Anda di halaman 1dari 6

PERSPEKTIF MASYARAKAT DAN TOKOH AGAMA MENGENAI TRADISI

RIMPU TEMBE DI BIMA

Skripsi

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram

Untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

Hardianti

220202011

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tentunya seiring dengan perkembangan jaman selalu memicu trend baru yang
diyakini ada pada saat itu. Perkembangan ini bisa datang dari segala macam ide, mulai dari
teknologi hingga penampilan. Setiap perkembangan tersebut jelas menimbulkan ketertarikan
tersendiri bagi siapapun yang menonton. Salah satu sudut pandang yang dominan adalah cara
berbusana atau fashion yang digandrungi anak muda saat ini. Penampilan ini meliputi
kemeja, celana, gaun, rok, dan aksesoris lainnya serta berbagai item terkait. Tentunya dengan
menggabungkan hal-hal tersebut akan menciptakan gaya atau nilai fashion tersendiri bagi
mereka. Fashion sepertinya sudah menjadi ciri dan kepribadiannya. Setelah pentingnya
fashion yang unik dan berani tampil beda.

Sekarang adat-istiadat mulai memudar. Semakin banyak anak perempuan dan anak
muda yang tidak mengenal budaya. Keadaan ini tentu memprihatinkan karena kebiasaan dan
budaya yang diwariskan tidak tergantikan. Sayang sekali jika budaya kita hilang begitu saja,
karena adat-istiadat tersebut merupakan identitas dan ciri khas suatu suku.

Di Indonesia kita dapat melihat bahwa kehidupan dan budaya masyarakat sangat
berbeda penuh religi (beragama). Masyarakat umumnya menerima ajaran Islam bagaimana
cara hidup dan budayanya memperkenalkan Islam itu sendiri, dan dengan itu negara
Indonesia dianggap sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia,serta dalam
penyebaran Islam di negeri tercinta ini. Wali Songo sebagai para penyebar Islam sangat
memperhatikan budaya, terutama cara berpakaian menutupi ketelanjangan. Sehingga
masyarakat di berbagai pelosok desa sangat menghormatinya. Budaya produk Islami yang
tinggi, misalnya budaya cadar atau jilbab adalah identitas seorang wanita muslimah.

Masyarakat Bima seperti yang kita kenal sekarang ini tersusun berbagai
suku,kelompok, etnis dan budaya yang tersebar hampir di mana-mana di negara ini.Namun,
pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan terjadi secara bolak-balik Imigrasi
kelompok etnis di sekitar Bima. Karena etnis dan Datangnya budaya Bima, tak heran jika
agamanya memang sangat beragam. Saat ini lebih dari 90 persen penduduk Bima beragama
Islam.
Dana Mbojo merupakan daerah yang kaya akan budaya dan kebudayaan. Adat istiadat
yang menjadi ciri khas masyarakat Bima Mbojo sendiri. Namun saat ini kebiasaan tersebut
perlahan menghilang dan sulit ditemukan. Maka tidak heran jika banyak anak atau pemuda
Bima yang tidak mengenal budayanya sendiri. Situasi ini tentu menimbulkan kecemasan
karena adat dan budaya merupakan warisan. Transisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya tidak ternilai harganya. Salah satu yang menjadi sorotan dari adat istiadat
masyarakat Bima yang sekarang mulai memudar dan berangsur angsur hilang adalah tradisi
Rimpu.

Rimpu merupakan cara berpakaian yang merupakan ciri khas masyarakat Bima,
Rimpu adalah sebuah identitas. Kata rimpu berasal dari bahasa Bima yang mengandung arti
penutup kepala dengan menggunakan sarung, sehingga dapat dipahami bahwa rimpu adalah
busana berpakaian bagi wanita muslimah dengan menggunakan sarung khas Bima sebagai
penutup kepala dan sebagian anggota tubuh. Rimpu sebenarnya ekspresi dalam berbusana
bagi wanita muslimah dengan menggunakan dua lembar sarung khas Bima. Cara
memakainya yaitu satu sarung digunakan dengan cara melingkarkan dan menutupi bagian
kepala dan anggota tubuh bagian atas yang bisa terlihat hanya muka dan bahkan matanya
saja. Satu sarungnya lagi dipakai dan diikatkan pada bagian perut sebagai penganti rok. Dari
segi kegunaan, rimpu sebenarnya berfungsi sebagai sebagai alat penutup aurat, hanya saja
budaya rimpu hanya berlaku dan menjadi tradisi dalam menutup aurat bagi wanita muslimah
yang ada di daerah Bima.

Kain sarung yang digunakan pun merupakan hasil tenun khas dari Bima, dengan
menggunakan alat tenun manual, yang dimana dalam proses pembuatan satu kain sarung saja
bisa membutuhkan waktu sampe setengah tahun. Harganya pun lumayan, berkisar 150rb
keatas, tergantung jenisnya. Jenisnya sendiri, ada sarung(tembe) nggoli, tembe salungka,
tembe renda, tembe masarai, dan lain sebagainya. Tapi yang agak murah juga ada. Bahannya
pun sangat adem dan lembut.

Rimpu sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu pertama rimpu cili/mpida untuk wanita
remaja dan yang belum nikah, dan yang kedua rimpu colo untuk wanita yang sudah menikah.
Rimpu cili/mpida diperuntukan bagi remaja atau wanita yang belum nikah, bermakna bahwa
seorang wanita yang belum menikah sebaiknya menutup aurat kecuali kedua matanya.
Seperti memakai niqab. Rimpu colo dikhususkan bagi wanita muslim yang sudah menikah,
pemakaiannya pun sama seperti jilbab pada umumnya, menutup aurat kecuali wajah.
Tradisi Rimpu ini sejalan dengan budaya dan kewajiban bagi kaum wanita islam yaitu
kewajiban menutup aurat atau berhijab yang tertuang dalam Al-Qur’an tentang pentinya
menjaga aurat (QS-Al-Ahzab; 59) yang artinnya; “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin. “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Dengan demikian memang merupakan suatu kewajiban bagi seorang wanita


muslimah untuk berjilbab, yaitu menutupkan kain kerudung ke kepalanya hingga dada
seorang wanita tidak nampak, sehingga tidak terjadi hal-hal yang memang dapat merugikan
pribadi wanita tersebut. Berbeda halnya dengan kondisi masyarakat Bima sekarang, dimana
pakaian rimpu sudah mulai pudar dengan perkembangan zaman.

Derasnya arus modernisasi sangat diperlukan peran masyarakat, tokoh agama, tokoh
masyarakat dalam merawat dan melestarikan budaya rimpu. Tradisi Rimpu sebagai ekspresi
budaya khas yang dibalut dengan tata nilai dan norma-norma yang berlaku dalam ajaran
Islam. Serta eksistensi rimpu ditengah terpaan budaya modern yang di impor dari luar. Hal ini
yang menarik peneliti untuk mengkaji terkait masalah rimpu tembe.

Dari berbagai penjelasan di atas, penulis bermaksud menuangkanya melalui penelitian


dalam skripsi yang berjudul: Perspektif masyarakat dan tokoh agama mengenai tradisi rimpu
tembe di Bima.

Anda mungkin juga menyukai