Anda di halaman 1dari 12

Nama Kelompok : Roberth Bellar Mino

Desiliana Wau
Benny Hamonangan

Lecture : Antropologi

makalah seni budaya di pulau nias


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Budaya meruapakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu masyarakat,
khususnya masyarakat Indonesia. Seseorang yang merupakan penduduk Indonesia pasti masuk
ke dalam suku tertentu. Suku yang terdapat di Indonesia sangat beragam dan berjumlah ribuan.
         Salah satu yang akan dibahas adalah kebudayaan yang berada di daerah kepulauan Nias.
Suku Nias merupakan suku yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam, unik dan cukup
aneh. Mengingat suku Nias masih memiliki kepercayaan terhadap nenek moyang, suku Nias
percaya bahwa nenek moyang mereka adalah Tuhan. Walaupun sekarang ini Nias sudah banyak
mengalami perubahan dari segi pengetahuan dan teknologi, namun sampai saat ini masih banyak
hal-hal dan pertanyaan yang belum terungkap dari daerah dan kebudayaan Nias. Pada
kesempatan kali ini penyusun akan membahas tentang kebudayaan yang ada di Nias.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa suku Nias dan Bagaimana asal-usul suku Nias ?
2.      Kebudayaan  dan Bahasa apa yang dipakai oleh masyarakat Nias ?
3.      Bagaimana kependudukan, keadaan masyarakat dan sistem kemsyarakatan yang ada di Nias ?
4.      Marga dan kekerabatan apa saja yang ada di Nias ?
5.      Kepercayaan apa yang dianut oleh suku Nias ?
6.      Bagaimana sistem pernikahan yang ada Nias ?
7.      Mata pencaharian apa yang dimiliki oleh masyarakat Nias ?

C.    Tujuan
                        Untuk Mengetahui apa itu suku Nias dan dimana letaknya, bagaimana
kependudukan di Nias, sistem kemasyarakatan yang ada di Nias, asal-usul suku Nias, marga dan
kekerabatan yang ada di Nias, kepercayaan yang dianut oleh suku Nias, sistem pernikahan yang
ada Nias, mata pencaharian yang dimiliki oleh masyarakat Nias, keadaan masyarakat Nias
sekarang, bahasa yang dipakai oleh masyarakat Nias dan kebudayaan yang terdapat di Nias.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal-usul dan Sejarah Suku Nias


            Suku Nias adalah kelompok masyarakat  yang hidup dipulau Nias yang termasuk
salahsatu kabupaten di Sumatera Utara. Dalam bahasa aslinya orang Nias menamakan diri
mereka sebagai "Ono Niha" . Ono berarti anak atau keturunan sedangkan Niha berarti manusia.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan
mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik
yang dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih bisa
ditemukan di wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang.
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon
kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli
Ana'a". Menurut mitos tersebut mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai
pada zaman Raja Sirao yang memiliki tiga orang istri yang masing-masing menurunkan tiga
putra dan memperebutkan tahta Raja Sirao. Untuk menyelesaikan kisruh ini, Raja Sirao kabarnya
mengadakan sayembara bagi putra-putranya itu untuk mencabut toho  (tombak) yang
dipancangkan di lapangan Istana. Siapa yang sanggup mencabutnya dialah yang berhak menjadi
raja. Dari semua putranya, justru yang paling bungsu yang bernama Luo Mewona, yang dapat
mencabutnya. Saudara-saudaranya yang kalah dalam sayembara kemudian diasingkan
dari Teteholi ana’a ke bumi dan dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki
di Pulau Nias.
Masyarakat Nias sangatlah sejalanan pada kehidupan majemuk. Memang pada perkembangan
sejarahnya, dalam sistem kemasyarakatan tradisional dikenal istilah “Sowanua” (Orang dalam)
dan “Sifatewu” (Masyarakat pendatang). Namun sistem keterbukaan kepada sifatewu-pun masih
ada. Apabila “sifatewu” menyatakan diri sebagai anggota komunitas banua melalui upacara
adat, maka sifatewu menjadi bagian dari banua.
Hasil interaksi atau pembaruan diatas, telah menampilkan penduduk Nias yang sekarang,
yang pada dasarnya beraneka-ragam dalam banyak hal, namun tetap memiliki kultur dasar, baik
dalam hal bahasa maupun adat-istiadat, sistem kepercayaan dan tradisi lainnya.

B.     Kebudayaan  dan Bahasa Suku Nias


            Beraneka ragam Kebudayaan  Suku Nias ialah warisan leluhur yang sangat berharga.
Beberapa diantaranya seperti pakaian adat, rumah adat, tarian tradisional, makanan dan
minuman, senjata tradisional, alat musik, lagu daerah dan sebagainya. Berikut perincian
kebudayaan suku Nias :
1.    Pakaian Adat Suku Nias
Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Oroba
Si’oli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang
dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah dan putih. Adapun filosofi dari warna itu
sendiri antara lain :
a.    Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat Ni’obakola dan pola bunga
kapas Ni’obowo gafasi sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan
kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran
b.   Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga Ni’ohulayo atau Ni’ogöna sering
dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit
c.    Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan,
ketabahan dan kewaspadaan
d.   Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno Ere menggambarkan
kesucian, kemurnian dan kedamaian.

2.      Rumah Adat Suku Nias


                        Rumah Adat Tradisional Nias atau Omo Hada merupakan simbol kemegahan
masyarakat Nias di zaman dulu, sebuah karya arsitektur yang unik dan bernilai tinggi, tidak
menggunakan paku besi untuk menghubungkan masing-masing bagian di rumah adat tersebut,
hanya menggunakan pasak kayu namun terbukti kokoh dan tahan gempa.
Ada dua macam bentuk rumah orang Nias, Omo Hada (Rumah adat) dan Omo
Pasisir (Rumah biasa yang telah terpengaruh oleh budaya luar). Omo Hada merupakan rumah
kediaman para Tuhénori,  Sawala dan para bangsawan. Bentuknya yang sangat megah terbuat
dari kayu dengan lantai beralasakan daun rumbia.
Berbicara tentang Omo Hada atau Rumah Adat secara umum, Omo Hada terbagi atas
tiga jenis berdasarkan bentuk atap dan denah lantai bangunan. Yang pertama adalah tipe Nias
Utara dengan ciri khas bentuk atap bulat dan bentuk denah oval, Tipe Nias  Tengah Bentuk atap
bulat, bentuk denah segi empat sedangkan Tipe Nias Selatan Bentuk  atapnya  segi empat dengan
bentuk denah persegi. Biaya pemeliharaan sebuah rumah adat sangatlah besar karena
membutuhkan perawatan dan bahan-bahan khusus. Untuk mempertahankan keaslian dan
kelestarian Omo Hada,
Omo Hada  di Nias sebagian besar terletak di daerah pegunungan yang aksesnya susah
dijangkau. Tujuan pembangunan Omo Hada di daerah pegunungan di zaman dulu adalah untuk
menghindari diri dari serangan musuh. Namun saat ini, lokasi di daerah pegunungan menjadi
kendala besar bagi para pemilik rumah adat dalam mendapatkan air untuk keperluan rumah
tangga. Sehingga seringkali mereka perlu berjalan cukup jauh untuk mendapatkan air.
3.    Tradisi dan Tarian Tradisional Suku Nias
a.    Lompat Batu atau Fahombo Batu
                        Tradisi yang berasal dari Suku Nias yaitu  Lompat batu atau yang dikenal dengan
nama “fahombo batu” sudah menjadi ciri khas masyarakat Nias. Tradisi melompati batu yang
disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dan lebar 90 cm ini hanya dilakukan oleh kaum laki-
laki. Tidak semua masyarakat Suku Nias melakukan tradisi ini. Hanya mereka yang berada di
Nias Selatan khususnya di daerah Teluk Dalam yang melakukan tradisi akrobatik ini. Hal
tersebut disinyalir karena perbedaan budaya nenek moyang atau leluhur masyarakat Nias.
Tradisi ini juga menunjukan kekuatan dan ketangkasan serta diciptakan untuk menguji
fisik dan mental para pemuda Nias menjelang usia dewasa yang akan ikut berperang melawan
penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi untuk memasuki area musuh tidak selalu
mudah apalagi untuk mengalahkannya sebab di beberapa wilayah, musuh memiliki kubu
pertahanan yang sangat kuat di antara beberapa titik yaitu bambu runcing yang merupakan
benteng pertahanan, sehingga dengan ketangkasan para leluhur melalui latihan lompat batu
dengan penuh semangat dan percaya diri sehingga kubu pertahanan musuh dapat di lalui dengan
lompatan yang sangat tinggi dan akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah
itu musuh di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.
Biasanya setelah berhasil melakukan tradisi ini, akan diadakan syukuran sederhana
dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga
akan dianggap matang dan menjadi pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa
lain.

b.                   Tari Maena
  Suku Nias menjadikan tari Maena sebagai tarian kolosal yang penuh sukacita.
Tari Maena seringkali menjadi pertunjukan hiburan ketika suku Nias menyelenggarakan pesta
pernikahan adat. Dalam sebuah pertunjukan, tari Maena ditarikan oleh beberapa pasang penari
lelaki dan wanita. Dari awal hingga pertunjukan usai, gerakan tari Maena didominasi dengan
perpaduan gerak tangan dan kaki. Gerakannya terlihat sederhana namun tetap penuh semangat
dan dinamis. Kesederhanaan gerak itulah yang membuat siapa saja termasuk anda dapat menjadi
penari tari Maena. Tidak ada batasan berapa jumlah penari Maena. Semakin banyak peserta tari
Maena, gerakan tari Maena semakin terlihat semangat.
Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta
(falõwa atau owasa). Maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono
niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi)
atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun
di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering
dijumpai Maena pada acara pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo
batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus
berkembang.
Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun
maena fanutunõ maena, supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun
maena atau fanutunõ maena biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut
sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena atau fanehe maena disuarakan oleh orang
banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena atau ono maena.

c.                   Tari Perang
   Sejumlah prajurit perang suku Nias mengacungkan tombak pada pagelaran kesenian tari
perang. Tarian ini digunakan para leluhur untuk meningkatkan semangat penduduk desa sebelum
berperang dengan desa lain, tarian ini sangat prestisius, dalam kehidupan para lelaki desa, karena
melambangkan perubahan status dari lelaki remaja menjadi seorang lelaki dewasa.

4.    Kuliner Khas Suku Nias


a.  Makanan Khas Nias
1.      Gowi Nihandro atau Gowi Nitutu (Ubi tumbuk)
2.      Harinake (Daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
3.      Godo-godo (Ubi atau singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah
matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
4.      Raki gae (Pisang goreng)
5.      Loma (Beras ketan yang dimasak dengan menggunakan bambu)
b.  Minuman Khas Nias
1.      Tuo Nifarö (Minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon
Nira" = "töla nakhe") yang telah diolah dengan cara penyulingan)
2.      Tuo mbanua (Minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa)

5.    Senjata Tradisional Suku Nias


Salah satu senjata tradisional Nias adalah pedang Tologu. Ini bukan sembarang pedang,
karena sarung pedang tersebut ada bola rotan yang diyakini punya kekuatan gaib untuk
memberikan kekuatan dan melindungi pemakainya.
          
6.    Alat Musik dan lagu Daerah
a.       Alat musik derah Nias
Indonesia dikenal akan keberagaman kebudayaan. Salah satunya adalah alatmusik dan lagu
daerahnya. Sama dengan daerah lain di Indonesia, Nias juga memiliki alat musik tradisional,
beberapa diantaranya meliputi :
b.      Gondra (Gendang)
                        Terbuat dari batang pohon besar yang bulat yang telah dikeruk bagian dalamnya,
hingga tembus sampai ke ujung sebelah. Kemudian, kedua sisinya ditutup dengan kulit
kambing, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Dipergunakan pada upacara
besar atau Owasa, pesta pernikahan dan sebagainya.

c.  Aramba (Gong)
 
Terbuat dari bahan kuningan. Dipergunakan pada saat ada upacara besar atau Owasa, pesta
pernikahan dan sebagainya. Untuk ukuran Tinggi Aramba kurang lebih
sekitar 13,5 cm dengan tebal 0,5 cm dan memiliki sekitar diameter 44 cm.

d.                  Faritia (Canang atau Gong berukuran kecil)


               Terbuat dari bahan kuningan. Dipergunakan pada saat ada upacara besar (Owasa), pesta
pernikahan. Tinggi 8,5, cm, tebal 0,4 cm dengan diameter 26 cm.

e.                   Lagia
     
Lagia merupakan salah satu alat musik tradisional suku Nias yang cara penggunaanya
adalah dengan  di gesek. Lagia memiliki ukuran Panjang kurang lebih sekitar  25,2 cm, Tinggi
96 cm, tebal 1,3 cm dengan diameter 14,8 cm.

7.      Lagu Daerah Nias

TANO NIHA

Tanõ Niha banua somasido


Tanõ situmbu ya’o fõna
He mukoli ndra’o bazarõu
Balõ olifudo sa’ia

Tanõ si... tumbu do...


Mohili wa’ebolo ndraso
So nungoni danõ ba mbowo
Fasui asi sebolo

(versi bahasa Indonesia)


Pulau Nias pulau yang ku cinta
Tanah tempatku dilahirkan
Walau jauh di rantau orang
Namun kau tetap ku renungkan

Tanahku yang subur


Sawah ladang luas menghijau
Pohon nyiur sepanjang pantai
Melambai dan melambai

8.      Bahasa yang digunakan Suku Nias


          Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh
penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum
diketahui persis dari mana asalnya.
   Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang
dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai
bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya
berakhiran huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal yaitu a,e,i,u,o dan ditambah
dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).

C.    Kependudukan, Keadaan Masyarakat dan Sistem Kemasyarakatan Suku Nias


            Jumlah penduduk Kabupaten Nias pada saat ini kurang lebih mencapai 442.548 jiwa
dengan kepadatan penduduk sekitar 127 jiwa/km² dan 85.361 rumah tangga. Keadaan penduduk
menunjukan bahwasanya lebih banyak jumlah perempuan dari pada laki-laki. Sedangkan untuk
sistem kemasyarakatan suku Nias bisa dikatakan bahwa masyarakat Nias hidup dalam
lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum
disebut fondrakö  yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Untuk keadaan masyarakat Nias pada sekarang ini sudah mengalami cukup kemajuan
baik dari segi pendidikan, tempat tinggal, transportasi maupun komunikasi. Pendidikan
merupakan patokan utama yang mendukung sumber daya pada masyarakat Nias. Jika dulu
kebanyakan orangtua masih bersifat primitif dengan konsep perempuan sebagai pekerja rumah
dan laki-laki sebagai pengubah kondisi keluarga, namun dengan diberikannya kesempatan untuk
mengecap pendidikan sehingga perubahan dalam dunia pendidikan sudah menjadi konsumsi
sehari-hari bagi orangtua dengan tidak pilih kasih dan mau menyekolahkan anaknya baik
perempuan maupun laki-laki. Terlebih dengan adanya pembangunan-pembangunan pasca gempa
tanggal 28 maret 2005 perubahan tersebut semakin tampak, setidaknya anaknya mengecap
pendidikan SD dan tidak buta huruf.
Untuk tempat tinggal banyak masyarakat Nias yang saat ini sudah memiliki rumah
sendiri. Untuk segi perhubungan sekarang ini di Nias jalanannya sudah ada beberapa jalan yang
diaspal walaupun masih ada beberapa jalan yang masih tanah dan berbatu, untuk
komunikasi yang digunakan semakin bervariasi mulai dari penggunanan jasa telekomunikasi
hingga dunia maya atau internet. Untuk jasa telepon, jumlah sambungan telepon yang ada di
Kabupaten Nias pada saat ini sudah lebih dari sebanyak 2.361 sambungan.
Sedangkan untuk Sarana transpotasi ada berbagai macam baik berupa roda dua hingga
roda empat, mulai dari sepeda motor, becak bermotor hingga angkutan umum. Transportasi laut
Kabupaten Nias memiliki 3 pelabuhan laut yaitu pelabuhan laut Sirombu, Lahewa yang melayani
pelayaran rakyat khususnya pengangkut barang dan penumpang sedangkan pelabuhan laut
Gunung sitoli melayani pelayaran nasional masyarakat Nias yang berasal dari Medan, Sibolga
dan sebagainya. Pelayaran ini juga mengangkut barang dan penumpang.

D.       Marga dan Sistem Kekerabatan Suku Nias


            Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah atau Patrilineal. Marga-marga
umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada dan  Pernikahan dalam satu
marga tidak dibenarkan dalam kepercayaan dan hukum suku Nias. Berikut beberapa Marga yang
ada di dalam suku Nias meliputi Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bohalima, Bulu'aro, Bago,
Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Dakhi, Daeli, Dohare, Dohöna, Duha, Duho dan masih banyak yang
lainya.
Di samping itu Pulau Nias mengenal istilah kasta yang memiliki 12 tingkatan Kasta.
Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini
seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun kasta yang terdapat di Pulau
Nias beberapa  diantaranya adalah :
a.    Si’ulu (Balugu atau Salaŵa) yaitu golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi
secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran
(Owasa atau Fa’ulu)
b.    Ere yaitu para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal
tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam
berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 macam yaitu Ere
Börönadu dan Ere Mbanua
c.    Si’ila yaitu kaum cerdik dan pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka
yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang
dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya
d.   Sato yaitu masyarakat biasa juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si
to’ölö
e.    Sawuyu (Harakana) yaitu golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang
yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya
berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh
seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi)
bagi penebus mereka.
E.                 Kepercayaan yang dianut oleh Suku Nias
Sebelum datangnya agama Kristen, Islam, Hindu dan Buddha ke Pulau Nias dan Pulau-
pulau Batu, orang Nias sebagai salah satu suku yang tergolong tua yang telah memiliki sistem
kepercayaan tersendiri. Para peneliti menyebutkan agama asli Nias dengan istilah “penyembah
ruh”  atau Agama Pelebegu atau Penyembah Patung (Molohe Adu).  Ada juga yang
menyebutkan sebagai penyembah dewa-dewa. Beberapa diantaranya adalah Dewa dunia atas
dengan nama Teteholi Ana’a, Dewa dunia bawah dikenal dengan nama lature danö atau Bauwa
danö, dikenal juga Dewa yang sangat jahat yakni Nadaoya dan Afökha dan berbagai Dewa
rendah (roh halus) yang disebut "bekhu".
                 Semua roh-roh halus tersebut ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha
menghindarinya dengan menaati tabu (famoni) atau menenangkannya melalui ritual-ritual
penyembahan. Berdasarkan itulah misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif
menyimpulkan bahwa poros agama asli Nias adalah ketakutan. Segala sesuatu yang dilakukan
oleh masyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan
kepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai turut mempengaruhi tindakan mereka, sehingga
ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari baik dan agar mereka terhindar dari
segala macam pernyakit yang diakibatkan oleh roh jahat, mereka memakai jimat-jimat agar
kebal. Ada hari-hari mujur dan hari-hari tidak mujur untuk membangun rumah, untuk menanam
padi, untuk perkawinan dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yang membuat kekebalan sehingga
tidak dapat melukai dan lain-lain. Semua ini merupakan upaya mengindari ancaman roh-roh
tersebut.
Lebih dari itu, untuk menjaga keserasian hidup dan kelangsungan hidup alam semesta,
masyarakat Nias harus memberikan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa. Di
sinilah Ere atau imam berfungsi melaksanakan ritual-ritual untuk memberi persembahan
melalui Adu sebagai media. Itulah sebabnya ada banyak adu atau patung di Nias pada waktu
misionaris. Orang Nias percaya bahwa, diatas langit ada sembilan tingkatan surga dan pada
tingkatan yang paling atas itu bersemayam Lowalangi (Dewa Surga). Sementara mereka juga
mempercayai ada sembilan tingkatan lain di bawah bumi yang dikuasai oleh Latura (Dewa
Kematian). Masyarakat Nias menggelar ritual dan upacara untuk pengorbanan atau
persembahan hewan yang ditujukan bagi Lowalangi. Sesajian seperti telur, hasil bumi, tuak dan
air ditujukan bagi roh para leluhur dan alam. Ritual lainnya hadir pada saat perayaan pernikahan,
upacara kematian atau pemakaman dan pesta-pesta yang digelar oleh kaum bangsawan.
                 Masyarakat nias juga percaya bahwa setelah kematian, hubungan dengan leluhur
tetap berlangsung. Patung kayu yang disebut adu dan patung roh leluhur yang dipahat sebagai
perantara antara orang yang masih hidup dengan yang telah mati. Patung-patung kecil yang
menggambarkan orang yang telah meninggal ditempatkan pada tiang rumah keluarga dan
sesajian makanan diletakkan di altar adu. Orang yang masih hidup mencoba berhubungan
dengan roh karena berbagai alasan, misalnya memberitahukan adanya kelahiran atau pernikahan
juga meminta bantuan untuk mengawasi keberuntungan anggota  keluarga.
Dipercaya secara luas bahwa leluhur melindungi orang yang masih hidup, sebaliknya
yang masih hidup harus mematuhi semua peraturan yang dibuat para leluhur, meliputi adat dan
aturan perkawinan, segi tata susun sosial dan sebagainya. Sebagai imbalan, leluhur akan
menjamin kelestarian kesejahteraan masyarakat. Orang Nias akan menggelar upacara dan ritual
kematian dan penguburan dengan nyanyian, pesta dan tari-tarian yang dapat berlangsung lebih
dari empat hari. Selama upacara itu tidak diperbolehkan ada kegiatan upacara selain upacara
berkabung tersebut. Jasad biasanya akan dikuburkan pada hari ketiga. Sebuah patung kayu yang
disebut adu dibuat di dekat makam agar arwah tinggal di dalamnya dan tidak kembali.

F.                 Sistem Pernikahan Suku Nias


Suku bangsa Nias mempunyai adat dan upacara pernikahan yang khas. Pada suku bangsa
ini peran seorang tetua adat yang dinamakan Mado sangatlah penting, karena ia menentukan
apakah seorang pemuda dan seorang gadis menurut aturan adat boleh dinikahkan. Namun syarat
terberat bagi seorang pemuda Nias yang hendak menikah adalah soal Bawo atau mas
kawinnya (mahar). Mas kawin amat besar dan sulit dipenuhi oleh kebanyakan pemuda.
Umumnya mas kawin itu berupa 100 ekor babi dewasa. Pria yang belum sanggup membayar mas
kawin, tetapi sudah hendak menikah boleh saja, namun sebagai gantinya ia harus bekerja
mengabdi pada mertuanya, sampai mas kawinnya lunas.
            Adat pernikahan Nias dimulai dengan masa pertunangan. Masa ini ditandai dengan
pengiriman sejumlah emas pada upacara Mamebola dari pihak keluarga pria pada keluarga
wanita. Sebagai imbalan, pihak wanita memberikan sekantong daging babi rebus yang mereka
sebut Simbi. Daging yang dikirim dipilihkan bagian rahang bawah, jantung dan hati. Semuanya
dibungkus dalam sebuah kantong dari anyaman tikar yang disebut Mboola. Sekitar 20 hari
kemudian, pihak pria melakukan upacara famuli mboola, yakni mengembalikan kantong tikar
tadi. Daging babi rebus juga diisikan pada kantong itu pada saat mereka mengembalikannya.
            Upacara pernikahan di Nias sangat meriah sekali. Puluhan ekor babi disembelih untuk
pesta itu dan banyak tamu diundang. Pesta pernikahan itu mereka sebut fangowalu. Aneka rupa
perhiasan dikenakan pada pengantin wanita. Biasanya perhiasan itu milik keluarga, yang hanya
dipinjamkan pada salah seorang anak perempuan ketika ia menikah. Seusai pernikahan,
pengantin wanita diusung dengan tandu, ke rumah keluarga pengantin pria. Beberapa hari
kemudian, kedua pengantin pergi mengunjungi orang tua pengantin perempuan. Upacara ini
disebut famuli nucha. Pada saat itu, rombongan pengantin baru itu membawa buah tangan berupa
daging babi rebus.
Tujuan utama mengunjungi orang tua pengantin wanita itu terutama adalah
mengembalikan perhiasan pengantin yang dipinjamkan pada hari pernikahan. Setelah upacara
serah terima perhiasan selesai, kedua pengantin baru minta diri. Pada saat inilah ayah pengantin
wanita menyerahkan seekor babi betina yang gemuk dan sehat untuk bibit ternak. Babi semacam
itu disebut sigelo. Selain itu, kepada mereka juga diserahkan sebilah parang balewa, bibit padi
serta bibit palawija. Itu semua merupakan bekal bagi suami istri muda yang akan memulai hidup
baru mereka.
G.  Mata Pencaharian Masyarakat Nias
Mata pencaharian yang ada pada masyarakat Nias dari dahulu hingga sekarang, baik yang
masih tradisioanal maupun yang sudah berkembang meliputi sistem pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan , berburu dan sebagainya.
1.      Pertanian
Bidang pertanian merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Nias, terutama
tanaman pangan. Pertanian merupakan penunjang bagi keberlangsungan kekerabatan bagi
masyarakat Nias untuk saling berbagi di masa-masa susah. Kebersamaan dalam mengolah
tanaman pertanian terlihat jelas dalam kegiatan gotong royong dalam membuka lahan maupun
pada saat dilaksanakan penanaman tanaman tersebut, kebersamaan juga terjalin saat panen tiba.
2.      Perkebunan
Tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Nias adalah tanaman perkebunan rakyat dengan
komoditi andalan karet, kelapa, kakao dan beberapa komoditi yang lain seperti kopi, cengkeh,
pala dan nilam. Hasil tanaman perkebunan rakyat dari Kabupaten Nias pada umumnya hampir
seluruhnya dijual keluar daerah dalam bentuk bahan mentah, melalui para pedagang baik lokal
maupun luar daerah.
3.      Kehutanan
Nias terdiri dari beberapa hutan antara lain hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi
dan hutan konversi yang nantinya beberapa pohon yang sudah tua akan digunakan untuk
membuat rumah.
4.      Peternakan
Salah satu ternak piaraan masyarakat Nias yang lama ada dan menjadi tradisi adalah ternak
babi. Ini sangat penting, terutama dalam kebutuhan adat-istiadat, dan juga untuk kepentingan
persembahan dalam ritual-ritual agama. Didaerah Nias selain ternak babi mereka juga
memelihara  ternak kambing, sapi, kerbau, unggas berupa ayam dan itik.
5.      Perikanan atau Nelayan
Hanya masyarakat yang berada di pinggir laut yang umumnya bekerja sebagai nelayan. Di
pulau Nias, dahulu umumnya ini dilakukan oleh pendatang (minang, aceh), baru kemudianlah
ada orang Nias yang bekerja sebagai nelayan.
Namun di kepulauan Batu, masyarakat sudah lama bekerja mencari kebutuhan di laut.
Sedangkan masyarakat di pedalaman, hanya mengenal usaha mencari ikan di sungai sebagai lauk
pauk.
Hasil produksi ikan di Nias antara lain terdiri dari produksi ikan laut, produksi ikan air tawar,
ikan yang berasal dari sungai, ikan rawa, ikan kolam dan ikan tambak, yang nantinya akan dijual
dan digunakan pula sebagai kebutuhan pangan sehari-hari.
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
       Masyarakat Nias sebagian besar masih memegang teguh kearifan lokal seperti contoh diatas
mereka masih menjalankan budaya leluhur dengan tetap melaksanakan kaidah yang telah di
terapkan semenjak dahulu tanpa melakukan adanya perubahan. Nias adalah salah satu suku
bangsa yang masih memegang teguh kearifan lokal sekaligus berperan penting dalam memberi
arah yang mampu memfungsikan diri sebagai suku yang memiliki prinsip kebijakan dalam
pemenuhan sistem kemasyarakatan. Baik agama, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, bahasa
dan komunikasi.
B.   Saran 
Adapun saran kami dengan pembuatan makalah ini yaitu agar supaya yang membacanya
dapat mengerti dengan materi yang ada tentang Kebudayaan suku Nias, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi yang membacanya. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna
perkembangan kedepan dalam menyusun makalah kembali.

Anda mungkin juga menyukai