Anda di halaman 1dari 8

PERILAKU ATTENDING

Attending merupakan upaya konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam


bentuk perilaku seperti kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilakuat tending yang
baik harus mengombinasikan ketiga aspek di atas sehingga akan memudahkan konselor untuk
membuat klien terlibat pembicaraan dan terbuka. Perilakuat t end ing yang baik akan dapat:

(1) meningkatkan harga diri klien,

(2) menciptakan suasana yang aman dan akrab,

(3) mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.

Wujud perilakuat tendin g dalam proses konseling misalnya: pertama, kepala


mengangguk sebagai pertanda setuju atas pernyataan klien.Ked ua , ekspresi wajah tenang,
ceria, dan senyum.Ket ig a, posisi tubuh agak condong ke arah klien, jarak duduk antara
konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.K eempat,
melakukan variasi isyarat gerakan tangan lengan secara spontan untuk memperjelas ucapan
(pernyataan konselor). Kelima, mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian, menunggu
ucapan klien hingga selesai, diam (menunggu saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah
pada klien (lawan bicara). Sebaliknya, wujud perilakuat t end ing yang tidak baik adalah:
pertama, kepala kaku. Kedua, wajah kaku (tegang), ekspresi melamun mengalihkan
pandangan, tidak melihat ketika klien berbicara, mata melotot.Ketig a, posisi tubuh tegak
kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien agak jauh, duduk kurang akrab dan
berpaling.K eem p at memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam guna
memberi kesempatan berpikir dan berbicara.Kelima, perhatian terpecah, mudah buyar oleh
gangguan dari luar.

Perilaku attending berkenaan dengan teknik penerimaan konselor terhadap klien. Teknik
penerimaan menggambarkan cara bagaimana konselor menerima klien dalam proses atau sesi
konseling. Atau cara bagaimana konselor bertindak agar klien merasa• diterima dalam proses
konseling. Teknik ini dalam proses konseling bisa diwujudkan melalui ekspresi wajah,
(misalnya ceria atau cemberut). Ekspresi wajah ceria bisa menggambarkan penerimaan
konselor atas kliennya, sebaliknya ekspresi wajah cemberut bisa menggambarkan penolakan
atau
ketidaksetujuan konselor atas kliennya. Selanjutnya juga bisa diwujudkan dalam bentuk
tekanan atau nada suara dari konselor (tinggi, mendatar, dan rendah) dan jarak duduk antara
konselor dan klien.

PENGERTIAN EMPATI

Pada dasarnya konselee yang kita hadapi biasanya hanya menampilkan diri mereka sebagian
saja dan tidak utuh. Bahkan seringkali mereka berusaha menutupi sebagian besar diri mereka.
Konselee jarang menampilkan dunia dalam diri mereka, kecuali teerhadap orang yang mereka
percayai. Orang yang mendapatkan kepercayaan ini adalah orang yang dapat memahami dan
merasakan isi pikiran, pengalaman hidup, maupun perasaan mereka.

Oleh sebab itu keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemampuan kita berempati.
Jika kita mampu berempati terhadap konselee, maka konselee akan lebih terbuka. Dengan
demikian, konseling pun akan berjalan dengan lebih lancar sesuai dengan klien yang terbuka
dan jujur terhadap konselor.

Dan Zimmer menjelaskan juga dalam bukunya Willis (2004), bahwasanya konselor yang
menggunakan empati cendrung mengunakan attending dimana komponen di dalamnnya juga
mengunakan empati seperti kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Oleh sebab itu
empati sangat dekat sekali dengan attending, paraphrasing, dan refleksi feeling. Dan bahkan
atennding juga amat besar perannya dalam empati.

Secara harfiah, empati adalah seseorang masuk ke dalam diri orang lain dan menjadi orang
lain agar merasakan dan menghayati orang lain, maka kan timbul penilayaan bahwa orang
tersebut mustahil bisa melakukan hal tersebut. Sebab menurut pengertian secara harfiah itu
orang masuk ke dalam orang lain, jadi hal itu tidak mungkin.

Menurut Carl Rogers empati bukanlah sesuatu yang sifatnya kognitif, namun meliputi emosi
dan pengalaman. Oleh sebab itu empati juga harus harus di pahami lewat arti kata. Empati
verasal dari “einfiihlung” yang banyak di tulis oleh psikolog Jerman untuk menjelaskan
mengenai “memasuki perasaan orang lain (feeling into).” Namun ada juga yang mnegatakan
bahwa empati berasal dari Yunani yakni”pathos” yang artinya perasaan yang mendalam atau
kuat dan yang menyerupai perkataan menderita serta ditambah dnegan imbuhan kata “in”
atau “em”. Hal ini hampir sama dnegna simpati. Namun jika simpati hanya perasaan di luar
saja sedangkan empati memiliki arti yang lebih mendalam memahami orang lain.

Mengenai empati ini,George & Cristiani (1981) dalam Singgih D. G. (2004), mengemukakan
bahwa empati adalah kemampuan untuk mengambil kerangka berpikir klien sehingga
memahami tepat kehidupan dunia dalam makna-maknanya dan bisa dikomunikasikan
kembali dnegan jelas terhadap klien.

Menurut Carl Rogers (1961) yang dikuti dari Willis (2010) mengartikan empati sebagai
kemampuan merasakan dunia pribadi klien, merasakan apa yang dirasakan tanpa kehilangan
kesadaran diri. Untuk itu empati memiliki komponen sebagai berikut :

a. Positive regard/ Penghargaan positif

b. Respeck / rasa hormat

c. Warmth/ kehangatan

d. Concreteniss / kekonkritan

e. Immediacy/ kesiapan, kesegaran

f. Confrontation/konfrontasi

g. Congruence/ keaslian

Empati adalah sebuah kemampuan untuk melihat, memahami, dan merasakan sesuatu hal
yang terjadi pada diri orang lain dari sudut pandang orang lain tersebut; bukan dari sudut
pandang kita sendiri. Dan Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang
dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Agar
dapat membantu konselee, maka kita harus dapat memahami diri dan dunia konselee tersebut
dari sudut pandang si konselee. Anda harus memberikan keyakinan pada diri konselee bahwa
anda memahami keadaan dan perasaan konselee yang unik.

Hampir sama dengan apa yang diungkap oleh Edi Kurnanto (2007:65), bahwa empati itu
adalah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan oleh klien, merasa dan
berfikir bersama klien dan bukan uantuk atau tentang klien.

Carkhuff (1989) mengemukan ada lima tingkatan empati. Dari tingkatan tersebut, level 1-3
merupakan empati untuk menyalurkan perasaan-perasaan negatif destruktif klien. Sedangkan
level 4-5 adalah empati tambahan yang bersifat akurat,, mendalam, dan keterbukaan diri yang
lebih kuat.

Namun secara mendalam empati merupakan suatu arus atau aliran antara klien dan konselor.
Dan kebanyakan merupakan proses bantuan yang diberikan seperti berikut ini:

• Mendengar dan memperhatikan dengan penuh hati-hati

• Menilai ketetapan dalam berkomunikasi

• Bertanya kepada klien.

Dengan demikian empati itu adalah bagaimana seorang konselor dapat menyatukan dirinya
dnegan seorang klien baik perasaaan, pengalaman maupun pemahaman. Dan empati
dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk
empati. Keterampilan melakukan empati harus selalu dilatih; agar kita sebagai konselor tetap
peka terhadap berbagai emosi yang dirasakan konselee dan mudah dalam memahami isi atau
jalan pikiran mereka. Willis (2004) menyebutkan bahwa empati terhadap perasaan, pikiran,
dan pengalaman hidup konselee dapat dilakukan dengan empati dasar (primer) maupun
dengan empati yang lebih mendalam dan menyentuh.

B. Tujuan Empati dan Contoh Empati

Adapaun tujuan dari empati yang digunakan oleh konselor adalah agar calon konselor mampu
memasuki dunia dalam klien melalui ungkapan-ungkapan empati baik itu empati primer
maupun empati tingkat tinggi yang menyentuh perasaan klien. Jika demikian keadaannya
maka klien akan terbuka dan mau mengungkapkan dunia dalamnya lebih jauh. Baik itu
perasaan, pengalamnnya, dan pikirannya.

Dengan demikian seorang konselor harus mampu membawa perasaan dan mengungkapnya
hingga ke bagian dalam klien agar si klien lebih terbuka dan dapat diterima sebagai konselee.
Dengan begitu klien bisa secara baik mengungkapkan apa yang dia rasakan oleh klien.
Latihan berempati melibatkan kemampuan memasuki dunia konselee melalui ungkapan-
ungkapan empati yang sekiranya dapat menyentuh perasaan dan memperlihatkan pada
konselee akan kepedulian kita pada mereka. Kemampuan anda melakukan empati akan
membuat konselee bersikap terbuka. Dengan demikian, konselee akan bersedia
mengungkapkan dunia dalam dirinya dengan cara yang jauh lebih baik. Dunia dalam diri ini
dapat berbentuk isi pikiran, emosi, maupun pengalaman hidupnya yang tersembunyi; dan
bahkan sisi kelam dalam dirinya.

Dan untuk lebih lengkapnya ada dua macam empati adalah sebagai beriku :

a. Empati primer/ Primery Emphaty (PE), yaitu suatu perasaan bagaimana masuk ke dunia
dalam klien merasakan apa yang diarasakan, dan dnegan perilaku attending . Jadi bentuk
empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan
agar klien dapat terlibat dan terbuka. Contoh ungkapan empati primer : “Saya mengerti
keinginan Anda”, “Saya dapat memahami pikiran Anda”, “Saya dapat merasakan bagaimana
perasaan Anda”. Atau seperti ini, “anda merasa tidak aman ketika melihat dia. Saya
merasakan perasaan anda. Akan teteapi anda memiliki kekuatan untuk bangkit dan pergi
meninggalkannya.”

b. Empati tingkat tinggi yang lebih akurat/ Advanced Accurate Emphaty (AAE), yaitu
konselor memberi empati yang lebih mendalam dan mengena sehingga pengaruhnya terasa
lebih mendalam pada diri klien, dan pada gilirannya lebih emmbangkitkan suasanan
emosional klien. Jadi empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran
keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut
dengan perasaan tersebut.

Misalnya:

• “saya ikut terluka dengan penderitaan anda. Namun saya juga bangga dengan kemampuan
daya tahan anda.”

• “saya ikut terhina dnegan pengalaman keji yang anda alami namun saya salut terhadap
keuletan anda memberla kebenaran.” Atau seperti ini, “saya merasakan perasaan cemas yang
anda alami. Saya ikut terluka dengan peristiwa tersebut. Namun saya terkesan dengan
kekuatan anda untuk bangkit meninggalkan dia.”

Hal diatas tersbutlah contoh empati yang terbagi ke dalam dua macam. Yaitu empati primer
dan empati tingkat tinggi. Dan jika ditanya mana yang paling baik antar keduanya, dapat
dikatakan semuanya baik. Namun tergantung kepada masalah apa yang di hadapi klien dan
juga tergantung kepada klien yang seperti apa yang datang ke konseloor. Mengapa
demikian?. Sebab klien yang datang ke kita sebagai seorang konselor banyak
karakteristiknya. Aneka ragam klien yang datang ke konselor ini ada 4 ragam, yakni :
a. Klien suka rela, jika klien yang datang ke konselor dnegan kerelaan hatinya, mungkin bisa
digunakan empati yang primer sebab kemungkinan klien yang datang dengan suka rela, dia
tidak terlalu membutuhkan pengutan yang lebih dnegan empati.

b. Klien terpaksa, jika yang datang klien yang seperti ini maka dapat digunakan empati yang
tingkat tinggi agar dia lebi merasa di terima di sana.

c. Klien enggan. Sama juga menggunakan empati tingkat tinggi.

d. Klien bermusuhan, hal ini dapat menggunakan empati tingkat tinggi. Sebab klein ini
memiliki sifat tertutup, menentang, bermusuhan dan senolak secara terbuka. Jika demikian
adanya maka dapat digunakan empati tingkat tinggi. Agar si klien merasakan respeck dari
konselor.

Dan dengan empati PE dan AAE konselor akan mampu mengali keterbukaan diri klien. Hal
ini membuat perasaan klien terbuka lalu menyatakan perasaannya dengan bebas dan terus
bergerak ke arah pemahaman dan penyadaran diri. Akibatnya adalah klien menjadi rasional
dalam menghadapi maslaah sehingga melahirkan rencana-rencana yang realistis untuk
mengatasinya.

Lain halnya dengan yang diungkap oleh Wilis di atas, May Rollo (2003) dalam bukunya Seni
Konseling, yang menyatakan bahwa empati itu ada dua. Yaitu empati dasar dan empati lebih
mendalam. Yang pertama adalah empati dasar, sebagai contoh dari pernyataan-pernyataan
yang menunjukkan bahwa kita berempati dengan empati dasar adalah ucapan seperti ”Ya, ibu
paham kenapa kamu sampai melakukan hal itu’’ |atau ’’Kamu merasa frustasi karena sudah
belajar keras, tapi tetap tidak lulus tes’’. Empati dasar semacam ini merupakan tanggapan
atas pemahaman dan penemuan kita pada emosi konselee secara tepat. Dengan begitu
seorang konseli harus mampu memberikan empati yang tepat.

Yang kedua adalah empati yang lebih mendalam dan menyentuh misalnya adalah ”Aduh, ibu
ikut sakit hati atas apa yang terjadi padamu sekarang. Tapi ibu juga bangga sekali, kamu bisa
menjalani cobaan ini dengan tabah’’ atau ’’Tentunya menyakitkan jika kamu sudah berusaha
keras untuk lolos tes tapi tetap saja gagal”. Kamu merasa tertekan, dan bahkan mengasihani
dirimu sendiri atas kegagalanmu ini’’. Ungkapan empati yang lebih mendalam semacam ini
merupakan langkah lebih lanjut dalam menggali diri konselee dengan menggali emosi yang
lebih dalam dan memberikan arti terhadap ekspresi konselee.
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas dasar dan melalui
proses empati. Pada proses konseling, baik konselor maupun klien dibawa keluar dari dalam
dirinya dan bergabung dalam kesatuan psikis yang sama sehingga emosi dan keinginan
keduanya menjadi bagian dari kesatuan psikis yang baru. Oleh sebab itu seorang konselor di
tuntut untuk mempu menpergunakan empati baik empati primer maupun empati tingkat
tinggi. Dan untuk lebih baiknya kita tahu bagaimana cara seorang konselor berempati yang
akan dibahasa di bawah ini.

C. Cara Berempati

Keberhasilan empati adalah jika klien dapat memahami empati konselor, sehingga dia
percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya. Untuk itu sebagai
seorang konselor harus bisa memberikan empati yang efektif untuk mencapai tujuannya,
yaitu merasakan apa yang dirasakan klien. Dengan demikian empati merupakan latihan yang
snagat penting bagi konselor. Hal ini agar konselor memiliki kepribadian yang mampu
berkomunikasi dengan klien dan dapat berkomunikasi yang baik dengan klien.

Dan untuk dapat merasakan apa yang dirasakan klien, dipikirkan dan dialami klien, seorang
konselor haruslah berusaha, sebagai berikut :

• Melihat kerangka rujukan dunia-dalam klien atau kehidupan internal klien

• Menempatkan diri kedalam persepsi internal klien.

• Merasakan apa yang dirasakan klien.

• Berpikir bersama klien, bukan berpikir tentang atau uuntuk klien

• Menjadi kaca emosional /cermin perasaan klien

Dengan usaha yang dilakukan di atas maka konselor akan dapat memberi kenyamanan
kepada klien dan setelah itu klien pun akan leluasa memberikan atau mencurahkan isi
hatinya. Karena jika konselor perpikir seperti yang diatas kemungkinan kecil untuk tidak
memeotong pembicaraan klien.

Dan empati ini dilakukan oelh seorang konselor dengan menggunakan keterampilan
mempengaruhi dengan komponen-komponennya, keterbukaan diri, pengarahan, dan
penafisran. Sebab dnegan adanya komponen tersebut maka empati akan menjadi mendalam
dan akuran serta nilainnya tinggi sehingga segera dapat mengubah perilaku klien.
Dengan usaha seperti diatas maka barulah klien melakukan empati. Sebab dengan empati
yang akan berhasil jika klien dapat memahami empati konselor. Sehingga di apercaya diri
untuk mengembangkan/ mencurahkan dan memecahkan masalahnya. Dan untuk itu berikut
ini akan ada cara berempati yang baik yang dikemukan oleh Sofyan S. Wilis dalam bukunya
yang berjudul Konseling Individual Dalam Teori Dan Praktek. Yakni sebagai berikut:

a. Mengosongkan pikiran

• Kosongkan pikiran dari rasa/sikap egoistik

• Amati bahasa tubuh klien, seperti emosi, air muka (mimik), gerak isyarat, dan gerakan yang
membawa pesan emosional.

• Rasakan kehidupan emosi klien, dan berusaha berada dalam kehidupan internal klien.

• Amati verbal klien yang membawa emosi.

• Intervensi dengan persyaratan efektif, sesuai dnegan keadaan emosi klien (refleksi feeling).

Dari urutan kegiatan di atas ada dua langkah penting untuk memahami emosi klien melalui
empati. Yakni : pertama secara tepat merasakan dunia klien melalui perilakunya. Yang kedua
adalah secara verbal konselor berbagi pengalaman dengan klien. Dan jika ingin tahu
bagaimana tebakan tentang emosi klien itu benar dan jitu. Yaitu jika klien tersebut berkata
“yah, itu yang saya maksud.”

Jadi dengan demikian untuk dapat memahami emosi klien, seorang konselor harus melewati
empati. Termasuk di dalmnya empati dengan cara masuk langsung ke dunia klien melalui
perilakunya. Seperti misalnya konselor melihat perilaku klien saat memberikan wawancara.
Dengan demikian akan memeudahkan konselor ikut dalam pikiran klien. Yang kedua adalah
mengikuti alur yang dikatakan klien (verbal klien). Jika klien merasa sedih dan mimiknya
juga sedih maka konselor juga harus demikian. Jangan sampai jika klien mnegatakan atau
menceritakan pengalamannya yang sedih, lalu konselor tersenyum atau tertawa. Hal ini tidak
akan membuat klien nyamanmungkin merupakan indikasi bahwa konselor tidak menerima
klien.

Anda mungkin juga menyukai