Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM

KELAS 31

Disusun untuk memenuhi


Tugas Mata Kuliah Ekonomi Islam I

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Anggota:
1. Nabila Silfa (2201103010145)
2. Kaisha Fira Fadhila (2201103010172)
3. Tiara Nurlisa (2201103010174)
4. Mariska Najwa Shabira (2201103010185)
5. Sri Nanda Riska Putri (2201103010187)
6. Sabiyya Balqis (2201103010191)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2023
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat

dan karunia-Nya sehingga Makalah tentang Konsumsi Dalam Ekonomi Islam ini dapat

diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada

Rsulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku

umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan Makalah Mata Kuliah Ekonomi Islam dengan dosen pengampu Bapak

Khairil Umuri, S.H.I., M.Ag yang berjudul Konsumi Dalam Ekonomi Islam. Dan kami

juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah

membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta

bimbingannya selama ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangunn demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan

kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT,

dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah Konsumsi Dalam

Ekonomi Islam ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banda Aceh 8 April 2023

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................................... i
Daftar Isi ...............................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
Bab II Pembahasan .................................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Konsumsi................................................................................................... 3
2.2 Pengertian konsumsi dalam Ekonomi Islam ............................................................... 3
2.3 Perbedaan konsumsi islam dengan konsumsi konvensional ....................................... 4
2.4 Tujuan Konsumsi Dalam Ekonomi Islam ................................................................... 5
2.5 Norma dan Etika Dalam Konsumsi............................................................................. 7
2.6 Prinsip-prinsip Konsumsi ............................................................................................ 8
2.7 Model Keseimbangan Konsumsi Islami ..................................................................... 9
2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen ............................................ 10
2.9 Batasan Konsumsi dalam Syari’ah ............................................................................ 11
BAB III Kesimpulan .............................................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 13
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 14

ii
Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Konsumsi didefinisikan sebagai aktivitas dan penggunaan atas sumber daya dalam rangka
pemenuhan kebutuhan.Termasuk dalam kebutuhan konsumsi ini antara lain adalah
pengeluaran untuk pakaian, sandang pangan dan papan. Konsumsi merupakan aktifitas
terbesar manusia dan memiliki konsekuensi kepada banyak hal, termasuk dalam
kontinuitas keberadaan sumberdaya itu sendiri (Salwa, 2019).

Dalam teori konvensional, konsumsi tidak memiliki norma atau aturan. Satu-satunya yang
menjadi pembatasan dalam konsumsi yaitu kelangkaan sumber daya, baik kelangkaan
dalam artian yang luas seperti ketersediaan sumber daya ataupun kelangkaan dalam arti
yang lebih sempit yaitu kelangkaan budget yang dimiliki (Nurbaeti, 2022).

Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan masalah. Menurut Imam
Syatibi, istilah masalah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam
terminologi ekonomi konvensional. Masalah merupakan tujuan hukum syara yang paling
utama.Masalah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-
elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini (Machasin, 2003). Ada
lima elemen dasar, yakni: agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda
(al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl).
Dengan kata lain, masalah meliputi integrasi manfaat fisik dan unsur-unsur keberkahan.
Konsumsi dalam Islam lebih didasarkan atas kebutuhan atau needs, dan tidak dilihat
dari keinginan atau wants. Perbedaan ini tentunya meliputi perbedaan yang sifatnya hanya
perbedaan sesaat atau hawa nafsu (Salwa, 2019).

Kajian Islam tentang konsumsi sangat penting, agar seseorang berhati-hati dalam
menggunakan kekayaan atau berbelanja. Suatu negara mungkin memiliki kekayaan
melimpah, tetapi apabila kekayaan tersebut tidak diatur pemanfaatannya dengan baik dan
terukur masalahnya, maka kesejahteraan (welfare) akan mengalami kegagalan. Jadi yang
1
terpenting dalam hal ini adalah cara penggunaan yang harus diarahkan pada pilihan-pilihan
(preferensi) yang mengandung masalah (baik dan ber- manfaat), agar kekayaan tersebut
dimanfaatkan pada jalan yang sebaik- baiknya untuk kemakmuran individu, masyarakat
dan rakyat secara menyeluruh (Nurbaeti, 2022).

Islam melarang umatnya untuk melakukan konsumsi secara berlebih-lebihan atau


sebaliknya kikir dalam konsumsi, namun islam mengajarkan bagaimana cara berperilaku
dalam berkonsumsi secara proporsional. Perilaku konsumsi yang berlebihan merugikan diri
sendiri dan orang lain, karena pengeluaran pada pendapatan melebihi batas kemampuan
ataupun sebaliknya Islam tidak menyukai sikap kikir (Salwa, 2019).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa konsep konsumsi dalam Ekonomi Islam?


2. Apa yang membedakan konsumsi dalam ekonomi islam dengan ekonomi
konvensional?

2
Bab II

Pembahasan

2.1 Pengertian Konsumsi

Secara luas, pengertian konsumsi atau definisi konsumsi mengambil istilah dari dua
bahasan yang berbeda, yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Dalam istilah Bahasa
Belanda, Konsumsi berasal dari kata consumptie yaitu segala kegiatan yang
dipergunakan dengan tujuan untuk mengambil kegunaan pada suatu produk dan jasa.
Sedankan dari Bahasa Inggris, konsumsi berasal dari kata consumtion yang berarti
pemakaian, menggunakan, pemanfaatan, dan atau pengeluaran. Seperti diketahui,
cakupan konsumsi ini sangat luas dan tidak terbatas hanya pada satu benda maupun jasa
tertentu (Salwa, 2019).

2.2 Pengertian konsumsi dalam Ekonomi Islam

Dalam Ekonomi islam, konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tetapi memiliki
perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Teori konsumsi menurut pusat pengkajian
dan pengembangan Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang
memberikan masalah/kebaikan dunia dan akhirat bagi konsumen itu sendiri. Secara
umum, pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spiritual,
intelektual, ataupun material. Sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah
kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan
diinginkan oleh seseorang maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan
masalah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak dilandasi oleh
keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata, artinya jika yang diinginkan
bukan kebutuhan maka pemenuhan keinginan tersebut hanya akan memberikan
kepuasan saja (Nurbaeti, 2022).

Salah satu ayat bagaimana pola mengatur konsumsi dalam ilam, terdapat disurah Qs.
Al-Baqarah:168
‫مبي عدو لكم انهِ الشيطن تِ خطو تتبعوا ولۖ طيبا حلل ْالرض ف مماِ كلوا الناس يايها‬

3
Artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat
dbumi, dan janganlah kamu mengikuti Langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu
musuh yang nyata bagimu.” (Nurbaeti, 2022)

Konsumsi dalam Ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada konsumsi di dunia
(present consumption) namun juga konsumsi di akhirat (future consumption) yang
dilakukan dengan mengimbangi segala kegiatan di dalamnya menggunakan niat
beribadah kepada Allah SWT (Furqon, 2018).
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim:
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
2. Konsep sukses dalam kehidupn seorang muslim diukur dengan moral agama islam,
dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas
semakin tinggi pula kesuksesan yang di capai.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan
sendirinya bersifat buruk (sehingga harus diajuhi secara berlebihan (Furqon, 2018).

2.3 Perbedaan konsumsi islam dengan konsumsi konvensional

Teori ekonomi konsumsi konvensional membahas tentang kebutuhan manusia dikarenakan


adanya kelangkaan barang dan jasa. Hal ini tentu sangat mempengaruhi prilaku konsumen yang
cenderung memenuhi kebutuhan tanpa mempertimbangkan hak oranglain. Akan tetapi dalam
teori ekonomi islam, konsumsi merupakan kegiatan yang menghabiskan nilai guna suatu
barang dengan mengukur tingkat manfaat. Manfaat yang dimaksudkan yaitu seoang konsumen
islam konsumsi itu mendatangkan manfaat atau hanya sekedar preferensi.

Beberapa perbedaan utama antara Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah:

1. Sumber Hukum Ekonomi Konvensional didasarkan pada hukum ekonomi pasar yang
bersifat man-made (dibuat oleh manusia), sedangkan Ekonomi Syariah didasarkan pada
hukum Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits.
2. Tujuan Ekonomi Tujuan utama dari Ekonomi Konvensional adalah mencapai
kesejahteraan masyarakat melalui produktivitas yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi
yang stabil. Sedangkan tujuan utama dari Ekonomi Syariah adalah mencapai

4
kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, termasuk kesejahteraan spiritual dan
sosial, serta menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim.
3. Sistem Perbankan Ekonomi Konvensional menggunakan sistem perbankan
konvensional yang menggunakan sistem bunga (riba) sebagai sumber pendapatannya.
Sedangkan Ekonomi Syariah menggunakan sistem perbankan syariah yang tidak
menggunakan sistem bunga dan tidak memperdagangkan instrumen keuangan yang
haram.
4. Sistem Kepemilikan Ekonomi Konvensional menganut sistem kepemilikan individu,
dimana setiap individu memiliki hak penuh atas kepemilikan aset yang dimilikinya.
Sedangkan Ekonomi Syariah menganut sistem kepemilikan bersama, dimana
kepemilikan aset tidak boleh hanya dimiliki oleh satu individu saja, tetapi harus dibagi
dengan masyarakat.

Selain perbedaan prinsip-prinsip yang mendasari, terdapat beberapa perbedaan lain antara

ekonomi konvensional dan ekonomi syariah, diantaranya:

1. Penggunaan riba: Ekonomi konvensional mengizinkan penggunaan riba dalam


transaksi ekonomi, sementara ekonomi syariah melarang penggunaan riba dalam setiap
bentuk transaksi ekonomi.
2. Penggunaan instrumen keuangan: Ekonomi konvensional menggunakan berbagai
instrumen keuangan, seperti obligasi, saham, dan derivatif, sementara ekonomi syariah
melarang penggunaan instrumen keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
moral dan etika.
3. Penggunaan laba: Dalam ekonomi konvensional, laba merupakan tujuan utama dari
setiap perusahaan, sementara dalam ekonomi syariah, laba tidak boleh menjadi tujuan
utama perusahaan, melainkan harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
keadilan. (Harmon Amir, 2023)

2.4 Tujuan Konsumsi Dalam Ekonomi Islam

Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan

5
konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-
hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada
Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi
dalam mengabdi kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana
wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan
yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian
sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah. Menurut
Imam Syatibi, istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan
dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara
yang paling utama. Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini
. Ada lima elemen dasar, yakni: agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau
harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl).
Dengan kata lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan unsur-unsur
keberkahan. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah
tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu
kewajiban dalam beragama (Nurbaeti, 2022).

Tujuan Konsumsi secara garis besar :


● Untuk mengharap Ridha Allah SWT Tercapainya kebaikan dan tuntunan jiwa yang
mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah telah
memberikan tuntunan kepada para hamba-Nya agar menjadikan alokasi dana sebagai
bagian dari amal shaleh yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada Tuhan-Nya
dan untuk mendapatkan surga dan kenikmatan yang ada didalamnya.
● Untuk mewujudkan kerja sama antar anggota dan tersedianya jaminan sosial Takdir
manusia hidup di dunia berbeda-beda, ada yang ditakdirkan menjadi kaya dan
sebaliknya. Di antara mereka ada yang level pertengahan, sementara yang lain adalah
golongan atas. Ada juga sekelompok masyarakat yang ditakdirkan untuk
memperhatikan kehidupan kaum miskin.
● Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri,
keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi.
6
● Untuk meminimalisir pemerasan dengan menggali sumber- sumber nafkah Media
dan sumber nafkah sangat banyak dan beragam. Negara mempunyai kewajiban untuk
menjaganya, baik dengan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan upah, dan juga
dengan memenuhi kebutuhan orang-orang yang masih kekurangan (Nurbaeti, 2022).

2.5 Norma dan Etika Dalam Konsumsi

1. Seimbang dalam konsumsi


Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan Sebagian hartanya
untuk kepentingan diri, keluarga, dan fi sabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir.
Di sisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta.
Inilah bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalan Al-Qur’an yang
mencerminkan sikap keadilan dalam konsumsi.
2. Membelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan dan dengan cara yang baik
Islam mendorong dan memberi kebebasan kepada individu agar membelanjakan
hartanya untuk membeli barang-barang yang baik dan halal dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuan tidak melanggar batas-
batas suci, serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan dan kesejahteraan
masyarakat nagara. Islam menutup semua jalan bagi manusia untuk membelanjakan
harta yang mengakibatkan kerusaakan akhlak di tengah masyarakat, seperti judi
yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
3. Larangan Bersikap Israf (Royal) dan Tazbir (sia-sia)
Adapun nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah pelarangan
terhadap sikap hidup mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan
masyarakat, karena menyibukan manusia dengan hawa nafsu, melalaikannya dari
hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Disamping itu, membunuh semnagat
jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah ini bahwa gaya hidup
mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi moral
masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut.11Bagi
Afzalur Rahman, kemewahan (israf) merupakan berlebih-lebihan dalam
kepuasan pribadi atau membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak perlu
(Mohammad Lutfi, 2019).

7
2.6 Prinsip-prinsip Konsumsi

1. Prinsip keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak
dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan
tidak bertentangan dengan hukum. Keadilan yang dimaksud adalah
mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak
membahayakan tubuh). Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda
ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi”(QS. al-Baqarah,2: 169).
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang
dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan
cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi
Allah. Tentu sajabenda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran
atau bahkan merusak.“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum
dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna
makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga
merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: “Bila salah
seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas.” (HR Bukhari)

3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal
dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung
makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan
hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri
sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi
kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif
secara individual maupun sosial; “Makan dan minumlah, tapi jangan

8
berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan” (QS. Al-A’raf [7]: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang
makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan
berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.

4. Prinsip Kemurahan Hati


Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk
manusia (QS. al-Maidah [5]: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus
dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak
orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan
makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang
sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika
mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah
karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan
kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia
untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah memberikan anugerah-
Nya bagi manusia.

5. Prinsip Moralitas
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai
oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata –mata
memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk
keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral
dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terimakasih setelah makan (Zakiah, 2022).

2.7 Model Keseimbangan Konsumsi Islami

Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan


distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan
materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang belum dibelanjakan, yaitu konsumsi
sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya diakhirat nanti.
9
Secara sederhana Metwally (1995: 26-23) telah memberikan kontribusi yang sangat
berarti dalam perumusan keseimbangan konsumsi Islami. Di mana :
S : Sedekah
H : Harga barang dan jasa
BR : Barang
JS : Jasa
Z : Zakat (2,5%)
P : Jumlah pendapatan
Seorang konsumen muslim akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan duniawi dan ukhrawinya. Setelah dia mendapatkan dalam jumlah tertentu.
Dia zakati hartanya terlebih dahulu. Dari sini kita mulai melihat muara keunikannya
perilaku konsumen muslim. Setelah kewajiban zakat dia tunaikan sebesar 2.5 % dari
uang yang dihasilkan secara halal, kemudian dia penuhi pos-pos konsumsi mulai dari
barang, jasa, hingga sedekah (Mohammad Lutfi, 2019).

2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen

1. faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas


terhadap perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan oleh
kultur, sub-kultur, dan kelas sosial pembeli. Kultur adalah penentu paling pokok
dari keinginan dan perilaku seseorang Makhluk yang lebih rendah umumnya akan
dituntun oleh naluri. Sedangkan manusia biasanya mempelajari perilaku dari
lingkungan sekitar, sehingga nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku seseorang yang
tinggal di daerah tertentu akan berbeda dengan orang yang tinggal di daerah lain.

2. faktor sosial. Perilaku konsumen juga akan dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti
kelompok kecil, keluarga, peran dan status sosial dari konsumen tersebut.
Kelompok ini sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan, sehingga
pemasar harus sangat memperhatikan faktor kelompok rujukan. Kelompok primer
terjadi karena interaksi secara intensif, seperti keluarga dan teman. Kelompok ini
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keputusan konsumen. Sedangkan
kelompok rujukan adalah kelompok yang merupakan titik perbandingan atau tatap
muka atau tidak langsung dalam pembentukan sikap seseorang.
10
3. faktor pribadi. Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakter pribadi
seperti umur dan tahap daur hidup pembeli, jabatan, keadaan ekonomi, gaya hidup,
kepribadian, konsep diri pembeli yang bersangkutan. Daur hidup berkaitan dengan
siklus hidup seseorang. Tahapan- tahapan dalam hidup psikologi berhubungan
dengan perubahan atau transformasi tertentu pada saat mereka menjalani hidup.
Jabatan mengidentifikasikan kelompok pekerja yang memiliki minat di atas rata-
rata. Keadaan tertentu ini tidaklah lain adalah pendapatan yang dapat dibelanjakan,
tabungan, harta, dan aktivitas meminjam.

4. faktor psikologis. Seseorang mempunyai banyak kebutuhan baik yang bersifat


biogenik ataupun biologis. Kebutuhan ini timbul dari suatu keadaan fisiologis
tertentu seperti lapar, haus dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan yang bersifat
psikologis adalah kebutuhan yang timbul dari keadaan tertentu seperti kebutuhan
untuk diakui, harga diri, atau kebutuhan untuk diterima lingkungan. Sedang faktor
psikologis yang utama adalah motivasi, persepsi, proses belajar, serta kepercayaan
dan sikap (Nurbaeti, 2022).

2.9 Batasan Konsumsi dalam Syari’ah

Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan
keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung memengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera,
sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan sangat memperngaruhi
sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk material maupun spiritual. Dalam
konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan
terhadapisraf, pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi
sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam
sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata
bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

11
Oleh sebab itu, dalam menghapus perilaku israf Islam memerintahkan:

1. Memprioritaskan konsumsi yang lebih diperlukan dan lebih manfaat

2. Menjauhkan konsumsi yang berlebihan-lebihan untuk semua jenis komoditi

Dari sinilah kesejahteraan yang islami itu dibangun. Kesejahteraan itu tidak tepat apabila
diukur dengan kemewahan seseorang. Namun, kesejahteraan lebih tepat bila di ukur
terpenuhinya maslahat lima kebutuhan dasar yang disongkong oleh kelengkapan hajiyah dan
tahsiniyatnya (Mohammad Lutfi, 2019).

12
BAB III

Kesimpulan

3.1 Kesimpulan

1. Teori konsumsi atau konsep konsumsi dalan Ekonomi Islam adalah pemenuhan
kebutuhan barang dan jasa yang memberikan masalah/kebaikan dunia dan akhirat bagi
konsumen itu sendiri. Secara umum, pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan
manfaat fisik, spiritual, intelektual, ataupun material. Sedangkan pemenuhan keinginan
akan menambah kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya. Jika suatu
kebutuhan diinginkan oleh seseorang maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan
melahirkan masalah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak
dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata, artinya jika
yang diinginkan bukan kebutuhan maka pemenuhan keinginan tersebut hanya akan
memberikan kepuasan saja (Nurbaeti, 2022).
2. Teori ekonomi konsumsi konvensional membahas tentang kebutuhan manusia
dikarenakan adanya kelangkaan barang dan jasa. Hal ini tentu sangat mempengaruhi
prilaku konsumen yang cenderung memenuhi kebutuhan tanpa mempertimbangkan hak
oranglain. Akan tetapi dalam teori ekonomi islam, konsumsi merupakan kegiatan yang
menghabiskan nilai guna suatu barang dengan mengukur tingkat manfaat. Manfaat yang
dimaksudkan yaitu seoang konsumen islam konsumsi itu mendatangkan manfaat atau
hanya sekedar preferensi. (Harmon Amir, 2023).

13
Daftar Pustaka
Furqon, I. K. (2018). TEORI KONSUMSI DALAM ISLAM . Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari'ah.

Harmon Amir, B. M. (2023). PERBANDINGAN KONSUMSI DALAM ISLAM DAN KONVENSIONAL. Jurnal
Khazanah Ulum Ekonomi Syariah (JKUES), 6(2), 1-5.

Mohammad Lutfi, M. (2019). KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM. SYAR'IE.

Nurbaeti, A. (2022). KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM. Azmina.

Salwa, D. K. (2019). TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA. LABATILA.

Zakiah, S. (2022). TEORI KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM. EL-ECOSY.

14

Anda mungkin juga menyukai