Natasha Stacey - Bajo Settlement Historyen Terjemah Id
Natasha Stacey - Bajo Settlement Historyen Terjemah Id
com
JSTOR adalah layanan nirlaba yang membantu para sarjana, peneliti, dan mahasiswa menemukan, menggunakan, dan membangun
berbagai konten dalam arsip digital tepercaya. Kami menggunakan teknologi dan alat informasi untuk meningkatkan produktivitas dan
memfasilitasi bentuk beasiswa baru. Untuk informasi lebih lanjut tentang JSTOR, silakan hubungi support@jstor.org.
Penggunaan Anda atas arsip JSTOR menunjukkan persetujuan Anda terhadap Syarat & Ketentuan Penggunaan, tersedia di
https://about.jstor.org/terms
Konten ini dilisensikan di bawah Lisensi Internasional Creative Commons Attribution-NonCommercial-
NoDerivatives 4.0 (CC BY-NC-ND 4.0). Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjungi https://
creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/.
Pers ANUberkolaborasi dengan JSTOR untuk mendigitalkan, melestarikan, dan memperluas akses kePerahu untuk Dibakar
nama Samal digunakan oleh penutur Tagalog di Filipina untuk merujuk pada penutur bahasa Sama-
Bajau yang berbasis di darat (ibid.).
dan hal ini akrab di kalangan pejabat pemerintah Australia dan dalam literatur mengenai
penangkapan ikan Indonesia di Zona Perikanan Australia. Nama Sama digunakan untuk
menyebut bahasa yang digunakan oleh suku Bajo di Indonesia bagian timur.
Sebagai pelaut yang terampil dan spesialis maritim, orang Bajo memainkan peran
penting dalam kebangkitan Negara Gowa menjadi kekuatan politik dan ekonomi di
Indonesia bagian timur selama abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan kemudian dengan
kerajaan Bugis Bone yang kuat di timur. Makassar. Di negara-negara maritim yang
dominan ini, suku Bajo berguna sebagai penjelajah, pembawa pesan, pelaut, dan
pemanen hasil laut yang diperdagangkan ke pusat-pusat lain di Asia Timur dan
Tenggara (Reid 1983: 124–9; Collins 1995: 14).
Penyebaran pengembara perahu berbahasa Sama ke arah timur dan selatan dari
wilayah selatan Sulawesi selama tiga abad terakhir tampaknya terkait erat dengan
ekspansi dan migrasi politik dan komersial Bugis dan Makassar di wilayah tersebut, dan
dengan perkembangan negara kepulauan- jaringan perdagangan hasil laut yang luas —
khususnya teripang dan cangkang penyu — yang tersebar hingga pantai utara Australia
(Fox 1977a; Sopher 1977: 144; Sather 1993a: 218; Velthoen and Acciaioli 1993). Meskipun
tempat tinggal perahu menurun setelah abad ke-19, setelah digantikan oleh
keberadaan yang lebih berbasis pantai, perdagangan teripang dan cangkang penyu di
Indonesia bagian timur merupakan faktor penting dalam distribusi suku Bajo melalui
wilayah tersebut (Sopher 1977: 144).
Penutur sama sekarang tersebar dari Kalimantan Timur dan Sulawesi menyeberang ke
Maluku dan ke selatan di sepanjang Kepulauan Sunda Kecil. Mayoritas masyarakat penutur
bahasa Sama ditemukan di pemukiman yang tersebar di sepanjang pantai Sulawesi dan di
pulau-pulau lepas pantainya. Di Sulawesi Selatan, permukiman ditemukan di sekitar Ujung
Pandang (Makassar) dan di Kepulauan Spermonde, sepanjang pantai Teluk Bone dan lepas
pantai di Kepulauan Sembilan (Pelras 1972), seperti
10
serta di pulau-pulau kecil di Laut Flores seperti Selayar, Tanah Jampea, Bonerate dan Karompa. Di Sulawesi Tenggara, pemukiman terdapat di Pulau Kabaena, Muna,
Buton dan Tukang Besi, di pulau-pulau di Selat Tiworo, di sepanjang pantai Teluk Kendari, di Pulau Wowonii dan di utara di La Solo. Di Sulawesi Tengah, permukiman
suku Bajo terdapat di sepanjang pantai timur dan di Kepulauan Salabanka (Tomascik et al. 1997: 1221), serta di pulau kepulauan Banggai dan Togian. Di Sulawesi
Utara, masyarakat tersebar di sekitar Teluk Tomini dan di kabupaten Gorontalo dan Manado (Zacot 1978). Dilaporkan juga bahwa ada komunitas penutur Sama di
dekat Balikpapan di Kalimantan Timur dan di pulau-pulau lepas pantai timur Kalimantan (Sather 1997: 4; Tomascik et al. 1997: 1219). Di Maluku Utara, Masyarakat Bajo
ada di pulau Sula Taliabo, Senana dan Sular, di pulau Halmahera selatan, di Gala dan di pulau Jo Ronga, Kubi, Katinawe dan Dowora (Teljeur 1990: 204), serta di
Kepulauan Bacam, di Obit Pulau dan Kepulauan Kayoa (Collins 1995: 16). Di Nusa Tenggara Timur dan Barat, masyarakat dapat ditemukan di pulau Lombok,
Sumbawa, Flores, Adonara, Lomblem, Pantar, Timor, dan Roti, dan di pulau-pulau kecil lepas pantai yang terletak di dekat pulau-pulau besar tersebut (Verheijen 1986).
Komunitas-komunitas ini dihubungkan oleh ikatan kekerabatan, pernikahan, dan bahasa yang kuat. Komunitas penutur bahasa Sama-Bajau tersebar luas secara
geografis, tetapi suku Bajo merupakan kesatuan etnis minoritas di Indonesia bagian timur. Pulau Katinawe dan Dowora (Teljeur 1990: 204), serta di Kepulauan Bacam,
di Pulau Obit dan Kepulauan Kayoa (Collins 1995: 16). Di Nusa Tenggara Timur dan Barat, masyarakat dapat ditemukan di pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Adonara,
Lomblem, Pantar, Timor, dan Roti, dan di pulau-pulau kecil lepas pantai yang terletak di dekat pulau-pulau besar tersebut (Verheijen 1986). Komunitas-komunitas ini
dihubungkan oleh ikatan kekerabatan, pernikahan, dan bahasa yang kuat. Komunitas penutur bahasa Sama-Bajau tersebar luas secara geografis, tetapi suku Bajo
merupakan kesatuan etnis minoritas di Indonesia bagian timur. Pulau Katinawe dan Dowora (Teljeur 1990: 204), serta di Kepulauan Bacam, di Pulau Obit dan
Kepulauan Kayoa (Collins 1995: 16). Di Nusa Tenggara Timur dan Barat, masyarakat dapat ditemukan di pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Adonara, Lomblem, Pantar,
Timor, dan Roti, dan di pulau-pulau kecil lepas pantai yang terletak di dekat pulau-pulau besar tersebut (Verheijen 1986). Komunitas-komunitas ini dihubungkan oleh
ikatan kekerabatan, pernikahan, dan bahasa yang kuat. Komunitas penutur bahasa Sama-Bajau tersebar luas secara geografis, tetapi suku Bajo merupakan kesatuan
etnis minoritas di Indonesia bagian timur. dan Roti, dan di pulau-pulau lepas pantai kecil yang terletak di dekat pulau-pulau besar ini (Verheijen 1986). Komunitas-
komunitas ini dihubungkan oleh ikatan kekerabatan, pernikahan, dan bahasa yang kuat. Komunitas penutur bahasa Sama-Bajau tersebar luas secara geografis, tetapi
suku Bajo merupakan kesatuan etnis minoritas di Indonesia bagian timur. dan Roti, dan di pulau-pulau lepas pantai kecil yang terletak di dekat pulau-pulau besar ini (Verheijen 1986). Komunitas-komunitas
Sementara bahasa Sama adalah bahasa utama yang digunakan oleh Tukang Besi Pulau
Bajo di antara mereka sendiri, banyak juga yang berbicara Bahasa Indonesia dengan
berbagai tingkat kompetensi. Membaca dan menulis bahasa Indonesia merupakan
keterampilan penting bagi seorang nakhoda, yang harus mampu menyelesaikan surat-surat
administrasi sepertisurat jalan(tiket perjalanan) dan surat-surat berlayar lainnya untuk dirinya
dan krunya. Banyak orang Bajo berbicara bahasa Tukang Besi setempat (di mana transaksi
pasar lokal biasanya dilakukan) dan beberapa berbicara bahasa Muna-Buton, Bugis,
Makassar, dan bahasa perdagangan-Melayu lainnya. Multibahasa ini mencerminkan
11
berbagai macam orang dengan siapa mereka berhubungan melalui kegiatan maritim dan
perdagangan, dan juga sejauh mana hubungan kekerabatan mereka.
1 Pada tahun 2004, Wangi Wangi dimekarkan menjadi dua, dan kelima kecamatan tersebut digabungkan menjadi satu
kabupaten atau kabupaten baru bernama Wakatobi. Wakatobi merupakan akronim yang diambil dari nama empat nama
aslinya kecamatan.
12
13
Makanan utama yang tumbuh di pulau-pulau termasuk singkong, ubi jalar, jagung, kakao,
kacang mete, kacang tanah, sayur-sayuran, kelapa dan buah-buahan. Beras dan makanan
musiman lainnya diimpor ke pulau-pulau dari bagian lain Sulawesi Tenggara. Ikan adalah
bagian pokok dari makanan dan ekonomi lokal. Penduduk Pulau Tukang Besi terlibat dalam
kegiatan penangkapan ikan lokal untuk konsumsi dan penjualan.
Ibu kota lama negara bawahan Kaledupa adalah Buranga, tetapi sekarang Ambeua
adalah ibu kota resmi negara bagian Kaledupa.kecamatanyang meliputi Pulau Kaledupa,
pulau terdekat Hoga, dan dua pulau tak berpenghuni Lintea dan Tiwolu. Ada sepuluhdesadi
Kaledupa. Transportasi harian beroperasi antara Wanse dan Ambeua dengan kapal motor
kecil — perjalanan yang memakan waktu 2–3 jam. Pulau Hoga dulunya tidak berpenghuni
karena kekurangan pasokan air bersih, namun pada tahun 1992 pemerintah setempat
membangun rumah bergaya tradisional Buton di pulau tersebut untuk menarik wisatawan
mancanegara. Usaha ini tidak berhasil, tetapi pada tahun 1995
2 Pemakaman Bajo terletak di pulau karang kecil Otoue yang terletak di selatan Mola.
3 Bahasa Wanci, dialek lokal dari bahasa Tukang Besi, adalah lingua franca yang digunakan di pasar oleh
orang Wanci dan Bajo.
14
bangunan diambil alih oleh Operasi Wallacea, sebuah organisasi non-pemerintah yang mengundang
sukarelawan atau siswa yang membayar biaya untuk bergabung dalam ekspedisi survei terumbu karang
selama dua hingga enam minggu (Stanzel dan Newman 1997). Organisasi ini juga telah bekerja sama
dengan pemerintah Indonesia untuk merancang dan mengimplementasikan rencana pengelolaan Taman
Laut dengan menggunakan data yang telah dikumpulkannya. 4
ItukecamatanTomia meliputi pulau Tomia, Tolandono, Lintea dan Sawah. Ibu kota
Tomia adalah Waha dan ada delapan desa di pulau itu serta komunitas kecil di
Tolandono. Pada tahun 1996, Wakatobi Dive Resort didirikan oleh orang asing di Pulau
Tolandono (juga disebut Onemobaa), yang terletak di barat daya pulau utama Tomia
(Peta 2-2). Pada awal tahun 2001, resor membuka lapangan terbang sepanjang 1506 m
di Tomia untuk membawa wisatawan melalui udara langsung dari Bali.
Pulau (dankecamatan) Binongko jauh lebih kering dan terpencil dibandingkan pulau
lainnya (Burningham 1996). Selain perdagangan laut, masyarakat Binongko juga
bergerak di bidang pengerjaan logam, khususnya pembuatanparangpisau (mirip
parang) yang dianggap sebagai salah satu yang terbaik di wilayah Sulawesi. 'Tukang
Besi' sebenarnya adalah istilah Melayu untuk tukang logam atau pandai besi.
4 Operasi Wallacea sekarang memiliki program ilmu kelautan selama empat tahun (2004–08) untuk memandu penelitian
sosial dan biologi di Kaledupa, dengan dua pusat penelitian lain untuk mendukung kegiatannya di kecamatan tersebut.
Dampak dari sejumlah besar peneliti terhadap masyarakat setempat tidak diketahui tetapi Operasi Wallacea membanggakan
bahwa mendukung masyarakat melalui pengelolaan lingkungan laut yang lebih baik memiliki manfaat langsung bagi suku
Bajo yang sangat bergantung pada sumber daya laut (www.opwall.com).
5 Penjelasan rinci tentang bahasa Tukang Besi dapat ditemukan di Donohue (1999).
15
bukan identitas etnis' sejak masa Kesultanan Buton yang pernah mengklaim Kepulauan
Tukang Besi dan penduduknya sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya (Fox 1995b:
5). Istilah generik 'Buton' dengan demikian dapat mencakup sejumlah sub-etnis dari
Buton dan pulau-pulau tetangga di Sulawesi Tenggara.
Penduduk Mola sebagian besar adalah suku Bajo, tetapi beberapa perkawinan silang
telah terjadi dengan orang Tukang Besi lainnya dan dengan orang Buton, Bugis, Makassar
dan Maluku lainnya, serta dengan orang Bajo dari daerah lain di Indonesia. Banyak orang
Bajo yang tinggal di Mola Utara berasal langsung dari masyarakat lain atau tempat berlabuh
kapal di Buton, sedangkan sebagian besar penduduk paruh baya Mola Selatan lahir atau
berasal dari Mantigola pada akhir tahun 1950-an. Beberapa orang tua Bajo melaporkan
mereka lahir di laut di atas perahu kecil yang disebutsoppe. Generasi tua ini memiliki orang
tua yang lahir di tempat-tempat seperti Klingsusu, Pasar Wajo, La Goro, atau Bisaya di Buton
atau di pulau Kabaena, sebelah barat Buton. Yang lain memiliki orang tua
16
yang lahir di Oenggai (di Pulau Roti) atau di Kabir (di Pulau Pantar).
Sebagian besar generasi muda Bajo lahir di Mola.
Permukiman Mola terdiri dari deretan rumah yang dibangun langsung di atas fondasi
batu karang atau di atas tumpukan kayu di atas air, dengan setiap baris umumnya dipisahkan
oleh saluran air atau kanal dengan lebar yang berbeda-beda. Rumah-rumah individu dan
bagian desa dihubungkan dengan papan kayu yang ditempatkan secara renggang atau
bambu panjang di atas air atau jembatan yang ditinggikan di antara fondasi karang.
Beberapa bagian desa yang lebih tua memiliki pondasi batu karang yang lebih luas di depan
rumah. Pemukiman ini dapat diakses dari darat melalui dua jalur arteri batu karang utama,
satu di dekat kantor desa (kantor desa) dan satu di dekat masjid. Ada juga jalan setapak arteri
yang sejajar dengan saluran air utama. Setiap rumah di pemukiman memiliki akses langsung
ke laut. Penduduk yang lebih tua mengklaim bahwa Mola awalnya dibangun di atas air dan
cukup jauh dari daratan, sebelum jalan setapak permanen dibangun pada tahun 1960-an,
sehingga sebagai anak-anak mereka harus berenang atau bepergian dengan kano untuk
bersekolah. Saat ini, orang Bajo berkeliling pemukiman dengan berjalan kaki atau kano,
tetapi beberapa rumah yang baru dibangun di utara dan selatan hanya dapat diakses dengan
kano. Perjalanan dengan kano seringkali merupakan metode tercepat dan termudah untuk
berkeliling pemukiman dan dilakukan secara kompeten oleh orang Bajo yang terampil dari
segala usia (Gambar 2-2, 2-3 dan 2-4).
Pergerakan pasang surut berkisar hingga 2,5 m, secara berkala membuang sampah
rumah tangga dan limbah pribadi, tetapi selama air surut, terutama air pasang perbani,
bau busuk menyengat pemukiman. Pada saat air pasang sangat tinggi dan cuaca badai,
fondasi batuan dapat terendam di beberapa lokasi.
17
Gambar 2-1: Desa Mola Utara dan Mola Selatan, Pulau Wanci.
Gambar 2-2: Masjid dan rumah-rumah di sepanjang kanal utama di Mola Selatan.
18
Gambar 2-3: Rumah-rumah yang berjejer di kanal sempit di Mola Utara bagian tengah.
Gambar 2-4: Rumah yang baru dibangun di ujung utara Mola Utara.
19
Suku Mola Bajo tidak memiliki hak teritorial atau klaim atas badan air tempat mereka
membangun rumah. Hanya fondasi batu karang dan rumah-rumah yang diberi hak milik
pribadi. Rumah-rumah dibangun dari berbagai bahan — kayu, batu bata atau panel daun
lontar, dengan atap asbes, timah dan rumbia. Banyak rumah kayu yang sebenarnya dibangun
dari bahan yang dibeli dari orang Tukang Besi, terutama dari Kaledupa. Gubuk beratapkan
rumbia, dengan lantai bilah kayu atau bambu, biasanya dibangun di bagian belakang rumah
untuk digunakan sebagai tempat memasak. Karena sering kali merupakan bagian rumah
yang paling keren, ini digunakan sebagai ruang tamu serba guna, tetapi di rumah yang lebih
kecil, ruang tidur dan area memasak terdapat dalam satu struktur. Beberapa rumah memiliki
gubuk toilet kecil yang dibangun di atas tumpukan di atas air, dan satu jamban sering
digunakan oleh beberapa keluarga. Mandi paling sering dilakukan di luar ruangan,
menggunakan air tawar yang disimpan dalam toples keramik atau jerigen. Beberapa rumah
memiliki gubuk terpisah untuk digunakan sebagai tempat mencuci, sedangkan rumah bata
yang lebih baru memiliki kamar mandi.
Sejak tahun 1989 air tawar telah dipompa dari tangki-tangki di daratan melalui pipa-pipa ke
sejumlah tangki penampungan satelit. Beberapa rumah di bagian tengah pemukiman memiliki air
yang dipompa langsung ke rumah mereka. Yang lebih umum, perempuan dan anak-anak harus
mengambil air dari sumur yang terletak di Mandati I, atau membeli air dari orang lain, atau pergi
dengan kano ke desa Kapota di Pulau Kambode untuk mendapatkan air minum yang berkualitas
baik. Perempuan menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk mengumpulkan air dalam
wadah plastik dan kemudian mengangkutnya dengan kano ke rumah mereka.
Meskipun banyak bagian pemukiman memiliki listrik, listrik hanya tersedia dari
sore hingga sekitar pukul 6 pagi dan pada hari Minggu sore. Tidak setiap rumah
tangga memiliki televisi sendiri tetapi menonton TV komunal adalah hobi yang
populer, dan sekitar empat rumah, terutama milik Haji, memiliki satelit pada tahun
1995 dan dapat mengakses saluran televisi internasional.
Ada sebuah Sekolah Dasar (Sekolah Dasar Mola Utara) yang terletak di tanah di Mandati I.
Kehadiran anak-anak Bajo di sekolah tidak teratur sehingga tingkat buta huruf di masyarakat
tinggi. Hanya sedikit yang tamat SMP dan SMA, bahkan lebih sedikit lagi yang melanjutkan ke
perguruan tinggi. Orang tua yang menjunjung tinggi pendidikan dan memiliki sarana
keuangan yang diperlukan atau kontak keluarga sering menyekolahkan anaknya di Baubau
atau Kendari untuk mendapatkan standar pendidikan yang lebih tinggi. 6 Pada tahun 1995,
sekitar 20 orang dewasa muda Mola Bajo telah menyelesaikan beberapa bentuk pendidikan
tinggi di universitas di Baubau, Kendari dan Ujung Pandang, tetapi bahkan orang-orang
muda ini sulit mendapatkan pekerjaan formal.
6 Orang-orang Tukang Besi dari Kaledupa memiliki tradisi mengirim anak-anak mereka untuk tujuan pendidikan ke
daerah lain di Indonesia selama berabad-abad (Donohue 1999).
20
Bukti populasi yang lebih besar yang tinggal di Mantigola di masa lalu dapat
disimpulkan dari serangkaian fondasi karang yang lebih jauh ke laut dan dari fakta
bahwa rumah-rumah sekarang ditempatkan agak jauh satu sama lain. Mantigola disukai
oleh orang Bajo karena laguna besar yang terletak di tengah desa berfungsi sebagai
tempat berlabuh di air yang dalam. Namun, tidak seperti Mola, hanya ada sedikit jalan
setapak di sekitar Mantigola dan perlu berkeliling desa dengan kano saat air pasang.
Rumah-rumah serupa dengan yang ada di Mola, dibangun dari berbagai bahan seperti
bambu, nipah, kayu dan besi beratap, dan dibangun di atas tiang kayu langsung di atas
air atau di atas pondasi batu karang (lihat Gambar 2-5). Tidak ada listrik. Air harus
dikumpulkan dari sumur di tanah di Horuo dan diangkut dengan jerigen dengan kano.
Terisolasinya Mantigola membuat sulitnya mendapatkan makanan segar dan
perlengkapan rumah tangga, dan perempuan biasanya membeli makanan dari Horuo
atau berjalan kaki ke area pasar utama di Ambeua. Mantigola Bajo menguburkan
jenazah mereka di tanah di sebelah kanan Horuo.
Dusun Sampela terletak kurang lebih 400 m dari daratan di sisi timur laut Pulau
Kaledupa. Secara administratif merupakan bagian dari Desa Lau Lua. Populasi Sampela
(sekitar 1200 orang) tinggal di sekitar 210 rumah yang dibangun dari material
sementara (komunikasi pribadi, Chris Majors, 1998). Sebagian besar desa dapat diakses
dengan berjalan kaki melalui jalan setapak dan jembatan. Tidak ada listrik atau pasokan
air tawar setempat, sehingga harus diambil dari sumur dan diangkut dengan kano dari
Kaledupa. Tingkat imigrasi dan emigrasi di Sampela lebih rendah daripada desa-desa
Bajo lainnya. Sampela dilaporkan sangat miskin dibandingkan dengan Mola dan
Mantigola, tetapi merupakan salah satu penerima manfaat dari proyek pengembangan
masyarakat yang didanai oleh Operasi Wallacea.
21
7 Si Bilaning, salah satu laki-laki Bajo tertua di Mantigola, meninggal pada akhir 1994, dan Si Mbaga, salah satu laki-laki Bajo
tertua di Mola Selatan (dan sezaman dengan Si Bilaning) meninggal pada Mei 1996.
22
ikan pada musim timur. Mereka kemudian akan kembali ke Lembonga pada awal
musim barat. Pendirian Mantigola terjadi ketika orang Bajo meminta izin kepada Sultan
Buton untuk membangun rumah di sana karena letaknya lebih dekat ke karang lepas
pantai daripada Lembonga.
Seorang pria Bajo dari Mantigola menyatakan bahwa nama 'Mantigola' berasal dari
frase tersebutmenunggu gula, yang berarti 'menunggu gula' dalam bahasa Indonesia.
Kisah di balik namanya menarik mengingat hubungan Tukang Besi-Pulau Roti. Rupanya,
para pedagang Binongko akan berlayar ke Roti untuk membeligula air(gula dari lontar
kelapa sawit) yang kemudian dibawa kembali ke Kepulauan Tukang Besi dan dijual ke
Bajo dan orang-orang darat di lokasi Mantigola sekarang. Pedagang Binongko telah
lama menjalin hubungan dagang dengan Pepela dan penduduk lokal Roti. Beberapa
pemukim maritim pertama di Pepela adalah laki-laki Binongko.
Catatan lisan yang diberikan oleh Si Bilaning dan Si Mbaga tentang kedatangan dan
pemukiman orang Bajo di Kaledupa dapat dibandingkan dengan catatan yang dibuat oleh
Pak Kasmin, seorang Bajo dari Mola Utara, yang lulus pada tahun 1993 dari Universitas
Haluoleo dengan kualifikasi mengajar. Pak Kasmin mendokumentasikan kisah kedatangan
orang Bajo di Kaledupa berdasarkan wawancara dengan beberapa orang tua di Mola dan
Mantigola, antara lain Si Bilaning dan Si Mbaga:
Sebelum orang Bajo datang ke Kepulauan Tukang Besi mereka tinggal di Pasar
Wajo [pantai selatan Buton]. Suatu saat di tahun 1850-an, beberapaperahubidu
[perahu kayu besar] danperahusoppe[perahu kayu kecil] berangkat untuk
mensurvei kondisi Kepulauan Tukang Besi. Mereka menemukan pulau-pulau itu
berada di lokasi yang sangat strategis dan dengan laut yang kaya
memungkinkan untuk dikembangkan. Setelah itu, mereka kembali ke Pasar
Wajo untuk meminta izin kepada Sultan Buton; mereka diberi izin pindah untuk
tinggal di Kepulauan Tukang Besi. Orang Bajo yang pindah ke Kepulauan
Tukang Besi dipimpin oleh dua orangpunggawa[pemimpin], Puah Kandora dan
Puah Doba. Mereka berlayar berkelompok dalam beberapaperahu[perahu
kayu] dengan beberapa kepala keluarga di masing-masingnyaperahu. Mereka
pertama kali singgah di Lia di Pulau Wanci. Tidak lama kemudian mereka
pindah ke Lembonga di bagian timur laut Kaledupa, dan disanalah mereka
tinggalperahubiduatausoppedan menangkap ikan serta mengumpulkan hasil
laut lainnya, dan pada saat itu mereka masih hidup berpindah-pindah. Pada
musim timur laut mereka pindah ke bagian barat daya Kaledupa yang dikenal
dengan nama Kampung Mantigola, dan mereka kembali ke Lembonga pada
musim barat. Kedatangan orang Bajo di Kepulauan Tukang Besi disambut baik
oleh Pemerintah dan masyarakat setempat dan mereka meminta izin untuk
membangun rumah di Mantigola pada tahun 1850-an (Kasmin 1993: 32–3).
Menurut Sopher (1977: 151, 268), pada abad ke-19 kepala suku dari
setiap suku Bajo bergelarpunggawa—gelar adat kepala suku
23
atau pemimpin di kalangan suku Bajo-Bugis, atau Bajo yang setia kepada pangeran Bugis atau
Makassar. Orang Bugis menggunakan istilah itu untuk memaksudkan panglima militer atau kapten
kapal (Pelras 1996: 332). Menurut Mola Bajo, Puah Doba, tokoh Bugis yang disebutkan dalam cerita
di atas, juga disebut Daeng Nyirrang. Dia menikah dengan wanita Bajo dan karena itu ada
hubungan kekerabatan yang erat antara kedua kelompok tersebut. Bajo sering mengatakan 'orang
Bugis saudara kita' ('Bugis adalah saudara kami').
Selama abad ke-19, ibu kota asli Pulau Wanci berada di Lia Togo, terletak di atas
punggung bukit dengan pemandangan laut dan pulau-pulau di sekitarnya,
khususnya Kaledupa. Lokasi tersebut dipilih untuk keamanan dari perampok budak
dan bajak laut Taosug. Sebagian besar penduduk Wanci tinggal di daerah yang
lebih tinggi di pulau itu, dan pemukiman di sepanjang pantai relatif baru. Pasar
sentral dan area komersial sebelumnya beroperasi dari Lia Mawi di pesisir pantai.
Menyusul pengamanan wilayah tersebut oleh kekuatan kolonial Belanda, sebuah
komunitas kecil Bajo didirikan di Lia Mawi tetapi ibu kota dipindahkan ke wilayah
Wanse-Pongo (Donohue 1994: 4). Tidak jelas apakah pemukiman Bajo lama di Mola
Utara sekarang didirikan saat ini, namun Si Juda dari Mantigola menyatakan bahwa
penduduk asli Mola berasal dari desa Lagoro dan Lasalimu di pantai timur Buton.
Hingga tahun 1950-an, Mantigola merupakan pemukiman Bajo terbesar di
Kepulauan Tukang Besi. Setelah itu, Bajo dari Mantigola melakukan migrasi besar-
besaran ke Mola. Bajo juga diusir oleh pemberontakan dan konflik antar
komunitas.
24
8 Salah satunya, Si Saddong, adalahkepala kampung(kepala desa) pada saat itu; dia adalah keturunan
bangsawan Bajo dan merupakan penjaga naskah Lontar langka dan berharga yang mendokumentasikan
sejarah Bajo.
25
jangkar laut dalam dekat pantai. Teluk ini sangat menarik dan memberikan
perlindungan sepanjang tahun dari angin muson timur dan barat yang kuat.
Penduduk asli Kristen terlibat dalam kegiatan pertanian, pengumpulan untaian lokal, dan
penangkapan ikan di pantai dengan perahu kecil. Mereka 'tidak terkenal karena tradisi
berlayar di laut terbuka' (Fox 1998: 126). Sejarah pemukiman masyarakat maritim Muslim di
Pepela belum terdokumentasi, tetapi Pepela secara tradisional merupakan pelabuhan bagi
bagian timur Roti (ibid.: 127). Roti penting dalam jaringan perdagangan maritim pada abad
ke-19 karena orang Roti memproduksi layar kain yang terbuat dari bahan tersebutgewang
daun palem kipas (Corypha elata) untuk perahu kecil mereka sendiri dan untuk dijual (ibid.:
126). Sketsa orang Makassarperahudari Raffles Bay di
26
Australia utara yang digambar oleh Le Breton pada tahun 1839 mengilustrasikan layar
tradisional yang diproduksi dan diperdagangkan oleh orang Roti (lihat Macknight 1976,
Gambar 33). Orang Roti juga terkenal dengan kue gula mengkristal yang terbuat dari
sari buahlontartelapak (Borassussp.) (Fox 1977b). Warga Bajo dan Pepela menuturkan,
dulu para pelaut Binongko dari Kepulauan Tukang Besi rutin berkunjung ke Pepela
untuk membelilontargula aren, yang kemudian diperdagangkan di seluruh kepulauan
Indonesia. Perdagangan ini berlanjut hingga saat ini, namun kapal dari Roti juga
berlayar ke Kepulauan Tukang Besi untuk menjual gula aren langsung ke Bajo.
Sebuah feri penumpang beroperasi setiap hari antara Kupang dan Pantai Baru, sebuah teluk
kecil berpohon bakau di sisi barat laut Roti. Sebuah perahu motor juga melakukan perjalanan
9 Misalnya, dua warga, Hassan La Musa dan Haji Saman La Duma, kini keduanya berusia 60-an, datang dari desa
Popalia di Binongko ketika masih muda saat mereka melakukan pelayaran dagang. Mereka menikah dengan
wanita lokal Rote dan menetap di Pepela, membawa serta merekaperahuteknologi. Kedua ayah mereka
sebelumnya telah berlayar ke Pepela dan berdagang dengan penduduk setempat.
27
seminggu dua kali antara Pepela dan desa Namosain di Kupang. Perjalanan
memakan waktu sekitar enam jam tergantung pada kondisi cuaca.
Pada akhir tahun 1994 terdapat 42 rumah masyarakat Bajo di Tanjung. Dari jumlah
tersebut, tiga tidak ditempati dan satu digunakan sebagai awarung(warung kecil). Selain
itu, ada tujuh rumah Bajo di Kampung Baru, dan lima di bagian utama Pepela. Secara
total, suku Bajo menempati 50 rumah di Pepela dengan jumlah penduduk sekitar 292
jiwa (134 dewasa dan 158 anak). Dari seluruh rumah tangga yang disurvei, mayoritas
orang Bajo yang tinggal di Pepela berasal dari Mola Selatan (28 rumah tangga), dengan
jumlah yang lebih sedikit berasal dari Mola Utara (8 rumah tangga), Mantigola (10
rumah tangga) dan La Manggau (2 rumah tangga). 10 Desa asal dua rumah tidak
diketahui. Sebagian besar keluarga yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah
tinggal di Pepela selama 1–3 tahun, dengan sebagian kecil telah tinggal di sana selama
4–5 tahun.
Pemukiman Bajo di Tanjung terdiri dari dua deret utama rumah yang menghadap ke
laut (Gambar 2-6). Rumah-rumah ini sangat mendasar dalam konstruksi, kebanyakan
dari mereka terangkat dari pasir dan terbuat dari panel rumbia. Beberapa bangunan
berjumlah sedikit lebih dari satu gubuk kamar. Ini mencerminkan fungsi sementara
yang mereka layani untuk orang Bajo. Beberapa rumah di Kampung Baru tidak
terangkat dari tanah dan berlantai tanah. Beberapa rumah Bajo di bagian utama desa
umumnya dibangun lebih baik dan terdiri dari rumah panggung kayu yang lebih besar.
10 Data ini hanya boleh dianggap sebagai perkiraan karena jumlah orang yang tinggal di rumah berubah dari hari
ke hari. Populasinya sangat berpindah-pindah, dan pada minggu berikutnya survei lebih banyak pria, wanita dan
anak-anak datang dari Mola dan Mantigola. Beberapa pemilik kapal sementara, kapten dan awak kapal tidur dan
makan di rumah anggota keluarga besar, sementara yang lain mungkin tinggal di rumah mereka sendiri.perahu
saat berada di Pepela di antara pelayaran mencari ikan.
28
Tidak ada pasokan air tawar di Tanjung, dan ini merupakan masalah besar bagi suku
Bajo. Kantor setempatcamat(Kelurahan) ragu-ragu untuk memberikan layanan apa pun
karena tidak ada jaminan bahwa Bajo akan tinggal secara permanen. Alasannya, orang
Bajo bisa dengan mudah meninggalkan Pepela jika situasi melaut berubah.
Konsekuensinya, orang Bajo yang melapor ke lokaldesakantor hanya diberi status
pengunjung, dan hanya beberapa orang Bajo yang memutuskan untuk menjadi
penduduk tetap.
Perempuan dan anak-anak Bajo mengalami kesulitan hidup di Tanjung, dan meskipun
kondisinya mirip dengan yang ada di Kepulauan Tukang Besi, lingkungan umumnya buruk.
Tidak ada toilet, air tawar harus dibeli dari pedagang lokal, dan para perempuan biasanya
harus berjalan sekitar satu kilometer bahkan untuk mencuci pakaian. Hanya beberapa anak
yang bersekolah di sekolah dasar setempat. Para perempuan melaporkan bahwa ikan dan
hasil laut lebih langka di sekitar Pepela daripada di Kepulauan Tukang Besi, dan secara umum
ada kekurangan makanan di Pepela pada
29
berbeda dengan Mola dan Mantigola, terutama pada musim kemarau, yang merupakan
musim penangkapan ikan utama dan karenanya merupakan periode ketika populasinya
paling tinggi. Pasar terdekat berjarak 20 menit naik bus. Sayur-sayuran dijual oleh
masyarakat lokal Roti dari rumah ke rumah dan ikan hasil tangkapan lokal dijual langsung di
pantai. Seringkali ada persaingan di antara para wanita untuk membeli hasil tangkapan.
Selama musim timur, daging hiu kering dan ikan karang kering yang dibawa kembali dari
perjalanan memancing di Laut Timor menjadi makanan pokok orang Bajo (dan Pepelan
setempat).
30