Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PENYEBAB MUNCULNYA MINAT

FUJOSHI TERHADAP GENRE YAOI

Nice
Jl. Kayu Mas Gang Mulia nomor 2, Pekanbaru, 081289766199, nice.h@hotmail.co.jp
Nice, Sri Dewi Adriani, M.Si.

ABSTRAK

Dewasa ini populasi otaku telah menyebar ke seluruh dunia seiring dengan berkembangnya
industri anime dan manga Jepang. Di antara golongan otaku wanita ini terdapat kelompok
wanita yang dikenal sebagai fujoshi. Fujoshi ini merupakan otaku wanita yang menyukai anime
dan manga bergenre yaoi atau boy’s love. Genre mengangkat cerita percintaan antara dua pria.
Untuk mengetahui alasan para fujoshi menyukai genre yaoi, penulis membagikan 20 pertanyaan
kepada 20 fujoshi yang berusia 17-35 tahun secara online. Hasil yang diperoleh kemudian akan
dihubungkan dengan teori feminisme oleh Tong (2009) dan didukung oleh teori fans yang
dikemukakan oleh Sandvoss (2004). Dari hasil analisis tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
para fujoshi, sebagai seorang penggemar genre yaoi, menggunakan yaoi untuk mengejar
hubungan yang egaliter dengan pria. Selain itu, mereka juga menggunakan yaoi sebagai sarana
eksplorasi imajinasi dan seksualitas dengan merefleksikan diri mereka pada salah satu tokoh
utama dalam genre yaoi. Kemudian dengan ketiadaan eksistensi wanita dalam genre yaoi, para
fujoshi menjadi pengamat yang berada di atas pria. Dengan demikian, mereka merasa memiliki
kontrol atas pria.

Kata kunci: fujoshi, yaoi, boy’s love, fans, feminisme

ABSTRACT

As Japan’s anime and manga industry growing, the population of otaku has been spread all
around the world. Among these female otaku, there’s a female group known as fujoshi. Fujoshi
is the consumer of yaoi or boy’s love genre. This genre told the love story of two men. To know
the reason behind their obsession of yaoi genre, writer distributed questionnaire to 20 fujoshi
around 17-35 years old. The data are analized using Tong’s feminism (2009) and fans theory by
Sandvoss (2004). From the analysis, the writer concludes that fujoshi as yaoi’s fans, they yearn
for egalitarian relation between yaoi’s main characters. They also use yaoi as a medium for
their imagination and sexuality exploration by reflecting theirself in one of yaoi’s main
characters. Also, even without the existence of women in yaoi, fujoshi acts as the observer and
their position is above male. By doing so, they feel like they gain control of male.

Keywords: fujoshi, yaoi, boy’s love, fans, feminisme

PENDAHULUAN
Sejak tahun 80-an masih terjadi perdebatan apakah komik dan manga dapat dimasukkan ke dalam
kategori sastra atau tidak. Penghargaan karya sastra dan jurnalisme Putlizer sendiri telah menambahkan
kartun editorial dalam kategori penghargaanya sejak tahun 1922. Tim Martin juga menyatakan bahwa
komik merupakan medium dan bukanlah sebuah genre sastra (2009, para 3). Karena itu dapat
disimpulkan bahwa komik mulai dipandang sebagai bagian dari sastra.

Lionel Thrilling, seorang pengkritik sastra dan pengarang asal Amerika, menyatakan kutipan terkenalnya
bahwa sastra telah menyadarkan kita akan individualisme dan kekuasaan individu dalam pergumulannya
dengan sosial dan budayanya (Gottfried, 1997:61). Dari kutipan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa
sastra mencerminkan kebudayaan dan pemikiran dari masyarakat sastra tersebut lahir. Hal ini dikarenakan
pandangan pengarang karya sastra tersebut tentunya telah dibentuk dan/atau dipengaruhi oleh lingkungan
dan masyarakat tempat ia tinggal.

Sesuai dengan pernyataan Trilling, Jepang sebagai negara produsen manga terbesar juga mencerminkan
budayanya melalui manga mereka. Pada manga Jepang, kita dapat mempelajari berbagai nilai yang ada
dalam masyarakat Jepang. Bertentangan dengan pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya yang
menganggap manga merupakan bacaan anak kecil, manga merupakan cermin masyarakat baik
masyarakat zaman dahulu maupun sekarang dengan berbagai latar dan genre mulai dari kehidupan zaman
Edo, kehidupan sehari-hari, hingga science fiction masa depan.

Di dunia industri manga ini, tidak hanya bagi otaku ataupun kalangan pria pada umumnya, kaum hawa
juga dapat menikmati dunia hiburan Jepang ini. Bisa kita lihat dengan adanya genre yang dikhususkan
untuk wanita yaitu shoujo manga maupun genre josei. Dengan berpusat pada cerita romantisme, shoujo
manga dan josei manga menarik perhatian dari pembaca kaum hawa. Manga ataupun anime dengan cerita
romantisme tentu saja tidak hanya berpusat pada kedua genre ini. Salah satu subgenre dari manga dengan
cerita romantisme dengan tujuan konsumennya wanita adalah genre yaoi atau yang kita kenal dengan
boy’s love.

Yaoi dan boy’s love sendiri merupakan salah satu dari subgenre manga yang bertemakan romantisme
dengan tujuan utama pasarnya adalah kaum hawa. Sugiura Yumiko dalam bukunya Otaku Joshi Kenkyuu
mendefinisikan keduanya sebagai manga atau novel yang mengangkat kisah percintaan dan seks antara
pria. Di mana yaoi merupakan cerita parodi maupun alternatif dari anime yang populer dan boy’s love
merupakan karya original dengan tema ini (2006:8).

Pada cerita yaoi dan boy’s love ini karakter utamanya dibagi menjadi seme (攻め)dan uke (受け) .
Sesuai dengan kanjinya tokoh pria seme merupakan karakter pria yang memegang peran pria dan tokoh
pria uke memerankan peran wanita dalam hubungan homoseksual mereka.

Manga dengan berbagai genre yang dimilikinya merangkul berbagai kalangan usia, baik pria maupun
wanita. Namun otaku laki-laki mendominasi industri ini dan genre manga yang mendunia pun
kebanyakan untuk konsumsi pria – meskipun otaku wanita juga mengkonsumsi genre tersebut. Di
antaranya terdapat satu golongan otaku wanita yang disebut dengan fujoshi. Fujoshi (腐女子 ), yang bila
diartikan dari kanjinya berarti wanita yang busuk, merupakan sebutan bagi wanita yang menyukai cerita
percintaan sesama pria (Sugiura, 2006:8). Keberadaan fujoshi yang lebih memilih cerita roman antara
sesama pria dibanding cerita roman pada umumnya di antara pria dan wanita ini menarik penulis untuk
mengetahui penyebab munculnya minat mereka terhadap genre yaoi.

METODE PENELITIAN
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kuantitatif. Cara yang
dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan dan mendapatkan data, yaitu dengan membagikan angket
kepada 20 orang fujoshi yang berusia 17-35 tahun secara online. Kemudian penulis akan merumuskan dan
menganalisis data yang ada dengan metode analisis interpretatif deskriptif yaitu menjabarkan kesimpulan
yang didapat dari data yang ada dihubungkan dengan teori yang digunakan.

HASIL DAN BAHASAN


Pembahasan angket dibagi mejadi dua yaitu pertanyaan mengenai informasi latar belakang responden,
posisi wanita terhadap pria, dan mengenai fantasi dan imajinasi responden.

ANALISIS INFORMASI LATAR BELAKANG RESPONDEN

Pada analisis ini dapat diketahui bahwa rata-rata responden adalah pelajar (75%). Mereka mengenal genre
ini melalui internet. Hal ini sesuai dengan penjelasan Sandvoss mengenai pengaruh perkembangan
teknologi, terutama internet, terhadap penyebaran dan penambahan jumlah fandom (2005:3). Kemudian
56% lingkunan pertemanan responden mengetahui minat responden terhadap genre yaoi dan sekaligus
menjadi teman untuk berbicara mengenai genre tersebut. Sandvoss menjelaskan bahwa studi mengenai
fans tidak menjangkau seluruh fans dan aktivitasnya, namun lebih fokus pada interaksi sosial dan budaya,
institusi dan komunitas yang terbentuk melalui interaksi yang lebih dalam oleh grup-grup tersebut
(2005:5). Ia juga menjabarkan pendapat Hills bahwa budaya fans ini bukan hanya komunitas fans semata,
namun juga membentuk hierarki dalam komunitas tersebut. Para fans tidak hanya saling mengagumi
fandom tersebut, namun juga berdiskusi dan bersaing untuk mengetahui fandom tersebut lebih dari fans
lainnya. Dari hasil di atas di mana kebanyakan para responden membuka diri mereka sebagai fujoshi dan
bercerita mengenai genre yaoi yang mereka sukai pada teman mereka, kita dapat menyimpulkan para
responden dan teman mereka telah membentuk komunitas fujoshi kecil.

Kemudian pada pertanyaan mengenai alasan menyukai genre yaoi, para responden menjawab sesuai
dengan gambar 1 berikut.
Gambar 1. Analisis Alasan Fujoshi Menyukai Genre Yaoi

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa jawaban yang paling banyak adalah karena banyaknya tokoh
bishounen dalam genre yaoi (24,44%). Pada genre yaoi yang kedua tokohnya adalah pria, para fujoshi
dapat membayangkan dirinya sebagai salah satu tokoh tersebut dan juga menjadi pengamat dari kedua
tokoh pria tersebut. Dengan membayangkan diri sebagai tokoh pria. Mereka dapat menjadi orang luar
sambil mengeksplorasi imajinasi dan seksualitas mereka yang direfleksikan pada kedua tokoh utama pria
dalam genre yaoi. Meskipun begitu mereka tetap dapat merasa aman berimajinasi karena jarak antara
pembaca dengan karakter pria lebih jauh dibandingkan jarak pembaca dengan karakter wanita.

Kemudian jawaban lainnya adalah cerita yaoi lebih baik daripada cerita roman pada umumnya (17,78%).
Menurut Pagliassotti hal ini dikarenakan genre homoseksual ini memiliki perbedaan dengan cerita
heteroseksual seperti beragamnya sudut pandang penceritaan, protagonis yang bersifat androgini,
hubungan percintaan yang egaliter, dan gambaran aktivitas seksual (2008:80). Genre yaoi menyediakan
dua tokoh utama pria yang saling menjalin hubungan cinta di mana posisi mereka sebagai pria di
masyarakat patriarki tidak mendapat limitasi dan ekspektasi seperti pada tokoh utama wanita di manga
roman heteroseksual. Tokoh wanita pada manga heteroseksual diharapkan untuk bersifat submisif dan
pasif.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Isola, yaoi muncul sebagai hasil pemikiran wanita yang tidak
menyetujui konsep patriarki yang terlalu melekat pada dunia manga (2008:89). Di genre yaoi ini, kedua
tokoh adalah sejajar dan egaliter namun saling mendukung dengan adanya salah satu tokoh yang berperan
sebagai tokoh domestik (uke) dan tokoh lainnya menyediakan komitmen (seme). Berbeda dengan kisah
heteroseksual yang pada akhirnya tokoh wanita harus tunduk pada suaminya tanpa menuntut hak otonomi,
genre yaoi yang membawakan tema homoseksualitas tidak memiliki peran yang harus diikuti. Meskipun
hubungan dalam genre yaoi dan hubungan dalam manga roman heteroseksual terlihat sama, di mana
karakter uke dibuat mengikuti stereotip wanita, kedua tokoh utama dalam genre yaoi dapat berdiri sendiri
di masyarakat dengan posisi dan hak yang sama sebagai pria. Selain itu, peran uke dan seme tercipta atas
dasar kepercayaan mereka satu sama lain. Selain itu, tantangan yang dihadapi oleh kedua tokoh utama
dalam genre yaoi lebih banyak daripada cerita roman pada biasanya. Aspek-aspek ini menurut para
pembaca wanitanya menjadikan hubungan pada cerita yaoi lebih menarik dan ideal dibandingkan cerita
roman pada umumnya (Tan, 2008:128).
Kemudian jawaban untuk melarikan diri dari kenyataan (17,78%) memiliki hubungan dengan pilihan
mendapat kontrol atas pria (15,56%). Para responden merasa memiliki kendali atas karakter pria dalam
genre yaoi. Para fujoshi memegang kendali atas imajinasi mereka akan kedua tokoh pria dalam genre yaoi
seolah-olah mereka memegang kendali akan pria. Hal ini seperti yang dikemukakan Fujimoto bahwa
dalam yaoi wanita bebas dari posisi objek konsumsi pria secara sepihak. Sebaliknya, para fujoshi sebagai
pengamat dalam genre yaoi menjadikan pria sebagai objek konsumsi mereka (Thorn, 2004:179). Melalui
imajinasi mereka, para fujoshi menjadikan tokoh pria dalam genre yaoi sebagai sarana voyeurism atau
eksplorasi seksual mereka meskipun dengan tidak memiliki eksistensi dalam genre yaoi. Dengan
demikian, para fujoshi memiliki posisi di atas pria melalui imajinasi mereka terhadap tokoh pria dalam
genre yaoi.

ANALISIS FANTASI RESPONDEN

Pada analisis ini diketahui bahwa sifat ideal pada karakter uke adalah sifat pengertian (27%) dan sifat
independen (25%). Sedangkan untuk sifat ideal karakter seme, hasil yang paling banyak adalah sifat
dominan (25,93%) dan sifat loyal (24,07%). Berdasarkan penelitian oleh Holt, sifat dominan dan
independen merupakan sifat maskulin sedangkan sifat loyal dan pengertian merupakan sifat feminim
(1998:927-928). Menurut penelitian Holt (1998:927-928) sifat pengertian merupakan sifat feminim dan
sifat independen adalah sifat maskulin. Dari sini kita dapat melihat adanya perpaduan antara sifat feminim
dan maskulin dalam satu individu. Perpaduan ini sesuai dengan paham feminisme liberal yang
menganggap bahwa keadilan gender dapat dicapai dengan adanya sifat androgini, perpaduan sifat antara
sifat maskulin dan sifat feminim.

Baik karakteristik pada karakter seme ataupun uke, para wanita penggemar yaoi ini melihat adanya
kemiripan antara dirinya dengan karakter favorit yang mereka pasangkan. Kemiripan ini dirasakan secara
sadar maupun tidak sadar. Miller dan McHoul dalam Sandvoss menyatakan bahwa para fans sendiri
sering tidak dapat melihat batasan antara dirinya dan fandom yang mereka minati (2005:96). Dari sini
dapat dilihat adanya proses refleksi diri yang secara sederhana dijelaskan oleh mitos Narsisus. Menurut
McLuhan, hal yang terpenting dalam menginterpretasikan mitos Narsisus adalah fakta bahwa manusia
terpesona dengan berbagai ekstensi dirinya sendiri dalam bentuk materi selain dirinya sendiri (Sandvoss,
2005:99). Sebagaimana bayangan Narsisus oleh air menjadi ekstensi dirinya, para fujoshi sebagai
penggemar dari fandom yaoi terpesona dengan karakter di dalam genre yaoi ini karena adanya ekstensi
dirinya dalam karakter tersebut. Refleksi yang “dilihat” oleh fujoshi dalam karakter yaoi inilah yang
menjadi ekstensi dari para penggemar yaoi ini.

Meskipun 70% responden lebih dapat merefleksikan diri mereka sebagai tokoh utama wanita dalam genre
shoujo dibandingkan tokoh utama pria dalam genre yaoi. Walaupun yaoi memiliki karakter pria uke yang
berperan sebagai wanita dalam hubungan homoseksual mereka, para responden lebih dapat merefleksikan
diri sebagai tokoh wanita dalam genre shoujo manga. Meskipun terdapat kemiripan antara objek fandom
dengan fans, fans belum tentu menyadari adanya kemiripan tersebut (Sandvoss, 2005:104).
Ketidaksadaran fujoshi akan kemiripan tersebut dikarenakan adanya gap yang lebih lebar antara fujoshi
dan tokoh utama dalam genre yaoi daripada fujoshi dengan tokoh utama wanita (Thorn, 2004:179).

Tindakan refleksi dari para fujoshi terhadap karakter yaoi dapat dilihat pada gambar 2. . Sebanyak 70%
menjawab mereka pernah membayangkan diri mereka sebagai salah satu tokoh utama dalam genre yaoi,
45% sebagai karakter uke dan 25% sebagai karakter seme. Di sini kita dapat melihat adanya hasrat dari
para fujoshi untuk menjadi seorang pria. Sugiura menjelaskan pendapat Nakamura dan Mori bahwa
fujoshi sebagai wanita yang ingin menjadi pria karena kebencian mereka terhadap wanita (2006:98).
Freud juga mendukung pandangan tersebut dengan penjelasan penis envy dalam teori psikoanalisisnya.
Freud memandang wanita mengalami ‘kekurangan’ karena tidak memiliki alat genital yang sama dengan
pria sehingga mereka berada di bawah posisi pria (Tong, 2009:131). Dari sinilah muncul keinginan untuk
menjadi pria tersebut. Keinginan untuk menjadi pria ini disalurkan melalui imajinasi mereka di mana
mereka membayangkan diri mereka sebagai salah satu tokoh dalam genre yaoi ini.

Dengan membayangkan diri mereka sebagai salah satu tokoh utama dalam genre yaoi ini, para fujoshi
telah melakukan proses proyeksi dan introyeksi. Klein menyatakan bahwa fans melakukan proses
proyeksi dan introyeksi diri pada fandom. Klein menjelaskan proyeksi, sebagai proses merefleksikan diri
mereka pada objek luar, mendorong para fans untuk merefleksikan diri mereka, dalam hal ini tokoh dalam
genre yaoi (Sandvoss, 2005:81). Meskipun refleksi yang dicerminkan dapat berupa sifat yang baik
maupun buruk, kebanyakan refleksi yang dipantulkan adalah sifat yang baik. Refleksi sifat baik ini
terpantul pada hasil sifat ideal karakter uke dan seme sebelumnya.

Gambar 2. Analisis Apakah Responden Pernah Berimajinasi Sebagai Karakter dalam Genre Yaoi.

ANALISIS POSISI WANITA TERHADAP PRIA

Sebanyak 55% responden menjawab bahwa mereka puas dengan kondisi mereka saat ini. Bila
dibandingkan dengan zaman dahulu, posisi wanita saat ini mulai membaik. Namun bukan berarti
kekuasaan patriarki telah digeserkan oleh keinginan untuk kesetaraan gender. Hal ini dapat dilihat dengan
perbedaan yang sedikit antara responden yang menjawab puas (55%) dengan responden yang tidak puas
(45%) dengan kondisi mereka saat ini.

Ketidakpuasan wanita ini tentunya dipengaruhi juga oleh keadaan sosial mereka. Perlakuan dan tuntutan
yang dibebankan pada mereka ini tidak hanya terlihat secara sosial saja, namun juga dalam literatur.
Ketimpangan ini seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya terlihat pada penceritaan manga
shounen terutama pada awal munculnya genre yaoi. Dunia manga didominasi dengan pemikiran pria
Jepang yang pada saat itu masih memandang wanita di bawah bahkan merupakan objek pria. Pemikiran
ini tercermin pada alur cerita manga-manga yang dicetak pada masa itu, di mana peran wanita tidak
begitu penting (Funabashi, 1995:257).

Kemudian sesuai dengan gambar ke-3, sebanyak 16 orang (80%) menjawab mereka pernah mengalami
ketidakadilan gender. Ketidakadilan yang didefinisikan oleh para feminis sebagai nilai patriarki (Murray,
1995:6) ini dikarenakan adanya kontrol oleh masyarakat yang didominasi oleh pria. Novelis yaoi
Kurimoto Kaoru menyatakan adanya ketimpangan gender dalam kebebasan di masyarakat di mana wanita
terus-menerus diklasifikasikan berdasarkan bagaimana penampilan mereka, bagaimana mereka memenuhi
tuntutan masyarakat terhadap fungsi gendernya, bagaimana mereka mereka mengatur keadaan di rumah,
dan sebagainya. Karena adanya perlakuan diskriminasi terhadap wanita inilah para wanita mulai
memandang yaoi sebagai tempat di mana mereka bebas dari pandangan pria maupun masyarakat, dan
ketiadaan eksistensi para wanita yang terus-menerus menjadi objek (Hori Akiko, 2013). Pandangan ini
dikukuhkan oleh Takemiya yang menyatakan yaoi sebagai langkah awal dari feminisme Jepang (Thorn,
2004:179).
Gambar 3. Analisis Apakah Responden Pernah Mengalami Ketidakadilan Gender.

Kemudian 70% responden menyatakan mereka merasa memiliki kontrol atas pria ketika mengkonsumsi
genre yaoi. Berdasarkan teori proyeksi oleh Klein, pembaca wanita lebih dapat merelasikan diri secara
langsung pada tokoh utama wanita dalam shoujo manga. Mereka lebih dapat bersimpati pada tokoh
wanita karena lebih mudah melihat diri mereka yang juga seorang wanita. Dalam shoujo manga yang
heteroseksual, mereka masih harus mengikuti kekangan yang diberikan pada mereka oleh nilai patriarki
dalam masyarakat. Namun dalam genre yaoi yang merupakan subkultur dari genre shoujo manga,
eksistensi wanita tidak ada. Pembaca wanita benar-benar menjadi orang luar dalam kisah yaoi. Para
pembaca wanita menjadi pengamat dalam cerita yaoi tersebut dan memegang kendali atas kedua karakter
pria dengan imajinasi mereka.

Selain menjadi pengamat, fantasi mereka pada karakter pria dalam genre yaoi membentuk ekstensi diri
mereka dalam karakter pria tersebut. Mereka dapat mengeksplorasi fantasi dan seksualitas mereka pada
kedua karakter pria tanpa harus ‘terlibat’. Dengan adanya gap yang dijelaskan oleh Thorn sebelumnya
dan tidak adanya eksistensi wanita dalam genre yaoi, mereka tetap merasa aman mengekspresikan fantasi
dan seksualitas mereka (2004:179).

Gambar 4. Analisis Apakah Responden Merasa Memiliki Kontrol atas Karakter Pria ketika Membaca
Yaoi.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil analisis yang di atas, dapat disimpulkan penyebab munculnya minat fujoshi terhadap genre yaoi
berhubungan dengan feminisme terutama feminisme liberal. Para fujoshi yang menjadi responden
menjawab bahwa mereka menyukai cerita yaoi karena hubungan egaliter yang dimilikinya. Kemudian
alasan lainnya adalah karena mereka merasa mendapatkan kontrol atas pria dan menjadikan yaoi sebagai
sarana eksplorasi imajinasi dan seksualitas mereka.

Adanya 80% responden yang pernah mengalami ketidakadilan gender menunjukkan adanya kekangan
nilai patriarki dalam lingkungan sosial mereka. Kekangan ini juga dilihat para responden dalam manga
maupun anime pada umumnya. Pada akhirnya cerita heteroseksual menuntut tokoh wanita untuk
mengikuti nilai patriarki. Namun dalam cerita yaoi, kedua tokoh utama memiliki posisi yang sama
sebagai pria di mata masyarakat.

Kemudian dengan merefleksikan diri sebagai salah satu tokoh utama dalam genre yaoi, pada fujoshi dapat
mengeksplorasi imajinasi dan seksualitas mereka. Adanya gap antara tokoh utama dalam genre yaoi
dengan pembaca membuat para fujoshi merasa lebih aman mengeksplorasi hal tersebut.

Selain itu, dalam genre yaoi tidak ada eksistensi pembaca sebagai wanita tidak ada. Karena itu apabila
dalam cerita heteroseksual wanita menjadi objek bagi pria, maka dalam genre yaoi posisi pembaca berada
di atas pria sebagai ‘pengamat’ tokoh utama genre yaoi melalui imajinasi mereka. Dengan posisi mereka
sebagai pengamat ini, para fujoshi merasa memiliki kontrol atas pria.

REFERENSI
Funabashi, K. (1995). Pornographic culture and sexual violence. Dalam Kumiko Fujimura-Fanselow,
Atsuko Kameda (Eds). Japanese Women: New Feminist Perspectives on the Past, Present, and Future
(255-263). New York: The Feminist Press.

Galbraith, P.W. (2011). Fujoshi: fantasy play and transgressive intimacy among “rotten girls” in
contemporary Japan. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 37 (1), 211-232.

Holt, Cheryl L. (1998). Assessing the Current Validity of the Bem Sex-Role Inventory. Sex Roles, 39,
937-938.

Hori, A. (2013). On the Response (Or Lack Thereof) of Japanese Fans to Criticism that Yaoi is Antigay
Discrimination. Transformative Works and Cultures 12. Diunduh dari
http://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/view/463/388

Isola, M.J. (2008). Yaoi and Slash Fiction: Women Writing, Reading, adn Getting Off?. Dalam Antonia
Levi, Mark Mcharry, Dru Pagliassotti (Eds). Boy’s Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and
Cross-Cultural Fandom of the Genre (84-97). North Carolina: McFarland&Company, Inc.

Kobayashi, Y. (2004). A Path Toward Gender Equality: State Feminism in Japan. New York: Routledge

Martin, T. (2009). How Comic Books Became Part of the Literary Establishment. Diunduh dari
http://www.telegraph.co.uk/culture/books/bookreviews/5094231/How-Comic-Books-became-part-of-the-
literary-establishment.html

Mizuta, T. (2009). Seikatsu Shiryou no Seisan to Seimei no Seisan: Joseishi wa Seiritsu Suru Ka. Dalam
Ehara Yumiko. Feminizumu Riron: Shinpen Nihon Feminizumu 2 (151-166). Tokyo: Iwanami Shoten.
Mizoguchi, A. (2008). Reading and Living Yaoi: Male-Male Fantasy Narratives as Women’s Sexual
Subculture in Japan. Diunduh dari
https://urresearch.rochester.edu/institutionalPublicationPublicView.action?institutionalItemId=5822

Murray, Mary. (2005). The Law of Father?. New York: Routledge.

Pagliassotti, D. (2008). Better than romance? Japanese BL manga and the subgenre of male/male
romantic fiction. Dalam Antonia Levi, Mark Mcharry, Dru Pagliassotti (Eds). Boy’s Love Manga: Essays
on the Sexual Ambiguity and Cross-Cultural Fandom of the Genre (59-82). North Carolina:
McFarland&Company, Inc.

Sandvoss, Cornel. (2005). Fans: The Mirror of Consumption. Cambridge: Polity Press.

Sugiura, Y. (2006). Fujoshika Suru Sekai: Ikebukuro no Otaku Joshitachi. Tokyo: Chuou Kouron
Shinsha.

Sugiura, Y. (2006). Otaku Joshi Kenkyuu: Fujoshi Shisou Taikei). Tokyo: Genshobou.

Tan, B.K. (2008). Rewriting gender and sexuality in English-language yaoi function. Dalam Antonia Levi,
Mark Mcharry, Dru Pagliassotti (Eds). Boy’s Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross-
Cultural Fandom of the Genre (126-155). North Carolina: McFarland&Company, Inc.

Thorn, M. (2004). Girls and women getting out of hand: the pleasure and politics of japan’s amateur
comics community. Dalam William W. Kelly (Ed). Fanning the Flames: Fans and Consumer Culture in
Contemporary Japan (pp. 169-187). Albany: State University of New York Press.

Thorn, M. (2008). The Multi-Faceted Universe of Shoujo Manga. Diunduh dari http://matt-
thorn.com/shoujo_manga/colloque/index.php

Tong, R. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.

RIWAYAT PENULIS
Nice lahir di kota Pekanbaru pada tanggal 25 Juli 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di
Universitas Bina Nusantara dalam bidang Sastra Jepang pada tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai