Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KETERAMPILAN DASAR KONSELING

EMPATI

Dosen Pembimbing: Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi, M.A

Disusun Oleh:

Kisti Nurhayati 1511416009

Lika Susilawati 1511416017

Tri Winarni Siguntang 1511416024

Anis Sholihati 1511416026

Rizky Rahmadhani 1511416029

Rombel 1

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2018
A. Pengertian Empati

Empati adalah kemampuan untuk memahami pengalaman klien dan


ikut merasakannya atau menggaungkan emosi dari pengalaman tersebut,
seolah-olah itu adalah pengalaman Anda sendiri tanpa kehilangan unsur
“permisalan” (Roger, 1957). Empati adalah proses yang rumit dan kerap
digunakan dengan berbagai cara dan tujuan. Apabila empati digunakan
secara efektif dapat meningkatkan perasaan aman dan dimengerti, serta
kepuasan klien terhadap proses pertolongan.

Empati dan Simpati

Baik empati maupun simpati lebih kompleks dan canggih daripada


berbagi hendaya emosional. Seperti yang telah kita pahami, empati terjadi
ketika kita beresonansi dengan perasaan-perasaan dari orang lain.
Sebaliknya, simpati adalah 'sebuah respons emosional yang muncul dari
keadaan atau kondisi emosional orang lain yang tidak identik dengan emosi
dari orang lain tersebut, tetapi merupakan perasaan-perasaan kesedihan atau
keprihatinan terhadap kesejahteraan orang lain tersebut' (Eisenberg dan
Miller, 1987:92).

Pembedaan yang lebih sederhana adalah bahwa sementara empati


menempatkan saya dalam sepatu-sepatu emosional Anda, simpati sebatas
mengatakan kepada Anda bahwa saya juga berjalan searah dengan Anda.
Simpati bersifat me oriented; empati bersifat you oriented. Sebagai contoh,
sebagai respons terhadap kesedihan yang mendalam dari seorang
perempuan berumur 91 tahun yang akan meninggalkan rumahnya karena
akan memasukl panti wreda, seorang pekerja sosial muda berkata, 'Saya
tahu bagaimana perasaan Anda. Saya juga merasa sangat bersedih ketika
dulu saya harus meninggalkan flat kecil saya yang menyenangkan yang
terletak di atas taman. Saya merasa sedih setiap kali saya mengingatnya.
Anda akan baik-baik saja ketika telah sampai di sana, saya yakin itu'.
Pekerja sosial tersebut mengetahui kesedihan wanita tua tersebut dan secara
simpatik mencoba untuk memberikan kenyamanan. Sikapnya tersebut
memiliki maksud yang cukup baik, tetapi tidak bersambung dengan pikiran
dan perasaan dari wanita tua tersebut. Risikonya adalah bahwa simpati
terkadang dapat menyebabkan kecemasan dan kurang berpikir jernih.
Dengan pemikiran yang sama, para praktisi dari latar belakang
konseling dan psikoterapi terkadang memperingatkan bahaya dan risiko dari
simpati. Menurut mereka, simpati dapat mengarah kepada identifikasi,
bahkan proyeksi, sehingga konselor menjadi terlibat terlalu emosional.
Simpati dapat berarti hilangnya objektivitas. Mengatakan 'saya mengerti
bagaimana perasaan Anda' berbeda dengan ‘Anda pasti merasa sedih dan
menyesal'. Jika saya berada dalam keadaan emosi yang sama dengan Anda,
berarti kita berdua mengalami bahaya yang sama, yaitu kesedihan dan
kehilangan kontrol. Jika Saya juga merasakan kemarahan yang disebabkan
oleh ketidakadilan yang Anda alami, ini akan menjebak kita berdua dalam
sebuah kesulitan di mana kita akan saling mendorong kemarahan dan
keputusasaan: 'Anda harus komplain, Anda harus menyiarkan ini di surat
kabar; Anda harus meneriakkan ketidakadilan ini. Saya akan mendukung
Anda. Ini keterlaluan. Ini sungguh tidak adil.'
Menurut analisis ini, simpati, identifikasi, proyeksi dan transfer-
balik dapat merusak persepsi dan komunikasi kita (Gelso dan Hayes, 2002).
Sebaliknya, empati adalah memahami pikiran orang Iain tanpa pikiran
mereka sama dengan pikiran kita. Dalam menelusuri dan memahami
beragam definisi ini, menurut saya akan lebih aman jika kita membatasi
pada akar etimologis dari kedua kata tersebut. Bersikap simpati berarti
memiliki perasaan (pathos) yang sama (sym) dengan perasaan orang lain.
Bersikap empati berarti memahami, merasakan atau masuk ke dalam (em)
perasaan (pathos) dari orang lain. Kita akan berusaha untuk berpegang pada
pembedaan ini selama kita menjelajahi bagian-bagian berikutnya dari buku
ini.
Seorang konselor dalam menghadapi klien harus memiliki
kemampuan-kemampuan dasar untuk mengungkap diri klien, karena dalam
mengungkap diri tersebut terkadang harus dilakukan berulang karena bisa
saja masalah klien berlapis-lapis. Seorang konselor yang memilki empati
akan lebih mudah dipercayai oleh klien karena mereka merasa bahwa
konselor tersebut mampu memahami perasaan, pengalaman, serta pikiran
kliennya, akhirnya klien akan terbuka terhadap konselor. Agar keterampilan
empati lebih mudah muncul maka perlu dilatih supaya konselor peka
terhadap keadaan klien, pelatihannya disebut dengan pelatihan teknik
konseling yang mencangkup ungkapan perasaan konselor mngenai
perasaan, pengalaman, pikiran (keadaan dunia dalam klien) baik dengan
cara biasa (Primary Empathy (PE)) maupun dengan cara yang mendalam
atau menyeluruh (Advance Accurate Empathy (AAE)).
a. Tujuan
Tujuan dari latihan teknik empati adalah agar calon konselor mampu
memasuki dunia dalam klien melalui ungkapan empati (PE dan AAE)
yang dapat menyentuh perasaan klien. Dengan menaruh empati klien
akan terbuka dan mau mengungkapkan dunia dalam lebih jauh baik
dalam bentuk perasaan, pikiran dan pengalaman.
b. Materi
1) Latihan mengosongkan diri calon konselor dari perasaan dan pikiran
egoistic, dan masuk kedala diri klien dengan merasakan apa yang
dirasakan klien, memikirkan apa yang dipikirkan bersama klien dan
bukan merasakan serta memikirkan tentang klien.
2) Melakukan empati primer (PE) dengan mengungkapkan
 “saya dapat merasakan apa yang anda rasakan
 “saya memahami apa yang telah anda lakukan”
 “saya mengerti apa yang anda inginkan”
3) Melakukan empati tingkat tinggi (AAE) dengan mengatakan
 “saya ikut terluka dengan penderitaan anda, namun saya juga
bangga dengan kemampuan daya tahan anda”
 “saya seperti hadir di sana saat anda mengalamiya, saya
bangga dengan keberhasilan anda”
 Saya ikut terhina dengan pengalaman keji yang anda alami,
namun saya salut dengan keuletan anda membela
kebenaran”
 “saya ikut kecewa dengan perlakuan terhadap anda, namun
saya yakin anda masih mempunya iman untuk
melakukannya”
 Contoh :
Klien : orangtua terutama ayah saya amat benci dan terpukul
dengan kejadian ini. Beliau bahkan telah mengusir saya.
Namun dipihak lain roni tidak mau bertanggung jawab
dengan perbuatannya. Dia memaksa saya untuk
menggugurkan jabang bayi ini. Hati nurani saya tidak tega
bayi ini mesti hidup dan tidak bersalah.
Konselor : saya ikut terluka dengan penderitaan saudari.
Namun saya sangat salut dan menghargai sikap kemanusiaan
anda yang tinggi terhadap calon bayi itu.
4) Proses latihan
 Siapkan pasangan-pasangan peserta dan pengamat. Setiap
pasang mempelajari dialog-dialog empati yang sudah
disiapkan pembimbing
 Pelatih/pembimbin menjelaskan materi dan proses latihan
 Menonton video empati (jika ada)
 Pasangan-pasangan peserta berperan sebagai konselor dank
lien. Konselor mengosongkan diri dari sifat egois dan
melihat ke dunia dalam klien.
 Konselor dan klien melaksanakan dialog empati
 Diadakan diskusi dan evaluasi bersama hasil pengamatan
para pengamat, pembimbing, dank lien. Pembimbing dan
pengamat mengevaluasi dengan alat evaluasi.
Evaluasi berkisar pada aspek, perilaku attending (verbal dan nonverbal),
kemampuan melakukan teknik empati primer dan empati tingkat tinggi
yang akurat.
Dalam melakukan teknik empati pengamat harus secara tajam mengaati
bahasa tubuh konselor. Jika bahasa tubuhnya dilakukan dengan baik,
maka akan menunjang terhadap teknik empati. Selanjutkan akan
membantu klien terbuka dan terlibat didalam hubungan konseling.
5) Prosedur latihan
Bagilah peserta kedalam kelompok 5 orang konselor-klien-dan tiga
pengamat.
 Klien membuat pernyataan mengenai dirinya paling banyak
hingga 3 kalimat.
 Konselor menggunakan formula :
“adakah yang anda katakana bahwa….”
“nampaknya yang anda katakana adalah….”
“jadi yang anda katakan adalah….”
 Pengamat bertugas mencatat dan memberi umpan balik bagi
calon konselor, jadi bisa juga membantu calon konselor
membuat kalimat yang sesuai.
 Pembimbing memberikan tanggapan jika masih kurang.

B. Empati yang Akurat

Pemahaman empatik terdiri dari dua langkah utama:

1. “hubungan yang empatik” (emphatic rapport): merasakan dunia


klien dengan tepat dan mampu melihat melalui cara pandangnya.
2. “keselarasan komunikasi” (communication attunement) : berbagi
pemahaman secara lisan dengan klien..

dalam empati yang akurat diperlukan komunikasi. Komunikasi yang


dimaksud adalah konselor harus mampu menungkapkan pemahamannya
terhadap klien sehingga klien merasa mendapat umpan balik dari konselor.

C. Empati Kultural Dan Relasional


Empati kultural meliputi pemahaman terhadap latar belakang gender
dan kebudayaan klien. Empati kultural bersifat inklusif dan berupaya
memahami berbagai kelompok yang semuanya berbeda. Empati kultural
dapat membantu konselor memahami bagaimana cara kliennya memandang
dunia dan konteks tempat tinggalnya.

Empati rasional meliputi empati terhadap diri sendiri, orang lain, dan
relasi konseling. Dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, seorang
terapis harus mampu berpikiran terbuka dan menerima cara pandang baru
yang dimiliki kliennya sehingga akan muncul interaksi yang dapat
mengembangkan rasa empati klien. Terapis harus menanamkan rasa ingin
tau untuk mempelajari budaya klien, menghargai perbedaan budaya dengan
klien, dan memadukan perilaku mencari bantuan dan mendapatkan hasilnya
yang sesuai dengan budaya klien.

D. Rasa Malu Dan Ikatan Berempati

Rasa malu sering kali muncul dalam sebuah konseling, salah satunya
adalah rasa benci terhadap diri sendiri karena rasa malu tersebut ditekan,
disangkal atau tidak diakui. Bagi seseorang untuk menceritakan dirinya
pribadi didepan orang lain akan muncul rasa malu (Lewis, dalam Cormier,
2017). Rasa malu diduga muncul karena kurangnya sikap empati dari
orangtua, menurut Miller (1985) nilai harga diri seorang anak sebagian
besar dari kapasitas orangtua dalam menyelaraskan sikap empati dengan
anak. Selain dari hubungan orangtua, rasa malu juga muncul dari pengaruh
budaya. Hardy dan Laszloffy (1995) bependapat bahwa disetiap kelompok
budaya memiliki isu seputar rasa bangga dan rasa malu, maka dari itu
konselor atau terapis harus mampu mengidentifikasi kelompok budaya klien
karena terdapat informasi dalam menentukan perilaku apa yang pantas
untuk dilakukan agar dapat mengembangkan rasa empati bagi klien dan
konselor.
E. Empati Afektif Dan Empati Kognitif
Selain mempertahankannya agar tetap sederhana, kapan pun orang
berhenti dan berpikir tentang empati, mereka secara alami cenderung
memugar, memerinci dan menyempurnakan konsep tersebut. Pada
bentuknya yang paling dalam, empati dirasakan dalam badan. Kita secara
fisik merasakan kegembiraan, ketakutan atau kesedihan orang lain dan
karenanya mengetahui sebagian dari dunia mereka. Barangkali lebih dari
komponen empati yang lain, fakta bahwa kita memiliki fisik dan indra yang
sama membuat kita tahu pada level fisik bagaimana rasanya sedih atau
cemburu. Pada kontak yang pertama, kita muncul dan tampak di hadapan
orang lain melalui, tubuh- tubuh kita, melalui indra-indra kita. Lebih dari
dorongan ke arah pemikiran rasional, terdapat dorongan yang langsung dan
kuat untuk mengenali perasaan-perasaan orang Iain secara fisik. 'Pada
bentuknya yang paling dasar,' kata Mensch (2011: 21), 'empati bersifat
badaniah'.
Sensasi-sensasi fisik dapat dirasakan sebagai perasaan-perasaan
subjektif, dan perasaan-perasaan subjektif dapat dipikirkan, baik perasaan
subjektif kita sendiri maupun orang lain. Empati, karenanya, dapat
merupakan hasil dari pikiran maupun perasaan. Ia terdiri dari respon-respon
afektif dan kognitif, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
memahami mengapa orang Iain tersebut merasakannya.
Senada dengan itu, Feshbach (1987) melihat empati terdiri dari tiga proses:
kemampuan kognitif untuk melihat, memahami dan mendiskriminasikan
keadaan-keadaan emosional orang Iain; keterampilan kognitif yang lebih
matang untuk melihat hal-hal dari sudut pandang orang lain; dan sebuah
respons emosional terhadap keadaan emosional orang lain.
Definisi-denisi yang menarik dan, menurut saya, cukup membantu
untuk memahami adanya proses kognitif dan afektif dalam empati. Empati
afektif atau empati emosional dekat dengan apa yang umumnya kita pahami
sebagai respon empatik: saya merasakan kesusahan Anda, saya melihat dan
memahami kesedihan Anda, tetapi jelas bahwa Andalah yang mengalami
kesusahan dan kesedihan dan bukan saya, meskipun saya secara emosional
terpengaruh oleh hendaya Anda tersebut.
Empati kognitif didasarkan pada kemampuan melihat,
membayangkan dan memikirkan sebuah situasi dari su- dut pandang orang
lain. Ia melibatkan sebuah proses reflektif yang lebih berbasis kognitif untuk
memahami perspektif orang lain. Sebagian pengetahuan tentang riwayat,
kepribadian, keadaan dan situasi orang lain diperlukan sebelum kita dapat
menggerakkan otak kita untuk membayangkan bagaimana rasanya menjadi
orang lain tersebut. Ini melibatkan proses berpikir tentang pikiran orang lain
dipadu dengan kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain.
Bagaimana saya dapat mengetahui dan merasakan apa yang Anda rasakan
ketika Anda melihat sebuah lampu obor yang menyala di kejauhan di tengah
hutan di malam hari bergantung pada seberapa banyak yang saya tahu
tentang keadaan-keadaan Anda. Anda akan merasa lega dan gembira jika
saya tahu bahwa Anda sedang tersesat dan kaki Anda terkilir. Anda akan
merasa ragu bercampur takut jika saya tahu bahwa Anda sedang lari dari
sebuah geng jahat yang mengejar-ngejar anda. Berkebalikan dengan empati
emosional komponen-komponen kognitif dari empati di mana kita berpikir
tentang sudut pandang emosional orang lain membutuhkan waktu bertahun-
tahun untuk berkembang, dan dalam konteks pergaulan masa kecil yang
sehat (lihat Bab 4). Ketika empati kita dalam keadaan yang paling luas,
maka baik empati afektif maupun kognitif akan terlibat. Saya dapat
memahami dan merasakan dunia Anda dan sekaligus, pada saat yang sama,
membedakan dengan jelas antara pernikiran saya dan pengalaman mental
Anda. Oleh karena itu, kita harus ingat bahwa empati melibatkan proses
membayangkan dunia psikologis orang lain sekaligus mempertahankan
pembedaan yang jelas antara diri sendiri dan orang lain (Coplan, 2011:5).
Terakhir, empati bukan hanya mengetahui apa yang sedang dirasakan orang
lain dan merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain, tetapi juga
mengomunikasikan, dengan cara dan sikap yang baik, pengetahuan dan
pemahaman kita tentang pengalaman emosional orang lain tersebut. Maka,
sebagaimana para komentator menambahkan unsur komunikasi pada
perpaduan proses tersebut, kita dapat mendefinisikan empati sebagai sebuah
reaksi afektif terhadap emosi-emosi orang lain; aksi kognitif untuk
mengadopsi perspektif orang lain; sebuah pemahaman berbasis kognitif
tentang orang lain; dan komunikasi tentang pemahaman tersebut (Davis,
1994: 11).

F. Manfaat-Manfaat Empati

Davis (1994: 183) mengidentifikasi empat jenis perilaku sosial di


mana kehadiran empati tidak diragukan lagi sangat membantu. Pertama,
individu-individu yang baik dalam pengambilan perspektif, melihat dan
mengakui perasaan dari sudut pandang orang Iain akan membantu
menjuhkan konflik sosial. Atau jika terjadi konflik, mereka mampu
mengelolanya. Ketika dua individu yang berpasangan memiliki Skor yang
tinggi dalam kemampuan pengambilan perspektif, mereka akan sedikit
berargumen, memecahkan konflik lebih cepat dan menikmati sebuah
hubungan yang bisa disebut demokratis.

Kedua, empati cenderung menghasilkan komunikasi yang lebih


baik, lebih akurat dan lebih konstruktif. Para empatisan yang baik sering
kali menjadi tempat bercerita dan berkeluh-kesah dari orang-orang di
sekitarnya.

Ketiga, empati membuat orang menjadi lebih baik budi, perhatian,


dan cenderung bijaksana. Emosinya cenderung lebih stabil. Berefleksi dan
berempati membuat kita menjadi lebih penyayang, kooperatif dan peduli.
Memahami bagaimana persoalan-persoalan mungkin dipandang dan
dirasakan dari sudut pandang orang lain juga membuat kita lebih toleran dan
pemaaf (Gilbert, 2005).

Dan terakhir, para empatisan yang baik cenderung mengevaluasi


hubungan-hubungan mereka secara positif. Mereka mengekspresikan
kepuasan pada hubungan-hubungan yang mereka miliki dengan para mitra
mereka (Johnson, 2004). Mereka memiliki banyak teman dan banyak orang
suka berteman dengan mereka. Mereka memperoleh yang terbaik dari orang
Iain dan orang lain memperoleh yang terbaik dari mereka. Salah satu risiko
yang dihadapi oleh para empatisan yang buruk adalah mereka tidak
memiliki teman yang akrab, mengalami kesepian dan kesendirian.

Mereka yang memiliki kemampuan empati yang baik karenanya


membantu dunia sosial berputar. Keterampilan tersebut baik bagi kehidupan
keluarga, urusan-urusan bisnis, pembuatan keputusan dan pemecahan
masalah. Para empatisan yang akurat adalah mereka yang secara konsisten
terarnpil dalam 'membaca' pikiran dan perasaan orang lain. Jika hal-hal Iain
seimbang, mereka cenderung menjadi para penasihat yang paling bijak, para
pejabat yang paling diplomatis, para negosiator yang paling efektif, para
politisi yang paling dipilih, para sales yang paling produktif, para pengajar
yang paling berhasil, dan para terapis yang paling mengerti. (Ickes, 1997:
2)

G. Mendemonstrasikan Empati Kontektual

Mahasiswa keterampilan konseling dapat menunjukkan empathy


(empati) kontekstual dengan menggunakan pesan-pesan suara, tubuh,
verbal, dan tindakan. Kita ambil mendemonstrasikan empati kultural
sebagai contoh. Orang Inggris cenderung berbicara dengan suara lebih
lembut dibanding banyak orang Australia. Orang Jepang tidak
menggunakan kontak mata sebanyak orang-orang dari budava Barat.

Mahasiwa keterampilan konseling yang menangani orang-orang


dari berbagai macam budaya membutuhkan kemampuan untuk
mengirimkan dan menerima pesan-pesan verbal dan non-verbal secara
akurat dan tepat. Anda seharusnya tidak berasumsi bahwa niat baik akan
membawa hasil lintas-budaya yang baik.
Dalam merespon pesan-pesan verbal, mahasiswa keetrampilan
konseling perlu sensitif terhadap topik-topik yang mungkin memiliki makna
khusus bagi orang-orang dari budaya-budaya yang berbeda sebagai contoh,
keinginan akan hubungan keluarga yang harmonis sering kali mengandung
pesan kultural yang jauh lebih kuat ketika diekspresikan oleh orang-orang
Asia dibanding orang-orang Anglo Saxon, Kadang-kadang tingkat empati
yang tinggi hanya dapat ditawarkan oleh konselor-konselor yang berbicara
dengan bahasa primer klien. Konselor yang keterampilan linguistiknya
tidak match dengan klien bisa mencari jasa penerjemah dengan pengetahuan
kultural atau meruiuk ke konselor bilingual. kalau ada. Sering kali cross-
cultural sensitivity (sensitivitas lintas-budaya) jauh lebih penting dibanding
kesamaan budaya antara klien dan konselor. Kadang- kadang, klien-klien
migran mungkin lebih menyukai konselor dari budaya mayoritas mereka
karena mereka mempersepsi mereka lebih mampu membantu integrasi
mereka ke dalam budaya itu daripada orang-orang dari budayonya sendiri,

Salah satu keterampilan penting dalam memahami konteks dan


perbedaan-perbedaan klien adalah mengases apakah "masalah" mereka
berasal dari bias-bias personal orang Iain atau dari bias diskriminatorik di
dalam struktur institusional mereka. Jika demikian halnya, mahasiswa
keterampilan konseling dapat membantu klien untuk tidak
mempersonalisasikan masalahnya secara kurang semestinya dan kemudian
menyalahkan dirinya sendiri. Di samping itu, keterampilan intervensi
institusional atas nama klien dapat digunakan.

Salah satu keterampilan terkait dalam memahami dampak konteks


Klien adalah kemampuan untuk mengakses kapan klien menggunakan
konteks tersebut sebagai sebuah cara untuk menghindari melihal
perilakunya sendiri secara kritis. Sebagai contoh, migran yang hanya sedikit
berusaha atau sama sekali tidak berusaha memahami bahasa negara tuan
rumahnya memberikan kontribusi pada perasaan alienasi kulturalnya.
Dalam menunjukkan pemahaman, keseimbangan perlu diupayakan antara
mengakui sudut pandang internal klien, tetapi tidak berkolusi di dalam
upaya-upaya keliru untuk menyederhananakan dirinya sendiri sebagai
korban budaya mayoritas yang opresif. Pun jika budaya mayorilas tersebut
bersifat opresif, mahasiswa keterampilan konseling dapat memberdayakan
klien dengan berbagai keterampilan untuk mengelola hidupnya dengan
lebih baik di dalamnya. Di samping itu, Anda dapat melatih klien dengan
berbagai keterampilan untuk menangkal opresi institusional.setiap klien
memiliki riwayat hidup yang unik dan cara yang unik dalam
menginterpretasi pengaruh kultural dan pengaruh kelompok minoritas pada
dirinya. Mahasiswa keterampilan konseling perlu berhati- hati untuk
menghindari menyudutkan klien ke dalam versi konteks kultural dan
kelompok minoritas Anda, bukan memahami mereka sebagai individu-
individu.
Daftar Pustaka

Cormier, S. (2017). Strategi da Intervensi Konseling Bagi Konselor. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Howe, D. (2015). Empati: Makna dan Pentingnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Willis, S. S. (2010). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.


SIMULASI KONSELING MENUMBUHKAN EMPATI PADA
KONSELOR

Klien memasuki ruang konseling, konselor menyambut klien dengan senang hati

Konselor : senang sekali ,saya bisa bertemu dengan anda pagi ini. (sambil menjabat
tangan dan tersenyum) mari silakan duduk.

Klien : terima kasih banyak( kemudian duduk)

Konselor : bagaimana dengan kabar anda hari ini?

Klien : masih seperti biasa (terlihat murung)

Konselor: hemm… baiklah sekarang perkenalkkan diri anda terlebih dahulu?

Klien : saya rumi , dari semarang.

Konselor: baiklah, sekarang apa yang ingin rumi bicarakan dengan saya?

Klien : bagaimana yah mulai dari mana saya bingung?

Konselor : silakan utarakan saja apa yang saat ini sedang mengganjal dihati rumi?

Klien : jadi begini saya memiliki suami dan dia sibuk sekali sampai melupakan
keluarganya , berangkat pagi pulang larut malam. Anak-anak sering
complain ke ayah karena pulang malam terus dan gak pernah diajak main
dan saya sudah sering mengobrol akan hal ini, tapi suami saya tidak mau
mendegar apa yang saya katakana. Malah dia mengatakan saya tidak tahu
apa-apa tentang kariernya. Kata suami seperti ini”Kerjaanmu hanya
mengurus anak ,harusnya kamu lebih bisa mengatasi rewelnya anak-anak”.
Saya merasa selalu disalahkan oleh suami saya dan saya sudah tidak kuat
lagi dengan sikapnya dia pada saya. saya sering menangis pada malam hari
saat suami sudah terlelap tidur. Setiap hari saya selalu bersikap manis dan
biak pada suami saya tapi suami saya tetap cuek dengan saya.

Konselor : hemm (menganggukan kepala) saya dapat memahami apa yang sedang
rumi alami. Posisi seperti cukup sulit untuk rumi menerima hal baru dari
suaminya yang berubah. Lalu suami rumi berubah menjadi seperti itu
semenjak kapan?

Klien : awalnya setelah suami saya naik pangkat dikantor ,sehingga semua
berubah dan kejadian itu dua tahun yang lalu.

Konselor : sekiranya waktu 2 tahun itu cukuplah lama untuk menanggung


permasalahan ini yang mana rumi seolah-olah berjuang sendiri untuk
memperbaiki keadaan rumah tangga ini . lalu apa harapan rumi terhadap
suami dan keluarga?

Klien : saya hanya menginginkan suami saya memiliki waktu bersama dengan saya
dan anak-anak saya paling tidak sebulan sekali dia membawa kami pergi
tamasya. Dan tidak ada hal yang perlu ditutup-tutupi lagi, saya sebagai istri
akan senang hati jika suami saya mengobrol banyak dengan saya.

Konselor : dengan kata lain rumi ingin kembali pada keadaan rumah tangga semula.

Klien :iyah

Konselor : cobalah rumi untuk melihat sisi lain dari suami, kemungkinan dia
memang seperti itu karena sebuah tuntutan pekerjaan yang berat dan dia
tidak bisa membagi waktunya dengan baik. Paling tidak cobalah untuk
mengobrol dalam suasana yang baru, santai dan mencoba untuk melupakan
masalah itu sejenak dan buatlah suamimu nyaman kembali padamu.
Bicarakan dengan baik-baik harapanmu dan berusahalah untuk tetap
menjadi istri yang menyenangkan.

Klien : tapi dia menghindari saya.

Konseloe: cobalah untuk kali ini berikan kesan yang tidak seperti biasa, buatlah
lebih santai dan tidak kaku. Coba fikirkan ulang jika kamu tidak mau
bergerak dulu.

Klien : baiklah akan kucoba dan itu dengan cara yang santai.

Konselor : saya yakin kamu bisa. (menatap matanya)

Klien : terima kasih

Konselor : okey ada yang masih mengganjal lagi?( mengalihkan perhatian karena
jam sudah habis)

Klien : tidak ada ,cukup.

Konselor: okey, sesi kita kali ini sudah habis, jika msih ada keluhan silakan datang
sesi selanjutnya

Klien : dengan senang hati terima kasih banyak .(berpamitan)

Konselor : kembali kasih ,,hati-hati dijalan.

Anda mungkin juga menyukai