1. Sejarah
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi.
Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai
dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar)
dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di
wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-
tempat lain sampai sekarang.
Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru
Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di
atas dikatakan bahwa kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang
memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao.
Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan
hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, dan di Kompas, Rubrik Humaniora menemukan bahwa
sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau
Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman
Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh,
Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias
berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun
bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina
4.000-5.000 tahun lalu
Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-
University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10 tahun ini
Sebelum penelitian ini dilakukan, muncul spekulasi bahwa asal muasal orang Nias berasal dari Eropa
atau kepulauan terdekat dengan pesisir pantai barat Sumatera, seperti Kepulauan Nicobar atau
Madagaskar.
Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias.
”Dari semua populasi yang kami teliti, kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat mirip
dengan masyarakat Taiwan dan Filipina,” katanya.
Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan
perempuan XX. Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.
Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat
Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi
terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goa tersebut berasal dari
masa 12.000 tahun lalu.
Penelitian Houven disosialisasikan melalui seminar internasional di Gunungsitoli yang dihadiri kalangan
pejabat, seperti wali kota dan bupati. Ada pula para akademisi terkemuka berasal dari Kepulauan Nias.
Penelitian ini dimotori Yayasan Pusaka Nias.
Ciri khas orang Nias, terutama dari kawasan Nias Utara, Nias Tengah, dan Kota Gunungsitoli, secara
dominan dapat diidentifikasi dengan mudah, yakni berambut hitam, berbentuk oval, berkulit putih, dan
berpostur tubuh sedang.
Hal ini berbeda sedikit dengan ciri khas orang Nias yang berasal dari Nias Selatan, terutama asal Teluk
Dalam yang memiliki wajah lojong dengan rahang keras dan berpostur tubuh tinggi. Meski demikian,
mereka juga berkulit putih seperti orang China namun matanya tidak sipit.
Hal in sejalan dengan hasil penelitian Houven, seorang peneliti spesialis DNA, yang menyebut bahwa
salah satu suku bangsa besar, yakni Austronesian telah melakukan ekspansi sejak 5.000 tahun lalu.
Sebagian besar suku bangsa tersebut merupakan orang Taiwan atau dahulu bernama Yunan.
Houven menjelaskan, mereka bermatapencarian sebagai petani. Selanjutnya, populasi mereka menyebar
luas di seluruh Asia Tenggara, termasuk Sumatera.
Hasil penelitian DNA diketahui bahwa secara dominan orang Nias memiliki jenis golongan darah ‘O’
dan diketahui memiliki karakter yang berbeda antara orang Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, dan
kabupaten atau daerah lainnya di Kepulauan Nias. Selanjutnya, dia mengategorikannya sebagai O-M110
dan O-M119.
Hal ini, lanjut Houven, memiliki korelasi terhadap jenis bahasa yang dipakai. Bahasa yang digunakan di
Teluk Dalam sangat berbeda dengan bahasa yang dipakai warga di daerah Nias lainnya.
Dijelaskan pula, pengelompokan jenis karakter genetika tersebut, yakni Y-chromosome haplogroups,
ditemukan bahwa genetika dengan tanda berwarna kuning di dalam lingkaran merupakan jenis karakter
yang dominan di Pulau Nias. Ini berbeda dengan daerah di Teluk Dalam yang ditandai dengan warna
merah.
Jenis karakter warna kuning tersebut juga menyebar di berbagai daerah di Asia Tenggara, terutama
Taiwan dan Filipina. Namun, diketahui bahwa Taiwan lebih dominan setelah dilihat dari berbagai
pendekatan lainnya.
Daerah Sifalago-Gomo di Nias Tengah, yang diketahui tempat awal orang Nias mulai ada, dalam
penelitian ini juga diketahui bahwa sangat didominasi tanda genetika berwarna kuning. Dari sini
diketahui bahwa orang Nias umumnya memiliki kemiripan dengan genetika orang Taiwan.
Dengan demikian diketahui bahwa orang-orang Nias berasal dari dua sumber yang ditandai dengan jenis
O-M110 (orang Teluk Dalam, Nias Selatan) dan O-M119 (orang Nias pada umumnya).
”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat lain,
khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck (kemacetan)
populasi dalam sejarah masa lalu Nias,” katanya.
Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di
Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.
2. Marga
Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-
marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan dalam
satu marga tidak dibenarkan.
Adapun daftar marga yang ada di Pulau Nias klik di sini
3. Kasta
Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan
ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih
ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias
antara lain :
SAPAAN YA"AHOWU
Bagaimana asal usul kata YaahoŴu ?
Ucapan penghormatan (fangoŴai) di kalangan masyarakat Nias, maka seperti yang dikutip dari
keterangan Bpk Mohd. Husin (Ketua Peradilan Agama Gunungsitoli (1968). Menurut Bpk Mohd.
Husin, bahwa tatkala ia bercakap-cakap dengan pelaku sejarah yaitu Bpk Alam Taruddin Stn. Syahirul
Alam (orang Tua H.Tajuddin Alam / mantan Salawa Ilir/Pengusaha Faomasi Ilir Gunungsitoli), pada
tahun 1943 di Kantor MITT *) tanpa disengaja terlintas dalam percakapan mereka tentang sejarah asal
usul kata “ya’ahowu”. Oleh Bpk Stn. Syahirul Alam memaparkan pada Bpk H.Mohd Husin bahwa di
saat ianya (Bpk Stn Syahirul Alam) menjabat sebagai Jaksa di daerah Nias (masa pemerintahan
Belanda), Ia diundang oleh Th.C.Rappard (Kepala Pemerintahan Belanda di Pulau Nias) untuk
menghadiri pertemuan (rapat) pemerintah daerah Nias yang di selenggarahkan di Lahagu pada tahun
1919.
Pertemuan itu dihadiri oleh para Balugu, Tuhenöri, Siulu, Salawa, Datuk Raja yang memer¬intah di
daerah Nias. Adapun di antaranya yang menjadi pokok pembicaraan yaitu dalam perihal
memberikan salam penghormatan (fangowai) di kalangan masyarakat Nias. Oleh Tn C.Rappard
mengemukakan “ia melihat di tengah-tengah masyarakat sehari-hari bahwa apabila yang satu dengan
yang lainnya bertemu, salam penghormatan yang diberikan tidak sama. Ada yang menyebut Ya'ugö...!
Ya'ugö Tua… ! Ya'ugö Ga Ŵe…!, Ya'ugö Ma,….! Ya'ugö Ina,…!, Ya'ugö Ga'a atau Ka'a….!
Ya'ami Da'ö, dan juga dijawab dengan kata yang tidak sama Ee,.. ! atau Ya'ia,… ! Sedangkan di
bagian pesisir salam penghormatan agak seragam yaitu Assalamu'alaikum dan dijawab
Wa'alaikumussalam”. Oleh Ass. Residen Tn C.Rappard bertanya dalam sidang rapat, bagaimana
kalau kata penghormatan itu disamakan saja seperti ucapan di pesisir.
Dalam rapat itu beliau (Stn.Syahirul Alam) mengemukakan bahwa salam di bagian. pesisir itu tidak
dapat diubah, ditambah atau dikurangi dan merupakan salam di kalangan muslim (yang beragama
Islam.) di mana-mana..Tanya Tn C. Rappard, apa artinya ? dijawab, Assalamu'alaikum artinya selamat
serta rahmat Allah untuk mu, atau atas mu, pada mu atau kepada anda sekalian (yang mendengarkannya)
! Selanjutnya Tn C.Rappard bertanya pada. Stn Syahirul Alam, kalau begitu apa artinya dalam bahasa
Nias ? maka oleh Stn.Syairul Alam menjawab, YaahoŴu ndra'ugö ba ya’i be'e khöu hoŴu-hoŴu
lowalangi.
Salam ini dapat tertuju pada seseorang dapat pula pada orang banyak (yang mendengarkannya) tanpa
memandang status dan kedudukannya) maka dijawab “wa’alaikum mussalam artinya semoga juga anda
selamat dan diberi rahmat oleh Allah swt. Dengan mempertimbangkan berbagai saran yang timbul
dalam rapat, akhirnya rapat menyepakati dengan mengambil terjemahan salam itu dalam bahasa
Nias yang diucapkan secara pendek yaitu cukup dengan kata “Ya'ahoŴu” (= selamat). Maka sejak
itulah kata Ya’ahoŴu diresmikan sebagai salam penghormatan resmi
(fangoŴai) di kalangan masyarakat Nias. Menurut beliau (Stn. Syahirun Alam) naskah berita acara
keputusan ini dibuat dengan di ketik serta ditandatangani oleh semua peserta rapat dan diarsipkan oleh
Pemerintah Belanda.Menurut Presiden SBY dalam suatu pidatonya : Dalam budaya Ono Niha terdapat
cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan
bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata
lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika
seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan
orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang
diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama
manusia sebagaimana adanya. Mangandung makna “Saya mengenalnya dan mengontak diri saya
dengannya dari dalam inti diri saya, bukan dari batas luar diri saya”.
Tari Perang atau Foluaya merupakan lambang kesatria para pemuda di desa – desa di Nias, untuk
melindungi desa dari ancaman musuh, yang diawali dengan Fana’a atau dalam bahasa Indonesia disebut
dengan ronda atau siskamling. Pada saat ronda itu jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh
maka seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka kepala musuh
itu dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja, hal ini sudah tidak dilakukan lagi karna sudah tidak
ada lagi perang suku di Nias. Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala
musuh yang telah dipenggal tadi kepada raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata
“Aehohoi”yang berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae” untuk mengajak dan
menyemangati diri dalam memberikan laporan kepada raja di halaman, sambil membentuk tarian
Fadohilia lalu menyerahkan binu itu kepada raja. Setelah itu, raja menyambut para pasukan perang itu
dengan penuh sukacita dengan mengadakan pesta besar-besaran. Lalu, raja menyerahkan Rai, yang
dalam bahasa Indonesia seperti mahkota kepada prajurit itu. Rai dalam suku Nias adalah merupakan
tanda jasa kepada panglima perang. Tidak hanya Rai yang diberikan, emas beku juga diberikan kepada
prajurit-prajurit lain yang juga telah ikut ambil bagian dalam membunuh musuh tadi. Kemudian, raja
memerintahkan “Mianetogo Gawu-gawu Bagaheni”, dengan fatele yang menunjukkan ketangkasan
dengan melompat-lompat lengkap dengan senjatanya yang disebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh
dua orang prajurit yang saling berhadap-hadapan. Seiring berkembangnya Zaman Tradisi ini dilakukan
hanya pada hari hari tertentu atau untuk merayakan acara acara tertentu.
Pernyataan ini muncul karena rumah tersebut dibangun tanpa paku, hanya berupa tiang penyangga.
Selain itu, karena memegang nilai sejarah silsilah nenek moyang suku Nias Selatan, maka rumah ini
menjadi penting artinya.
Beberapa keunikan omo hada antara lain tiang penyangga rumah setinggi empat meter terbuat dari kayu
bulat yang cukup keras. Tiang penyangga (ehomo) yang cukup tinggi ini adalah berdasarkan pengalaman
sejarah suku Nias. Rumah yang terletak di bukit, pelindung terbaik adalah memakai tiang tinggi. Selain
itu, ada tiang penyangga (diwa) menyilang sebagai penyangga rumah dari serangan angin yang kuat di
dataran tingi. Tiang-tiang ini tidak ditancapkan ke tanah, tetapi ditumpukkan di atas batu keras.
Pintu masuk rumah yang letaknya persis di tengah (di bawah kolong rumah) merupakan pelindung
terbaik jika ada musuh datang dan merupakan keunikan tersendiri. Tidak seperti rumah lainnya, rumah
bangsawan ini memiliki jalan masuk dari kolong rumah, tepat di tengahnya, bukan dari samping.
Di dalam rumah terdapat ruangan besar sebagai tempat pertemuan dan berkumpulnya para tetua adat
tokoh adat Nias Selatan pada masa-masa lalu.
Beberapa ornamen menunjukkan jabatan bangsawan, seperti hiasan berbentuk piring, bentuk gama, dan
bentuk sisir, merupakan perlambang bahwa yang memiliki rumah merupakan pusat tempat pertemuan
(pesta besar) dan tempat di mana hukum adat ditentukan.
Karena harus memuat banyak orang, maka rumah adat dibuat dengan ukuran serba besar, baik tiang
penyangga maupun ruangan yang dibangun. Ukuran besar di sini memiliki dua fungsi, yaitu dapat
memuat banyak orang dan menunjukkan kekayaan dan kebesaran pemiliknya. Alasan lain adalah hanya
orang yang layaklah yang berhak membangun rumah besar. Hanya orang-orang tertentu pula yang dapat
melakukan pesta besar (owasa) sebagai wujud dari kekayaan.
5. Kuliner tradisional
1. Makanan Khas
Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-
kecil)
Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat
kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
Köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan
dijemur/dikeringkan/diasap)
Ni’owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
Raki gae (pisang goreng)
Tamboyo (ketupat)
Löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
Bae - Bae
Tamböyö (ketupat)
Gae nibogö (pisang bakar)
Kazimone (terbuat dari sagu)
Wawayasö (nasi pulut)
Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama;
terdapat di Kepulauan Hinako)
Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet,
dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
2. Miuman
Tuo Nifaro (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam
bahasa Nias “Pohon Nira” = “tola nakhe”) yang telah diolah dengan cara
penyulingan)
Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon
kelapa)
http://oktazega.blogspot.co.id/2014/09/sejarah-suku-nias-adalah-masyarakat.html