Anda di halaman 1dari 7

Bima, Nusa Tenggara Barat

Tari Tradisional
 Tari Lenggo
Tari Lenggo adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Bima, NTB.
Tarian ini dibagi menjadi dua jenis tarian yaitu Tari Lenggo Melayu dan Tari Lenggo
Mbojo. Tari Lenggo Melayu ini merupakan jenis Tari Lenggo yang dimainkan oleh
penari pria, sedangkan Tari Lenggo Mbojo dimainkan oleh penari wanita. Tarian
lenggo awalnya merupakan tarian klasik yang muncul serta berkembang di
lingkungan istana Kerajaan Bima, dan hanya ditampilkan pada acara-acara tertentu
saja.
Sejarah Tari Lenggo
Seperti yang disampaikan di atas, Tari Lenggo dibagi menjadi dua jenis tarian, yaitu
Tari Lenggo Melayu dan Tari Lenggo Mbojo. Menurut sumber sejarah yang ada, Tari
Lenggo yang pertama kali diciptakan adalah Tari Lenggo Melayu. Tari Lenggo
Melayu ini diciptakan oleh seorang mubalig dari Sumatera barat bernama Datuk Raja
Lelo. Tarian ini awalnya diciptakan khusus untuk upacara adat Hanta Ua Pua yang
diselenggarakan di Bima. Tari Lenggo Melayu ini dibawakan oleh para penari pria,
sehingga masyarakat Bima menyebutnya Tari Lenggo Mone.
Terinspirasi dari Tari Lenggo Melayu tersebut, Sultan Abdul Khair Sirajuddin
kemudian menciptakan sebuah tari yang dibawakan oleh penari putri yang dinamakan
Tari Lenggo Mbojo, atau disebut juga Tari Lenggo siwe. Gerakan dalam Tari Lenggo
Mbojo ini merupakan hasil kreasi dan pengembangan dari Tari Lenggo Melayu. Tari
Lenggo Mbojo ini kemudian sering ditampilkan dalam acara adat Hanta Ua Pua, yaitu
upacara peringatan masuknya agama Islam di Bima, NTB.
Fungsi Tari Lenggo
Tari Lenggo ini biasanya ditampilkan pada acara tertentu seperti acara adat Hanta Ua
Pua. Dalam acara tersebut Tari Lenggo dipertunjukan terutama pada saat rombongan
Penghulu Melayu memasuki pelataran istana kerajaan. Sambil menari, dua pasang
Tari Lenggo ini turut mendampingi Penghulu Melayu selama perjalanan menuju
istana.
Pertunjukan Tari Lenggo
Dalam pertunjukannya, Tari Lenggo biasanya di mainkan oleh 4 sampai 6 penari, baik
Tari Lenggo Melayu maupun Tari Lenggo Mbojo memiliki jumlah penari yang sama.
Dalam pertunjukannya, konsep tarian ini cenderung lebih mengarah pada tarian
penyambutan, dimana penari menari mengiringi kedatangan tamu atau para Penghulu
Melayu saat acara adat Hanta Ua Pua. Gerakan Tari Lenggo didominasi dengan
gerakan-gerakan pelan dan lemah gemulai mengikuti iringan musik pengiringnya.
Musik Pengiring Tari Lenggo
Dalam pertunjukannya, Tari Lenggo di iringi oleh musik tradisional dari Bima. alat
musik pengiring tersebut biasanya terdiri dari gendang besar(gendang na’e), silu
(sejenis serunai), gong dan tawa-tawa. Untuk mengiringi Tari Lenggo ini biasanya
diiringi dengan musik berirama lembut atau pelan selaras dengan gerakan para penari.
Kostum Tari Lenggo
Dalam pertunjukannya, penari Tari Lenggo biasanya menggunakan busana khas
Bima, baik penari pria maupun wanita. Untuk warna kostum Tari Lenggo ini,
biasanya lebih didominasi oleh warna cerah.
Perkembangan Tari Lenggo
Dalam perkembangannya, Tari Lenggo ini masih sering dipertunjukan sebagai bagian
dari upacara Hanta Ua Pua. Selain itu, Tari Lenggo juga sering ditampilkan di berapa
acara seperti penyambutan tamu penting dan festival budaya. Hal ini dilakukan
sebagai bagian dari usaha pelestarian dan memperkenalkan budaya dan tradisi yang
ada di Bima, NTB.
 Tari Buja Kadanda
Tari Buja Kadanda adalah salah satu tarian tradisional yang menggambarkan dua
prajurit yang sedang berperang. Tarian ini biasanya dibawakan oleh dua orang penari
pria berpakaian prajurit bersenjatakan tombak dan perisai. Tari buja kandanda ini
merupakan salah satu tarian tradisional dari daerah Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sejarah Tari Buja Kadanda
Menurut beberapa sumber yang ada, Tari Buja Kadanda ini awalnya merupakan tarian
yang tumbuh dan berkembang di luar istana kerajaan. Sehingga dapat diartikan bahwa
tarian ini murni merupakan tarian yang diciptakan oleh rakyat. Berkat dukungan dari
Kerajaan Bima dan para seniman istana, tarian ini kemudian mulai dikenal
masyarakat luas. Buja kadanda sendiri merupakan tombak berumbai bulu ekor kuda
yang digunakan penari sebagai atribut menarinya. Oleh karena itu tarian ini disebut
dengan Tari Buja Kadanda atau Mpa’a Buja Kadanda.
Fungsi Tari Buja Kadanda
Tari Buja Kadanda ini merupakan tarian tradisional menggambar dua prajurit yang
sedang berperang dengan menggunakan tombak dan perisai sebagai senjata mereka.
Tarian ini diciptakan untuk mengenang dan mengapresiasi perjuangan para prajurit
dalam mempertahankan daerah mereka. Selain itu tarian ini juga berfungsi untuk
memperkenalkan kepada generasi muda akan kejayaan dan kehebatan masyarakat
Bima pada jaman dahulu.
Pertunjukan Tari Buja Kadanda
Dalam pertunjukan Tari Buja Kadanda, pertama diawali dengan tabuhan dari musik
pengiring. Kemudian para penari dengan membawa senjata mereka memberi salam
kepada para penonton. Setelah itu kemudian mereka menari dengan gaya mereka
masing-masing. Gerakan dalam tarian lebih didominasi oleh gerakan bela diri yang
dipadukan dengan gerakan tari. Dalam tarian ini kedua penari melakukan gerakan
saling menyerang dengan menggunakan tombak atau tongkat mereka.
Untuk melakukan tarian ini tentunya dibutuhkan keahlian khusus dalam seni bela diri.
Karena pada dasarnya gerakan saling serang kedua penari terlihat sangat natural dan
sangat cepat. Sehingga penari yang bertahan harus tahu kemana arah serangan itu
datang. Dalam babak ini musik pengiring memainkan irama bertempo cepat, sehingga
membuat pertunjukan terasa lebih hidup. Di akhir pertunjukan alunan musik
diperlambat lagi sebagai tandas bahwa pertujukan segera berakhir. Kemudian kedua
penari berangkulan dan memberi salam kepada para penonton yang menyaksikan.
Pengiring Tari Buja Kadanda
Dalam pertunjukan Tari Buja Kadanda ini diiringi oleh alunan musik tradisional
seperti gendang, gong, serunai dan tawa-tawa. Iringan musik tersebut dimainkan
dalam dua irama yang berbeda yaitu irama lambat dan irama cepat. Irama lambat
untuk mengawali dan mengakhiri pertunjukan dan irama cepat untuk mengiringi
penari saat bertarung.
Kostum Tari Buja Kadanda
Kostum yang digunakan penari saat pertunjukan tari buja kadada ini merupakan
kostum para prajurit. Kostum yang digunakan biasanya adalah baju lengan panjang,
celana panjang, dan ikat atau penutup kepala. Selain itu tidak lupa menggunakan
atribut menari yaitu tombak atau tongkat buja kadanda dan perisai.
Perkembangan Tari Buja Kadanda
Seiring dengan perkembangan jaman, Tari Buja Kadanda ini sudah mulai jarang
dipertunjukan. Kurangnya ruang atau kesempatan untuk pertunjukan merupakan salah
satu faktor utamanya. Namun kesenian ini masih tetap dilestarikan dan dikembangkan
di beberapa sanggar yang ada di Bima. Selain itu tarian ini juga ditampilkan
dibeberapa kesempatan acara seperti festival budaya dan acara-acara budaya yang
diadakan di sana. Tentunya perhatian pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan
dalam melestarikan kesenian tradisional satu ini.
Rumah Adat

Rumah adat Bima bernama Uma Lengge. Uma Lengge berasal dari kata uma yang
berarti rumah dan lengge yang berarti mengerucut. Rumah tradisional ini adalah bagian dari
budaya warisan nenek moyang Suku Bima. Bahan utamanya berasal dari kayu, punya empat
tiang, serta atap yang dibentuk dari alang-alang.
Bangunan tradisional ini terdiri dari tiga lantai. Menerima tamu dan melakukan
upacara adat dilakukan di lantai pertama, tempat tidur dan dapur ada di lantai kedua,
sementara lantai terakhir digunakan sebagai penyimpanan bahan makanan.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Bima tak lagi menggunakan Uma Lengge
sesuai fungsi aslinya. Banyak orang memilih tinggal di rumah konvensional yang lebih luas.
Namun demikian, bangunan rumah adat tetap dipertahankan hanya saja fungsinya kini
sepenuhnya digunakan sebagai lumbung padi.
Bukan hanya sekedar lumbung padi biasa, rumah tradisional ini melambangkan
kecerdasan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Contohnya saja Desa Maria di
Kecamatan Wawo, satu dari tiga wilayah di Bima yang masih memiliki kompleks Uma
Lengge. Tanah di tempat mereka tak terlalu subur dan padi hanya bisa dipanen setahun
sekali.
Masyarakat pun harus memutar otak bagaimana caranya mengatur cadangan padi agar
cukup untuk 12 bulan. Di sinilah mereka kemudian mencoba memanfaatkan keberadaan Uma
Lengge. Sengaja diletakkan jauh dari kawasan rumah penduduk agar jika terjadi bencana
kebakaran, persediaan pangan mereka tidak ikut lenyap begitu saja.
Selain itu karena letaknya cukup jauh, ibu-ibu rumah tangga di Desa Maria juga
dituntut pandai mengatur kebutuhan rumah tangga mereka. Jika sampai terlihat tetangga
terlalu sering mengambil beras, mereka bakal dianggap sebagai keluarga boros.
Kompleks Uma Lengge belakangan juga menjadi membawa manfaat tambahan bagi
warga sekitar. Sebab keindahannya menarik banyak wisatawan dari berbagai penjuru untuk
datang berkunjung. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Pengunjung bisa mengagumi
bentuk rumah tradisional di sini sembari berfoto. Jika tertarik, bisa juga belajar proses
menjemur gabah dan menyimpannya ke dalam lumbung.
Bulan Agustus jadi momen terbaik untuk berkunjung. Penduduk biasanya akan
mengadakan festival khusus dengan beragam tarian, upacara adat, pesta panen, dan
pertunjukan permainan rakyat. Selain itu akan ada kegiatan renovasi dan pembersihan rumah
adat. Pengunjung yang masuk tidak dipungut bayaran sama sekali. Hanya saja wisatawan
biasanya memberikan sumbangan seikhlasnya untuk membantu pembangunan wilayah di
sekitar desa.
Senjata Tradisional

 Cila Mboko
Cila Mboko juga dikenal dengan nama Parang Bengkok. Bentuknya
melengkung di ujungnya. Cila ini memiliki panjang sekitar 30 cm. Sedangkan
gagangnya memiliki panjang sekitar 20 cm. Dalam Tradisi masyarakat Bima-Dompu,
Cila merupakan senjata yang selalu dibawa kemana-mana terutama ketika menjaga
kebun ataupun ladang. Karena dapat digunakan untuk memotong ranting-ranting
pohon, semak belukar dan menjaga diri dari ancaman musuh maupun serangan
binatang buas. Pembuatan cila mboko dilakukan selama 2 hari. Harga untuk satu buah
Cila Mboko sekitar Rp. 60.000. Bahan pembuatan Cila Mboko adalah besi sektiar 1
kg dengan harga sekitar Rp. 12.000,-

 Cila Gowa

Bisa jadi, cila ini merupakan pengaruh kebudayaan Gowa di masa lalu.
Memang tidak ada aksesoris dan ornamen yang dapat membuktikan bahwa Cila ini
merupakan pengaruh kebudayaan Gowa, tapi secara turun temurun masyarakat Bima-
Dompu menyebutnya dengan Cila Gowa. Ukuran cila ini memiliki panjang 65 cm.
Gagangnya memiliki panjang sekitar 45 cm lebih panjang daripada Cila Mboko. Oleh
karena itu, Cila ini juga diberinama Cila Naru. Fungsinya juga sama dengan Cila
Mboko di atas yaitu untuk menjaga diri dan keperluan pertanian dan berladang. Harga
cila gowa sekitar Rp. 150.000. lama waktu pembuatan selama satu minggu. Bahan-
bahannya adalah besi 1 kg sama dengan pembuatan cila mboko.

 Cila Mbolo

Cila ini bentuknya agak bundar. Oleh karena itu dinamakan Cila Mbolo. Cila
ini memiliki panjang sekitar 30 cm. Sedangkan gagangnya memiliki panjang sekitar
20 cm. Dalam Tradisi masyarakat Bima-Dompu, Cila merupakan senjata yang selalu
dibawa kemana-mana terutama ketika menjaga kebun ataupun ladang. Karena dapat
digunakan untuk memotong ranting-ranting pohon, semak belukar dan menjaga diri
dari ancaman musuh maupun serangan binatang buas. Harga cila mbolo sekitar Rp.
50.000,- lama pembuatan sekitar 2 hari. Bahan baku utamanya adalah besi 1 kg

 Cila Golo

Cila Golo sebenarnya hampir sama dengan Golo atau Golok. Bedanya Cila ini
agak panjang daripada Golo. Cila ini memiliki panjang sekitar 15 Cm, gagangnya ada
sedikit ukiran dengan panjang sekitar 10 cm. Harga Cila Golo sekitar Rp. 50.000.
Lama pembuatan sekitar 2 hari. Dengan bahan baku utama besi sekitar 1 kg dan kayu
jati dan sonokling untuk gagangnya.

 Cila La Nggunti Rante


Parang atau golok ini konon memiliki kesaktian terutama jika digunakan
disaat-saat genting pada masa kejayaan kerajaan dan kesultanan Bima. Dijuluki La
Nggunti Rante karena konon dapat memotong apa saja termasuk Baja dan Besi.
Menurut Kitab BO (Kitab Kuno Kerajaan Bima) parang ini dibuat pada abad ke-14
yaitu pada masa Pemerintahan Batara Indera Bima. La Nggunti Rante merupakan
Golok Pendek dengan panjang 25 cm dan lebar 10 cm.
Menurut Muslimin Hamzah dalam bukunya Ensiklopedia Bima, ada penelitian
dari oleh seorang ahli dari Sri Langka bahwa kembaran parang ini hanya ada di
negerinya. Ini tentunya perlu sebuah penelitian yang mendalam karena dalam catatan
sejarah Bima Sri Langka atau Sailon merupakan salah satu tempat pembuangan salah
seorang Sultanah dari kesultana Bima yaitu Komalasyah atau dikenal dengan Kumala
Bumi Partiga yang memerintah pada tahun 1748 – 1751). Bumi Partiga adalah sultan
perempuan dari kesultanan Bima yang merupakan sultan yang ke-7.
Parang Sakti ini masih ada dan tersimpan di Museum Asi Mbojo. Ini adalah
kekayaan dan warisan sejarah Bima yang harus diselamatkan dari tangan-tangan yang
tidak bertanggungjawab. Sebab pasca wafat Sultan Muhammad Salahuddin pada
tahun 1951 banyak koleksi Istana Bima yang hilang. Pada masa peralihan dari
kesultanan Bima kepada Pemerintahan Swapraja Bima terjadi gelombang anti
kesultanan Bima dan banyak benda-benda pusaka yang dijarah. Tidak sedikit harta
pusaka ini yang dipalsukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab dan dijual
dengan harga miliaran rupiah. Konon, La Nggunti Rante pun pernah dijual, namun
kembali dengan sendirinya ke Istana Bima.
Hj. Siti Maryam, salah seorang puteri Sultan Muhammad Salahuddin
menceritakan bahwa banyak kejanggalan serta misteri seputar benda pusaka ini. Sejak
tahun 1951, benda-benda pusaka ini seperti barang tak bertuan. Dia menjadi bahan
rebutan antara pihak Istana dengan aparat Pemerintah waktu itu. Banyak benda-benda
ini dijual ke Bali, dijadikan koleksi pribadi para pejabat dan digantikan dengan
imitasi untuk mengelabui aparat penegak hukum. Karena benda-benda ini adalah
cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang.
Pakaian Adat
Nusa Tenggara Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia. Secara geografis, Nusa
Tenggara Barat terletak di kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini
adalah Sumbawa dan Lombok. di Pulau Lombok, mayoritas penduduknya adalah Suku
Sasak, sedangkan Pulau Sumbawa didiami oleh Suku Bima.
Berbicara mengenai pakaian adat masyrakat Suku Bima atau Dou Mbojo, tidak bisa
terlepas dari pengaruh kerajaan Bima yang merupakan kerajaan Islam yang tersohor di
Nusantara bagian timur. Pengaruh budaya Islam terhadap kebudayaan masyarakat Bima
sangat besar. Oleh karena itu, keberadaan pakaian adat Bima tidak bisa lepas dari sejarah
perkembangan Islam di masa lalu.
Rimpu, pakaian adat perempuan Suku Bima ini merupakan bukti besarnya pengaruh
kebudayaan Islam di Bima. Dari segi bentuk, rimpu sering diidentikan dengan mukena, yaitu
pakaian yang dikenakan perempuan muslim ketika melaksanakan shalat.
Satu set Rimpu terdiri dari dua bagian, sebagai penutup kepala sampai perut dan
penutup perut sampai kaki (seperti rok perempuan pada umumnya). Secara fungsi rimpu
dibagi menjadi dua jenis, rimpu cili dan rimpu colo. Rimpu cili khusus untuk perempuan
Bima yang belum menikah, bentuknya seperti mukena dengan bahan sarung tenun khas
Bima, hanya saja pada bagian atas rimpu cili, yang terbuka adalah sepasang mata pemakainya
saja. Sedangkan rimpu colo, digunakan oleh kaum ibu yang sudah menikah. Rimpu colo
menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah pemakainya.
Bagi pria, yang menjadi ciri khas dari Suku Bima adalah sambolo atau ikat kepala.
Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun, motifnya yang serupa sarung
songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke. Cara memakainya
yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup.
Selain itu, kaum lelaki mengenakan sejenis kemeja berlengan dan berkerah pendek.
Pada bagian bawah, lelaki bima menganakan sarung songket yang disebut tembe
me’e. Dan mengenakan ikat pinggang yang disebut salepe. Bentuk salepe tidak berbeda
dengan selendang, pemakaiannya hanya dililitkan melingkar di pinggang.
Secara umum, pakaian adat Bima memiliki nilai-nilai ajaran Islam. Pakaian adat bima
berfungsi sebagai penutup aurat. Selain sebagai pakaian sehari-hari busana adat Bima bisa
difungsikan sebagai pakaian ketika melaksanakan shalat.

Anda mungkin juga menyukai