Anda di halaman 1dari 4

IV.

Menarikhkan Silsilah Rumpun Austronesia

Penarikhkan merupakan salah satu kisi-kisi utama dalam bidang prasejarah yang tidak
mudah dibangun sendiri oleh para pakar linguistik. Secara teoritis, jika kumpulan kata-kata
dalam kosakata dasar yang digunakan untuk penggolongan leksikostatistik dapat dibuktikan
mengalami perubahan mengikuti laju yang diketahui konstan, maka proto-bahasa dapat
ditarikhkan dengan perbandingan matematis dari persentase kognat yang sama, antara pasangan-
pasangan tertentu yang terpilih di antara bahasa-bahasa turunannya.

Secara teoritis, semua pemisahan besar dalam silsilah Austronesia dapat ditrarikan. Ini
merupakan langkah besar yang begitu berarti bagi prsejarah. Tentu saja, penarikhan itu dilakukan
dengan asumsi laju perubahan kosakata pada kurun waktu tertentu, misalnya selama seribu
tahun, dapat diketahui. Asumsi inilah yang menjadi dasar bagi teknik glotto-kronologi.

Jika satu atau dua keluarga pindah ke daerah baru dan tidak lagi sering menjalin
hubungan dengan kelompok induknya, secara perlahan-lahan mereka akan mengembangkan
dialeknya sendiri. Namun, selama saling pemahaman masih diperlukan, kelompok baru itu akan
cenderung tetap dalam batas-batas bahasanya yang lama dan tidak membentuk bahasa yang
terpisah, kecuali jika bahasa-bahasa itu benar-benar terputus.

Juga dapat diasumsikan, laju pemisahan dua komunitas yang awalnya menuturkan bahasa
yang sama akan lebih cepat apabila mereka terpisah sama sekali daripada mereka
mempertahankan kontak. Gejala kedwibahasaan sebenarnya tidak mengakibatkan
penyerangaman bahasa atau menyebabkan suatu bahasa tersebar sangat luas, sebaliknya malah
melancarkan proses peragaman.

Dalam situasi yang mengakibatkan komunikasi secara luas terhambat oleh jarak yang
jauh atau medan yang sulit, tetapi tidak sama sekali terputus, dalam kurun waktu yang cukup
panjang sering akan dihasilkan satu rantai dialek. Dalam situasi seperti itu dialek di ujung-ujung
yang jauh pada rantai itu sering tidak dapat dipahami satu sama lain. Adanya rantai seperti itu
tidak akan menghentikan perubahan bahasa, tetapi mungkin memperlambatnya karena inovasi-
inovasi bahasa cenderung menjadi milik bersama secara luas dan bertumpang tindih dalam
penyebarannya, bukankah malah terlokalisasi dan terpusat pada satu komunitas. Di banyak
kawasan Asia Tenggara dan Oceania yang masih dihuni masyarakat berdasarkan kesukuan
cenderung terdapat rantai dialek seperti itu.

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa laju perubahan bahasa, setelah
ekspansi atau pemisahan komunitas bahasa, terutama akan tergantung pada kekerapan
komunikasi yang selanjutnya terjadi, situasi sosio-linguistik, dan kehadiran populasi-populasi
yang menuturkan bahasa bukan sekerabat di dekatnya. Variabel-variabel seperti itu, yang tidak
terdokumentasikan bagi komunitas prasejarah, dapat menimbulkan masalah dalam perhitungan-
perhitungan kronologis.

Ada dua asumsi dasar dalam glottokronologi. Pertama, kosakata dasar dalam semua
bahasa berubah dengan laju yang sama. Kedua, kosakata dasar lebih sulit berubah dibanding
kosakata kultural dan jarang merupakan kata pinjaman. Kosakata seperti (dua, lima, mata, dan
kutu dalam bahasa Austronesia) dapat dibuktikan lebih sulit berubah daripada kosakata dasar
lainnya. Gagasan tentang lanju konstan seperti itu, agak berbeda dengan kemantapan satu kata
dalam kosakata, sudah lama ditentang. Meskipun tidak terdapat bukti-bukti tertulis tentang
bahasa-bahasa Austronesia yang dapat langsung menunjukkan keragaman kecepatan perubahan,
sebenarnya masih mungkin bagi kita untuk menjelaskan masalalah ini dengan metode lain.
Secara teoritis, jika laju perubahan kosakata konstan sepanjang waktu, tentunya semua anak
bahasa adari suatu proto-bahasa seharusnya mempunyai kosakata dasar yang perbedaannya sama
jika diukur dari proto-bahasa sebagai induknnya.

Bahasa yang digunakan masyarakat Austronesia cenderung mempunyai lapisan-lapisan


sosial tertentu, memakai kosakata yang berbeda ketika berbicara dengan orang yang
berkedudukan tinggi, bahkan ada pula yang menggunakan kosakata sedikit berbeda jika dipakai
oleh penutur pria dan wanita, misalnya dalam bahasa Atayal.

Jelas terdapat lebih banyak faktor mendasar dalam sosiolinguistik yang berpengaruh
terhadap laju perubahan dalam masyarakat buta huruf. Seperti luasnya komunitas penutur,
kesatuan internal dan hubungan eksternal antara penutur bahasa tertentu dengan komunitas lain
dalam tingkat-tingkat hubungan bahasa yang beraneka ragam.

Laju perubahan bahasa akan dipengaruhi oleh tingakt komunikasi yang dipertahankan
antara komunitas bahasa yang sekerabat, dan oleh berbagai faktor sosiolinguistik. Kelompok-
kelompok kecil peladang holtikultura yang mandiri, terutama jika mereka mendiami suatu
kawasan yang memiliki beragam bahasa, akan cenderung memiliki laju perubahan yang cepat.
Sementara itu, dalam masyarakat pendukung peradaban yang lebih besar dan terpadu mestinya
laju perubahan akan lebih lambat, terutama jika mereka sudah mengenal tulisan.

V. Prasejarah Bahasa Indo-Malaysia: Beberapa Kemungkinan

Tidak ada petunjuk yang jeals dan meyakinkan tentang situasi bahasa-bahasa di Indonesia
dan Malaysia sebelum perluasan bahasa Austronesia. Situasi ini terjadi semata-mata karena
perluasaan Austronesia begitu berhasil dan tuntas sehingga tidak ada bekas dari bahasa yang
lebih tuda dapat bertahan kecuali bahasa Papua disebelah timur. Namun setelah itu, terdapat dua
pernyataan penting yang menyajikan bukti yang berbeda. Adelaar menyatakan menelukan jejak
substratum bahasa Austroasia di Serawat bagian barat (Adelaar 1995), yang kedua Reid (1994a)
menyatakan bahawa beberapa bahasa Negrito di Filipina mengandung jejak-jejak substratum
bahasa non-Austronesia, mungkin ini mencerminkan dulunya bahasa itu sempat menjadi bahasa
pidgin (bahasa pasar untuk berkomunikasi) yang kemudian mengalami proses dekreolisasi
(dalam pencampuran bahasa ada satu pihak yang tersisihkan sementara yang lain menjadi
dominan) karena kontak berkesinambungan dengan populasi-populasi yang berbahasa
Austronesia.

Dalam kasus di Sarawak, mungkin masyarakat yang bercocok tanam padi paling awal
telah tinggal di beberapa bagian daerah tersebut sebelum orang-orang Austronesia tiba. Karena
merurut penarikhan radiokarbon pada biji padi dari Gua Sireh,padi telah tanam menjelang 2500
SM (Bellwood et al 1992; Ipoi dan Bellwod 199. Bab 7, Bagian IIID). Selain itu, telah diketahui
sejak lama bahwa bahasa Melayu yang dipakai di Semenanjung Melayu mempunyai banyak
kata pinjaman dari bahasa Aslian, bahasa turunan dari kelompok utama bahasa pra-Austronesia
di Proto-Austronesia dan ekspansi subkelompok anak bahasanya ke selatan, bahasa-bahasa yang
digunakan di wilayah Indo-Malaysia diapit oleh dua bahasa lainnya masing-masing di barat
(Asia Tenggara dan sebagian Borneo) oleh bahasa Austronesia awal, dan Timur (Indonesia
bagian timur dan Nugini) oleh bahasa Papua awal.

Kembali ke bahasa Austronesia itu sendiri, lokasi Proto-Austronesia paling cocok


ditempatkan di Taiwan. Hubungan internal bahasa-bahasa Formosa tidak perlu dibahas di sini.
Sementara itu, bukti arkeologis yang agak terbatas di Taiwan menunjukkan adanya permukiman
Austronesia paling awal di sini yang bertarikh antara 4000 dan 3000 SM, yang dapat diketahui
dari tembikar yang menjadi ciri budaya yang pertama kali muncul sebelum tersebar di pulau-
pulau lain.

Namun munculnya Proto Austronesia tidak bertepatan dengan kurun waktu permukiman
Austronesia awal di Taiwan. Tetapi kemunculan itu justru bersamaan dengan tarikh ketika
komunitas Austronosia awal di pulau itu yang menggunakan satu bahasa atau bisa juga beberapa
bahasa, berpisah sehingga membentuk dua subkelompok, dan keduanya bertahan hidup secara
terpisah sampai sekarang.

Munculnya Proto-Austronesia dan Proto-Melayu-Polinesia tidak dengan sendirinya dapat


ditarikhkan begitu saja. Namun, dengan memperhatikan bukti-bukti arkeologis yang
menunjukkan terjadinya persebaran benda-benda budaya yang bersesuaian dengan bahasa-
bahasa itu. Jika angka rata-rata retensi Melayu-Polinesia Barat yang lebih tinggi (41%)
digunakan, hasilnya akan sekitar 2000 SM. Perbedaan itu tentu saja tidak kecil. Dari segi
tinggalan arkeologis, hampir tidak diragukan lagi bahwa rata-rata resensi Melayu-Polinesia Barat
pada umumnya adalah yang paling tepat untuk prasejarah semua bahasa Austronesia di luar
Melanesia barat.

Anda mungkin juga menyukai