Anda di halaman 1dari 9

KESADARAN HOLISTIK

SEBAGAI SUATU CARA MEMAHAMI KLIEN SEPENUH HATI


Oleh : Alfin Juniar

A. Pengertian Kesadaran Holistik


“Holistic Awarenes (kesadaran holistik), pendekatan 1holistik dalam
konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak
mendekatinya secara serpihan, secara utuh dan tanpa ragu-ragu”. 1 Jadi,
Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan daripada
bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-
mekanik, dan non-linier.2
Ini berarti kesadaran holistik salah satunya melaksanakan satu fungsi
dalam konseling yaitu fungsi pemahaman. Dimana fungsi pemahaman itu
sendiri merupakan fungsi konseling yang menghasilkan pemahaman bagi
konseli atau kelompok konseli tentang dirinya, lingkungannya, dan berbagai
informasi yang dibutuhkan. Pemahaman diri meliputi pemahaman tentang
kondisi psikologis seperti; intelegensi, bakat, minat, dan ciri-ciri kepribadian
lain, dengan mempelajari seluk beluk psikologi akan dapat menolong kita
memahami sebagian besar perilaku kita.3 Pemahaman kondisi fisik seperti
kesehatan fisik (jasmaniyah). Sedangkan pemahaman lingkungan mencakup;
lingkungan alam sekitar dan lingkungan sosial. Pemahaman berbagai
informasi yang dibutuhkan mencakup; informasi pendidikan dan informasi
karier.4

1
Makmun Khairani, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2014), hlm.
138.
2
Husain Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut
Shadra dan Whitehead, (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm. 12.
3
Mary Jo Meadow, Memahami Orang Lain, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 11.
4
Hartono, Boy Soedarmadji, Psikologi Konseling, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2013), hlm. 36.

1
B. Prinsip-prinsip Pendekatan Holistik
Dalam pelaksanaannya, pendekatan holistik berpijak pada tiga prinsip,
yaitu:
1. Connectedness
Connectedness adalah konsep interkoneksi yang berasal dari
filosofi holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi,
fisika kuantum dan teori sistem.2
2. Wholeness
Keseluruhan (wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari setiap
bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bisa
dideduksi hanya dengan mempelajari setiap komponennya.
3. Being
Menjadi (being) adalah tentang merasakan sepenuhnya kekinian.
Hal ini berkaitan dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom),
wawasan (insight), kejujuran, dan keotentikan.5

C. Karakteristik Konselor Yang Memiliki Kesadaran Holistik


Karakteristik konselor yang memiliki kesadaran hoislistik adalah
bahwa konselor memahami konseli secara utuh dan tidak mendekatinya secara
serpihan atau sebagian. Konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi-
dimensi yang menimbulkan masalah konseli, dan memahami bagaimana
dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya.
Dimensi-dimensi itu meliputi: fisik, intelekstual, emosi, sosial, seksual, dan
moral-spiritual. Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung
menampilkan karakteristik sebagai berikut:
1. Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang
kompleks.
2. Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan
mempertimbangkan tentang perlunya referal (rujukan).

25
M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah, (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm. 7-9.

2
3. Menjalin hubungan yang akrab dengan konseli dan terbuka terhadap
berbagai teori terutama berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi
konseli dan alternatif konselor.6

D. Pemahaman Yang Lebih Mendalam Terhadap Kasus


Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kasus dilakukan untuk
lebih mengetahui lebih jauh berbagai seluk beluk kasus tersebut, tidak hanya
sekedar mengerti permasalahannya atau dasar deskripsi yang telah
dikemukakan pada awal pengenalan kasus semata-mata. Permasalahan yang
terkandung dalam suatu kasus boleh jadi seperti fenomena gunung es yang
terapung di lautan, bagian yang tampak di permukaan laut hanya sedikit saja,
padahal bagian yang berada dibawah permukaan laut3besarnya sukar diukur.
Pernah seorang mahasiswi datang kepada konselor dengan keluhan
“merasa risih dan salah tingkah karena salah seorang dosennya (pria)
memberikan perhatian amat khusus padanya”. Dosen itu katanya setiap kali
berusaha menemuinya dan menarik perhatiannya; sebagai akibatnya
mahasiswi tersebut tidak dapat belajar dengan baik, nilainya merosot dan
terancam putus kuliah. Gambaran kasus itu tampaknya sederhana saja, yaitu
“diganggu oleh laki-laki sehingga tidak dapat memusatkan dirinya untuk
belajar, nilai rendah, dan diancam kegagalan”. Berdasarkan pemahaman
sederhana yang dipetik semata-mata dari deskripsi awal itu saja, pemecahan
masalahnya itu seperti sederhana saja, yaitu berusaha menghindar dengan
cara-cara yang tidak menyinggung perassaan dosen yang bersangkutan dan
menguatkan motivasi belajar. Apabila kedua hal itu dapat dilaksanakan,
mudah-mudahan semangat belajar akan timbul kembali dan nilai-nilai akan
naik.
Setelah dilakukan wawancara konseling secara intensif, diketahui
bahwa nilai-nilai yang dicapai oleh mahasiswi itu memang rendah dan ia
kurang mampu memusatkan perhatiannya dalam belajar. Namun sumber

36
Rahmat Hidayat, Skripsi: “Persepsi Siswa Tentang Pribadi Konselor Yang Diharapkan
Siswa di Smp Negeri 2 Tersono”, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2013), hlm. 34.

3
ketidakmampuan memusatkan perhatian itu ternyata adalah bukanlah berasal
dari tingkah laku dosen yang seolah-olah mengejar dan mencintainya.
Pengemukaan “dicintai dosen” oleh mahasiswi tersebut, tampaknya justru
merupakan proyeksi yang dilontarkan oleh mahasiswi itu. Barangkali yang
sebenarnya terjadi justru sebaliknya, yaitu mahasiswi itu yang menaruh
perhatian kepada dosen yang dimaksudkannya itu, tetapi agaknya ia malu
mengemukakannya dan yang keluar dari mulutnya malahan malahan sesuatu
yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi, ia menyatakan bahwa
dosen itulah yang berusaha mengejar dan berusaha menarik perhatiannya.
Permasalahan “dicintai dosen” ternyata kemudian tidak penting dan
tidak menjadi topik yang banyak dibicarakan dalam wawancara konseling.
Dalam wawancara konseling, dalam wawancara itu justru terungkap sesuatu
yang merupakan sumber pokok ketidakmampuannya memusatkan diri dalam
belajar, yaitu hubungannya dengan orang tuanya, khususnya ayahnya.
Terungkapkan dalam wawancara konseling itu bahwa permasalahan terjadi
sejak mahasiswi tersebut masuk SMA, ia memilih jurusan yang tidak
diinginkan oleh orang tuanya, sehingga ia kena marah yang berkepanjangan.
Orang tuanya seperti mengasingkan anaknya, bahkan pernah tidak diberi
uang belanja untuk beberapa waktu. Kemarahan, hardikan, sumpah serapah
orang tuanya setiap kali meluncur dan menimpa anaknya itu selama bertahun-
tahun. Akibat dari semuanya itu ialah perasaan tertekan yang cukup
mendalam pada diri gadis tersebut. Selanjutnya perasaan tertekan itu akhirnya
menimbulkan sesuatu yang aneh, yaitu apabila teringat orang tuanya,
kepalanya menjadi pusing. Keadaan tersebut sering kali terulang di
sembarang tempat, waktu, dan kesempatan.
Itulah sumber pokok yang mengganggu konsentrasi belajarnya.
“dikejar dosen” barang kali memang ikut juga mengurangi konsentrasinya,
tetapi yang lebih pokok adalah keadaan dirinya, yang sering pusing itu, dan
ternyata pusing itu tidak disebabkan oleh penyakit fisik. Keadaan tersebut

4
tentu saja memberikan gambaran yang amat berbeda dari gambaran yang
dapat dipetik dari deskripsi awal kasus mahasiswi tersebut.7 4
Dari hal itu pula dalam mempelajari kesadaran holistik sama saja kita
mempelajari kepribadian dan psikologis orang yang sesungguhnya Karena
pada dasarnya manusia itu didalam kehidupan sehari-hari tidak selalu
membawakan dirinya sebagaimana adanya, melainkan selalu menggunakan
tutup muka (topeng), untuk menutupi kelemahannya dan untuk dapat diterima
oleh orang lain.8 Maka dari itu kita jangan langsung menilai seseorang dari
perilaku yang nampak, tetapi lebih memahami perilaku dan apa yang terjadi
sesungguhnya melalui pendekatan-pendekatan kepada konseli.
Ada 2 Cara Pendekatan Utama Dalam Memahami Konseli :
1. Pendekatan Longitudinal
Pendekatan ini digunakan untuk memahami perkembangan
perilaku dan pribadi seseorang atau sejumlah kasus tertentu (mengenai
satu atau sejumlah aspek perilaku atau pribadi tertentu) dengan mengikuti
proses perkembangan dari satu titik waktu atau fase tertentu ke titik
waktu atau fase berikutnya. Oleh karena itu, tekniknya berbentuk case
study (study kasus), case history, auto biografi, eksperimen, dan
sebagainya.
2. Pendekatan Cross Sectional
Pendekatan ini biasanya digunakan untuk memahami suatu aspek
atau sejumlah aspek perkembangan tertentu pada suatu atau beberapa
kelompok populasi tingkatan usia subjek tertentu secara serempak pada
saat yang sama. Oleh karena itu, teknik yang sesuai dengan pendekatan
ini adalah teknik survei. Sudah tentu sampai batas-batas tertentu dapat
digunakan kombinasi atau ekletik dengan pendekatan longitudinal.9
Selain dari hal tersebut (pendekatan) tidak lupa pula pelayananan
konseling secara menyeluruh akan terlaksana dengan baik ketika kita sebagai
7
4
Prayitno, Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hlm. 53-55.
8
Agus Sujanto dkk, Psikologi Kepribadian, (Jakarta, Bumi Aksara, 1991), cet. 5, hlm. 10.
9
Ulul Azam, Bimbingan dan Konseling Perkembangan di Sekolah, (Yogyakarta:
Deepublish, 2016), hlm 7.

5
pelaksana konseling membuat acuan yang jelas dan panduan yang mantap
agar deretan nilai yang terbesar dari proses konseling tidak hilang maupun
terlupakan. Seperti teknik konseling, jenis layanan, kegiatan pendukung,
standar prosedur operasional, dan format layanan.10

E. Strategi Mengurangi Keragu-raguan/Ketidakpastian


Menurut Berger (1995) dalam upaya mengurangi keragu-
raguan/ketidakpastian orang menggunakan taktik yang berasal dari tiga
kategori strategi. Inti dari masing-masing strategi adalah untuk mendapatkan
informasi secara lebih mendalam. Berger mengatakan bahwa orang dapat
menempuh berbagai macam cara untuk mendapatkan informasi mengenai diri
orang lain, namun secara umum berbagai macam cara tersebut dapat
disederhanakan5menjadi tiga strategi yaitu sebagai berikut;
1. Strategi Pasif
Pada strategi ini, konselor menjalani peran sebagai pengamat diam-
diam yang tidak diketahui oleh individu lainnya. Dengan kata lain strategi
pasif merupakan upaya untuk mengurangi ketidakpastian melalui
pengamatan diam-diam guna mendapatkan informasi mengenai orang
lain/konseli. Menurut Berger, strategi pasif dapat dibagi menjadi dua bentuk
kegiatan pencarian informasi yang disebut dengan reactivity searching dan
disinhibition searching.
- Reactivity Searching dilakukan dengan mengamati seorang ketika
melakukan sesuatu atau mengamati bagaimana reaksinya pada situasi
tertentu. Misalkan anda secara diam-diam mengamati tingkah lakunya
selama beberapa hari ini. Anda memperhatikan bagaimana dia bereaksi
terhadap setiap peristiwa di kelas, bagaimana ia menjawab pertanyaan
dosen, bagaimana dia berdiskusi, dan anda juga mencoba “menguping”
setiap kali ia berbicara dengan orang lain dan seterusnya.

10
5
Suhartiwi & Musifudin, “Modus dan Format Pelaksanaan Pelayanan Konseling Dalam
Memahami Klien Lintas Budaya”, Jurnal Konseling dan Pendidikan, vol 1, Nomor 1, Februari
2013, hlm. 75.

6
- Disinhibition Searching adalah strategi pasif yang mengamati seseorang
dalam situasi informal dimana ia dalam keadaan santai, tidak terlalu
menjaga penampilannya dan berperilaku lebih apa adanya. Misal diluar
ruang kelas seperti di kantin, tempat nongkrong dsb.
2. Strategi Aktif
Pada strategi aktif, konselor menjalani peran sebagai pengamat
secara tidak langsung. Pencarian informasi dengan menggunakan strategi
aktif dilakukan dengan cara bertanya kepada orang lain mengenai
seseorang yang ingin anda ketahui dan memanipulasi lingkungan
sedemikian rupa agar orang yang menjadi target lebih mudan anda amati.
Misal, anda mencoba untuk mendapatkan tugas tertentu di kelas agar bisa
bergabung dengan kelompok dimana target anda berada. Misalnya
meminta bantuan pihak ketiga untuk mendapatkan informasi mengenai
diri orang lain/konseli.
3. Strategi Interaktif
Pada strategi ini anda mengandalkan komunikasi secara langsung
dengan konseli tersebut. Strategi interaktif terjadi ketika pengamat dan
orang yang diamati terlibat dalam kontak langsung melalui interaksi tatap
muka. Taktik mendapatkan informasi dapat dilakukan antara lain dengan
cara bertanya secara6langsung atau menawarkan untuk membuka diri
dengan maksud lawan bicara juga bersedia membuka dirinya. Kegiatan
pengungkapan diri merupakan strategi penting untuk mendaptkan
informasi secara aktif karena jika anda mengungkapkan sesuatu
mengenai diri anda maka kemungkinan orang lain juga akan melakukan
hal yang sama.11

11
6
Moorisan, Psikologi Komunikasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), cet. 2, hlm. 96-97.

7
F. Kesimpulan
Sebagai seorang konselor kita harus memiliki satu pribadi yaitu
kesadaran holistik dimana pada hal ini kita dalam melakukan kegiatan
konseling harus melihat klien dari berbagai aspek. Hal-hal apa saja yang
menimbulkan masalah tersebut pada klien, mungkin karena dari segi fisik,
seksual, materi ataupun sebagainya. Kita tidak boleh memandang klien dari
satu sisi saja. Karena masalah timbul dari kumpulan berbagai faktor, yang
terakumulasi dan akhirnya menyebabkan suatu tindakan yang berakibat
masalah atau menggangu pikiran dan jiwanya.

8
Daftar Pustaka

Khairani Makmun, 2014. Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Aswaja Presindo).

Heriyanto Husain, 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan


Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media
Utama).

Mary Jo Meadow, 1989. Memahami Orang Lain, (Yogyakarta: Kanisius)

Hartono, Soedarmadji Boy, 2013. Psikologi Konseling, (Jakarta: Kencana Prenada


Media).

Latifah M., 2008. Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah, (Bogor: Departemen Ilmu
Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor).

Hidayat Rahmat, 2013. Skripsi: “Persepsi Siswa Tentang Pribadi Konselor Yang
Diharapkan Siswa di Smp Negeri 2 Tersono”, (Semarang: Universitas
Negeri Semarang).

Prayitno, 2004. Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta:


Rineka Cipta).

Moorisan, 2013. Psikologi Komunikasi, (Bogor: Ghalia Indonesia), cet.2.

Azam Ulul, 2016. Bimbingan dan Konseling Perkembangan di Sekolah,


(Yogyakarta: Deepublish).

Sujanto Agus dkk, 1991. Psikologi Kepribadian, (Jakarta, Bumi Aksara).

Suhartiwi & Musifudin, “Modus dan Format Pelaksanaan Pelayanan Konseling


Dalam Memahami Klien Lintas Budaya”, Jurnal Konseling dan Pendidikan,
Vol 1, Nomor 1, Februari 2013.

Anda mungkin juga menyukai