Oleh:
A. Latar Belakang
Ritual Grebeg Maulud adalah salah satu acara rutin tiap tahun di Keraton Kasunanan
Surakarta. Acara ini memperingati hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada moment ini
akan dikirab Gunungan Tumpeng Raksasa dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung
Surakarta yang terletak di dekat alun-alun utara kota Surakarta. Ribuan warga Surakarta dan
sekitarnya berkumpul untuk mencari berkah. Banyak yang berasal dari Sragen, Karanganyar,
Wonogiri dan daerah-daerah lain yang lebih jauh. Banyak pula turis-turis mancanegara yang
menyaksikan ritual tersebut. Begitu pula semua abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta
berkumpul sepanjang acara ritual Grebeg Maulud ini diadakan. Para pedagang berbondongbondong memasarkan segala macam barang jualannya. Selain menjadi berkah untuk para
pedagang yang mencari nafkah, Grebeg Maulud juga menjadi ritual khusuk yang wajib
dilakukan.
Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang
menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci
(ODea, 1995: 5-36).
Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta merupakan salah satu bentuk ritual yang
telah dilaksanakan secara turun-menurun sejak Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan I
kasultanan Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa, yang telah meruntuhkan
kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M atau 1400 Saka yang dikenal dengan candrasengkala
Sirna Hilang Kertaning Bumi (GPH. Poeger, 2002:3).
Ritual Grebeg Maulud dengan puncaknya dikeluarkan gunungan merupakan lambang
sedekah raja kepada rakyatnya dan mendatangkan keberkahan. Masyarakat meyakini bahwa
benda-benda yang terdapat pada gunungan mempunyai kekuatan magis. Gunungan terdiri
dari gunungan lanang (gunungan laki-laki) dan gunungan wadon (gunungan perempuan).
Gunungan terbuat dari berbagai jenis makanan tradisional, berbentuk tinggi menjulang
seperti lingga yang menggambarkan laki-laki dan lainnya berbentuk yoni yang
menggambarkan perempuan (GPH. Poeger, 2002:6).
Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput dari pembicaraan
kaum fungsionalis. Parsonss (1967), termasuk pengikut fungsionalis, memandang
Surakarta
sumbangan agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang
mentrandensikan pengalaman (referensi transedental); sesuatu yang berada di luar dunia
empiris (ODea, 1995:7).
Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena kesadaran religiusitas dalam realitas
sosial ini dipahami dengan konsep fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural.
Teori ini memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial, terdiri dari bagianbagian yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan (equilibrium). Perubahan dari salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi
sistem keseluruhan (Ritzer, 1980: 25-30). Dalam hal ini agama termasuk ritual di dalamnya
sebagai salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian dari
keseluruhan sistem sosial, dan berfungsi bagi masyarakat khususnya bagi pengintegrasi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat permasalahan yaitu: Bagaimana
esensi upacara ritual Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta dalam sudut pandang
fungsional?
BAB II
PEMBAHASAN
Surakarta
pattern-maintenance
diselesaikan
melalui
simbol
konstitutif
(Constitutive
symbolization) yang bentuk kongkretnya berupa kepercayaan atau dasar dan inti perilaku
keagamaan. Sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian
yang menjadi komponennya. Sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi polapola individu dan kultural (Waters, 1994: 142-151).
Sub-sistem simbol-simbol tersebut merupakan sistem yang saling terkait satu sama lain,
sehingga dapat dilihat pada skema berikut:
Surakarta
Skema 1
Kebudayaan Sebagai Sistem Simbol (Waters, 1994:150)
Adaptasi dilaksanakan oleh manusia dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah
lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal Attainment difungsikan
oleh sistem kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan memolbilisai sumber daya untuk
mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh sistem sosial, dan laten difungsikan sebagai
sistem kultural.
Surakarta
punggawa keraton. Dapat juga diartikan, raja berjalan diiringi oleh ratusan orang. Upacara ini
biasanya dihubungkan dengan hari besar agama Islam (Setiadi, 2000:254).
K.R.H.T Kusuma Tanaya selaku penasehat spiritual Keraton Kasunanan Surakarta
mengatakan sebagaimana dikutip oleh Minggu Pagi tahun ke-49, No.20, 1995 halaman 9 bahwa
Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta adalah upacara tradisi Islam yang diselaraskan
dengan budaya Jawa yang sudah ribuan tahun mengendap di jiwa masyarakat (Budiasih,
1996:14).
raja kepada rakyatnya dan mendatangkan keberkahan. Masyarakat meyakini bahwa benda-benda
yang terdapat pada gunungan mempunyai kekuatan magis.
Peresmian selamatan ini dimulai dengan pasewakan, Ingkang Sinuhun memerintahkan
Pepatih Dalem untuk menyampaikan perintah kepada Kyai Penghulu Tapsiranom agar
memimpin upacara selamatan Maulud Nabi Muhammad SAW serta membacakan doa
seperlunya. Perjalanan rombongan pembawa sesaji gunungan dari keraton didahului oleh tarian.
Ini dilakukan oleh para Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan iman Pepatih
Dalem di dalam mengemban perintah Ingkang Sinuhun. Kalau dalam menjalankan tugas mereka
tertawa, itu tandanya masih bisa tergoda.
Gunungan terdiri dari gunungan lanang (gunungan laki-laki) dan gunungan wadon
(gunungan perempuan). Gunungan terbuat dari berbagai jenis makanan tradisional. KGPH
Hadiwijaya menjelaskan sebagai berikut: gunungan (asal kata gunung) itu terdiri dari 24 jodang
besar, yaitu 12 buah jodang gunungan laki-laki dan 12 buah jodang gunungan perempuan.
Disela-sela itu terdapat anak-anak (saradan) dan 24 buah ancak-canthaka. Gunung laki-laki yang
berbentuk tumpengan, lingga atau meru itu tingginya melebihi tinggi ornag berdiri, dipundaknya
ditaruh ento-ento (sejenis makanan yang bentuknya bulat) sebanyak 4 buah dan diatasnya 1
buah. Ini melambangkan rasa sejati, perlambang yang dapat kita saksikan pada tugu batu dari
candi Sukuh (Sukuh, Tawangmangu) yang kini ditancapkan bendera kecil gula kelapa (putih
merah) yang dibalik, yang juga melambangkan laki-laki perempuan. Gunungan bentuknya
seperti tubuh gender ialah yoni. Oleh sebab itu dinamakan gegenderan. Segala sesuatu tidak
berbeda dengan gunungan laki-laki di atas. Antara gunungan laki-laki tersebut terdapat anakanakan yang dinamakan saradan.
Surakarta
Jodhang yang dipergunakan untuk meletakkan gunungan tersebut diberi hiasan yang
mengandung makna tersendiri, serta mempunyai arti simbolis, antara lain diberi kampuh
(penutup dari setengah tingginya ke bawah) berupa kain bangotulak ynag indah, megah dan
berwibawa itu.
Untuk keperluan sehari-hari pada sesaji/selamatan lazim kita jumpai jenang putih merah,
tidak boleh keliru putihnya harus ditaruh di atas yang merah. Inipun melambangkan laki-laki
perempuan, seperti yang terkandung dalam simbol gula klapa yang dibalik, putihnya di atas
merahnya di bawah. Tentang ancak-canthoka yang berjumlah 24 itu bentuknya menyerupai
kodhok (katak), diberi wadah besi tertutup dari kuningan.
Iring-iringan gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di Sitinggil, lewat
alun-alun utara dan seterusnya menuju masjid Besar. Perjalanan iring-iringan sesaji gunungan
tersebut mendapat penghormatan gending Mungga. Sesampainya pada rombongan ancakcanthoka gending berubah menjadi Kodhok Ngorek.
Selanjutnya mengenai jumlah (hitungan) 12-24-2 di atas masing-masing mempunyai arti
sibolis sama dengan hitungan khusus 3 = trimurti, 4 = keblat, 2 = loro, loroning atunggal, dan
sebagainya. Dikalangan ilmiah barat disebut twiddling dan perkalian angka-angka di atas apabila
berikutnya 12 x 2 24 adalah perputaran bumi mengelilingi matahari satu hari satu malam
selama 24 jam.
Setelah rombongan sampai di serambi Masjid Besar maka Pepatih Dalem memberitahukan
hajat Ingkang Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsiranom serta minta dibacakan doa menurut
semestinya. Kyai penghulu Tafsiranom menerima penyerahan itu selanjutnya memimpin
jalannya upara sampai selesai. Kemudian sesudah upacara selesai, maka gunungan dan tumpeng
sewu dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Ingkang Sinuhun
dan para pembesar yang dianggap perlu.
Surakarta
Surakarta
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput dari pembicaraan
kaum fungsionalis. Parsonss (1967), termasuk pengikut fungsionalis, memandang sumbangan
agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang mentrandensikan
pengalaman (referensi transedental); sesuatu yang berada di luar dunia empiris (ODea, 1995:7).
Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena kesadaran religiusitas dalam realitas
sosial ini dipahami dengan konsep fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural.
Surakarta
Pandangan tentang fungsional dalam ritual Grebeg Maulud disimbolkan dalam berbagai
sistem. Pembahasan teori fungsionalisme struktural Parsons diawali dengan empat skema
penting yang dikenal dengan sebutan skema AGIL. Menurut Parsons, ada empat fungsi penting
yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem sosial, meliputi sistem organisme perilaku memenuhi
kebutuhan yang bersifat penyesuaian (Adaptation), dengan singkatan A, sistem kepribadian
memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan (Goal Attainment), disingkat G, sistem sosial adalah
sumber integrasi (Integration), disingkat I, dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola
yang ada (Laten pattern-maintenance), disingkat L (Ritzer, 1996:99-100).
Terdapat korelasi antara Simbol Konstitutif (agama) dengan Simbol Ekspresif (seni) dalam
ritual keagamaan. Simbol Konstitutif serta Simbol Ekspresif mengandung elemen estetis dalam
agama. Simbol Konstitutif dalam ritual Grebeg Maulud terefleksikan dalam gunungan yang
mengandung filosofi mengenai hakikat Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan untuk
mencapai kesempurnaan hidup yang dikenal dengan sangkan paraning dumadi manunggaling
kawula Gusti. Simbol Ekspresif pada gunungan melambangkan laki-laki (gunungan lanang)
dan perempuan (gunungan wadon). Gunungan merupakan elemen estetis dalam agama yang
mengandung Simbol Konstitutif dan Simbol Ekspresif di dalamnya.
B. Saran
Kemajuan jaman yang seiring dengan perkembangan teknologi menjadikan apresiasi
terhadap esensi atau nilai budaya daerah semakin menurun. Perkembangan inovasi menjadikan
manusia tidak mengenali lingkungan sekitarnya. Didukung dengan pengaruh westernisasi,
menjadikan para generasi muda enggan dalam memahami filosofi dan nilai budaya. Padahal bila
kita kaji lebih dalam, sebuah kebudayaan yang telah melahirkan tradisi memiliki sisi lain bila
dipandang dari berbagai perspektif. Tradisi ritual Grebeg Maulud memiliki berbagai pesan moral
di dalamnya yang terefleksikan dalam etika dan norma. Selain itu, ritual keagamaan juga
memberikan sumbangan kepada kebudayaan dan seni. Melihat realitas tersebut dibutuhkan peran
serta orang tua dan guru dalam menumbuhkan apresiasi dari generasi muda anak-anak didiknya
terhadap tradisi kebudayaan daerah serta melestarikannya.
Surakarta
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The free Press
Poeger, GPH. 2002. Sekaten. Surakarta:Karaton Kasunanan
Setiadi, Bram. 2000. Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII, Raja Di Alam
Republik. Jakarta:PT. Bina Rena Pariwara
Suseno, Franz Magnis. 2001. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Yogyakarta:Gramedia Pustaka Utama
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi:
SAGE Publications.
Surakarta