Menista ini masih dibagi menjadi menista
secara lisan dan menista dengan tulisan.
Delik sederhana atau eenvoudige delic adalah delik dalam bentuk pokok
sebagaimana dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan delik-delik
terkualifikasi atau gequalificeerde delic adalah delik-delik dengan pemberatan
karena keadaan-keadaan tertentu. Pasal 372 KUHP, "Barangsiapa dengan sengaja
dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi barang yang ada
dalam kekuasaannya bukan hasil kejahatan, diancam karena penggelapan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh
rupiah".
Sengaja atau opzet atau dolus dan alpa atau schuld atau culpa adalah
bentuk-bentuk kesalahan dalam hukum pidana. Pembagian kejahatan ke dalam
delik kesengajaan dan delik kealpaan hanya menandakan bentuk kesalahan dalam
suatu rumusan delik. Konsekuensi bentuk kesalahan ini berimplikasi pada berat-
ringannya pidana yang diancamkan. Delik kesengajaan menghendaki bentuk
kesalahan berupa kesengajaan dalam rumusan delik. Sedangkan delik kealpaan
menghendaki bentuk kesalahan berupa kealpaan dalam rumusan delik.
Pentingnya penentuan suatu lokasi atau tempat terjadinya suatu tindak pidana
yang disebabkan adanya asas teritorial yang berlaku, yang mana tindak pidana
yang terjadi berada dalam wilayah hukum Indonesia atau tidak. Terdapat beberapa
macam pandangan dalam menentukan lokasi terjadinya suatu tindak pidana antara
lain berdasarkan dimana akibat perbuatan tindak pidana terjadi, meskipun
akibatnya tidak langsung terjadi ditempat kejadian. Penentuan lokasi (Locus
Delicti) dalam suatu tindak pidana berguna untuk menentukan tempat atau lokasi
dimana perkara akan diadili oleh pengadilan yang berwenang.
Locus Delicti berasal dari kata Locus yang berarti tempat atau lokasi
dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Penentuan tempat terjadinya
suatu tindak pidana memiliki arti yang penting untuk menentukan tempat
pengadilan yang berwenang dalam mengadili suatu tindak pidana tersebut.21
Terdapat 3 teori yang membahas mengenai locus delicti yaitu:
Menurut teori ini locus delicti ditentukan karena adanya akibat yang muncul dari
perbuatan yang telah terjadi atau ditentukan menurut dimana akibat yang muncul
terjadi setelah terjadinya tindak pidana tersebut.
22
Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika
Aditama 2011
terjadinya suatu tindak pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu undang-
undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi
tersebut. Suatu undang-undang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu delik
atau tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan
memutuskan suatu tindak pidana. Oleh karena itu hal ini berkaitan dengan
undang-undang tidak berlaku surut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
SARAN
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni,
Bandung, 2010
Remelink Jan, Hukum Pidana, Jakarta P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2003
Nuryanto, Perbuatan Pidana dan Perlindungan Hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11,
No. 2 (2018), hal. 189-198.
Hamzah dan Siti Rahayu, Pendapat Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni
Bandung, 1977, hlm 30.
Prof. Masruchin Ruba’i, Hukum Pidana, Malang: MNC Publishing, 2015