OLEH
KELOMPOK 8
Bismilahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-NYA sehingga
penyusunan makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Kami sangat berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan serta manfaat bagi para
pembaca.
Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang yaitu Addinul Islam.
Kami merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu, krirtik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat di butuhkan untuk
penyusunan makalah kedepannya
Penulis
i
DAFTAR ISI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe
pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe
pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah
pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan
duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua
adalah pengeluaran yang dikeluarkan semata–mata bermotif mencari akhirat1.
Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia mengurangi atau menghabiskan
nilai guna suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan, baik secara
berangsur-angsur maupun sekaligus. Pihak yang melakukan konsumsi disebut
konsumen. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap
perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh
karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi
bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan
juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam
kehidupan.Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting.
Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan
demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian2.
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong
untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat
1
http://kesempurnaanqu.blogspot.com/2013/11/ teori- konsumsi- dalam- ekonomi-islam. html, di
akses 21 Maret 2022.
2
http://makalah-perkuliah.blogspot.co.id/06/ konsumsi-dalam-ekonomi - islam. html, di akses, 21
Maret 2022.
2
untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan
menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan
pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat
pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika
dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi. Dalam
ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak
bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam
penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-
Nya.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan komsumsi dalam perspektif Islam?
2. Apa yang menjadi maslahah, tujuan dan prinsip konsumsi dalam perspektif
Islam?
C. Tujuan Penulisan.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan serta penyusunan makalh ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui serta memahami pengertian konsumsi dalam perspektif
Islam.
2. Untuk mengetahui serta memahami maslahah, tujuan dan prinsip konsumsi
dalam perspektif Islam.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Konsumsi
Secara etimologi, konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu
consumption yang berarti menghabiskan atau mengurangi atau kegiatan
yang ditujukan untuk menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu
barang atau jasa yang dilakukan sekaligus atau bertahap untuk memenuhi
kebutuhan3. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai
konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian,
dan sebagainya); barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup
manusia. Selain itu konsumsi juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang
berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang atau
jasa4.
Konsumsi adalah suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam
kehidupan manusia. Setiap makhluk hidup pasti melakukan aktivitas konsumsi
termasuk manusia. Pengertian konsumsi dalam ilmu ekonomi tidak sama dengan
istilah konsumsi dalam kehidupan sehari-hari yang diartikan dengan perilaku
makan dan minum. Dalam ilmu ekonomi konsumsi adalah setiap perilaku
seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya5.
Konsumsi merupakan satu dari tiga pokok ekonomi selain produksi dan
distribusi. Konsumsi secara umum dimaknai sebagai tindakan untuk mengurangi
3
www.slideshare.net/BrajaMas/ faktor-yang mempengaruhi- tingkat- konsumsi, diakses tanggal 21
Maret 2022.
4
Nurul Huda, et.al. Ekonomi Makro Islami Pendekatan Teoritis (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), 294.
5
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), 178.
4
atau menghabiskan guna ekonomi suatu benda, seperti memakan makanan,
memakai baju, mengendarai sepeda motor, menempati rumah, dan lain-lain.
Dalam berkonsumsi seseorang atau rumah tangga cenderung untuk
memaksimumkan daya guna atau utility-nya. Dalam berkonsumsi tidak ada
batasan untuk mencapainya. Sebagaimana ditegaskan Mundell, setiap individu
atau kelompok memiliki hasrat memaksimumkan keinginannya. Keinginan yang
dimaksud adalah kesenangan (happiness). Dasar dari pemenuhan happiness
tersebut adalah keinginan6. Konsumsi itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan. Dengan konsumsi, seseorang dapat terhindar dari kesulitan dan
problem yang menghalanginya. Oleh karena itu dengan konsumsi kelangsungan
kehidupan bisa diteruskan7.
6
Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 95.
7
Ibid, 96.
8
H.M.Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 112.
9
Ibid.
5
secara eksplisit dalam al-Qur'an dan al-Hadis Hanya saja metode ini lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
Maslahah mursalah dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu
yang mutlak Menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqhi ialah suatu kemaslahatan,
di mana syari'ah tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan
itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan dan penolakannya10.
Dalam ekonomi Islam, konsumsi yang Islami selalu berpedoman pada
ajaran Islam. Seorang muslim akan memperhatikan maslahah dalam kegiatan
konsumsinya daripada utilitas 11. Karena dalam Islam, tujuan konsumsi
bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan (maslahah). Pencapaian
maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam (maqasyid syariah).
Menurut Hendri Anto, ada empat hal yang membedakan antara
maslahah dengan utility, yaitu:
1. Maslahah relatif objektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan
(need), need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan
positif. Sedangkan dalam utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang
bersifat subjektif karenanya dapat berbeda diantara orang satu dengan
orang lain.
2. Maslahah individual akan relatif konsisten dengan maslah}ah sosial,
sementara utilitas individu sangat mungkin berbeda dengan utilitas sosial. Hal
ini terjadi karena dasar penentuannya yang lebih objektif sehingga lebih
mudah dibandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara satu orang dengan
orang lain, antara individu dan sosial.
3. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu
produsen, konsumen, distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan
menuju pada titik yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan hidup ini akan
berbeda dengan utilitas, dimana konsumen akan mengukurnya dari pemenuhan
10
Abd. Wahab Khallaf, Vm Ushul al-Fiqhi (Jakarta : Majelis ATa li Indonesiyyin li al-Dakwah al-
lslamiyah, 1973),h. 116
11
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008), 128.
6
keinginannya (want), sementara produsen dan distributor yang mengukur
dengan mengedepankan keuntungan yang diperolehnya.
4. Maslahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat
diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan
pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencananaan
alokasi anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya,
untuk mengukur tingkat utilitas dan membandingkannya antara satu orang
dengan orang lain tidaklah mudah karena bersifat relatif12.
12
Hendri Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonisia, 2013), 121.
13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005)
7
Disini Islam memerintahkan agar manusia dalam mengkonsumsi segala
sesuatu di dunia ini terbatas pada barang atau jasa yang baik dan halal yang telah
disediakan oleh Allah kepada mereka. Mereka juga diperintahkan agar tidak
mengikuti langkah-langkah syaitan yang berusaha menggoda manusia untuk mau
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah14. Dalam Al-Qur’an dijelaskan
bahwa dalam hal pemanfaatan nikmat dan karunia Allah swt harus dilakukan
secara adil dan seimbang sesuai dengan prinsip syariah, sehingga selain nantinya
akan mendapatkan manfaat dari segi material, juga merasakan kepuasaan dari segi
spiritual.
Salah satu pakar ekonomi muslim Muhammad Abdul Mannan
menawarkan lima prinsip konsumsi dalam Islam diantaranya:
1. Prinsip keadilan, mengandung pengertian bahwa dalam berkonsumsi tidak
boleh menimbulkan kedzaliman baik bagi individu yang bersangkutan maupun
bagi orang lain.
2. Prinsip kebersihan, mengandung makna yang sempit dan luas. Makna yang
sempit berarti barang dikonsumsi harus bersih dan sehat (bebas dari penyakit)
yang bisa diindera secara konkrit. Makna yang luas berarti harus bersih dari
larangan shara’.
3. Prinsip kesederhanaan, mengandung maksud sesuai dengan kebutuhan dan
tidak berlebih-lebihan karena hal ini merupakan pangkal dari kerusakan dan
kehancuran baik bagi individu maupun masyarakat.
4. Prinsip kemurahan hati, mengandung maksud tindakan konsumsi seseorang
harus bersifat ikhlas dan bukan dipaksakan serta mempertimbangkan aspek
sosial seperti pemberian sedekah.
5. Aspek moralitas, mengandung arti bahwa perilaku konsumen muslim harus
tetap tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam Islam yang tercermin baik
sebelum, sewaktu dan sesudah konsumsi15.
14
Lilik Nurjannah, Analisis Terhadap Pemikiran Yusuf Qardawi dan Afzalur Rahman tentang
Konsep Konsumsi Dalam Islam (Skripsi Strata Satu, STAIN Ponorogo, 2011), 19-20.
15
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Bhakti Wakaf,
1997), 9.
8
D. Tujuan Konsumsi.
Manusia mengkonsumsi suatu barang pastilah mempunyai tujuan tertentu.
Tujuan konsumsi adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Beberapa
hal yang melandasi perilaku seseorang konsumen muslim adalah keterkaitan
dengan tujuan konsumsi. Perekonomian Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an
dan Al-Hadits sebagai panduan yang memberikan petunjukpetunjuk yang sangat
jelas kepada umat Islam. Dengan berdasar pada petunjuk-petunjuk tersebut, maka
kegiatan ekonomi dalam Islam mempunyai tujuan agar manusia mencapai
kejayaan (falah) didunia dan akhirat. Segala sesuatu sumber daya yang ada di
bumi ini diciptakan untuk manusia. Allah swt berfirman:
Artinya : “dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di
bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil
pelajaran”. (QS. An-Nahl 16 :13)16
Dalam kehidupan, manusia tidak akan mampu untuk menunaikan
kewajiban ruhaniyah (spiritual) dan maliyah (material) tanpa terpenuhinya
kebutuhan primer seperti makan, minum, tempat tinggal, maupun keamanan.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan elemen kehidupan manusia. Akan
tetapi, presentase kebutuhan yang dimiliki manusia sangat beragam. Terkadang
muncul tindakan ekstrim dalam mengakses kebutuhan. Ada sebagian orang
berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan sehingga timbut sikap berlebih-
lebihan (israf). Sebaliknya ada juga yang mempunyai sifat kikir dalam
pemenuhannya17. Hal ini jelas berbeda dengan tujuan konsumsi dalam ekonomi
konvensional yang didasarkan kepada pemenuhan kebutuhan hidup yang
jumlahnya tidak terbatas dengan tujuan memperoleh kepuasan yang maksimal,
dengan menggunakan penghasilan yang jumlahnya terbatas18.
Tujuan konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
ibadah kepada Allah swt. Dalam hal ini konsumsi bagi seorang muslim hanya
16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005)
17
Said As’ad Marthon, Ekonomi Islam (Ditengah Krisis Global) (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), 71.
18
Idri, Hadis Ekonomi; Ekonomi Dalam Perspektif Hadis Nabi (Jakarta: Kencana, 2015), 108.
9
sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam menaati Allah swt, yang ini
memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Seorang muslim tidak akan
merugikan dirinya sendiri di dunia maupun di akhirat, karena memberikan
kesempatan pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya pada tingkat
melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia
dan melalaikan tugas utamanya dalam hidupnya19.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan
(kehalalan) sesuatu yang akan dikonsumsinya. Para Fuqaha menjadikan memakan
hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan:
1. Wajib yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari
kebinasaan dan tidak mengkonsumsi kadar ini padahal mampu akan
berdampak pada dosa;
2. Sunnah yaitu mengkonsumsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri
dari kebinasaan dan menjadikan seorang muslim mampu shalat dengan berdiri
dan mudah berpuasa;
3. Mubah yaitu sesuatu yang lebih dari sunnah sampai batas kenyang;
4. Konsumsi yang melebihi batas kenyang yang dalam hal ini terdapat dua
pendapat, ada yang mengatakan makruh ada juga yang mengatakan haram20.
19
Abdul Azziz, Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islam Untuk Dunia Usaha
(Bandung: Al-Beta, 2013), 160.
20
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, 198-199
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Konsumsi adalah suatu aktifitas memakai atau menggunakan suatu produk
barang atau jasa yang dihasilkan oleh para produsen atau konsumsi juga berarti
segala tindakan menghabiskan atau mengurangi nilai guna barang dan jasa. Salah
satu pakar ekonomi muslim Muhammad Abdul Mannan menawarkan lima prinsip
konsumsi dalam Islam, yaitu :
1. Prinsip keadilan, mengandung pengertian bahwa dalam berkonsumsi tidak
boleh menimbulkan kedzaliman baik bagi individu yang bersangkutan maupun
bagi orang lain.
2. Prinsip kebersihan, mengandung makna yang sempit dan luas. Makna yang
sempit berarti barang dikonsumsi harus bersih dan sehat (bebas dari penyakit)
yang bisa diindera secara konkrit. Makna yang luas berarti harus bersih dari
larangan shara’.
3. Prinsip kesederhanaan, mengandung maksud sesuai dengan kebutuhan dan
tidak berlebih-lebihan karena hal ini merupakan pangkal dari kerusakan dan
kehancuran baik bagi individu maupun masyarakat.
4. Prinsip kemurahan hati, mengandung maksud tindakan konsumsi seseorang
harus bersifat ikhlas dan bukan dipaksakan serta mempertimbangkan aspek
sosial seperti pemberian sedekah.
5. Aspek moralitas, mengandung arti bahwa perilaku konsumen muslim harus
tetap tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam Islam yang tercermin baik
sebelum, sewaktu dan sesudah konsumsi.
11
Tujuan konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
ibadah kepada Allah swt. Dalam hal ini konsumsi bagi seorang muslim hanya
sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam menaati Allah swt, yang ini
memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Seorang muslim tidak akan
merugikan dirinya sendiri di dunia maupun di akhirat, karena memberikan
kesempatan pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya pada tingkat
melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia
dan melalaikan tugas utamanya dalam hidupnya
DAFTAR PUSTAKA
12
Azziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islam Untuk
Dunia Usaha (Bandung: Al-Beta, 2013).
Huda, Nurul, et.al. Ekonomi Makro Islami Pendekatan Teoritis (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009).
Idri, Hadis Ekonomi; Ekonomi Dalam Perspektif Hadis Nabi (Jakarta: Kencana,
2015).
Marthon, Said As’ad. Ekonomi Islam (Ditengah Krisis Global) (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2007).
13