Anda di halaman 1dari 12

SENI DALAM RITUAL GREBEG MAULUD

KERATON KASUNANAN SURAKARTA

Oleh:

Nadia Sigi Prameswari


NIM. 1220699412
Dosen pengampu:

Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi

PENGKAJIAN SENI | PROGRAM STUDI PASCASARJANA


INSTITUT SENI INDONESIA | YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ritual Grebeg Maulud adalah salah satu acara rutin tiap tahun di Keraton Kasunanan
Surakarta. Acara ini memperingati hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada moment ini
akan dikirab Gunungan Tumpeng Raksasa dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung
Surakarta yang terletak di dekat alun-alun utara kota Surakarta. Ribuan warga Surakarta dan
sekitarnya berkumpul untuk mencari berkah. Banyak yang berasal dari Sragen, Karanganyar,
Wonogiri dan daerah-daerah lain yang lebih jauh. Banyak pula turis-turis mancanegara yang
menyaksikan ritual tersebut. Begitu pula semua abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta
berkumpul sepanjang acara ritual Grebeg Maulud ini diadakan. Para pedagang berbondongbondong memasarkan segala macam barang jualannya. Selain menjadi berkah untuk para
pedagang yang mencari nafkah, Grebeg Maulud juga menjadi ritual khusuk yang wajib
dilakukan.
Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang
menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci
(ODea, 1995: 5-36).
Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta merupakan salah satu bentuk ritual yang
telah dilaksanakan secara turun-menurun sejak Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan I
kasultanan Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa, yang telah meruntuhkan
kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M atau 1400 Saka yang dikenal dengan candrasengkala
Sirna Hilang Kertaning Bumi (GPH. Poeger, 2002:3).
Ritual Grebeg Maulud dengan puncaknya dikeluarkan gunungan merupakan lambang
sedekah raja kepada rakyatnya dan mendatangkan keberkahan. Masyarakat meyakini bahwa
benda-benda yang terdapat pada gunungan mempunyai kekuatan magis. Gunungan terdiri
dari gunungan lanang (gunungan laki-laki) dan gunungan wadon (gunungan perempuan).
Gunungan terbuat dari berbagai jenis makanan tradisional, berbentuk tinggi menjulang
seperti lingga yang menggambarkan laki-laki dan lainnya berbentuk yoni yang
menggambarkan perempuan (GPH. Poeger, 2002:6).
Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput dari pembicaraan
kaum fungsionalis. Parsonss (1967), termasuk pengikut fungsionalis, memandang
Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 2

sumbangan agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang
mentrandensikan pengalaman (referensi transedental); sesuatu yang berada di luar dunia
empiris (ODea, 1995:7).
Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena kesadaran religiusitas dalam realitas
sosial ini dipahami dengan konsep fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural.
Teori ini memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial, terdiri dari bagianbagian yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan (equilibrium). Perubahan dari salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi
sistem keseluruhan (Ritzer, 1980: 25-30). Dalam hal ini agama termasuk ritual di dalamnya
sebagai salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian dari
keseluruhan sistem sosial, dan berfungsi bagi masyarakat khususnya bagi pengintegrasi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat permasalahan yaitu: Bagaimana
esensi upacara ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta dalam sudut pandang
fungsional?

BAB II
PEMBAHASAN

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 3

A. Kebudayaan Sebagai Sistem Simbol


Pembahasan teori fungsionalisme struktural Parsons diawali dengan empat skema penting
mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan, skema tersebut dikenal dengan sebutan skema
AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini,
fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan sistem.
Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem
sosial, meliputi sistem organisme perilaku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian
(Adaptation), dengan singkatan A, sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan
(Goal Attainment), disingkat G, sistem sosial adalah sumber integrasi (Integration), disingkat I,
dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola yang ada (Laten pattern-maintenance),
disingkat L (Ritzer, 1996:99-100).
Kebutuhan adaptasi (adaptation) dipenuhi melalui sub-sistem simbol kognitif (Cognitive
symbolization) yang bentuk konkritnya berwujud ilmu pengetahuan atau dasar perilaku kognitif.
Fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi
situasi eksternal yang gawat, dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga
dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.
Goal attainment melalui simbol ekspresif (expressive symbolization), bentuk konkritnya
berupa perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik yang lain. Pencapainan
tujuan sangat penting, dimana sistem harus bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Integration dipenuhi melalui beberapa simbol moral (Moral symbolization), bentuk
kongkretnya berupa ketentuan normatif dalam etika, adat sopan-santun atau tata-krama
pergaulan. Selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGL).
Laten

pattern-maintenance

diselesaikan

melalui

simbol

konstitutif

(Constitutive

symbolization) yang bentuk kongkretnya berupa kepercayaan atau dasar dan inti perilaku
keagamaan. Sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian
yang menjadi komponennya. Sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi polapola individu dan kultural (Waters, 1994: 142-151).
Sub-sistem simbol-simbol tersebut merupakan sistem yang saling terkait satu sama lain,
sehingga dapat dilihat pada skema berikut:
Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 4

Skema 1
Kebudayaan Sebagai Sistem Simbol (Waters, 1994:150)

Adaptasi dilaksanakan oleh manusia dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah
lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal Attainment difungsikan
oleh sistem kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan memolbilisai sumber daya untuk
mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh sistem sosial, dan laten difungsikan sebagai
sistem kultural.

B. Ritual Grebeg dalam Simbol Kognitif


Grebeg berasal dari bahasa Jawa garebeg, grebeg, grebeg bermakna suara angin menderu.
Kata bahasa Jawa (h)anggarebeg mengandung makna mengiring raja, pembesar atau pengantin.
Grebeg yaitu upacara, peristiwa keluarnya raja dari keraton diiringi putra-putri dan segenap

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 5

punggawa keraton. Dapat juga diartikan, raja berjalan diiringi oleh ratusan orang. Upacara ini
biasanya dihubungkan dengan hari besar agama Islam (Setiadi, 2000:254).
K.R.H.T Kusuma Tanaya selaku penasehat spiritual Keraton Kasunanan Surakarta
mengatakan sebagaimana dikutip oleh Minggu Pagi tahun ke-49, No.20, 1995 halaman 9 bahwa
Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta adalah upacara tradisi Islam yang diselaraskan
dengan budaya Jawa yang sudah ribuan tahun mengendap di jiwa masyarakat (Budiasih,
1996:14).

Gambar 1. Perayaan Grebeg Maulud di keraton Kasunanan Surakarta

Kebutuhan Adaptasi (adaptation) dipenuhi melalui sub-sistem simbol kognitif (Cognitive


symbolization). Melalui proses adaptasi, upacara ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan
Surakarta merupakan bentuk ritual yang diterima oleh masyarakat dan telah dilaksanakan secara
turun-menurun sejak Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan I kasultanan Demak sebagai
Kerajaan Islam pertama di Jawa, yang telah meruntuhkan kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M
atau 1400 Saka yang dikenal dengan candrasengkala Sirna Hilang Kertaning Bumi (GPH.
Poeger, 2002:3).
C. Ritual Grebeg dalam Simbol Ekspresif
Bentuk konkrit simbol ekspresif (expressive symbolization) dalam goal attainment berupa
perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik yang lain. Pada ritual Grebeg
Maulud terdapat beberapa elemen estetis yang dapat dikategorikan sebagai karya seni, yaitu:
gunungan dan iringan gamelan yang diwujudkan dalam gending Jawi.
Setelah perayaan sekaten berlangsung 7 hari, maka tepat tanggal 12 Rabiulawal, yakni hari
lahirnya Nabi Muhammad SAW, diadakan upacara selamatan dengan sesaji gunungan yang
diselenggarakan oleh Sinuhun Paku Buwana. Dikeluarkannya gunungan menandakan bahwa
acara Grebeg Maulud telah memasuki acara puncak. Gunungan merupakan lambang sedekah
Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 6

raja kepada rakyatnya dan mendatangkan keberkahan. Masyarakat meyakini bahwa benda-benda
yang terdapat pada gunungan mempunyai kekuatan magis.
Peresmian selamatan ini dimulai dengan pasewakan, Ingkang Sinuhun memerintahkan
Pepatih Dalem untuk menyampaikan perintah kepada Kyai Penghulu Tapsiranom agar
memimpin upacara selamatan Maulud Nabi Muhammad SAW serta membacakan doa
seperlunya. Perjalanan rombongan pembawa sesaji gunungan dari keraton didahului oleh tarian.
Ini dilakukan oleh para Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan iman Pepatih
Dalem di dalam mengemban perintah Ingkang Sinuhun. Kalau dalam menjalankan tugas mereka
tertawa, itu tandanya masih bisa tergoda.
Gunungan terdiri dari gunungan lanang (gunungan laki-laki) dan gunungan wadon
(gunungan perempuan). Gunungan terbuat dari berbagai jenis makanan tradisional. KGPH
Hadiwijaya menjelaskan sebagai berikut: gunungan (asal kata gunung) itu terdiri dari 24 jodang
besar, yaitu 12 buah jodang gunungan laki-laki dan 12 buah jodang gunungan perempuan.
Disela-sela itu terdapat anak-anak (saradan) dan 24 buah ancak-canthaka. Gunung laki-laki yang
berbentuk tumpengan, lingga atau meru itu tingginya melebihi tinggi ornag berdiri, dipundaknya
ditaruh ento-ento (sejenis makanan yang bentuknya bulat) sebanyak 4 buah dan diatasnya 1
buah. Ini melambangkan rasa sejati, perlambang yang dapat kita saksikan pada tugu batu dari
candi Sukuh (Sukuh, Tawangmangu) yang kini ditancapkan bendera kecil gula kelapa (putih
merah) yang dibalik, yang juga melambangkan laki-laki perempuan. Gunungan bentuknya
seperti tubuh gender ialah yoni. Oleh sebab itu dinamakan gegenderan. Segala sesuatu tidak
berbeda dengan gunungan laki-laki di atas. Antara gunungan laki-laki tersebut terdapat anakanakan yang dinamakan saradan.

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 7

Gambar 2. Gunungan lanang (kiri) dan gunungan wadon (kanan)

Jodhang yang dipergunakan untuk meletakkan gunungan tersebut diberi hiasan yang
mengandung makna tersendiri, serta mempunyai arti simbolis, antara lain diberi kampuh
(penutup dari setengah tingginya ke bawah) berupa kain bangotulak ynag indah, megah dan
berwibawa itu.
Untuk keperluan sehari-hari pada sesaji/selamatan lazim kita jumpai jenang putih merah,
tidak boleh keliru putihnya harus ditaruh di atas yang merah. Inipun melambangkan laki-laki
perempuan, seperti yang terkandung dalam simbol gula klapa yang dibalik, putihnya di atas
merahnya di bawah. Tentang ancak-canthoka yang berjumlah 24 itu bentuknya menyerupai
kodhok (katak), diberi wadah besi tertutup dari kuningan.
Iring-iringan gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di Sitinggil, lewat
alun-alun utara dan seterusnya menuju masjid Besar. Perjalanan iring-iringan sesaji gunungan
tersebut mendapat penghormatan gending Mungga. Sesampainya pada rombongan ancakcanthoka gending berubah menjadi Kodhok Ngorek.
Selanjutnya mengenai jumlah (hitungan) 12-24-2 di atas masing-masing mempunyai arti
sibolis sama dengan hitungan khusus 3 = trimurti, 4 = keblat, 2 = loro, loroning atunggal, dan
sebagainya. Dikalangan ilmiah barat disebut twiddling dan perkalian angka-angka di atas apabila
berikutnya 12 x 2 24 adalah perputaran bumi mengelilingi matahari satu hari satu malam
selama 24 jam.
Setelah rombongan sampai di serambi Masjid Besar maka Pepatih Dalem memberitahukan
hajat Ingkang Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsiranom serta minta dibacakan doa menurut
semestinya. Kyai penghulu Tafsiranom menerima penyerahan itu selanjutnya memimpin
jalannya upara sampai selesai. Kemudian sesudah upacara selesai, maka gunungan dan tumpeng
sewu dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Ingkang Sinuhun
dan para pembesar yang dianggap perlu.

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 8

D. Ritual Grebeg dalam Simbol Moral


Gunungan dalam pelaksanaan tradisi Grebeg Maulud Keraton kasunanan Surakarta selalu
terdiri dari gunungan lanang (gunungan laki-laki), gunungan wadon (gunungan perempuan)
serta saradan (gunungan anakan). Filsafat keraton berpendapat bahwa kehidupan manusia
berasal dari adanya hubungan laki-laki dan perempuan yang terkait dalam perkawinan disebut
sebuah keluarga dan dengan dihasilkannya anak laki-laki dan atau anak perempuan (GPH
Poeger, 2006).
Manusia di dalam kehidupannya, sejak lahir selalu ditemani oleh kandang papat lima
pancer. Kandang papat yaitu kawah, getih, puser dan adhi ari-ari. Letak kandang papat ini
sejalan dengan arah kiblat manusia Jawa juga. Kawah berwarna putih berada di sebelah timur
sebagai pembuka jalan yang mengawali kelahiran. Getih berwarna merah berada di sebelah
selatan. Puser berwarna hitam berada di sebelah barat dan adhi ari-ari berwarna kuning berada
di arah utara. Sedangkan pancer berada di tengah-tengah.
Saradan dikelilingi oleh empat meru berwarna hitam, kuning, merah dan putih. Hal ini
menjelaskan bahwa manusia sejak lahir sudah dikuasai oleh nafsu. Nafsu artinya angkara, tenaga
batin yang mendorong manusia untuk mengejar kesenangan duniawi atau kesenangan ukhrawi.
Nafsu manusia sebenarnya satu, akan tetapi disebut empat macam: (Simuh, 1988:340).
1. Nafsu amarah artinya sifat garang, yang mementingkan emosi. Hal ini dilambangkan dengan
warna merah.
2. Nafsu lawwamah artinya angangsa, menimbulkan dahaga, kantuk dan lapar atau sifat yang
mementingkan makan. Hal ini dilambangkan dengan warna hitam.
3. Nafsu sufiyah artinya birahi, atau sifat yang mementingkan gairah. Hal ini dilambangkan
dengan warna kuning.
4. Nafsu muthmainah artinya ketentraman, punya watak kebaikan, keutamaan dan keluhuran.
Hal ini dilambangkan dengan warna putih.
Manusia yang baik adalah manusia yang mengutamakan sifat mutmainah. Agar hidup
manusia dapat selamat, dapat mengendalikan sifat buruk yang tercela. Simbol moral dalam
tradisi Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta merepresentasikan filsafat dan halikat
manusia sebagai makhuk ciptaan Tuhan.

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 9

E. Ritual Grebeg dalam Konstitutif


Pelaksanaan tradisi Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta khususnya dalam
Gunungan sebagai tindakan simbolis dapat ditemukan pandangan ontologi tentang realitas yaitu
asal-usul dan tujuan kehidupan, pandangan tentang hakikat alam, pandangan tentang hakikat
manusia, pandangannya tentang hakikat Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan untuk
mencapai kesempurnaan hidup yang dikenal dengan sangkan paraning dumadi manunggaling
kawula Gusti.
Pandangan Kejawen mengatakan bahwa Tuhan dan ciptaan itu ya sama, ya berbeda; Tuhan
itu transenden dengan total disebut tan keno kinoyo ngopo dan imanen secara total disebut
pamoring kawula Gusti. Pamoring kawula Gusti (Bakker, 1992:59), disebut juga
manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti (Suseno, 2001:120).
Bentuk gunungan seperti tumpeng mengerucut dengan pucuk meruncing (meru)
mempunyai makna sebagai:
1. Lambang perjalanan manusia sejak lahir sampai kembali ke satu titik tertinggi Yang Maha
Pencipta.
2. Lambang sangkan paraning dumadi.
3. Sarana acuan bersatu diri sepenuhnya kepada Sang Khalik
4. Sarana panembah (menyembah) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput dari pembicaraan
kaum fungsionalis. Parsonss (1967), termasuk pengikut fungsionalis, memandang sumbangan
agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang mentrandensikan
pengalaman (referensi transedental); sesuatu yang berada di luar dunia empiris (ODea, 1995:7).
Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena kesadaran religiusitas dalam realitas
sosial ini dipahami dengan konsep fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural.

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 10

Pandangan tentang fungsional dalam ritual Grebeg Maulud disimbolkan dalam berbagai
sistem. Pembahasan teori fungsionalisme struktural Parsons diawali dengan empat skema
penting yang dikenal dengan sebutan skema AGIL. Menurut Parsons, ada empat fungsi penting
yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem sosial, meliputi sistem organisme perilaku memenuhi
kebutuhan yang bersifat penyesuaian (Adaptation), dengan singkatan A, sistem kepribadian
memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan (Goal Attainment), disingkat G, sistem sosial adalah
sumber integrasi (Integration), disingkat I, dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola
yang ada (Laten pattern-maintenance), disingkat L (Ritzer, 1996:99-100).
Terdapat korelasi antara Simbol Konstitutif (agama) dengan Simbol Ekspresif (seni) dalam
ritual keagamaan. Simbol Konstitutif serta Simbol Ekspresif mengandung elemen estetis dalam
agama. Simbol Konstitutif dalam ritual Grebeg Maulud terefleksikan dalam gunungan yang
mengandung filosofi mengenai hakikat Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan untuk
mencapai kesempurnaan hidup yang dikenal dengan sangkan paraning dumadi manunggaling
kawula Gusti. Simbol Ekspresif pada gunungan melambangkan laki-laki (gunungan lanang)
dan perempuan (gunungan wadon). Gunungan merupakan elemen estetis dalam agama yang
mengandung Simbol Konstitutif dan Simbol Ekspresif di dalamnya.

B. Saran
Kemajuan jaman yang seiring dengan perkembangan teknologi menjadikan apresiasi
terhadap esensi atau nilai budaya daerah semakin menurun. Perkembangan inovasi menjadikan
manusia tidak mengenali lingkungan sekitarnya. Didukung dengan pengaruh westernisasi,
menjadikan para generasi muda enggan dalam memahami filosofi dan nilai budaya. Padahal bila
kita kaji lebih dalam, sebuah kebudayaan yang telah melahirkan tradisi memiliki sisi lain bila
dipandang dari berbagai perspektif. Tradisi ritual Grebeg Maulud memiliki berbagai pesan moral
di dalamnya yang terefleksikan dalam etika dan norma. Selain itu, ritual keagamaan juga
memberikan sumbangan kepada kebudayaan dan seni. Melihat realitas tersebut dibutuhkan peran
serta orang tua dan guru dalam menumbuhkan apresiasi dari generasi muda anak-anak didiknya
terhadap tradisi kebudayaan daerah serta melestarikannya.
Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 11

DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The free Press
Poeger, GPH. 2002. Sekaten. Surakarta:Karaton Kasunanan
Setiadi, Bram. 2000. Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII, Raja Di Alam
Republik. Jakarta:PT. Bina Rena Pariwara
Suseno, Franz Magnis. 2001. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Yogyakarta:Gramedia Pustaka Utama
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi:
SAGE Publications.

http://javaraka.files.wordpress.com, diakses pada tanggal 31 Oktober 2012


http://tembi.org, diakses pada tanggal 31 Oktober 2012

Surakarta

Seni dalam Ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan


Hal 12

Anda mungkin juga menyukai