Anda di halaman 1dari 11

Empati pada Pasien

1. Pengertian empati pada pasien


Masing-masing individu di dunia ini sangat bergantung pada orang
lain, oleh karena itu masing-masing individu harus bersedia mengulurkan
bantuan kepada orang lain. Itulah sebabnya maka Chaplin (1997, h. 65)
mengemukakan bahwa empati adalah pemahaman pikiran- pikiran dan
perasaan-perasaan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam
kerangka pedoman psikologis orang tersebut tanpa sungguh-sungguh
mengalami yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Empati
dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali,
memahami, dan mengevaluasi orang lain. Melalui empati seseorang bisa
benar-benar merasakan dan menghayati sebagai orang lain termasuk
bagaimana

seseorang

mengamati

dan

menghadapi

masalah

dan

keadaannya (Gunarsa, 1992, h. 71) Menurut Erwin (1993, h.31) empati


adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain meskipun tidak
perlu merasakan pengalaman emosi yang sama, cara mengungkapkan
empati dapat dilakukan secara verbal maupun ekspresi wajah.
Sedangkan Soekidjo (2003, h.77) mengemukakan bahwa empati
merupakan kemampuan untuk menempatkan diri pada kedudukan orang
lain yakni orang-orang yang diajak berkomunikasi. Lebih lanjut Hurlock
(1992, h.118) mengemukakan bahwa empati adalah kemampuan seseorang
untukmengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan
untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Kemampuan ini
mulai dapat dimiliki seseorang ketika menduduki akhir masa kanak-kanak
awal (6 tahun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu

memiliki dasar kemampuan untuk berempati, hanya saja berbeda tingkat


kedalaman

dan

cara

mengaktualisasikannya.

Anna

(1992,

h.19)

mengemukakan bahwa empati merupakan kemampuan masuk dalam


kehidupan klien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya.
Sedangkan Wiggins

(1994,

h.59) mengemukakan

bahwa

empati

merupakan kemampuan untuk merasakan persepsi orang lain, yaitu


memandang dan merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang
dan merasakan. Lebih lanjut Scotland (1985, h.265) mendefinisikan
empati sebagai perasaan emosional orang lain yang dialami seseorang
seperti perasaannya sendiri.
Dengan empati seseorang berusaha melihat seperti orang lain
melihat, merasakan seperti orang lain merasakan. Hal ini sependapat
dengan Eisenberg (1987, h. 104) yang mengemukakan bahwa empati
adalah memahami orang lain dan ikut merasakan perasaan orang lain.
Seseorang dapat dikatakan berempati dengan baik, apabila mempunyai
kemampuan untuk membedakan dan memberikan label terhadap perasaan
atau emosi orang lain, mempunyai kemampuan mengasumsi perspektif
dan alih peran orang lain, serta memilikikemampuan untuk memberikan
respon emosional dengan baik (Fesbech dalam Erwin, 1993, h.104).
Berdasarkan teori-teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa empati
adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain
serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain
yang diungkapkan secara verbal maupun ekspresi wajah. Pasien menurut
Yasmin (1998, h. 22) adalah seseorang yang berada dalam keadaan tidak
berdaya dan hanya bisa mendukung usahausaha dalam mencapai

penyembuhan. Menurut Priharjo (1995, h. 13) pasien adalah orang yang


mengalami kesakitan yang tidak disengaja maupun disengaja dimana
dirinya memiliki dua kewajiban yang mendasar yaitu mencari kesembuhan
dan mencari orang yang berkompeten untuk dapat menolongnya.
Menurut Roestiana (2000, h. 9) pasien adalah konsumen kesehatan
yang memiliki hak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan
pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan itu Roper (2001, h. 10)
menyatakan bahwa pasien merupakan subjek yang memiliki pengaruh
besar atas hasil akhir dari suatu bentuk pelayanan keperawatan yang
diberikan oleh pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya sehingga
sesuai dengan harapan dari subjek tersebut. Definisi lain mengenai pasien
juga dikemukakan oleh Lumenta (1998, h. 7) yang menyatakan bahwa
pasien adalah seseorang yang mengalami suatu gangguan baik itu
gangguan secara fisik maupun secara kejiwaan, sehingga mereka
membutuhkan bantuan dari orang yang memiliki keahlian di bidangnya.
Berdasarkan beberapa definisi yang diungkap diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pasien merupakan seseorang yang mengalami suatu
gangguan baik itu secara fisik maupun kejiwaan dan berada dalam
keadaan yang tidak berdaya sehingga mereka membutuhkan bantuan dari
orang yang memiliki keahlian di bidangnya dengan tujuan mencari
kesembuhan. Berdasarkan definisi empati dan pasien yang telah
diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa empati pada pasien adalah
kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan seseorang yang
mengalami suatu gangguan baik itu secara fisik maupun kejiwaan dan

berada dalam keadaan tidak berdaya, yang diungkapkan secara verbal


maupun ekspresi wajah.
2. Aspek-aspek Empati
Menurut Cialdini (dalam Wisyaningrum, 2004, h.14) empati
mempunyai beberapa aspek yaitu :
a. Simpati Simpati adalah perasaan yang timbul karena mengetahui orang
lain mengalami rasa senang atau tidak senang.
b. Kasihan Kasihan adalah perasaan iba atau belas kasihan melihat
penderitaan orang lain.
c. Tergerak hati Tergerak hati adalah keinginan untuk membantu atau
menolong terhadap penderitaan orang lain.
Batson dan Coke (dalam Watson, 1998, h.290) menyatakan bahwa
di dalam empati juga terdapat aspek-aspek :
a. Kehangatan Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki
seseorang untuk bersikap hangat terhadap orang lain.
b. Kelembutan Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki
seseorang untuk bersikap maupun bertutur kata lemah lembut terhadap
orang lain.
c. Peduli Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk
memberikan perhatian terhadap sesama maupun lingkungan sekitar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aspekaspek empati adalah simpati, kasihan, tergerak hati, kehangatan,
kelembutan dan peduli. Dari aspek-aspek empati yang diuraikan diatas
hanya ada tiga aspek yang diambil dalam penelitian ini yaitu kehangatan,
kelembutan, dan peduli. Hanya diambil ke tiga aspek empati karena
kehangatan, kelembutan, dan peduli sesuai dengan definisi mengenai
empati itu sendiri.
3. Hubungan antara Empati pada Pasien dengan Perilaku Prososial
Perawat

Murray (dalam Walgito, 2002, h.57) menyatakan bahwa manusia


adalah mahluk sosial dan mempunyai dorongan untuk mengadakan
hubungan dengan individu lain meskipun masing-masing individu
memiliki kemandirian yang tinggi, tetapi pada suatu titik tertentu pasti
akan membutuhkan individu lain di sekelilingnya. Masing-masing
individu selamanya akan menjadi bagian dari lingkungan dalam situasi
serta keadaan apapun, sadar tidak sadar masing-masing individu harus
berinteraksi dengan individu lain serta membutuhkan pertolongan untuk
memenuhi kebutuhannya.
(Cooley dalam Sarwono, 1991, h.57) Perilaku memberikan
pertolongan yang disebut perilaku prososial dilakukan secara sukarela
yaitu bersedia menolong orang yang membutuhkan pertolongan,
memperhatikan kesejahteraan individu lain, tidak mementingkan imbalan
dan keuntungan bagi individu yang menolong. Individu dikatakan
berperilaku prososial jika individu tersebut memenuhi kriteria pada aspekaspek dari perilaku prososial yaitu: berbagi, berderma, menolong,
kerjasama, dan pengorbanan. (Batson dalam Brehm dan Kassin, 1993,
h.305) Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan individu
dalam mengurangi kehidupan sosialnya, karena dengan kemampuan
prososial masing-masing individu akan lebih diterima dalam pergaulan
dan akan dirasakan kehadirannya bagi individu lain. Pada dasarnya setiap
orang memiliki perilaku prososial begitu juga dengan perawat di rumah
sakit yang selalu berhubungan dengan pasien-pasiennya,
tingkatannya saja yang berbeda-beda.

namun

Ada perawat yang memiliki perilaku prososial lebih baik,


sebaliknya ada pula perawat yang memiliki perilaku prososial yang lebih
rendah. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang ada
dalam diri perawat itu sendiri. Menurut O Sears, Dayakisni dan Hudaniah,
serta Eisenberg salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial
adalah

Empati.

Eisenberg

(1994,

h.44-45)

dalam

penelitiannya

mengungkapkan bahwa empati merupakan faktor yang mempunyai peran


dalam mempengaruhi munculnya perilaku prososial, dimana empati sangat
berkaitan dengan perilaku prososial dan dalam pengembangan kepribadian
seseorang. Empati juga harus dimiliki oleh seorang perawat dalam
menangani pasiennya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa (1995, h.57) yaitu bahwa pelayanan keperawatan bermutu yang diberikan oleh
perawat dapat dicapai apabila perawat dapat memperlihatkan sikap caring
kepada pasien. Dalam memberikan pelayanan hendaknya menggunakan
keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan,
selalu berada disamping pasien dan berkemampuan untuk memberikan
rasa simpati serta rasa empati, sehingga dengan adanya sikap caring yang
dimiliki oleh seorang perawat maka perawat akan dapat saling bekerja
sama dengan pasiennya di dalam proses penyembuhan. Selain mampu
bekerja sama dengan pasiennya di dalam proses penyembuhan, empati
juga mendukung seorang perawat melakukan perilaku prososial pada
pasiennya, jadi semakin seorang perawat peduli terhadap keadaan dan
kondisi pasiennya maka perawat tersebut akan selalu memberikan
pertolongan yang lebih baik kepada pasiennya.

BAD NEWS
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dan harus
diperhatikan dalam hubungan dokter-pasien. Meskipun teknologi di
bidang kesehatan sudah sangat berkembang, komunikasi tetap menjadi
penentu kepuasan pasien dan menjadi bagian dari rencana perawatan
pasien di masa yang akan datang (Korsh, Gozzie et. al, 1968).
Penyampaian berita buruk merupakan hal tersulit yang harus dihadapi oleh
dokter maupun tim kesehatan lainnya. Penyampaian berita buruk dapat
mengubah cara pandang bahkan hubungan antar dokter-pasien dan
keluarganya selamanya. Penelitian oleh Magiure, Rutter (1976) dan
Simpson, Buckman et.al (1991) menunjukkan bahwa keterampilan
berkomunikasi dapat ditingkatkan, namun demikian masih banyak
ditemukan kekurangan dalam penyampaian berita buruk. Pasien dan
keluarga pasien menunjukkan keingintahuan mengenai diagnosis mereka,
sedangkan pada saat yang sama para tekanan yang dialami para dokter
untuk berbagi informasi juga semakin meningkat.
Meski demikian, ketidakpuasan dalam proses tersebut merupakan
hal yang umum dan persepsi yang mendominasi adalah para dokter
terkesan dingin dan tidak bersahabat. Penyampaian berita buruk mengenai
diagnosis ataupun prognosis yang fatal merupakan tugas berat yang tidak
dapat dihindari oleh mahasiswa kedokteran maupun dokter. Penyampaian
berita buruk dapat menjadi lebih sulit karena baik mahasiswa kedokteran
maupun dokter seringkali tidak mengenal pasiennya dengan baik.
Beberapa hal yang menjadi penyulit adalah ketika pasien ataupun
keluarga pasien memutarbalikkan pesan yang mereka dengar karena tidak
dijelaskan secara komprehensif. dalam hal ini komunikasi yang efektif

merupakan hal yang berperan penting. Keterampilan berkomunikasi yang


baik diperlukan dalam rangka untuk memastikan bahwa berita buruk yang
disampaikan lebih manusiawi dan efektif.
Langkah-langkah Penyampaian Berita Buruk menurut Robert
Buckman (2000)
1. Persiapan
Persiapan tempat untuk menyampaikan berita buruk hendaknya
dapat menjaga provasi pasien. Dokter harus menanyakan terlebih dahulu
apakah pasien ingin didampingi oleh orang lain (suami/ istri/ anak/
saudara, dll). Contoh pertanyaan untuk mengawali sesi ini antara lain:
bagaimana kabar anda hari ini?
2. Memulai diskusi
Dokter disarankan untuk mengarahkan pembicaraan ke inti pesan
dengan menanyakan apakah pasien sudah mengetahui kondisi yang
sebenarnya mengenai penyakitnya, sehingga respon dari pasien dapat
mengukur pemahaman, harapan dan keadaan emosional pasien. Respon
yang diberikan juga akan menunjukkan bagaimana pasien memahami
situasinya saat ini melalui makna yang umum maupun lebih mendetail
Contoh: Dokter: Apakah ibu sudah diberitahu tentang penyakit ibu?
Pasien: sedikit dok, tapi saya kurang yakin.
3. Melibatkan pasien
Dokter hendaknya menanyakan kepada pasien seberapa banyak
mereka ingin mengetahui tentang kondisinya. Contoh: Dokter: beberapa
pasien meminta saya untuk menjelaskan penyakit ini secara lengkap, tapi
ada juga yang ingin tahu gambaran keseluruhannya seperti apa. Bapak/ Ibu
lebih memilih yang mana?
4. Mengungkapkan Informasi
Dalam mengungkapkan informasi yang berisi berita buruk, dokter
hendaknya

berencana

untuk

mendiskusikan

diagnosis,

prognosis,

perawatan serta mekanisme untuk mendapatkan dukungan dan cara


mengatasinya. Perencanaan yang membutuhkan persiapan paling sedikit,
dokter hendaknya dapat memberikan pengetahuan awal mengenai
bagaimana dokter tersebut harus mengungkapkan atau memberikan berita
buruk kepada pasien tertentu. Hal ini memerlukan lebih dari satu waktu
diskusi. Dokter harus memiliki informasi yang relevan terlebih dahulu,
focus dan memiliki satu atau dia topic pada waktu yang bersamaan. Dokter
hendaknya mengatur kesempatan untuk Tanya jawab dalam proses diskusi.
Terminologi

medis

harus

dihindari

kecuali

jika

pasien

dapat

memahaminya. 5. Pengakuan terhadap Perasaan Pasien


Salah satu dari aspek terpenting dalam interaksi yang manusiawi
adalah pengakuan terhadap reaksi pasien. Jika tidak ada reaksi yang jelas
dari penyampaian berita buruk, dokter dapat meminta pasien untuk dapat
mengekspresikan perasaan mereka. Secara umum, jika pasien mulai
menangis, dokter harus menunggu sampai tangisannya berhenti. Dokter
dapat menawarkan agar prosesnya diperlambat
contoh: bapak/ibu silakan minum dulu, kita lanjutkan setelah bapak/ibu
siap.
Emosi pasien tidak boleh diabaikan pada proses pembicaraan,
namun tidak boleh mengganggu proses pemberian informasi yang harus
diketahui oleh pasien. Hal ini berkaitan dengan kondisi psikologis pasien
ketika menerima berita buruk. Adakalanya pasien lupa terhadap hal-hal
yang spesifik pada diagnosis maupun prognosis penyakitnya. Dokter
hendaknya siap untuk menawarkan kesempatan untuk melakukan follow
up untuk diskusi lebih lanjut dengan profesi lain yang dapat membantu
kondisi pasien (psikolog, perawat, support group, dll).

6. Perencanaan dan Tindakan Selanjutnya


Pada suatu titik tertentu, dokter hendaknya mendiskusikan rencana
pengobatan yang spesifik dengan pasien. Contohnya dokter dapat
mengatakan bahwa beberapa tes diperlukan, kapan tes ini harus dilakukan
dan dimana tes ini harus dilakukan. Dokter juga harus menjanjikan waktu
untuk kunjungan pasien selanjutnya dan memastikan agar pasien dapat
dengan mudah dan pantas dapat menghubungi dokter. Selain metode
tersebut, terdapat juga metode SPIKES untuk penyampaian berita buruk
yang terdiri dari: Setting, Patients Perception, Invitation,Knowledge,
Empathy, Strategy/ Summarize Setting, meliputi:
1. privasi
2. kehadiran orang lain yang penting dalam kehidupan pasien
3. duduk
4. tampilan penuh perhatian dan tenang
5. Mendengarkan secara aktif: hening dan ada pengulangan
6. Ketersediaan ruang dan kehadiran pasien, alat bantu yang dirasakan
perlu
Daftar pustaka :
Chaplin. 1995. Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa : Kartono.
Jakarta : Rajawali Press.
Gunarsa, S.D. 1995. Psikologi Perawatan. Jakarta : PT. BPK Gunung
Mulia.
Erwin, P. 1993. Friendship and Pear Relation in Children. London : John
Willey & Sons Ltd
Soekidjo, N. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Hurlock , E. B. 1991. Perkembangan Anak. Jilid I. Alih bahasa :
Tjandrasa, M. Edisi keenam. Jakarta : Erlangga.
Anna, K. 1992. Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Wiggins, J.A. 1994. Social Psychology. New York : Mc. Graw Hill Inc.

Eisenberg, N. Strayer, J. 1987. Self Disclosure With Friends Across The


Life Cycle. Journal Of Social and Personal Relationship. No 4.
493-512.
Priharjo, R. 1995. Pengantar Etika Perawatan. Jakarta : Kanisius.
Roestiana, S. 2000. Hak dan Kewajiban Pasien. Jakarta. Kanisius.
Yasmin, A. 1999. Asuhan Keperawatan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Roper, N. 2001. Prinsip-prinsip Keperawatan. Yogyakarta : Andi Offset.
Lumenta, B. 1989. Perawat, Citra, Peran dan Fungsi. Yogyakarta :
Kanisius.
Wisyaningrum, S. 2004. Kompetensi Interpersonal ditinjau dari Empati
pada remaja di Lingkungan Perumahan Srondol Bumi Indah.
Skripsi. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.
Walgito, B. 1991. Psikologi Sosial. Yogyakarta : Andi Offset.
Sarwono, SW. 1987. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : Rajawali
Gunarsa, S.D. 1995. Psikologi Perawatan. Jakarta : PT. BPK Gunung
Mulia.
Garg, A., Buckman, R., Kason, Y., 1997. Teaching medical students how
to break bad news. Canada Medical Association Journal 1997; 156:
1159-64

Anda mungkin juga menyukai