Anda di halaman 1dari 4

Pandangan Positivisme tentang Ilmu

Positivisme secara etimologi berasal dari kata “positive” yang dalam bahasa filsafat
artinya suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita.
Sehingga, yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-
angan atau kreasi pemikiran dari akal manusia.
Sedangkan secara terminologis, positivisme merupakan suatu paham yang dalam
“pencapaian kebenaran”-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi
dan membatasi pikiran dalam segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan. Sehingga,
hal-hal di luar itu tidak dikaji dalam positivisme
Paham positivisme didasarkan pada data empiris dalam kajian filsafat dan menolak
adanya spekulasi teoritis sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya
positivisme meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang berasal dari
pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-
teori melalui metode saintifik yang ketat, sehingga spekulasi metafisif dihindari.Penganut
positivisme meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang
berdasarkan fakta yang jelas. Mereka memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap
skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika.
Positivisme merupakan empirisme, yang pada segi-segi tertentu menjadi kesimpulan
logis ekstrim karena apa saja dianggap sebagai pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,
maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengetahuan.
Keyakinan dasar paham ini berasal dari paham ontologi realisme yang menyatakan
bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dalam hukum alam (natural
laws). Upaya penelitan dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada
dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama
dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah
sebuah pernyataan adalah benar, salah, atau tidak memiliki arti sama sekali.
B. Pandangan Penganut Positivisme Terhadap Ilmu Pengetahuan
1. Auguste Comte (1798 – 1857)
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte dalam
karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-
1842) Comte menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahap, yaitu:
Pertama, tahap teologis. Peristiwa-peristiwa di alam dijelaskan dengan istilah kehendak
atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dijelaskan
melalui hukum-hukum umum tentang alam. Ketiga, tahap positif. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi dijelaskan secara ilmiah.
Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandanganya tentang objek positif. Jika
metodologi bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang
kenyataan, maka kenyataan yang dimaksud adalah objek positif.
Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa
“gejala antinomi, yaitu antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang
meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’; serta ‘yang
mengklaim memiliki kesahihan relatif; dan ‘yang mengklaim memiliki kesahiahan mutlak’.
Dari beberapa patokan “yang faktual” ini, positivisme meletakan dasar-dasar ilmu
pengetahuan hanya pada fakta yang objektif. Jika faktanya adalah kehidupan material”, ilmu
pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati”, ilmu pengetahuannya
adalah fisika. Demikian juga banyak bidang kehidupan lain yang dapat menjadi objek
observasi empiris dan dianggap menjadi objek ilmu pengetahuan.
Objek ilmu pengetahuan (scientific proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat ,
yaitu: dapat di/teramati (observable), dapat di/terulang (repeatable), dapat di/terukur
(measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat di/teramalkan (predictable). Syarat pertama
sampai ketiga merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan,
sedangkann dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-
syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral., operasional, dan
kuantitatif.
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua
orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan
ini, Comte menganggap bangsa manusia sebagai semacam “Tuhan”.
2. John Stuart Mill (1806-1873)
Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Ia mengakui bahwa yang
menjadi satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman. Karena itu, induksi merupakan
metode yang paling dipercaya dalm ilmu pengetahuan.
3. Hippolyte Taine (1828-1893)
Ia mendasarkan diri pada paham positivisme dalam bidang sejarah, politik, dan kesastraan.
4. Emile Durkheim (1852-1917)
Ia menganggap positivisme sebagai asa sosiologi atau mendasarkan diri pada paham positivisme
dalam bidang sosiologi. Menurutnya, dalam sosiologi, untuk mencapai kebenaran, maka seorang
pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan.

C. Penggolongan Ilmu Menurut Positivisme


Penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah
ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan
yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala
pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin konkret. Oleh
karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan. Urutan dalam penggolongan
ilmu pengetahuan August Comte:
a) Ilmu pasti (matematika)

Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan. Karena sifatnya yang teteap,
abstrak dan pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan, malalui ilmu pasti, kita akan
memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan sebenarnya, yaitu hukum ilmu pengetahuan
dalam tingkat “kesederhanaan dan ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana abstrak yang
dapat dilakukan akal manusia.
b) Ilmu perbintangan (astronomi)

Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan daapat menyusun
hukum hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu perbintangan
menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit seperti bintang,
bumi, bulan, matahari, atau planet-planet lainnya.
c) Ilmu alam (fisika)

Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan
mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala dunia anorganik.
Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidak akan dapat difahami, tanpa terlebih
dahulu memahami hukum-hukum astronomi. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika dan
hukum, maka akan dapat diramalkan dengan tepat semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu
benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.
d) Ilmu kimia (chemistry)

Gejala-gejala ilmu kimia lebih kompleks dari pada ilmu alam, dan ilmu kimia mempunyai
kaitan dengan ilmu hayat (biologi) bahkan juga dengan sosiologi. Pendekatan yang dipergunakan
dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen),
melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).e) Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
Ilmu hayat merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan.
Gejala gejala dalam ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan perkembangannya
belum sampai pada tahap positif. Karena sifatnya yang kompleks, maka cara pendekatannya
membutuhkan alat yang lebih lengkap.
f) Fisika sosial (sosiologi)

Fisika sosial merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika
sosial sebagai ilmu berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling konkret dan
khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam berkelompok

Anda mungkin juga menyukai