PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suku Baduy merupakan suku yang tinggal di suatu wilayah yang dikenal
dengan wilayah ulayat. Wilayah ulayat berada dibagian barat pulau Jawa,
dikelilingi oleh pegunungan Kendeng dengan luas tanah sekitar 5101,8 hektar.
Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini dikukuhkan dengan nama daerah
desa Kanekes, terletak di kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi
Banten. Suku Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat kepada kepercayaannya.
Kepercayaan yang mereka anut yaitu slam sunda wiwitan. Mereka mempercayai
dan yakin tentang adanya satu kuasa yaitu batara tunggal yang disimbolkan dengan
Arca Domas. Kepercayaan tersebut salah satunya direalisasikan dengan ritual
pemujaan Arca Domas ditempat yang dirahasiakan oleh orang Baduy karena
dianggap suci dan sakral. Selain itu, agama atau kepercayaan sunda wiwitan di
realisasikan dengan adanya norma dan adat masyarakat berupa buyut (larangan)
dan pikukuh (aturan) yang harus dipatuhi pengikutnya (Senoaji, 2010, hal. 305).
Pada mulanya masyarakat suku Baduy hanya terdiri dari satu komunitas, seiring
berjalannya waktu pada akhirnya Baduy terpecah menjadi dua bagian yang saling
berkaitan yaitu Baduy dalam atau tangtu dan Baduy luar atau biasa disebut juga
dengan Baduy panamping. Masyarakat Baduy dalam diharuskan berpegang teguh
kepada buyut (larangan) dan pikukuh (aturan) sedangkan Baduy panamping tidak
seketat Baduy tangtu memegang teguh aturan-atruan adat. Baduy panamping hidup
dengan peraturan adat yang lebih longgar dari aslinya namun kepercayaaan yang
mereka anut tetap sama dengan Baduy tangtu yaitu sunda wiwitan. Setelah terbagi
dua, muncul kembali bagian lainnya yaitu Baduy muslim. Mereka merupakan
masyarakat suku Baduy yang telah berpindah agama menjadi muslim, keluar dari
komunitas suku Baduy dan bergabung dengan lingkungan luar Baduy.
1
bahwa dari sistem beragama yang membedakan suku Baduy dengan masyarakat
sunda lainnya yang berada diluar pemukiman mereka. Urang eslam merupakan
sebutan yang disematkan oleh suku Baduy kepada orang sunda diluar daerah
Kanekes yang juga dianggap sebagai urang are atau dulur are. Kaiti yang pernah
menjabat sebagai “seurat” Baduy dalam mengatakan arti dulur are yaitu “Saudara
sih saudara, tetapi mereka islam, tidak seperti saya disini”.
2
dilakukan untuk membangun ruang “pembebasan” dari kekangan pikukuh dan
buyut kepercayaan masyarakat Baduy.
Disisi lain, suku Baduy tangtu memaknai kampung Cicakal Girang dengan
wacana Cicakal Girang sebagai kampung panamping yang dapat diartikan juga
sebagai “bumper” atau ruang pertahanan suku Baduy dari gempuran budaya luar.
Selain itu juga sebagai pertahan bagi keberlangsungan adat istiadat yang
dilaksanakan oleh Baduy tangtu dari peraturan-peraturan pemerintah yang
bertentangan dengan peraturan adat mereka. Warga kampung Cicakal Girang
menjadi representasi dari suku Baduy yang taat kepada pemerintah dengan segala
praktek keruangan didalamnya. Cicakal Girang menjadi wilayah yang seakan-akan
dilegalkan melakukan perubahan-perubahan yang melanggar adat demi
keberlangsungan kepercayaan adat suku Baduy yang dijaga oleh Baduy tangtu.
Pada dasarnya banyak para peneliti di bidang sosial yang menyatakan bahwa
suatu ruang tidak terbentuk secara alamiah. Menurut Henri Levebre (1991, hal. 26-
27) menyatakan bahwa ruang sebagai produk sosial merupakan hasil bentukan dari
orang-orang yang memiliki dominasi atas kekuasan dan tentu dengan kekuasan
tersebut memiliki kontrol. Ruang sebagai produk sosial juga bersifat dinamis,
berubah-ubah.Menurut Inka Solavaara (dalam Falkheimer dan Jansson 2006, hal.
106) dominasi dan kontrol atas ruang selalu terkait dengan mode komunikasi dan
kontrol media dalam masyarakat yang berbeda.
Dalam hal ini penelitian ini berasumsi bahwa Kampung Cicakal Girang adalah
ruang yang lahir karena adanya koneksi, atau interaksi antara dua ruang yakni
ruang Baduy dalam dan ruang masyarakat luar, termasuk pemerintah. Masalah
yang terjadi adalah bagaimana kemudian masyarakat Kampung Cicakal Girang
menjadikan ambiguitasnya menjadi sebuah kedirian?
3
penelitian dibidang komunikasi sangat jarang bahkan penelitian dalam perspektif
keruangan dengan bidang komunikasi geografi dapat dikatakan tidak ada.
Kampung Muslim wilayah Cicakal Girang dipilih sebagai objek penelitian ini.
Pertama, kampung Cicakal Girang satu-satunya kampung di tanah ulayat Baduy
yang dalam beberapa hal tidak lagi mengikuti peraturan adat yang berlaku karena
merasa peraturan adat membatasi mereka untuk berkembang. Peraturan-peraturan
adat yang dilanggar diantaranya rumah mereka tidak lagi dari bahan alam seperti
kayu, injuk dan rotan. Mereka bebas membangun rumah dari semen maupun
berkeramik dan bergenting. Selain itu, mereka diperbolehkan bercocok tanam
tanaman-tanaman yang sebenernya dilarang untuk masyarakat Baduy, seperti
cengkeh atau menanam padi disawah yang kesemuanya merupakan pantangan bagi
suku Baduy. Kedua, di Cicakal Girang seluruhnya sudah beragama Islam. Ketiga,
terdapat pemaknaan berbeda dari masyarakat Cicakal Girang, Baduy dalam sebagai
pemegang peraturan adat, dan orang luar terhadap Kampung Cicakal Girang itu
sendiri. Penelitian ini akan berfokus kepada produksi ruang dari wacana yang ada
dan praktik masyarakatnya dalam ruang tersebut.
Henry Lefebvre (1991, hal. 33) dalam bukunya The Production of Space
menjelaskan bagaimana suatu ruang diproduksi dengan tiga rangkaian konseptual.
Konsep tersebut yaitu bagaimana praktik sosial secara disadari atau tidak disadari
menciptakan ruang atau disebut juga praktik spasial. Selain itu, ada pula
representasi ruang yang mana menjelaskan adanya wacana lain diluar praktik
spatial yang mana wacana-wacana tersebut digunakan untuk memproduksi dan
mengkonstruksi ruang. Dan yang terakhir yaitu ruang representasional. Penelitian
4
ini berasumsi adanyanya wacana-wacana yang dibangun oleh berbagai pihak untuk
memperebutkan ruang dan adanya peraktik sosial berupa resistensi terhadap norma-
norma yang ada yang kemudian pada akhirnya menghasilkan keambiguitasan yang
tanpa disadari diyakini oleh warga tersebut sebagai entitas dirinya. Oleh karenanya
pertanyaan penelitian dalam riset ini adalah:
E. Tinjuan Pustaka
Penelitian Muhammad zid, dkk. dalam jurnal SPATIAL vol. 17 No. 1 Maret
2017 yang berjudul interaksi dan perubahan sosial masyarakat Baduy di era
modern berisi pembahasan mengenai perubahan sosial yang dialami oleh
masyarakat Baduy. Suku Baduy atau urang Kanekes merupakan suatu kelompok
etnis sunda yang terkenal menutup diri dari kebudayaan lain. Seiring
perkembangan jaman, keaslian dari masyarakat Baduy meluntur. Hal ini,
diakibatkan karena adanya interaksi-interaksi yang dilakukan oleh masyarakat luar
5
Baduy. Interaksi tersebut menyebabkan beberapa perubahan sosial, dari mulai cara
berpakaian, realisasi peraturan adat, sampai dengan bahasa yang digunakan untuk
berinteraksi. Didalam penelitian ini dijelaskan bahwa perubahan sosial yang terjadi
lebih banyak di wilayah Baduy luar walaupun Baduy dalam juga terkena dampak
perubahan sosial tersebut, namun tidak begitu nampak. Perubahan perilaku dan
kebiasaan tentunya akan mempengaruhi tatanan sosial suku tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data berupa wawancara
mendalam dan observasi. Adapun kemiripan penelitian Muhammad zid dengan
penelitian yang akan dilaksanakan penulis yaitu sama-sama mengamati perubahan
yang terjadi di suku Baduy karen aadanya interaksi dari eksternal suku tersebut,
namun membedakan yaitu objek pada penelitian yang akan dilaksanakan lebih
spesifik dan dengan perspektif berbeda, yaitu perspektif keruangan.
6
juga menjadi penghambat meningkatnya kualitas pendidikan. Suku Baduy memiliki
peraturan mengenyam pendidikan melalui sekolah dilarang karena menurut mereka
jika sekolah seseorang akan menjadi pintar kemudian bisa membodoh-bodohi
orang lain. Hal tersebut akan menyebabkan terganggunya kerukunan karena mereka
memahami bahwa untuk melanggengkan kekuasaan pemimpin harus membodoh-
podohi rakyatnya atau melakukan pembodohan kepada rakyatnya.
7
membahas mengenai adanya perebutan ruang di kampung inggris antara
keberadaan lembaga kursus bahasa yang pemiliknya didominasi oleh masyarakat
luar dan pendatang yang bukan penduduk lokal dengan masyarakat lokal asli desa
tempat kampung inggris berdiri yaitu desa tulungrejo dan desa pelem. Masayarakat
lokal tersisihkan dan kalah oleh para pendatang yang mendominasi dan
menggunakan ruang milik masayarakat lokal dengan berbagai macam kepentingan.
Oleh karena itu terjadinya perebutan ruang yang menimbulkan berbagai persaingan
dan konflik antara masayarakat lokal dan pendatang. Maka penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan proses produksi ruang “kampung inggris” dan keadaan
masayarakat lokal dengan terciptanya ruang tersebut. Adapun persamaan penelitian
ini dengan yang akan dilakukan yaitu sama-sama menggunakan produksi ruang
Henri Lefebvre untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam penlitian.
Perbedaannya terletak pada objek dan kasus yang dihadapi walaupun sama-sama
mengenai perebutan ruang.
F. Kerangka Teori
1. Komunikasi Geografi
Komunikasi Geografi merupakan bidang study yang lahir karena adanya
ambiguitas hubungan ruang dan komunikasi. Ruang maupun tempat merupakan
dimensi penting penentu terjadinya komunikasi dan proses komunikasi itu
sendiri. Selain itu, proses komunikasi dapat membentuk ruang baik abstrak
maupun ruang konkrit. Menurut Dhona (2018, hal. 4) komunikasi geografi
8
adalah bidang study yang membahas mengenai bagaimana komunikasi
memproduksi ruang dan bagaimana ruang memproduksi komunikasi. Bidang
study komunikasi geografi memiliki asumsi dasar bahwa ruang atau tempat
tidaklah alamiah. Adams pada karyanya tahun 2009 (dalam Dhona, 2018, hal.
10) berpendapat bahwa komunikasi geografi adalah bidang yang mengkaji
mengenai relasi antara dua elemen, yaitu space dan place milik geografi dengan
context dan content milik disiplin komunikasi.
Adapun bidang kaji yang dikemukan oleh Adams (2012, hal. 306) terdiri
dari empat bidang, yaitu representasi, tekstur, struktur, dan koneksi.
Representasi (Place in Communication) membahas mengenai begaimana
tempat-tempat direpresentasikan dalam proses komunikasi. Tekstur
(Communication in Places) membahas mengenai bagaimana proses komunikasi
dimaknai dalam tempat-tempat atau konteks lokal tertentu. Adapun struktur
(Communication in Spaces) membahasa mengenai bagaimana jalannya proses
komunikasi antara ruang-ruang tertentu menghasilkan hirarki atau
menstrukturkan ruang-ruang tersebut. Dari empat bidang tersebut penelitian ini
berfokus pada bidang kaji koneksi yang menjelaskan bagaimana ruang-ruang
dibentuk dalam proses komunikasi dan selalu dihasilkan oleh, untuk dan dalam
sebuah hubungan/koneksi dari komunikasi yang termediasi.
Koneksi merupakan salah satu dari empat bidang kaji komunikasi geografi
yang dikemukakan oleh Paul C. Adams, seorang ilmuwan yang bergerak di
bidang geografi. Ia menyatakan bahwa komunikasi geografi adalah bidang yang
mempelajari relasi antara dua elemen besar dalam bidang geografi (place,
space) dan komunikasi (teks, konteks). Istilah koneksi sebagai bidang kaji di
komunikasi geografi baru digunakan oleh Paul C. Adams di tahun 2012.
Sebelumnya Adams menggunakan istilah spaces in media yang membahas
mengenai bagaimana ruang-ruang direpresentasikan dalam media.
Koneksi atau disebut juga dengan spaces in communication merupakan
konsep yang membahas mengenai bagaimana ruang dibentuk dalam proses
komunikasi dengan asumsi ruang selalu dihasilkan oleh, untuk dan dalam
sebuah hubungan atau koneksi dari komunikasi yang termediasi. Hubungan
atau koneksi dari komunikasi yang termediasi tersebut pada akhirnya
membentuk ruang-ruang sosial. Bahasa, institusi dan teknologi berperan dalam
terbentuknya ruang oleh koneksi (Adams, 2006, hal. 47-48). Selain itu,
9
berbicara, berkomunikasi, atau berinteraksi bisa menjadi elemen dalam
membentuk koneksi, yang kemudian dapat menimbulkan ruang baru.
Koneksi secara umum merupakan jaringan yang dapat menghubungkan
terhadap suatu atau urusan dengan mudah dan lancar. Hubungan juga dapat
dikatakan merupakan hubungan interpersenol atau kelompok yang bersifat
ekonomi, politik, atau lainnya. Koneksi juga dapat menjadi alat untuk
mengendalikan suatu ruang.
2. Produksi Ruang
Henri Lefebvre dalam bukunya The Production of Space melihat bahwa
ruang adalah produk sosial. Sepeti yang dikemukakan oleh lefebvre:
(Social) space is a (social) product … the space thus produced also serves
as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of
production it is also a means of control, and hence of domination, of
power; yet that, as such, it escapes on part from those who would make use
of it. The social and political (state) forces which engendered this space
now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has forced
spatial reality towards a sort of uncontrollable autonomy now strives to run
it into the ground, then shackle and enslave it. (Lefebvre, 1991, hal. 26)
Lefebvre dengan pandangan sosialnya mempersoalkan mengenai ruang
yang menjadi wadah untuk menggapai dan menciptakan suatu kontrol. Selain
itu, relasi sosial juga dapat memproduksi kumpulan pengetahuan yang nantinya
dapat memberi peran dalam pengkosntruksian wacana tentang suatu ruang.
Wacana yang dikonstruksi ini diyakini menjadi kekuatan manusia untuk
memproduksi ruang dalam bentuk abstraksi.
10
meberi peluang ruang abstrak yang tadinya tidak ada menjadi muncul. Ruang
representasional atau ruang representasi merupakan ruang yang kompleks
dengan berbagai simbol didalamnya, kadang dimaknai atau tidak tergantung
pelaku di ruang tersebut. Ruang representasional melihat ruang sebagai sesuatu
yang diproduksi dan dimodifikasi sepanjang waktu. Dilihat dari penggunaannya
ruang digambarkan dengan simbol dan makna untuk menjadi nyata.
3. Wacana
Wacana dalam bahasa inggris disebut discourse yang merupakan serapan
dari bahasa Yunani yaitu discursus yang memiliki arti berlarian kesana kemari.
Istilah wacana sendiri merupakan serapan dari bahasa sansekerta yaitu
wac?wak?vakyang memiliki arti berkata atau berucap. Kemudian kata tersebut
berkembang menjadi wacana dengan adanya tambahan kata ana dibelakangnya.
Tambahan ini berfungsi untuk membedakan (nominalisasi). Maka wacana dapat
diartikan sebagai tuturan atau perkataan (Sudaryat, 2009, hal. 110).
Lull (dalam Sobur, 2006, hal. 11) menyimpulkan bahwa wacana merupakan
komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi, ide-ide, gagasan-gagasan atau
percakapan-percakapan. Wacana juga merupakan suatu pemikiran atau ide
diperbincangkan dan tersebar secara terbuka kepada publik sehingga
menimbulkan pemahaman tertentu.
Menurut Foucault dalam Gordon (1980, hal. 245) wacana merupakan
komoditas politik, fenomena pengucilan, pembatasan dan pelarangan. Foucault
melihat wacana sebagai praktik sistematik yang dapat dibentuk dan
dikendalikan oleh orang tertentu. Wacana secara umum terlahir dengan sifat
tidak pernah netral. Pada dasarnya wacana sengaja diproduksi oleh pihak-pihak
dominan atas aspek-aspek yang didominasinya. Wacana mengandung
pengertian akan adanya power dan kekuasaan dibalik pernyataan-pernyataan,
konsep Foucault mempercayai wacana sebagai alat yang digunakan lembaga-
lembaga untuk mempraktekan kuasa mereka melalui proses pendefinisian,
pengisolasian, dan pembenaran.
4. Resistensi
Resistensi berasal dari kata resist dalam bahasa inggris. Secara harfiah
resistensi dapat diartikan sebagai perlawanan atau menentang. Sejak tahun
11
1980-an tema mengenai resistensi menjadi sesuatu yang menarik perhatian para
ilmuan sosial dan menjadi trend dalam menelaah kasus-kasus yang dapat
diamati dan bersifat empiris. Resistensi dianggap berciri cultural oleh para
peneliti sosial karena resistensi muncul melalui ekspresi serta tindakan
keseharian masyarakat. Resistensi sangat diperlukan sebagai sebuah strategi
untuk menganalisis kuasa, hal ini dikemukakan oleh Lila Abu Lughod yang
terispirasi dari Foucoult yang menyatakan dimana ada kuasa disitu terdapat
resistensi (Lughod, 1990, hal. 53).
Menurut Scott (1993, hal. 325) resistensi merupakan sebuah fenomena yang
merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur
sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang
merugikannya. Scott mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang
dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk
mengurangi atau menolak klaim seperti harga sewa atau pajak yang dibuat oleh
kelompok dominan terhadap mereka. Pada dasarnya resistensi ingin
menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas
karena ketidak adilan. Selain itu, resistensi juga dapat dilihat sebagai
materialisasi yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi
pengetahuan dan kekuasaan. (Alisyahbana, 2005, hal. 38-39).
Hardt dan Negri (2004, hal. 4) dalam bukunya menyebutkan bahwa resitensi
memiliki bentuk yang berbeda-beda di sepanjang sejarah, hal ini terjadi karena
adanya perubahan di dalam masyarakat. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk
resistensi, diantaranya yaitu resistensi terbuka, resistensi semi terbuka dan
resistensi tertutup. Bentuk resistensi ini sangat beragam, dapat dilihat melalui
bentuk ketidak patuhan dan penolakan terhadap kondisi yang tidak mereka
sukai. Resistensi juga bisa berupa berbagai upaya yang dilakukan untuk tetap
bertahan dan mencari penghidupan yang layak. (Scott, 1990 hal. 38-39).
Resistensi bukan hanya untuk memindahkan kekuasaan, resistensi juga
dilakukan untuk bagaimana bisa bertahan sebagai upaya untuk tetap hidup
dalam sebuah sistem yang sedang berlaku saat itu.
Scott (2000, hal. 17) menjelaskan bahwa perlawanan terbuka atau public
transcript merupakan bentuk perlawanan yang ditandai dengan kemunculan
tindakan yang bersumber dari komunikasi secara langsung antara subordinat dan
12
superdinat. Bentuk perlawanan ini dapat diamati, konkrit dan secara langsung
terdapat komunikasi antara dua pihak yang berselisih. Adapun karakteristik dari
bentuk perlawanan terbuka yaitu terorganisir atau sistematis, terdapat
konsekuensi revolusioner yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup,
rasional dalam artian berfokus pada kepentingan banyak orang, dan bertujuan
untuk menghapuskan tindakan dominasi dan penindasan yang dirasakan.
G. METODE PENELITIAN
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dimana penelitian ini
meyakini bahwa Produksi ruang Kampung Muslim Cicakal Girang tidaklah
netral atau terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh struktur
kekuasaan yang mendominasi masyarakat dengan pandangan tertentu yang
disajikan oleh struktur-struktur penguasa.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor
(Moleong, 2006, hal.4) mendifinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu
metode penelitian yang mengamati suatu fenomena, orang-orang didalamnya
beserta perilaku mereka. Kemudian pengamatan tersebut akan menghasilkan
data deskriptif baik lisan maupun tulisan dari berbagai hal yang diamati.
Penelitian jenis ini biasa digunakan untuk menganalisis secara mendalam
kemudian menjelaskan suatu kondisi, proses yang berjalan, suatu akibat, atau
fenomena yang sedang berlangsung. Penelitian ini digunakan untuk mengamati
warga Cicakal Girang agar dapat menganalisis secara mendalam dan memberi
penjelasan mengenai kondisi maupun keterkaitan yang ada pada produksi ruang
kampung muslim di Cicakal Girang.
13
3. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah kampung Cicakal Girang yang dikenal
denganKampung Muslim Cicakal Girang. Bertempat di bagian barat desa
Kanekekes, kecamatan Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
14
bukan sekedar rangkaian kata dalam teks melainkan suatu tindakan dimana
wacana merupakan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Analisis
wacana kritis Foucault melihat adanya keterkaitan makna dalam teks dengan
pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja melalui interaksi, relasi dan jaringan
dari sebuah relasi (Haryatmoko, 2010, hal. 12).
15