Anda di halaman 1dari 32

TEORI TENTANG HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


HUKUM PIDANA

Disusun oleh:

Linda Kharisma Putri 05010722012

Nessya Widya Azzahra 05010722015

Nicko Fendy Purnanda 05010722016

Alfin Aura Dwinanta 05010722032

lindakharismaputri@gmail.com

nessyawidya@gmail.com

nickocyber15@gmail.com

alfinauradwinanta1@gmail.com

Dosen pengampu:

Dr. H. Imron Rosyadi, Dr., SH., MH

NIP. 196903101999031008

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


PROGRAM STUDI HUKUM
SURABAYA

2023
PERSETUJUAN DOSEN PENGAMPU

Tugas mata kuliah hukum pidana yang ditulis oleh kelompok II:

Nama dan Nim : Linda Kharisma Putri NIM. 05010722012

:Nessya Widya Azzahra NIM. 05010722015

:Nicko Fendy Purnanda NIM. 05010722016

:Alfin Aura Dwinanta NIM. 05010722031

Semester : II (Dua)

Judul pembahasan : Ilmu hukum pidana &ilmu lain yang bersangkutan

Tahun akademik : Maret – Agustus 2023

Makalah dan atau tugas ini telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pengampu Mata Kuliah
Hukum Pidana dan dapat diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti Ujian Akhir
Semester (UAS) pada semester genap tahun ajaran 2023.

Surabaya, Maret 2023

Dosen pengampu,

Dr. H. Imron Rosyadi, Drs., SH., MH.

NIP. 196903101999031
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu. Tidak lupa sholawat dan salam senantiasa kami
hanturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S A W, yang telah
membimbing kami dari jaman kegelapan menuju jaman terang yaitu agama islam.
Kami menyadari bahwa penullisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Dan kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna dikarena kan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang
kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta
masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum di


Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda KUHP
merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia. dimana
asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang
diatur di luar KUHP.

Menurut W.F.C. van Hattum, hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari
asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat
hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban
hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat
melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa
hukuman.

Dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat


membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Pidana
artinya=hukuman; sanksi; rasa sakit; penderitaan. Hukum Pidana berarti: Hukum
Hukuman atau peraturan-peraturan tentang hukuman/ pidana. Hukuman/Pidana
ada atau dijatuhkan karena ada yang melanggar norma-norma hukum pidana atau,
ada pelanggaran peraturan-peraturan pidana atau, ada pelanggaran norma-norma
hukuman (pidana).

Ilmu hukum pidana dapat diartikan dengan kumpulan asas dan kaidah
hukum pidana tertulis yang pada saat ini berlaku dan mengikat secara umum atau
secara khusus ditegakkan melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara
Indonesia ini, Maka ilmu hukum pidana sangat diperlukan dan menjadi bagian
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam mempelajari,menganalisis dan
mengkaji hukum pidana.

B. Rumusan masalah

Materi karya tulis ilmiah berupa makalah ini yang bertema Ilmu Hukum
Pidana dan ilmu lain yang berkaitan, terdiri dari beberapa Sub bab materi yang
akan bahas yaitu Ilmu hukum pidana,Ilmu hukum Pidana dan alat
bantu ,pembagian hukum pidana ,Teori tentang hukum pidana dan tindak
pidana ,teori sebab akibat hukum pidana, dan macam macam delik pidana. Semua
sub bab materi yang menarik dan penuh ilmu serta pengetahuan ini akan dibahas
secara teliti dari beberapa referensi untuk menambah wawasan dan pembelajaran
tentang ilmu hukum pidana secara detail.

C. Tujuan makalah

Penulisan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami dan
serta sebagai media pembelajaran tentang Ilmu hukum pidana dan ilmu lain yang
berkaitan . hukum pidana merupakan hukum yang memiliki keistimewaan, yang
mana keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan yang berupa
ancaman pidana sehingga hukum ini ditaati oleh individu sebagai subjek hukum
dan tentunya kita sebagai subjek hukum akan mencari tahu serta menganalisis
mana hukum yang berlaku (positif) dalam pidana .dari pernyataan tersebut kita
dapat simpulkan betapa pentingnya untuk mempelajari hukum pidana secara lebih
terperinci dan normatif.
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian teori tentang hukum pidana dan tindak pidana

1. Teori Tentang Hukum pidana (Strafrecht Theori).

Dalam hukum pidana terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri pidana, yaitu :1. Pidana
itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan; dan

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut Undang-Undang.

Dari tiga unsur tersebut, para ahli telah merumuskan beberapa teori mengenai
pemidanaan, yang menjadi dasar hukum dan tujuan dari pemidanaan (Strafrecht
Theori), yaitu :

1. De Vergelding Theori (Teori absolut atau pembalasan);

2. De Relative Theori (Teori Relatif atau tujuan);

3. De Verenigings Theori (Teori Gabungan); dan

4. Integrated Theori of Kriminal Punisment (Teori pembenaran pemidanaan


terpadu).

a. De Vergelding Theori (Teori Absolut atau pembalasan)

Teori ini dikenal sejak abad ke-18, dimana dalam teori ini dasar pemidanaan
tersebut adalah atas alam pemikiran pembalasan. Menurut Immanuel Kant, bahwa

1
Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M. H. , Hukum Pidana, (Surabaya : Revka Prima Media , 2022) hal. 49
“kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, harus juga dibalas dengan
ketidakadilan”. Teori ini dinamakan teori absolut atatu pembalasan2.

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas


kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima
sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi
orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak
dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak
peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan.

Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan. Penjatuhan


pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah
membuat penderitaan bagi orang lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan
keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Ciri pokok atau
karakteristik teori Absolut atau pembalasan, yaitu :

1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana –


sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; dan

5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya


tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

b. De Relatif Theori (Teori Relatif atau Tujuan)

2
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2010, hlm.
10-16
Teori ini menganggap bahwa dasar dari pemidanaan itu adalah tujuan dari
pidana itu sendiri, karena pidana itu mempunyai tujuan tertentu. Menurut teori ini
sebagai dasar pidana itu ialah tujuan pokok, yaitu mempertahankan ketertiban
masyarakat. Cara untuk mencapai tujuan itu dari pidana tersebut dikenal beberapa
teori, yaitu :

1. Preventive theory (teori pencegahan), yang meliputi :

a) Generale Preventive (pencegahan umum), yaitu ditujukan kepada khalayak


ramai, kepada masyarakat luas; dan

b) Special Preventive (pencegahan khusus), yaitu ditujukan kepada pelaku


kejahatan secara khusus, agar tidak mengulangi lagi untuk melakukan kejahatan.

2. Verbetering van dader (memperbaiki si penjahat), caranya dengan menjatuhkan


pidana dan memberikan pendidikan selama ia menjalani pidana.

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai


pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum
yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan


mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan.
Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib
masyarakat itu diperlukan pidana. Selaras dengan pendapat Nigel Walker, seorang
penganut teori relative menyebutkan bahwa teori ini sama halnya dengan teori /
aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran melakukan
pidana berdasarkan teori ini ialah untuk mengurangi kuantitas atau frekuensi
kejahatan.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan


kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan,
melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering
juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :

1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si


pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya
pidana;

4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan


kejahatan;

5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur


pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

C. De Verenigings Theori (Teori Gabungan)

Teori ini mencakup kedua teori diatas, yaitu teori absolut (pembalasan) dan
teori relative (tujuan). Berdasarkan teori ini, pemidanaan didasarkan atas
pembalasan dan tujuan pidana itu sendiri. Karena itu, harus ada keseimbangan
antara pembalasan dengan tujuan pemberian pemidanaan terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan, agar tercapai keadilan dan kepuasan masyarakat.

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak


boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat;

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,tetapi


penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan terpidana

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan


kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki
keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu
memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke
dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human
offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas
pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan
sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan
sanksi yang bersifat treatment.

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran


ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak
mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena
dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun
kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari
keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak
dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,
melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.

Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih


lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan
utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial
mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan
tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.

D. Integrated Theori of Kriminal Punisment (Teori pembenaran pemidanaan


terpadu).

Ada 5 (lima) teori pendekatan sebagai alas an pembenaran penjatuhan pidana,


yaitu

1. Retribution, yang meliputi :

a. Revenge Theory yaitu pemidanaan merupakan balas dendam atas perbuatan


yang dilakukan; dan

b. Expiation Theory yaitu teori tobat untuk membuat pelaku tindak pidana
menjadi insyaf dan sekaligus merupakan penebusan dosa atas kesalahan yang
dilakukannya.

2. Utilitarian Prevention : Detterence

Yaitu pemidanaan sebagai tindakan pencegahan yang bersifat umum bagi


masyrakat agar tidak melakukan kejahatan;

3. Special Detterence or Intimidation

Yaitu pencegah kejahatan ang bersifat khusus bagi pelaku agar tidak berbuat jahat
kembali, dalam hal ini erat kaitannya dengan residivis;

4. Behavioral Prevention : Incapacitation


Yaitu pelaku kejahatan dibuat untuk tidak mampu melakukan kejahatan lagi untuk
sementara waktu atau selamanya; dan

5. Behavioral Prevention : Rehabilitation


Yaitu dalam rangka untuk memperbaiki mental dan kepribadian sipelaku.Pada
dasarnya tujuan pemidanaan adalah :

A. Untuk memberikan suatu penderitaan bagi sipelaku; dan

B. Untuk mencegah terjadinya kejahatan, baik secara khusus bagi sipelaku agar
tidak melakukan lagi, maupun secara umum agar masyarakat tidak melakukan
kejahatan.

Dikarenakan tidak puas dengan berbagai teori yang ada, maka L. Packer
mengajukan teori pembenaran pemidanaan terpadu (Integrated Theori of Kriminal
Punisment). Menurut L. Packer, adanya ambiguistitas (arti ganda) dalam
pemidanaan, yaitu : “Pemidanaan itu perlu, tapi patut diselesaikan”. Oleh karena
itu, dalam menjatuhkan pidana diperlukan adanya syarat kesalahan pelaku.
Menurut Packer dalam penjatuhan pidana harus dipertimbangkan 3 (tiga) hal,
yaitu :

1. Perbuatan melawan hukum;

2. Kesalahan pelaku; dan

3. Sanksi pidana yang diancamkan

Dengan adanya hubungan segi-tiga tersebut, maka tidak semua orang yang
melakukan kejahatan dapat dipidana, karena itu diperlukan syarat adanya
kesalahan. Terkait dengan hal itu L. Packer mengajukan usul kepada pembuat
Undang-Undang, yaitu :

1. Harus lebih memperhatikan batas-batas pemikiran tentang sanksi pidana;

2. Perlu pengawasan yang teliti dari institusi yang menangani proses peradilan
pidana; dan

3. Kriteria apa saja yang dapat dipakai untuk menentukan sesuatu sebagai
perbuatan pidana.
B. Tindak Pidana (strafbaar feit)

Dalam rangka melihat pengistilahan ini secara tepat, maka perlu ditinjau dari
bahasa aslinya, yakni bahasa Belanda dengan istilah 'strafbaar feit'. Helen sugesti
Mengartikan secara kebahasaan 'strafbaar' sebagai dikenakan hukuman,
sedangkan 'feit' berartikan kenyataan. Artinya apabila digabungkan dapat
dimaknai sebagai salah satu (kenyataan) yang dapat dikenakan hukum3.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian


dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang di bentuk dengan kesadaran dalam
bentuk memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Para pakar Asing
hukum pidana menggunakan istilah "Tindak Pidana ", atau " Peristiwa Pidana"
dengan istilah :

1. Strafbaar Feit adalah peristiwa Pidana;

2. Strafbare handlung di terjemahkan dengan " perbuatan pidana " , yang


digunakan oleh para Sarjana Hukum Pidana Jerman dan ;

3.Criminal Act diterjemahkan dengan istilah "perbuatan kriminal"

Dalam perkembangan hukum Pidana Indonesia istilah strafbaar feit yang berasal
dari Bahasa Belanda diterjemahkan dengan beberapa istilah salah satunya :
1. “Tindak pidana”, merupakan istilah yang biasa dipergunakan dalam perundang-
undangan sekarang. Undang-undang yang pertama kali menggunakan istilah
‘tindak pidana” adalah Undang-undang Darurat No. 7 tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 1 UU drt
No. 7 tahun 1955 ini dirumuskan sebagai berikut,”…yang disebut ‘tindak pidana’
ekonomi adalah…”. Istilah ini juga dipergunakan oleh Satochid Kartanegara
dengan alasan bahwa istilah tindak (tindakan) memberikan pengertian melakukan
atau berbuat (active handeling) dan mengandung pengertian tidak berbuat atau
melakukan suatu perbuatan (passieve handeling) 4. Demikian pula Wirjono
Prodjodikoro dan Sianturi menyebut istilah tindak pidana, sama pula dengan

3
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni AHAEM –
PETAHAEM, 1989). hal.208.
Sudarto menggunakan istilah yang sama dengan alasan bahwa istilah “tindak
pidana” telah dipakai oleh pembentuk undang-undang dan telah diterima oleh
masyarakat (sociologische gelding)5. Istilah ini juga diusulkan untuk
dipergunakan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
2012.65

B. Tujuan pidana dan pemidanaan

Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu :


a. Untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik
secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti
orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi (speciale preventif); atau
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar
menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.5
Dalam pasal 51 dijelaskan bahwa pemidanaan bertujuan untuk mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
perlindungan dan pengayoman masyarakat (pencegahan) serta memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang
yang baik dan berguna (rehabilitasi). tujuan pidana penjara adalah
pemasyarakatan. Dasar untuk pembinaan para terhukum ialah yang lazim disebut
treatment philosophy atau behandelingsfilosofie. Istilah pemasyarakatan dapat
disamakan dengan resosialisasi dan/atau rehabilitasi.6
Tujuan dari pidana dan pemidanaan pada dasrnya adalah Untuk
memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, Untuk membuat orang menjadi
jera untuk melakukan kejahatan- kejahatan, serta untuk membuat penjahat-
penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan

4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta- Bandung : PT Eresco,
1981), hal. 50
5
Wirjono Prodjodikoro, Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, P.T Eresco, Jakarta , 1980,
hlm. 3.
6
Sudarto.,Op Cit. hlm. 73
yang lain, yakni penjahat- penjahat. Tujuan pemidanaan ada kaitannya dengan
hakekat dari pemidanaan, bahwa “hukum pidana merupakan sistem sanksi yang
negatif. Ia diterapkan jika sarana (upaya) lain sudah tidak medai, maka hukum
pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidiair”.7
Perihal tujuan pemidanaan Muladi membagi teori-teori tentang tujuan
pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni: 8
1. Teori Retributif (retributivism)
Kaum retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang sepatutnya
diterima sangat diperlukan berdasarkan alasan, baik keadilan maupun beberapa
nilai moral. Pidana yang tidak layak selalu menimbulkan ketidakadilan dan
merugikan nilai moral.
2. Teori teleologis (teleological theory)
Memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku
tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas keadilan.
3. Retributifisme teleologis (teleological retributivist) Teori ini memandang
bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-
prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan.9 Teori ini terbagi
menjadi 2 yang pertama karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai
suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu
reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Menurut Sudarto, dalam bukunya mengatakan, pada umumnya tujuan


pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut:10
1. Pembalasan, pengimbalan atau retribusi;
7
Hamzah dan Siti Rahayu, Pendapat Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977,
hlm 30.
8
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 49-51
9
Hamzah dan Siti Rahayu, Op.Cit., hlm 23.
10
Sudarto.,Op Cit. hlm. 81-83
Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan
teori hukum pidana yang absolut. Didalam kejahatan itu sendiri terletak
pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada
pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan
2. Mempengaruhi tindak masyarakat; laku orang demi perlindungan
3. Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri, melainkan untuk suatu tujuan
yang bermanfaat, ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman.
Pidana mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Pengaruh yang
disebut pertama biasanya dinamakan prevensi special (khusus) dan yang kedua
dinamakan prevensi general (umum).

C. Subjek tindak pidana dan perbuatan pidana


Subjek tindak pidana adalah orang yang melakukan tindakan yang
melanggar hukum pidana. Subjek tindak pidana dapat berupa individu, kelompok,
atau badan hukum. Dalam hukum pidana, seseorang dianggap sebagai subjek
tindak pidana apabila dia melakukan tindakan yang melanggar ketentuan hukum
pidana yang ada.
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
dan dapat dikenakan sanksi pidana. Tindak pidana dapat dilakukan oleh siapa saja,
baik orang perorangan maupun badan hukum. Namun, untuk dianggap sebagai
pelaku tindak pidana, seseorang harus memenuhi unsur-unsur subjektif dan
objektif yang terdapat dalam pasal-pasal tindak pidana yang diatur dalam undang-
undang. Perbuatan pidana, di sisi lain, merujuk pada tindakan yang melanggar
hukum pidana yang telah ditetapkan oleh negara. Perbuatan pidana dapat berupa
tindakan positif (perbuatan) atau tindakan negatif (kelalaian) yang mengakibatkan
kerugian atau kerusakan pada orang lain atau masyarakat secara umum. Misalnya,
perbuatan pidana seperti pembunuhan, pemerkosaan, penggelapan, atau penipuan,
merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum pidana dan dapat dipidana oleh
negara.
Perbuatan pidana, pada dasarnya, adalah perbuatan yang dapat dikenakan
sanksi pidana. Perbuatan pidana dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang. Dalam hukum pidana, perbuatan pidana dibedakan menjadi perbuatan
pidana materiil dan formal. Perbuatan pidana materiil adalah perbuatan yang
merugikan orang lain atau masyarakat secara nyata, sedangkan perbuatan pidana
formal adalah perbuatan yang hanya menyerang ketertiban hukum semata.11
Dalam hukum pidana, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar
sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Pertama,
perbuatan tersebut harus melanggar hukum pidana yang telah ditetapkan oleh
negara. Kedua, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan sengaja atau kelalaian.
Ketiga, perbuatan tersebut harus mengakibatkan kerugian atau kerusakan pada
orang lain atau masyarakat secara umum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perbuatan pidana dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan pidana materiil dan perbuatan pidana
formal. Perbuatan pidana materiil adalah perbuatan yang melanggar hak-hak
orang lain atau kepentingan masyarakat, seperti pencurian, pembunuhan, dan
sebagainya. Sedangkan perbuatan pidana formal adalah perbuatan yang hanya
melanggar norma-norma hukum yang berlaku, tanpa adanya unsur-unsur kerugian
atau pelanggaran terhadap hak-hak orang lain atau kepentingan masyarakat.12
Contoh kasus yang dapat dijadikan referensi untuk memahami lebih lanjut
tentang subjek tindak pidana dan perbuatan pidana adalah kasus korupsi yang
melibatkan pejabat publik. Dalam kasus ini, pejabat publik (subjek tindak pidana)
melakukan perbuatan pidana dengan menggunakan jabatannya untuk mengambil
keuntungan pribadi dengan cara yang melanggar hukum pidana. Tindakan korupsi
ini dapat mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat secara umum,
sehingga dianggap sebagai perbuatan pidana yang harus dipidana sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Perbuatan pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh hukum
dan diancam dengan sanksi pidana. Dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur
objektif dan subjektif. Unsur objektif adalah perbuatan yang merugikan

11
Zainal Arifin, Pengertian dan Konsep Dasar Tindak Pidana, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4,
No. 2 (2015), hal. 167-181
12
Satjipto Rahardjo, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, 2017.
kepentingan orang lain atau kepentingan masyarakat secara umum, sedangkan
unsur subjektif adalah kesalahan atau kesengajaan dari pelaku tindak pidana.
Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana harus dilakukan secara
adil dan proporsional, dengan memperhatikan hak-hak korban dan kepentingan
masyarakat. Hukum pidana memberikan perlindungan kepada korban dengan
memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Namun, hukum pidana
juga harus memperhatikan hak-hak pelaku dan prinsip-prinsip keadilan dalam
penerapannya.
Oleh karena itu, penegakan hukum pidana harus dilakukan dengan prinsip-
prinsip keadilan dan proporsionalitas. Penanganan tindak pidana harus
memperhatikan hak-hak pelaku dan korban secara seimbang, serta
mengedepankan tujuan pemulihan sosial dan pencegahan kejahatan.
Untuk menjalankan hukum pidana dengan adil dan efektif, negara harus
memiliki sistem peradilan pidana yang baik dan independen. Sistem peradilan
pidana harus mampu menjamin hak asasi manusia, memberikan perlindungan
kepada masyarakat, dan memberikan sanksi yang sesuai kepada subjek tindak
pidana yang telah melakukan perbuatan.13

D. Cara Perumusan Tindak Dan Perbuatan Pidana

1. Cara mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana

A. Dengan mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana

Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana


dalam bentuk pokok/standar, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun
unsur subjektif misalnya pasal 338 ( pembunuhan), pasal 362 ( pencurian) , pasal
368 ( pengancaman), pasal 369 ( pemerasan), pasal 372 ( penggelapan), pasal 378
( penipuan), pasal 406 ( perusakan). Dalam unsur pokok tindak pidana tersebut
diatas, terdapat unsur-unsur objektif dan unsur subjektifsecara lengkap misalnya
pasal 368 KUHP.

13
Nuryanto, Perbuatan Pidana dan Perlindungan Hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11, No. 2
(2018), hal. 189-198.
1. Unsur objektif terdiri dari:

a. Memaksa ( tingkah laku)

b. Seseorang ( yang dipaksa)

c. Dengan : 1. Kekerasan

2. Ancaman kekerasan

d. Agar orang : 1. Menyerahkan benda

2. Memberi hutang

3. Menghapus piutang

2. Unsur subjektif terdiri dari :

a. Dengan maksud untuk mengguntungkan :

1. Diri sendiri.

2. Orang lain.

b. Dengan melawan hukum.

B. Mencantumkan semua pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan


ancaman pidan

Tindakan pidana hang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebutkan


kualifikasi dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi
kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi
kualifikasi sumpah palsu, penghasutan( pasal 160), laporan palsu ( pasal 220),
membuang anak ( pasal 351) , pembunuhan anak ( pasal 341) dan penggelapan
oleh pegawai negeri ( pasal 415).

C. Mencantumkan kualifikasi dan ancaman pidana

Tindak pidana yang dirumuskan dengan secara singkat ini dilatarbelakangi


oleh suatu ratio tertentu misalnya kejahatan penganiayaan ( pasal 351). Pasal 351
ayat (1) dirumuskan denhan sangat singkat : penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.

Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini


dapat diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS Belanda.
Rumusan ini oleh parlemen dianggap tidak tepat karena masuk di dalamnya
perbuatan seorang pendidik terhadap anak didiknya dan perbuatan dokter terhadap
pasiennya. Atas keberatan itu, menteri kehakiman mengubah rumusan " dengan
sengaja menimbulkan rasa sakit pada tubuh orang lain" dengan cukup
penganiayaan saja , atas dasar pertimbangan bahwa semua orang sudah
memahami artinya.14

2. Dari sudut titik beratnya

A. Dengan cara formil

Disebut dengan cara formil karena dalam merumuskan secara tegas


perilaku larangan melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan
selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai
dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang
timbul dari perbuatan. Misalnya pada pasal 362 KUHP jika pembuatan palsu
(surat) dan memalsu (surat) selesai dilakukan, kejahatan itu selesai ( pasal 263).

B. Dengan cara materiil

Perumusan dengan cara materiil adalah yang menjadi pokok larangan tindak
pidana yang dirumuskan adalah penimbulan akibat tertentu, disebut dengan akibat
yang dilarang atau konstitutif. Misalnya pada pasal 338 ( pembunuhan) yang
menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain,
sedangkan wujud apa dari perbuatan menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi
soal, apakah dengan menembak, meracun dan sebagainya. Dalam hubungan
dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan
tergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi tergantung apakah dari wujud
perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan
14
Adami Chazawi, Op. Cit, blm 116-118
telah selesai, namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai yang
terjadi adalah percobaan. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil
disebut tindak pidana materiil ( materiil delict).

3. Dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih
berat dan lebih ringan

A. Perumusan dalam bentuk pokok

Cara merumuskan tindak pidana dapat dibedakan antara merumuskan


tindak pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yang diperberat atau
yang lebih ringan. Bentuk pokok pembentuk undang-undang selalu
merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-
unsur secara lengkap. Misalnya pasal 338, pasal 362, pasal 372, pasal 378,
pasal 369, pasal 406.

B. Perumusan dalam bentuk yang diperingan dan diperberat

Rumusan dalam bentuk yang lebih berat atau lebih ringan dari tindak
pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diualang kembali
atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok misalnya
pasal 364, pasal 373, pasal 379 atau kualifikasi bentuk pokok misalnya pasal 339,
pasal 363, pasal 365. Kemudian, menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan
diperingan atau diperberat tindak pidana itu.15

E. Jenis tindak pidana

1) Kejahatan Dan Pelanggaran

Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja atau


pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan bukan untuk pembelaan
diri dan tanpa pembent yang ditetapkan oleh Negara.16 Tegasnya, kejahatan
sebagai perilaku dan perbuatan yang dapat dikenai sanski yang ditetapkan secara

15
Ibid, hlm. 119
16
Frank E. Hagan, op. cit., hlm. 15.
resmi oleh negara.17 kejahatan merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang
tempat, dan institusi.

Pembagian perbuatan pidana ke dalam kejahatan dan pelanggaran


membawa beberapa konsekuensi. Pertama, tindakan dan akih yang ditimbulkan
kejahatan lebih berbahaya bila dibandingkan dengan pelanggaran. Kedua,
konsekuensi dari yang pertama, sanga berpengaruh pada sanksi pidana yang
diancamkan. Kejahatan diancam dengan pidana yang lebih berat bila
dibandingkan dengan pelanggaran Ketiga, percobaan melakukan suatu kejahatan,
maksimum ancaman pidananya dikurangi sepertiga, sedangkan percobaan mal
pelanggaran tidak diancam pidana.

Dalam perkembangan selanjutnya, pembedaan perbuatan pidana menjadi


kejahatan dan pelanggaran tidak lagi signifikan. Sebagaim Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menyebut
kejahatan genosida dan kejahatan terhad kemanusiaan sebagai pelanggaran berat
hak asasi manusia. Demikian pula dalam RUU KUHP Indonesia, tidak lagi
membedakan perbuatan pidana ke dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran.

2) Delik Formil Dan Delik Materiil

Pembedaan delik ke dalam bentuk delik formil dan delik materiil tidak
terlepas dari makna yang terkandung dari istilah 'perbuatan' itu sendiri. dapat
dikatakan bahwa delik formil adalah delik menitikberatkan pada tindakan,
sedangkan delik materiil adalah deli yang menitikberatkan pada akibat.

Delik Formil adalah yang menguraikan perbuatan yang dilarang, delik ini
tidak mengatur akibat dari perbuatan dilarang tersebut. Misalnya delik pencurian
hanyalah mengandung perbuatan yang dilarang berupa pengambilan barang orang

17
ibid hlm 17
lain dengan maksud untuk dimilikinya dengan melawan hukum. Di dalam Pasal
362 KUHP 18.

Sedangkan Delik Materiel mengandung unsur akibat seperti delik


pembunuhan. Perbuatan itu diuraikan dalam Pasal 538 KUHP,29 yang berarti
perbuatan apa sajayang membawa akibat kematian orang lain Termasuk
pembunuhan, misalnya Menikam, memukul, menembak, meracun, melempar
orang ke dalam jurang, mengenakan ilmu hitam (black magic) selama dapat
dibuktikan. Bila perbuatan untuk menghilangkan nyawa orang lain Belum terjadi,
tetapi sudah dilakukan perbuatan pelaksanaan kesengajaan, maka Yang terjadi
adalah percobaan pembunuhan.19

3) Delicta Commissionis, Delicta Omissionis Dan Delicta Commissionis Per


Omissionem Commissa

Delik komisi atau delicta commissionis pada hakikatnya adalah melakukan


perbuatan yang dilarang dalam undang-undang. Hampir sebagian besar ketentuan
pidana dalam undang-undang termasuk juga dalam KUHP berupa delik komisi
karena berisi larangan-larangan untuk melakukan suatu perbuatan. Kebalikan dari
delicta commissionis adalah delicta omissionis atau delik omisi yaitu tidak
melakukan perbuatan yang diwajibkan atau diharuskan oleh undang-undang.
Delicia omissionis didasarkan pada suatu adagium qui potest et debet vetara,
tacens jubet. Artinya, seseorang yang berdiam, tidak mencegah atau tidak
melakukan sesuatu yang harus dilakukan, sama saja seperti ia yang
memerintahkan.20

4) Delik Konkret Dan Delik Abstrak

Pembedaan delik konkret dan delik abstrak sebenarnya tidak terlepas dari
pemilahan mengenai delik formil dan delik materiil. Delik abstrak selalu
dirumuskan secara formil karena menimbulkan bahaya yang masih abstrak

18
jurnal ilmiah hukum dirgantara hlm. 71
19
jurnal ilmiah dirgantara hlm. 71
20
Eddy O.S hiariej rinsip-prinsip hukum pidana hlm.139
sehingga lebih menitikberatkan pada perbuatan. Sebagai misal delik abstrak
adalah pasal terkait penghasutan. Delik abstrak dirumuskan secara formal dan
tidak mementingkan akibat. Demikian pula bahaya yang ditimbulkan dari pasal
tersebut masih abstrak karena orang yang dihasut belum tentu melakukan
perbuatan-perbuatan yang diminta oleh penghasut.

Jika delik abstrak selalu dirumuskan secara formil, tidaklah berarti delik
konkret selalu dirumuskan secara materiil. Delik konkret pada hakikatnya
menimbulkan bahaya langsung terhadap korban dan dapat dirumuskan secara
formil maupun materiil. Contoh-contoh delik konkret adalah seperti pembunuhan,
pencurian, penganiayaan dan lain-lain.

5) Delik Umum, Delik Khusus Dan Delik Politik

Delik umum atau delicta communia adalah delik yang dapat dilakukan
oleh siapa pun. Sebagian besar delik dalam KUHP adalah delik umum. Sedangkan
delik khusus atau delicta propria adalah delik yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Demikian pula kejahatan jabatan.

Delik politik lebih memiliki makna sosiologis dibandingkan yuridis,


sampai saat ini belum ada dalam perundang-undangan yang memberi pengertian
tentang delik politik. Masyarakat awam menyebut setiap perkara pidana yang
substansinya menyangkut konflik kepentingan antara warga negara dengan
pemerintah yang bertalian dengan pengaturan kebebasan warga negara hukum dan
atau berfungsinya lembaga-lembaga negara sebagai delik politik.

6) Delik Merugikan Dan Delik Menimbulkan Keadaan Bahaya

Pembagian delik merugikan dan delik menimbulkan bahaya pada


hakikatnya identik dengan pembagian delik konkret dan delik abstrak. Delik-delik
yang merugikan atau menyakiti (krenkingsdelicten) adalah dalam rangka
melindungi suatu kepentingan hukum individu. Menurut sejarahnya,
krenkingsdelicten adalah bentuk delik yang paling tua. seperti larangan
membunuh, larangan mencuri, larangan memperkosa, larangan menganiaya dan
lain sebagainya. Delik-delik yang demikian dianggap merugikan atau menyakiti
secara langsung

7) Delik Berdiri Sendiri Dan Delik Lanjutan

Semua delik adalah delik Arti penting pembagian delik menjadi


zelfstandige delic (delik berdiri sendiri) dan voorgezette delic (delik lanjutan)
adalah dalam hal penjatuhan pidana. Pada hakikatnya yang berdiri sendiri. Akan
tetapi, dapat saja delik-delik yang berdin sendiri dilakukan terus menerus dalam
suatu rangkaian sehingg dipandang sebagai delik lanjutan. Sebagai contoh,
seseorang yang ingin merenovasi rumahnya, ia kemudian mencuri beberapa sak
semen di sebuah toko bangunan. Selang beberapa hari, ia kemudian mencuri pasir
di toko bangunan tersebut. Tidak berapa lama kemudian, orang tersebut kembali
mencuri bahan bangunan di toko yang sama Kendatipun antara satu pencurian
dengan pencurian yang lain merupakan zelfstandige delic, namun dilakukan
dalam satu rangkaian dan dianggap sebagai voorgezette delic karena tujuannya
adalah untuk merenovasi rumah.

8) Delik Persiapan, Delik Percobaan, Delik Selesai Dan Delik Berlanjut

Menurut Jan Remellink, salah satu bentuk delik abstrak adalah delik-delik
persiapan atau voorbereidingsdelicten. Delik persiapan ini ditujukan untuk delik
yang menimbulkan bahaya konkret tetapi tidak memenuhi unsur-unsur delik
percobaan". Contoh konkret voorbereidingsdelicten adalah Pasal 88 KUHP yang
berbunyi, "Dikatakan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun".

9) Delik Tunggal Dan Delik Gabungan

Secara sederhana delik tunggal adalah delik yang pelakunya dapat


dipidana hanya dengan satu kali saja melakukan perbuatan yang dilarang atau
tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan. Akan tetapi, dalam KUHP ada
beberapa pasal yang digolongkan sebagai samengestelde delic atau delik
gabungan. Secara objektif delik gabungan ini terlihat dari perbuatan-perbuatan
pelaku yang relevan satu sama lain, sedangkan secara subjektif delik gabungan
tersebut memperlihatkari motivasi dari pelaku.

10) Delik Biasa Dan Delik Aduan

Delik biasa atau biasa disebut gewone delic untuk melakukan proses
hukum terhadap perkara-perkara tersebut tidak dibutuhkan pengaduan.
Sebaliknya, ada beberapa delik yang membutuhkan pengaduan untuk memproses
perkara tersebut lebih lanjut. Delik-delik ini dikenal dengan klacht delic atau delik
aduan. Bahkan secara eksplisit syarat pengaduan tersebut dinyatakan dalam pasal.

Paling tidak ada tiga bab dalam KUHP yang berkaitan dengan delik aduan.
PERTAMA, Bab XVI KUHP tentang penghinaan atau defamation atau
belediging. Ada lima perbuatan yang dikualifikasikan sebagai penghinaan.
Pertama adalah menista atau smaad. Menista ini masih dibagi menjadi menista
secara lisan dan menista dengan tulisan.

KEDUA adalah kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan dan


pengancaman serta penggelapan. Pasal 367 ayat (2) KUHP mengatur, atau jika dia
keluarga sedarah atau semenda, "Jika dia adalah suami-istri yang terpisah meja
dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, a baik dalam garis lurus, maupun
garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin
diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan". Pasal 367
KUHP terkait pencurian dalam keluarga. Hal yang sama juga berlaku dalam Pasal
370 KUHP mengenai pemerasan dan pengancaman dalam keluarga serta Pasal
376 KUHP tentang penggelapan dalam keluarga.

KETIGA, kejahatan terhadap kesusilaan, yakni perzinahan. Dalam Pasal


284 ayat (2) KUHP disebutkan, "Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas
pengaduan suami atau istri yang tercemar dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal
27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur karena alasan itu juga".
11) Delik Sederhana Dan Delik Terkualifikasi

Delik sederhana atau eenvoudige delic adalah delik dalam bentuk pokok
sebagaimana dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan delik-delik
terkualifikasi atau gequalificeerde delic adalah delik-delik dengan pemberatan
karena keadaan-keadaan tertentu. Pasal 372 KUHP, "Barangsiapa dengan sengaja
dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi barang yang ada
dalam kekuasaannya bukan hasil kejahatan, diancam karena penggelapan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh
rupiah".

12) Delik Kesengajaan Dan Delik Kealpaan

Sengaja atau opzet atau dolus dan alpa atau schuld atau culpa adalah
bentuk-bentuk kesalahan dalam hukum pidana. Pembagian kejahatan ke dalam
delik kesengajaan dan delik kealpaan hanya menandakan bentuk kesalahan dalam
suatu rumusan delik. Konsekuensi bentuk kesalahan ini berimplikasi pada berat-
ringannya pidana yang diancamkan. Delik kesengajaan menghendaki bentuk
kesalahan berupa kesengajaan dalam rumusan delik. Sedangkan delik kealpaan
menghendaki bentuk kesalahan berupa kealpaan dalam rumusan delik.

F. Locus Delicti dan Tempus Delicti

Pentingnya penentuan suatu lokasi atau tempat terjadinya suatu tindak pidana
yang disebabkan adanya asas teritorial yang berlaku, yang mana tindak pidana
yang terjadi berada dalam wilayah hukum Indonesia atau tidak. Terdapat beberapa
macam pandangan dalam menentukan lokasi terjadinya suatu tindak pidana antara
lain berdasarkan dimana akibat perbuatan tindak pidana terjadi, meskipun
akibatnya tidak langsung terjadi ditempat kejadian.  Penentuan lokasi (Locus
Delicti) dalam suatu tindak pidana berguna untuk menentukan tempat atau lokasi
dimana perkara akan diadili oleh pengadilan yang berwenang.
Locus Delicti berasal dari kata Locus yang berarti tempat atau lokasi
dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Penentuan tempat terjadinya
suatu tindak pidana memiliki arti yang penting untuk menentukan tempat
pengadilan yang berwenang dalam mengadili suatu tindak pidana tersebut.21
Terdapat 3 teori yang membahas mengenai locus delicti yaitu:

a. Teori Perbuatan Materiel (Ieer van de lichamelijke)

Menurut teori ini locus delicti merupakan tempat dimana seseorang melakukan


suatu tindak pidana. Apabila telah ditentukan mengenai dimana tempat tindak
pidana dilakukan maka dapat ditentukan juga mengenai pengadilan mana yang
berwenang untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut.

b. Teori Alat (Ieer van het instrumen)

Menurut teori ini locus delicti dititikberatkan pada tempat dimana alat yang


digunakan untuk melakukan sutau tindak pidana berada atau berdasarkan tempat
bekerjanya alat yang digunakan oleh si pelaku.

c. Teori Akibat (Ieer van het gevlog)

Menurut teori ini locus delicti ditentukan karena adanya akibat yang muncul dari
perbuatan yang telah terjadi atau ditentukan menurut dimana akibat yang muncul
terjadi setelah terjadinya tindak pidana tersebut.

Selain adanya istilah Locus Delicti, ada juga istilah Tempus delicti. Tempus


delicti berasal dari kata Tempo yang berarti waktu dan Delicti yang berarti delik
atau tindak pidana. Jadi Tempus Delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau
tindak pidana.22 Tempus delicti penting untuk menentukan waktu atau kapan
21
Prof. Masruchin Ruba’i, Hukum Pidana, Malang: MNC Publishing, 2015

22
Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika
Aditama 2011
terjadinya suatu tindak pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu undang-
undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi
tersebut. Suatu undang-undang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu delik
atau tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan
memutuskan suatu tindak pidana. Oleh karena itu hal ini berkaitan dengan
undang-undang tidak berlaku surut.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

, hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-


peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya,
dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah
melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan
telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan suatu
penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.

Dalam pasal 51 dijelaskan bahwa hukum pidana dan pemidanaan


bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat (pencegahan) serta
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan
agar menjadi orang yang baik dan berguna (rehabilitasi). tujuan pidana penjara
adalah pemasyarakatan. Dasar untuk pembinaan para terhukum ialah yang lazim
disebut treatment philosophy atau behandelingsfilosofie. Istilah pemasyarakatan
dapat disamakan dengan resosialisasi dan/atau rehabilitasi

Subjek tindak pidana adalah orang yang melakukan tindakan yang


melanggar hukum pidana. Subjek tindak pidana dapat berupa individu, kelompok,
atau badan hukum. Dalam hukum pidana, seseorang dianggap sebagai subjek
tindak pidana apabila dia melakukan tindakan yang melanggar ketentuan hukum
pidana yang ada.

SARAN

Setelah menyusun makalah terkait ilmu hukum pidana, maka penulis


menyarankan bagi pembaca untuk lebih memahami tentang pengetahuan hukum
pidana beserta sanksi nya untuk menjadikan sebagai edukasi agar punya wawasan
dan pandangan terkair masalah masalah pidana.
Penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, kami selaku penulis
meminta maaf atas kekurangan yang ada di makalah ini sehingga kami juga
sangat memerlukan saran dan kritik dari pembaca agar bisa menjadi pembelajaran
kami untuk kedepannya, terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Ishaq. Hukum Pidana. Depok: Rajawalin Pers, 2020.

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma


Pustaka. 2016.

Wirjono Prodjodikoro, Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, P.T Eresco,


Jakarta , 1980, hlm. 3.
Asikin, Zainal dan Amirruddin, H. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Rosyidi Imron, Hukum Pidana, Surabaya : Revka Prima Media , 2022

Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta :


Alumni AHAEM – PETAHAEM, 1989

Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta- Bandung


: PT Eresco, 1981

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni,
Bandung, 2010

Remelink Jan, Hukum Pidana, Jakarta P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2003

Nuryanto, Perbuatan Pidana dan Perlindungan Hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11,
No. 2 (2018), hal. 189-198.

Hamzah dan Siti Rahayu, Pendapat Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni
Bandung, 1977, hlm 30.
Prof. Masruchin Ruba’i, Hukum Pidana, Malang: MNC Publishing, 2015

Efendi Erdianto, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika


Aditama 2011

Anda mungkin juga menyukai