Karakteristik Seorang Konselor Dan Kemampuan Serta Kualitas
Sebagai Seorang Konselor
A. Karakteristik Seorang Konselor
Carl Rogers (1942), pelopor konseling humanistik, memaparkan tiga karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang konselor, yaitu: 1) Congruence; 2) Unconditional Positive Regard; 3) Empathy. 1. Congruence (kongruensi). Dapat diartikan sebagai “menunjukkan diri sendiri” sebagaimana adanya dan yang sesungguhnya, berpenampilan secara terus terang, ada kesesuaian antara apa yang dikomunikasikan secara verbal dengan yang non verbal. Congruence memiliki arti yang sejalan dengan genuine, transparency, consistency, authenticity, honesty, openness, dan realness. Kongruensi artinya tidak ada kepura-puraan dan kebohongan. Sangat penting dalam proses konseling, terkait dengan upaya menumbuhkan kepercayaan klien kepada konselor. Konselor yang menunjukan sikap kongruen diharapkan akan mendorong klien untuk bersikap yang sama, sehingga penggalian masalah dapat dilakukan secara efektif. 2. Unconditional Positive Regard (Penghargaan Positif Tanpa Syarat) Latipun (2004) mendefinisikan karakter ini sebagai sikap hangat, positif menerima serta menghargai orang lain sebagai pribadi, tanpa mengharapkan adanya pujian bagi dirinya sendiri. Penghargaan positif memiliki makna yang sama dengan warm, respect, positive affection, dan altruistic love. Konselor yang menunjukkan sikap menghargai secara positif tanpa syarat artinya tidak mengharapkan simpati dari apa yang dilakukannya. Selain itu juga konselor bersikap toleran atau menyetujui tentang apa yang dilakukan dan diungkapkan oleh orang lain. 3. Empathy (Empati) Empati adalah kemampuan untuk memahami cara pandang dan perasaan orang lain. Empati tidak berarti memahami orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri. Carl Rogers menjelaskan konsep empati ini dengan istilah internal frame of reference, artinya memahami orang lain berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan orang lain tersebut. Rogers juga menambahkan bahwa melalui empati seseorang mampu merasakan dan memahami dunia pribadi orang lain, namun tanpa kehilangan kesadaran terhadap dirinya sendiri atau terhanyut oleh pikiran dan perasaan orang lain tersebut. Ada tiga aspek dalam empati menurut Patterson (1980), yaitu: a. Keharusan bahwa konselor mendengarkan klien dan mengkomunikasikan persepsinya kepada klien. b. Ada pengertian atau pemahaman konselor tentang dunia klien. c. Mengkomunikasikan pemahamannya kepada klien Dengan adanya empati klien merasakan bahwa ada orang lain yang mau dan bersedia memahami dirinya yang sebelumya tidak ia dapatkan. (Buat ditulis di ppt, keknya gausah dimasukin ke paper) Dimick diacu dalam Latipun (2004) mengungkapkan sejumlah dimensi personal yang perlu dimiliki oleh seorang konselor, diantaranya Spontanitas Fkelsibilitas Konsentrasi Keterbukaan Stabilitas emosi Komitmen pada masalah kemanusiaan Kemampuan persuasif atau meyakinkan orang lain Totalitas Semantara itu Willis merumuskan kepribadian yang perlu dimiliki oleh seroang konselor di Indonesia, yaitu: 1. Beriman dan bertaqwa 2. Senang berhubungan dengan manusia 3. Komunikator yang terampil dan pendengar yang baik 4. Memiliki wawasan yang luas terkait manus dan aspek sosial budayanya 5. Fleksibel, tenang, dan sabar 6. Memiliki intuisi 7. Beretika 8. Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai 9. Empati,memahami, meneraima, hangat, dan bersahabat 10. Fasilitator dan motivator 11. Emosi stabil, pikiran jernih, cepat, dan mampu 12. Objektif, rasional, logis, dan konkrit 13. Konsisten dan bertanggung jawab.
B. Kemampuan Seorang Konselor
1. Konselor Mampu Melakukan Wawancara Konseling merupakan proses membantu seseorang untuk memperoleh pemahaman tentang masalah yang dihadapi, kemudian menemukan jalan untuk menanggulanginya. Wawancara konseling adalah wawancara yang hanya terjadi apabila terdapat individu yang mengalami kesulitan untuk menangani sendiri problem yang dihadapi dan memerlukan bantuan dari orang lain atau konselor yang menentukan sesi- sesi konseling yang dibutuhkan. Tujuan utama konseling adalah menolong individu untuk mengerti, menyesuaikan diri, serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan sikap dan hubungan dengan orang lain. Untuk itu terdapat beberapa bentuk respon yang disarankan, yaitu: a. Penggalian, merupakan suatu pertanyaan yang memerlukan lebih dari pada minimal atau jawaban satu kata. Sedangkan tujuannya adalah untuk mencegah hal tersebut dari adanya kejadian yang tidak diinginkan. Kasih contoh b. Penekanan, yaitu dengan memberikan pernyataan kembali dengan satu atau dua kata terhadap apa yang diucapkan klien sebelumnya, yang diungkapkan dengan suatu nada bicara yang mengisyaratkan klien untuk mengelaborasi. Kasih contoh c. Pertanyaan tertutup, bertujuan untuk mengajak klien berbicara tentang sesuatu, pertanyaan tertutup bukanlah respon yang baik. Namun, ingin klien memberikan informasi yang spesifik, ini bisa menjadi respon yang baik. Kasih contoh d. Permintaan klarifikasi. Meminta klarifikasi bisa digunakan untuk mengumpulkan informasi yang baik untuk meng-elaborasi perasaan klien. Hal ini penting untuk menjaga bahwa banyak pertanyaan dapat menjadi berlebihan atau diluar kegunaan. Kasih contoh 2. Konselor Mampu Menjadi Pendengar Konselor harus mampu menjadi pendengar yang baik dan aktif. Hal ini sangat penting dikarenakan beberapa faktor. Pertama, menunjukkan sikap penuh kepedulian. Kedua, merangsang dan memberanikan klien untuk beraksi secara spontan terhadap konselor. Ketiga, menimbulkan situasi yang mengajarkan. Keempat, klien membutuhkan gagasan-gagasan baru. Konselor sebagai pendengar yang baik memiliki kualitas sebagai berikut: a. Mampu berhubungan dengan orang-orang dari kalangan sendiri, dan berbagi ide-ide. b. Menantang klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu. c. Memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respons yang bermakna. d. Keinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling. 3. Konselor Mampu Merespon Konten Kognitif Respon konselor terhadap klien dapat dilakukan dalam banyak cara, baik verbal maupun non verbal. Karena setiap respon konselor akan berpengaruh terhadap klien dan topik yang didiskusikan, maka konselor harus menyadari pengaruh-pengaruh dari respon yang telah dilakukannya. Dalam merespon isi kognitif, konselor harus memahami alternatif yang dihadirkan klien dan selanjutnya merespon terhadap alternatif tersebut secara tepat. Memahami alternatif, berarti mengidentifikasi secara tepat jenis isi yang dihadirkan klien, dan alternatif-alternatif yang dapat direspon. Sedangkan merespon alternatif, yaitu proses menyeleksi alternatif. Umumnya setiap konselor mempunyai sejumlah pilihan respon dan setiap pilihan memiliki efek selama klien mengikuti pernyataannya. Dalam hubungan timbal balik ini, baik klien maupun konselor mempunyai pengaruh, dan proses konseling akan terjadi dalam sesi ini. Kebanyakan terapis akan mengakui kepentingan dari pilihan klien, dan pilihan itu akan merefleksi bagaimana klien mengkonseptualisasikan masalah dan solusinya, sendiri dan dengan yang lain, sukses dan tidak sukses, pertanggungjawaban dan penguasaan. Tetapi, klien tidak selalu mengakui bahwa konselor memiliki cara yang sama untuk mempengaruhi sesi ini dengan memilih merespon beberapa pesan dengan mengeksplor beberapa argumen. Pilihan konselor dalam merespon tersebut dapat dilakukan dengan diam, minimalnya aktivitas vokal, pernyataan kembali, dan pertanyaan pemeriksaan. 4. Konselor Mampu Merespon Konten Afektif Konselor selalu menggunakan isyarat verbal maupun nonverbal untuk mengkomunikasikan masalah mereka. Komunikasi klien yang berhubungan dengan orang, peristiwa, dan obyek dapat dideskripsikan sebagai seluk beluk yang berkaitan dengan kognitif. Sedangkan komunikasi yang merefleksikan dengan emosi atau perasaan dapat dideskripsikan sebagai seluk beluk yang berkaitan dengan afektif. Namun demikian, beberapa pesan mungkin berisi keduanya, dan ketika ini terjadi maka pesan-pesan afektif tidak dapat dilihat berdasar atas kata-kata yang diucapkan oleh klien. Sedangkan pesan-pesan perasaan mungkin diekspresikan melalui nonverbal, seperti nada vokal, kecepatan bicara, posisi tubuh, dan atau isyarat badan. Kalo paham ceritain ke gue, trus kasih contoh, soalnya gue ga paham. Isyarat verbal maupun nonverbal selalu berasosiasi dengan emosi. Konselor mungkin khawatir, bagaimana dapat mengidentifikasi perasaan seseorang. Walaupun demikian, sekalipun konselor tidak bisa merasakan perasaan klien, konselor dapat menduga apa yang sebenarnya dirasakan oleh klien. Konselor harus mampu memahami perasaan klien, sebelum konselor dapat menghasilkan perasaan yang sama seperti yang dirasakan klien. Untuk itu konselor dituntut untuk lebih menyadari serta sensitif terhadap tanda-tanda verbal maupun nonverbal dari eleman-elemen komunikasi klien. Beberapa tanda tersebut dapat sebagai suatu “kebocoran”, karena tidak sengaja untuk dikomunikasikan. Sedangkan tanda-tanda yang lain yang sengaja dikomunikasikan, terutama verbal, dapat lebih mudah untuk dikenali dan diidentifikasi. Untuk tanda-tanda nonverbal, elemen-elemen komunikasi afeksi klien dapat diientifikasi berdasar atas gerakan kepala dan badan, posisi tubuh, kecepatan gerak, dan kualitas suara. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa salaupun terdapat banyak perbedaan pesan afektif, kebanyakan perasaan dapat diidentifikasi dari kata-kata yang diucapkan dan kecocokannya dengan salah satu dari empat kelompok, yaitu afeksi, amarah, ketakutan, kesedihan/depresi. Dua alasan utama, kenapa konselor tidak merespon perasaan klien adalah: a. Konselor tidak mengetahui cara yang tepat untuk meresponnya. b. Konselor “menghalangi” pengenalan pada perasaan klien Penghalangan ini menunjuk kepada reaksi konselor terhadap perasaan klien dalam cara yang menurunkan atau membatasi dirinya. Contohnya, konselor yang cermat mengidentifikasi perasaan marah klien tetapi, menghindari respon terhadap perasaan tersebut karena beberapa alasan, seperti takut ditinggalkan klien atau karena tidak yakin dengan penilaiannya sendiri.
Perbedaan antara Pesan Kognitif dan Afektif
Dijelaskan bahwa konselor sering menggunakan pendekatan yang berbeda-beda, ada yang menekankan kepada respon kognitif dan ada pula yang menekankan kepada respon afektif. Padahal, masing-masing memiliki keterbatasan. Dinyatakan bahwa respon yang hanya menekankan kepada kehidupan afektif atau perasaan, adalah tidak realistik dan kemungkinan akan menurunkan kemampuan klien untuk dapat menyimpulkan aspek-aspek relasi konseling kepada relasi yang lain, hanya akan berfokus kepada aspek internal dan mengesampingkan dunia sekitar klien, serta dapat menyebabkan katarsis. Sedangkan yang hanya menekankan kepada aspek kognitif, hanya akan menguatkan proses intelektualisasi dan akhirnya menolak perasaan-perasaan yang secara aktual berpengaruh terhadap tingkah lakunya, serta tidak memberi kesempatan kepada klien untuk berbagi perasaan dan mengekspresikannya dalam suatu setting tidak dipertimbangkan dan menjadikan klien tidak memahami kehidupan emosinya. Terdapat bentuk-bentuk respon yang membedakan untuk isi kognitif dan perasaan. Artinya, respon konselor terhadap klien dapat dibedakan apakah sebagai respon terhadap pesan isi kognitif atau terhadap isi afektif. Dan untuk mengetahuinya, dapat dilakukan dalam tiga hal, yaitu penekanan, respon terhadap kemampuan-potensi, dan konfrontasi. a. Penekanan. Dalam aksen, misalnya ketika klien mengucapkan : “saya telah bekerja keras untuk memutuskan perguruan tinggi mana yang akan saya ikuti, tetapi saya tidak dapat memutuskannya. Sehingga saya benar-benar binggung..”. Ketika konselor merespon dengan kata : “binggung?”, maka ini merupakan respon afeksi. b. Respon Kemampuan-Potensi Dalam respon terhadap kemampuan – potensi, dapat digunakan sebagai respon afektif maupun kognisi dan pada umumnya dilakukan dengan mengawali melalui kata-kata : “ anda dapat ....” atau “anda bisa ...”. c. Konfrontasi Sedangkan dalam konfrontasi digunakan konselor untuk membantu klien dalam mengidentifikasi suatu kontradiksi, rasionalisasi atau penyesalan, dan interpretasi yang salah. Konfrontasi umumnya dicirikan dengan salah satu karakteristik, yaitu adanya suatu: (1) kesenjangan antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan (2) kontradiksi antara apa yang dikatakan tentang perasaannya dengan perilaku yang menunjukkan perasaaannya, (3) kesenjangan antara dua pesan verbal yang disampaikan oleh klien. Sedangkan tujuannya adalah untuk membantu klien dalam mencapai kongruensi, memantapkan peran konselor sebagai model untuk komunikasi langsung dan terbuka, serta agar klien dapat lebih berorientasi kepada tindakan. Konfrontasi, pada umumnya dilakukan dengan respon : “Anda mengatakan ......, tetapi anda ..........” 5. Kemampuan Konselor Dalam Pemahaman Dan Aksi Kalo aksi tuh tindakan yg dilakukan konselor setelah paham permasalahannya kan? Belom, hehe. Pemahaman (understanding) berhubungan erat dengan empati. Dalam konsep lain pernyataan pemahaman dan empati dijadikan satu yaitu emphatic-understanding. Pemahaman mengacu pada kecenderungan konselor menyelami tingkah laku, pikiran dan perasaan klien sedalam mungkin yang dapat dicapai oleh konselor (Mappiare, 2002). Memahami secara empati (emphatic-understanding) merupakan cara seseorang (konselor) untuk memahami cara pandang dan perasan orang lain. Memahami secara empati bukanlah memahami orang lain secara obyektif, tetapi sebaliknya dia (konselor) berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan dirinya sendiri. Rogers menyebut hal ini sebagai internal frame of reference (Patterson, 1986). Artinya memahami klien berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan klien sendiri. 6. Keterampilan Intervensi Keterampilan intervensi adalah kemampuan konselor untuk melibatkan klien dalam pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah, konselor perlu memiliki pengetahuan tentang berbagai strategi dan cara yang berbeda untuk menolong klien menghadapi masalah. Ada beragam strategi dan cara yang diusulkan oleh berbagai aliran atau pendekatan konseling. Pendekatan ini dapat membentang dari pendekatan psikodinamis (psikoanalisis, Adlerian) sampai pendekatan eksistensial, pendekatan Rogerian yang terpusat pada klien sampai terapi rasional emotif behavior, realitas dan analisis transaksional. Dalam hal ini konselor sebaiknya menguasai satu pendekatan dasar dan kemudia berusaha memadukan cara-cara yang bermanfaat dari berbagai pendekatan lainnya demi penanganan efektif terhadap masalah-masalah klien. 7. Keterampilan Integrasi Keterampilan ini mengacu pada kemampuan-kemampuan konselor untuk menerapakan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat konteks budaya dan sosio-ekonomi klien (Yeo, 2003). Hal ini dikarenakan konseling tidak dapat dipraktikkan tanpa memperhatikan konteks budaya. Setiap klien yang hadir dengan cara pikir tertentu yang sebagian besar dipengaruhi oleh sistem nilai dan sistem budayanya.
C. Masalah-masalah Yang Sering Dihadapi Konselor Dan Bagaimana
Mengatasi Permasalahan Tersebut. Solusinye belom hihi. Menurut Glading (2009) menyebutkan salah satu masalah atau hambatan yang dihadapi konselor dalam melaksanakan tugas prrofesionalnya adalah masalah burnout. Burnout adalah suatu suasana kepadaman gairah kerja dan berprestasi, kadang-kadang diartikan juga sebagai stres kerja (Mappiare, 2006). Menjalankan peran sebagai seorang konselor memang sangat rentan untuk terjadinya burnout sebab konselor terus-menerus berhadapan dengan emosional tinggi. Penderitaan kliennya juga ikut ia rasakan. Ia harus tidak kaku, mampu menghayati dan memahami, tetapi tidak terlibat sampai menjadi lekat. Penyeimbangan- penyeimbangan inilah yang melelahkan konselor hingga memicu terjadinya burnout. Cavanagh (1982) dalam Lesmana (2006) mengemukakan ada beberapa masalah umum yang dapat menghambat dalam suatu hubungan konseling, yaitu: 1. Kebosanan Menurut Cavanagh (1982), konselor pemula jarang mengalami kebosanan karena sifat baru dari pekerjaan mereka. Setiap saat mereka bertemu denga orang-orang yang mempunyai problem berbeda dan mencoba keterampilan dan tanggung jawab sebagai seorang konselor. Tetapi seperti halnya tingkah laku lain yang terus berulang, konseling dapat membosankan. Beberapa hal yang dapat timbul karena kebosanan adalah konselor mengambil jarak dari kliennya, makin lama makin menjauh. Klien dapat merasakan hal ini, ia akan kehilangan rasa aman dan rasa diterima yang sangat penting bagi keberhasilan konseling. Konselor terkadang mengambil cara negatif dalam menangani kebosanannya. Ia mencoba mengangguk, tersenyum tapi tanpa tahu apa yang dibicarakan klien. Atau sebaliknya ia menjadi kurang perhatian, kurang konsentrasi dan mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri. 2. Hostilitas Hostilitas dapat mengacu pada fenomena psikis yang memaksakan orang lain bertindak atau berbuat menurut cara yang diharapkan membenarkan sistem konstruk orang (Mappiare, 2006). Konselor sering merasa dirinya nice people karena sudah membantu orang lain dan ia mengharap akan dihargai karena hal ini. Tetapi orang (klien) dalam konseling punya hostilitas terpendam yang harus diurai dahulu sebelum bisa melangkah maju. Jadi, mereka sering mengekspresikan hostilitasnya ini kepada konselor. Konselor sebaiknya memaklumi bahwa hal ini sering terjadi. Justru konselor yang harus mengurai apa yang melatarbelakangi suatu hostilitas terjadi. 3. Distansi emosional ( kesenjangan emosional) Konselor yang distan secara emosional tidak dapat ”masuk” ke dalam diri klien. Ia tidak dapat menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan persepsi klien sehingga bisa benar-benar berempati. 4. Kelekatan emosional Lekat emosional berarti bahwa konselor dan/atau klien bergantung pada yang lain untuk pemuasaan kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar yang terpenuhi dalam hubungan semacam ini merupakan kebutuhan untuk merasa aman, untuk menerima dan memberi cinta, untuk dikagumi dan dibutuhkan (Lesmana, 2006). Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press Rogers, C.R., The Counseling and Psychoteraphy, Boston: Houghton Mifflin, 1942