Anda di halaman 1dari 12

JOHN STUART MILL; UTILITARIANISME

Abstrak
Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke 19 sebagai
kritik atas dominasi hukum alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarianisme di
kembangkan Jeremy Betham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme disebut sebagai
teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory). Karena utilitiarianisme dalam
konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the greatest number. Kebahagiaan
tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut
di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan
semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme menjadi teori etika
konsekuensialisme dan welfarisme.

Kata Kunci: Utilitarianisme, Jaremy Bentham, John Stuart Mill, kesenangan, kebebasan.

Pendahuluan
Etika merupakan bagian dari filsafat. Di lihat dari ilmu dan filsafat, etika bertujuan mencari
kebenaran dan mencari kerangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Selanjutnya, mencari
ukuran baik dan buruk bagi tingkah laku manusia (Poepjawiyatna, 1990: 6). Persolan etika
muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis.
Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level
teori (Taylor, tth: 3).

Sebagai bagian dari etika, Utilitarianisme merupakan salah satu teori besar etika yang muncul
pada abad 19. Kemunculannya di latarbelakangi oleh keinginan besar untuk melepaskan diri
dari belenggu doktrin hukum alam. David Hume dan Helvetius, dan Beccaria adalah arsitek
utama doktrin Utilitarianisme tersebut. Namun, Jemery Bethamlah (1748-1832) yang berhasil
merumuskannya dalam sebuah teori formal tentang refomasi sosial sehingga menjadi kiblat
bagi kelas menengah. Sebab konsep yang ditawarkan sangat mendukung eksistensi dan
kepentingan mereka (Schmand, 2002: 441).

Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap
manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena,
kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya
kejahatan intrinsik. Oleh karena itu, sesuatu yang paling utama bagi manusia menurut Betham
adalah bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik
sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Karena
kebahagianlah yang baik dan penderitaanlah yang buruk (Shomali, 2005: 11).
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan
dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan
sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas
kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan
utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah the greatest happiness of the greatest number
(kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang). Hal ini dapat dipahami
bahwa di mana kebahagiaan disamakannya dengan kenikmatan dan dengan kebebasan
perasaan sakit. Berkat konsep fundamentalnya tersebut Jeremy Betham diakui sebagai
pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh. Akan tetapi teori yang di usung
Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan terutama tentang moralitas, sehingga para
pengkritik mencelanya sebagai pig philosophy; filsafat yang cocok untuk Babi. Salah paham
tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali oleh pengikutnya, Jhon Stuart Mill (Suseno,
1998: 173).

Definisi Istilah

Utilitarianisme secara etimologi berasal dari bahasa Latin dari kata Utilitas, yang bearti useful,
berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi paham ini menilai baik atau tidaknya, susila atau
tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya (Salam,
1997: 76). Sedangkan secara terminology utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang
berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan.
Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan.
Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan
menguntungkan atau tidak (Mangunhardjo, 2000: 228).

Menurut Jhon Stuart Mill sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat Utilitarianisme adalah
aliran yang menerima kegunaan atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan moral,
berpendapat bahwa tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan
kebahagiaan, dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan kebahagiaan. Sedangkan
kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang dimaksud dengan ketakbahagiaan
adalah derita dan hilangnya kesenangan (Rakhmat, 2004: 54). Utilitarianisme merupakan
pandangan hidup bukan teori tentang wacana moral. Moralitas dengan demikian adalah seni
bagi kebahagiaan individu dan sosial. Dan kebahagiaan atau kesejahteraan pemuasan secara
harmonis atas hasrat-hasrat individu (Aiken, 2002: 177-178).
Perkembangan Utilitarianisme

Will Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah
perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai hedonisme
kesejahteraan (walfare hedonism). Ini adalah bentuk utilitarianisme paling awal yang
memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada terpenuhinya hasrat
kesenangan manusia yang bersifat ragawi. Akan tetapi, model utilitarianisme ini sangat tidak
tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh
karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, utilitas bagi keadaan mental yang tidak
beriorientasi hedonis (non-hedonistic mental-state utility). Pada perkembangan ini, aspek
hedonistik dihilangkan dan diganti dengan kesenangan yang menjamin kebahagiaan.
Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai,
darimana pun hal itu berasal (Kymlicka, 1990: 12-13).

Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai
ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu
waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah terpenuhinya pilihan-
pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai pemenuhan pilihan (preference
satisfaction). Utilitarianisme tahap ini mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas
dalam memenuhi utilitas. Pada tahap terakhir, utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya
pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh
mengenai pilihan-pilihan tersebut. Utilitarianisme ini disebut pilihan yang berbasis informasi
(informed preference) (Kymlicka, 1990: 15-16).

Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan
menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi
legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The
greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak
mungkin orang) (Kymlicka, 1990: 12).

Biografi Singkat John Stuart Mill

John Stuart Mill adalah putra dari James Mill yang lahir di London pada tahun 1806. Mill muda
tidak pernah sekolah, namun ayahnya memberi suatu pendidikan yang sangat baik. Terbukti
sejak kecil usia 3 tahun sudah diajari bahasa Yunani, bahasa Latin pada usia 8 tahun, serta
ekonomi politik dan logika (termasuk karya asli Aristoteles) pada usia 12 tahun dan
mendiskusikannya dengan ayahnya. Selanjutnya Mill mempelajari ekonomi, Demonthenes dan
Plato khususnya pada metode dan argumentasi (Mudhofir, 2001: 362).
Pada usia 15 tahun, ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi
paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan tujuannya
untuk menjadi ”Sosial Reformer” (pembaharu sosial). Ketika berusia 17 tahun, Mill bekerja di
India House Company, di mana Ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun sampai perusahaan
tersebut bubar pada tahun 1853. Selama tahun 1865-1868 Mill menjadi anggota dalam Lower
House parlemen Inggris (Suseno, 2003: 177).

Sejak kecil John Stuart Mill juga mendapatkan pendidikan langsung dari pamannya Jeremy
Betham. Sehingga tidak mengherankan ketika berusia 20 tahun, Mill sudah terkenal sebagai
pemimpin gerakan utilitarianisme yang kritis. Di samping itu, ketika bekerja di India Company,
Ia selalu meluangkan banyak waktu untuk melakukan pengembaraan intelektual dan
menyebarkan ajaran utilitarianisme melalui surat kabar dan jurnal (Schmandt, 2004: 454).
Mengingat pekerjaannya yang begitu intensif, tidaklah mengherankan bahwa pada tahun 1826
ia mengalami keambrukan karena sakit saraf. Namun, krisis mental itu mempunyai efek yang
positif. Ia mulai membebaskan diri dari filsafat Jeremy Betham dan mengembangkan
pahamnya sendiri tentang utilitarianisme. Paham ini dirumuskannya dalam essay Utilitarianism
dari tahun 1864, yang kemudian menjadi bahan sebuah diskusi hebat selama hampir seluruh
akhir abad ke 19, terutama di Inggris. Paham khas tentang utilitarianisme yang dirumuskan
Mill merupakan sumbangan penting kepada filsafat moral. Ia meninggal di Avigron di Prancis
pada tahun 1873.

Mill adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya tentang ekonomi dan
kenegaraan dibaca luas. Salah satu tulisannya paling gemilang dalam etika politik segala zaman
adalah bukunya On Liberty di tahun 1859, yang merupakan pembelaan kebebasan individu
terhadap segala usaha penyamarataan masyarakat. Tulisan lainnya yang penting adalah System
of Logic; Principles of Political Economy, Considerations on Representative Government, dan
Subjection of Women. Mill menjadi tokoh intelektual liberalisme Inggris kedua yang tidak lagi
membela paham laissez faire klasik, melainkan memperhatikan tuntutan-tuntutan keadilan
social (Magnis Suseno, 1998: 177-178).

.
Pemikiran Tentang Kebahagiaan

John Stuart Mill menyatakan bahwa ada dua sumber pemikiran utilitarianisme. Pertama, dasar
normatif artinya suatu tindakan dianggap benar kalau bermaksud mengusahakan kebahagiaan
atau menghindari hal yang menyakitkan, dan buruk kalau bermaksud menimbulkan hal yang
menyakitkan atau tidak mengenakkan. dan Kedua, dasar Psikologi artinya dalam hakikat
manusia berasal dari keyakinannya bahwa kebanyakan, dan mungkin saja semua, orang punya
keinginan dasar untuk bersatu dan hidup harmonis dengan sesama manusia (Salam, 1997: 77-
78).
Utilitarianisme menggunakan utility (manfaat) atau kebahagiaan terbesar (the greatest
happiness) sebagai dasar moralitas. Dasar tersebut menyatakan bahwa tindakan adalah benar
jika condong untuk menambah kebahagiaan atau salah jika condong untuk menimbulkan
keburukan (Titus, Smith, dan Nolan, 1984: 149). Jadi suatu tindakan adalah baik hanya jika
memaksimalkan kebahagiaan manusia dan hasil akhir dari suatu tindakan jauh lebih penting
dari pada motivasi di belakangnya. Artinya, memaafkan kebohongan bilamana memiliki
faedah (yakni kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu orang dari pada
mencelakakannya. Dengan demikian, misalnya mencuri bisa diterima secara moral, jika
mencuri dikarenakan untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan (Palmquist, tth: 300).
Karena tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan, dan
kaya se kaya-kaya nya dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Bagi Mill
kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang
membuat bahagia (Poespoprodjo, 1999: 62-63).

Lebih dari itu lanjut Mill, tolak ukur moralitas kebahagiaan kaum utilitarianisme bukan
kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Mungkin akan muncul
pertanyaan: apa yang dapat menggerakkan saya untuk berkurban demi kebahagiaan orang lain?
Untuk menjawab pertanyaan ini Mill memakai teori psikologi tentang asosiasi: Asal saja orang
membiasakan diri untuk mengaitkan kebahagiaan nya sendiri dengan kebahagiaan seluruh
masyarakat, maka motivasi untuk mengusahakan kebahagiaan sendiri juga akan
mendorongnya untuk mengusahakan kebahagiaan masyarakat (Suseno, 1998: 174).
Menurut Mill, semula manusia memang bukan menginginkan keutamaan (atau uang dan
sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia.
Karena manusia menyadari bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila memiliki
keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar
keutamaan, lama-kelamaan keutamaan dikaikan sedemikian erat dengan kebahagiaan sehingga
seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan (Suseno, 2003: 184).
Bagi Mill bahwa keinginan untuk memeroleh kesenangan yang besar merupakan satu-satunya
motif tindakan individu, dan bahwa kebahagiaan yang paling besar dari setiap orang
merupakan patokan bagi kebaikan masyarakat dan sekaligus menjadi tujuan dari semua
tindakan moral

Kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang
ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan. Maka,
Ada dua hal yang dapat dipahami, Pertama, moralitas tindakan diukur dari sejauh mana
diarahkan kepada kebahagiaan, dan Kedua, kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang
dan kebebasan dari rasa sakit (Suseno, 2003: 181). Bagi Mill kebahagiaan terbagi dalam enam
disposisi, yaitu: Pertama, baik dalam bidang pikir maupun kerja, terdapat konsekuensi-
konsekuensi senang dan susah. Satu-satunya yang diinginkan ialah kesenangan, sebagai
konsekuensi logis.

Kedua, dari segi psikologi, di mana pun manusia berada, apa pun yang mereka kerjakan, sudah
menjadi wataknya, manusia itu selalu mendambahkan/menginginkan kesenangan.
Ketiga, antara kesenangan-kesenangan itu sendiri kualitasnya tidak sama. Sudah tentu orang
akan memilih jenis kesenangan yang menurut anggapannya lebih baik dan lebih sesuai dengan
dirinya.

Keempat, bahwa kesenangan itu sendiri dapat dirasakan oleh banyak orang. Bila masih ada
hal-hal lain yang diperlukan di luar dari kesenangan maka hal-hal lain itu tidak lebih daripada
pelengkap dari kesenangan itu sendiri.

Kelima, bahwa bila terdapat dua jenis kesenangan yang dianggap sama, maka yang dijadikan
kriteria untuk memilih mana di antaranya yang terbaik, maka dipilihlah yang paling lama
memberikan kesan, yang paling lama dapat dinikmati tanpa mengaitkan penilaian itu dengan
biayanya.
Keenam, bahwa kesenangan itu adalah merupakan suatu yang paling pantas diterima oleh
seseorang yang telah bekerja, telah berusaha dan telah berjuang dalam hidupnya (Salam,1997:
92-93)..
Mill berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan
kuantitatif. Sehingga bukan merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui
kenyataan bahwa beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan
yang lain. Satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya
meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar. Individu yang bijak menuntut
lebih dari sekedar kesenangan lahiriah (sensual pleasure) untuk membuatnya bahagia. Bagi
orang seperti ini, ketidakpuasan di bawah kondisi tertentu lebih baik dari kepuasan. ”Lebih
baik menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi babi yang puas; lebih baik menjadi
Sokrates daripada orang tolol yang puas (Schmandt, 2002: 455-456).
Bagaimana orang bisa menentukan manakah dari dua kesenangan yang mempunyai nilai lebih
intrinsik? Mill menyatakan bahwa keputusan dari orang yang mengalami kedua kesenangan
itu harus dijadikan pedoman. Karena perbandingan antara kualitas kesenangan pada dasarnya
tidak berbeda dengan perbandingan kuantitas, bahkan perbandingan yang disebut terakhir ini
harus dijadikan acuan sebagai keputusan orang yang paling kompeten (Schmandt, 2002: 456).
Utilitarianisme mengungkap suatu penghayatan moral yang kritis dan rasional. Tidak diakui
bahwa ada tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib atau terlarang. Pada dirinya
sendiri semua tindakan dianggap netral. Yang memberi nilai moral kepada tindakan-tindakan
itu ialah tujuannya dan akibat-akibatnya sejauh dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya
hal hubungan seks di luar perkawinan. Seorang utilitaris tidak akan menerima bahwa hal itu
begitu saja tidak boleh. Ia akan menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal dengan
mempertimbangkan akibat-akibat baik dan buruk dari hubungan seks di luar perkawinan, baru
ia memberi penilaian apakah boleh atu tidak (Suseno, 2002: 124).
Utilitarianisme sebagai pendirian etis terasa masuk akal, tidak dapat dipersoalkan karena
memang jelas yang disikapi. Apa arti berbuat baik bila tak mendatangkan kegunaan, manfaat,
keuntungan apa pun macam dan tingkatnya? Menurut Utilitarianisme semua perbuatan baru
dapat dinilai jika akibat dan tujuannya sudah dipertimbangkan. Sebelum itu netral; semua
peraturan tidak dengan sendirinya harus ditaati. Sebelum ditaati, peraturan itu harus
dipertanggungjawabkan akibatnya bagi mereka yang terkena. Karena pada hakekatnya
manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama orang lain dan harus memperhitungkan
mereka dalam perilaku dan tindakannya (Mangunhardjo, 2000: 229).
Mill menolak anggapan bahwa utilitarianisme sama dengan opurtunisme yang selalu memilih
apa yang paling bermanfaat. Bagi Mill prinsip manfaat hanya kalau dapat membenarkan
tuntutan mutlak seperti jangan berbohong, karena kalau larangan itu mutlak, kepercayaan
antara manusia dapat dipertahankan., padahal kepercayaan itu amat diperlukan, kecuali itu
memang ada kemungkinan suatu kekecualian dan hal itu juga diakui oleh etika-etika yang
bukan utilitaristik. Bagitu pula sangkaan bahwa tidak mungkin manusia selalu
mempertimbangkan segala akibat tindakannya tidak kuat, karena akibat kebanyakan tindakan
sudah disadari manusia berdasarkan pengalaman umat manusia selama beribu-ribu tahun
(Suseno, 1998: 175).

Kebebasan Manusia
Manusia mencari bentuk kesenangan yang lebih tinggi, tujuan moralnya lebih pasti dan
kesadaran sosialnya lebih tajam hanya jika mereka memahami diri mereka dengan benar. Akan
tetapi, intitusi dan praktik masyarakat yang terorganisir seringkali sangat menghalangi
pencerahan dan kemajuan intelektual seseorang, dan konsekuensi logisnya kesenangan yang
dicari manusia seringkali mempunyai tingkat yang rendah (Schmandt, 2002: 458).
Sebenarnya tak ada masalah dalam menyediakan motif bagi kegunaan. Pada dasarnya motif itu
telah tersedia dalam bentuk-bentuk simpati kemanusiaan yang sederhana atau perasaan
terhadap sesama. Jika manusia memahami dirinya sendiri secara cukup, dan tidak disesatkan
oleh konsepsi-konsepsi yang keliru tentang situasi manusia yang ditanamkan melalui agama
yang buruk, filsafat yang buruk, dan pemerintah yang buruk, kemajuan moral manusia akan
berjalan lebih cepat. Yang paling diperlukan bagi pencerahan pada saat ini adalah kebebasan.
Karena kebebasan adalah sarana dan sekaligus tujuan, suatu syarat bagi kesejahteraan umum
dan komponen intrinsik bagi kebahagiaan pribadi. Karena kebebasan merupakan kebaikan
tertinggi yang bisa diwujudkan oleh masyarakat yang terorganisir (Aiken, 2002: 178-179).
Satu-satunya tindakan individu, di mana ia setuju dengan masyarakat adalah tindakan yang
menyangkut orang lain. Kebaikannya sendiri, baik fisik atau moral, bukanlah suatu justifikasi
yang mencukupi bagi negara untuk melakukan kegiatan intervensi. Intervensi publik
diperbolehkan ketika individu menimbulkan kerusuhan atu melalaikan keluarga.
Dalam membuat garis batas kebebasan manusia, Mill mendata tiga kategori utama: Kebebasan
berbicara, mendapatkan pekerjaan dan berkumpul. Tidak ada masyarakat yang bisa disebut
bebas jika tiga kebebasan tersebut tidak dihormati, apapun bentu kepemerintahannya. Untuk
menjustifikasi kebebasan-kebebasan tersebut, Mill menggunakan argumentasi yang sangat
pragmatis dan utilitarian. Adalah penting manusia mengekspresikan kebebasannya karena
pertama, pendapatnya mungkin benar. Kedua, meskipun pendapatnya mungkin salah. Ketiga,
apakah pendapatnya salah atau benar, ia mendorong pemikiran dan respon. Bahaya khusus dari
menyembunyikan pendapat adalah dalam merampas harkat manusia: orang-orang yang tidak
menerima pendapat masih lebih banyak dari mereka yang menerima. Jika pendapatnya benar,
maka mereka tidak mempunyai kesempatan mengganti kesalahan dengan kebenaran; jika
salah, mereka kehilangan manfaat besar, persepsi yang lebih jelas dan kesan yang lebih hidup
akan kebenaran, yang ditimbulkan oleh benturannya dengan kesalahan (Schmandt, 2002: 460).
Akan tetapi kebebasan-kebebasan tersebut tidak berlaku sepanjang waktu dan dalam semua
keadaan. Tindakan tidaklah sebebas pendapat dan bahkan kehilangan kebebasannya jika
lingkungan di mana pendapat itu dinyatakan menunjukkan dorongan positif pada tindakan
kejahatan. Di samping itu, kebebasan bertindak dan berbicara hanya berlaku bagi mereka yang
sudah dewasa. Anak-anak tidak mempunyai hak karena mereka masih dalam tahap di mana
mereka harus dilindungi dari tindakan yang merugikan yang berasal dari orang lain dan diri
mereka sendiri (Schmandt, 2002: 462). Selain itu, membatasi kebebasan individu seseorang
adalah untuk melindungi kebebasan orang lain. Karena tanpa kebebasan seorang pribadi tidak
dapat menyadari bakat dan kebahagiaannya (Solomon dan Higgins, 2002: 459-460).

Perbedaan Utilitarianisme Jhon Stuart Mill dan J. Betham

Secara umum etika utilitarianisme Mill berbeda dengan para pendahulunya yaitu:
Pertama, Mill tidak hanya membedakan kenikmatan menurut jumlahnya, melainkan juga
menurut sifatnya. Sifat ini tidak hanya menyangkut keadaan-keadaan yang bersifat tambahan,
seperti mahal, berharga, dan sebagainya, melainkan juga terutama yang bersifat hakiki;
kenikmatan yang satu pada hakikatnya lebih bernilai dibandingkan dengan kenikmatan
lainnya. Dalam arti Mill menganggap bahwa kenikmatan-kenikmatan memiliki tingkatan
kualitas, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah.
Kesenangan manusia harus lebih tinggi dari kesenangan hewan, tegasnya kesenangan orang
seperti Socrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Sedangkan Bentham
menyatakan bahwa kenikatan pada hakikatnya sama, satu-satunya aspeknya yang berbeda
adalah kuantitasnya. Bukan saja the greatest number tapi juga the greatest happiness dapat
diperhitungkan (Bertens, 2000: 249-248).

Kedua, Mill mengedepankan pada watak sosial. Artinya kebahagiaan yang menjadi norma etis
adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu
orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam
hal ini harus diperlukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih
penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri; everybody to count
for one, nobody to count for more than one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika
kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat
dihitung dengan cara yang sama (Bertens, 2000: 250).

Tinjauan Kritis

Dari proposisi di atas dapat dipahami bahwa utilitarianisme Jeremy Bentham dengan prinsip
the greatest happiness of the greatest number seolah-olah menjadi teori etika
konsekuensialisme dan welfarisme. Konsekuensialisme dipahami sebagai paham yang
bependirian bahwa yang baik ditetapkan berdasarkan akibat. Bila akibat itu baik, maka
perbuatan yang bersangkutan baik. Sebaliknya, meskipun dikatakan baik, bila akibatnya buruk,
maka perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme adalah paham yang berpendirian bahwa
usaha masyarakat, terutama negara, harus ditujukan untuk kesejahteraan masing-masing warga
negara dan rakyat secara keseluruhan. Karena itu, utilitarianisme berpendirian bahwa
perbuatan baik ditentukan menurut akibat baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi
masing-masing dan sebagaian besar orang yang terkena (Mangunhardjo. 2000: 229).
Dari konsepsi berfikir seperti di atas, maka sebagai prinsip moral, Utilitarianisme mengandung
beberapa kelemahan mendasar. Pertama, Terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan,
sebagai kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan. Muncul pertanyaan, ”berguna
untuk siapa”?. Karena kegunaan, manfaat, keuntungan selalu berhubungan dengan orang yang
terkena. Padahal pandangan orang tentang apa yang berguna, bermanfaat, menguntungkan
sangat subyektif dan berbeda-beda. Selain itu, prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa
pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas
terbesar hidup makmur dan sejahtera serta hanya ada minoritas kecil yang serba miskin dan
mengalami rupa-rupa kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti telah
diatur dengan baik, karena kesenangan melebihi ketidaksenangan (Bertens, 2000: 252).
Kedua, Utilitarianisme sangat memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Hal tersebut
menyebabkan atas nama Utilitarianisme, orang tidak perlu sibuk dengan pemikiran tentang
hakikat, tetapi apa akibat bagi hidup kita. Maka dalam prakteknya Utilitarianisme mudah
mengesampingkan fakta kemanusiaan dan etis dasar yang tersangkut oleh perbuatan.
Alasannya jelas sebab fakta kemanusiaan dan etis dasar itu secara langsung menampakkan
ketidakgunaan, ketidakmanfaatan, dan kerugiannya. Atas nama keuntungan, orang-orang
Utilitarianisme dengan tenang akan melanggar hak asasi manusia seperti hak milik.
Ketiga, Utilitarianisme mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan
berfikiran dan pandangan pendek (short sight). Karena terjebak pada paradigma kegunaan,
manfaat, dan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan. Maka ada kemungkinan memakainya
untuk membenarkan perbuatan yang menurut pendapat umum egois bahkan amoral (Bertens,
2000: 229-230).

Namun di balik itu semua, ada hal yang sangat positif dari etika Utilitarianisme, Pertama,
Rasionalitas. Suatu tindakan dipilih, atau pada gilirannya dinilai baik, karena tindakan itu akan
mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakannya. Di sini ada sebuah neraca
perhitungan. Dengan demikian, dalam kerangka pengambilan keputusan, khususnya dalam hal
ini di bidang bisnis, Ia memberi peluang bagi debat, argumentasi dan diskusi dalam rangka
kalkulasi keuntungan atau nilai lebih yang akan diperoleh suatu tindakan atau kebijakan
tertentu. Ia tidak sekedar menenakankan tindakan tertentu demi tindakan itu, melainkan karena
alasan rasional.

Kedua, Universalitas. Akibat atau nilai lebih yang hendak dicapai diukur berdasarkan
banyaknya orang yang memperoleh manfaat dari nilai lebih itu. Etika Utilitarianisme
mengutamakan tindakan atau kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan banyak orang

di atas kepentingan segelintir orang( Berten, 2000: 78).

Ketiga, Kebahagiaan yang merupakan tolak ukur utilitarianisme tentang betul-salahnya


kelakukan manusia bukanlah kebahagian si pelaku sendiri, melainkan kebahagiaan semua
orang yang bersangkutan. Utilitarianisme menuntut agar pelaku berlaku dengan tidak berpihak,
sebagai pengamat positif dan tanpa pamrih, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan
kebahagiaan orang lain (Suseno, 2003 :182).

Menurut Perspektif Islam aliran utilitarianisme sangat berbahaya karena akan menghalalkan
segala cara agar mendapat kebahagiaan yang diimpikan. Sedangkan Islam sendiri dengan
konsep rahmatan lil alamien-nya mempunyai ajaran al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ’an al-
munkar artinya mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk selalu melaksanakan kebaikan
agar mendapat kebahagiaan hakiki dan mencegah manusia sebanyak-banyaknya dari perbuatan
tercela agar tidak terjebak pada perbuatan-perbuatan yang merugikan baik bagi diri sendiri
maupun orang lain.

Menurut al-Mawardi sebagaimana dikutip Suparman Syukur, maksud dan tujuan


diwajibkannya al-amar bi al-ma’ruf di dalam Islam adalah untuk menekankan betapa
pentingnya melakukan perintah-perintah Allah (yang tentunya terkandung berbagai kebaikan
bagi manusia sendiri dalam hidupnya), sedangkan perintah meninggalkan larangan-
larangannya, tidak lain untuk menekankan manusia betapa ruginya melakukan hal-hal tersebut.
Perintah melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk menjadi semakin penting
karena jiwa manusia yang loba itu sering didominasi oleh sifat kekanak-kanakan dan
kebodohan (sabwah) dalam mengikuti segala perintah Allah, dan sering terbuai kelalaian oleh
beberapa keinginan yang jelek (al-syahawat), sehingga lupa terhadap larangan-larangan
tersebut (Syukur, 2004: 217-218).

Kesimpulan
Dari deskripsi di atas dapat diambil sebuah kesimpulan. Pertama, etika Utilitarianisme muncul
pada abad ke 19 sebagai reaksi penolakan terhadap belenggu paham hukum alam yang
berkembang pesat pada saat itu. Kemunculannya dipelopori David Hume, tetapi
disempurnakan dalam sebuah teori baku oleh Jeremy Betham dan tokoh yang paling
berpengaruh dalam utilitarianisme adalah John Stuart Mill, yang berhasil merekonstruksi
kelemahan-kelemahan mendasar paham Utilitarianisme, sehingga dapat menjawab kritikan-
krtitikan dari para penentang Utilitarianisme.

Kedua, Utilitarianisme menggunakan utility (manfaat) atau the greatest happiness


(kebahagiaan terbesar) sebagai dasar moralitas. Tetapi tolak ukur moralitas kebahagian
utilitarianisme Mill bukan kebahagian pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua.
Artinya, agar pelaku berlaku berposisi netral dengan tidak berpihak, dalam memilih antara
kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain. Di samping itu, kebahagiaan tersebut
memiliki kualitas, karena ada kebahagiaan yang bermutu dan ada yang tidak. Kebahagiaan
manusia dinilai lebih bermutu atau tinggi dibandingkan dengan kebahagiaan hewan.
Ketiga, utilitarianisme menjebak manusia masuk dalam perangkap konsekuensialisme dan
Welfarisme, karena terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai kriteria untuk
menilai baik dan buruknya perbuatan, memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Dan
berpotensi mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berfikiran dan
pandangan pendek (short sight).

Anda mungkin juga menyukai