Anda di halaman 1dari 13

4.

2 Teori Utilitarianisme
mengenai teleological ethics yang merupakan induk dari dua pandangan besar
etika, yakni egoisme (hedonisme) dan utilitarianisme (utilis). Teleological sendiri
berasal dari bahasa Yunani, yakni “telos” yang bermakna “tujuan”. Untuk itu, teori
etika teleologi berpendapat bahwa kualitas mutu etik yang baik dari sebuah tindakan
hanya dikatakan baik apabila tercapainya keinginan akhir dari sebuah tindakan tersebut.
Dengan kata lain, teori ini lebih menitikberatkan pada sebuah kesimpulan akhir.
Misalnya, apabila seseorang berperilaku baik, maka yang dinilai adalah hasil akhir dari
keinginan individual yang ingin diraihnya.

Sementara itu, utilitarianism atau dalam bahasa latin disebut “utilis” yang
memiliki arti “bermanfaat” atau “kegunaan”. Pandangan yang cukup populer dari aliran
ini ialah baik atau tidaknya suatu perbuatan ditentukan oleh kuantitas dari manfaat yang
dihasilkan dan dirasakan oleh banyak orang. Contohnya memberi, jika memberi itu
membuat orang tersinggung atau untuk merendahkan orang lain, maka perbuatan
tersebut dianggap kurang etis. Untuk itu utilitarianism memiliki karakteristik dapat
diterima dan diterangkan secara ilmiah. Karena ia merupakan sebuah kewajiban yang
kritis dan bersifat komprehensif serta menyeluruh. Hal tersebut tidak terlepas dari
peran utilitarianisme dalam sistem etika yang bersifat normatif. Artinya ia tidak akan
begitu saja menerima norma-norma yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan.
Sebaliknya, utilitarianisme akan mempertanyakan mengenai alasan mendasar mengapa
norma-norma tersebut diterapkan atau mengapa sebuah perbuatan itu dilarang.
Contohnya hubungan suami istri di luar perkawinan yang tidak sah baik secara hukum
negara maupun secara hukum agama. Baik nilai-nilai utilitarianisme atau pun nilai-nilai
agama, keduanya menolak hubungan suami-istri di luar nikah, apa pun alasannya.
Dalam hal ini mirip juga dengan ajaran Islam, yang melarang hubungan suami-istri bagi
pasangan yang belum menikah.

Pada perkembangannya konsep utilitarianisme tidak bisa lepas dari induknya


yakni etika teleologi. Sebab, baik atau buruknya suatu tindakan tergantung pada “telos”
atau tujuan akhir yang hendak ingin diraih dengan mempertimbangkan kebermanfaatan
yang besar dibanding kesengsaraan. Inilah poin pembeda antara etika teleologi dengan
etika deontologi. Untuk itu, dalam konsep utilitarianisme terdapat klasifikasi terhadap
baik atau tidaknya suatu tindakan; dengan menghitung “kebahagiaan terbesar dari
jumlah terbesar”.Untuk itulah, subtilasasi dari ajaran utilitarianisme ialah terletak
pada tujuan akhir dari perbuatan yang dilakukan dan ditimbulkan oleh seseorang dengan
mempertimbangkan baik-buruk. Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan
kebermanfaatan terbanyak dari jumlah terbesar, maka perilaku tersebut dapat
dikategorikan baik. Namun, jika keburukan terbanyak dari jumlah terbesar yang di
dapat, maka perilaku tersebut termasuk kedalam sebuah tindakan yang kurang etis.

Utilitarianisme juga memberikan ruang pada responsibility (tanggung jawab),


namun terbatas pada pengertian bahwa kewajiban atau tanggung jawab manusia sejak
lahir adalah melakukan perbuatan baik dan bukan perbuatan jahat. Hal tersebut
merupakan bagian dasar dari apa yang dimaksud sebagai aliran atau faham dalam
filsafat ilmu, khususnya dalam ruang lingkup aksiologi (etika) yang secara eksplisit
mengatakan bahwa etika utilitarian sendiri bergerak pada “prinsip kebermanfaatan” dan
prinsip “kebahagiaan terbesar”. Ada dua jenis utilitarianisme yang berkembang saat ini,
yaitu “act utilitarianism” dan “rule utilitarianism”. Act utilitarianism atau biasa disebut
dengan utilitarianisme yang bersifat tindakan, merupakan jenis utilitarianisme yang
membebaskan seseorang untuk bertidak, selama tindakannya tersebut membawa
kebermanfaatan yang lebih besar daripada kejahatan. Sedangkan rule utilitarianism
atau lebih familiar dengan utilitarianisme yang bersifat aturan, mengatakan bahwa
manusia harus bertindak berdasarkan norma-norma yang dapat mengahasilkan lebih
besar manfaat dibanding keburukan.

4.3 Biografi Singkat dan Karya-karya J. S. Mill


Lahir di London, Inggris tahun 1806 John Stuart Mill atau disingkat J. S. Mill
dikenal sebagai seorang tokoh sosial-politik dan filsuf etika, khususnya etika yang
beraliran utilitarian. Memiliki ayah yang bernama James Mill dan berkecimpung di
dunia ekonomi, politik, dan filsafat, membuat Mill muda memiliki masa depan yang
cukup menjanjikan. Bahkan ayahnya sendiri merupakan kerabat dekat dari tokoh etika
utilitarianisme yang pertama yakni, Bentham. Kepribadian dan pemikiran John Stuart
Mill yang kritis sudah mulai dibentuk dari semenjak kecil. Hal tersebut dapat dilihat
dari kemahiran bahasa Yunani yang dimiliki oleh John Stuart Mill, telah dia asah
semenjak usia tiga tahun. Oleh karena itu, diusia remaja, tepatnya pada usia dua belas
tahun, Mill muda sudah tidak asing lagi dengan teks-teks berbahasa Yunani, dari mulai
teks sastra, sejarah, hingga teks yang membahas ilmu matematika. Inilah yang membuatnya
lebih mudah memahami pemikiran para tokoh filsuf terdahulu, tidak
terkecuali tulisan-tulisan dari bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith.

Pada tahun-tahun berikutnya, Mill bergabung dengan “lingkaran studi utilitaris”.


Studi ini dibuat semasa dengan Jeremy Bentham dan James Mill masih hidup. Jenjang
karir Mill dimulai pada Usia 19 tahun (1823), dengan menjadi pegawai. Lalu 42 tahun
kemudian pada periode 1865, John Stuart Mill dilantik menjadi anggota parlemen
Inggris selama setahun. Namun sebelum berada dimasa puncaknya, tepatnya pada usia
21 tahun, Mill jatuh sakit karena gangguan saraf mengingat pekerjaannya yang begitu
itensif menyebabkan dia mengalami kemunduran secara psikologi.

Namun, di tengah krisis mental yang dialami Mill, justru memiliki dampak
positif bagi dirinya pribadi. Mill mulai sadar dan mulai mengembangkan konsep
utilitarianismenya sendiri yang berbeda dengan utilitarianisme Jeremy Bentham.
Konsep utilitarianismenya semakin berkembang ketika diaktualisasikan dalam bentuk
esai yang diberi judul utilitarianism (1864). Esainya tersebut mendapat sambutan
hangat dari para pembacanya. Bahkan tetap menjadi bahan diskusi yang hangat selama
akhir abad ke-19, terutama di Tanah Negeri Ratu Elishabeth, Inggris. Mulai dari sini,
sosok Mill dianggap sebagai tokoh penting dari filsafat moral Kontemporer, khususnya
utilitarianisme.
John Stuart Mill kemudian tutup usia di Avignon Prancis, diusia yang terbilang
masih cukup matang 67 tahun (1873). Mill meninggalkan banyak karya yang cukup
monumental dan masih tetap menjadi bahan diskusi hingga sampai hari ini. Dalam
dunia politik sendiri, Mill menulis tentang etika politik yang dia beri judul On Liberty
tahun 1859. Dalam karyanya tersebut, Mill membahas mengenai nilai-nilai individu
yang bebas dari segala bentuk penindasan. Sementara itu, tulisan Mill yang tidak kalah
jauh lebih penting yaitu tentang “prinsip-prinsip ekonomi dan politik” (Principles of
Political Economy) dan masih banyak lagi. John Stuart Mill kemudian dikenal sebagai
figur liberal yang mengkritisi kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan
menuntut keadilan sosial. Terkait dengan keadilan sosial dalam Islam, ia harus bersifat
universal. Artinya keadilan tidak hanya dapat dirasakan oleh umat Islam saja, melainkan
masyarakat non-Islam juga berhak mendapatkannya. Bahkan apabila dihubungkan
dengan hak individu, tanggung jawab merupakan komponen yang subtil ketika
seseorang berbicara mengenai hak dan kewajiban.

4.4 Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill


Tidak sedikit dari para peneliti ketika menjelaskan mengenai sebuah konsep atau
pemikiran tokoh mengalami kesulitan dalam menguraikannya. Untuk itu, dalam rangka
menjelaskan ide atau gagasan John Stuart Mill mengenai utilitarianisme, berikut akan
dijelaskan secara lebih mendalam agar memudahkan dalam memahami peta pemikiran
utilitarianisme Mill. Untuk itu perlu kiranya diklasifikasikan menjadi empat poin
penting. Poin yang pertama, dan perlu menjadi catatan bahwa apa yang dilakukan oleh
Mill dengan konsep utilitarianismenya merupakan rekonstruksi ulang dari
utilitarianisme Bentham. Artinya secara ilmiah Mill mencoba memperbaiki definisi
utilitarianisme yang dianggap sebagai faham atau ideologi sesat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh utilitarianisme terdahulu. Mill memulainya dengan membuat konsep
baru mengenai “prinsip kebermanfaan”. Seperti yang sudah dijelaskan diawal. Hal
tersebut mengacu pada perbuatan-perbuatan baik dan benar apabila memiliki tujuan
akhir sebagai alat pendukung keadilan, dan buruk apabila untuk mendukung kejahatan.

Poin kedua, prinsip kegunaan John Stuart Mill. Prinsip kegunaan ini, kemudian
dipakai untuk menyangkal tuduhan-tuduhan negatif terhadap etika utilitarianisme,
terutama utilitarianismenya Bentham. Mill sendiri tidak sependapat dengan para kritikus
utilitarianisme yang menganggap aliran etika ini sebagai aliran materialistik semata. Hal
tersebut dibantah oleh Mill secara ilmiah. Menurutnya, dalam dunia manusia terdapat
dua kebahagiaan, yakni kebahagiaan yang hakiki dan kebahagiaan yang bersifat
sementara. Seperti yang sudah dijelaskan diawal. Artinya manusia boleh memilih
kebahagiaan seperti apa yang mereka inginkan.

Poin ketiga, kritik dan pembelaan John Stuart Mill. Mengenai hal ini, Mill
menolak pandangan-pandangan negatif yang berasal dari sebuah prasangka yang
mengatakan utilitarianisme sebagai jenis etika yang bersifat egois atau hanya
mementingkan kepentingan individu saja. Sebenarnya pandangan tersebut tidak sepenuhnya
keliru apabila disematkan pada konsep utilitarianismenya Bentham.
Namun, akan menjadi pandangan yang keliru apabila menyamakannya dengan konsep
etika utilitarianisme John Stuart Mill. Persoalan tersebut telah Mill uraikan dengan
argumen-argumennya yang filosofis. Gagasan-gagasan Mill mengenai utilitarianisme
sangat unik. Dimana Mill mampu mengelaborasikan antara perbuatan yang bersifat
“hedonistik” tanpa meninggalkan peran individu dari setiap manusia yang mempu
bertindak egois demi kepentingannya sendiri dan demi kebahagiaan banyak orang.
Walaupun kebahagiaannya sendiri ia korbankan demi kebahagiaan terbesar dari jumlah
terbanyak yang mendapat kebermanfaatannya.

Poin keempat, konsepsi dan aksiologi dari utilitarianisme John Stuart Mill. Idede
atau konsep John Stuart Mill mengenai utilitarianisme, dituangkannya dalam bentuk
aksi nyata. Aksi yang pertama berangkat dari sebuah hipotesa mengenai keseriusan
manusia dalam mencapai kebahagiaan. Hal tersebut Mill buktikan dengan kesadaran
akan pentingnya nilai dari yang didambakan oleh manusia. Aksi yang kedua setiap
individu manusia memiliki standarisasi kebahagiaannya masing-masing. Hal tersebut
Mill terangkan sebagai sebuah kesadaran kebahagiaan bersama yang patut untuk
diwujudkan. Dari kedua aksi tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam
alam bawah sadar manusia terdapat keinginan yang melampaui arti dari kebahagiaan itu
sendiri. Untuk itu Mill berpendapat bahwa sebenarnya manusia tidak selalu
menginginkan sesuatu yang bersifat primer (kebutuhan utama) untuk dirinya sendiri,
melainkan hanya sebatas alat atau kendaraan untuk mencapai kebahagiaan. Beberapa
catatan kritis yang dilontarkan oleh para pengkritik utilitarian, menurut John Stuart Mill
sudah berusaha dibantahnya. Terutama mengenai berbagai macam kesalahpahaman
yang dikemukakan dalam kritik utilitarianisme Jeremy Bentham. Hal tersebut justru
menimbulkan catatan kritis penting lainnya. Mill memang dianggap “memperbaiki”
utilitarianisme, namun sebagai akibat dari argumentasinya, Mill terkena oleh berbagai
stereotip pemikiran yang inkonsistensi. Oleh sebab itu, utilitarianisme Mill pun lebih
banyak dikritisi daripada disetujui oleh banyak orang.

4.5 Relevansinya terhadap Ilmu-Ilmu atau Pemikiran


Keislaman
Dalam Islam sendiri kata etika memiliki kesepadanan kata dengan kata
“akhlak”. Secara sederhana, akhlak atau khuluq dalam bahasa Arab diterjemahkan
sebagai tabiat, budi pekerti, dan terjemahan yang sejenisnya. Untuk itu khuluq atau
akhlak merupakan gerak jiwa yang lebih pada perbuatan atau tingkah laku. Sehingga
etika atau akhlak menjadi sesuatu yang sangat subtil untuk dipelajari dan
diimplementasikan dalam kehidupan keseharian manusia. Berbeda dengan kata
akhlak, kata ‘teologi’ sendiri masih belum begitu populer dikalangan masyarakat awam
atau desa, dan lebih populer di masyarakat kota atau akademisi. Theology berasal dari
kata “theos” dan “logos”. Kedua kata tersebut diterjemahkan menjadi “ketuhanan”
(theos) dan pengetahuan atau ilmu (logos). Jadi bisa disimpulkan bahwa teologi
merupakan filsafat ilmu yang membahas aspek-aspek “ketuhanan”. Seperti mengkaji
sifat-sifat Tuhan dari segala aspek dan relevansinya dengan fenomena alam. Meskipun
memiliki lapangan pembahasan yang luas, teologi pada umumnya memiliki pengertian
sebagai khazanah keilmuan dalam Islam yang mengkaji fenomena-fenomena
keagamaan, salah satunya mengkaji mengenai hubungan antara Tuhan dan makhluknya
(manusia), melalui dua nalar; aqli dan naqli.
Merefleksikan kembali definisi “teologi” khususnya dalam ruang lingkup
pemikiran keislaman, merupakan kegiatan yang tidaklah semudah yang orang duga.
Istilah “teologis” sendiri merupakan istilah yang muncul dari khazanah intelektual
Barat.33 Sedangkan dalam khazanah intelektual dan budaya Islam sendiri, istilah yang
disepadankan dengan kata “teologis” ialah “kalam”. Hanya karena pembicaraan dalam
penelitian ini didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam saja, maka
konsep utilitarianisme John Stuart Mill serta relevansinya terhadap ilmu-ilmu atau
pemikiran keislaman.

Teologi dan kalam merupakan bagian dari ilmu-ilmu atau pemikiran keislaman.
Namun, disadari atau tidak, ilmu-ilmu agama Islam telah mengalami fragmentasi dan
kompartementalisasi. Sehingga hampir lebih dari 500 tahun, ilmu-ilmu atau pemikiran
keislaman mengalami kemandegan. Pada awal mula kemunculannya, ilmu-ilmu
keislaman seperti kalam, teologi, tasawuf, fiqh, filsafat, tafsir, hadits dan lain
sebagainya, bermaksud untuk pembedaan jenis pendekatan “metodologi” semata.
Namun, yang realitanya adalah adanya pengotak-ngotakan kelompok Islam, sehingga
Islam tidak terlihat sebagai sebuah kesatuan umat beragama. Contohnya fiqh. Ia
dianggap sebagai ilmu yang hanya sebatas pada ranah wajib-sunah dan halal-haram
saja. Begitu pula dengan pemikiran Islam kalam, yang pembahasannya hanya berputarputar
pada kelompok Asy’ariah dan Mu’tazilah semata.

Berbicara mengenai pemikiran keislaman, bagi sebagian orang yang berakal


sehat dan hati nurani yang suci, secara penuh kesadaran akan mengatakan bahwa ia
sendiri ada karena pikiran dan imannya. Untuk itu setiap tindakan ataupun perbuatan
manusia merupakan ikhtiar atau kewenangan atas dirinya sendiri (iradat) tanpa ada
intervensi dari luar. Lalu segala konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya itu
merupakan cerminan dari kodrat itu sendiri. Hal tersebut terkadang menimbulkan
kesalahpahaman tujuan atau maksud baik antara satu orang dengan orang lain. Niatnya
munkin baik, tapi waktunya yang mungkin kurang tepat. Sehingga timbulah sebuah
konflik. Ini juga merupakan bagian dari tereduksinya akhlak umat Islam yang hanya
sebatas pada persoalan sopan santun, cara berpakaian, makan-minum dan lain
sebagainya. Hal tersebut dikarenakan kakunya nilai-nilai ijtihad, sehingga para ulama
dan cendikiawan takut untuk melakukan terobosan-terobasan baru. Padahal bisa saja
terobasan baru dari para ulama kekinian dan memberikan kebermanfaatan yang jauh
lebih besar daripada ulama-ulama terdahulu. Maka utilitarianisme yang memelihara
kebermanfaatan atau kegunaan yang besar bagi banyak manusia, baik manfaat secara
fisik maupun non-fisik, di masa kini maupun masa mendatang, dapat menjaga dan
mengarahkan manusia pada dua kenikmatan yaitu kenikmatan dunia (logos) dan
kenikmatan akhirat (teos).

Bagi seorang intelektual muslim, al-Qur’an dan Sunnah memiliki kedudukan


yang lebih tinggi dari segala pengetahuan yang menjadi sumber perbuatan seorang
muslim. Sehingga menjadikan tujuan al-Quran sebagai pedoman hidupnya. Dengan
begitu, kebebasan yang diberikan oleh Allah merupakan beban moral yang harus ditanggung
dan dijawab oleh manusia. Bahkan dengan ikhtiari (kebebasan)nya itu,
manusia dituntut untuk selalu menegakkan ajaran-ajaran Islam dengan segala macam
ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya tersebut sesuai syariat Islam. Misalnya cara
mentransformasikan “syukur nikmat” yang diberikan Tuhan, dengan memanfaatkan
segala karunia nikmat Tuhan tersebut melalui perbuatan saling berbagi kepada yang
membutuhkan. Sehingga membuat orang lain juga turut merasakan kebahagiaan yang
tengah dialami akibat dari syukur nikmat yang dilakukan. Inilah salah satu etika dalam
Islam yang memiliki relevansi dengan utilitarianisme John Stuart Mill.

Berdasarkan kebermanfaatan dari etika utilitarianisme, maka diperlukan


semangat pluralistik, kreatif, dan inovatif dalam segala macam aspek atau bidang
keilmuan Islam. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan menggali nilai-nilai keislaman
yang ada pada konsep utilitarianisme John Stuart Mill, agar ditemukan sebuah relevansi
atau hubungan tidak langsung dengan ilmu-ilmu atau pemikiran keislaman.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh para tokoh utilitarianisme, termasuk John
Stuart Mill, bahwa suatu tindakan dikatakan buruk apabila memberikan efek yang dapat
merugikan banyak orang, dan dikatakan baik jika tidak membahayakan banyak orang.
Menolak hal-hal yang dapat merugikan juga termasuk manfaat. Standar nilai-nilai
utilitarianisme ini-lah yang paling mendekati aturan-aturan perundang-undangan yang
adil dan solidaritas sosial yang menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan dimuka
bumi yang mana dia bisa mendapatkan manfaat sosial darinya serta dia bisa
memberikan manfaat di dalamnya, khususnya dalam ilmu-ilmu atau pemikiran
keislaman.

John Stuart Mill dan tokoh utilitarianisme lainnya dengan semboyan “morality
for man, not man for morality” (moralitas untuk manusia, bukan manusia untuk
moralitas), ingin menegaskan bahwa moralitas harus dibuat berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan dan juga sebagai kendaraan yang dinaiki oleh manusia untuk menuju ke
jalan yang lebih baik, dan bukan sebaliknya dimana manusia dijadikan budak atas nama
hukum atau moralitas. Sehingga terciptalah prinsip konsekuensi, hedonisme, dan lainlain.
Prinsip hedonisme yaitu mengusahakan kebahagiaan orang lain dianggap sama
dengan mengusahakan pengalaman untuk tidak menyakiti orang lain. Dengan bertindak atau
melakukan perbuatan baik secara maksimal dalam rangka menjaga kerukunan di
masyarakat merupakan tindakan menyeluruh dari sifat etis dan bukan bersifat egois
yang memikirkan dirinya sendiri. Formula yang digunakan berdasarkan pada prinsip
kebermanfaatan (priciple of utility) dan kebahagiaan terbesar (greatest happiness),
diharapkan mampu membuat teologi dan pemikiran keislaman dapat diterima oleh
semua umat. Relevansinya terhadap Islam adalah menjadi agama yang dapat diterima
oleh semua golongan karena budi pekertinya yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Kehidupan manusia yang diliputi oleh dua pengalaman mendasar, yakni


kebahagiaan (plesure) dan kesedihan (pain) dapat menuntun seseorang ketujuan yang
lebih baik. Sebab, tujuan dari filsafat moral ialah memberikan kebahagiaan yang lebih
besar dari pada rasa sakit atau kesedihan. Kebahagiaan yang fundamental (bale
pleasure) dan kebahagiaan mulia (greatest happiness), merupakan level lanjutan dari
kebermanfaatan sebesar mungkin yang diciptakan bagi kehidupan orang lain.
Relevansinya dengan ilmu-ilmu atau pemikiran keislaman adalah kesesuaikan antara
amal perbuatan dengan kebahagiaan yang diperoleh, yang berdasarkan syariat Islam.
Pertama, kesadaran akan nilai-nilai kebebasan yang dimiliki manusia atas dirinya
sendiri (iradat) merupakan tanggung jawab moral untuk mengantarkannya pada
kebahagiaan dan kebermanfaatan hidup di dunia dan akhirat. Kedua, adanya kuasa
Allah (kodrat) akan melahirkan sikap rendah hati dan saling tolong manolong sesama
makhluk sosial. Inilah faktor penting dalam diri manusia sebagai makhluk berpikir
(homo sapiens). Sehingga usaha untuk berpikir dan bertindak merdeka dalam berbuat
kebaikan menurut petunjuk pikirannya dan terbebas dari taklid. Hal tersebut juga sejalan
dengan semangat utilitarianisme John Stuart Mill yang bertujuan menginginkan
kebebasan dan kebermanfaatan yang baik sebesar-besarnya bagi semua orang.

4.6 Madzhab- madzhab Hukum


Adanya aliran hukum adalah ditentukan oleh masa dan waktu yang sehingga oleh para
ahli hukum membuat penafsiran hukum berdasarkan waktu dan tempat. Sehingga pada
saat ini para ahli hukum selalu mengkaji hukum itu berdasarkan dengan adanya atau
timbulnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan pemikiran yang
tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat hukum
merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi
demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri
bagi para ahli hukum.

Dalam kajian filsafat hukum, dikenal beberapa aliran tentang hukum diantaranya: (a)
Aliran hukum alam; (b) Aliran hukum positif; (c) Aliran hukum murni; (d) Madzhab
sejarah; (e) Aliran sosiological jurisprudence; (f) Aliran Realisme hukum. Aliran-aliran
dimaksud, diuraikan sebagai berikut.

Madzhab Hukum Alam

Hukum alam adalah hukum yang digambarkan belaku abadi sebagai hukum yang
norma-normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Adil, dari alam semesta dan dari akal
budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan abadi yang tidak terikat oleh waktu dan
tempat sebagai hukum yang menyalurkan kebenaran dan keadilan dalam tingkatan
smutlak-mutlaknya kepada segenap umat manusia.1 Para pemikir terdahulu, umumnya
menerima suatu hukum yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum
positif sebagaimana diterima oleh orang dewasa ini, hukum alam yang diterima sebagai
hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai
hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri yaitu kodratnya
Madzhab ini dikembangkan oleh beberapa pakar yang ada di zaman Yunani dan
Romawi..

Madzhab Hukum Alam di Zaman Yunani

Orang Yunani pada mulanya (abad ke-5) masih bersifat primitive, yaitu hukum
dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos); baik semesta alam maupun hidup
semesta alam maupun hidup manusia. Namun pada abad ke -4 SM para filsuf mulai insaf
tentang peran manusia dalam mebentuk hukum, misalnya Socrates. Socrates menuntut
supaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi
manusia. Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang
mulai memepertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi
alat untuk mencapi tujuan hukum, walaupun mereka juga tetap mau tunduk pada
tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum
alam.

Mazhab Hukum Alam di Romawi

Mazhan hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-
pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani terutama
oleh pikiran Socrates, Plato dan Aristoteles. Salah satu tokoh romawi yang banyak
mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah Cicero, seorang yuris dan
negarawan. Cicero (105-43 BC) mengajarkan konsepnya tentang a true law (hukum yang
benar) yang disesuaikannya dengan right reason, serta sesuai dengan alam dan
menyebar di antara manusia dan sifatnya immutable dan eternal. Hukum apapun harus
bersumber dari true law itu. Tokoh lain adalah Gaius yang membedakan antara ius civile
dan ius gentium. Ius civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara
tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber
pada akal pemikiran manusia.

Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan konkret mengenai
pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani lebih
bersifat teoretis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada
hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.

Hukum alam sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang mencakup banyak teori di
dalamnya. Bernagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam
bermunculan dari masa ke masa. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya,
pada saat lain diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati. Hukum Alam
adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan
dari akal budi manusia, karena ia digambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi

4.7 Madzhab Hukum Positif/ Positivisme Hukum


Mazhab hukum positif menurut Hans Kelsen yang diikuti Lili Rasyidi merupakan suatu teori
tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah
senyatanya itu adil atau tidak adil. Selain itu, dapat dikatakan bahwa hukum positif
merupakan kebalikan dari hukum alam. Sebab, mazhab ini mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang Positivisme hukum ada
dua bentuk, yaitu positivisme yuridis dan postivisme sosiologis. Adapun uraiannya adalah
sebagai berikut:

Positivisme Yuridis

Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagi suatu gejala tersendiri yang
perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivisme yuridis adalah pembentukan struktur rasional
system yuridis yang berlaku. Dalam praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori
pembentukan hukum bersifat professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum.
Prinsip-prinsip positivisme yuridis adalah :

 Hukum adalah sama dengan undang-undang.


 Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral. Hukum adalah ciptaan para ahli
hukum belaka
 Hukum adalah suatu closed logical system, untuk menafsirkan hukum tidak perlu bimbingan
norma sosial, politik dan moral cukup disimpulkan dari undang-undang. Tokohnya adalah R.
von Jhering dan John Austin.

Positivisme sosiologis

Dalam perspektif positivisme sosiologis, hukum dipandang sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat. Dengan demikian hukum bersifat terbuka bagi kehidupan masyarakat.
Keterbukaan tersebut menurut positivisme sosiologis harus diselidiki melalui metode ilmiah.
Tokohnya adalah Augus Comte yang menciptakan ilmu pengetahuan baru yaitu, sosiologi.

Mazhab yang juga dikenal sebagai aliran hukum positif memandang perlu secara tegas
memisahkan antara hukum dan moral, yakni antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das sein dan das sollen. Sebelum aliran ini lahir, terlebih dulu telah
berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut sebagai Legisme, yakni faham
yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, atau satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang.

Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak, yaitu

 Aliran Hukum Positif Analistis Sarjana yang membahas secara komprehensif system
positivisme hukum analitik adalah John Austin, seorang yuris Inggris. Austin mendefinisikan
hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing mahluk berakal oleh
makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya
hukum, yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pada ide baik dan
buruk, dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi. Semua hukum positif berasal dari
pembuat hukum yang sangat menentukan, sebagai yang berdaulat. Austin mendefinisikan
penguasa sebagai seorang manusia superiori yang menentukan, bukan dalam kebiasaan
ketaatan dari suatu masyarakat tertentu. Ia menjelaskn bahwa atasan itu mungkin seorang
invidu, sebuah lembaga, atau sekumpulan individu. Karakteristik hukum yang terpenting
menurut teori Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu
perintah dari penguasa.

Positivisme Pragmatik

Sebagai lawan dari teori Austin adalah gerakan kaum Realis Amerika yang disebut Positisme
Pragmatis, yang mempelajari hukum sebagai karya-karya dan fungsinya bukan sebagai yang
tertulis di atas kertas. Hal ini merupakan suatu pendekatan pragmatis terhadap hukum yang
mengarah pada akhir segala sesuatu hasil dari akibat-akibatnya. Inti dari pendekatan ini pada
problema-problema hukum adalah tidak mengikuti apa yang tercatat di dalam kertas. Hal ini
masih sangat bersifat umum, oleh karenanya untuk mengkonkritkan apa yang ada dalam
pikiran para realis berbalik pada ilmu-ilmu pengetahuan yang mulai mengamati perilaku
manusia dalam masyarakat terutama ekonomi, kriminologi, sosiologi umum dan psikologi .
Hukum menurut Postivisme Pragmatik, harus ditentukan oleh fakta-fakta sosial yang berarti
sebuah konsepsi hukum dalam perubahan terus-menerus dan konsep masyarakat yang
berubah lebih cepat dibandingkan hukum. Kaum Positivisme Pragmatis mementingkan
hukum seharusnya sedangkan teori Austin hanya mementingkan apa hukum itu.

Mazhab Hukum Murni

Pembahasan utama Hans Kelsen (lahir 1881) dalam teori hukum murni adalah untuk
membebaskan ilmu hukum dari unsure ideologis. Teori hukum murni menurut Kelsen adalah
sebuah teori hukum positif. Teori ini berusaha menjawab pertanyaan “apa hukum itu?” tetapi
bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya?”. Teori ini berusaha mengkonsentrasikan diri
pada hukum semata-mata dan berusaha melepaskan ilmu pengetauan hukum dari campur
tangan ilmu pengetahuan asing seperti psikologi dan etika. Kelsen memisahkan pengertian
hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti psikologi,
sosiologi, sejarah politik dan bahkan juga etika. Pengertian hukum menyatakan hukum dalam
arti formalnya yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis. Inilah hukum yang murni
(das raine recht).

Teori murni tentang hukum adalah ilmu normative tentang masyarakat. Oleh karena itu, ilmu
hukum harus dibedakan secara jelas dari politik hukum. Ilmu hukum adalah usaha untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum positif yang ada, menganalisis strukturnya,
menetapkan definisi dari pengertian yang digunakan hukum positif. Selain itu, teori hukum
murni adalah tentang hukum tidak mempermasalakan pengertian keadilan. Sebagai ajaran
tentang hukum positif, teori murni tentang hukum adalah teori tentang hukum senyatanya
tanpa mempermasalahkan yang senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang ada itu baik
atau bauruk, adil atau tidak adil

Selanjutnya hukum menurut Kelsen dan Austin merupakan sebuah tatanan yang digaransi
oleh ancaman-ancaman, ia mengabaikan fungsi utama hukum sebagai alat kontrol sosial di
luar proses pengadilan atau penuntutan perdata. Maka menurut Hans Kelsen dalam hukum
terdapat suatu norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan di bidang hukum.
Norma dasar (grandnorm) tersebut berbunyi: “Orang-orang harus menyesuaikan dirinya
dengan apa yang telah ditentukan”

Inti ajaran Hans Kelsen menurut Friedman, seperti yang ditulis oleh Teguh Prasetyo dan
Abdul Halim Barkatullah adalah: Pertama, tujuan teori hukum seperti halnya setiap ilmu,
adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan kesatuan; Kedua, teori hukum adalah
ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan
tentang hukum yang seharusnya ada; Ketiga, ilmu hukum adalah normative, dan bukan ilmu
alam; Keempat, teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak berurusan dengan
persoalan efektivitas norma-norma hukum; Kelima, suatu teori tentang hukum sifatnya
formal, merupakan suatu teori tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut
jalan atau pola yang spesifik; Keenam, hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem
hukum positif tertentu adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin
dan hukum yang ada

Mazhab Sejarah

Lahirnya mazhab sejarah merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu pendapat
yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi : Uber Die Notwendig-
keit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutschland (Keperluan akan adanya
kodifikasi hukum perdata bagi negeri Jerman). Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki
akan agar di Jerman diperlukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis. Sebagaimana
diketahui bahwa ketika Prancis meninggalkan Jerman muncul masalah hukum apa yang
hendak diperlukan di negeri ini. Juga, merupakan suatu reaksi yang tidak langsung terhadap
aliran hukum alam dan aliran positif tentang hukum intinya mengajarkan bahwa hukum itu
tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Aliran ini adalah yang paling terkenal, terutama di negara-negara penganut sistem common
law. Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah, yaitu; Friedrich Karl von savigny (1770-1861),
Puchta (1798-1846), dan Henry Summer Maine (1822-1888). Von Savigny menyatakan
bahwa hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena
perasaan keadilan yang terletak dalam jiwa bangsa itu (volkgeist). Adapun Puchta nyaris
sama pandangannya dengan Savigny. Ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada
jiwa bangsa yang bersangkutan. Sedangkan Maine menyatakan ia melakukan penelitian
untuk memperkuat pemikiran Von Savigny, yang membuktikan adanya pola evolusi pada
pembagi masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.

Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia terdiri dari
bermacam-macam bangsa yang mempunyai volgeist (jiwa rakyat) yang berbeda-beda yang
tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang
tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari jiwa rakyat
itu itentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).

Hukum, menurut pendapat Savigny, berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang
pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern
dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para
ahli hukumnya. Inti dari pemikiran mazhab sejarah yang dapat diketahui melalui buku
Savigny yang termashur Von Beruf Unserer Zeit fur Gezetsgebug und rechtswissenschaft
(tentang tugas zaman kita bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum), pada prinsipnya
merupakan madzhab yang ingin melihat keterkaitan antara hukum dan masyarakat. Dalam
arti bahwa, aliran ini menolak hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah.

Madzhab Sosiological Jurisprudence

Mazhab sociological Jurisprudence dipelopori oleh Roesco Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin
Cardozo, Kantorowich, Gurvitch dan lain lain. Inti pemikiran madzhab ini menganggap
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang ada dalam
masyarakat. Pemikiran ini berkembang di Indonesia dan Amerika.

Kata yang sesuai pada uraian di atas, mencerminkan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat. Mazhab ini berbeda dengan aliran sosiologi hukum. Sosiologi hukum tumbuh
dan berkembang di Eropa Kontinental. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Roscoe Pound
mengenai perbedaan sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum, yaitu bahwa
sociological Jurisprudence merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang
memepelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, sosiologi hukum adalah
cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum. Singkatnya,
sociological jurisprudence mempunyai cara pendekatan yang bermula dari hukum ke
masyarakat sedangkan sosiologi hukum sebaliknya, yaitu pendekatannya dari masyarakat ke
hukum.
Madzhab ini mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam
masyarakat). Namun, mazhab ini lahir dari anti these positivisme hukum. Karena sociological
jurisprudence menganut paham bahwa hanya hukum yang mampu menghadapi ujian akal
akan hidup terus. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang
diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau
mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh
kekuasaan masyarakat itu. Aliran ini tampak jelas memisahkan secara tegas antara hukum
positif (hukum adalah undang-undang yang dibuat negara) dan hukum yang hidup (hukum
adalah norma-norma yang hidup dan diakui oleh masyarakat).

Menurut Ehrlich pusat gaya tarik pengembangan hukum tidak terletak pada perundang-
undangan, ilmu hukum, tetapi pada masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan
hukum positif dengan hukum yang hidup atau dengan kata lain pembedaan kaidah-kaidah
hukum dengan kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat

Madzhab Realisme Hukum

Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme hukum yang
dipelopori oleh John Chipman, Gray, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn, Jerome Frank,
William James dan lain-lain. Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah merupakan aliran
di dalam filsafat hukum, melaikan sebuah gerakan dalam cara berpikir tentang hukum.

Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan
konstrol sosial. Beberapa ciri utama realisme diantaranya:23
a. Tidak ada mazhab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan cara kerja hukum,
b. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial,
sehingga tiap bagian hrus diuji tujuan dan akibatnya,

c. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan harusnya
ada, untuk tujuan-tujuan studi,
d. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, selama
ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebebarnya dilakukan
oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang,
e. Realisme menekankan evolusi tiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya.

Lebih jauh Llwellyn berpendapat bahwa hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus-
menerus berubah, hukum bukan sesuatu yang statis. Tujuan hukum harus senantiasa
dikaitkan dengan tujuan masyarakat di mana hukum itu berada. Masyarakat merupakan
proses yang terus-menerus berubah secara berkesinambungan, oleh karena itu perubahan
hukum pun merupakan suatu yang esensial. Demikian pula ternyata bahwa dibutuhkan
penekanan pada evaluasi hukum terhadap dampak dan efek pada masyarakat.

Dari pandangan yang dikemukakan oleh Llwellyn di atas, Oliver Wendels Holmes
mengemukakakn bahwa hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus kenyataannya di
pengadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan actual para hakim (patterns of
behavior). Sebab, patterns of behavior hakim ditentukan oleh tiga faktor:
a. Kaidah kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan
konstruksi
b. Moral hidup pribadi hakim
c. Kepentingan Sosial

Anda mungkin juga menyukai