Anda di halaman 1dari 5

A.

Pengertian Empati
Menurut Rogers, empati berarti memasukkan dunia client beserta
perasaan-perasaannya ke dalam diri sendiri tanpa terhanyut oleh pikiran dan
perasaan client (Hackney, 1978). Menurut Riewanto,A. (2003), pengertian
empati dapat dianggap kelanjutan dari toleransi. Empati dapat dimaknai
sebagai kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain oleh
seorang individu atau suatu kelompok masyarakat.
Ahmadi, A. (2007 : 7), empati adalah kemampuan untuk mengambil
kerangka berpikir client sehingga memahami dengan tepat kehidupan dunia
dalam dan makna-maknanya dan bisa dikomunikasikan kembali dengan jelas
terhadap client. Dengan berempati, memungkinkan konselor untuk mendengar
dan bereaksi terhadap kehidupan perasaan client, yakni : marah, benci, takut,
menentang, tertekan, dan gembira.
Eisenberg, N. (1990 : 18) merumuskan empati sebagai kemampuan
untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa memahami dan
mengerti kebutuhan dan perasaannya. Empati menuntut untuk masuk ke
pandangan dunia client dan untuk melihat dengan mata mereka dan
selanjutnya “to walk in their shoe”.
Dari definisi empati diatas dapat disimpulkan bahwa empati
merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan
dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang
bersangkutan terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang
bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Empati berperan penting dalam
berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen,
hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-
awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin
terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak
diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam
isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh,
ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan
seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat
nonverbal orang lain.
B. Unsur-Unsur Empati
Tyhtfhfj
C. Empati dalam Proses Konseling
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas
dasar dan melalui proses empati pada proses konseling, baik konselor maupun
konseli di bawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung dalam kesatuan
psikis yang sama. Emosi dan keinginan keduanya menjadi bagian dari
kesatuan psikis yang baru. Sebagai konsekuensinya, masalah-masalah konseli
akan ditimpakan kepada seorang “manusia baru”, dan dalam hal ini konselor
menanggung setengahnya. Stabilitas psikolgis dan kejelasan pikiran,
keberanian dan kekuatan keinginan yang dimiliki konselor akan menyusup
kedalam diri konseli, dan memberikan bantuan yang besar dalam perjuangan
kepribadianya.
Hendaknya dipahami dengan jelas bahwa empati bagi konselor tidak
lantas berarti mengidentifikasi pengalaman dirinya dengan konseli.
Identifikasi dangkal yang dimaksud terjadi ketika konselor memberikan
komentar seperti “Ya, itu juga terjadi pada diri saya ketika saya begini pada
usia sekian”. Kecuali dalam kondisi yang jarang terjadi, dalam konseling yang
benar sesungguhnya tidak ada tempat bagi kenangan nostalgia konselor.
Semua kenangan nostalgia konselor itu berasal dari egosentrisme, dan empati
yang merupakan lawan dari egosentrisme.
Pengalaman konselor yang telah lalu tidak muncul dalam konseling
dalam bentuk seperti itu. Memahami konseli menurut polanya yang unik
merupakakn tugas konselor yang sesungguhnya. Dan jika konselor berkata
atau berpikir bahwa, “saya pernah mengalami masalah serupa dan saya
mengatasinya dengan cara seperti ini dan ini, “ia akan memproyeksikan
dirinya kedalam situasi tersebut yang mana dapat berakibat buruk.
Di dalam konseling, pengalaman konselor sebelumnya sangat
diperlukan. Tetapi pengalaman tersebut akan memberikan sumbangan tidak
langsung. Secara teoritis, dapat dikatakan pada saat situasi konseling lebih
baik konselor melupakan bahwa ia pernah mengalami saat serupa. Fungsi
konselor adalah untuk menyerahkan dirinya, menjadi hampir tabula rasa, atau
menyerah pada situasi empatik yang terbentuk dalam konseling.
Dalam hal ini konselor juga mempunyai sifat hangat kepada client
dimana dalam hal ini sikap hangat seorang konselor kepada klien. Sifat hangat
itu adalah, ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Konseli
yang datang meminta bantuan konselor pada umunya kurang mengalami
kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk
bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling,
client ingin mendapat rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan
konselor. Apabila hal tersebut diperoleh, maka client dapat mengalami
perasaan nyaman.
Tidak hanya itu, seorang konselor harus ramah, penuh perhatian, dan
memberikan kasih sayang kepada client yang sedang mempunyai masalah,
sehingga klien merasa nyaman dan diperhatikan dalam proses konseling oleh
konselor. Dengan begitu klien akan membuka dirinya, sehingga apa yang
diceritakan sesuai dengan apa yang dihadapi client. Hangat yang dimaksud ini
adanya resonansi psikologis yang dapat memberikan kepuasan dua belah
pihak. Kehangatan ini sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam
berhubungan dengan orang lain. Kehangatan dibentuk dalam suatu interaksi,
dan ini akan dirasakan oleh yang bersangkutan. Untuk menciptakan
kehangatan diperlukan adanya hubungan akrab dan sebaliknya dengan
keakraban akan membangkitkan kehangatan.
Kata kehangatan mungkin dapat disamakan dengan kata kepedulian.
Kehangatan adalah keramah tamahan dan kepedulian yang ditunjukan melalui
ekspresi wajah dan raut muka, nada suara, bahasa tubuh, sikap badan, kontak
mata, dan tindakan-tindakan non verbal lainya saat konselor berusaha
menghibur atau menunjukan empatinya kepada konselinya. Kehangatan selalu
mengungkapkan, “saya peduli denganmu dan saya tahu bahwa engkau adalah
orang yang baik.” Di sini, sama halnya perilaku manusia pada umunya,
tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata. Konselor yang mempunyai
kepedulian yang besar terhadap orang lainya tidak perlu mengungkapkan
penghiburanya secara verbal, setiap orang yang tahu pasti dapat merasakanya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2007. Psikologi sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Asih, Gusti Yuli & Margaretha Maria Shinta Pratiwi. (2010). Perilaku

Prososial Ditinjau Dari Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal

Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol. I. No 1. 33-43.

Bender, Marie. 2003. Caring Counts. United States : Abdo Consulting Group.

Eisenberg, N. & Strey, J. 1990. Empathy and its development. Cambridge:

University Press.

Fauziah Nailul. 2014. Empati Persahabatan dan Kecerdasan Adversitas Pada

Mahasiswa Yang Sedang Skripsi. Vol.13 No.1 April 2014, 78-92.

Fitriansyah,Fifit. 2014. Peranan Ekspektasi Empati dan Interaksi Dalam

Komunikasi. Jakarta-Timur. Vol.No.2.

Anda mungkin juga menyukai