Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH HUKUM PENITENSIER

PIDANA DAN PEMIDANAAN

Disusun Oleh :

Ade Juliany Pasaribu (2110113119)

Ainul Mardiah (2110112055)

Khazanatul Huda (2110111135)

Michell Hanswi (2110117028)

Rima Melati (2110113111)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat

menyelesaikan makalah yang membahas tentang “PIDANA DAN PEMIDANAAN” dengan tepat waktu. Tak

lupa sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjugan kita yakni Nabi Muhammad SAW sang

pilihan dan sang pemilik ukhwah.

Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pengampu dan teman-teman yang telah mencurahkan tenaga

dan waktunya sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Makalah ini

disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Penitensier. Selain itu, bertujuan untuk

memperdalam pengetahuan dan pemahaman, serta meningkatkan kemampuan Analisa penulis terkait

pidana dan pemidanaan.

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis telah berusaha untuk menyelesaikan makalah ini dengan

baik. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi keselamatan pembaca.

Demikianlah makalah ini penulis susun, semoga bermamfaat bagi pembaca. Terimakasih kepada

pembaca dan khususnya terimakasih kepada bapak DR. A. Irza Rias SH, MH sebagai dosen pengampu

dalam mata kuliah Hukum Penitensier 2.5

Padang, 11 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………………………………….. 1

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………………………………. 2

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………………………………………………………. 3


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………………………………………….. 4
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………………………………………………. 4

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pidana dan Pemidanaan …………………………………………………………………………………………. 4

2.2 Tujuan Pemidanaan ……………………………………………………………………………………………………………….. 8

2.3 Jenis-Jenis Pemidanaan ………………………………………………………………………………………………………….. 9

2.4 Dasar Pembenaran Pemidanaan …………………………………………………………………………………………….. 16

2.5 Pengaturan Tentang Ancaman Pidana ……………………………………………………………………………………. 18

BAB III : PENUTUP

3.1 KESIMPULAN ………………………………………………………………………………………………………………………. 25

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………………………….. 27


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pidana dan Pemidanaan merupakan dua hal yang berkaitan dalam mempelajari hukum

pidana. Hukum penitensier memfokuskan dalam pembahasan kedua materi tersebut, hal ini selaras

dengan fakta bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum sebagai mana tertuang dalam UUD

1945.

Berbicara mengenai hukuman dalam hukum pidana, khususnya berkenaan dengan Hukum

Penitensier atau Hukum Penghukuman atau Hukum Pemidanaan, atau ada yang menyebutkannya

Hukum Peniten-sia senantiasa merupakan suatu wacana yang menarik. Studi mengenai hal ini telah

berkembang menjadi suatu mata kuliah terpisah dari Asas-asas Hukum Pidana (yang dalam

kurikulum berbagai Fakultas Hukum kini, lebih dikenal dengan sebutan Hukum Pidana).

Perkembangan ten-tang bidang pidana dan pemidanaan semakin mengemuka, mengingat hakikat

pidana sebagai penderitaan yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan tindak

pidana, yang dalam penerapannya akan bersinggungan dengan hak asasi manusia. Bukan hanya

menyang-kut kriteria pengancaman, penjatuhan suatu jenis atau macam pidana dalam rangka

pembalasan, dan perlindungan serta pengayoman masya-rakat, tetapi juga bagaimana upaya untuk

memperbaiki pelaku yang ter-sesat, dan mengembalikan kepercayaan masyarakat serta memberikan

pengampunan terhadap “dosa” yang

dilakukan oleh si pelaku.

Selain itu, pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan akibat globalisasi, turut

mewarnai corak pidana dan pemidanaan di suatu negara. Pengaruh interaksi dengan negara-negara

lain dan organisasi-organisasi dunia, seperti PBB, pun merupakan salah satu aspek yang sangat

menentukan agar suatu negara mendapatkan tempat dalam pergaulan dunia. Apalagi jika dikaitkan
dengan pendapat bahwa hukum pida-na suatu bangsa adalah cermin peradaban suatu bangsa atau

indikasi dari peradaban bangsa itu (a mirror of civilization of a nation). 1

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian pidana dan pemidanaan?

2. Apa tujuan adanya pemidanaan?

3. Apa saja jenis-jenis pidana?

4. Apa dasar pembenaran pemidanaan?

5. Apa pengaturan tentang ancaman pidana?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai pengertian pidana dan pemidanaan

2. Untuk dapat membedakan ap aitu pidana dan pemidanaan

3. Untuk memperluas wawasan serta pengetahuan mengenai hal-hal yang terkait pidana dan

pemidanaan

4. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan secara detail mengenai pidana dan pemidanaan

sehingga mempermudah mahasiswa dalam mempelajari hal tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pidana dan Pemidanaan

A. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang diartikan sebagai suatu penderitaan

(nestapa) yang semgaja dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan

1
S.R Sianturi & Mompang L. Panggabean, Hukum Penitensier di Indonesia, Alumni Ahaem Petehaem, Jakarta, 1996,
hal. 1
suatu tindak pidana. Secara Etimologi penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana.

Untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman,

pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. Berikut ini pendapat

para ahli tentang istilah “pidana” secara etimologis:

a) Moelyatno

Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal

dari perkataan “woedt gestraf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau

tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang non

konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata ”straf” dan “diancam dengan

pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Menurutnya, kalau “straf”

diartikan “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya diartikan “hukum hukuman

b) Sudarto

“Penghukuman” berasal dari kata “hukum” sehingga dapat diartikan sebagai

“menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya” (berechten).. Dengan

demikian, menurutnya bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk

pengganti kata “starft” namun istilah “pidana” lebih baik digunakan daripada

“hukuman”.

c) Jimly Asshiddiqie

“Pidana merupakan hukuman/sanksi yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara

yaitu melalui pengadilan dimana hukuman/sanksi itu dikenakan pada seseorang yang

secara sah telah melanggar hukum pidana dan sanksi itu dijatuhkan melalui proses

peradilan pidana. Adapun proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan

proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian,

kejaksaan,pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan

penanganan dan pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan”. 2

2
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan , Sinar Grafika, Depok, 2004, hlm. 21
Berikut defenisi pidana menurut para ahli:

a) Sudarto

Secara tradisional, pidana didefinisikan sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara

kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-

undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.

b) Van Hamel

Adari pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah

dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama

negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar,

yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum

yang harus ditegakkan oleh negara.

c) Simons

Pidana merupakan suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah

dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma, yang dengan suatu putusan hakim

yang telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.

d) Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Dwija Priyatno

Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakikatnya adalah suatu

penderitaan atau nestapa, diantaranya adalah: Menurut Hulsman, hakikat pidana

adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen). Pidana pada hakikatnya

mempunyai dua tujuan utama, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku

(gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). 3 Dalam hal ini

pidana sebagai bagian dari reaksi sosial kadang terjadi pelanggaran terhadap norma-

norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat

yang merupakan penegasan ataspelanggaran terhadap “hati nurani bersama“

3
Dwi Priyatno, 2007, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm. 8-
9.
sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa

konsekuensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan”. 4

B. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian

sanksi dalam hukum pidana. Pidana diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan

sebagai penghukuman.

“Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana (sentencing) sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh

hukum untuk mengenakan sanksi pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai

hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri” 5 Menurut Prof

Sudarto, bahwa penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai

“menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang hukumanya” 6

Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan

tersebut tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan yang serupa. Disini

terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan ditujukan sebagai upaya balas dendam,

melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya

preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat

benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:

 Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;

 Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

 Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

2.2 Tujuan Pemidanaan

4
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan , Sinar Grafika, Depok, 2004, hlm. 25

5
Ibid.
6
Muladi dan Barda Nawawi A., 1984, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm.01
Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan

suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk mengetahui tujuan serta fungsi

pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada. Patut diketahui, bahwa

tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk

melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-

Suringa yang mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa

musuh tidaklah boleh dibenci. 7Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana para

ahli menyatakan bahwa hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan .

Berikut teori tentang tujuan pemidanaan ada 3, yaitu:

a. Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien)

Para penganutnya antara lain: E. Kant, Hegel,Leo Polak. Mereka berpandapat bahwa

hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan

demikian orang yang salah harus dihukum

Emmanuel Kant menyebutkan bahwa “apabila seseorang telah membunuh orang lain,

maka orang tersebut harus dibunuh pula”. 8Jadi, teori pembalasan ini adalah teori yang

berpatokan bahwa bukan dengan cara dikembalikan atau diberi edukasi agar orang tersebut

tidak kembali melakukan suatu tindak pidana, namun juga harus diberikan suatu pembalasan

agar orang tersebut mengerti bagaimana posisi korban.

b. Teori relatif / teori tujuan (Doel Theorien)/ (De Relatieve Theorien)

Tujuan teori ini lebih menitikberatkan kepada mendidik orang agar tidak melakukan suatu

tindak pidana dengan cara menakut-nakuti orang agar orang tersebut tidak melakukan delik.

Mengacu kepada Tujuan dari pidana, menuurut Wirjono Prodjodikoro tujuan dari hukum pidana

ialah untuk memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya ia mengatakan, “Di antara para sarjana hukum

diutarakan bahwa tujuan hukum pidana ialah”:


7
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
8
Prof. Dr. A. S. Alam, 2010, Pengantar Kriminologi, Makassar, Pustaka Refleksi, hlm. 81
 Untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang

banyak (generale preventie), maupun menakut-nakuti orang tertentu yang telah melakukan

kejahatan, agar di kemudian hari ia tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie);

 Untuk mendidik atau memperbaiki orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan,

agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 9

c. Teori gabungan (Vernegins Theorien)

Teori ini menitikberatkan pada pandangan bahwa pidana hendaknya didasarkan pada tujuan

pembalasan namun juga mengutamakan tata tertib dalam masyarakat, dengan penerapan

secara kombinasi yang menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan

unsur lainnya maupun dengan mengutamakan keseimbangan antara kedua unsur ada.

M. Shoelehuddin mengemukakan sifat dari unsur-unsur pidana berdasarkan atas tujuan

pemidanaan tersebut, yaitu:

 Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat

seseorang.

 Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas

perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan

konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.

 Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum

maupun oleh korban penanggulangan kejahatan)10

2.3 Jenis-jenis Pidana

Jenis-jenis pidana dalam KUHP yang menentukan bahwa perbuatan pidana atau hukuman dapat

dipahami sebagai suatu penderitaan atau nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh negara kepada

setiap orang yang terbukti telah melanggar aturan-aturan pidana yang terdapat dalam undang-undang.

9
Pipin Syarifin, 2008, Hukum Pidana DI Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 22
10
Amir Ilyas, dan Yuyun Widaningsih,2010, Hukum Korporasi Rumah Sakit, Yogyakarta hlm. 13
Penderitaan berupa pidana yang dapat ditimpakan itu haruslah sesuatu yang secara eksplisit ditentukan

dalam undang-undang. Artinya, orang tidak dapat dikatakan sanksi berupa pidana di luar dari apa yang

telah ditentukan undang-undang.

Oleh karena itu, dalam hal penjatuhan pidana hakim tidak terikat pada jenis-jenis sanksi pidana

yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Ini sudah merupakan pendirian dari Mahkamah Agung RI

yang secara tegas ditentukan dalam Putusan MA RI tanggal 11 Maret 1970 No. 59K/KR/1969 dan

Putusan MA RI tanggal 13 Agustus 1974 No. 61 K/KR/1973 yang menentukan bahwa perbuatan

menambah jenis-jenis pidana yang telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana

adalah terlarang. Hukum pidana Indonesia menentukan jenis-jenis pidana itu atas pidana pokok dan

pidana tambahan. Hal tersebut disebutkan secara tegas pada Pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai

berikut:

Pidana terdiri atas:

1.Pidana Pokok

a. Pidana Mati

Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan mempergunakan sebuah

jerat di leher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan

pada tempat orang itu berdiri. Menurut Pasal 11 KUHP, cara ini yang dipakai Indonesia (dalam

perkembangannya diatur lebih lanjut dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana

Mati di Indonesia). Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari brigade mobil (brimob) yang

dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati.

Regu tembak tersebut terdiri dari seorang bintara, 12 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang

perwira. Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana hamil, pelaksanaan pidana mati

baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan. Tentang pelaksanaan pidana mati diatur

dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964.

Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:

1) Makar, membunuh kepala negara (Pasal 104).

2) Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (Pasal 3 ayat 2).


3) Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (Pasal 24 ayat 3)

4) Membunuh kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat 3).

5) Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (Pasal 140 ayat 3 dan 340).

6) dan lain-lain.

b. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu sesuai dengan Pasal 12 ayat (1)

KUHP dan pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima

belas tahun berturut-turut berdasarkan Pasal 12 ayat 2 KUHP. Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat

(1) KUHP dikenal pidana penjara dengan sistem minimum umum paling pendek satu hari dan maksimum

umum paling lama 15 (lima belas) tahun berturut- turut. Sementara itu, ketentuan pada ayat (3) jo ayat

(4), Pasal 12 KUHP mengenal pidana penjara dengan sistem maksimum khusus (boleh dijatuhkan untuk

20 (dua puluh) tahun berturut-turut).

Pasal 29 ayat (1) dan (2), yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Hal menunjukkan tempat untuk menjalani pidana penjara, kurungan atau kedua-duanya, begitu juga

hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu; hal membedakan orang terpidana dalam golongan-

golongan, hal yang mengatur pekerjaan, upah pekerjaan, dan perumahan terpidana yang berdiam di luar

penjara, hal yang mengatur pemberian pengajaran, penyelenggaraan ibadat agama, hal tata tertib, hal

tempat untuk tidur, hal makanan dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai

dengan kitab undang-undang ini.

(2) Jika perlu menteri kehakiman menetapkan aturan rumah tangga untuk tempat-tempat orang

terpidana.

c. Pidana Kurungan

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu pidana berupa

pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang

tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban untuk memenuhi semua

ketentuan tata tertib lembaga pemasyarakatan. Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai
pokok pidana ataupun pengganti pidana denda. Pidana kurungan terdiri dari sebagai berikut:

1) Kurungan Principle

Lamanya minimal 1 (satu) hari maksimum 1 (satu) tahun, dan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan

dalam hal-hal gabungan tindak pidana, penggabungan tindak pidana dan aturan dalam Pasal 52 KUHP.

2) Kurungan Subsider

Lamanya minimal 1 (satu) hari maksimum 6 (enam) bulan dan dapat ditambah sampai 8 (delapan) bulan

dalam ini gabungan tindak pidana, pengulangan tindak pidana dan aturan pelanggaran dalam Pasal 52

KUHP.

Pada dasarnya pidana kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seseorang yang

dijatuhi pidana denda, yakni apabila ia tidak dapat/tidak mampu untuk membayar denda yang harus

dibayarnya. Terdapat perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan, antara lain sebagai

berikut:

1) Pidana penjara dapat dijatuhkan dalam lapas di mana saja, sedangkan pidana kurungan tidak dapat

dijalankan di luar daerah di mana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu

dijatuhkan.

2) Orang yang dipidana penjara pekerjaannya lebih berat daripada pidana kurungan dan tanpa waktu

bekerja tiap hari bagi terpidana penjara selama 9 (sembilan) jam, sedangkan bagi pidana kurungan

hanya 8 (delapan) jam.

3) Orang-orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole, yaitu hak untuk memperbaiki

keadaannya dalam rumah penjara atas biaya sendiri, sedangkan terpidana penjara tidak memiliki hak

tersebut

Dalam RKUHP Tahun 2019 sudah tidak lagi mencantumkan pidana kurungan sebagai jenis pidana di

Indonesia.

d. Pidana Denda

Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang. Pidana denda ini biasa

diancamkan/dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan, yakni berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.

Oleh karena itu, pidana denda adalah satu-satunya jenis pidana pokok yang dapat dipikul orang lain,
selain terpidana. Dalam KUHP pengaturan pidana denda ini diatur dalam Pasal 30 dan 31 KUHP.

Pasal 30 KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Pidana denda paling sedikit adalah Rp3,75 sen.

(2) Jika pidana denda tidak dibayar ia diganti dengan pidana kurungan.

(3) Lamanya kurungan pengganti sedikitnya 1 (satu) hari dan paling lama 6 (enam) bulan.

(4) Pengganti ditentukan sebagaimana berikut. Jika tindak pidana Rp7,5 sen atau kurungan dihitung 1

(satu) hari, jika lebih Rp7,5 sen, tiap-tiap kelebihan itu dihitung 1 (satu) hari demikian pula sisanya yang

tidak cukup Rp7,5 sen.

(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena

ketentuan Pasal 52 KUHP maka pidana kurungan pengganti paling lama dapat menjadi 8 (delapan) bulan.

(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih 8 (delapan) bulan.

Kemudian, Pasal 31 KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu

pembayaran denda.

(2) Setiap waktu ia berhak dilepas dari kurungan pengganti jika ia membayar dendanya.

(3) Pembayaran sebagian pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalankan pidana

kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan

bagian yang dibayarnya.

2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu merupakan pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP.

Hak-hak yang dapat dicabut itu, antara lain:

1) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2) hak memasuki angkatan bersenjata;

3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

4) hak untuk menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali
pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

5) hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri;

6) hak menjalankan mata pencaharian tertentu. Pencabutan beberapa hak tertentu ini diberikan kepada:

1) menyuruh melakukan dan mengeluarkan surat palsu kepada pembesar negeri/pejabat pemerintah

(dilihat Pasal 317 KUHP);

2) perbuatan memfitnah sehingga orang lain melakukan tindak pidana (Pasal 318 KUHP);

3) karena kekhilafan melakukan penahanan (Pasal 334 KUHP);

4) menggugurkan kandungan, baik dengan izin/tanpa izin wanita yang hamil tersebut (Pasal 347 dan 348

KUHP);

5) melakukan pembunuhan;

6) melakukan pencurian, baik yang biasa/memberatkan/pencurian dengan kekerasan /ancamannya

berakibat luka/mati (Pasal 362, 363, dan 365 KUHP);

7) tindak pidana penggelapan;

8) tindak pidana penggelapan karena jabatan

b. Perampasan Barang-Barang Tertentu

Menurut Pasal 39 KUHP, ada dua jenis barang yang dapat dirampas, yaitu sebagai berikut:

1) Barang yang dirampas dari suatu kejahatan

2) Barang yang digunakan untuk suatu kejahatan

Dengan demikian, Pasal 39 KUHP ini memiliki tiga petunjuk data,

yaitu sebagai berikut:

1) Barang yang dapat dirampas adalah barang yang diperoleh dari kejahatan dan barang yang digunakan

untuk kejahatan.

2) Hanya untuk kejahatan saja tidak untuk pelanggaran.

3) Barang yang dirampas milik yang terpidana saja.


Terdapat dua bentuk pidana kurungan pengganti, yaitu:

1) pidana kurungan pengganti denda;

2) pidana kurungan pengganti barang-barang.

Seorang terpidana dibebaskan dari terpidana kurungan apabila pidana kurungan pengganti perampasan

barang yang pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan besarnya sama dengan nilai yang dirampas.

Pidana kurungan pengganti denda hanya dapat dibebaskan dengan membayar denda yang ditetapkan

dengan putusan hakim. Pidana kurungan ini dapat diperpanjang paling lama 6 bulan, sedangkan pidana

kurungan pengganti barang tidak dapat diperpanjang dari batas maksimum 6 bulan.

c.Pengumuman Putusan Pidana Oleh Hakim

Pengumuman putusan pidana oleh hakim senantiasa diucapkan di muka umum, tetapi bila dianggap

perlu, di samping sebagai pidana tambahan, putusan tersebut akan langsung disiarkan sejelas-jelasnya

dengan cara yang ditentukan oleh hakim, misalnya melalui:

1)televisi;

2)radio;

3)surat kabar, dan lain-lain.

Semuanya itu atas biaya orang yang dihukum yang dapat dipandang sebagai suatu pengecualian karena

pada umumnya penyelenggaraan hukuman itu harus dipikul oleh negara. Dalam pengumuman putusan

pidana menurut Pasal 93 Rancangan KUHP Tahun 2019, sebagai berikut:

(1) Jika dalam putusan pengadilan diperintahkan supaya putusan diumumkan, harus ditetapkan cara

melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.

(2) Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana, maka

diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

3. Pidana Bersyarat

Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) terdapat pada Pasal 14 KUHP. Pidana bersyarat adalah

suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang telah

ditetapkan dalam putusan hakim. Ketentuan tentang pidana bersyarat itu terdapat pada Pasal 14a
sampai dengan f KUHP diwaris dari Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat

perbedaan antara keduanya. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada Pasal 10

KUHP, hanya batas pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan. Pasal 14c KUHP

menyatakan bahwa apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama atau pidana kurungan, dalam

putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari

ada putusan hakim yang memang lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana

sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau karena terpidana

selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam perintah itu. Pidana

bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila hakim, yakin bahwa pembayaran denda

betul-betul dirasakan berat oleh terpidana. Berdasarkan Pasal 14c ayat (1) di atas pidana bersyarat dapat

diadakan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama 1 tahun/ pidana kurungan. Jadi, yang

menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan, melainkan pidana penjara yang dijatuhkan pada

terdakwa. Terpidana yang diberikan pidana bersyarat haruslah memenuhi syarat-syarat

tertentu, yaitu sebagai berikut:

a) Syarat umum

Terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.

b) Syarat khusus

Syarat ini ditentukan oleh hakim. Di samping itu juga, dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai

tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan/selama sebagian masa percobaan.

2.4 Dasar Pembenaran Pemidanaan

Dasar pembenaran dari penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana terletak pada adanya

atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada

pelaku. Dasar pembenaran pidana terdapat di dalam kategorischen imperatif, yakni yang menghendaki

agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Pembalasan merupakan suatu keharusan

menurut keadilan dan menurut hukum. Keharusan menurut keadilan dan menurut hukum tersebut,
merupakan keharusan mutlak, hingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata

didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan.

Beberapa titik pangkal pemikiran mengenai dasar pembenaran pemidanaan sebagai berikut:

1. Dasar pembenaran ketuhanan (theologic)


a. Menurut Stahl
Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan tuhan yang memberi
kekuasaan kepada penguasa.
b. Menurut Gewin
“Penguasa adalah abdi Tuhan.” Untuk mendukung teorinya, ia mengutip dari Roma 13:
4, di mana anak kalimat terakhir menyatakan, “ karena tidak percuma pemerintah
menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah
atas mereka yang berbuat jahat.” Selanjutnya Gewin mengatakan bahwa tidak boleh ada
pe- midanaan karena dendam dan rasa pembalasan, melainkan karena pelaku/petindak
telah berdosa (quia peccatum est) Dengan demikian pidana adalah tuntutan keadilan dan
kebenaran Tuhan.
c. Menurut Thomas Aquino
“Negara sebagai pembuat undang-undang, sedang hakim bertindak atas kekuasaan dari
Tuhan.”
Pendapatnya ini didasarkan pada Jakobus 4: 12 yang berbunyi, “Hanya ada satu
Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan
membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu
manusia?”
Sehubungan dengan pembicaraan mengenai dasar pembenaran ketuhanan ini, selain
yang tersebut di atas, cukup banyak ayat-ayat dalam Alkitab yang menerangkan hal itu. 11
2. Dasar pembenaran filsafat (philosophie/wijsbegeerte)
a. Dasar kehendak manusia (masyarakat)
Jean Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contrat Social menyebutkan tentang Volonte
Generale (perjanjian masyarakat volonte= sukarela, generale= umum, publik). Disebut
juga sebagai ajaran kedaulatan rakyat (Vox populi, vox Dei, yang berarti bahwa suara
rakyat adalah suara Tuhan). Setiap warga negara memberikan sebagian hak asasinya
kepada negara, yang untuk itu ia mendapat perlindungan kepentingan pribadinya.
b. Dasar metode hukum alam
Grotius mengatakan bahwa barang siapa melakukan kejahatan akan mendapatkan
sesuatu yang jahat (Malum passionis, quod infligitur propter malum actionis Wie kwaad
gedaan heeft, kwaad moet ondervinden).

3. Dasar perlindungan hukum (juridic)


11
Beberapa ayat dimaksud antara lain: • “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah
oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambarNya Sendiri.” (Kejadian 9: 6) • “..... sebab berlaku
nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.” (Ulangan 19: 21) Dalam
perkembangan selanjutnya, hal-hal yang sangat kuat dianut pada masa Perjanjian Lama tersebut,
disempurnakan/digenapi dengan adanya ajaran yang diberikan oleh Yesus Kristus. Hal ini terlihat dalam dua ayat
berikut. • “Janganlah kamu menyangka Aku datang untuk meniadakan Hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku
datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5: 17). • “Kamu telah mendengar
firman : Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
a. Menurut Van Hamel
Dasar pemidanaan terletak pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku umum.
b. Menurut Simons
Dasar pembenaran pemidanaan adalah tujuan dari pemidanaan yang merupakan
pembinaan di samping pembalasan sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan. Bentham juga mencari dasar hukum pemidanaan bertolak pangkal
kepada kegunaan dan kepentingan penerapan ketentuan pidana demi perlindungan
hukum dalam rangka mencapai ketertiban hukum.

Menutup uraian tentang dasar pembenaran pemidanaan ini, perlu diingat pendapat Prof. Muladi,
yang mengatakan bahwa:
1) Pada teori absolut, dasar pembenaran pemidanaan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu tindak pidana/kejahatan (quiapeccatum est)
2) Pada teori relatif, dasar pembenaran pemidanaan terletak pada tujuannya yaitu supaya
orang jangan melakukan tindak pidana( nepeccetur) 12

2.5 Pengaturan Tentang Ancaman Pidana

Pemidanaan dalam KUHP dilihat dari sudut kajian, yaitu ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I

KUHP dan perumusan ancaman sanksi pidana dalam Buku II dan Buku III KUHP.Perumusan ancaman

pidana dalam Buku I KUHP mengacu kepada norma pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal

10 KUHP, yaitu :

Pasal 10 KUHP terdiri atas:

a. pidana pokok:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

b. pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu;

12
Muladi dan Barda, Teori-teori dan Kebijakan ….., Op.cit, hal. 10, 16
2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim

Ketentuan pidana tersebut metode pengamanannya dalam norma hukum pidana diatur dalam Pasal 11

sampai dengan Pasal 43 KUHP. Ketentuan pemidanaan dalam Buku I KUHP ini diformulasikan secara

konsisten dalam norma hukum pidana dalam Buku II dan Buku II KUHP. Fungsi ketentuan umum hukum

pidana dalam Buku I benar-benar menjadi pedoman dalam memformulasikan ancaman pidana dalam

norma hukum pidana dan dalam pelaksanaan pidana Ditinjau dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum

pidana, yaitu pidana, perbuatan pidana, dan pertanggungjawaban pidana, muatan hukum pidana dalam

KUHP yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai:

a. Pidana atau pemidanaan:

KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga pidana dijatuhkan ditafsirkan

sesuai dengan pandangan aparat penegak hukum dan hakim yang masing-masing memiliki interpretasi

yang berbeda. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku, dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi

pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam

KUHP yang demikian itu jelas tidak memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat

untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana pidana

mati, pidana denda, pidana penjara, dan pidana bagi anak. Sistem beracara pidana pada kasus yang

diancam dengan hukuman mati (pasal 340 KUHP) dan yang tidak dengan ancaman pidana mati (pasal

338 KUHP) prosedurnya sama, tidak mempunyai perbedaan dan tidak mempunyai kualifikasi dan

prosedur yang berbeda. Sebagai contoh, seorang didakwa mencuri ayam dan seorang yang didakwa

dengan pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati, prosedurnya sama. Hal ini seringkali

memunculkan adanya praktek-praktek rekayasa yang dapat mencederai rasa keadilan di dalam

masyarakat.

Menurut KUHP ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut

1. Pidana Mati

Pengaturannya :
- Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada tindak pidana yang sangat

berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

- Menurut UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang

Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan dengan cara tembak

mati.

2. Pidana penjara

Pengaturannya :

- Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum 15

tahun)

- Boleh 20 tahun berturut-turut, jika:

*ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu,

*ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52)

- Tidak boleh melebihi 20 tahun.

- Dapat ditambah pidana tambahan

- Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2

tahun.

- Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.

3. Pidana kurungan

Pengaturannya :

- Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun.

- Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan.

4. Pidana Denda

Pengaturannya :
- Minimal umum Rp 3,75

- Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti.

* Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau

dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan. Deskripsi penormaan hukum pidana dan pengancaman sanksi

pidana dalam KUHP dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Pengaturan sistem pengancaman pidana dalam KUHP diatur dalam pedoman umum pengancaman

pidana dimuat dalam Buku I tentang Ketentuan Umum:

a. Jenis pidana (dimuat dalam Pasal 10 KUHP)

b. Cara pengancaman pidana

c. Penjatuhan pidana perbarengan

d. Pemberatan dan pemeringan pidana

2. Formulasi pengaturan pengancaman pidana dalam Buku II KUHP:

a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 123 kali, dengan rincian :

1) Ancaman pidana denda saja sebanyak 1 kali dengan menggunakan rumusan "pidana denda‟ saja yang

ditujukan kepada pengurus perseroan yang turut andil dalam menerbitkan ijin untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar.

2) Ancaman pidana denda sebagai pidana alternatif pidana lain sebanyak 122 kali yang didahului dengan

frase " atau pidana denda‟.

b. Pidana kurungan diterapkan sebanyak 37 kali dengan rincian:

1) Pidana kurungan dipergunakan sebagai ancaman pidana pokok sebanyak 9 kali yang prumusannya

diawali dengan kata "dengan pidana kurungan‟.

2) Pidana kurungan sebagai pidana alternatif dari pidana lain dipergunakan sebanyak 28 kali yang dalam

prumusannya diawali dengan kata "atau pidana kurungan‟.


c. Pidana mati dipergunakan sebagai ancaman sanksi pidana sebanyak 10 kali dengan cara

pengancaman:

1) Pidana mati sebagai pidana pokok terberat

2) Pidana mati selalu diancamkan sebagai pidana pemberatan ditujukan kepada delik yang dikualifisir.

3) Pidana mati selalu dialternatifkan sebagai pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara paling

lama 20 tahun.

d. Pidana Penjara dipergunakan sebagai ancaman pidana sebanyak 485 kali dengan rincian:

1) Kedudukan sanksi pidana penjara sebagai pidana pokok, sebagai alternatif atau sebagai pidana yang

bersifat sementara atau sebagai pidana pengganti.

2) Pidana penjara dengan hitungan tahun sebagai ancaman pidana pokok dipergunakan sebanyak 274

kali.

3) Pidana penjara baik dengan hitungan tahun atau seumur hidup dipergunakan sebanyak 292 kali.

4) Pidana penjara diancamkan sebagai ancaman pidana alternatif dari ancaman pidana lain dipergunakan

sebanyak 26 kali.

e. Perumusan sanksi pidana penjara dalam Buku II dideskripsikan sebagai berikut:

1) Pidana Penjara paling lama 1 bulan = 3 kali

2) Pidana Penjara paling lama 1 tahun = 48 kali

3) Pidana Penjara paling lama 1 tahun 6 bulan = 6 kali

4) Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 36 kali

5) Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 37 kali

6) Pidana Penjara paling lama 3 bulan = 9 kali

7) Pidana Penjara paling lama 3 tahun = 5 kali


8) Pidana Penjara paling lama 4 tahun = 47 kali

9) Pidana Penjara paling lama 5 tahun = 30 kali

10) Pidana Penjara paling lama 6 bulan = 5 kali

11) Pidana Penjara paling lama 6 tahun = 17 kali

12) Pidana Penjara paling lama 7 tahun = 41 kali

13) Pidana Penjara paling lama 8 tahun = 14 kali

14) Pidana Penjara paling lama 9 bulan = 36 kali

15) Pidana Penjara paling lama 9 tahun = 19 kali

16) Pidana Penjara paling lama 12 tahun = 28 kali

17) Pidana Penjara paling lama 15 tahun = 28 kali

18) Pidana Penjara paling lama 20 tahun = 7 kali

19) Pidana Penjara seumur hidup = 23 kali

3. Pengaturan pengancaman pidana dalam Buku III KUHP:

a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 84 kali dengan rincian:

1) Pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan sebanyak 8 kali

2) Pidana denda sebagai alternatif pidana kurungan dipergunakan sebanyak 35 kali.

3) Pidana denda sebagai pidana pokok dipergunakan sebanyak 39 kali.

b. Pidana kurungan dipergunakan sebanyak 55 kali dengan rincian sebagi berikut:


1) Pidana kurungan paling lama 1 bulan sebanyak 7 kali

2) Pidana kurungan paling lama 1 tahun sebanyak 1 kali

3) Pidana kurungan paling lama 10 hari sebanyak 2 kali

4) Pidana kurungan paling lama 12 hari sebanyak 2 kali

5) Pidana kurungan paling lama 2 bulan sebanyak 7 kali

6) Pidana kurungan paling lama 2 minggu sebanyak 2 kali

7) Pidana kurungan paling lama 3 bulan sebanyak 9 kali

8) Pidana kurungan paling lama 3 hari sebanyak 5 kali

9) Pidana kurungan paling lama 3 minggu sebanyak 2 kali

10) Pidana kurungan paling lama 6 bulan sebanyak 1 kali

11) Pidana kurungan paling lama 6 hari sebanyak 10 kali

12) Pidana kurungan paling lama 6 minggu sebanyak 1 kali

BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang diartikan sebagai suatu penderitaan

(nestapa) yang semgaja dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan

suatu tindak pidana. Secara Etimologi penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana.

Untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman,

pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. Pemidanaan dapat
diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana.

Pidana diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.

Terdapat 3 teori mengenai tujuan pemidanaan, yaitu : 1. Teori absolut, 2. Teori relative

dan 3. Teori gabungan. Ketiga teori tersebut berbeda dalam memandang tujuan dari adanya

pidana.

Jenis-jenis pidana terdapat dalam Pasal 10 KUHP yaitu, pidana pokok yang terdiri :

Pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda dan Pidana tutupan. Kemudian

pidana tambahan yang terdiri dari : . pencabutan hak-hak tertentu perampasan barang-barang

tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Pemidanaan dalam KUHP dilihat dari sudut kajian, yaitu ketentuan umum hukum pidana

dalam Buku I KUHP dan perumusan ancaman sanksi pidana dalam Buku II dan Buku III

KUHP.Perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu kepada norma pemidanaan

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, A.S 2010, “Pengantar Kriminologi,” Makassar, Pustaka Refleksi


Ilyas, Amir, dan Yuyun Widaningsih,2010, “Hukum Korporasi Rumah Sakit” Yogyakarta
Muladi, Barda Nawawi A., 1984, “Teori – Teori dan Kebijakan Pidana”, Alumni, Bandung
Priyatno, Dwi 2007, “Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia”, Bandung, Refika Aditama
Prodjodikoro, Wirjono, 2008 Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung
Sianturi, Mompang L. Panggabean, 1996, “Hukum Penitensier di Indonesia,” Alumni Ahaem Petehaem,
Jakarta
Syarifin, Pipin, 2008, Hukum Pidana DI Indonesia, Bandung, Pustaka Setia
Waluyo, Bambang, 2004 “Pidana dan Pemidanaan ,” Sinar Grafika, Depok

Anda mungkin juga menyukai