“Empati Budaya”
Dosen Pengampu :
Nuraini, M.Pd., Kons
Disusun oleh :
Andini Puspa Ningrum
1901015004
Masalah empati telah memiliki sejarah yang panjang dalam literatur konseling
dan psikoterapi. Tulisan-tulisan tentang topic itu telah ada sejak tahun 1907, seperti
pada tulisan freud terutama berkaitan dengan konsep transferensi, beberapa teori
tentang empati telah dikemukakan meski dijumpai perkembangan dan perbedaan.
Teori-teori behavioristik, dengan paradigma positivistic, yang selalu menuntut
objektivitas, empirik, terukur, agaknya sulit menerima konsep empati ini. Sementara
para penganut humanistik dan eksistensial akan sangat hati-hati dalam mempergunakan
terminology empati. Para seniman, para penganut kebatinan, pengamal spiritual
(meditasi, tarekat, dan lain-lain) banyak mempraktekkan empati.
Jika empati diartikan bahwa seseorang masuk ke dalam diri orang lain agar
dapat merasakan dan menghayati orang lain, maka akan timbul kesan bahwa orang
tersebut akan kehilangan keakuan-nya, dan ini akan menjadi hambatan serius dalam
kepribadian seseorang atau sering disebut splits personality. Kondisi seperti itu sangat
tidak diinginkan oleh penganut humanistic. Sementara itu ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa dengan berempati seseorang di mungkinkan bisa memahami orang
lain, sehingga empati dianggap sebagai salah satu cara yang efektif untuk memahami
orang lain.
Dalam konseling lintas budaya yang melibatkan klien dan konselor yang
berbeda budaya, masalah empati budaya merupakan hal yang sangat penting,
mengingat dalam konseling lintas budaya banyak hambatan yang terjadi karena
pemahaman budaya yang berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh Pedersen yang
dikutip oleh prayitno dan Erman Amti (1994) bahwa ada lima macam sumber
hambatan, yaitu perbedaan bahasa, komunikasi non verbal, stereotipe, kecenderungan
menilai dan kecemasan.Untuk mengatasi hambatan tersebut, maka konselor dalam
konseling lintas budaya perlu melakukan empati budaya.
Persoalan empati budaya dalam konseling lintas budaya juga muncul adanya
isu etic dan emic, sebagaimana dikemukakan oleh Fukuyama yang dikutip oleh
handarini (1997). Isu etic menyangkut pemahaman klien dilihat dari budaya luar
(dalam hal ini budaya konselor atau budaya lain). Isu emic mengacu pada pandangan
bahwa pemahaman terhadap klien harus dilihat dari sudut pandang budaya klien.
Masalah emi ini menuntut keterlibatan empati dalam konseling.
Ivey, Ivey and Simek – Morgan (1993:21) menggambarkan “The use empathy
in multicultural counseling as seeing the world through another’s, hearing as they might
hear, and feel ing and experiencing their internal world “. Empati bukanlah
mencampurkan pikiran dan tindakan konselor ke dalam diri klien. Ivey dkk selanjutnya
menjelaskan bahwa empati budaya berlangsung tiga tahap, yaitu: