Anda di halaman 1dari 5

RESUME 4

“Pengaruh Budaya Terhadap Bahasa dan Perilaku”

Dosen Pengampu :
Nuraini, M.Pd., Kons

Disusun oleh :
Andini Puspa Ningrum
1901015004

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2022
Bahasa sangat erat berhubungan dengan budaya. Bahasa merupakan bagian dari
budaya dan bahasa memainkan peranan yang penting dalam budaya. Beberapa
ilmuwan di bidang sosial berpendapat bahwa tanpa bahasa maka budaya tidak
mungkin. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya dan budaya tidak dapat
dipisahkan dari bahasa. Jika diibaratkan pada organisme kehidupan, bahasa adalah
daging dan budaya adalah darah. Bahasa adalah cerminan budaya. Kalau diibaratkan
dengan sebongkah es di lautan, maka bahasa adalah bagian yang terlihat dengan sedikit
polesan budaya, sedangkan bagian yang tidak terlihat dan tersembunyi di bawah
permukaan air adalah budaya.Bahasa mencerminkan budaya dan bahasa dipengaruhi
serta dibentuk oleh budaya. Tanpa budaya, bahasa akan mati, tanpa bahasa, budaya
tidak akan mempunyai bentuk. Bahasa digunakan untuk memelihara dan
mengungkapkan budaya serta ikatan budaya. . Bahasa merupakan representasi
simbolik dari suatu masyarakat karena bahasa menggambarkan latar belakang budaya
dan sejarah masyarakat tersebut, serta pendekatan mereka terhadap hidup, cara
mempertahankan hidup, serta cara berpikir.

Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang
dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona.
Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari
sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh
berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam
kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas
dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.

Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat
unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat
pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak
dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam
bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa
dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar
disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.
Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan
nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.

Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya
dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai
makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi.
Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah
dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan
merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang
masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau
iwak (bahasa Jawa).

Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir
dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya
Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih
muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak
dan bisa juga berarti adik.

Fenomena lain, misalnya budaya inggris dan budaya Indonesia memandang


waktu sehari semalam yang 24 jam itu. Pukul satu malam budaya inggris mengatakan
Good morning alias selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat
malam karena memang masih malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas
siang, buadaya barat masih juga mengatakan selamat pagi; padahal budaya Indonesia
mengucapkan selamat siang karena memang hari sudah siang, matahari sudah tinggi.

Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang
mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka
makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan.
Umpamanya kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi
dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan. Demikian pula dalam
bahasa jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma
misalnya kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan,
paduka. Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama
dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang memancarkan arti penuh
sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur
menengah yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang menyebut bahwa
tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak sopan.

Orang bogor memanggil remaja lelaki dengan panggilan Neng sedangkan


panggilan itu biasanya untuk anak perempuan atau wanita muda di Bandung.
Sedangkan orang makassar dan Ambon menggunakan kata bunuh (yang tentu
sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan radio. Seperti dalam kalimat
“tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata bujur yang berarti pantat
bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih” bagi orang Batak (Karo), dan “benar”
bagi orang Kalimantan Selatan (Banjarmasin).

Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak
kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang
sudah ada. Hal tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau
kurang ilmiah. Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan
untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata
piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme, turis
dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu
rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut
dianggap berbau feodal.

Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan,


kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma,
pelacur menjadi tunasusila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ; kurang
sopan menurut pandangan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan
baru masih terus akan berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma
budaya di dalam masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas dari perkembangan
pengetahuan, pertukaran budaya, dan kemajuan informasi sekarang ini. Sebagaimana
Mansoer Pateda mengatakan bahwa bahasa yang diplesetkan sangat berhubungan erat
dengan perkembangan pemakai bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan
kemauannya.16 Misalnya kata kepala diplesetkan menjadi kelapa, tolong diplesetkan
menjadi lontong, reformasi diplesetkan menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan
menjadi partisisapi. Begitu juga dalam kalimat misalnya I am going to school menjadi
ayam goreng to school.

Anda mungkin juga menyukai