Anda di halaman 1dari 5

RESUME 7

“Empati Budaya”

Dosen Pengampu :
Nuraini, M.Pd., Kons

Disusun oleh :
Andini Puspa Ningrum
1901015004

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2022
Bagi para pendidik, guru, pemuka agama, konselor dan sebagainya, bahwa
tujuan utama mereka dalam menjalankan tugas layanan-nya adalah berusaha
mempengaruhi orang lain untuk diajak atau dibawa kearah suatu yang diinginkan.
Untuk dapat mempengaruhi pihak lain, para orang tua, guru, pemimpin, konselor harus
menampilkan suatu kompetensi tertentu. Bagi konselor harus memiliki kompetensi
professional dan personal, yang diantara kompetensi personal adalah empati. Pengaruh
merupakan salah satu hasil empati, dimana terjadi empati disitu akan muncul pengaruh.
Di mana ada pengaruh, kita dapat menduga telah terjadi beberapa identifikasi keadaan-
keadaan psikis.

Dalam bimbingan dan konseling, pembahasan masalah empati merupakan


bahasan yang sangat pokok, terutama dalam hal pembahasan konselor sebagai pribadi.
Bagaimana kepribadian konselor itu berfungsi? Bagaimana kepribadian konselor
bertemu dan bereaksi dengan pihak lainnya? Menurut Rollo May (1997:71) pertanyaan
tersebut jawabannya ada pada konsep empati. Empati adalah suatu istilah umum yang
dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi diantara kepribadian-
kepribadian.

Masalah empati telah memiliki sejarah yang panjang dalam literatur konseling
dan psikoterapi. Tulisan-tulisan tentang topic itu telah ada sejak tahun 1907, seperti
pada tulisan freud terutama berkaitan dengan konsep transferensi, beberapa teori
tentang empati telah dikemukakan meski dijumpai perkembangan dan perbedaan.
Teori-teori behavioristik, dengan paradigma positivistic, yang selalu menuntut
objektivitas, empirik, terukur, agaknya sulit menerima konsep empati ini. Sementara
para penganut humanistik dan eksistensial akan sangat hati-hati dalam mempergunakan
terminology empati. Para seniman, para penganut kebatinan, pengamal spiritual
(meditasi, tarekat, dan lain-lain) banyak mempraktekkan empati.

Jika empati diartikan bahwa seseorang masuk ke dalam diri orang lain agar
dapat merasakan dan menghayati orang lain, maka akan timbul kesan bahwa orang
tersebut akan kehilangan keakuan-nya, dan ini akan menjadi hambatan serius dalam
kepribadian seseorang atau sering disebut splits personality. Kondisi seperti itu sangat
tidak diinginkan oleh penganut humanistic. Sementara itu ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa dengan berempati seseorang di mungkinkan bisa memahami orang
lain, sehingga empati dianggap sebagai salah satu cara yang efektif untuk memahami
orang lain.

Dalam konseling lintas budaya yang melibatkan klien dan konselor yang
berbeda budaya, masalah empati budaya merupakan hal yang sangat penting,
mengingat dalam konseling lintas budaya banyak hambatan yang terjadi karena
pemahaman budaya yang berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh Pedersen yang
dikutip oleh prayitno dan Erman Amti (1994) bahwa ada lima macam sumber
hambatan, yaitu perbedaan bahasa, komunikasi non verbal, stereotipe, kecenderungan
menilai dan kecemasan.Untuk mengatasi hambatan tersebut, maka konselor dalam
konseling lintas budaya perlu melakukan empati budaya.

Persoalan empati budaya dalam konseling lintas budaya juga muncul adanya
isu etic dan emic, sebagaimana dikemukakan oleh Fukuyama yang dikutip oleh
handarini (1997). Isu etic menyangkut pemahaman klien dilihat dari budaya luar
(dalam hal ini budaya konselor atau budaya lain). Isu emic mengacu pada pandangan
bahwa pemahaman terhadap klien harus dilihat dari sudut pandang budaya klien.
Masalah emi ini menuntut keterlibatan empati dalam konseling.

Banyak ahli konseling/psikoterapi modern menekankan komunikasi sebagai


suatu hal yang sangat penting dan esensial dalam empati. Marcia, yang di kutip oleh
Ridley dan Lingle (1996) mengemukakan permasalahan komunikasi dalam empati,
yaitu banyak psikoterapis atau konselor yang berempati tetapi tidak ditunjukan dalam
cara komunikasi dengan klien. Hal ini dapat terjadi keran tiga sebab yaitu :

 Konselor tidak memberikan komunikasi empatik karena konselor ingin


membesarkan hati klien
 Konselor tidak menunjukan komunikasi yang empatik, meskipun konselor
berempati, namun tidak dapat mengkomunikasikan empatinya.
 Konselor berempati dan menunjukan dalam berkomunikasi, namun tidak
terkomunikasikan kepada klien.

Singgih D. Gunarso (1996:74–76) mengutip definisi empati dari beberapa ahli,


yaitu George dan Cristiani, bahwa empati “sebagai kemampuan untuk mengambil
kerangka berfikir klien, sehingga memahami dengan tepat kehidupan dunia dalam dan
makna–maknanya dan bias dikomunikasikan kembali dengan jelas terhadap klien
“Stewart mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat
orang lain bias memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaanya. Ia mengibaratkan
empati sebagai “to put oneself in the other person’s shoes “. Ivey mengartikan empati
menuntut untuk masuk ke pandangan dunia klien, dan untuk melihat dengan mata
mereka dan selanjutnya “ to walk in their shoes “.

Agaknya definisi–definisi di atas menunjukan seakan–akan konselor larut


dalam dunia klien. Kondisi seperti itu sangat dikhawatirkan oleh para ahli, bahwa
dengan berempati konselor dapat kehilangan individualitasnya sendiri, larut dalam
kehidupan klien, tanpa kehilangan identitas dirinya. “Yet therapist must lose their
separatedness“. Ivey dkk (1987) mengutip Rogers yang mengartikan jika “jika terapis
bias menangkap dunia pribadi klien sebagaimana melihat dan merasakan, tanpa
kehilangan keberbedaanya dari identitasnya sendiri, perubahan konstruktif nisaca akan
terjadi". Oleh karena itu identitasnya sendiri, perubahan konstruktif nisaca akan terjadi.
Oleh karena itu identitasnya sendiri, perubahan konstruktif nisaca akan terjadi. Oleh
karena itu identitasnya sendiri, perubahan konstruktif nisaca akan terjadi. Oleh karena
itu Rogers menambah istilah empathic menjadi empathic understanding.

Rollo May (1997) menggambarkan seseorang yang sedang berempati, ibarat


sebuah pemain bowling, setelah lempar bola, pemain ikut menggoyangkan bahunya
seakan mengikuti atau menggerakan bola. Atu seorang penonton sepak bola yang yang
kakinya ikut bergerak seakan ikut menendang bola. Rollo May (1997:74) menyatakan
“inilah yang di sebut empati". Suatu kepribadian yang ikut merasa dan berfikir kedalam
kepribadian lain sehingga tercapai suatu identifikasi. Dalam identifikasi ini
pemahaman antar manusia yang sebenarnya dapat terjadi.
Selanjutnya kaitanya dengan empati budaya (cultural empathic), Ridle dan
Ringle (1996) mengutip definisi dari beberapa ahli tentang empati budaya. Erikson
(1990) menggambarkan empati budaya adalah kemampuan umum atau sikap yang
menjembatani kesenjangan budaya antara terapis dank lien. Mereka menjelaskan
bahwa terapis yang berempati budaya dapat menggunakan bagian dirinya di dalam
memahami, menerima, perasaan yang menyertai klien.

Ivey, Ivey and Simek – Morgan (1993:21) menggambarkan “The use empathy
in multicultural counseling as seeing the world through another’s, hearing as they might
hear, and feel ing and experiencing their internal world “. Empati bukanlah
mencampurkan pikiran dan tindakan konselor ke dalam diri klien. Ivey dkk selanjutnya
menjelaskan bahwa empati budaya berlangsung tiga tahap, yaitu:

 Konselor mendengarkan dan mengamati klien dan respons klien.


 Konselor memperoleh kesan dari klien dan untuk mencoba untuk membawa
dan membangun suatu proses.
 Konselor mengecek akan hasil respons yang di berikan

Anda mungkin juga menyukai