Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN ANATAR KEBUDAYAAN DAN BAHASA

Menurut Koentjaraningrat di atas bahwa bahasa bagian dari kebudayaan, jadi hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di
bawah lingkup kebudayaan. Namun, ini bukanlah satu-satunya konsep yang ada dibicarakan
orang, sebab disamping itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi. Masinambouw malah menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau kebahasaan) dan
kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah
satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah
suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain,
hubungan yang erat itu berlaku sebagai “kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi
manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana
keberlangsungan sarana itu”.
Masinambouw juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan
kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat
subordinatif, mana yang menjadi main system (sistem atasan) dan mana pula yang
menjadi subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa
kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakansubsystem, tidak
ada atau belum ada yang mengatakan sebaliknya.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang
perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti
anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat, seperti hubungan antara sisi yang satu
dengan sisi yang lain pada sekeping mata uang logam. Sisi yang satu adalah sistem kebahasaan
dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan (lihat silzer, 1990). Jadi, pendapat ini mengatakan
kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat
erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Jadi sejalan dengan konsep Masinambow diatas.
Hal keduayang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat
kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf. Karena itu, hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf, dan
lazim juga disebut dengan relativitas bahasa.
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf adalah
hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot
ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nayatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam hipotesisnya
sangat kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana. Di dalam hipotesis itu
dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan
cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan
kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya
dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran
manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak
mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran
manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya
penuturnya. Konon katanya, karena dalam bahasa Barat (Inggris, Belanda dsb.) ada sistem
kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah
terikat dengan waktu. Mereka melakukan kegiatan selalu terikat dengan waktu, begitupun
kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan waktu. Misalnya,
pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi anak-anak mereka
(karena sudah menjadi kebiasaan) disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Pada 01.00
pagi meskipun masih gelap gulita, bila bertemu mereka sudah akan saling menyapa dengan
ucapan “selamat pagi” karena katanya hari sudah pagi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia, karena
dalam bahasanya tidak ada sistem kala, maka katanya menjadi tidak memperhatikan akan waktu.
Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa jam kemudian. Itulah
sebabnya, katanya ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia, tetapi tidak ada di bangsa-
bangsa yang di dalam bahasanya ada sistem kala.
Hipotesis Sapir-Whorf ini menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya
perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab melihat kenyataan (realitas) berbeda
dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Whorf menegaskan
relitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita memberinya nama
satu per satu. Yang menjadi sebenarnya menurut Whorf adalah sebaliknya, kita mambuat peta
realitas itu yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita pakai dan bukan atas dasar realitas itu.
Umpamanya saja jenis warna di dunia ini sama,tetapi mengapa setiap bangsa yang berbeda
bahasanya, melihat sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris misalnya, mengenal warna
dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange dan grey, tetapi penutur bahasa
Hunaco di Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu mabiru (hitam dan warna gelap
lain), melangit (putih dan warna cerah), meramar (kelompok warna merah) danmalatuy (kuning,
hijau muda dan coklat muda).[5]
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan, kalau kita mengikuti pendapat Silzer (1990)
yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat,
bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa
dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan
tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Misalnya, bangsa Inggris dan bangsa Eropa
lainnya yang tidak mengenal kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata
yaitu rice untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras dan nasi. Begitu juga tidak ada kosakata
untuk konsep lauk (teman pemakan nasi). Sebaliknya dalam budaya Indonesia ada, karena ada
budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia mempunyai kata yang berbeda untuk keempat
konsep itu.
Masyarakat Inggris tentunya mengerti akan adanya perbedaan konsep padi, gabah, beras
dan nasi itu tetapi mereka tidak merasa perlu, atau belum merasa perlu untuk saat ini dalam
menciptakan istilah baru untuk keempat konsep itu. Contoh lain, masyarakat Inggris akrab
dengan olahraga berkuda, oleh karena itu mereka
mempunyai horse, colt, stallion, pony dan mare. Lalu, bagi masyarakat Indonesia karena tidak
memerlukan, atau belum memerlukan pembedaan itu, maka dalam bahasanya juga tidak ada
kosakata untuk kelima konsep tentang kuda itu. Contoh lain mengenai adanya hubungan antara
bahasa dan budaya dapat juga kita lihat dari peribahasa atau pepatah Melayu; katanya,
peribahasa atau pepatah Melayu ini mencerminkan sifat, sikap dan keadaan bangsa Melayu (pada
waktu dulu); umpamanya, peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung”mengungkapkan bahwa orang Melayu selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
atau situasi di mana dia berkunjung; peribahasa yang berbunyi “hujan emas di negeri orang,
hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri” menyatakan bahwa orang Melayu
sangat cinta pada tanah airnya; lalu pepatah yang mengatakan “lain ladang lain
belalang” menunjukkan bahwa orang Melayu sangat memahami bahwa setiap daerah atau
bangsa mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.
Adanya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para penuturnya ada dibicarakan
oleh Koentjaraningrat, seorang pakar antropologi Indonesia; menurutnya bahwa buruknya
kemampuan orang Indonesia terhadap berbahasa Indonesia, termasuk para intelektualnya adalah
karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia; sifat-
sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi
disiplin, enggan bertanggung jawab dan suka latah atau ikut-ikutan. Sifat suka meremehkan mutu
tercermin dalam perilaku berbahasa yang “pokoknya mengerti”, sikap “pokoknya mengerti” ini
menyebabkan bahasa yang digunakan menjadi asal saja, tanpa mempedulikan bahasa yang
digunakan itu benar atau salah. Tentu saja keinginan untuk menggunakan bahasa yang baik dan
benar sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal menjadi tidak ada sama sekali; yang penting
adalah bahasa yang digunakan itu “bisa dimengerti”, soal salah atau benar itu adalah soal guru
bahasa atau penyuluh bahasa.
Sikap mental menerabas, menurut Koentjaraningrat, tercermin dalam perilaku berbahasa
berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa
keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang
ada secara alami, yang akan dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita
adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah
milik kita. Tetapi apakah benar itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui peroses
belajar.lebih-lebih kalau diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia
adalah bahasa kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus
belajar dari lingkungan kita, apalagi untuk menguasai bahasa kedua yang harus dipelajari dari
orang lain.
Sikap tuna harga diri menurut Koentjaraningrat, berarti tidak mau menghargai milik diri
sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku
berbahasa di mana karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu
menggunakan bahasa asing, dan menomor duakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi
menghargai orang asing, keset-keset di muka pintu kantor pemerintah pun bertuliskan kata-
kata “welcome” bukan “selamat datang”, pintu-pintu di atas bertuliskan “in” atau “exit” dan
bukannya “masuk” atau “keluar”, juga di pintu yang daunnya dapat di buka dua arah bertuliskan
petunjuk “push” dan “pull” dan bukannya “dorong” dan “tarik”
Sikap menjauhi disiplin tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas
mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Ujaran-ujaran seperti “Dia punya mau tidak begitu” atau
“Dia punya dua mobil” sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai
dengan kaidah yang ada; harusnya berbunyi: “Kemauannya tidak demikian” dan “Dia
mempunyai dua buah mobil”.
Sikap tidak mau bertanggung jawab menurut Koentjaraningrat tercermin dalam perilaku
berbahasa yang tidak mau memperhatikan penalaran bahasa yang benar; kalimat seperti “uang
iuran anggota terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik” sering kita dengar; kalau mau
bernalar dan bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama tidak naik,
mungkin misalnya karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya-biaya yang haras dikeluarkan;
jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa artinya dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi
kalimat itu.
Terakhir, sifat latah atau ikut-ikutan tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti
saja ucapan orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pimpinan) yang sebenarnya secara
gramatikal tidak benar, umpamanya karena ada gerakan yang bersemboyangkan
“memasyarakatkan olahraga” dan “mengolahragakan masyarakat”, maka diikuti ucapan itu,
padahal secara semantik dan gramatikal ungkapan “memasyarakatkan olahraga” memang benar,
yakni berarti menjadikan olahraga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat; tetapi ungkapan
“mengolahragakan masyarakat” itu tidak benar, sebab ungkapan itu berati “masyarakat itu
menjadi olah raga”, kalau yang dimaksud adalah menjadikan masyarakat itu berolahraga, maka
bentuknya haruslah “memperolahragakan masyarakat”.
Kalau kita kembali ke persoalan semula: bagaimana hubungan bahasa dengan
kebudayaan, maka dari uraian di atas yang diberikan oleh Koentjaraningrat (1990) ternyata yang
mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya disini dalam arti luas, termasuk sifat
dan sikap yang dimiliki oleh penutur.
Untuk lebih memeahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat adanya
budaya yang tidak sama, sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi
berikut. Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan
mengatakan “bajumu bagus sekali!” atau “wah, rumah saudara besar sekali”, maka yang dipuji
akan menjawab pujian itu dengan nada menolak dan merendah, misalnya dengan mengatakan
“ah, ini Cuma baju murah, kok!” dan “yah, beginilah namanya juga rumah di kampung”. Tetapi
kalau hal itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan ucpan “terimakasih!”.
Contoh lain kalau pada suatu hari seorang pemuda Inggris bertemu dengan teman wanitanya dan
mengatakan “hari ini kamu tampak cantik sekali!” maka si teman wanita dengan gembira akan
menjawab dengan mengatakan “terimakasih”. Tetapi kalau hal ini terjadi dalam budaya
Indonesia, maka ada kemungkinan si wanita merasa kurang senang dan mungkin juga akan
terucap jawaban “jadi, pada hari-hari lain saya tidak cantik?”. Contoh lain, dalam budaya
indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita; sedangkan wanita tidak
dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat seperti “Amiah akan mengawini si Dul”
tidak diterima. Sebaliknya dalam budaya Inggris, baik laki-laki maupun wanita dapat menikahi
lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering
disampaikan secara tidak langsung dengan menggunkan bahasa kias atau bahasa isyarat; tetapi
dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.

Anda mungkin juga menyukai