PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, yang
digantikan oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri yang sangat egoistis dan
mengandung nilai hedonis yang sangat besar, sehingga kita pun merasakan betapa
banyaknya bencana yang melanda diri kita. Etika hubungan kita yang humanis dengan
tiga komponen relasional, hidup kita sudah terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap
hidup kita di masa mendatang akan tetap lestari dan berlangsung harmonis dengan alam.
Makalah ini kami susun berdasarkan tugas mata kuliah filsafat, dengan bahasan
“Positivisme” makalah ini dititikberatkan pada pemikiran-pemikiran para filosof aliran
positivesme.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian positivism ?
2. Bagaimana sejarah lahirnya hukum positivism ?
3. Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh mazhab positivism ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian positivism
2. Menguraikan sejarah lahirnya lahirnya hukum positivism
3. Mengetahui bagaimanakah pemikiran tokoh-tokoh positivism
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Positivisme
Positivisme kata asalnya adalah “positif” berarti yang di ketahui, yang factual,
dan yang positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kernyataan di kesampingkan. Oleh
karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang
Nampak dan dapat diukur. Dengan demikian positivism membatasi filsafat dan ilmu pada
bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan
melihat hubungan antara gejala tersebut. Setelah hukum itu tersusun, barulah seseorang
melihat ke masa depan untuk mengembangkan ilmu.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitif .
August Comte, tokoh positivism, membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap :
1. Tahap teologis
Yaitu manusia masih terpaku pada hakikat batin terhadap segala sesuatu, sebab
pertama, dan tujuan terakhir. Jadi, seseorang masih percaya kepada yang mutlak.
Tahap ini terbagi lagi atas tiga tahap, yaitu animisme, politeisme,dan monoteisme.
2. Tahap Metafisika
Yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekuatan-kekuatan adikotdrati
yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi.
3. Tahap Positif
Yaitu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai
pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini seseorang tidak mau lagi
meneliti awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan yang ada di belakang fakta lewat pengamatan dan akalnya. Tujuan
tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan
diatur di dalam satu fakta yang umum saja.1
Dengan demikian seorang politivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
bisa diukur, dan bisa dibuktikan kebenarannya, karena agama (tuhan) tidak dapat
dilihat, diukur, dan dibuktikan, agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu
pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan tersebut sesuai
1
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 114
2
dengan fakta. Contoh, ada badak bercula satu di Ujung Kulon. Jika ada badak bercula
satu di sana berarti pernyataan itu benar, jika sebaliknya, bearti pernyataan itu salah.
Ukuran ini dalam epistemology disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu
pernyataan dinyatakan benar apabila cocok dengan fakta empiris. Sebaliknya, suatu
pernyataan dianggap salah jika tidak sesuai dengan data empiris, seperti api tidak
membakar.
Positivisme mengatakan bahwa pada zaman dulu banyak pembicaraan yang tidak
ada faedahnya dan tidak ada mengandung arti. Contohnya, “Apa maksud Tuhan
menciptakan alam ?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang kosong dan tidak
berarti. Pertanyaan demikian bukan tidak dapat mengetahui maksud Tuhan karena
kita sebagai manusia, tetapi karena setiap susunan kata mengenai ketuhanan tidak
mengandung arti apa pun.
Begitu juga dalam bidang etika, positivisme lebih menekankan pada relativisme.
Kalau ada pernyataan bahwa kezaliman itu jelek, proposisi tersebut tidak ada artinya
karena jelek tidak dapat diukur dan diuji. Pernyataan sehat lebih bisa diukur daripada
jelek, seperti makanan itu tidak sehat karena sudah basi. Basi dapat diukur dan diuji
karena ada perubahan zat kimia yan terjadi dalam makanan tersebut. Jadi, ungkapan
dalam bidang moral bersifat emosional yang bergantung pada perasaan tentang
sesuatu, bukan keadaan sesuatu itu.
Alfred Yules Ayer, salah seorang penganut positivisme berkata, “Argumen
tentang pengalaman keagamaan adalah tidak benar. Banyak orang yang mempunyai
pengalaman keagamaan adalah suatu yang menarik perhatian dari sudut psikologi,
tetapi tidak bearti ada pengetahuan keagamaan yang objektif. Begitu juda bila
seseorang memiliki pengalaman moral , tidak berarti ada sesuatu hal yang dinamakan
pengetahuan ideal. Orang yang percaya kepada Allah dan memegang paham-paham
moral mungkin percaya bahwa pengalamannya merupakan pengalaman yang
berdasarkan pengetahuan. Akan tetapi, kalau dia tidak dapat menyusun
pengetahuannya dalam susunan kata yang dapat dibuktikan secara empiris, kita dapat
mengatakan bahwa orang itu menipu dirinya sendiri.”
Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat
dengan Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai
dunia, baik yang bersifat keagamaan maupun metafisik menimbulkan pertentangan.
Agama dan metafisika ingin membekukan penjelasan tentang asal mula sesuatu,
padahal manusia tidak mampu mengetahui hal itu. Oleh karena itu, kita harus
mengesampingkan hal-hal yang tidak bisa dikenal (the flit’tit unknowable). Lagi
3
pula, menyibukkan diri dengan hal-hal yang demikian adalah sia-sia. Lebih baik
menyibukkan diri pada hal-hal yang mungkin diketahui, yaitu gejala-gejala yang
telah dikenal atau yang disajikan oleh pancaindra.
Dalam beberapa aspek, positivisme memiliki hal-hal yang baik untuk kehidupan
umat manusia. Sebab, positivism menyuguhkan suatu metode ilmiah dan ukuran-
ukuran yang dipertanggung jawabkan secara empiris. Dalam hal ini, positivism
menyumbangkan gagasan baru dalam kemajuan sains dan teknologi.
Dalam aspek lain, positivisme mempersempit alam pada hal-hal yang terukur,
tidak mau melihat alam yang lebih luas dan besar. Bahkan, kesenangan rohani atau
penderitaan rohani dianggap sebagai sesuatu yang tidak berarti. Padahal kesenangan
dan penderitaan meskipun tidak dapat diukur dengan tepat dialami oleh semua orang
hingga penganut positivism.
Positivisme terlalu mereduksi kemampuan pada hal-hal yang dapat diuji secara
empiris. Padahal daya akal tidak hanya bergantung pada pengujian secara empiris.
Akal amapu merekayasa sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan akal juga mampu
menulis tanpa memakai kertas dan pulpen. Tulisan itu dapat digambarkan dalam
pikiran tanpa perlu diempiriskan. Oleh karena itu, posotivisme sebenarnya harus
mengakui hal yang demikian sebagai suatu realitas. Dengan demikian, kepercayaan
kepada Tuhan berarti tidak mustahil karena daya akal mampu mencapai realitas
dibalik dunia empiris.2
3
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, teori, dan ilmu hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2013), 184
5
C. Pemikiran Tokoh-tokoh Mazhab Positivisme
Ada begitu banyak tokoh yang menganut aliran/mazhab positivisme hukum dengan
pandangan dan pemikirannya masing-masing. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya:
John Austin adalah seorang positivis yang utama mempertahankan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu
hukum (yurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya
sendiri. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem
hukum moderen.
Hans Kelsen adalah seorang eksponen utama dari positivisme. Dipengaruhi dari
epistemology Neo-Kantian, Kelsen dimasukan sebagai kaun Neo-Kantian karena ia
menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk dan isi. Kelsen membedakan secara
tajam antara “yang ada” (is) dan “yang seharusnya” (the ought), dan secara konsekuen antara
ilmu-ilmu alam dan disiplin-disiplin, seperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena
“normative” jadi bagi Kelsen hukum berhubungan dengan bentuk (formal), bukan isi (material).
Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum, dengan demikian hukum dapat saja tidak
adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.
Inti ajaran yang disampaikan Hans Kelsen seperti dalam bukunya The Pure Theory of Law,
adalah: “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etika,
sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya”. Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang
menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara
6
undang adalah perintah manusia (law are commands of human being), tidak perlu ada hubungan
antara hukum dan moral atau hukum yang ada dengan hukum yang seharusnya ada.
Sistem hukum adalah sistem logis tertutup, artinya putusan-putusan hukum yang tepat dapat
dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan
terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, dan norma-norma
sosial.
Meskipun menurut beberapa ahli hukum Indonesia bahwa Dworkin merupakan salah satu
tokoh positivisme, tetapi di dalam teorinya, dia tidak sependapat dengan teori positivis yang
mengabaikan substansi hukum dan hanya memutus perkara berdasarkan norma-norma saja
(normatif). Teori yang diwakili Dworkin adalah Content Theory yang muncul karena
ketidaksetujuan terhadap sistem formalisme hukum yang ditokohi Langdell. Dalam hal ini
Dworkin tidak setuju dengan penggunaan metode deduktif dalam pengambilan putusan.
Dworkin dipandang sebagai penganut teori hukum alam modern karena sebelumnya mazhab
hukum alam hanya berpegang pada asas legal formal dalam proses hakim membuat keputusan,
tanpa mempertimbangkan substansi dari peraturan perundang-undangan yang ada.4
Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus
dapat berlaku secara fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat
mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan
semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga
membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat.
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih
terjerat kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis
dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada
konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.
Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai
4
Teguh Prasetyo dan Abdul HalimBarkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Jakarta: RajaGrafindoPersada,
2013), 212
7
sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai
sebuah hukum.
Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence, Sosiological
Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh Eugen
Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada pembuat
undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula
terletak pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada
dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan
akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk
mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap.
8
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang
berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-norma yang ada berupa
hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal ini telah ada sebelum datangnya
Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme dalam dunia hukum.
Dengan adanya Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum
kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku ditengah-
tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa hukum adat terhimpit oleh undang-undang
yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan
pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang tersusun dalam
undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku
ditengah masyarakat.
B.Saran
Semoga makalah yang kami paparkan ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca
sekalian, serta kritik dan saran senantiasa kami harapkan dari semua pihak sebagai bahan acuan
evaluasi agar dapat memperbaiki kedepannya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi dan Mustofa Hasan. Filsafat Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2012
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, teori, dan ilmu hukum. Jakarta: Raja
10