Anda di halaman 1dari 8

Nama: Ira Fahriza

Kelas: 1C – Prodi Ilmu Administrasi Negara

SUKU GAYO – PROVINSI ACEH

Suku Gayo merupakan salah satu etnis suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo, di Provinsi Aceh
bagian tengah. Bagian tersebut meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Selain
itu, sebagiannya juga ada yang mendiami wilayah Aceh Timur, yaitu Kecamatan Serba Jadi Peunaron dan
Simpang Jernih.

Suku Gayo tergolong ke dalam ras Proto Melayu yang berasal dari India, yang diperkirakan datang ke
Indonesia sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Adapun ciri khas bangsa ini yakni berkulit gelap, bertubuh
kecil dan berambut keriting.

Dalam sukunya, Suku Gayo terdiri atas tiga kelompok, antara lain, masyarakat Gayo laut, yang mendiami
daerah Aceh Tengah tadi, Bener Meriah, dan Gayo Lues yang mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh
Tenggara, serta Gayo Biang yang berada di kecamatan di Aceh Tamiang. Berdasarkan sensus 2010,
diperkirakan jumlah jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.

Kata Gayo berasal dari kata Pegayon yang berarti tempat mata air jernih dimana terdapat ikan suci
(bersih) dan kepiting. Konon, dahulu serombongan pendatang suku Batak Karo ke datang ke
Blangkejeren dengan melintasi sebuah desa bernama Porang.

Di perjalanan mereka menjumpai sebuah perkampungan yang terdapat sebuah telaga yang dihuni seekor
kepiting besar, kemudian mereka melihat binatang tersebut dan berteriak Gayo Gayo. Dari sinilah daerah
tersebut dinamai dengan Gayo.

 Bahasa

Bahasa yang digunakan suku Gayo adalah Bahasa Gayo. Bahasa yang mempunyai keterkaitan dengan
bahasa suku Batak Karo di Sumatera Utara, dan termasuk ke dalam kelompok bahasa yang disebut
“Northwest Sumatra-Barrier Islands”, dari rumpun bahasa Austronesia.

Apabila berbicara tentang bahasa yang digunakan suku Gayo juga, Suku Gayo lebih didominasi dengan
bahasa lain (selain bahasa Aceh), bahasa yang dialeknya berbeda jauh dengan bahasa Aceh.

Dialek bahasa Gayo juga mempunyai beberapa variasi sebab pengaruh dari bahasa luar. Bahasa Gayo
yang ada di Lokop pun sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo, Lut, Linge
dan Gayo Lues. Hal ini disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur.

Sementara bahasa Gayo Kalul di Aceh Tamiang sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih
dekat ke Sumatera Utara. Lalu, Gayo Lues juga dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena
interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut dan lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di
kabupaten Aceh Tenggara.

Silih berganti, penggunaan bahasa Gayo juga semakin berkembang, hingga kini terdapat sekiranya 2 jenis
bahasa Gayo, yaitu, Gayo kasar dan halus. Di Takengon sendiri, bahasa yang lebih dominan
menggunakan bahasa kasar, dan untuk berbicara kepada yang lebih tua/orang tua, juga digunakan bahasa
halus.

 Religi

Suku Gayo dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama. Dasar kepercayaan di tanah Gayo adalah
satu. Dimana setiap orang sudah memeluk agama islam. Meskipun begitu, Agama Islam masuk ke Gayo
memerlukan waktu yang cukup lama sebab suku Gayo pada saat itu masih menganut kepercayaan
animisme dan Agama Buddha. Hal ini dibuktikan dari jejak-jejak kerangka yang ditemukan di Ujung
Karang dan Mendale berdasarkan uji karbon berusia 7400 tahun yang lalu.

Ada hal unik dalam sistem religius di tanah Gayo ini. Dalam hal ini, sesuai yang telah dikutip dalam
buku. Suku Gayo cenderung jarang menyebarkan atau bahkan mengajarkan sekalipun ilmu agama yang
telah diperoleh. Sehingga tidak terlihat perubahan pada diri mereka. Meskipun begitu, kehidupan
kekerabatan suku Gayo pun sama seperti penduduk beragama islam lainnya. Masih pula terdapat dari
mereka yang bertahan pada kepercayaan sebelumnya. Untuk kehidupan beragama, suku Gayo tetap
menggunakan aturan adat yang berlaku.

 Mata Pencaharian

Mayoritas suku Gayo bermata pencaharian utama sebagai petani, dengan komiditi berupa kopi. Namun di
daerah danau laut tawar, kebanyakan masyarakat sebagai Nelayan, dengan pekerjaan sampingan berkebun
kopi pula. Untuk di daerah Isaq, lebih dominan masyarakatnya memelihara atau mengembalai hewan.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga
mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang
dominan adalah berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat keramik dan anyaman
pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di
Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian
adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.
 Kehidupan sosial

Di dalam ruang lingkup masyarakat, suku Gayo hidup di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komuniti
kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh gecik atau reje kampong, kumpulan beberapa
disebut kemukiman yang dipimpin oleh mukim. Dalam sistem pemerintahan tradisional, terdapat unsur
kepemimpinan yang disebut dengan sarak opat, terdiri dari, reje (raja), petue (petua, orang yang
dituakan), imem (imam), dan rayat (rakyat).

Namun di masa sekarang beberapa buah kemukinan tadi telah menjadi bagian dari kecamatan dengan
masih berupa unsur kepemimpian yang hampir sama, antara lain, gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik
pandai yang mewakili rakyat.

Umumnya sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota
suatu belah berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal dan mengembangkan hubungan tetap
dalam berbagai upacara adat. Sementara pada garis keturunan, berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem
perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah
menikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).

Adapula kelompok kekerabatan terkecil yang disebut dengan sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa
keluarga inti ini disebut sara dapur. Di masa lalu, beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah
rumah panjang, disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan).
Namun, di masa sekarang, sudah banyak keluarga inti yang tinggal di rumah masing-masing.

 Seni Budaya

Suatu unsur budaya yang tidak pernah hilang dalam masyarakat Gayo adalah kesenian. Bentuk kesenian
Gayo yang terkenal, antara lain, Tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong.

Selain untuk sarana hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur
sosial masyarakat.

Budaya di tanah Gayo ini sudah ada sejak zaman nenek moyang, tepatnya pada masa
pemerintahan Raja Linge sampai saat ini, yang kini menjadi ciri khas tersendiri dari suku Gayo.

Seni dan Tarian

 Didong
 Didong Niet
 Tari Saman
 Tari Bines
 Tari Guel
 Tari Munalu
 Tari Sining
 Tari Turun ku Aih Aunen
 Tari Resam Berume
 Tuah Kukur
 Melengkan
 Dabus

Tari saman tarian mencerminkan budaya Gayo yang sangat kuat menganut agamanya dari gerak
dan lirik lagu yang di ucapkan oleh para penarinya, jumlah tari saman selalu ganjil, tari saman
dilakukan formasi berduduk berjejer rapat disertai gerakan dinamis tangan dan kepala.
SUKU SASAK – LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

Suku Sasak merupakan suku asli dari Nusa Tenggara Barat, dan mendiami daerah Lombok. Nama Sasak
pertama kali disebutkan dalam Prasasti Pujungan, yaitu prasasti yang ditemukan di Kabupaten Tabanan,
Bali, yang diperkirakan berasal dari abad ke-11. Asal nama Sasak konon katanya berasal dari kata sak-sak
yang artinya sampan.

Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok
Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq"
yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika
digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai
jalan yang lurus.

 Bahasa

Bahasa yang digunakan suku Sasak memiliki kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama
menggunakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih
memiliki kedekatan dengan bahasa Bali. Menurut penelitian para etnologi yang mengumpulkan hampir
semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-
Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.

Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya dapat digolongkan
kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya seperti;

1. Mriak-Mriku (Lombok Selatan)


2. Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah)
3. Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara)
4. Kuto-Kute (Lombok Utara)

 Religi

Kepercayaan asli suku Sasak adalah Boda, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan
pelafalan dengan Buddha, namun sistem kepercayaan Boda tidak memiliki kesamaan dan hubungan
dengan Buddhisme.

Kepercayaan masyarakat suku Sasak silih berganti mengikuti keturunan-keturunan yang datang ke daerah
Lombok. Ada yang mengatakan bahwa Boda atau Sasak Boda merupakan kepercayaan menyembah roh-
roh para leluhur dan mereka mengakui keberadaan Sidharta Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama.

Kepercayaan kedua adalah ketika Kerajaan Majapahit datang mengunjungi Lombok dan membawa serta
kebudayaannya. Kemudian suku Sasak mengenal kepercayaan Hindu-Budha Majapahit. Baru ketika abad
16-17, suku Sasak mengenal agama Islam karena peran dari Sunan Giri. Setelah perkembang islam di
Lombok, banyak masyarakat suku Sasak yang akhirnya berpindah dari agama Hindu, menjadi Agama
Islam.

Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut
Islam. Selanjutnya kepercayaan Suku Sasak diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan
Islam (Wetu Lima).

Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-
lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang
dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah
pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.

Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara
unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada
kepercayaan tentang kehidupan senantiasa mengalir.

Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Konon, sekarang hampir semua desa
suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya.
Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan
Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok
Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.

Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa,
yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu
melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah
lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka, para kiai dan penghulu.

 Mata Pencaharian
Mata Pencaharian mayoritas penduduk adalah berladang. Mereka menanam jagung, tomat dan
Lebuikoma (kacang kedelai) di Parkir Batuko. Mereka juga memakai sistem Tumpang Sari, Lekuk
Lungkung. Ladang mereka dapat dijumpai di ujung route Senaru. Selain itu, mereka mengusahakan kebun
kelapa, tembakau, kopi, tebu.

Peternakan merupakan mata pencaharian sambilan. Mereka beternak sapi, kerbau dan unggas. Mata
pencaharian lain adalah usaha kerajinan tangan berupa anyaman, barang-barang dari rotan, ukir-ukiran,
tenunan, barang dari tanah liat, dan barang logam.
Di daerah pantai mereka juga menjadi nelayan. Dalam rangka mata pencaharian tadi mereka
menggunakan teknologi berupa pacul (tambah), bajak (tenggale), parang, alat untk meratakan tanah
(rejak), kodong, ancok, dan lain-lain.

 Kehidupan Sosial

Di Suku sasak ini, tidak terdapat paksaan dalam pernikahan. Pemuda/I Sasak dapat memilih pasangannya
dengan bebas, bahkan dapat pula dengan orang luar. Pernikahan dibiayai oleh orang tua pihak wanita.
Proses pernikahan memakan waktu sekitar 1 bulan, walau akad nikah (didampingi kyai) hanya memakan
waktu 3 hari. Dalam rangka mempertahankan jumlah penduduknya yang 80 orang, apabila suatu keluarga
mempunyai putra lebih dari 1, maka hanya anak pertama saja yang diharuskan untuk tinggal di
perkampungan, sementara sisanya diharuskan unutk meninggalkan kampung untuk merantau.

 Seni Budaya

Hingga saat ini di Lombok terdapat berbagai macam budaya daerah yang sudah berkembang dalam
masyarakat sehingga jika dikelola secara profesional akan dapat menarik minat wisatawan untuk
berkunjung di Lombok yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Berbagai atraksi
budaya daerah ini antara lain,

Gendang Beleq

Disebut Gendang Beleq karena salah satu alatnya adalah gendang beleq (gendang besar). Orkestra ini
terdiri atas dua buah gendang beleq yang disebut gendang mama (laki-laki) dan gendang
nina(perempuan), berfungsi sebagai pembawa dinamika.

Bau Nyale

Bau Nyale adalah sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi
bagi suku Sasak.

Upacara ini diadakan setahun sekali. Bagi masyarakat Sasak, Nyale dipergunakan untuk bermacam-
macam keperluan seperti santapan (Emping Nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk
pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Kesimpulan

Dari beberapa hal yang ditangkap. Kedua suku mempunyai beberapa persamaan, yaitu sama-
sama memiliki mata pencaharian yang sama, menjadi petani. Namun di sini letak perbedaaannya
pula, Suku Gayo relatif dominan bermata pencaharian menjadi petani kopi, sementara suku
Sasak adalah petani sayur-mayur. Selain itu, kedua suku juga sama-sama menganut kepercayaan
yang sama, agama islam atas hasil dari perubahan kepercayaan seiring waktu berjalan.

Kedua suku juga mempunyai sistem pemerintahan yang hampir serupa, terdapat beberapa
pemimpin yang berkuasa. Namun, ada hal menarik yang saya petik dalam kedua suku ini. Yaitu,
saat budaya asing masuk ke dalam kedua suku tersebut. Hal inilah yang membuat kedua suku
berkembang, menyesuaikan dan tetap berpegang teguh pada adat istiadat.

Kendati masyarakat saat ini nyaris meninggalkan adat istiadat, kedua suku ini masih terus
menjaganya. Terlebih perihal kesenian dan kebudayaan mereka masing-masing. Percampuran
budaya di sekitar menyebabkan ada banyak bahasa baru yang lahir di antara kedua suku ini.
Namun, mereka tetap menjaga bahasa asli yang telah turun terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai