Syaripulloh
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: syarifibnuhasby@gmail.com
Abstract
This study was conducted to gain an overview of togetherness and harmony in the life
of a multi-religious society Cigugur. The study was conducted using descriptive-qualitative
methods deskriktif, with the observation, in-depth interviews, and documentation study as
data collection techniques. The results showed that Cigugur people who have a diversity in
religion, namely Islam, Christianity, Catholicism, Protestantism, Agama Djawa Sunda
(ADS) can coexist peacefully. They can live together respectfully because they have strong
blood ties. For the people together is more important than the divisions caused by differing
views. The unifying factor is the chair- man of each religion, in addition to the prominent
role of Pangeran Djatikusumah as Madrais descent. As the dominant culture, Agama
Djawa Sunda (ADS) implement a full tolerance for Cigugur society to embrace and
practice religious.
Keywords: unity, diversity, Agama Djawa Sunda (ADS), the dominant culture
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kebersamaan dan
harmoni dalam kehidupan masyarakat Cigugur yang multi agama. Penelitian dilakukan
dengan menggu- nakan metode deskriptif kualitatif, dengan observasi, wawancara
mendalam, serta studi doku- mentasi sebagai teknik pengumpulan datanya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat Cigugur yang memiliki keberagaman dalam memeluk
agama, yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Agama Djawa Sunda (ADS)
dapat hidup berdampingan secara damai. Masyarakat saling menghargai karena memiliki
ikatan darah yang kuat. Bagi masyarakat keber- samaan lebih penting daripada perpecahan
yang ditimbulkan perbedaan pandangan. Adapun faktor pemersatu masyarakat Cigugur
adalah ketua masing-masing agama, selain adanya peranan yang sangat menonjol dari
Pangeran Djatikusumah sebagai keturunan Madrais. Sebagai budaya dominan, ADS
menerapkan pola toleransi penuh bagi masyarakat Cigugur untuk memeluk dan
menjalankan perintah agama.
Kata Kunci: kebersamaan, perbedaan, Agama Djawa Sunda (ADS), budaya dominan
penganut Agama Djawa Sunda (ADS) Gotong royong dan kerja sama
tersebut di antaranya pindah keyakinan 7 Wawancara dengan Yayan Heryanto, S.Si (seorang Pendeta Kristen
Protestan) pada tanggal 15 September 2013 di Gereja Kristen Pasundan (GKP)
menjadi anggota jemaat Gereja Kristen Cigugur, Kuningan Jawa Barat.
8 Artikel Cagar Budaya Nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal.
Pasundan (GKP) Cirebon. Gereja Kristen
Pasundan (GKP) Cirebon menjadi Gereja
jemaat Cigugur- Kuningan pada saat ini.
Bahasa yang digunakan dalam setiap
kebaktian adalah Bahasa Indonesia diselingi
dengan Bahasa Sunda pada Minggu ke-
empat.7
Sarana ibadah bagi penganut agama
Kristen Katolik adalah sebuah gereja yang
bernama Gereja Kristus Raja-Paroki
Cigugur. Gereja ini terletak persis di depan
Rumah Sakit Sekar Kamulyan.
Perkembangan penganut Kristen Katholik
yang menjadi jemaat Gereja Kristus Raja-
Paroki tidak terlepas dari peristiwa
pelarangan ADS pada tahun 1964. Pangeran
Tedjabuana Alibasa (Keturunan Pangeran
Madrais) beserta keluarga menyatakan diri
sebagai penganut agama Kristen Katholik.
Setelah peristiwa itu, terjadi perpindahan
masal penganut Agama Djawa Sunda (ADS)
menjadi Katolik. Mulai saat itulah kegiatan
gereja Katolik Kristus Raja-Paroki mulai
berkembang.
Terdapat satu bangunan di kawasan
Cigugur yang menjadi pusat Agama Djawa
Sunda (ADS). Gedung ini bernama Paseban
Tri Panca Tunggal yang telah diakui sebagai
Cagar Budaya Nasional pada tanggal 14
Desember 1976. Sebagai sebuah Cagar
Budaya Nasional, Paseban Tri Panca Tunggal
juga sering disebut sebagai keraton yang
berada di Cigugur. Nama Paseban sendiri
adalah tempat berkumpul dan bersyukur
dalam melaksanakan ketunggalan selaku
umat Gusti Hyang Widi Wasa. Kata tri
bermakna tiga unsur, yaitu sir, rasa, dan
pikir. Sedangkan panca atau lima bermakna
lima unsur panca indra dalam menerima
keagungan Tuhan Yang Maha Tunggal
(Esa).8
tetap terjalin dalam keseharian tanpa memiliki ikatan darah yang sama”.
melihat perbedaan yang terjadi di antara Berkenaan dengan toleransi antarumat
mereka. Kesemuanya itu didasarkan atas beragama di Cigugur, Edri menjelaskan
dasar persamaan hak sebagai warga dan bahwa “Penghargaan warga nonmuslim
rasa saling menghormati serta saling terhadap warga muslim yang sedang
menghargai atas setiap perbedaan. berpuasa, di antara mereka tidak melakukan
Berkenaan dengan kegiatan makan minum sembarangan. Ketika
kehidupan ada yang melanggar, mereka akan ditegur
kemasyarakatan di Cigugur, Didi (warga oleh temannya sendiri dan menghentikan
Cigugur penganut kepercayaan Agama aktivitas tersebut. Para pedagang
Djawa Sunda (ADS) mengungkapkan di depan sekolah perlu
bahwa “dalam berbagai kegiatan sosial mereka (di depan dikesampingkan
kemasyarakatan masyarakat Cigugur komplek Yayasan perbedaan agama
selalu bekerja sama dan tidak al-Ihya terdapat dan kepercayaan.
membedakan latar belakang agama dan sekolah Katolik Kebersamaan di
kepercayaan mereka. Pada saat Yos Sudarso) saat tengah
peringatan hari besar keagamaan apa pun bulan Ramadhan perbedaan yang
semua anggota keluarga akan saling akan disuruh masuk terjadi pada
membantu walau mereka berlainan ke dalam masyarakat Cigugur
agama dan kepercayaan. Pada saat Idul lingkungan sekolah menurut Yayan
Fitri atau Idul Adha, kami semua tujuannya pasti agar (pendeta) “kuncinya
berkumpul di tengah keluarga yang anak-anak sekolah adalah dihargainya
beragama Islam dan ikut serta dalam tidak makan dan wilayah adat.
membantu persiapan serta ikut minum Masing-masing
merayakannya. Hal yang sama juga sembarangan. agama memiliki
terjadi pada saat Natal, semua anggota Ketika lebaran, pemimpin yang
keluarga akan kumpul dan membantu mereka datang menjadi tokoh kunci
persiapan perayaan Natal serta ikut berkunjung dan perdamaian. Tokoh
merayakannya. Demikian pula ketika mengucapkan masing-masing
Seren Taun yang merupakan perayaan selamat Idul Fitri agama ini yang
bagi warga penganut Agama Djawa kepada masyarakat menjadikan budaya
Sunda (ADS), semua warga Cigugur Muslim”. Hal setempat tetap
terlibat dalam semua tahapan perayaan senada juga lestari”. Hal senada
Seren Taun”. disampaikan oleh juga diungkapkan
Hal senada diungkap oleh Yayan Yayan (pendeta) oleh Edri (pengurus
Heryanto dan Didi (warga Yayasan al-Ihya)
(34 tahun, seorang pendeta) yang masyarakat yang
menjelaskan bahwa “kerjasama dan Cigugur) yang mengemukakan
gotong royong terjalin di tempat ini mengungkapkan besarnya pengaruh
walau mereka berbeda keyakinan. Bagi bahwa penghargaan tokoh adat dan
mereka agama atau kepercayaan tidak dan penghormatan tokoh agama dalam
menjadi penghalang untuk bekerja sama, atas kepercayaan upaya
karena bagi mereka semua agama adalah orang lain yang mempertahankan
sama, yaitu mengajarkan akan kebaikan. berbeda merupakan kebersamaan di
Keterlibatan pemeluk Kristen Protestan inti dari tengah masyarakat
dalam acara Seren Taun adalah sebagai kebersamaan yang Cigugur yang
bagian dari warga Cigugur”. Hal senada terjalin di tengah agama dan
diungkapkan oleh Edri (Pengurus masyarakat kepercayaannya
Yayasan al-Ihya), yang mengatakan kerja Cigugur. Dalam beragam”.
sama antarsesama warga dalam menjalani Berkenaan
merayakan peringatan hari besar kehidupan sosial dengan perbedaan
keagamaan terjadi karena mereka kemasyarakatan di tengah
72 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei
2014
Jawa
Barat)”.
1997.
Suparlan,
Parsudi.
Menuju
Masyara
kat
Indonesi
a yang
Multikul
tural.
Antropol
ogi
Indonesi
a 69
tahun.
2002.