Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku Baduy merupakan suku yang tinggal di suatu wilayah yang dikenal
dengan wilayah ulayat. Wilayah ulayat berada dibagian barat pulau Jawa,
dikelilingi oleh pegunungan Kendeng dengan luas tanah sekitar 5101,8 hektar.
Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini dikukuhkan dengan nama daerah
desa Kanekes, terletak di kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi
Banten. Suku Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat kepada kepercayaannya.
Kepercayaan yang mereka anut yaitu slam sunda wiwitan. Mereka mempercayai
dan yakin tentang adanya satu kuasa yaitu batara tunggal yang disimbolkan dengan
Arca Domas. Kepercayaan tersebut salah satunya direalisasikan dengan ritual
pemujaan Arca Domas ditempat yang dirahasiakan oleh orang Baduy karena
dianggap suci dan sakral. Selain itu, agama atau kepercayaan sunda wiwitan di
realisasikan dengan adanya norma dan adat masyarakat berupa buyut (larangan)
dan pikukuh (aturan) yang harus dipatuhi pengikutnya (Senoaji, 2010, hal. 305).

Pada mulanya masyarakat suku Baduy hanya terdiri dari satu komunitas, seiring
berjalannya waktu pada akhirnya Baduy terpecah menjadi dua bagian yang saling
berkaitan yaitu Baduy dalam atau tangtu dan Baduy luar atau biasa disebut juga
dengan Baduy panamping. Masyarakat Baduy dalam diharuskan berpegang teguh
kepada buyut (larangan) dan pikukuh (aturan) sedangkan Baduy panamping tidak
seketat Baduy tangtu memegang teguh aturan-atruan adat. Baduy panamping hidup
dengan peraturan adat yang lebih longgar dari aslinya namun kepercayaaan yang
mereka anut tetap sama dengan Baduy tangtu yaitu sunda wiwitan. Setelah terbagi
dua, muncul kembali bagian lainnya yaitu Baduy muslim. Mereka merupakan
masyarakat suku Baduy yang telah berpindah agama menjadi muslim, keluar dari
komunitas suku Baduy dan bergabung dengan lingkungan luar Baduy.

Berpindah agama bagi masyarakat Baduy tentunya mengundang resiko yang


sangat berat yaitu mereka dapat diusir dan tidak diakui lagi sebagai suku Baduy,
baik Baduy tangtu maupun Baduy panamping karena bagi suku Baduy yang
membedakan mereka dengan yang lain yaitu agama. Seperti Menurut Djatisunda
(dalam Wilodati 2011, hal. 3), masyarakat suku Baduy mengakui secara sadar

1
bahwa dari sistem beragama yang membedakan suku Baduy dengan masyarakat
sunda lainnya yang berada diluar pemukiman mereka. Urang eslam merupakan
sebutan yang disematkan oleh suku Baduy kepada orang sunda diluar daerah
Kanekes yang juga dianggap sebagai urang are atau dulur are. Kaiti yang pernah
menjabat sebagai “seurat” Baduy dalam mengatakan arti dulur are yaitu “Saudara
sih saudara, tetapi mereka islam, tidak seperti saya disini”.

Seiring berjalannya waktu banyak diantara masyarakat suku Baduy yang


melakukan pindah agama menjadi penganut islam. Secara umum mereka yang
berpindah agama otomatis keluar dan sudah tidak diakui lagi sebagai orang Baduy.
Mereka akan terusir dari tanah ulayat, kemudian menempati pemukiman-
pemukiman di luar desa Kanekes. Uniknya, terdapat satu kampung yang terletak di
kawasan suku Baduy namun seluruh warganya beragama islam. Kampung tersebut
yaitu kampung Cicakal Girang. Ada yang berpendapat bahwa Masyarakat muslim
yang tinggal di Cicakal Girang ini yang dikenal dengan Baduy Dangka.
Kehidupannya jauh lebih longgar dari Baduy Luar. Keberadaan masyarakat ini
dikarenakan adanya dua sebab, yaitu karena keinginannya menjadi masyarakat
yang bebas kemudian memutuskan untuk pindah dari Baduy dalam dan Baduy luar.
Penyebab yang lain yaitu terusir dari Baduy dalam atau Baduy luar karena
melakukan pelanggaran adat yang berlaku.

Kampung Cicakal Girang berbeda dengan kampung-kampung lain yang terletak


di tanah ulayat, seluruh masyarakat kampung tersebut muslim. Keunikan lainnya
dari warga kampung Cicakal Girang ini yaitu adanya perubahan yang sigifikan
mengenai cara hidup warga muslim Cicakal Girang sejak tahun 1975. Perubahan
tersebut yaitu tidak melaksanakan beberapa peraturan-peraturan seperti halnya yang
diterapkan kepada masyarakat adat di tanah ulayat. Rumah mereka tidak lagi harus
dari bahan alam seperti kayu, injuk dan rotan. Selain itu, mereka bercocok tanam
tanaman-tanaman yang sebenernya dilarang untuk masyarakat Baduy, seperti
cengkeh atau menanam padi disawah. Di rumah-rumah warga Cicakal Girang kita
sudah dapat menemukan listrik dan terdapat pula sekolah yang berdiri di kampung
tersebut. Sebenarnya mereka kurang suka disebut dengan sebutan Baduy karena
kehidupan yang mereka jalani sudah tidak sama lagi dengan masyarakat Baduy,
bahkan lebih condong seperti masyarakat di kampung-kampung luar Baduy pada
umumnya. Dengan demikian, terdapat beberapa kegiatan perlawanan yang

2
dilakukan untuk membangun ruang “pembebasan” dari kekangan pikukuh dan
buyut kepercayaan masyarakat Baduy.

Disisi lain, suku Baduy tangtu memaknai kampung Cicakal Girang dengan
wacana Cicakal Girang sebagai kampung panamping yang dapat diartikan juga
sebagai “bumper” atau ruang pertahanan suku Baduy dari gempuran budaya luar.
Selain itu juga sebagai pertahan bagi keberlangsungan adat istiadat yang
dilaksanakan oleh Baduy tangtu dari peraturan-peraturan pemerintah yang
bertentangan dengan peraturan adat mereka. Warga kampung Cicakal Girang
menjadi representasi dari suku Baduy yang taat kepada pemerintah dengan segala
praktek keruangan didalamnya. Cicakal Girang menjadi wilayah yang seakan-akan
dilegalkan melakukan perubahan-perubahan yang melanggar adat demi
keberlangsungan kepercayaan adat suku Baduy yang dijaga oleh Baduy tangtu.

Pada dasarnya banyak para peneliti di bidang sosial yang menyatakan bahwa
suatu ruang tidak terbentuk secara alamiah. Menurut Henri Levebre (1991, hal. 26-
27) menyatakan bahwa ruang sebagai produk sosial merupakan hasil bentukan dari
orang-orang yang memiliki dominasi atas kekuasan dan tentu dengan kekuasan
tersebut memiliki kontrol. Ruang sebagai produk sosial juga bersifat dinamis,
berubah-ubah.Menurut Inka Solavaara (dalam Falkheimer dan Jansson 2006, hal.
106) dominasi dan kontrol atas ruang selalu terkait dengan mode komunikasi dan
kontrol media dalam masyarakat yang berbeda.

Dalam hal ini penelitian ini berasumsi bahwa Kampung Cicakal Girang adalah
ruang yang lahir karena adanya koneksi, atau interaksi antara dua ruang yakni
ruang Baduy dalam dan ruang masyarakat luar, termasuk pemerintah. Masalah
yang terjadi adalah bagaimana kemudian masyarakat Kampung Cicakal Girang
menjadikan ambiguitasnya menjadi sebuah kedirian?

Banyak penelitian dapat peneliti temukan mengenai kehidupan masyarakat Baduy.


Penelitian tersebut pada umumnya lebih membahas mengenai kekhasan yang
dimiliki oleh suku Baduy karena memang mereka memiliki banyak perbedaan
dengan masyarakat pada umunya, dari keagamaan, sistem sosial, upacara adat,
peraturan daerah yang mereka pegang teguh, lembaga adat dan pemerintahannya
dan hal-hal lain yang terkesan tidak lazim bagi masyarakat pada umunya. Namun

3
penelitian dibidang komunikasi sangat jarang bahkan penelitian dalam perspektif
keruangan dengan bidang komunikasi geografi dapat dikatakan tidak ada.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian mengenai konstruksi ruang Baduy Muslim


Cicakal Girang. Menurut Henri Levebre (1991, hal. 26-27) menyatakan bahwa
ruang sebagai produk sosial merupakan hasil bentukan dari orang-orang yang
memiliki dominasi atas kekuasan dan tentu dengan kekuasan tersebut memiliki
kontrol. Ruang sebagai produk sosial juga bersifat dinamis, berubah-ubah. Artinya,
adanya kekuasaan yang mendominasi dalam pembentukan dan pengkonstruksian
ruang sehingga ruang tidak dapat dimaknai oleh yang terdominasi. Penelitian ini
akan berfokus pada bagaimana Produksi ruang Kampung Muslim Cicakal Girang?

Kampung Muslim wilayah Cicakal Girang dipilih sebagai objek penelitian ini.
Pertama, kampung Cicakal Girang satu-satunya kampung di tanah ulayat Baduy
yang dalam beberapa hal tidak lagi mengikuti peraturan adat yang berlaku karena
merasa peraturan adat membatasi mereka untuk berkembang. Peraturan-peraturan
adat yang dilanggar diantaranya rumah mereka tidak lagi dari bahan alam seperti
kayu, injuk dan rotan. Mereka bebas membangun rumah dari semen maupun
berkeramik dan bergenting. Selain itu, mereka diperbolehkan bercocok tanam
tanaman-tanaman yang sebenernya dilarang untuk masyarakat Baduy, seperti
cengkeh atau menanam padi disawah yang kesemuanya merupakan pantangan bagi
suku Baduy. Kedua, di Cicakal Girang seluruhnya sudah beragama Islam. Ketiga,
terdapat pemaknaan berbeda dari masyarakat Cicakal Girang, Baduy dalam sebagai
pemegang peraturan adat, dan orang luar terhadap Kampung Cicakal Girang itu
sendiri. Penelitian ini akan berfokus kepada produksi ruang dari wacana yang ada
dan praktik masyarakatnya dalam ruang tersebut.

Henry Lefebvre (1991, hal. 33) dalam bukunya The Production of Space
menjelaskan bagaimana suatu ruang diproduksi dengan tiga rangkaian konseptual.
Konsep tersebut yaitu bagaimana praktik sosial secara disadari atau tidak disadari
menciptakan ruang atau disebut juga praktik spasial. Selain itu, ada pula
representasi ruang yang mana menjelaskan adanya wacana lain diluar praktik
spatial yang mana wacana-wacana tersebut digunakan untuk memproduksi dan
mengkonstruksi ruang. Dan yang terakhir yaitu ruang representasional. Penelitian

4
ini berasumsi adanyanya wacana-wacana yang dibangun oleh berbagai pihak untuk
memperebutkan ruang dan adanya peraktik sosial berupa resistensi terhadap norma-
norma yang ada yang kemudian pada akhirnya menghasilkan keambiguitasan yang
tanpa disadari diyakini oleh warga tersebut sebagai entitas dirinya. Oleh karenanya
pertanyaan penelitian dalam riset ini adalah:

1. Bagaimana sejarah kampung Cicakal Girang?


2. Bagaimana ragam wacana yang mengkontruksikampung Cicakal Girang?
3. Bagaimana resistensi warga kampung Cicakal Girang terhadap wacana yang
ada?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana munculnya ruang Kampung Muslim Cicakal Girang
2. Mengetahui bagaimana masyarakat Cicakal Girang memaknai ruangnya
3. Mengetahui adanya konstruksi ruang Kampung Muslim Cicakal Girang
4. Mengetahui adanya praktik resistensi masyarakat Cicakal Girang terhadap
wacana yang berkembang dari luar masyarakat tersebut.
D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk membuktikan mengenai teori bahwa ruang


sebagai produk sosial dapat berubah-ubah dan orang-orang dengan kekuasan dan
dominasi memiliki kontrol dalam pembentukan atau pengkonstruksian ruang
dengan koneksi, memaknai dan menghadirkan wacana dalam ruang tersebut.
Gagasan dimana keruangan menjadi perspektif dalam melihat koneksi ada dalam
studi komunikasi geografi, bidang yang relatif baru dalam studi komunikasi.
Dengan demikian, penelitian ini juga berguna menambah rujukan dalam bidang
komunikasi geografi yang masih terbilang sedikit di Indonesia.

E. Tinjuan Pustaka

Penelitian Muhammad zid, dkk. dalam jurnal SPATIAL vol. 17 No. 1 Maret
2017 yang berjudul interaksi dan perubahan sosial masyarakat Baduy di era
modern berisi pembahasan mengenai perubahan sosial yang dialami oleh
masyarakat Baduy. Suku Baduy atau urang Kanekes merupakan suatu kelompok
etnis sunda yang terkenal menutup diri dari kebudayaan lain. Seiring
perkembangan jaman, keaslian dari masyarakat Baduy meluntur. Hal ini,
diakibatkan karena adanya interaksi-interaksi yang dilakukan oleh masyarakat luar

5
Baduy. Interaksi tersebut menyebabkan beberapa perubahan sosial, dari mulai cara
berpakaian, realisasi peraturan adat, sampai dengan bahasa yang digunakan untuk
berinteraksi. Didalam penelitian ini dijelaskan bahwa perubahan sosial yang terjadi
lebih banyak di wilayah Baduy luar walaupun Baduy dalam juga terkena dampak
perubahan sosial tersebut, namun tidak begitu nampak. Perubahan perilaku dan
kebiasaan tentunya akan mempengaruhi tatanan sosial suku tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data berupa wawancara
mendalam dan observasi. Adapun kemiripan penelitian Muhammad zid dengan
penelitian yang akan dilaksanakan penulis yaitu sama-sama mengamati perubahan
yang terjadi di suku Baduy karen aadanya interaksi dari eksternal suku tersebut,
namun membedakan yaitu objek pada penelitian yang akan dilaksanakan lebih
spesifik dan dengan perspektif berbeda, yaitu perspektif keruangan.

Penelitian Suparmini, dkk dalam jurnal Penelitian Humaniora Vol. 18 No. 1


April 2013 yang berjudul Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis
Kearifan Lokal membahas mengenai pelestarian-pelestarian yang dilakukan
masyarakat Baduy berdasarkan pikukuh (peraturan) yang mereka pegang teguh.
Suku Baduy identik dengan kesederhanaannya, mereka memiliki falsafah
kesederhanaan akan membawa kepada kebahagian hidup yang sebenarnya.
Kesederhanaan tersebut dipertahankan melalui peraturan-peraturan adat yang
menjadi landasan hidup mereka. Peraturan tersebut tidak boleh ditambah maupun
dikurangi. Begitu juga dengan penjagaan mereka terhadap lingkungan dan
kelestarian alam berdasarkan pikukuh yang mereka anut dan percayai. Dari
penelitian ini kita dapat melihat bahwa masyarakat suku Baduy sangat memegang
tegus pikukuh (peraturan adat) yang dilandaskan kepada kepercayaan mereka
mengenai amanat nenek moyang. Segala sesuatu yang mereka lakukan diharuskan
sesuai dengan pikukuh tersebut.

Pada penelitian Suparmini, dkk diatas pikukuh (peraturan adat) digambarkan


memiliki sisi positif, berbeda dengan penelitian Kiki Muhammad Hakiki dalam
Jurnal Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol.1 No.1 Januari-juni 2015
yang berjudul Aku Ingin Sekolah: Potret Pendidikan di Komunitas Muallaf Suku
Baduy Banten. Dalam penelitiannya Hakiki memaparkan bahwa kualitas
pendidikan komunitas Baduy muslim yang bermukim di kampung Cicakal Girang
dan margaluyu sangat rendah. Selain kurangnya tenaga pengajar, peraturan adat

6
juga menjadi penghambat meningkatnya kualitas pendidikan. Suku Baduy memiliki
peraturan mengenyam pendidikan melalui sekolah dilarang karena menurut mereka
jika sekolah seseorang akan menjadi pintar kemudian bisa membodoh-bodohi
orang lain. Hal tersebut akan menyebabkan terganggunya kerukunan karena mereka
memahami bahwa untuk melanggengkan kekuasaan pemimpin harus membodoh-
podohi rakyatnya atau melakukan pembodohan kepada rakyatnya.

Adapun penelitian Arsyad Sobby Kesuma (2013) dalam


ejournal.radenintan.go.id dengan judul kerukunan umat beragama dan resolusi
konflik studi kasus umat beragama pada mayarakat suku Baduy perbatasan di
provinsi banten, membahas mengenai realitas perpindahan agama dan perbedaan
agama di suku Baduy. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa suku Baduy terdiri
dari tiga lapisan yaitu Baduy tangtu, panamping dan dangka. Wilayah dangka
dihuni oleh masyarakat mayoritas muslim yang berasal dari orang-orang Baduy
tangtu maupun panamping yang telah meninggalkan kepercayaan nenek moyang
mereka, yaitu Sunda Wiwitan. Kendati dengan berpindahnya keyakinan mereka
menjadi terpisah secara wilayah, dan memiliki perbedaan identitas keagamaan
namun mereka masih terhubung melalui kekerabatan. Orang Baduy, baik Baduy
dalam maupun Baduy luar tetap menganggap masyarakat Baduy yang berpindah
agama sebagai kerabat atau saudara. Mereka mempercayaia bahwa sejak awal
manusia lahir dari satu keturunan yang kemudian berpencar dan mengalami
berbagai perbuhan-perubahan identitas maupun karakter, begitu juga dengan
keagamaan. Orang Baduy yang berubah dengan berpindah keagamaan akan
mempengaruhi statusnya dalam hal-hal tertentu seperti posisi mereka dalam
menduduki jabatan struktural pemerintahan maupun adat dan dalam pernikahan.
Adapun kemiripan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu
dari objek dan pembahasan mengenai perbedaan keyakinan serta cara pandang
mereka antara satu dengan lainnya. Adapun perbedaannya yaitu perspektifk yang
digunakan dimana akan menggunakan perspektif keruangan dan adanya elemen
tambahan yang terlibat dalam ruang yang akan diteliti. Dari penelitian ini dapat
dilihat bagaimana peraturan adat juga memberikan dampak negatif bagi
masyarakatnya yang ingin berkembang.

Penelitian Sindy Wulandari (2017) dalam thesisnya yang berjudul produksi


ruang dan representasi ruang dalam dinamika konflik spasial di kampung inggris

7
membahas mengenai adanya perebutan ruang di kampung inggris antara
keberadaan lembaga kursus bahasa yang pemiliknya didominasi oleh masyarakat
luar dan pendatang yang bukan penduduk lokal dengan masyarakat lokal asli desa
tempat kampung inggris berdiri yaitu desa tulungrejo dan desa pelem. Masayarakat
lokal tersisihkan dan kalah oleh para pendatang yang mendominasi dan
menggunakan ruang milik masayarakat lokal dengan berbagai macam kepentingan.
Oleh karena itu terjadinya perebutan ruang yang menimbulkan berbagai persaingan
dan konflik antara masayarakat lokal dan pendatang. Maka penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan proses produksi ruang “kampung inggris” dan keadaan
masayarakat lokal dengan terciptanya ruang tersebut. Adapun persamaan penelitian
ini dengan yang akan dilakukan yaitu sama-sama menggunakan produksi ruang
Henri Lefebvre untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam penlitian.
Perbedaannya terletak pada objek dan kasus yang dihadapi walaupun sama-sama
mengenai perebutan ruang.

Penelitian Karunia Putra Pamungkas (2016) dalam skripsinya dengan judul


Resistensi Masyarakat Terhadap Pemerintah Daerah, Studi di Desa Wisata
Sembungan Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini membahas
mengenai resistensi yang dilakukan masyarakat desa Wisata Sembungan terhadap
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Resistensi tersebut disebabkan
karena adanya perbedaan kepentingan masyarakat dengan pemerintah daerah.
Ruang penolakan yang dibentuk oleh masyarakat diwujudkan dengan usaha
ekonomi dan pengeklusifan dirinya untuk menghindari pemerintah daerah.
Penelitian yang dilakukan sama-sama menggunkan teori resistensi terhadap
penguasa, berbeda halnya dengan masyarakat desa Wisata Sembungan, masyarakat
kampung Cicakal Girang melakukan resistensinya dengan perwujudan dalam ruang
yang lain.

F. Kerangka Teori
1. Komunikasi Geografi
Komunikasi Geografi merupakan bidang study yang lahir karena adanya
ambiguitas hubungan ruang dan komunikasi. Ruang maupun tempat merupakan
dimensi penting penentu terjadinya komunikasi dan proses komunikasi itu
sendiri. Selain itu, proses komunikasi dapat membentuk ruang baik abstrak
maupun ruang konkrit. Menurut Dhona (2018, hal. 4) komunikasi geografi

8
adalah bidang study yang membahas mengenai bagaimana komunikasi
memproduksi ruang dan bagaimana ruang memproduksi komunikasi. Bidang
study komunikasi geografi memiliki asumsi dasar bahwa ruang atau tempat
tidaklah alamiah. Adams pada karyanya tahun 2009 (dalam Dhona, 2018, hal.
10) berpendapat bahwa komunikasi geografi adalah bidang yang mengkaji
mengenai relasi antara dua elemen, yaitu space dan place milik geografi dengan
context dan content milik disiplin komunikasi.
Adapun bidang kaji yang dikemukan oleh Adams (2012, hal. 306) terdiri
dari empat bidang, yaitu representasi, tekstur, struktur, dan koneksi.
Representasi (Place in Communication) membahas mengenai begaimana
tempat-tempat direpresentasikan dalam proses komunikasi. Tekstur
(Communication in Places) membahas mengenai bagaimana proses komunikasi
dimaknai dalam tempat-tempat atau konteks lokal tertentu. Adapun struktur
(Communication in Spaces) membahasa mengenai bagaimana jalannya proses
komunikasi antara ruang-ruang tertentu menghasilkan hirarki atau
menstrukturkan ruang-ruang tersebut. Dari empat bidang tersebut penelitian ini
berfokus pada bidang kaji koneksi yang menjelaskan bagaimana ruang-ruang
dibentuk dalam proses komunikasi dan selalu dihasilkan oleh, untuk dan dalam
sebuah hubungan/koneksi dari komunikasi yang termediasi.
Koneksi merupakan salah satu dari empat bidang kaji komunikasi geografi
yang dikemukakan oleh Paul C. Adams, seorang ilmuwan yang bergerak di
bidang geografi. Ia menyatakan bahwa komunikasi geografi adalah bidang yang
mempelajari relasi antara dua elemen besar dalam bidang geografi (place,
space) dan komunikasi (teks, konteks). Istilah koneksi sebagai bidang kaji di
komunikasi geografi baru digunakan oleh Paul C. Adams di tahun 2012.
Sebelumnya Adams menggunakan istilah spaces in media yang membahas
mengenai bagaimana ruang-ruang direpresentasikan dalam media.
Koneksi atau disebut juga dengan spaces in communication merupakan
konsep yang membahas mengenai bagaimana ruang dibentuk dalam proses
komunikasi dengan asumsi ruang selalu dihasilkan oleh, untuk dan dalam
sebuah hubungan atau koneksi dari komunikasi yang termediasi. Hubungan
atau koneksi dari komunikasi yang termediasi tersebut pada akhirnya
membentuk ruang-ruang sosial. Bahasa, institusi dan teknologi berperan dalam
terbentuknya ruang oleh koneksi (Adams, 2006, hal. 47-48). Selain itu,

9
berbicara, berkomunikasi, atau berinteraksi bisa menjadi elemen dalam
membentuk koneksi, yang kemudian dapat menimbulkan ruang baru.
Koneksi secara umum merupakan jaringan yang dapat menghubungkan
terhadap suatu atau urusan dengan mudah dan lancar. Hubungan juga dapat
dikatakan merupakan hubungan interpersenol atau kelompok yang bersifat
ekonomi, politik, atau lainnya. Koneksi juga dapat menjadi alat untuk
mengendalikan suatu ruang.
2. Produksi Ruang
Henri Lefebvre dalam bukunya The Production of Space melihat bahwa
ruang adalah produk sosial. Sepeti yang dikemukakan oleh lefebvre:

(Social) space is a (social) product … the space thus produced also serves
as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of
production it is also a means of control, and hence of domination, of
power; yet that, as such, it escapes on part from those who would make use
of it. The social and political (state) forces which engendered this space
now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has forced
spatial reality towards a sort of uncontrollable autonomy now strives to run
it into the ground, then shackle and enslave it. (Lefebvre, 1991, hal. 26)
Lefebvre dengan pandangan sosialnya mempersoalkan mengenai ruang
yang menjadi wadah untuk menggapai dan menciptakan suatu kontrol. Selain
itu, relasi sosial juga dapat memproduksi kumpulan pengetahuan yang nantinya
dapat memberi peran dalam pengkosntruksian wacana tentang suatu ruang.
Wacana yang dikonstruksi ini diyakini menjadi kekuatan manusia untuk
memproduksi ruang dalam bentuk abstraksi.

Lefebvre mengemukakan bahwa ruang diprodukasi dalam masyarakat


melalui proses yang terdiri dari tiga bagian, yaitu spasial praktik, representasi
ruang, dan ruang representasional atau ruang representasi. spasial praktik
merupakan ruang yang dapat dirasakan. Praktik sosial disadari atau tidak akan
membentuk ruang. Ruang yang diproduksi dari praktek-praktek sosial dan
pemaknaan didalamnya. Terbentuk dari ruang secara fisik dan tindakan-
tindakan dari pelaku ruang itu sendiri.

Representasi ruang merupakan bentukan ruang yang dimana ruang


direpresentasikan dalam bentuk verbal dengan pengetahuan, tanda-tanda dan
simbol. Selain itu adanya wacana-wacana dari luar yang berkontribusi dalam
memproduksi maupun mengkonstruksi ruang. Dalam representasi ruang ini

10
meberi peluang ruang abstrak yang tadinya tidak ada menjadi muncul. Ruang
representasional atau ruang representasi merupakan ruang yang kompleks
dengan berbagai simbol didalamnya, kadang dimaknai atau tidak tergantung
pelaku di ruang tersebut. Ruang representasional melihat ruang sebagai sesuatu
yang diproduksi dan dimodifikasi sepanjang waktu. Dilihat dari penggunaannya
ruang digambarkan dengan simbol dan makna untuk menjadi nyata.

3. Wacana
Wacana dalam bahasa inggris disebut discourse yang merupakan serapan
dari bahasa Yunani yaitu discursus yang memiliki arti berlarian kesana kemari.
Istilah wacana sendiri merupakan serapan dari bahasa sansekerta yaitu
wac?wak?vakyang memiliki arti berkata atau berucap. Kemudian kata tersebut
berkembang menjadi wacana dengan adanya tambahan kata ana dibelakangnya.
Tambahan ini berfungsi untuk membedakan (nominalisasi). Maka wacana dapat
diartikan sebagai tuturan atau perkataan (Sudaryat, 2009, hal. 110).
Lull (dalam Sobur, 2006, hal. 11) menyimpulkan bahwa wacana merupakan
komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi, ide-ide, gagasan-gagasan atau
percakapan-percakapan. Wacana juga merupakan suatu pemikiran atau ide
diperbincangkan dan tersebar secara terbuka kepada publik sehingga
menimbulkan pemahaman tertentu.
Menurut Foucault dalam Gordon (1980, hal. 245) wacana merupakan
komoditas politik, fenomena pengucilan, pembatasan dan pelarangan. Foucault
melihat wacana sebagai praktik sistematik yang dapat dibentuk dan
dikendalikan oleh orang tertentu. Wacana secara umum terlahir dengan sifat
tidak pernah netral. Pada dasarnya wacana sengaja diproduksi oleh pihak-pihak
dominan atas aspek-aspek yang didominasinya. Wacana mengandung
pengertian akan adanya power dan kekuasaan dibalik pernyataan-pernyataan,
konsep Foucault mempercayai wacana sebagai alat yang digunakan lembaga-
lembaga untuk mempraktekan kuasa mereka melalui proses pendefinisian,
pengisolasian, dan pembenaran.

4. Resistensi

Resistensi berasal dari kata resist dalam bahasa inggris. Secara harfiah
resistensi dapat diartikan sebagai perlawanan atau menentang. Sejak tahun

11
1980-an tema mengenai resistensi menjadi sesuatu yang menarik perhatian para
ilmuan sosial dan menjadi trend dalam menelaah kasus-kasus yang dapat
diamati dan bersifat empiris. Resistensi dianggap berciri cultural oleh para
peneliti sosial karena resistensi muncul melalui ekspresi serta tindakan
keseharian masyarakat. Resistensi sangat diperlukan sebagai sebuah strategi
untuk menganalisis kuasa, hal ini dikemukakan oleh Lila Abu Lughod yang
terispirasi dari Foucoult yang menyatakan dimana ada kuasa disitu terdapat
resistensi (Lughod, 1990, hal. 53).

Menurut Scott (1993, hal. 325) resistensi merupakan sebuah fenomena yang
merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur
sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang
merugikannya. Scott mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang
dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk
mengurangi atau menolak klaim seperti harga sewa atau pajak yang dibuat oleh
kelompok dominan terhadap mereka. Pada dasarnya resistensi ingin
menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas
karena ketidak adilan. Selain itu, resistensi juga dapat dilihat sebagai
materialisasi yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi
pengetahuan dan kekuasaan. (Alisyahbana, 2005, hal. 38-39).

Hardt dan Negri (2004, hal. 4) dalam bukunya menyebutkan bahwa resitensi
memiliki bentuk yang berbeda-beda di sepanjang sejarah, hal ini terjadi karena
adanya perubahan di dalam masyarakat. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk
resistensi, diantaranya yaitu resistensi terbuka, resistensi semi terbuka dan
resistensi tertutup. Bentuk resistensi ini sangat beragam, dapat dilihat melalui
bentuk ketidak patuhan dan penolakan terhadap kondisi yang tidak mereka
sukai. Resistensi juga bisa berupa berbagai upaya yang dilakukan untuk tetap
bertahan dan mencari penghidupan yang layak. (Scott, 1990 hal. 38-39).
Resistensi bukan hanya untuk memindahkan kekuasaan, resistensi juga
dilakukan untuk bagaimana bisa bertahan sebagai upaya untuk tetap hidup
dalam sebuah sistem yang sedang berlaku saat itu.

Scott (2000, hal. 17) menjelaskan bahwa perlawanan terbuka atau public
transcript merupakan bentuk perlawanan yang ditandai dengan kemunculan
tindakan yang bersumber dari komunikasi secara langsung antara subordinat dan
12
superdinat. Bentuk perlawanan ini dapat diamati, konkrit dan secara langsung
terdapat komunikasi antara dua pihak yang berselisih. Adapun karakteristik dari
bentuk perlawanan terbuka yaitu terorganisir atau sistematis, terdapat
konsekuensi revolusioner yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup,
rasional dalam artian berfokus pada kepentingan banyak orang, dan bertujuan
untuk menghapuskan tindakan dominasi dan penindasan yang dirasakan.

Perlawanan tertutup atau hiden transcript yang dikenal juga dengan


perlawanan sembunyi-sembunyi adalah bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
seseorang melalui prosedur yang tidak terorganisir. Perlawanan bentuk ini
cenderung mengacu pada pergerakan penolakan secara perlahan dengan
memperhitungkan bentuk perlawanan menurut capaian yang ingin dituju dan
kemampuan yang dimiliki untuk melakukan perlawanan. Adapun karakteristik
perlawanan tertutup yaitu tidak beraturan, tidak terorganisir, bersifat individual
dan tidak mengandung dampak perubahan yang signifikan.

G. METODE PENELITIAN
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dimana penelitian ini
meyakini bahwa Produksi ruang Kampung Muslim Cicakal Girang tidaklah
netral atau terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh struktur
kekuasaan yang mendominasi masyarakat dengan pandangan tertentu yang
disajikan oleh struktur-struktur penguasa.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor
(Moleong, 2006, hal.4) mendifinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu
metode penelitian yang mengamati suatu fenomena, orang-orang didalamnya
beserta perilaku mereka. Kemudian pengamatan tersebut akan menghasilkan
data deskriptif baik lisan maupun tulisan dari berbagai hal yang diamati.
Penelitian jenis ini biasa digunakan untuk menganalisis secara mendalam
kemudian menjelaskan suatu kondisi, proses yang berjalan, suatu akibat, atau
fenomena yang sedang berlangsung. Penelitian ini digunakan untuk mengamati
warga Cicakal Girang agar dapat menganalisis secara mendalam dan memberi
penjelasan mengenai kondisi maupun keterkaitan yang ada pada produksi ruang
kampung muslim di Cicakal Girang.

13
3. Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah kampung Cicakal Girang yang dikenal
denganKampung Muslim Cicakal Girang. Bertempat di bagian barat desa
Kanekekes, kecamatan Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

4. Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian komunikasi kualitatif pada umumnya dibagi menjadi


tiga jenis, yaitu data yang didapatkan dari interview atau wawancara, data yang
didapatkan dari observasi atau pengamatan atau data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen yang berkaitan (Pawito, 2007, hal. 132). Oleh karena itu
penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data yaitu wawancara,
observasi, dan pengumpulan data melalui dokumen-dokumen (Dokumentasi).

Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara mendalam keseharian


warga Kampung Muslim Cicakal Girang, mecatat hal-hal penting selama proses
pengamatan. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal yang relevan
berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, catatan dan data pemerintahan, dan
sebagainya. Adapula beberapa wawancara dengan warga Kampung Muslim
Cicakal Girang dan komunitas serta pihak yang memiliki kaitan dengan objek
penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana Kritis Foucault.


Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak hanya dipahami sebagai studi
bahasa, melainkan juga menghubungkan dengan konteks dan bahasa digunakan
untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat (Eriyanto, 2006, hal.
6). Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut Eriyanto yaitu wacana
dipahami sebagai sebuah tindakan yang memiliki tujuan seperti mempengaruhi,
dan lain sebagainya. Analisis Wacana kritis mempertimbangkan konteks,
menempatkan wacana sesuai denga konteks historisnya dan
mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya.

Komunikasi yang berisi tindakan yang kompleks akan membentuk pesan


atau wacana.Pemikiran Foucault mengilhami hadirnya konsep wacana. Bagi
Foucault realitas sosial merupakan arena diskursif. Foucault melihat wacana

14
bukan sekedar rangkaian kata dalam teks melainkan suatu tindakan dimana
wacana merupakan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Analisis
wacana kritis Foucault melihat adanya keterkaitan makna dalam teks dengan
pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja melalui interaksi, relasi dan jaringan
dari sebuah relasi (Haryatmoko, 2010, hal. 12).

15

Anda mungkin juga menyukai