Anda di halaman 1dari 15

Do buat oleh:

Aldiano Gestan

Tanggal:

1
05-02-2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gayo adalah nama sebuah suku berpopulasi kecil yang mendiami sebuah

wilayah yang berada di salah satu punggung pegunungan bukit barisan

membentang sepanjang pulau sumatera yaitu di Takengon, Aceh Tengah. Tidak

banyak orang luar Aceh yang mengetahui keberadaan suku ini, di Medan

(Sumatera Utara) ada sebagian orang yang mengetahui keberadaan Gayo, tapi

lebih jauh ke timur orang-orang umumnya sudah tidak tahu lagi. Gayo adalah

salah satu dari sekian suku minoritas di provinsi Aceh, hidup berbagi wilayah

dengan suku Aceh yang mayoritas. Meskipun daerah dataran tinggi Gayo

tergabung dalam provinsi Aceh, namun ternyata orang-orang Gayo sendiri

memiliki kekhasan khusus yang membuat suku Gayo berbeda dengan suku Aceh

kebanyakan.

Suku Gayo dan suku Aceh memiliki satu kesamaan yaitu sama-sama

penganut islam fanatik, diluar kesamaan agama tersebut, sulit mencari persamaan

lain antara kedua suku ini. Secara fisik, orang Gayo berbeda dengan orang Aceh,

orang Gayo berkulit kuning langsat, tubuhnya kecil, rambut berombak dan warna

bola mata hitam kecoklatan. Sedangkan, orang Aceh berkulit hitam, tubuhnya

tinggi, warna bola mata lebih cerah. Bahasa sangat berbeda, malah akar bahasanya

pun tidak sama. Bahasa Gayo mempunyai keterkaitan dengan bahasa suku Batak

Karo di Sumatera Utara dan termasuk kelompok bahasa yang disebut “Northwest

2
Sumatra-Barrier Islands” dari rumpun bahasa Austronesia. Dialek bahasa Gayo

memiliki beberapa variasi karena pengaruh dari bahasa luar. Begitu juga dengan

bahasa Aceh, yang termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik, cabang dari

rumpun bahasa Melayu-Polinesia dan bahasa Austronesia. Bahasa Aceh memiliki

kekerabatan terdekat dengan bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru, Utset dan

bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dipertuturkan di

Kamboja, Vietnam, dan Hainan.

Masyarakat Gayo mempunyai hubungan genealogis dengan orang Melayu

Tua. Dalam Aceh Sepanjang Abad, Said (1985) dalam Musanna (2011),

mengemukakan bahwa nenek moyang orang Gayo berasal dari Melayu Tua yang

menyingkir dari pesisir pantai ke pedalaman disebabkan kedatangan Melayu

Muda dari Indo-Cina dan Kamboja pada tahun 300 SM. Mereka menetap di

sepanjang pantai utara dan timur Aceh dan di sepanjang aliran sungai Jambo Aye,

Peureulak, dan Kuala Simpang. Seorang pemakalah Seminar Temu Budaya

Nusantara pada Pekan Kebudayaan Aceh Ke-3 Tahun 1988 mengemukakan,

“...sebelum orang Aceh yang berasal dari Campa tiba di Aceh, kawasan ini

didiami suku-suku lain dari Austronesia, misalnya orang Gayo, di samping bangsa

Mantir (Mente) yang tergolong dalam rumpun Mon Khmer” Ibrahim (2007)

dalam Musanna (2011).

Cara hidup orang Gayo juga berbeda dengan orang Aceh. Orang Aceh

yang mendiami pesisir Aceh, meskipun juga bertani tapi umumnya cukup terbiasa

untuk berdagang. Orang Gayo sebaliknya, suku ini adalah suku petani dan tidak

biasa berdagang. Perbedaan profesi membuat perbedaan karakter antara suku

3
Gayo dan suku Aceh menjadikan pola relasi antara Gayo dan Aceh tidak bisa

dikatakan akrab dan menyatu. Dalam proses jual beli orang Aceh sebagai penjual

dan orang Gayo sebagai konsumen, tentu berada dalam posisi berhadap-hadapan.

Situasi seperti ini tampaknya terbawa kedalam cara pandang secara umum kedua

etnis ini dalam keseharian. Sehingga dalam pergaulan sehari-hari, meskipun tentu

saja ada beberapa pengecualian, tetapi secara umum sulit bagi orang Aceh dan

orang Gayo untuk bisa berkomunikasi dalam empati yang sama.

Perbedaan lainnya, Arif dan Suwarni (2013) mengatakan Sejarah dan asal

usul yang membedakan antara Gayo dan Aceh. Perbedaan itu telah ditangkap para

penjelajah sedari dulu. Saat menjelajah ke Gayo pada 1901, Antropolog Belanda,

Snouck Hurgronje menyebutkan tentang hutan lebat seperti ikat pinggang lebar

yang memisahkan Gayo dengan Aceh. Hutan lebat dan sulitnya akses menuju

dataran tinggi itulah yang menyebabkan kebudayaan Gayo terisolasi. Saat terjadi

peperangan antara kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Peurlak pada tahun 1271 M

serta serangan kerajaan Majapahit atas kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1350

M mengakibatkan banyak orang mengungsi ke pedalaman yang telah dihuni oleh

suku Gayo. Para pengungsi itupun tidak mau kembali dan menjadi masyarakat

suku Gayo sampai akhirnya membentuk kerajaan Linge atau kerajaan Lingga.

Semakin lama penduduk Linge semakin bertambah banyak kemudian mereka

melakukan migrasi ke pemukiman baru. Sebagian besar dari mereka pindah ke

dataran tinggi Gayo yang selanjutnya menjadi penduduk asli Gayo.

M.H. Gayo dalam bukunya Perang Gayo Alas melawan Kolonialis

Belanda (1983) menyatakan suku bangsa Gayo mempunyai kebudayaan sendiri

4
yang berbeda dengan kebudayaan Aceh di pesisir. Berhubung karena pusat

kerajaan (dulu) berada di Aceh dan jumlah penduduk Aceh lebih banyak, maka

dapat dimengerti jika pengaruh kebudayaan Aceh lebih besar daripada sebaliknya.

Secara etnografi para ahli mengakui suku Gayo berbeda dengan suku Aceh.

Seorang ahli tokoh Gayo, Sabela mengatakan, terminologi penyebutan kata

“Gayo” harus mulai dipopulerkan oleh rakyat Gayo sebagai sebuah bentuk anti

tesa terhadap penyempitan makna “Aceh” dan untuk menunjukkan kepada

masyarakat dunia bahwa ada suku bangsa Gayo yang lengkap dengan

peradabannya yang mulia hidup diatas bumi pulau Sumatra ini. Sudah menjadi

rahasia umum dimana rakyat Gayo enggan menyebut dirinya sebagai “Aceh”

karena kata “Aceh” sudah mengalami penyempitan makna dan berkonotasi

sebagai kelompok masyarakat pesisir yang memiliki bahasa dan budaya yang

berbeda dengan Gayo.

Tanah Gayo dari dulu hingga kini secara administratif masih berada

dibawah provinsi Aceh, sehingga kemungkinan karena tidak adanya orang Gayo

yang duduk didalam pemerintahan Aceh baik sebagai Gubernur/ Wakil Gubernur

sejak provinsi Aceh dibentuk pada tahun 1956 sampai saat ini, maka nama-nama

pahlawan yang hanya muncul ke permukaan adalah nama-nama pahlawan yang

berasal dari pesisir pantai timur dan barat Aceh saja seperti Cut Nyak Dhien,

T.Nyak Arif, Hasan Saleh, dan lain-lain. Padahal jika ingin membandingkan

perjuangan yang telah dilakukan oleh Inen Mayak Teri dengan Cut Nyak Dhien,

maka lebih heroik perjuangan yang dilakukan oleh Inen Mayak Teri karena Inen

Mayak Teri sudah lebih dahulu berjuang selama 20 tahun baru kemudian Cut

5
Nyak Dhien angkat senjata. Maka apapun yang dibuat oleh Gayo yang tercatat

dalam sejarah tetap yang tampak adalah Aceh walaupun terhadap kata Aceh itu

sendiri telah terjadi penyempitan makna.

Dimensi etnisitas di Aceh cukup menonjol utamanya di lapangan ekonomi,

politik dan sosial. Citra Aceh selalu dibuat lebih baik, lebih maju, lebih civilized,

dibanding citra Gayo. Banyak unsur yang sejatinya Gayo (historically) kini seolah

menjadi lebih bercitra Aceh, seakan Gayo subordinat dari Aceh. Contohnya baju

adat gayo yaitu kerawang, tari saman dan lain-lain. Gayo lebih umum dicitrakan

inferior dan Aceh superior. Kajian mengenai eksistensi masyarakat Gayo

sebenarnya telah dimulai sejak awal abad ke-20 oleh kolonial Belanda sebagai

bagian dari strategi militer melumpuhkan perjuangan rakyat Aceh. Orientalis

kenamaan dan sekaligus penasehat kebijakan politik Belanda, C. S. Hugronje

dipandang sebagai peletak kajian mengenai suku Gayo Melalatoa (1982) dalam

Sumanna (2011). Tulisan Hurgronje mengenai masyarakat Gayo dipublikasikan

pertama kali tahun 1906 berjudul Het Gayoland en Zijne Bewoners, yang telah

dialih-bahasakan menjadi Tanoh Gayo dan Penduduknya (1996). Peneliti lain

mengenai masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah juga dilakukan Bowen

(1984; 1993; 2003) dalam Musanna (2011), yang dimulai dari studi penyelesaian

disertasi antropologinya di Universitas Chicago pada penghujung 70-an dan

berlanjut sampai awal tahun 80-an. Namun, Implikasinya banyak terjadi pada,

sementara orang Gayo yaitu rasa kurang confident (percaya diri) bila berhubungan

dengan orang Aceh. Hal-hal yang terkait atau berbau Gayo, misalnya bahasa,

selalu coba diubah atau disembunyikan supaya tidak kentara identitas Gayo nya.

6
Sejumlah tokoh pemerhati sejarah, adat dan budaya Gayo menyepakati

tahun 2009 adalah tahun kebangkitan Orang Gayo dalam hal penggalian sejarah,

adat dan budaya Gayo yang dimotori oleh kalangan muda di dataran Tinggi Gayo.

Menurut budayawan Gayo, Drs. Ibnu Hajar Lut Tawar, banyak hal terjadi di tahun

2009 terkait sejarah, adat, seni dan budaya Gayo yang ditunjukkan dengan

tingginya animo mengembalikan citra dan jati diri Gayo bersumber dari kalangan

muda Gayo. Perubahan ini tidak lepas dari masuknya teknologi, yang berdampak

kepada perubahan pola pikir masyarakat di Gayo. Perubahan tersebut berkaitan

dengan perubahan komposisi penduduk yang membawa perubahan yang besar

pada pola pikir masyarakat tersebut. Ini adalah hal yang teramat rasional sekali,

ketika sebuah kelompok lain masuk, tentu akan membawa peradaban baru dari

tempatnya berasal. Hal ini pada dasarnya akan membawa perubahan-perubahan

menuju lebih baik atau menuju tidak baik, tergantung bagaimana penduduk yang

terlebih dahulu tiba atau penduduk yang datang berkolaborasi dalam interaksi

kehidupannya atau juga tidak terlepas dari kebudayaan mereka dan agama yang

mereka anut tentunya.

Perbedaan Gayo dan Aceh belum banyak diketahui oleh masyarakat,

bahkan Aceh lebih dominan daripada Gayo. Sampai kemudian muncul teknologi.

B.Pakaian Adat Suku Gayo

Kerawang Gayo adalah nama sebutan terhadap motif ukir pada suku Gayo.

Kerawang Gayo berkembang pada ukiran kain.

Pakaian adat ini sering digunakan saat pesta pernikahan dan acara adat lainnya di
wilayah tengah Provinsi Aceh, khususnya Gayo. (4)

7
Pakaian adat Gayo untuk laki laki disebut Aman Mayok, sedangkan untuk
perempuan disebut Ineun Mayok.

Berikut adalah perbedaan Aman Mayok dan Ineun Mayok.

Aman Mayok
Untuk aman mayok, pengantin pria menggunakan bulang pengkah juga berfungsi
sebagai tempat untuk menancapkan sunting.

Selain bulang pengkah, digunakan juga baju putih,celana, beberapa gelang pada
lengan, cincin, tanggang, genit rante, kain sarung, dan ponok (sejenis keris).

Unsur lain yang digunakan yaitu sanggul sempol gampang, sempol gampang bulet
yang digunakan ketika akad nikah, dan sempol gampang kenang yang digunakan
selama 10 hari setelah akad nikah diselenggarakan.

Ineun Mayak
Untuk Ineun Mayak, baju pengantin wanita terdiri dari baju, ikat pinggang
ketawak dan sarung pawak.

Untuk perhiasan menggunakan mahkota sunting, cemara, sanggul sempol


gampang, lelayang, ilung-ilung, subang ilang dan anting-anting subang gener
yang semuanya digunakan sebagai hiasan kepala.

Untuk bagian leher, tergantung pada kalung tanggal, apakah terbuat dari perak
atau uang perak tanggang birah-mani dan uang perak tanggang ringgit, serta
belgong (sejenis manik-manik).

Untuk kedua lengan hingga ujung jari, diperindah dengan berbagai jenis gelang,
seperti topong, gelang giok, gelang puntu, gelang bulet, gelang berapit dan gelang
beramur, serta berbagai jenis cincin seperti cincin sensim belam keramil, sensim
patah, sensim genta, sensim kul, sensim belilit dan sensim keselan.

Pada bagian pinggang, tidak hanya ikat pinggang, tapi juga digunakan rantai genit
rante.

Untuk pergelangan kaki digunakan gelang kaki dan tak ketinggalan upuh ulen-
ulen atau selendang.

8
C.Rumah Adat Suku Gayo

Rumah adat tradisional Gayo dikenal dengan nama umah pitu ruang, yang berarti
rumah tujuh ruang.

Rumah ini berbentuk rumah panggung yang berdiri di atas suyen (tiang) setinggi
dua meter.

Biasanya tiang rumah terbuat dari kayu damar.

Umah pitu ruang berbentuk persegi panjang dan dihuni oleh beberapa keluarga.

Panjang bangunan berkisar antara 5-9 tiang dan lebarnya sekitar empat tiang
(terdiri atas tiga ruangan).

Kedua tiang panjang (banjar tengah) di sebut reje tiang dan peteri atau mentri.

9
Letak rumah Gayo biasanya membujur dari timur ke barat dan letak tangga yang
menuju pintu masukbiasanya dari arah timur atau utara.

Rumah yang dianggap normal letaknya dibangun di arah timur sampai barat,
disebut bujur dan yang letaknya utara sampai selatan disebut lintang.

Jika sama sekali tidak mengikuti arah mata angin, maka rumah seperti ini di sebut
sirung gunting.

Rumah Adat gayo merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2–2,5
meter dengan jumlah tiang 39 batang.

Ada yang berbentuk persegi empat dan delapan, terbuat dari kayu, beratap ijuk,
dan tidak menggunakan paku serta dapat bertahan selama ratusan tahun.

Penggunaan tiang penyangga yang selalu berjumlah ganjil secara filosofi


melambangkan nilai keislaman.

Rumah adat Gayo memiliki tujuh ruang, dengan satu ruang utama yang
dinamakan lepo.

Rumah dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan rumah dengan lima ruang
memiliki 24 tiang.

Tiang – tiang tersebut berdiri pada pondasi yang terbuat dari batu kali ataupun
batu alam dan tiang – tiangnya terbuat dari kayu uyem (pinus).

10
D.Bahasa Daerah Suku Gayo

Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh suku
Gayo.

Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan Bahasa Suku Karo di Sumatra
Utara.

Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut ‘Northwest Sumatra-Barrier


Islands’ dari rumpun Bahasa Austronesia.

Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan Bahasa Gayo yang ada
di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues.

Hal tersebut disebabkan pengaruh Bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh
Timur.

Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat
pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatra Utara.

Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh Bahasa Alas dan Bahasa Karo
karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih
komunitas Gayo yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara.

11
Dialek pada Suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari
subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-
subdialek.

Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari subdialek Gayo Lues dan
Serbejadi.

Subdialek Serbejadi sendiri meliputi sub-subdialek Serbejadi dan Lukup.

Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek Bahasa Gayo sesuai dengan
persebaran Suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan
Kalul).

Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo
Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan.

Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang dinamakan dialek Bukit dan Cik.

Dalam Bahasa Gayo, memanggil seseorang dengan panggilan yang berbeda


menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa hormat.

Seperti pemakaian ko dan kam yang keduanya berarti kamu atau anda.

Panggilan ko biasa digunakan orang tua atau lebih tua kepada yang muda.

Sementara itu kata kam lebih sopan dibandingkan dengan ko.

Bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan Bahasa Gayo
lainnya.

E.lagu Daerah Suku Gayo

Tawar Sedenge adalah lagu daerah yang berasal dari Provinsi Aceh. Lagu ini lebih
tepatya berasal dari suku Gayo.

12
F.Senjata Suku Gayo

Amanremu (juga disebut Parang Amanremu, Amanremoe, Amaremoe, Meremoe,


Mermo, Semaremoe, Samaremoe atau Samaremu) adalah senjata sejenis pedang
dari Sumatra Utara, Indonesia. Senjata ini digunakan oleh suku Batak dan suku
Gayo.

Amanremu mempunyai bilah satu mata yang lurus dengan ujung yang membulat.
Pada bilahnya, dari pegangan ke ujung ketebalannya menipis dan lebarnya
melebar ke arah ujung dengan bentuk membulat di ujungnya. Pusat gravitasi bilah
terletak di ujungnya untuk meningkatkan daya pembelah. Ujung depan bagian
bawahnya membulat. Gagangnya tidak memiliki pelindung, terbuat dari kayu atau
tanduk dan biasanya berbentuk seperti garpu di ujung belakangnya. Ada beberapa
jenis gagang tergantung tempat pembuatan atau kegunaannya. Sarungnya terbuat
dari dua kepingan kayu. Dua kepingan kayu ini disatukan dengan tali rotan atau
dengan lembaran logam tipis. Bisa dikatakan amanremu adalah versi lain dari
parang.

G.Tarian Adat Suku Gayo

Tari saman adalah tarian tradisional kebanggaan warga Aceh yang telah
diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia tak benda dari Indonesia.

Tari saman adalah tarian tradisional kebanggaan warga Aceh yang telah
diakui sebagai warisan dunia tak benda sejak tahun 2011. Tarian ini sangat
unik karena tidak membutuhkan iringan musik melainkan hanya
mengandalkan gerakan tangan dan kepala. Tari Saman berasal dari daerah
Aceh dan sudah diakui dunia tentang keunikan gerakannya.

Penarinya pun sangat banyak bahkan bisa mencapai ribuan orang. Lalu,
siapa, sih, yang menciptakan tarian ini? Yuk, kenalan dengan salah satu
tarian tradisional kebanggan Indonesia berikut ini!

13
Tari Saman Berasal dari Aceh. Sumber: ANTARA Foto/Budi Candra Setya

Ada lebih dari seribu suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka
tidak heran jika negara kepulauan ini memiliki beragam jenis tari-tarian
yang berasal dari berbagai suku. Tari saman, tarian suku Gayo yang
mendiami provinsi Aceh adalah salah satunya.

Tari Saman ini dibawakan langsung oleh suku tertua di Aceh, suku Gayo
yang sebagian besar menempati wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Bener
Meriah, dan Kabuparen Gayo Lues saat merayakan peristiwa penting.

Berbeda dengan tarian lainnya yang membutuhkan iringan musik, tari asal
Suku Gayo ini hanya mengandalkan gerakan tangan, pundak, serta kepala.
Suara tepuk tangan dari para penarinya menciptakan irama tersendiri yang
membuat tarian ini terdengar begitu meriah bahkan meski tanpa iringan
musik.

Tarian ini diciptakan oleh seorang pemuka agama Islam bernama Syekh
Saman pada abad ke-14. Itulah mengapa tarian tersebut dinamakan tari
saman merujuk pada nama penciptanya.

Awalnya, tarian ini diciptakan sebagai media penyebaran agama Islam. Hal
ini juga menjawab mengapa dulunya tarian saman hanya boleh dibawakan
oleh laki-laki, dan tidak lebih dari 10 orang penari.

14
Karena dijadikan sebagai media dakwah, para penarinya juga melakukan
latihan di bawah kolong masjid agar mereka tak tertinggal waktu salat
berjamaah.

Syekh Saman mengembangkan tarian ini dari permainan tradisional


bernama Pok Ane. Ia pun melihat peluang bahwa permainan tersebut dapat
menarik lebih banyak orang untuk belajar agama Islam apabila disisipi
dengan syair-syair berisi puji-pujian kepada Allah SWT.

Sejak saat itulah, tarian ini digunakan sebagai sarana dakwah. Tidak hanya
itu, karena saat itu Aceh sedang dalam masa peperangan, ia juga
menyisipkan syair-syair penyemangat bagi para pejuang yang sedang
berperang.

Dari sumber lain menyebut jika tari tradisional ini juga berasal dari
kesenian Melayu Kuno. Pendapat tersebut diperkuat dari gerakan khas
tepuk dada dan tepuk tangan yang jadi ciri khas kesenian Melayu Kuno.

Seiring perkembangan zaman, tarian asal Aceh ini akhirnya dibawakan juga
oleh penari perempuan. Selain untuk hiburan, tari Saman mempunyai nilai
lain mulai dari keagamaan, pendidikan, sopan santun, kekompakan,
kepahlawanan, dan kebersamaan.

15

Anda mungkin juga menyukai