Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH

SUKU GAYO ACEH

ASAL USUL SUKU GAYO ACEH - Suku Gayo merupakan salah satu suku minoritas terbesar
yang bermukim di wilayah pedalaman Aceh. Asal-usul penduduk Gayo yang bermukim di gugusan
pengunungan Bukit Barisan ini hingga saat ini masih diselimuti kabut misteri. Banyak narasumber yang
berpendapat bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya.

Arti Gayo
Kata “Gayo”, antara lain, diungkapkan oleh seorang pakar berasal dari Brunai Darussalam, yaitu Prof
Dr Burhanuddin. Dia menyatakan, kata Gayo dalam bahasa Melayu Brunai Darussalam dan Malaysia adalah
“Indah” Kata ini hanya pantas diungkapkan/ dilontarkan pada saat-saat upacara tertentu.

Dari beberapa sumber yang disampaikan secara turun temurun (kekeberen/bahasa Gayo), kata Gayo berasal
dari kata “Garib “ atau “Gaib”. Hal ini berhubungan dengan datangnya  leluhur orang Gayo pertama kali ke
wilayah ini, dengan pemimpin rombongan yang datang dengan tidak nampak wujudnya, tapi suaranya
kedengaran. Ada juga yang menghubungkan kata Gayo dengan “dagroian” yang berasal dari kata-kata
“drang- gayu “, yang artinya orang Gayo. Ada juga menyebut dengan sebutan pegayon, yang artinya mata air
yang jernih.

Asal usul
Dari bermacam literatur penulis baca dan hasil diskusi beberapa orang yang pernah mendengar cerita
tentang asal usul orang Gayo dan dari tokoh-tokoh orang Gayo, secara umum penulis berkesimpulan bahwa
leluhur masyarakat Gayo berasal dari Asia, yaitu Tionghoa bagian selatan tepatnya daerah Yunan Utara dari
lembah hulu sungai Yang Tze Kig. Dia bermigrasi ke selatan menyusupi daerah Hindia Belakang (Vietnam).
Suku Gayo merupakan pecahan dari bangsa Melayu yaitu rumpun bangsa Austronesia yang termasuk
ras Melayu Mongoloid. Mereka bermigrasi ke Indonesia pada gelombang satu, Pada tahun 2000 SM - 2500
SM. Pendatang penduduk gelombang satu ini disebut Proto Melayu (Baca; Melayu Tua). Leluhur Suku Gayo
memasuki wilayah Indonesia melalui Semenanjung Melayu. Mereka masuk ke Sumatera dengan membawa
kebudayaan Neolithikum.

Mereka masuk ke Tanah Gayo dengan dua jalur.


Pertama; melewati muara sungai peusangan yang berhulu ke danau Laut Tawar. Sehingga mereka
disebut pegayon (air mata yang jernih). Bukti ini juga diperkuat dengan ditemukannya kehidupan di antara
dataran tinggi Tanoh Gayo di zaman prasejarah. Bukti lain dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya
Bidang Prasejarah Balai Arkeologi Medan dengan menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di
Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Mereka menetap di kawasan ini sejak zaman mesolitik, 3.580 tahun
yang lalu. Juga dalam penelitian tersebut, mereka dapat menemukan kerangka manusia purba yang diyakini
sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo.

Kedua, melewati jalur sungai Jambu Aye, pada tahun 300 SM mereka menyingkir ke pedalaman
wilayah Aceh. Dan ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Serta
dilatarbelakangi ekonomi, karena penduduk tersebut bermata pencaharian pencari ikan dan bercocok tanam.
Sebagian mereka ingin memperluas usahanya dan menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai yang
bermuara ke pedalaman.
Dengan bertambah waktu kemudian terjadi pembauran antara pendatang baru berikutnya yang menetap dan
berkembang di tanah Gayo. Pertama, yang berhubungan dengan berdirinya kerajaan Islam Linge. Konon
ceritanya Kerajaan Islam Linge didirikan oleh orang keturunan Persia yang datang di tanah Gayo. Begitu
juga ada yang mengatakan, orang Gayo yang berada di daerah Serule adalah keturunan mereka, dengan  ciri
- ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata cokelat gelap dan berhidung mancung. Mereka sangat berbeda
dengan bentuk fisik orang Gayo umumnya.
Ketiga, sumber yang mengatakan, bahwa dulu kala ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan
Majapahit yang bermukim dan menetap di wilayah dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah masyarakat
ini lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita masyarakat tentang “ Legenda Keris
Majapahit”.
Keempat, kedatangan masyarakat Batak Karo yang menuntut kematian saudara mereka dengan
datang untuk melihat keindahan danau Laut Tawar. Yang dibunuh oleh rakyat kerajaan Bukit. Hasil
negoisasinya menyepakati bahwa sebagian daerah kerajaan bukit diberikan pada mereka. Dengan ini
berdirilah kerajaan Cik Bebesen atau yang sering disebut dengan sebutan Batak 27.
Kelima, Pada tahun 1900 - an dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh
Belanda. Dengan kekurangannya tenaga kerja, pemerintahan kolonialisme Belanda dengan mendatangkan
pekerja dari luar daerah tanah Gayo, khususnya dari pulau Jawa.
Dengan berjalanaya waktu serta adanya interaksi antara mereka, terjadilah pembauran melalui jalur
perkawinan. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal masyarakat Gayo dan sekarang tumbuh dan
berkembang dari waktu ke waktu.

Menelusuri Sejarah Suku Gayo Melalui


Dongeng dan Bukti Arkeologi
Penemuan kerangka manusia pra Sejarah berusia 6500 tahun di Ceruk Mendale, Aceh Tengah.
Tampaknya memunculkan kegairahan baru di Gayo untuk melacak asal-usul suku Gayo. Banyak orang yang
ingin menjadikan penemuan itu sebagai bukti bahwa Gayo adalah penduduk pertama yang menghuni Aceh.
Ada banyak yang komentar yang bermunculan tentang penemuan itu. Beberapa komentar terdengar logis,
tapi tidak sedikit pula komentar yang mengaitkan penemuan itu dengan kekeberen (dongeng-dongeng)
tentang asal-usul Gayo. Seringkali terlihat pengkaitan itu tidak sinkron bahkan kontradiktif dengan kronologi
sejarah. Karena itulah melalui tulisan ini saya mencoba untuk menyusun kronologi sejarah ini secara benar.
Untuk memahami kronologis sejarah kerangka yang ditemukan di ceruk Mendale ini. Marilah kita
memfokuskan perhatian kita ke angka 6500 yang menunjukkan usia kerangka yang ditemukan itu. 6500
tahun adalah masa yang sangat singkat dan dikategorikan modern kalau dipandang dari sudut pandang
geologi. Tapi itu adalah masa yang sangat lama sekali jika dipandang dari sudut pandang sejarah peradaban
manusia. Pada masa itu, berdasarkan bukti berbagai penemuan arkeologi. Wilayah Asia Tenggara dihuni
oleh suku-suku ras negroid yang peradabannya dikenal dengan peradaban Hoa Binh-Bacson, merujuk pada
dua tempat yang berada di Tonkin Vietnam. Tempat bukti arkeologi tentang peradaban ras ini pertama kali
ditemukan. Sekitar 4500-3500 tahun yang lalu, melalui serangkaian proses migrasi yang panjang. Ras
mongoloid berbahasa Austronesia berdatangan dari daratan asia mengisi wilayah Asia Tenggara ini. Mereka
inilah yang dikenal sebagai Proto-Malay atau Melayu Tua. Ada berbagai teori mengenai asal-usul bangsa
Melayu Tua ini. Teori yang paling terkenal dan paling banyak dianut oleh ahli sejarah adalah "Teori
Yunnan". Menurut teori ini, bangsa Melayu Tua bermigrasi dari sungai Mekong. Teori Yunnan ini didukung
oleh para ahli sejarah antara lain R.H Geldern., J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slamet Muljana dan
Asmah Haji Omar. Bukti-bukti yang mendukung teori ini antara lain ditemukannya, peralatan-peralatan dari
batu  di berbagai tempat di kepulauan nusantara, yang persis seperti peralatan yang sama yang ditemukan di
Asia tengah. Kemudian teori ini juga didukung oleh bukti kemiripan adat-istiadat bangsa Melayu Tua
dengan adat istiadat bangsa Assam dan juga fakta bahwa bahasa suku-suku Melayu Tua memiliki banyak
kemiripan dengan bahasa orang Kamboja yang nenek moyangnya berasal dari hulu sungai Mekong. Suku-
suku Melayu Tua ini diyakini sebagai bangsa pelaut dan memiliki teknologi penangkapan ikan dan teknologi
pertanian yang terbilang maju pada zamannya. Karena kemampuan inilah mereka bisa berpindah dalam jarak
yang luar biasa jauh. Terbentang dari kepulauan Hawaii sampai Madagaskar. Memang ada bukti ilmiah baru
yang disampaikan oleh HUGO (Human Genome Organization) melalui sebuah penelitian genetik tentang ras
Asia yang menunjukkan adanya sebuah migrasi dari Asia Tenggara yang bergerak ke utara dan kemudian
mendiami Asia Timur. Bukan sebaliknya. Tapi juga sangat banyak bukti bahwa sebelum ada ras mongoloid,
Asia Tenggara ini dihuni oleh Ras Negroid. Kedatangan ras mongoloid ke Asia Tenggara ini, mendesak ras
negroid yang sebelumnya menghuni wilayah ini, sampai jauh ke timur dan akhirnya terkonsentrasi di sekitar
Papua dan Australia. Ketut Wiradnyana, ketua tim peneliti dalam kegiatan penggalian Ceruk Mendale ini,
kepada saya mengatakan kalau kerangka yang ditemukan itu memiliki ciri-ciri campuran mongoloid dan
negroid. Jadi apakah kerangka yang ditemukan di ceruk Mendale itu adalah kerangka nenek moyang orang
Gayo dalam pengertian yang sekarang? Kalau merujuk pada angka 6500 yang menunjukkan tahun usia
kerangka yang ditemukan. Kemudian kisah dalam kekeberen yang kita jadikan rujukan, jawabannya jelas
BUKAN! Memang pada kisah kekeberen , kita tidak akan bisa menemukan angka tahun pada kisah yang
diceritakan, jadi secara kronologi sejarah. Kapan kisah dalam kekeberen itu terjadi tidak dapat secara tepat
kita ketahui. Tapi, berdasarkan isi kisah itu. Berdasar momen-momen dan istilah yang diceritakan dalam
kisah itu. Kita bisa menelusuri titik terjauh saat momen  dalam kisah itu bermula dan titik terjauh kapan
istilah yang dipakai dalam kekeberen itu mulai dikenal manusia. Berdasarkan penelusuran seperti inilah kita
bisa memastikan. Kalau kekeberen yang ada di Gayo yang kita jadikan rujukan. Semuanya menunjukkan
bahwa orang Gayo adalah penghuni yang sangat baru di pulau Sumatra. Karena informasi yang kita dapat
berbagai rujukan itu semua berdasarkan kisah-kisah yang sudah kentara berbau Islam yang baru masuk ke
Aceh pada paruh milenium kedua. Jadi jelas sama sekali tidak ada hubungan dengan kerangka yang
ditemukan di Ceruk Mendale. Bayangkan, Rasulullah Muhammad SAW saja lahir 5000 tahun sesudah
pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal. Dalam kekeberen yang dikisahkan secara temurun dari
mulut, ada banyak kisah yang merujuk asal-usul orang Gayo ke negeri Rum alias Turki. Kisah seperti ini
yang disampaikan dalam bentuk seperti pantun, contohnya seperti di bawah ini; Anak ni reje Rum ari Ujung
Acih ...... Anak Raja negeri RUM dari Ujung Aceh Bersarung gunur ...................... Di Gayo, yang dimaksud
dengan sarung adalah seliput yang melindungi bayi di dalam perut. Gunur sendiri sejenis
timun                                          (atau labu?) dengan ukuran kira-kira sebesar semangka. Gere betih
lintang ................... Entah melintang Gere betih bujur...................... Entah membujur Gere murupe lagu
manusie.............. Tidak mirip manusia Dalam kisah ini diceritakan, karena malu. Permaisuri raja Rum,
berencana menghanyutkan sang anak ke laut (mirip kisah nabi musa). Tapi kemudian sang suami punya ide
yang lebih baik. Anak tersebut digantungkan pada layang-layang dan dibawa terbang sampai ke langit. Di
sini yang perlu kita soroti adalah negeri RUM yang berasal dari kata "Romawi", yang beribukota Istanbul,
ibu kota Turki sekarang adalah ibukota dari kerajaan Byzantium yang sebelumnya dikenal dengan nama
Romawi Timur. Sejarah berdirinya Romawi Timur ini diawali dari kekacauan di dunia Romawi yang
memakan korban lima kaisar dalam sepuluh tahun. Kekacauan itu berhenti setelah DIOCLETIANUS naik ke
tahta kekaisaran dan membagi kekaisaran Romawi yang luas menjadi Romawi Barat yanng berpusat di
Roma dan Romawi Timur yang berpusat di Turki sekarang. Diocletianus sendiri memilih berkuasa di Timur,
sementara Kekaisaran Barat dia berikan kepada temannya Maximilianus yang dalam sejarah dikenal sebagai
Kaisar Augustus. Anak dari Diocletianus, bernama Konstantinus yang menganut kristen yang dia warisi dari
Ibunya, menggantikannya sebagai Kaisar dan menjadi Kaisar kristen pertama. Konstantinus inilah yang
mendirikan  KONSTANTINOPEL ibukota Romawi Timur yang dinamakan berdasarkan namanya sendiri.
Kota ini diresmikan pada tanggal 11 Mei 330 m. Pada masa itu suku Turki sendiri masih merupakan suku
pengembara yang hidup di Asia Tengah. Diantara suku-suku bangsa Turki itu terdapat suku Uighur Aksulik,
Kashgarlik, Uyghur, Uigur dan Turfanlik yang pada tahun 840 keluar dari Mongolia melalui Kyrzyg dan
menyebar ke banyak arah termasuk Cina. Entah bagaimana ceritanya, kadang-kadang orang Gayo juga
berspekulasi bahwa mereka berasal dari suku Uighur yang juga disebut suku Hui ini. Dan sekali lagi kalau
kekeberen ini dijadikan rujukan, jelas sama sekali tidak kena dengan kerangka yang ditemukan di Ceruk
Mendale. Konstantinopel baru ditaklukkan oleh Turki Islam pada tahun 1453 dan penguasa baru ini
menguasai seluruh kekuasaan Byzantium, dan mengubah nama kota Konstantinopel menjadi Istanbul.
Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan negara Turki. Jadi kalau kita telusuri asal mulanya.
Sebenarnya kisah kekeberen yang memuat tentang negeri RUM ini bermula. tidak lebih jauh dari 1600-an.
Ketika Portugis mulai berlayar ke Nusantara. Ketika Kerajaan Aceh yang memeluk Islam meminta
pertolongan Turki untuk memerangi Portugis yang Kristen. Turki yang merupakan kekhalifahan Islam
terbesar saat itu menyambut permintaan Aceh dengan mengirimkan ahli strategi perang dan sebuah meriam.
Aceh kemudian menang dalam perang melawan portugis itu dan sebagai dampak ikutannya, Turki pun jadi
sedemikian dipuja di Aceh dan seluruh dunia Melayu (baca buku Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra:
Antara Indonesia dan Dunia). Sejak saat itu raja-raja sampai pemimpin kecil suku-suku di Aceh dan seluruh
dunia Melayu mulai merujuk silsilah mereka sampai ke raja-raja di Turki yang di dunia melayu sering
disebut sebagai negeri RUM. Kisah lain tentang asal-usul suku Gayo ini mirip dengan cerita Nabi Nuh
tentang banjir besar, tapi jelas secara kronologis sejarah ini tidak mungkin di masa nabi Nuh, karena saat itu
sudah ada istilah Selten (Sultan) seperti yang diceritakan melalui pantun di bawah ini. Surut ni waih pe
le.................... Air mulai surut Tikik-tikik teduh ni waih.............. Air berhenti (mengalir) sedikit demi sedikit
i ujung Acih........................... Di ujung Aceh Oya kati si abangen i Linge............ Itulah sebabnya abangnya
di Linge Si bensu Acih kerna oya................ Karena itulah Aceh menjadi bungsu Anak ni Selten Genali si
Ude........... Anak Sultan Genali dari Istri muda Si Linge anaken si ulubere............. Di Linge anak yang
pertama Yang menarik dalam kisah ini ada, sebutan "Selten Genali" (Sultan Genali) di sana. Seberapa tua
kisah ini bisa kita telusuri dari sejarah kapan istilah 'Sultan' ini mulai dikenal dalam peradaban manusia.
Istilah Sultan baru ada pada tahun 1037 Masehi. Berawal dari ketika pasukan Turki Seljuk di bawah
pimpinan Tughril Bey (Cucu dari Seljuk), menyerang Baghdad. Khalifah yang ketakutan dengan berbagai
cara diplomasi yang lihai membujuk Thuhril Bey (kadang disebut Tughril Beg), orang turki Islam yang tidak
bisa berbahasa Arab ini agar tidak membumi hanguskan Baghdad. Dan salah satu caranya adalah, Khalifah
memberinya gelar SULTAN , yang berarti pejabat tertinggi. Jadi jelas usia kekeberen di atas masih sangat
muda dan sama sekali tidak sinkron dengan sejarah kerangka manusia berusia 6500 tahun yang ditemukan di
Ceruk Mendale. Kalau peradaban mainstream, Eurasia yang kita jadikan rujukan. Masa ketika pemilik
kerangka di Ceruk Mendale itu hidup kira-kira sama dengan masa ketika peradaban baru mulai muncul di
daratan Eurasia. Ketika bangsa Sumeria membangun kota-kota bernama Kish, Lagash, Eridu, dan Uruk.
Yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 3300 SM. Pada masa yang sama, bangsa SEMIT yang menjadi nenek
moyang orang Arab dan Yahudi tinggal di Kanaan. Bangsa Semit baru muncul ke permukaan dan dikenal
dalam sejarah peradaban ketika pada tahun 2370 SM (Lebih dari 2000 tahun setelah pemilik kerangka di
Ceruk Mendale meninggal) Sargon dari Agade memimpin pemberontakan yang menggulingkan raja Kish.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana kronologi sejarahnya, 2000 tahun setelah pemilik kerangka di Ceruk
Mendale meninggal. Bangsa Arab dan Bangsa Yahudi saja belum ada. Nabi Ibrahim yang merupakan nenek
moyang bangsa Arab dan Bangsa Yahudi , diperkirakan hidup sekitar 1800 SM (2700 tahun setelah pemilik
kerangka di Ceruk Mendale meninggal). Bersamaan dengan saat Hammurabi mendirikan Babilonia. Jadi,
berbagai kekeberen tentang asal-usul Gayo yang memiliki 'bau-bau' Islam ini, jelas masih sangat baru kalau
dibandingkan dengan sejarah kerangka yang ditemukan di Ceruk Mendale. Menarik juga untuk kita ketahui,
kenapa orang Gayo suka sekali mengaitkan silsilahnya dengan bangsa besar dalam sejarah. Kalau kita
membaca berbagai penelitian antropologis tentang Gayo, mulai dari Hurgronje sampai Bowen. Kita dapat
menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena karakter sosiopolitik Gayo yang khas, dimana otoritas
kekuasaan didasarkan pada hubungan kekerabatan. Kalau Aceh kita jadikan sebagai pembanding. Kita akan
segera melihat kalau kekuasaan RAJA di Gayo tidak sebesar kekuasaan RAJA di Aceh. Kalau di Aceh, raja
memiliki otoritas yang sangat kuat dan berdasarkan teritorial. Sosiopolitik Aceh mengembangkan sikap takut
dan hormat dari rakyat kepada penguasa. Sementara di Gayo seorang raja hanya bisa melakukan apa yang
dia mau, sepanjang para kerabat setuju. Jadi, RAJA dalam pengertian seseorang yang memiliki otoritas
penuh sama sekali tidak dikenal di dalam kebudayaan Gayo. Sepanjang sejarahnya, setiap reje di kampung-
kampung di Gayo, selalu mendapat koreksi kalau kebijakannya tidak disukai oleh masyarakat. Gayo people,
"true republican", are born egaliterian. Tulis Bowen dalam bukunya Sumatran Politics and Poetics, Gayo
History 1900 - 1989. Karakter sosiopolitik seperti ini pulalah yang menjelaskan perilaku politik orang Gayo
sampai hari ini. Karena semua orang Gayo merasa setara (born egaliterian). Di Gayo, seorang penguasa tidak
pernah benar-benar ditakuti dan dihormati secara berlebihan. sebab pada hakikatnya seorang raja di Gayo itu
hanyalah seorang "Presiden" di sebuah republik kecil. Apapun kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan
kemauan rakyat, orang Gayo akan mengkritiknya dan fenomena itu terjadi sampai hari ini. Keterbatasan
otoritas inilah yang kemudian membuat penguasa Gayo mengembangkan kisah-kisah yang merujuk
silsilahnya kepada tokoh-tokoh atau bangsa besar dalam sejarah. Karena memang hanya dengan cara inilah,
seorang penguasa di Gayo bisa sedikit dihormati oleh masyarakatnya yang semuanya merasa tidak kurang
hebat dari sang penguasa. Kalau kekeberen yang dijadikan rujukan, masa terjauh yang bisa kita telusuri
adalah Kekeberen si Dewajadi sebagai sebagaimana diceritakan oleh Nyaq Putih kepada Hazeu pada tahun
1905. (Di dalam kultur Batak kisah yang sama dikenal dengan kisah Dewa Mula Jadi). Kekeberen si Dewa
Jadi ini berkisah tentang seseorang di daratan Asia yang memiliki layangan yang sangat besar, diterbangkan
angin bersama layangannya sampai ke Gayo (lihat kemiripannya dengan kekeberen pertama). Apa yang bisa
kita lihat dari kisah ini adalah; saat itu layang-layang sudah dikenal dan dari nama sang tokoh, kentara sekali
terlihat pengaruh Hindu. Mengingat pengaruh Hindu baru mulai menyebar di kepulauan Nusantara ini pada
abad ke I. Artinya 4500 tahun setelah pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal. Pengaruh hindu ini
masih bisa kita lihat pada aksara Batak yang berakar pada huruf-huruf yang memiliki pengaruh sanskerta.
Gayo juga dipercaya dulunya memiliki huruf-huruf seperti ini, tapi semuanya lenyap seiring dengan
diterimanya agama Islam dan Gayo pun mulai mengenal huruf Arab dan menganggap semua peradaban
sebelumnya sebagai peradaban kafir. Jadi kalau kita cermati angka 6500 yang menunjukkan angka tahun
meninggalnya pemilik kerangka di Ceruk Mendale itu. Semua sejarah bahkan kekeberen Gayo, jadi
terdengar seperti kisah kemaren sore. Apalagi kalau keberadaan kerangka itu dikaitkan dengan cerita Batak
27 yang katanya bukan penduduk asli di Gayo. Jelas ini menjadi semakin lucu, karena istilah BATAK
sendiri sebenarnya adalah klasifikasi yang diberikan oleh orang Aceh untuk membedakan penduduk
pedalaman berdasarkan Agama. Penduduk pedalaman yang bersedia menerima Islam adalah Gayo, sisanya
oleh orang Aceh diklasifikasikan sebagai Batak (baca Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia
oleh Anthony Reid). Dan kejadian itu baru terjadi sekitar tahun 1200-1300-an, bahkan mungkin lebih baru
lagi. Jauh sebelumnya, Batak dan Gayo itu jelas sebuah entitas yang sama yang hanya berbeda di detail-
detail kecil budaya dan kebiasaannya. Jadi bukankah sangat konyol secara logika, kalau test DNA yang akan
dicocokkan dengan kerangka yang ditemukan di Ceruk Mendale itu hanya mengambil sampel DNA suku
Gayo yang dipercaya sebagai suku Gayo asli dengan mengesampingkan suku Gayo yang dianggap sebagai
keturunan Batak 27. Sebab itu adalah hal yang sangat konyol, secara logika. Karena kerangka itu berusia
6500 tahun, sementara Gayo menjadi entitas yang terpisah dengan Batak baru 800 Tahun. Jadi selama 5700
tahun sebelumnya (dengan menjadikan usia kerangka sebagai acuan) Batak adalah Gayo, dan sebaliknya.
Wassalam Win Wan Nur Orang Gayo Asal Isaq Referensi : Byzantium, The Early, Norwich, John J. 1996
Byzantium, Decline and Fall, Norwich, John J. 1996 Gajosch-Nederlandchs Woordenboek. Hazeu, G.A.J.
1907 Het Gajoland en eits bewoner History of Hebrew People, CA Barton Menuju Sejarah Sumatra: Antara
Indonesia dan Dunia, Anthony Reid 2010 Nusantara, A History of Indonesia, Vlekke Bernard.1960
Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989. Bowen, John. R. 1991 Tanah Gayo dan
penduduknya. C. Snouck Hurgronje, 1996 The Greatness That Was Babylon, HWF Saggs The Indianized
State of South East Asia, W. Vella .1968 The Seljuks in Asia Minor, Frederick A Fraeger .1961 The
Sumerian, SN Kramer
SEJARAH DANAU LUT
TAWAR

KONON dahulu kala ada sebuah desa yang tersembunyi di atas gunung. Gunung-gunung melengkung
memagari wilayah tersebut. Hasil alam yang berlimpah ruah, masyarakatnya hidup serasi dengan alam.
Tersebutlah dataran Gayo, dataran tinggi di mana kemakmuran melingkupi penduduknya.
Dahulu di daerah ini, ada sebuah kolam kecil di tengah hutan yang luas lagi lebat yang di dalamnya hanya
hidup beberapa ikan saja. Airnya memancar keluar dari dalam tanah seperti air yang mendidih sangat jernih
sekali, sehingga seluruh hewan yang menghuni hutan tersebut sangat suka meminum air dari kolam itu.
Bukan saja hewan yang acap datang ke kolam itu,  bidadari dari kayangan pun konon sering mengunjungi
kolam tersebut untuk sekedar mandi sambil bermain dan bercanda sesama mereka. Menurut cerita, Putri
Bensu adalah salah satu nama dari bidadari tersebut yang turut mandi bersama dengan kakak-kakaknya
sambil berluluran di atas batu besar yang ada di tepi kolam. Sementara di sebelah bebatuan yang besar
lainnya biasanya ada seorang pemuda bernama Malim Dewa yang selalu meniup seruling dengan merdunya
untuk memikat hati sang bidadari terutama Putri Bensu. Setelah mandi para bidadari ini akan kembali ke
langit yang lebih dikenal dengan nama Negeri Antara.

Di pinggiran kolam yang jernih ini pun tumbuh sebatang pohon yang sangat besar batangnya, banyak
buahnya serta rimbun daunnya. Tempat  dimana segala jenis binatang yang hidup di hutan tersebut untuk
berteduh dari teriknya matahari dan derasnya hujan sambil beristirahat sejenak setelah melalang buana
mencari makanan, sekaligus tempat menghilangkan rasa dahaga karena kolam tersebut airnya sangat jernih
serta berada tepat di samping pohon besar. Begitu pun dengan burung-burung yang bermain dari cabang satu
ke cabang yang lainnya lagi sambil mencari makanan di atas pohon kayu yang besar tadi. Mereka memakan
buahnya sembari mencari ulat-ulat kecil yang merayap di atas cabang serta daunnya yang rimbun sebagai
makanan tambahan. Tidak hanya ada pohon besar itu di pinggir kolam tersebut, tumbuhan lainpun hidup
subur mengelilingi kolam walau memang tidak sebesar pohon yang satu itu.

Pada zaman itu hiduplah seorang  ulama yang sangat disegani dan sangat di hormati oleh masyarakat Gayo
karena keta’atannya dalam beribadah, arif dalam mendudukkan perkara lagi bijaksana dalam bersikap, ulama
ini  bernama Aulia. Sang Ulama memiliki ciri badan yang sangat berbeda dari manusia sekarang, beliau
berbadan sangat besar dan tinggi, memiliki langkah kaki yang sangat lebar, tidaklah seberapa tingginya
gunung-gunung yang menjulang di muka bumi serta dalam, panjang dan luasnya lautan di samudra. Seperti
itulah kira-kira besar badannya, luas langkahnya, hanya khayalan kita saja yang bisa menyimpulkannya.
Sehingga sang Ulama di juluki dengan nama Unok . Sampai sekarang julukan Unok masih melekat di antara
masyarakat Gayo. Biasanya diberikan kepada mereka yang berbadan besar, tinggi dan mempunyai langkah
kaki yang lebar.
Ketaatan Sang Unok dalam beribadah kepada Allah SWT menjadi tauladan di dataran tinggi Gayo. Banyak
kabaran mengatakan kalau Unok sering terlihat di tanah suci untuk beribadah apalagi ketika hari Jum’at tiba
beliau selalu mengerjakan shalat Jum’at di Mekkah, sehabis mandi beliau mengenakan pakaian yang sangat
bagus lagi bercahaya harum pula wangi tubuhnya padahal jarak Mekkah dan Gayo sangat lah jauh bila di
ukur dengan angka-angka skala, tetapi tidak bagi Unok dengan sekejap mata beliau bisa sampai di Mekkah.
Unok tidak berlama-lama berada di Mekkah, sehabis melaksanakan kewajibannya menunaikan ibadah beliau
langsung kembali lagi ke dataran tinggi Gayo, tak pernah ada yang mengetahui dengan cara apa beliau bisa
sampai di Mekkah, atau mahluk apakah yang beliau tunggangi. Mungkinkah Unok mengendarai Burak
seperti kendaraan Nabi pada saat pergi menuju Sidratul Muntaha, atau mungkin beliau terbang, karena
belum pernah ada yang melihat secara langsung. Namun menurut kabaran beliau biasanya hanya berjalan
kaki menuju ke Masjidil Haram.

Pada suatu hari yang mana menurut penanggalan sebagai hari serta bulan yang baik, turunlah sebuah ilham
atau amanah kepada Sang Ulama bahwa nanti suatu hari akan turun cobaan dari Allah SWT kepada seluruh
mahluk hidup yang ada di bumi untuk menguji siapa-siapa saja yang beriman dan siapa-siapa yang tidak di
antara mereka. Apabila dia beriman maka dia akan selamat dari cobaan ini karena memegang teguh amanat
atau perintah Tuhan, sementara yang tidak, pasti akan mendapat azab dariNya karena ingkar serta durhaka
terhadap perintahNya. Cobaan yang maha dahsyat itu berupa banjir besar yang akan menenggelamkan
semua yang ada di bumi baik daratan maupun gunung-gunung yang tinggi sekalipun. Semua akan ikut
tenggelam saat air itu datang, dunia akan tergenang bak lautan yang luas.

Dalam ilham tersebut Unok diperintahkan untuk membuat sebuah perahu yang sangat besar agar bisa
melindungi dan menyelamatkan mahluk hidup yang beriman. Di dalam perahu itulah nanti seluruh mahluk
hidup akan tinggal sementara, makan dan minum serta bisa mengangkut bekal makanan karena tidak ada
yang mengetahui sampai kapan banjir itu akan surut atau berhenti. Entah berapa bulan atau mungkin
berbilang tahun. Perahu besar pun harus segera di buat dan akan diletakkan di sebuah tempat yang
berdekatan dengan Mekkah.

Pada hari baik, setelah ada kesepakatan untuk membuat perahu yang besar, mulailah Unok dan orang-orang
yang percaya akan alamat ilham Sang Unok mengumpulkan perkakas dan bahan-bahan yang akan digunakan
untuk membuat perahu besar tersebut. Pohon-pohon mulai di tebang, tali tambang mulai di rajut. Membuat
perahu yang besar di perlukan pohon yang besar serta banyak pula, maka Unok memutuskan untuk memilih
batang pohon besar yang ada di samping kolam ikan di tengah hutan. Dengan segera mulailah Unok menarik
kuat batang pohon tersebut karena memang sangat besar dan berumur sangat tua. Unok hampir kehabisan
tenaga namun terus menarik batang pohon tersebut, begitu kuatnya Unok menarik hingga batang pohon
tersebut tercabut beserta dengan akar-akarnya yang mengurat dalam di tanah. Setelah batang pohon besar
tadi berhasil di cabut oleh Unok maka ia membawanya dengan cara menyeret ke  tanah sampai ke tepi pantai
Laut Aceh dan meneruskanya hingga menyeberangi lautan yang luas sehingga hampir mendekati Mekkah.
Bekas akar pohon besar tadi yang tanahnya terbongkar sehingga membentuk lubang yang sangat besar serta
sangat dalam, lama-kelamaan air kolam memenuhi lubang tersebut, airnya pun semakin hari semakin banyak
hingga kolam tersebut berubah menjadi danau yang dikenal dengan nama Danau Laut Tawar dan kabarnya
bekas batang pohon besar yang diseret Unok itu kini telah menjadi Arul (sungai) yang bernama sungai
Peusangan yang mengalirkan air dari Danau Laut Tawar menuju pesisir Aceh saat ini.

Anda mungkin juga menyukai