Anda di halaman 1dari 7

POSTED BY 

IBNARENDRA ON APRIL 16, 2018


Tak Berkategori

1. Kesenian
2. a) Tari Bajang Girang

Tarian ini perwujudan ekspresi perasaan anak muda yang selalu bermaksud untuk melaksanakan perkawinan.
Dalam Bahasa Indonesia, kata bajang berarti muda dan girang berarti senang.

1. b) Tari Lenggo

Tari Lenggo adalah salah satu jenis kesenian yang ada pada zaman dahulu diselenggarakan oleh para Raja dan
Ratu di Bima. Gerakan tarian ini yang demikian luwes merupakan cerminan keluwesan dan tingkah laku yang baik
dari para pemuda dan pemudi di Bima. Tari Lenggo pada zaman dulu sering dipertunjukan pada upacara-upacara
menyambut tamu-tamu, upacara adat lainnya atau acara penting kerajaan.

1. c) Ntumbu

Ntumbu adalah atraksi mengadu kepala antara dua pemain, merupakan salah satu pertunjukan di daerah Bima.
Pada pertunjukan ini kedua pemain diberikan kekebalan lebih dulu oleh pemimpin pertunjukan yang disebut Guru’
dengan berdo’a yang disebut Nochtah”. Untuk memungkinkan melangsungkan pertunjukan perlu adanya
kepercayaan, keyakinan yang dikonsentrasikan dalam hati bagi kedua pemain dan ini akan diperoleh apabila kedua
pemain telah di do’akan. Pemain membagi diri dalam dua kelompok. Kelompok yang bertahan disebut “Te’e” dan
yang menyerang disebut ” Ncora” Atraksi Ntumbu diiringi musik tradisional Bima, mula-mula pemain yang memegang
dan melambaikan saputangan memberi salam kepada penonton kemudian pemanasan sebelum melakukan adu
kepala.

2. Sistem Religi

Kepercayaan asli orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Walaupun
sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama Islam, suku Bima masih mempercayai dunia roh-roh yang
menakutkan. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat
besar sebagai penguasa, Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon,
gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya
sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal
para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagian timur menganut agama Kristen.

3. Bahasa

Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Bima berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa Bima. Bahasa
Bima terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Donggo dan Sangiang. Adanya ketiga dialek tersebut
menunjukkan tingkatan atau tinggi rendahnya bahasa Bima, yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam
berkomunikasi, sebagai wujud nilai kesopanan. Bahasa yang mereka pakai ini termasuk bahasa yang digunakan
oleh kelompok Melayu Polynesia.

4. 4. Sistem Pendidikan

Secara umum, penduduk Nusa Tenggara Barat sangat terikat dengan adat dan agamanya, Namun demikian,
merreka tidak menutup diri sama sekali dari pengaruh luar. Dahulu, sekolah dianggap perusak adat. Saat ini anak-
anak disekolahkan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mereka cenderung beranggapan segala yang
berasal dari luar itu baik, terutama yang menyangkut kebudayaan dan teknologi. Cara hidup dan berfikir sudah
mengikuti pola modern, hidup hemat, cermat dan ekonomis.

5. Sistem Peralatan Hidup

Masyarakat Bima telah mengenal teknologi, sehingga peralatan yang dipergunakan beberapa sudah modern.
Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi,
dan transportasi.

6. 6. Organisasi Sosial

Sebagaimana kampung adat lainnya, pada Suku Bima terdapat  perangkat adat yang berfungsi mengurus segala
urusan masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat maupun hukum adat.

7. 7. Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama Suku Bima adalah meramu. Selain itu, mereka juga bersawah beternak kuda dan berburu.
Suku Bima terkenal dengan kudanya yang kecil tetapi kuat. Tahun 1920-an daerah Bima sudah menjadi tempat
pengembangbiakan kuda yang penting. Sistem pengairan Subak yang dikenal dalam masyarakat Bali dan Sasak
juga diterapkan, disebut ponggawa. Irigasi secara permanen ini dapat dilakukan karena adanya sungai-sungai di
pesisir utara dan sungai-sungai di pusat pegunungan. Selain itu, para wanita juga membuat kerajinan anyaman dari
rotan dan daun lontar, juga kain tenunan ‘tembe nggoli, yang terkenal.

http://blog.isi-dps.ac.id/ibnarendra/7-unsur-kebudayaan-suku-bima

Budaya Bima adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Bima. Budaya
Bima dikenal dengan julukan dou mbojo. Masyarakat Bima yang menggunakan bahasa
Bima atau nggahi mbojo, menurut sejarahnya suku Bima mempunyai tujuh pemimpin di
setiap daerah yang disebut Ncuhi. Suku yang dikenal dengan julukan dou mbojo ini
menghuni di daratan rendah, mayoritas penduduk kota Bima memeluk agama Islam.
Seni tradisional khas Bima misalnya, tari bongi monca, tari lele lopi dan lain-lain.
http://www.indikatorbima.com/2017/09/kebudayaan-bima-dan-dompu.html#:~:text=Budaya%20Bima
%20adalah%20budaya%20yang,dikenal%20dengan%20julukan%20dou%20mbojo.&text=Seni
%20tradisional%20khas%20Bima%20misalnya,dan%20hidup%20dalam%20masyarakat%20Dompu.

indikatorbima.com

Jumat, 22 September 2017


Bima memang unik dengan beragam tarian tradisional baik yang lahir dari Istana
maupun di luar Istana. Pada masa lalu, terutama pada zaman ke-emasan. Kesultanan
Bima, Seni tari  dan atraksi seni budaya tradisioanl merupakan salah satu cabang seni
yang sangat populer. Pengembangan seni tari mendapat perhatian dari pemerintah
kesultanan. Kala itu, Istana Bima (Asi Mbojo) tidak hanya berfungsi sebagai pusat
Pemerintahan namun Asi juga merupakan pusat pengembangan seni dan budaya
tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Bima yang
kedua) yang memerintahkan antara tahun 1640-1682 M, seni budaya tradisional
berkembang cukup pesat. Hingga saat ini seiring berjalannya waktu, beberapa seni tari
dan atraksi seni budaya tradisional itu masih tetap eksis. Beberapa tarian yang masih
dapat di nikmati antar lain;

a.      Atraksi Gantao

Jenis tarian ini berasal dari Sulawesi Selatan dengan


nama asli Kuntao. Namun di Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak
silat ini berkembang pesat sejak abad ke-16 Masehi. Karena pada saat itu hubungan
antara kesultanan Bima dengan Gowa dan Makasar sangat erat. Atraksi ini dapat
dikategorikan dalam seni Bela diri (silat), dan dalam setiap gerakan selalu mengikuti
aturan musik tradisional Bima (Gendang, Gong, Tawa-tawa dan Sarone). Pada zaman
dahulu setiap acara-acara di dalam lingkungan Istana Gantao selalu digelar dan
menjadi ajang bertemunya para pendekar dari seluruh pelosok, hingga saat ini Gantao
masih tetap lestari detengah-tengah masyarakat Bima dan selalu digelar pada acara
sunatan maupun perkawinan).

 b.      Tari Wura Bongi Monca

Seni budaya tradisional Bima berkembang cukup pesat pada masa pemerintahan
sultan Abdul Kahir Sirajuddin, sultan Bima ke-2 yang memerintah antara tahun 1640-
1682 M. Salah satunya adalah Tarian Selamat Datang atau dalam bahasa Bima dikenal
dengan Tarian Wura Bongi Monca. Gongi Monca adalah beras kuning. Jadi tarian ini
adalah Tarian menabur Beras Kuning kepada rombongan tamu yang datang
berkunjung.

     Tarian ini biasanya digelar pada acara-acara penyabutan tamu baik secara formal
maupun informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa digelar untuk menyambut
tamu-tamu sultan. Tarian ini dimainkan oleh 4 sampai 6 remaja putri dalam alunan
gerakan yang lemah lembut disertai senyuman sambil menabur beras kuning kearah
tamu, Karena dalam falsafah masyarakat Bima tamu adalah raja dan dapat membawa
rezeki bagi rakyat dan negeri.

 c.       Tari Lenggo

Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo. Lenggo
Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung Sumatera Barat yang
bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus diciptakan
untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule (Pantai
Ule sekarang) dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lenggo
Melayu juga dalam bahasa Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh 4 orang
remaja pria.

     Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian tepatnya pada tahun
1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yang diperankan
oleh 4 orang penari perempuan. Lenggo Mbojo juga disebut Lenggo Siwe. Nah, jadilah
perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo yang pada perkembangan selanjutnya
dikenal dengan Lenggo UA PUA. Tarian Lenggo selalu dipertunjukkan pada saat
Upacara Adat Hanta UA PUA terutama pada saat rombongan penghulu Melayu
mamasuki pelataran Istana.

 d.      Rawa Mbojo


Salah satu seni budaya Mbojo yang merupakan ajang hiburan masyarakat tempo dulu
adalah Rawa Mbojo. Seni ini adalah salah satu media penyampaian pesan dan nasehat
yang disuguhkan terutama pada malam hari saat-saat penen sambil memasukkan padi
di lumbung. Senandung Rawa Mbojo yang di-iringi gesekan Biola berpadu dengan syair
dan pantun yang penuh petuah adalah pelepasan lelah dan pembeli semangat kepada
warga yang melakukan aktifitas di tiap-tiap rumah. Sebagai selingan, dihadirkan pula
seorang pawang cerita yang membawakan dongeng-dongeng yang menarik dan penuh
makna kehidupan.

Syair dan senandung Rawa Mbojo didominasi pantun khas Bima yang berisi nasehat
dan petuah, kadang pula jenaka dan menggelitik. Ini adalah sebuah warisan budaya
tutur yang tak ternilai unuk generasi. Dalam Rawa Mbojo terdapat beragam lirik yang
dikenal dengan istilah Ntoro. Ada Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, dan Ntoko
lainnya. Tiap Ntoko memiliki khas masing-masing. Misalnya Ntoko Tambora dilantunkan
dalam syair dan irama yang mengambarkan kemegahan alam. Ntoko Lopi Penge
mengambarkan suasana laut dan gelombang. Syair dan pantun yang dilantunkan pun
dikemukakan secara spontan sesuai keadaan. Itulah kelebihan dari para pelantun
Rawa Mbojo. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, namn mereka sangan pawai
melantunkannya secara spontanitas.

 e.      Hadrah Reban a


Jenis atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke-16. Hadrah Rebana
merupakan jenis atraksi yang telah mendapat pengaruh ajaran islam. Syair lagu yang
dinyanikan adalah lagu-lagu dalam bahasa Arab dan biasanya mengandung pesan-
pesan rohani. Dengan berbekal 3 buah Rebana dan 6 sampai 12 penari, mereka
mendendangkan lagu-lagu seperti Marhaban dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa
digelar pada acara WA’A CO’I (Antar Mahar), Sunatan maupun Khataman Alqur’an.
Hingga saat ini Hadrah Rebana telah berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok.
Hal yang menggembirakan adalah Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi
oleh seniman di Bima. Dan banyak sekali karya-karya gerakan dan lagu-lagu yang
mengiringi permainan Hadrah Rebana ini.

Semua atraksi kesenian dan tari-tarian ini oleh Pemerintah Kota Bima selalu di gelar
pada setiap perayaan hari-hari besar daerah, propinsi dan nasional bahkan untuk
menyambut para tamu-tamu pemerintahan, wisatawan dan kegiatan-kegiatan
ceremonial lainnya yang terpusat di Paruga Nae (tempat khusus pagelaran seni budaya
dengan arsitektur khas tradisional rumah adat Bima).

http://publiccenter.bimakota.go.id/informasi.php?AvsoKeIGTiplnSPkljPrSZE91ToGTl2GzsADHaYFLyM

Masyarakat Bima mempunyai cara tersendiri untuk memperingati Maulud Nabi yaitu tradisi Hanta Ua

Pua atau dalam bahasa melayu di sebut Sirih Puan. Dimana Ua Pua ini selain memperingati Maulid

juga sebagai peringatan masuknya Islam di Bima juga untuk menghargai para penghulu melayu

sebagai pembawa Islam di Bima.

Biasanya Ua Pua ini yaitu berbentuk sebuah kubah atau masjid yang disebut Uma Lige, yang di arak

atau di angkat dari melayu sampai istana.

http://aynunqf.student.umm.ac.id/budaya-makanan-dan-ciri-khas-daerah-bima-nusa-tenggara-
barat/#:~:text=Rimpu%20merupakan%20sebuah%20budaya%20dalam,(Kesultanan%20atau
%20Kerajaan%20Islam).

Aynun qoriyatun fadillah, juni 2016

Suku Bima memiliki hubungan dengan Suku Sasak yang tinggal berdekatan di Propinsi NTB.
Sejarahnya bisa ditelusuri semenjak zaman majapahit, nama Bima sendiri memang tokoh
Mahabharata kepercayaan Hindu. Akan halnya Suku ini, mayoritasnya menganut agama Islam,
dan dikenal sebagai Suku yang taat akan amalan Islam di kepulauan Indonesia Tenggara.
Kepercayaan asli orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek
moyang. Walaupun sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama Islam, suku Bima masih
mempercayai dunia roh-roh yang menakutkan. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga
sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa, Batara Guru, Idadari
sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan
berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya sebatang
pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat
tinggal para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagian timur menganut agama
Kristen.
Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu sekitar 97,38% dan selebihnya
memeluk agama Kristen Protestan 0,89%, Kristen Katholik 0,62% dan Hindu/Budha sekitar
1,11%. Sarana peribadatan di Kota Bima terdiri dari Masjid sebanyak 51 unit, Langgar/Mushola
89 unit dan Pura/Vihara 3 unit. Sedangkan fasilitas sosial yang ada di Kota Bima meliputi Panti
Sosial Jompo dan Panti Asuhan sebanyak 6 Panti yang tersebar di 3 kecamatan. Masyarakat
Bima adalah masyarakat yang religius. Secara historis Bima dulu merupakan salah satu pusat
perkembangan Islam di Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah kesultanan, yaitu
kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya terdapat pada peraturan-peraturan formal-
normatif serta pada segelintir orang saja melainkan juga populis, menjadi urat nadi dan darah
daging masyarakat, artinya juga telah menjadi kultur masyarakat Bima.

Anda mungkin juga menyukai