Dosen Pengampu :
Nuraini, M.Pd., Kons
Disusun oleh :
Andini Puspa Ningrum
1901015004
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang
dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona.
Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari
sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh
berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam
kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas
dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat
unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat
pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak
dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam
bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa
dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar
disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.
Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan
nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya
dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai
makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi.
Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah
dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan
merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang
masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau
iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir
dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya
Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih
muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak
dan bisa juga berarti adik.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang
mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka
makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan.
Umpamanya kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi
dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan. Demikian pula dalam
bahasa jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma
misalnya kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan,
paduka. Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama
dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang memancarkan arti penuh
sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur
menengah yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang menyebut bahwa
tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak sopan.
Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak
kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang
sudah ada. Hal tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau
kurang ilmiah. Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan
untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata
piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme, turis
dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu
rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut
dianggap berbau feodal.