Anda di halaman 1dari 86

1.

Suku Gayo (NAD)


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Gayo

Potret Pengantin Pria Gayo Pada Awal Abad ke-20

Jumlah populasi

550.000[1]

Kawasan dengan konsentrasi signifikan

Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara

Bahasa

Gayo

Agama

Islam

Kelompok etnik terdekat

Alas, Karo

Suku Gayo atau "urang gayo" adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di
Provinsi Aceh bagian tengah, Populasinya berjumlah kurang lebih 600.000 jiwa. Orang Gayo
secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah (sekitar 30 - 45%) dan
Gayo Lues (sekitar 50 - 70%) dan sebagian wilayah Aceh Tenggara dan 3 Kecamatan di Aceh
Timur yaitu Serbejadi, Peunaron, dan Simpang Jernih. Suku Gayo beragama Islam dan mereka
dikenal taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan sehari-
hari mereka.
Bahasa
Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Suku Gayo
di Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan bahasa Suku Batak
Karo di Sumatera Utara. Bahasa Gayo digunakan dan terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah,
Bener Meriah, Gayo Lues, sebagian wilayah Aceh Tenggara, dan Kecamatan Serba Jadi di
Kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti Suku Gayo. Bahasa ini
termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun
bahasa Austronesia. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar Bahasa Gayo turut mempengaruhi
variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo
yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena
pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo
Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke
Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo
karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang
ada di kabupaten Aceh Tenggara. Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo
Lut terdiri dari sub- dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-
subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan
Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53).
Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran
suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian,
dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau
amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit
dan Cik (1981:1). Dalam bahasa Gayo, (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda,
untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa hormat. Pemakaian ko dan kam, yang
keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua
kepada yang lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Bahasa Gayo
Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.

Marga
Walaupun sebagian besar masyarakat suku Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi
sebagian kecil masih ada yang menabalkan atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama
yang bermukim di wilayah Bebesen.Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/Garis
keturunan Individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di pentingkan Berikut
daftar marga-marga pada suku Gayo

 Ariga
 Cibero
 Linge
 Melala
 Munte
 Tebe

Kehidupan sosial
Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai
oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh
mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat,
terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan
unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang
mewakili rakyat.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu
belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan
hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan
adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti
disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah
panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu
belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa
lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak,
dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga
mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata
pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat
keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai
salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan
lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan
motif yang khas.

Seni Budaya

Kubur tradisional orang Gayo

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang
hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian
Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk
hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan,
penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu,
Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni
berpidato berdasarkan adat).

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya
sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong,
dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut
bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri
(mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang
ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama
Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

Seni dan Tarian


 Didong
 Didong Niet
 Tari Saman
 Tari Bines
 Tari Guel
 Tari Munalu
 Tari Sining
 Tari Turun ku Aih Aunen
 Tari Resam Berume
 Tuah Kukur
 Melengkan
 Dabus
Didong Tari Saman Tari Guel

Makanan Khas
 Masam Jaeng
 Gutel
 Lepat
 Pulut Bekuah
 Cecah
 Pengat
 Gegaloh

Galeri
 Orang Gayo
 Urang Gayo

Danau Laut Tawar, Takengon (Aceh Tengah)

2.Suku Nias
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tari Perang diperagakan di halaman tengah pedesaan tradisional. Foto koleksi Tropenmuseum,
Amsterdam

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang
Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau
Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan
mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik
dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan
di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai
tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang
dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Daftar isi
 1 Asal Usul
o 1.1 Mitologi
o 1.2 Penelitian Arkeologi
 2 Marga Nias
 3 Khas Nias
o 3.1 Makanan Khas
 4 Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
o 4.1 Peralatan Rumah Tangga di Nias
 5 Gala - dari kayu seperti talam
o 5.1 Amaedola Nias
o 5.2 Minuman
 6 Akses Ke Nias
o 6.1 Udara
o 6.2 Darat
o 6.3 Laut
 7 Budaya Nias
 8 Galeri
 9 Pranala luar
 10 Referensi

Asal Usul
Mitologi

Tari Perang

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon
kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli
Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias
dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli
Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-
orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 [1], [2]. Penelitian ini
menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi
dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun
lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI
Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di
Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah
daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun
bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur
Filipina 4.000-5.000 tahun lalu [3], [4].

Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus
MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar
10 tahun ini [5], [6] Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau
Nias.
”Dari semua populasi yang kami teliti, kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat
mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina,” katanya.

Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY,
sedangkan perempuan XX. Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.

Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari
masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah.
Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang
menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.

”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat
lain, khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck
(kemacetan) populasi dalam sejarah masa lalu Nias,” katanya.

Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di
Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.

Jejak terputus

Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisono
mengatakan, teori tentang asal usul masyarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama
disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000). Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan
bentuk gerabah.

”Masalahnya, apakah migrasi itu bersifat searah dari Taiwan ke Nusantara, termasuk ke Nias,
atau sebaliknya juga terjadi?” katanya. Sony mempertanyakan bagaimana migrasi Austronesia
dari Taiwan ke Nias itu terjadi.

Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Lembaga Eijkman yang juga menjadi pembicara,
mengatakan, migrasi Austronesia ke Nusantara masih menjadi teka-teki. ”Logikanya, dari
Filipina mereka ke Kalimantan dan Sulawesi. Tetapi, sampai saat ini data genetika dari
Kalimantan dan Sulawesi masih minim. Masih ada missing link,” katanya.

Di Kalimantan, menurut Hera, yang diteliti genetikanya baru etnis Banjar. Hasilnya
menunjukkan, mereka masyarakat Melayu. Di Sulawesi yang diteliti baru Sulawesi Selatan.
”Masih banyak studi yang harus dilakukan,” katanya.

Marga Nias
Lihat pula: Daftar marga Nias

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya
berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.seperti BATEE(kamar) dan
NDRAHA(akar) OZUI FANOLO BATE'E DAN ERNA TRISNAWATI NDRAHA sebagai
leluhur nias
Khas Nias
Makanan Khas

 Bae - Bae
 Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)

Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis


dan kecil-kecil)
 Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah
matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
 Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan
dijemur/dikeringkan/diasap)
 Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
 Ratigae (pisang goreng)
 Tamböyö (ketupat)
 löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
 Gae nibogö (pisang bakar)
 Kazimone (terbuat dari sagu)
 Wawayasö (nasi pulut)
 Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
 Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama;
terdapat di Kepulauan Hinako)
 Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat
bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)

Peralatan Rumah Tangga di Nias

 Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional


 Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
 Halu (alat menumbuk padi) - dfsf
 Lösu - lesung

Gala - dari kayu seperti talam


 Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
 Katidi - anyaman dari bambu
 Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)
 Haru - sendok nasi
 Famofu - alat niup api untuk memasak
 Fogao Banio (alat pemarut kelapa)

Amaedola Nias
 Hulö harita, olifu ia gulinia (Bagaikan kacang lupa akan kulitnya) Artinya :
Perumpamaan kepada seseorang yang melupakan asal-usulnya atau yang melupakan
seseorang yang telah berbuat baik kepadanya.
 Böi bunu gulö fasalatö (Jangan membunuh ular setengah-setengah jikalau masih hidup
ular itu akan mematokmu kembali) Artinya: Hendaknya dalam melakukan sesuatu hal
harusnya sampai tuntas agar tidak menjadi bumerang nantinya.
 Hulö ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari
pinggiran) Artinya: Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah ke
yang sulit.
 Hulö la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu
kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
 Abakha zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang
pertama) Artinya: Sesuatu tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.

Minuman

 Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam
bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon
Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö
mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana
Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
 Tuo mbanua / Sataha (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa
atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk
memberikan kadar alkohol)

Akses Ke Nias
Udara

Jarak tempuh menuju Kepulauan Nias berkisar 45 menit dari Bandar Udara Internasional
Kualanamu (Medan) - Bandar Udara Binaka (Nias) dengan harga tiket antara Rp 400.000 s/d Rp
700.000.

Darat

 Dari Kota Medan menuju Kota Sibolga berkisar 10 jam dengan mengendarai Jasa
Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus dll harga tiket sekitar Rp 120.000
 Dari Kota Medan menuju Kota Pelabuhan Aceh Singkil berkisar 8 jam dengan
mengendarai Jasa Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus dll harga tiket sekitar Rp
120.000

Laut

 Sesampainya di Pelabuhan Sibolga, perjalanan laut menuju Pelabuhan Gunungsitoli dapat


memakan waktu 10 jam dengan menggunakan Kapal Penyeberangan dengan harga tiket
sekitar Rp 80.000 s/d Rp 130.00. Kapal ini beroperasi setiap hari dengan jadwal
keberangkatan Malam dan sampai di Gunungsitoli pagi hari.
 Dari Pelabuhan Aceh Singkil dapat menyeberang dengan menggunakan kapal
penumpang yang beroperasi 2 kali seminggu yaitu hari Selasa dan Kamis.

Budaya Nias

Fahombo (Lompat Batu)

 Fahombo [7] (Lompat Batu)


 Fataele/Foluaya(Tari Perang)
 Maena (Tari berkoelompok)
 Tari Moyo (Tari Elang)
 Tari Mogaele
 Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
 Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
 Omo Hada (Rumah Adat)
 Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
 Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)

Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang
termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga
diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang
lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan
sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap
demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain :
tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang
diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya
sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu”
tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana
kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

3. SUKU MENTAWAI (SUMBAR)


Di provinsi Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak kekhasan. Suku
tersebut adalah suku Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai
yang terdiri dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Dalam beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang
mengatakan bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut
kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari
satu suku/uma dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut yang
kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa uma/suku.

Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia.


Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer. Secara
turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma
merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai
berbentuk panggung.

Masyarakat Mentawai banyak tinggal di kampung-kampung. Kampung yang terletak di


pinggir sungai pedalaman meski ada yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung
terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu
rumah adat yang besar atau Uma. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan
megah. Panjang Uma mencapai hingga 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter.
Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding
rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri
adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-
anggotanya yang semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat

Agama/kepercayaan masyarakat Mentawai adalah Arat Sabulungan. Arat berartiadat


dan Sabulungan berarti bulu. Agama ini memiliki pandangan bahwa segala sesuatu
yang ada, benda mati atau hidup memiliki roh yang terpisah dari jasad dan bebas
berkeliaran di alam luas. Saat ini agama masyarakat Mentawai sudah bervariasi. Hal ini
mengingat sudah banyak yang memeluk agama Islam atau Kristen. Dalam pemahaman
masyarakat Mentawai bukan manusia saja yang memiliki jiwa. Hewan, tumbuh-
tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda memiliki
jiwa. Selain jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta,
seperti di laut, udara, dan hutan belantara.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mentawai menerapkan prinsip


kesederhanaan. Hal itu terlihat dari cara berpakaian tradisional masyarakat Mentawai.
Para lelaki mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat
dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang. Untuk para wanita,
mereka menutup tubuh bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang
hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut
daun rumbia hingga berbentuk seperti baju.

Dalam hukum adat masyarakat Mentawai terdapat pandangan mengenai hutan.


Masyarakat Mentawai memiliki kepercayaan bahwa kawasan seperti hutan, sungai,
gunung, perbukitan, hutan, laut, dan rawa memiliki penjaga yaitu mahluk halus isebut
lakokaina. Mereka yakin lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus
menahan rezeki.
Dalam melakukan kegiatan beerburu, pembuatan sampan, merambah/membuka lahan
untuk ladang atau membangun sebuah uma maka biasanya dilakukan secara bersama
oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap
keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian
dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai
melaksanakan kegiatan/upacara.

Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut
"uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar
yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil
hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri
dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-
sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok
uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik
tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian,
yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali
"sikerei" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan
penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Masyarakat Mentawai memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan
berladang. Dimana dalam berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan
panah, dimana alat-alat tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan
dengan cara-cara yang tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri.
Dalam berladang, khususnya dalam berladang sagu, suku Mentawai juga
menggunakan peralatan-peralatan tertentu. Seperti yang kita ketahui sebelumnya,
dalam menanam sagu harus disertai dengan tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga
sedang berburu dengan busur dan panah, sambil mencoba mendengarkan suara
buruan. Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan
masih tradisional seperti: tegle, suki, lading, kampak.

4. SUKU TALANG MAMAK (JAMBI)


Orang Talang Mamak merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih
secara tradisional di sehiliran Sungai Indragiri, Provinsi Riau, Indonesia.

Dalam kelompok masyarakat ini terdapat sub kelompok yang mereka sebut dengan suku,
kemudian dibagi lagi dalam tobo dan unit terkecil mereka sebut dengan hinduk atau perut atau
disebut juga puak anak.[1]

Kelompok masyarakat ini tergolong Proto Melayu (Melayu Tua) yang merupakan suku asli
Indragiri Hulu dengan sebutan ”Suku Tuha”[2] yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak
atas sumber daya alam di Indragiri Hulu. Selain itu juga, mereka termasuk Melayu Tua.[2]

Asal Usul
Menurut Obdeyn, Asisten Residen Indragiri, Masyarakat Talang Mamak berasal dari Pagaruyung
yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Berdasarkan hikayat yang berkembang pada
masyarakat tersebut, bahwa nenek moyang mereka turun dari Gunung Marapi menuju ke
Talukkuantan, menelusuri Batang Kuantan dipimpin oleh Datuk Patih bergelar Perpatih Nan
Sebatang, kemudian membangun pemukiman pada sehiliran sungai tersebut.[3]

Bahasa
Masyarakat Talang Mamak dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa yang disebut
dengan Bahasa Talang Mamak, walaupun dalam percakapan dengan pihak di luar komunitas,
mereka biasa menggunakan Bahasa Melayu. Dalam kosakata Bahasa Talang Mamak ini terdapat
pengaruh Bahasa Minang dan Bahasa Melayu.[4]

Pemukiman
Suku Talang Mamak sendiri tersebar di kecamatan :

1. Batang Gansal, Indragiri Hulu, Riau


2. Batang Cenaku, Indragiri Hulu, Riau
3. Kelayang, Indragiri Hulu, Riau
4. Rengat Barat, Indragiri Hulu, Riau
5. Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau
6. Sumay, Tebo, Jambi : Dusun Semarantihan Desa Suo-suo

Dusun Tuo Datai

Akses

Untuk menuju Dusun Tuo Datai Talang Mamak yang terletak di Hulu Sungai Gansal dan Sungai
Melenai Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu di Wilayah
Taman Nasional Bukit Tigapuluh dapat diakses jalan Darat. Yaitu melalui Siberida (Pekanbaru-
Siberida 285 km) dengan menggunakan Mobil untuk menuju jalan bekas HPH. Atau juga
melalui Simpang Pendowo sekitar 2,5 km dari desa Keritang, desa yang terletak di Kecamatan
Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Indragiri
Hulu, Riau. Rute sejauh 22 km dari Simpang Pendowo hingga memasuki perbatasan wilayah
Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) atau juga yang lebih dikenal Jalan Dalex ini,
sebaiknya dilakukan dengan sepeda motor ”lelaki” atau mobil bergardan dua.

Selanjutnya, jarak tempuh dari jalan Dalex ke Dusun Tuo Datai sekitar 6 hingga 8 km hanya bisa
dilewati jalan kaki. Meski tidak begitu jauh, namun jangan berharap akan segera sampai. Karena,
medan yang diarungi harus ”mendaki gunung melewati lembah sungai mengalir indah.” Jadi,
diperlukan stamina jreng untuk menempuh 1 hingga 3 jam perjalanan.

Hasil Kebun

Biasanya pada hari tertentu, Suku Talang Mamak akan turun ke desa terdekat, Keritang atau
Siberida. Tujuannya menjual hasil kebun atau hasil hutan yang mereka peroleh untuk dibelikan
kebutuhan hidup. ”Tapi, sekarang kami sudah jarang turun. Hasil hutan sudah berkurang. Yang
kami andalkan untuk keseharian hidup hanyalah hasil kebun,” jelas Pak Katak atau pak Sidam
yang juga menjabat Ketua RT Dusun Tuo Datai.

Penduduk

Saat ini, total penduduk Talang Mamak dari Lubuk Tebrau hingga Melenai berjumlah 265 jiwa.
Lima puluh persen jiwa diantaranya, sudah dapat menggunakan suaranya pada pemilihan
Presiden dan pemilihan Bupati kemarin.

Agama

Sebagian besar masyarakat Talang Mamak mempercayai kekuatan-kekuatan gaib pada benda-
benda yang berada di sekitar (animisme). Beberapa kepala keluarga beralih ke Islam. Mereka
mengakui bahwa Islam adalah agama mereka, namun untuk ibadah hanya cukup di lisan saja.

Mata Pencaharian

Secara keseluruhan, mata pencarian mereka adalah berladang, menyadap karet, dan mengambil
hasil hutan nonkayu. Di samping berburu atau juga menangkap ikan. Namun, kini Dusun Datai
tampak sepi dan banyak rumah yang tidak terawat lagi. ”Sekarang banyak yang meninggalkan
rumahnya, bisa jadi mereka sedang membuka kebun baru atau juga pergi mencari Jernang, ”
lanjut Pak Katak tentang kondisi penduduknya.

Budaya

Untuk urusan budaya, Masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh sedikit
berbeda dengan Tigabalai-Pusat kebudayaan Talang Mamak. Ini terlihat dari tidak adanya tradisi
mengilir dan menyembah raja, serta lunturnya sistem kebatinan. Umumnya, mereka hidup
otonom dalam beraktivitas sehingga berbagai persoalan yang ada akan diserahkan kepada kepala
desa.

Tradisi

Namun begitu, mereka masih kental dengan tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta Pernikahan),
Kemantan (Pengobatan Penyakit), Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian), serta Khitanan
untuk anak lelaki berumur 12 tahun ke atas yang dianggap mendekati usia dewasa. Begitu juga
dengan rumah yang masih berbentuk panggung, sebagai ciri khas mereka, misalnya. Bangunan
kayu tanpa ruangan khusus serta sekat pembatas -mulai dari dapur hingga ruang tidur- sehingga,
segala barang tergeletak menjadi satu masih kokoh berdiri.

Pengobatan

Meskipun mereka hidup secara tradisional, namun untuk masalah pengobatan bisa diandalkan
juga. Hasil Ekspedisi Biota Medika (1998) menunjukkan Suku Talang Mamak mampu
memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit dan mengenali 22 jenis
cendawan obat.

5. SUKU DAYA (SUMSEL)


Orang Daya adalah salah satu kelompok masyarakat asli di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah persebarannya
meliputi Kecamatan Baturaja Timur, Baturaja Barat, Simpang, dan Muara Dua. Berdasarkan data
statistik tahun 1998 penduduk Kecamatan Baturaja Timur 54.468 jiwa, Baturaja Barat 25.125
jiwa, Simpang 63.278 jiwa, dan Muaradua 77.208 jiwa. Dari jumlah tersebut tidak dapat
diketahui secara pasti jumlah orang Daya, tetapi diperkirakan lebih dari 50.000 jiwa. Mereka
menggunakan bahasa Daya, yang termasuk rumpun bahasa Melayu. Orang Daya adalah pemeluk
agama Islam

6.Suku Betawi (JAKARTA)


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Betawi

Mohammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Dedy Mizwar


Benyamin Sueb, Alya Rohali, Fauzi Bowo

Jumlah populasi

3 juta (sensus 2000)

Kawasan dengan konsentrasi signifikan


Jakarta: 2.3 juta

Bahasa

Betawi, Indonesia

Agama

Mayoritas Islam dan sisanya beragama Katolik dan


Protestan

Kelompok etnik terdekat

Sunda, Melayu, Jawa, Banten

Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat
tinggal di Jakarta.

Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan
bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah
keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke
Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru
di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah
lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar,
Ambon, dan Tionghoa.

Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis
dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi
menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman
batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa
sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura.[1] Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan
Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari
Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli
Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.

Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti
tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell
University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah
keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke
Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih
dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon,
serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:

1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota
benteng Batavia.
2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa
inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula
Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an
Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi". Suku Betawi secara geografis terletak di pulau
Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.[2]

Seni dan kebudayaan


Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal
giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal
dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya
antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah
Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal
dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan
luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran,
Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari
hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak,
dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang.
Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan
provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun
budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Betawi

Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah
cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi
kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa"
(sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut
sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan
oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi
yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh
sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang
mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut
menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat,
penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya
semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh
Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil
Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah
lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar
Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi.
Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan
dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal
dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-
lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga
Manik[8] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal
atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi
sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek
Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek
Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari
tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota,
Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di
Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet,
Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh
penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena
mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh
penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat
mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é",
sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al
Quran.

Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes
Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan
Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni
Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu
tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek,
tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta
dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan
gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun,
lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan
penonton.

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si
Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang
mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal
"keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai
Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari
Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.

Rumah tradisional

Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya

Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen;
Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa,
raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun
benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda
Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu,
Jakarta Utara.

Makanan Khas Betawi


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Masakan Betawi

Masakan

Masakan khas Betawi antara lain gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto
betawi, ayam sampyok, asinan betawi, dan nasi uduk.

Kue-kue

Kue-kue khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang,
kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal,
kue geplak, dodol betawi, dan roti buaya.

Minuman

Minuman Khas Betawi contohnya adalah es selendang mayang, es goyang, dan bir pletok.

7.Suku Batak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Batak" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Batak, lihat Batak (disambiguasi).
Suku Batak

Tokoh-tokoh dari suku Batak


Amir Sjarifoeddin, Abdul Haris Nasution, Burhanuddin
Harahap, Adnan Buyung Nasution, TB Simatupang, Sitor
Situmorang
(dari kiri ke kanan)

Jumlah populasi

6.076.440 jiwa (Sensus 2000)[1]


Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Sumatera Utara 4.827.000
Riau 347.000
Jakarta 301.000
Jawa Barat 275.000
Sumatera Barat 188.000

Bahasa

Toba
Angkola
Karo
Simalungun
Pakpak
Mandailing

Agama

Kristen
Islam
Parmalim
Animisme

Kelompok etnik terdekat

Suku Alas
Suku Nias
Suku Melayu
Suku Minangkabau
Suku Bugis
Suku Dayak
Suku Rimba
Suku Gayo
Suku Singkil
Suku Aceh

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai
Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan
Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan
juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah
penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang
orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti
arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah
ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda
(Neolitikum). [2]Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang
ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke
Sumatera Utara pada zaman logam.

Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir
barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di
pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas
ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini
menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa
berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang
mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang
dari Barus, Sorkam, hingga Natal[4].

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif
untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan
Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah:
Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing.

Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula
yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu
atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat
kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi
sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan,
atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan
sosial dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran
mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[6] Dalam disertasinya J.
Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba
menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun
mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-
kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa
Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak.
Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari
Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan
karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah
setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah
asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi
unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang
diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk
menguasai Barus.[7]

Penyebaran agama

Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun
Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik
Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang
Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang
melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-
19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran
atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak
dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen
Protestan dan Kristen Katolik.[9] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam
mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh
Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur

Misionaris Kristen

Lihat pula: Sejarah masuknya Kekristenan ke suku Batak

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward
berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[10] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai
di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini,
mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada
tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris
Amerika untuk Misi Luar Negeri.[11]

Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk
menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat
Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[12].

Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah
misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab
Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen
pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen
pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893.
Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh
dalam bahasa Batak.[13]

Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor
Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5
Desember 1934.

Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad
ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[14]. Pada masa ini merupakan periode
kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan
perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh
orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka,
Sisingamangaraja XII wafat.[15]

Gereja HKBP

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September
1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan
kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
didirikan.[16]

Gereja Katolik di Tanah Batak

Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun.
Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik”
Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di
Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih
kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending.
Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun
dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.

Kepercayaan

Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh Museum Anak di
Indianapolis.

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem
kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan
pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

 Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi
memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit
atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang
menawannya.
 Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki
tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau
kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
 Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah
menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau
meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

Salam Khas Batak


Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan
salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni
Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing
berdasarkan puak yang menggunakannya

1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”

2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”

3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”

4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”

5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua
Bulung!”

Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua
bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan
berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai
dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan
berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena
perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam
marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs
Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar
daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan
partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga
hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan
adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh
dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Rumah Adat Batak Toba

Falsafah dan sistem kemasyarakatan


Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut
penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak

1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek
Maranak Boru

3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon


Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei

4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man
Anak Beru

5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru

 Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang
paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak)
sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba
marhula-hula).
 Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu
marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang
saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang
saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah.
Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu.
Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada
saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

 Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga
lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik
dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun
walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-
mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na
Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah
menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata
kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai
dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu
disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Ritual kanibalisme

Pejuang Batak

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan
untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak
kaki dianggap sebagai kaya tondi.

Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan
April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang
menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".[17]
Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara
masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi
langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual
tersebut.

Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421
di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-
1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk
Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada
tetangga mereka ".[18][19]

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang
mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang
dibenarkan.[20] Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan
orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan
dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan
sedikit nasi".[21]

Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada
tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang
ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar,
ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging
dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.[22] Namun hal ini terkadang dibesar-
besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau
sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang
maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[23]

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin
orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum
dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal
penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai
perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit
yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon
harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan
masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[24]

Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati
kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan
dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang
dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung,
dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan,
telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada
umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk
mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".[25]

Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[26]
Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan
bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya
pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.[27]

8.Suku Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Sunda
Urang Sunda
ᮅᮅᮅ ᮅᮅᮅᮅᮅ

Sri Baduga Wiranata Oto Iskandar


Dewi Sartika
Maharaja Koesoema V di Nata

Iwa Koesoema Djuanda Achdiat Karta Koko


Soemantri Kartawidjaja Mihardja Koswara

Umar Wirahadi Udjo


Ali Sadikin Ajip Rosidi
Kusumah Ngalagena

Marty Nata Ridwan


Rhoma Irama Robby Darwis
Legawa Kamil

Raden Ayu Desy Ratnasari Rossa Taufik


Lasminingrat Hidayat

Jumlah populasi

Setidaknya 36.701.670 jiwa[1] di Indonesia

Kawasan dengan konsentrasi signifikan


Jawa
Jawa Barat 31.743.517
Banten 2.411.937
DKI Jakarta 1.555.646
Jawa Tengah 339.997
Jawa Timur 41.224
Sumatera
Lampung 675.270
Sumatera Selatan 182.535
Riau 93.598
Kalimantan
Kalimantan Barat 53.191
Sulawesi
Sulawesi Tenggara 25.228
Papua
Papua 28.597

Bahasa

Bahasa Sunda, Bahasa Betawi dan Bahasa Indonesia /


Bahasa Melayu

Agama

Mayoritas Islam, namun ada sedikit yang beragama


Sunda Wiwitan, Hindu dan Kristen

Kelompok etnik terdekat

Suku Jawa, Suku Banten, Suku Cirebon, Suku Baduy dan


Suku Betawi.
Wanita Sunda pemetik teh di masa Hindia Belanda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia,
dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat,
Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda
merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda. Jika Suku Banten dikategorikan sebagai sub suku Sunda maka 17,8%
penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan
tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan (Jati Sunda).
Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di
Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat
dikategorikan sebagai suku Sunda.

Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda
dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang.[2] Orang Portugis mencatat dalam
Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang
pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang
Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan
diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke-15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil dari
diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh Sunda juga
menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden pada kabinet RI.

Disamping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia)
dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya
penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional,
maupun internasional.[3]

Daftar isi
 1 Etimologi
 2 Pandangan Hidup
o 2.1 Hubungan antara sesama manusia
o 2.2 Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
 3 Bahasa
 4 Kesenian
o 4.1 Seni tari
o 4.2 Wayang Golek
o 4.3 Seni musik
 5 Rumah Adat
 6 Sistem Kekerabatan
 7 Masakan Khas
 8 Profesi
 9 Referensi
 10 Lihat pula

Etimologi
Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau
kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau,
putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa
Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air,
tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570;
Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan,
sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat),
bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah
dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman kerajaan Kerajaan
Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga
sekarang.

Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota
Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang
semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti
nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh
Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah
dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya
kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Peta linguistik Jawa Barat


Pandangan Hidup
Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan hidup
yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak bertentangan dengan
agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran
agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari
nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional sebagai berikut:

"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna,
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana
watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna."

Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa
silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada
batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.[4]

Ungkapan tradisional tersebut tidak jauh dengan amanat Bung Karno dalam pidato HUT
Proklamasi 1996: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau
adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.”

Hubungan antara sesama manusia

Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus
dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling
mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat
yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak
pada ungkapan-ungkapan berikut ini:

 Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak
pernah berselisih.
 Mulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang
tidak ada gunanya.
 Mulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat
menimbulkan keburukan atau keresahan.
 Mulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain
dengan maksud mempermalukan.
 Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat,
mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.

Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya

Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang
Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan
menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk
mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial
dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:
 Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balareya (harus menjunjung
tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak
rakyat.
 Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).
 Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan
yang seadil-adilnya, memohon ampun)

Bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Sunda

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini
telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan
bahasa Sunda dalam bertutur kata.[5] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung,
Bogor, dan Tangerang, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.

Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-
Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan
enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:

 Dialek Barat (Bahasa Sunda Banten)


 Dialek Utara
 Dialek Selatan (Priangan)
 Dialek Tengah Timur
 Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon)
 Dialek Tenggara

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup daerah
Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek
Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur
adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Dialek Timur Laut adalah dialek di
sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal,
Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di beberapa
kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.

Kesenian
Seni tari

Seni tari utama dalam Suku Sunda adalah tari jaipongan, tari merak, dan tari topeng.

Tanah Sunda (Pasundan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan
adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong
sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau
pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan
dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam
alat musik seperti gendang, gong, saron, kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam
musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak,
dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini
biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik,
Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.

Wayang Golek

Tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan
sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap
pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan
berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik
Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan,
pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari
(biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita
yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan
tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India,
seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama
dari tanah India. Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu
kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Cepot, Dawala, dan Gareng. Tokoh-tokoh ini
digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak)
dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh
tersebut dengan variasi yang sangat menarik.

Seni musik

Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan degung
biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan
yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan sinden. Tidak sembarangan
orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan sinden karena nada dan ritmenya cukup sulit
untuk ditiru dan dipelajari. Di bawah ini merupakan beberapa lagu dari daerah Sunda:

 Bubuy Bulan
 Es Lilin
 Manuk Dadali
 Tokecang
 Warung Pojok

Selain itu, ada alat musik khas Sunda di antaranya adalah:

 Calung
 Angklung

Rumah Adat
Rumah tradisional Sunda suhunan Julang Ngapak di Papandak, Garut

Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau
1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada
yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat
binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti
cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut
Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap
dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong
Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok.
Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di
daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.

Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan
rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang
sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong
tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang
disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping
disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan
tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk
menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga
seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya
rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan
kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi
penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah
jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga.
Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk
melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.

Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki
pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda
ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda
sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar
tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian
atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat
Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang
digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari
papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas
dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng
perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan
binatang.

Sistem Kekerabatan

Akad nikah adat Sunda di depan penghulu dan saksi.

Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan
ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan
yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh
sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-
istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang
berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, euncu (cucu), buyut (piut), bao,
canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara
yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak
saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung
dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.
Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang
maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia.
Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.

Masakan Khas
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Masakan Sunda

Beberapa jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah sunda, seperti
sayur asem, sayur lodeh, pepes, lalaban, dll.

9.Suku Madura
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Madura
‫سوكو مدورا‬
Jumlah populasi

7.179.356 (sensus 2010)[1]

Kawasan dengan konsentrasi signifikan

Jawa Timur: 6.520.403.

Kalimantan Barat: 274.869.


DKI Jakarta: 79.925.
Kalimantan Selatan: 53.002.
Kalimantan Timur: 46.823.
Jawa Barat: 43.001.
Kalimantan Tengah: 42.668.
Bali: 29.864.
Bangka Belitung: 15.429.
Jawa Tengah: 12.920.

Bahasa

Madura, Jawa dan Indonesia.

Agama

Islam

Kelompok etnik terdekat

suku Jawa dan suku Melayu.


Penari dari Madura (1890-1917)

Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar
20.179.356 juta jiwa (sensus 2014). Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau
sekitarnya

Daftar isi
 1 Sejarah
 2 Sebaran Tinggal
 3 Agama dan Kepercayaan
 4 Bahasa
 5 Karakter Sosial Budaya
 6 Lihat pula
 7 Referensi

Sejarah
Seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur
Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang
Madura yang berada di Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Lumajang
, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk
Surabaya Utara, serta sebagian Malang. ada juga yang menetap di Bawean, di negeri jiran
Malaysia, Timor Leste, brunei Darussalam misalnya juga ada, bahkan mereka ada yang menjadi
penduduk tetap (sudah dapat AiC/ surat tinggal selamanya.

Sebaran Tinggal
Di samping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah
lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta, Tangerang, Depok,
Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa
kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan
orang Madura disebabkan oleh kesenjangan sosial, namun sekarang kesenjangan itu sudah
mereda dan etnis Madura dan penduduk setempat sudah rukun kembali. Orang Madura pada
dasarnya adalah orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi, suka merantau karena keadaan
wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang perantauan asal Madura umumnya berprofesi
sebagai pedagang, misalnya: berjual-beli besi tua, pedagang asongan, dan pedagang pasar.
Namun, tidak sedikit pula di antara mereka yang menjadi tokoh nasional seperti ketua MK
Mahfud Md, Wardiman Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998
di bawah pemerintahan Presiden Soeharto),Rahmat Saleh ( mantan Mentri Perdagangan dan
Gubernur Bank Indonesia ) di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, R. Hartono adalah
seorang mantan jenderal dengan pangkat tertinggi di TNI Angkatan Darat yaitu jenderal bintang
empat dengan jabatan tertinggi pula sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Dia merupakan
satu-satunya perwira tinggi dari korps Kavaleri yang mendapatkan pangkat jenderal penuh
(bintang empat) juga ( Mantan Mentri Penerangan ), M.A.Rachman Mantan Jaksa Agung.Hadi
Purnomo Mantan Ketua BPK ), Nurmahmudi Ismael Mantan Mentri Kehutanandan Presiden
PKS ), Soejono Chanafian Atmonegoro Mantan Jaksa Agung ), Herman Widyanan Mantan
Wakil BPK ) , Banoerusman Astrosemitro Mantan Kapolri ). Hanafie Hasnan Mantan Kepala
staf Angkatan Udara AURI ),Muhammad Arifin ( Mantan Kepala Staff ALRI ) , Roemanhadi
Mantan Kepala Staf Kepolisian RI ). Tokoh penyair dan budayawan Madura yang terkenal
dengan julukan Clurit Emas, HD. Zawawi Imron, merupakan tokoh autodidak asli produk
Madura dll. Selain itu banyak juga terdapat tokoh pejuang kemerdekaan yang layak menjadi
Pahlawan nasional Indonesia Seperti: Trunojoyo yang telah memberikan perlawanan terhadap
Kolonial Belanda (VOC tahun 1677). Kiyai Taman adalah seorang pejuang Islam yang gigih
menentang Belanda pada tahun 1919. Kiai Djauhari membuka cabang Hizbullah di Prenduan.
Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah adalah organisasi militer pemuda Majelis Muslimin
Indonesia (Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala itu. KH. Abdullah
Sajjad, salah satu pengasuh PP. Annuqayah salah satu pahlawan dari Kabupaten Sumenep. KH.
Mawardi, salah satu pengasuh PP. Sumber Anyar salah satu pahlawan dari Pamekasan. Madura
masih menyimpan banyak tokoh ulama seperti Syaikhona Kholil Bangkalan, K.Abdul Majid
Bata-bata, K.Moh.Ilyas Guluk-guluk, K. Abdul Hamid Baqir Banyuanyar, K. Jufri Marzuqi
Sumber Batu (dianugerahi gelar al-Syahidul Kabir oleh PB.NU), Halim Perdana Kusuma salah
satu pahlawan Nasional yang tewas di semenanjung Malaya, dsb.

Agama dan Kepercayaan


Mayoritas masyarakat hampir 100 % suku Madura adalah penganut Islam bahkan suku Madura
yang tinggal di Madura bisa dikatakan 100 % muslim. suku Madura terkenal sangat taat dalam
beragama islam. Salah satu sebabnya dengan adanya Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh
pulau madura. Misalnya Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Pondok Pesantren Darul
Ulum Banyuanyar di Kabupaten Pamekasan, Pondok pesantren AnnuqayahPondok Pesantren
Annuqayah disingkat PPA pesantren yang terletak di desa Guluk-Guluk, Pondok Pesantren Al-
Amin di Sumenep dan Pondok Pesantren, Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan,
Pondok Pesantren Attaraqqi Sampang, dan pesantren-pesantren lainnya dari yang memiliki santri
ribuan, ratusan, dan puluhan yang tersebar di Pulau Madura. Pesantren-pesantren begitu
mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura karena pesantren tidak sekedar mengajar ilmu
agama tapi juga mempunyai kiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan peduli pada
nasib rakyat kecil. Misalnya Pondok-Pesantren Sumber Mas yang terletak di desa ter pencil
Rombiya Barat Ganding Sumenep. Sekalipun jumlah santri hanya berkisar ratusan, namun
pesantren ini telah memiliki usaha untuk memberdayakan para alumni dan masyarakat sekitar
dengan program simpan pinjam yang dimotori oleh BMT Sumber Mas, pembinaan peternak sapi
dan kambing, ayam petelor, usaha rental dan sebagainya.

Bahasa
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan. Juga dikenal hemat, disiplin, dan
rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit
penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi
Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan
larung sesaji).

Tulisan di atas hanya streotipe saja yang hanya dilakukan oleh segelintir orang. Suku Madura
memiliki aturan dan tatakrama yang sangat kuat. Orang Madura sangat menghormati orang tua,
guru, dan sebagainya. Apalagi Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep)yang dikenal halus gaya
bicaranya dan sangat sopan santun.
Karakter Sosial Budaya
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah
peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang)
daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat
Madura.

Ada perbedaan antara Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan)dengan Madura Barat (Sampang
dan Bangkalan). Orang Madura Timur dikenal lebih halus baik dari sikap, bahasa, dan tatakrama
dari pada orang Madura Barat. Orang Madura Barat lebih banyak merantau dari pada Madura
Timur. Hal ini, dikarenakan Madura Barat lebih gersang dari pada Madura Timur yang dikenal
lebih subur

10. Suku Tengger


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Tengger

Pendeta Tengger pada masa Hindia Belanda

Jumlah populasi

500.000.

Kawasan dengan konsentrasi signifikan

gunung Bromo, Jawa Timur

Bahasa

bahasa Jawa

Agama

Sebagian besar Hindu dan minoritas beragama Islam,


Buddha, dan Kristen.
Kelompok etnik terdekat

suku Jawa, Suku Bali

Suku Tengger (IPA: /tənggər/) adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa
Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan
Malang. Suku Tengger merupakan sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010.[1]

Daftar isi
 1 Asal nama
 2 Agama
 3 Budaya
 4 Lihat pula
 5 Rujukan

Asal nama
Ada 3 teori yang menjelaskan asal nama Tengger:

 Tengger berarti berdiri tegak atau berdiam tanpa gerak, yang melambangkan watak orang
Tengger yang berbudi pekerti luhur, yang harus tercermin dalam segala aspek kehidupan.
 Tengger bermakna pegunungan, yang sesuai dengan daerah kediaman suku Tengger.
 Tengger berasal dari gabungan nama leluhur suku Tengger, yakni Roro Anteng dan Joko
Seger.

Agama
Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin
merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro
Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran
nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".

Perasaan sebagai satu saudara dan satu keturunan Roro Anteng-Joko Seger itulah yang
menyebabkan suku Tengger tidak menerapkan sistem kasta dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali
masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di
sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo
dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini
hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut
penanggalan Jawa.
Upacara adat lain yang diamalkan masyarakat Tengger adalah unan-unan, leliwet, entas-entas,
dll.

11. Suku Banjar


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Banjar
Urang Banjar ‫اورڠ بنجر‬

Muhammad Pangeran
Pangeran Pangeran
Arsyad al- Muhammad
Antasari Hidayatullah
Banjari Noor

Saadillah
Hasan Basry Idham Chalid Djohan Effendi
Mursjid

Gusti
Syamsul
Taufiq Effendi Muhammad Rudy Ariffin
Mu'arif
Hatta

Muhammad Ryan Thamrin


Irianto Lambrie Arifin Ilham Terry Putri

Daftar tokoh Banjar

Jumlah populasi

Kurang lebih 5,7 juta


Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Indonesia (Sensus 2010) 4.127.124 [1]
Kalimantan Selatan 2.686.627
Kalimantan Tengah 464.260
Kalimantan Timur 440.453
Riau 227.239
Sumatera Utara 125.707
Jambi 102.237
Kalimantan Barat 14.430
Jawa Timur 12.405
Kepulauan Riau 11.811
Malaysia 1.256.000 [2]

Bahasa

Banjar, Indonesia, dan Melayu

Agama

Islam

Kelompok etnik terdekat

Melayu, Jawa, Kutai, Berau, Kedayan, Dayak (Meratus,


Bakumpai, Ngaju, Maanyan, Lawangan)

Sketsa seorang pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 (koleksi Museum Lambung
Mangkurat).
Suku Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar / ‫ )بببب بببب‬adalah suku bangsa yang
menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian
Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah
Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia karena migrasi orang Banjar pada abad
ke-19 ke Kepulauan Melayu.

Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang
Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dengan hampir separuh orang Banjar lainnya berada di
perantauan.

Etimologis
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat DAS
DAS Bahan, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio.[3] Sungai Barito bagian hilir
merupakan pusatnya suku Banjar. Kemunculan suku Banjar bukan hanya sebagai konsep etnis
tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis.

Menurut Hikayat Banjar, dahulu kala penduduk pribumi Kalimantan Selatan belum terikat
dengan satu kekuatan politik dan masing-masing puak masih menyebut dirinya berdasarkan asal
Daerah Aliran Sungai misalnya orang batang Alai, orang batang Amandit, orang batang
Tabalong, orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sebuah entitas
politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak yang mendiami
semua daerah aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian digantikan oleh Negara Daha.
Semua penduduk Kalsel saat itu merupakan warga Kerajaan Negara Daha, sampai ketika seorang
Pangeran dari Negara Daha mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Barito yaitu
Kesultanan Banjar. Dari sanalah nama Banjar berasal, yaitu dari nama Kampung Banjar yang
terletak di muara Sungai Kuin, di tepi kanan sungai Barito. Kampung ini dipimpin oleh seorang
Patih (Kepala Kampung) yang bernama Patih Masih. Gabungan nama kampung Banjar dan
nama Patihnya tersebut sehingga kampung ini lebih dikenal dengan nama panjangnya Kampung
Banjar Masih. Kelak kampung ini berkembang menjadi Kerajaan Banjar Masih dengan raja
pertama Sultan Suriansyah, yang merupakan keponakan dari penguasa Kerajaan Hindu Negara
Daha yang terletak di pedalaman.

Kerajaan Banjar Masih merupakan kerajaan baru yang muncul untuk memisahkan diri dari
Negara Daha. Kerajaan Banjar Masih dengan rakyatnya yang dikenal sebagai orang Banjar
Masih, merupakan entitas politik yang dibenturkan dengan orang Negara Daha (atau disebut
juga orang Banjar Lama/proto Banjar) yang merupakan warga negara Kerajaan Negara Daha
yang menjadi rivalnya. Kerajaan Negara Daha (atau disebut juga wilayah Batang Banyu)
akhirnya berhasil ditaklukan dan wilayahnya dimasukan ke dalam Kerajaan Banjar Masih.
Kekuatan Kerajaan Banjar Masih didukung penuh oleh Kesultanan Demak yang memberi
persyaratan bahwa raja dan rakyat Banjar Masih (beserta bekas Negara Daha) harus menerima
agama baru yaitu agama Islam, yang kini menjadi identitas orang Banjar sebagai
etnoreligius/kultur grup Muslim yang membedakannya dari masyarakat sekitarnya pada masa
itu.
Jadi pada pra-Islam, penduduk kampung Banjar Masih dan kampung sekitarnya yang ada di hilir
sungai Barito tergolong sebagai warganegara Kerajaan Negara Daha atau Orang Negara Daha.
Namun belakangan nama Banjar lebih populer sehingga dipakai untuk menamakan penduduk
pada kedua wilayah tersebut, walaupun pada kenyataan kebudayaan di wilayah Batang Banyu
merupakan kebudayaan Banjar yang lebih klasik. Penduduk Banjar dan Negara Daha sebenarnya
menggunakan bahasa yang sama namun berbeda dialek. Peperangan antara Banjar melawan
Negara Daha yang dimenangkan oleh Banjar ini hampir mirip dengan peperangan antara Demak
melawan Majapahit yang dimenangkan oleh Demak, namun pebedaannya adalah Banjar
kemudian dipakai sebagai nama etnik dan sedangkan Demak bukan merupakan nama etnik. Di
daerah asalnya, sekarang ini suku Banjar terbagi menjadi tiga kelompok menurut lokasi
pemukimannya, berturut-turut kelompok pertama yaitu kelompok orang Banjar Masih yang
kini lebih dikenal sebagai orang Banjar Kuala karena secara geografis mendiami bagian
kuala/hilir, sedangkan kelompok kedua yaitu bekas penduduk kerajaan Hindu Negara Daha
(Banjar klasik) dikenal sebagai Banjar Batang Banyu, sedangkan kelompok ketiga dikenal
sebagai Banjar Pahuluan yang hidup secara harmonis dengan tempat tinggal yang bersisian
langsung dengan beberapa sub suku Dayak yang masih menganut agama Kaharingan. Di wilayah
Pahuluan bagian utara masih dapat ditemukan kantong-kantong permukiman sub-sub Dayak
Maanyan seperti Dayak Warukin dan Dayak Balangan. Sedangkan di wilayah Pahuluan bagian
tengah dan selatan, ditemukan sub-sub Dayak Meratus (Banjar arkhais) seperti Dayak Pitap,
Dayak Labuhan dan lain-lain.

Sejarah
Mitologi suku Dayak Meratus (Suku Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar
Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh/Datung
Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang
Basiwara yang menurunkan suku Banjar.[4] Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak
Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan
genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus.
Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang
orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak
Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik
lemah tapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik
kuat dan jago berkelahi.

Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka
nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-
tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul
dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang
konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya
dalam suatu kontak fisik yang sangat menentukan.[5]

Suku bangsa Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan dan Ngaju yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak zaman Sriwijaya dan kebudayaan
Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan
terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa
Banjar.[6] Suku bangsa Banjar terbagi menjadi tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar)
Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah
lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar
Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami
sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar,
yang terbagi ke dalam dua dialek besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Nama Banjar
diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860)
adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya
pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura),
nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.[7]

Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia. Di Malaysia,
suku Banjar digolongkan sebagai bagian dari Bangsa Melayu.

Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan
Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada
abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati
Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan,
Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan
Tjingal.

Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer orang
Banjar, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau
misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang pembentuk Bangsa
Suluk atau Tausug (yakni percampuran orang Buranun, orang Tagimaha, orang Baklaya, orang
Dampuan/Champa dan orang Banjar).[8][9][10][11][12][13][14][15]

Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu atau Banjar Kulan terjalin ketika para pedagang
Banjar mengantar seorang Puteri dari Raja Banjar untuk menikah dengan penguasa suku
Buranun (suku tertua di Kepulauan Sulu). Salah satu rombongan bangsa Suluk yang menghindari
kolonial Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari. Suku Banjar juga memiliki hubungan historis suku Sasak di Kerajaan
Selaparang, pulau Lombok. Selain itu Suku Banjar juga terkait dengan suku Sumbawa di pulau
Sumbawa, yang merupakan gabungan dari lima suku yang menjadi akar masyarakat Sumbawa
masa kini, salah satunya suku Banjar.[16]

Banjar Pahuluan
Orang [Banjar] Pahuluan puak Amandit (Kandangan)

Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di
Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera
yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya,
yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai
penduduk pedalaman, yaitu Orang Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah
sungai yang sama.

Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku
Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku
Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada
mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya,
dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang
sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat orang Bukit,
yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu
di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di
daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang
dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat
(Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut
membentuknya.[7]

Banjar Batang Banyu

Perkampungan orang [Banjar] Batang Banyu puak Nagara Daha


Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya
pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama
di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di
ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang
terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari Orang
Maanyan (dan Orang Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku
Banjar Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan
para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani
(subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai
pedagang dan pengrajin.[7]

Banjar Kuala

Perkampungan orang Banjar [Kuala].

Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin),


sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-
sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.
Di kawasan ini mereka berjumpa dengan orang Ngaju, yang seperti halnya dengan masyarakat
Bukit dan masyarakat Maanyan serta Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya
melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang
bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau
menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang
Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu.
Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang
Banjar.[7]

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk
kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah
penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini
telah bercampur unsur budaya Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya
diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang
ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada,
yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar
Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.

Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua
tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua.
Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok
Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari
kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga
ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan
Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan
sebagainya.[17]
Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu
patih-patihnya seperti Patih Belandean, Patih Belitung, Patih Kuwi dan sebagainya serta orang
Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar
orang Bukit dan Maanyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian
mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan
meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan
politik, seperti bangsa Indonesia.[18]

Sosio-historis

Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi
dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama,
sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen
itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks.[19]

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah
menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok yang ada di
sekitarnya yang kini disebut sebagai Dayak, yang umumnya masih menganut religi sukunya.
Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah
agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di
samping menjadi orang Banjar.[7]

Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis
secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari
komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan
berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses
sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang
dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya
Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau
agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu
yang menjadi tempat tinggal[20].

Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok besar)
berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis :

1. Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Bukit yang
berbahasa Melayik (unsur Bukit sebagai ciri kelompok)
2. Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-
Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Maanyan, orang Lawangan, orang Bukit dan
orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Maanyan seperti Debagai ciri kelompok). Di Kalsel
masih dapat ditemukan komunitas sub-Dayak Maanyan yang masih menganut adat
Kaharingan yang bertetangga dengan perkampungan suku Banjar seperti Dayak Warukin,
Dayak Balangan, dan Dayak Samihim.
3. Grup Banjar Kuala[21] adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak
Ngaju (Berangas, Bakumpai)[22], orang Kampung Melayu[23], orang Kampung Bugis-
Makassar[24], orang Kampung Jawa[25], orang Kampung Arab[24], dan sebagian orang Cina
Parit yang masuk Islam (unsur Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih
berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar
Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang
menyatu (Banjar Bakula).

Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku
Banjar dengan orang Ngaju/serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat
Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga.
Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan orang
Maanyan/serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di
Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok
Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat
suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.

Suku Banjar Perantauan

Peta penyebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah.

Kalimantan Timur dan Utara

Sebelum masa Kesultanan Banjar berhubungan dengan VOC Belanda sekitar 1606, pada saat itu
Kesultanan Banjar merupakan negara maritim dimana pedagang-pedagang Banjar sudah
melakukan hubungan niaga dengan Filipina Selatan (Banjar Kulan), Brunei, Cochin
Cina/Campa, sehingga kawasan timur Kalimantan merupakan perlintasan jalur perdagangan
orang Banjar sejak berabad-abad yang lalu. Sejak itulah orang Banjar/Kesultanan Banjar
melebarkan teritorialnya ke Kalimantan Timur atau disebut juga negeri-negeri di atas angin
dalam Hikayat Banjar.

Suku Banjar membentuk 15 % dari populasi penduduk Kaltim dan terdapat seluruh kabupaten
dan kota di Kaltim. Suku Banjar di Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Dayak
maupun suku Kutai. Di Kota Samarinda dan Balikpapan, suku Banjar merupakan kelompok
etnik asal Kalimantan terbanyak di kedua wilayah kota tersebut.[26]

Menurut data statistik Kalimantan Timur 2002, Suku Banjar terdapat di Kota Samarinda
(140.761 jiwa), Kota Balikpapan (63.010 jiwa), Kutai Kartanegara (57.506 jiwa), Paser (32.323
jiwa), Kutai Timur (11.380 jiwa), Berau (9.659 jiwa), Tarakan (8.766 jiwa), Kutai Barat (6.658
jiwa), Bontang (5.328 jiwa), Bulungan (3.315 jiwa), Nunukan (1.124 jiwa) dan Malinau (490
jiwa).[27]

Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang
Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya
dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan
Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di
Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan
Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).

Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Daerah-daerah di Kalimantan


Tengah dan seterusnya hingga negeri Sambas di Kalimantan Barat disebut negeri-negeri di
bawah angin dalam Hikayat Banjar. Sudah berabad-abad orang Banjar melakukan migrasi dan
melebarkan teritorialnya ke kawasan pesisir Kalimantan Tengah, sehingga menjadikan suku
Banjar sebagai kelompok etnik kedua terbanyak setelah suku Dayak (rumpun Dayak) di wilayah
tersebut. Kalimantan Tengah juga menjadi hunian orang Banjar terbanyak kedua setelah
Kalimantan Selatan.

Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan
sebagai suku terbanyak di Kalteng. Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar
terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%),
Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%).

Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa
(18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%),
Katingan (3,34%) dan Maanyan (2,80%)[28]. Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju,
Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%.

Besarnya proporsi Suku Banjar dan Jawa di Kalimantan Tengah karena perantauan orang Banjar
asal Kalimantan Selatan dan transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke Kalimantan Tengah.
Orang Banjar secara langsung memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang masih terbuka luas
di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan orang Jawa yang pindah ke Kalimantan Tengah karena
program transmigrasi, orang Banjar pindah atas kemauan sendiri. Daerah pedalaman Kalimantan
Selatan (daerah Pahuluan) adalah daerah padat penduduk dan sejak lama merupakan sumber
migrasi keluar orang Banjar tidak hanya ke berbagai tempat di Pulau Kalimantan, tetapi juga ke
Sumatera dan Jawa.[29]

Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di
Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa
Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.

Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672),
yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama
Pangeran Dipati Anta-Kasuma.

Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang
Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha)
telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang
Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah
dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur
dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.

Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa
perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di
wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya),
setelah mangkat dia perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad
Seman.

Jawa Timur

Suku Banjar di Jawa Timur banyak bermukim di Kota Surabaya, Malang, Pasuruan dan
Tulungagung.[30]

Di Tulungagung, masyarakat Banjar merupakan pendatang yang cukup mendominasi terutama


dalam perdagangan emas. Etnis Banjar di Tulungagung merupakan komunitas etnis pendatang
yang cukup besar jumlahnya dibanding etnis Tionghoa dan Arab.[31]

Jawa Tengah

Masjid Kampung Banjar Semarang


Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara

Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa berasal dari Hindustan dan Siam yang sebelumnya
singgah di Nusa Kencana (Kalimantan).[32] Di daratan kota Rembang telah ditemukan bangkai
perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan Selatan.[33] Berdasarkan
Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui bahwa Sultan Demak telah mengirimkan seribu pasukan
untuk membantu Pangeran Samudera (raja Banjarmasih) untuk berperang melawan pamannya
Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan akhirnya diraih
oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan Pangeran Tumenggung
diijinkan menetap di daerah Alay dengan seribu penduduk. Selama peperangan tersebut
tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dibawa
ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20 orang prajurit Demak yang gugur. Kejadian
berlangsung sekitar tahun 1520-1526[34][35] Dewasa ini Suku Banjar di Jawa Tengah hanya
berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta.[36]
Dahulu, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Banjar[37] dalam wilayah kelurahan
Dadapsari. Kelurahan ini juga dikenal sebagai Kampung Melayu.

Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah
barat kali Semarang berdekatan dengan eks kelurahan Mlayu Darat. Di wilayah ini suku Banjar
membaur dengan etnis lainnya seperti Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa
setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah
ba-anjung) yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, tetapi sayang kebanyakan
rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air
pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.[38]

Sedangkan di Surakarta, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kelurahan Jayengan. Suku


Banjar di Surakarta memiliki yayasan bernama Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren
terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan
generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah
adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan
Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini
dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di
Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai. [39]

Sulawesi

Di Makassar, etnis Banjar umumnya sebagai pedagang perhiasan, tukang jahit, tukang emas,
pedagang batu permata dan pembuat kopiah.[40] Diketahui, ada sebuah perkampungan suku
Banjar di Kota Manado yaitu Kelurahan Banjer, yang mengisyaratkan bahwa ada Suku Banjar
yang bermukim di Sulawesi Utara. Selain itu, ada tokoh Banjar yang lahir di Manado seperti
Muhammad Thoha Ma'ruf.

Pada tahun 1884, salah seorang tokoh Perang Banjar bernama Pangeran Perbatasari (cucu
Pangeran Antasari dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Di sana, ia menikah dengan seorang
wanita Jaton (Jawa Tondano). Beberapa tahun kemudian, saudaranya Gusti Amir juga menyusul
ke sana dan menikah dengan wanita Jaton. Orang Jaton keturunan para pangeran asal Banjar ini
menyandang fam Perbatasari dan Sataruno.[41]

Sumatera dan Malaysia

Suku Banjar di Malaysia, mayoritas keturunan Banjar Pahuluan. Selain suku Banjar juga
memasukan keturunan suku Kutai, suku Berau dan suku Bakumpai (Dayak Ngaju muslim), yang
biasa dikategorikan dalam Rumpun Banjar. Negara Malaysia dibentuk dari gabungan empat
negara: Malaya, Sarawak, Sabah dan Singapura (keluar tahun 1965). Berdasarkan sensus 1911
penduduk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat) yang merupakan suku Banjar berjumlah
21.227 jiwa, dengan komposisi 81% tinggal di Perak, 13.5% di Selangor dan 3.7% di Johor
sedangkan di negara bagian lain bilangannya kecil. Lebih 88% suku Banjar di Perak tinggal di
daerah Kerian, sementara kebanyakan suku Banjar di Selangor tinggal di Kuala Langat (Tunku
Shamsul Bahrin 1964: 150). Pada tahun 1921 suku Banjar meningkat hampir 80% menjadi
37.484 jiwa. Peningkatan paling besar berlaku di Johor, dari 782 jiwa pada tahun 1911 menjadi
8.365 jiwa pada tahun 1921. Kebanyakan suku Banjar di Johor ditemui di Batu Pahat (5.711
jiwa) dan di Kukub (1.166 jiwa). Di Perak peningkatan jumlah suku Banjar terjadi di daerah
Hilir Perak, sedangkan di Selangor terjadi di daerah Kuala Selangor (Tunku Shamsul Bahrin
1964: 151). Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk suku Banjar telah bertambah 7.503 jiwa
menjadi 45.351 jiwa. Pada saat itu Perak, Johor dan Selangor masih merupakan tiga negeri
dengan penduduk suku Banjar terbanyak dimana tinggal 96% suku Banjar yang ada di Malaya.
Tetapi dalam periode itu terjadi sedikit perubahan dalam taburan suku Banjar di Malaya. Jika
sebelum itu, lebih 50% orang Banjar tinggal di Perak, pada tahun 1931, bilangan orang Banjar di
negeri itu telah berkurang. Sebaliknya, bilangan orang Banjar di Johor dan Selangor telah
bertambah, karena sebagian orang Banjar di Perak telah berpindah ke Johor dan Selangor yang
mengalami pembangunan ekonomi yang lebih pesat.[42] sabah suku, banjar mendominasi di
beberapa bagian kota dan kabupaten di sabah iaitu Tawau, Keningau, sandakan dan mereka suku
banjar mendominasi sebanyak 2% suku bangsa di sabah.

Suku Banjar sudah lama terdapat di Sumatera.[43][44] Berdasarkan sensus tahun 1930, suku Banjar
di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatera
Utara) 31.108 jiwa, di Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatera bagian Selatan 430
jiwa.[45] Belakangan, suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum
kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak
(Paluh Kurau), Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari
para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.

Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang
menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan
dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran
Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai musuh
politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.

Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang
menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang
Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura
karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh
mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.

Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau
Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang
menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu meninggal di tangan Belanda.

Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di
masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar
yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru
Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.
Suku Banjar juga banyak menyebar di Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, seperti
di pulau Singkep[46]

Sistem kekerabatan
Waring

Sanggah

Datu

Kai (kakek) + Nini (nenek)

Abah (ayah) + Uma (ibu)

Kakak < ULUN > Ading

Anak

Cucu

Buyut

Intah/Muning
Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu
sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.

Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut
Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah
dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman muda/kecil) dan Makacil
(bibi muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini
sama saja, begitu pula untuk saudara datu.

Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:


· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)

Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku
untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua
digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.

Islam Banjar
Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di
Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu
sendiri (Tim Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-
istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat
Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang
sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu
dengan lainnya.

Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam
proses sejarahnya di Tanah Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya
kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan
kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar.
Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli
dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk
pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan,
kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi
ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.

Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri.
Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar
di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi
kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama
perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam
Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.

Bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Banjar

Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Bahasa ini berkembang sejak zaman
Kerajaan Negara Dipa dan Daha yang bercorak Hindu-Buddha hingga datangnya agama Islam di
Tanah Banjar. Banyak kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa
Melayu, maupun Bahasa Jawa.

Kebudayaan

Busana Pengantin Banjar.

Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut

Kehidupan orang Banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat dengan
budaya sungai. Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam jukung
(perahu) sesuai dengan fungsinya yakni Jukung Pahumaan, Jukung Paiwakan, Jukung Paramuan,
Jukung Palambakan, Jukung Pambarasan, Jukung Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca
Banyu, Jukung Getek, Jukung Palanjaan, Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan, Jukung
Undaan, Jukung Tiung dan lain-lain.[47] Kondisi geografis Kalimantan Selatan yang banyak
memiliki sungai dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang Banjar, sehingga salah satu
keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian
dan permukiman.[48] Sistem irigasi khas orang Banjar yang dikembangkan masyarakat Banjar
mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni
semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk
kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.
Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai
atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil
ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga,
Saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil.
Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.

Rumah Banjar

Arsitektur Rumah Banjar Bubungan Tinggi di perkantoran gubernur Kalsel, gedung DPRD
Kalsel dan anjungan Kalsel di TMII.

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara
lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan
simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan
ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian
banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang
paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.

Tradisi lisan

Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi
lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang
di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (‫)ﻤﺪﺡ‬
yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan
atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai
dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.
Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya
menggunakan bahasa Tionghoa.[49] Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-
pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.[49]

Teater

Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda.
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi
hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi
aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih
hidup.[50]

Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada
alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh
baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama,
Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[50]

Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh
Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang,
Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.

Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir,
Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja.
Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam
bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat.
Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[50]

Musik

Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini
disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus
yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal
dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang
berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya
dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman
dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka
musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan
pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik
itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan
adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali
memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik
panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[51]
Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini
berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau,
Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik
ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang
bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat
berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.[52]

Tarian

Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana
(kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama
"Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata
tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun
gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya,
gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit
perubahan.

Kuliner

Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar[53], soto Banjar, ketupat Kandangan, kue
bingka dan lain-lain.

Senjata Tradisional

Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah memakainya, senjata
tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain :

 1. Serapang

Serapang adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar seperti cakar elang
dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi berada di tengah tanpa bait, yang disebut
“besi lapar” yang di percaya dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.

 2. Tiruk

Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus)
dan toman di sungai.

 3. Pangambangan

Pangambangan adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.

 4. Duha

Duha adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.
12. Suku Bali
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Bali
(Anak Bali)

Gadis-gadis Bali, kr. tahun 1920-an.

Jumlah populasi

3.946.416[1]

Kawasan dengan konsentrasi signifikan

Provinsi Bali: 3.336.065

Nusa Tenggara Barat:119.407


Sulawesi Tengah:115.812
Lampung:104.810
Sulawesi Tenggara:49.411
Sumatera Selatan:38.552
Sulawesi Selatan:27.330

Bahasa

bahasa Bali dan Indonesia

Agama

mayoritas beragama Hindu;


sisanya beragama Islam, Kristen dan Buddha

Kelompok etnik terdekat


suku Jawa (termasuk orang Tengger dan Osing) dan suku
Sasak

Suku Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali, atau Krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas
di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku
Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%, sedangkan sisanya beragama Islam, Kristen dan
Buddha. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di
Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali. Orang Bali juga banyak terdapat
di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung dan daerah penempatan transmigrasi asal
Bali lainnya. Sebagian kecil orang Bali juga ada yang tinggal di Malaysia.[2]

Daftar isi
 1 Asal-usul
 2 Kebudayaan
 3 Kepercayaan
 4 Tata Cara Penamaan
 5 Galeri
 6 Catatan kaki
 7 Daftar pustaka

Asal-usul
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Bali

Asal-usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi: gelombang pertama
terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman
prasejarah; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu
di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika
Majapahit runtuh pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah
rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk
sinkretisme antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

Kebudayaan
Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. Covarrubias
mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas
seni yang dapat mereka lakukan—lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir,
dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga
bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah,
pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat.[3] Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali
memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan
menjulang.[4] Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan
aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau
tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi
dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang
mereka contoh dari majalah asing.[6]

Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat
Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda
dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben,
melasti, dan sebagainya.[7] Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis
tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali
sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak
ada habisnya.[8]

Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, namun dengan bentuk
wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki
aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka
merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.

Penari Legong di Ubud.

Pertunjukan gamelan Bali di Kuta.


Penari Baris Poleng di Kuta.

Kepercayaan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama Hindu Dharma

Sebanyak 3,2 juta umat Hindu tinggal di Bali,[1] dan mayoritas suku Bali menganut kepercayaan
Hindu Siwa-Buddha, salah satu denominasi agama Hindu. Para pendeta dari India yang
berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad
yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu
yang diyakini mereka.[9] Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal
sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya.
Mereka mempertahankan tradisi animisme.

Tata Cara Penamaan


Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang
khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang.
Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar
linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali
ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut
Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang
dinobatkan oleh mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di
Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut
Ngulesir".

Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai
pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir
abad 20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya. Tata cara penamaan ini antara lain :

 Untuk membedakan jenis kelamin, masyarakat Bali menggunakan awalan “I” untuk anak
laki-laki dan awalan “Ni” untuk anak perempuan

 Untuk anak pertama, biasanya diberi awalan “Wayan”, yang diambil dari kata "wayahan"
yang artinya "tertua / lebih tua / yang paling matang". Selain Wayan, nama depan untuk
anak pertama juga sering digunakan adalah "Putu" dan "Gede". Kata “Putu” artinya
"cucu", sedangkan “Gede” artinya "besar / lebih besar". Dua awalan nama ini biasanya
digunakan oleh masyarakat Bali bagian utara dan barat, sedangkan di Bali bagian timur
dan selatan cenderung memakai nama Wayan. Untuk anak perempuan kadang juga diberi
tambahan kata “Luh”.

 Untuk anak kedua, biasanya diberi awalan "Made", diambil dari kata "madya (tengah)".
Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama depan "Nengah" yang
juga diambil dari kata "tengah". Ada juga yang menggunakan awalan “Kadek” yang
merupakan serapan dari kata “adi” yang bermakna "utama atau adik".

 Untuk anak ketiga, biasanya diberi nama depan "Nyoman" atau "Komang". Nyoman
konon diambil dari kata "nyeman (lebih tawar)" yang asalnya dari lapisan terakhir pohon
pisang, sebelum kulit terluar, yang rasanya cukup tawar. Nyoman. Komang, secara
etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa / akhir”.

 Untuk anak keempat, biasanya diawali dengan “Ketut”, yang merupakan serapan dari
kata “ke + tuut” yang bermakna "mengikuti / mengekor". Ada juga yang mengkaitkan
dengan kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir
pisang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali
yang berawalan Ketut.

 Untuk keturunan dari kasta Brahmana, biasanya digunakan awalan "Ida Bagus" untuk
laki-laki dan "Ida Ayu" untuk perempuan. Kasta Brahmana adalah kasta dari profesi
pemuka agama, misalnya pendeta.

 Untuk keturunan dari kasta Ksatria, biasanya digunakan awalan "Anak Agung", "I Gusti
Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni
Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah". Kasta Ksatria merupakan kasta dengan
profesi pelaksana pemerintahan (PNS) dan pembela negara (TNI/POLRI).

 Untuk keluarga yang memiliki lebih dari empat anak, dapat digunakan kembali nama-
nama depan sebelumnya sesuai urutannya untuk anak kelima dan seterusnya. Ada juga
yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi
tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. [10]

Galeri


Para gadis Bali sedang menjunjung keben, produk anyaman khas Bali sebagai wadah
sesajen dan keperluan sehari-hari.

Para wanita Bali bergotong-royong saat menyambut hari raya.

 Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik beserta putrinya.

Para pandai besi di Bali (awal abad ke-19

13. Suku Manggarai


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Manggarai adalah sebuah suku bangsa yang mendiami bagian barat pulau Flores di
provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Suku Manggarai tersebar di tiga kabupaten di provinsi
tersebut, yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai
Timur.

Daftar isi
 1 Sejarah
 2 Politik
 3 Ritual
 4 Bahasa
 5 Referensi
 6 Pranala luar
Sejarah

Kaum wanita Manggarai, tahun tidak diketahui.

Menurut catatan sejarah, mereka secara historis dikuasai secara bergantian oleh suku Bima dari
pulau Sumbawa dan suku Makassar dari pulau Sulawesi. Terdapat sekitar 500.000 orang
Manggarai pada akhir abad ke-20.[1]

Politik
Sistem politik mereka berdasarkan pada klan, dipimpin oleh seorang kepala klan yang dipanggil
Todo. Suku ini menerapkan sistem keturunan patrilineal, dan secara historis mereka bermukim di
desa-desa, yang terdiri dari setidaknya dua klan.[1]

Ritual
Suku Manggarai terkenal memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas kehidupan
yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu, antara lain[2] :

 Penti Manggarai, upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen,


 Barong Lodok, ritual mengundang roh penjaga kebun di pusat lingko (bagian tengah
kebun),
 Barong Wae, ritual mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air,
 Barong Compang, upacara pemanggilan roh penjaga kampung pada malam hari,
 Wisi Loce, upacara yang dilakukan agar semua roh yang diundang dapat menunggu
sejenak sebelum puncak acara Penti, dan
 Libur Kilo, upacara mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat.

Suku Manggarai juga mempunyai olahraga tradisional yang disebut caci, pertarungan saling
pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng yang dimainkan oleh dua orang
pemuda di sebuah lapangan luas.[2] Pertunjukan caci diawali dengan pentas tarian Danding,
sebelum para jago cacicc beradu kebolehan memukul dan menangkis. Tarian itu biasanya
disebut juga sebagai Tandak Manggarai, yang dipentaskan khusus hanya untuk meramaikan
pertarungan caci.[2]
Bahasa
Suku ini menuturkan bahasa Manggarai, sebuah bahasa yang disebut sebagai tombo Manggarai
oleh para penutur aslinya. Bahasa ini mempunyai sekitar 43 subdialek.[3

14. Suku Sumba


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Rumah di perkampungan Sumba. Di sebelah kanan adalah kubur tradisional. Suku Sumba masih
menerapkan elemen-elemen megalitik dalam adat-istiadatnya, meskipun banyak di antara mereka
telah memeluk agama Katolik.

Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba Barat dan
Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di
tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak
dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat
hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai
ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-
rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai
dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan
perhiasan dan senjata.

Kebudayaan pulau Sumba


Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan
rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula
tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih
ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara
perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru.
Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa
lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau
tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada
terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.

Busana pria
Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa ini cenderung lebih ditekankan
pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial.
Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat
dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen
serta tampak keseluruhannya sama. Menilik hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria
sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-
pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya.
Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah
penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam.

Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu.
Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit
yang lebar. Hinggi kaworu atau kadang-kadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai
pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan
tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau
samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan
misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan
dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara
pahudu.

Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam
lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya,
kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang
dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota
dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam
pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai
estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi
raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.

Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah
kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara
tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut
semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan,
muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya
perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan
simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.

Busana Adat Wanita


Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang
diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan
lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku)
dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.

Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi
disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung
mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai
ke bagian dada.

15. Suku Sangir


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Sangir
Total population
sekitar 600.000 jiwa
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Indonesia
Sulawesi Utara: 449.805
Gorontalo: 7.489
Filipina
Mindanao: 108.000
Bahasa
 Sangir
 Indonesia
 Tagalog
 Minahasa

Agama
 Kristen Protestan
 Islam

Kelompok etnis terkait


 Bisaya
 Gorontalo
 Minahasa
 Mongondow
 Talaud
Suku Sangir adalah salah-satu dari penduduk asli yang menghuni rangkaian kepulauan antara
Sulawesi dan Mindanao. Bahasa asli mereka adalah Bahasa Sangir.

Suku Sangir biasanya ditemukan di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia dan Wilayah Davao,
Filipina

16. Suku Bungku


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Bungku (bahasa Bungku: To Bungku atau To Bunggu) adalah suatu suku bangsa
Indonesia, yang mayoritas mendiami wilayah Bungku Utara, Bungku Selatan, dan Bungku
Tengah, dan Menui di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.[1] Suku Bungku terbagi
menjadi beberapa sub-suku, yaitu Lambatu, Epe, Ro'tua, Reta, dan Wowoni.[2] Masyarakat suku
ini berbicara dalam Bahasa Bungku, yang merupakan salah satu identitas diri dan alat
komunikasi antar keluarga mereka.[3] Suku Bungku umumnya memeluk agama Islam atau
Kristen.[4]

Masyarakat Bungku pernah membentuk kerajaan, yaitu Kerajaan Bungku yang dalam literatur
Belanda disebut pula dengan nama Kerajaan Tambuku atau Tombuku.[5] Kerajaan Bungku,
bersama kerajaan-kerajaan kecil di daerah pesisir timur Sulawesi Tengah lainnya, ditaklukan
oleh Kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.[6

17. Suku Alune


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Alune
Jumlah populasi

17.200

Kawasan dengan konsentrasi signifikan

Pulau Seram, Indonesia

Bahasa

Alune (alp); Klasifikasi: Melayu-Polinesia

Agama

Kristen, Animisme
Suku Alune adalah salah satu suku bangsa kuno di Pulau Seram, Indonesia. Jumlah anggotanya
mencapai 17.000 jiwa dan menetap di 27 desa di wilayah barat-tengah pulau. Seperti Wemale,
mereka berasal dari suku Patasiwa.

Suku Alune mempertuturkan bahasa Melayu-Polinesia. Bahasa ini dikenal dengan nama
Sapalewa atau Patasiwa Alfoeren dan memiliki beberapa dialek, meski jumlah penuturnya
sedikit. Dialek paling banyak adalah dialek Rambatu.

Seperti kelompok manusia kuno yang menetap di pedalaman Seram, suku Alune secara
tradisional hidup dari hasil hutan. Makanan mereka berasal dari pohon sagu dan mempraktikkan
penanaman berpindah.

Pria dan wanita mengenakan sedikit pakaian karena lingkungan yang lembap. Dalam kehidupan
sehari-hari, orang dewasa Alune mengenakan kain pinggang pendek yang terbuat dari serat kulit,
sama seperti baju tapa Polinesia. Kain pinggang ini memanjang hingga di atas lutut dan kadang
memiliki pola dekoratif.

Dalam perayaan khusus, pria Alune mengenakan baju perang dan membawa pedang panjang.
Pria Alune terlibat dalam aktivitas perang terhadap suku-suku lain. Wanita Alune mengoleksi
hasil hutan sambil ditemani anak-anak.

Sama seperti Wemale, perayaan kedewasaan perempuan Alune adalah peristiwa penting. Suku
Alune juga merupakan tukang kayu berpengalaman. Rumah-rumah kuno Alune berukuran besar
dan dibangun dari kayu, ranting dan daun palem.

Budaya dan gaya hidup Alune berubah banyak dalam beberapa dasawarsa terakhir karena
dampak konsumerisme. Juga, kekacauan politik dan keagamaan serta konflik di Indonesia
memengaruhi banyak pulau di Maluku.

18. Suku Asmat


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya
yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan
mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain
dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi
ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin
serta suku Simai.
Seorang dari suku Asmat tengah membuat ukiran kayu

Pengertian Suku Asmat


Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak
suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup
dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang
seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan
oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa
disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain
yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah
yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni
ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk
mengenang arwah para leluhurnya.

Kondisi Alam
Wilayah yang mereka tinggali sangat unik.Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-
laba sungai.Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan
nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari hujan turun dengan
curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk kewilayah
ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur.Jalan
hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk diatas tanah yang lembek.Praktis tidak semua
kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak
terpeleset,terutama saat hujan.

Pertentangan
Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara
yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya
dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan
bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya
dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang terjadi bahkan
hilang resmi dari ingatan.

Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan
jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan
belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu
disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan
sebagainya.

Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung
punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara
adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang
mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di
Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

Ciri Fisik
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut
keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162 cm dan
tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

Mata Pencaharian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya
di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku
mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan
seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu
sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari
ketiga suku ini ternyata telah berubah.

Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan, dengan
cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode yang cukup
tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa
bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau
daging binatang hasil buruan.

Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga
bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan
karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan
batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

Makanan Pokok

Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat
jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang
hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan
dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun yang
memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka
merupakan tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari.

Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya
adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam
sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya.
Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan
kaki mereka

Cara Merias Diri


Suku asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. mereka hanya
membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih
mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka
hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan
mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai
tubuh.

Ada istiadat suku asmat


Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para Misionaris
pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agam nenek-moyang.
Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan,
Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses
kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu :

 Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik
agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
 Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara
sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang
terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau
3 tahun.

 Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia
17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya
piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila
ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib
melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya
walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.

 Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan
dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum,
jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat
dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

Unik
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di
ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang.
Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini
hingga berumur 5 tahun.

Rumah Adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai sekarang
masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat Pedalaman.Bahkan masih
ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal diatas pohon.

Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran dan
praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi Suku
Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat
dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal Muller,Mengenal
Papua,2008,hal.31)

Kepercayaan Dasar
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik
atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila
nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan. Selain
itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam roh yang masing-
masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi
masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat
yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka
bagi dalam 3 golongan.

 Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
 Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
 Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.

Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh
komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut
ini :

 Mbismbu (pembuat tiang)


 Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
 Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
 Yamasy pokumbu (upacara perisai)
 Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan
mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka,
demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung
dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan
pesta ulat-ulat sagu.

Roh-roh dan Kekuatan Magis

 Roh setan

Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka memiliki
kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang
semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :

1. Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang
Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan
hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa
penyakit dan bencana (Osbopan).

2. Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat
Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka
menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya
baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-
ow

 Kekuatan magis dan Ilmu sihir


Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah
dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-
hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan
pemburuan binatang.

Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian
atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan
magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.

Sumber Alam dan Potensi Alam


Selain ikan,cucut,kepiting,udang,teripang,ikan penyu,cumi-cumi,dan hewan lainnya yang
melimpah ruah.Daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang amat luar biasa,seperti :
rotan,kayu,gahar,kemiri,kulit masohi,kulit lawang,damar,dan kemenyan.

Wanita Dalam Pandangan Suku Asmat


Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat
(pohon/kayu,kuskus,anjing,burung kakatua dan nuri,serta bakung),seperti kata Asmat
diatas,menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan yang
sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan
mereka.Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran
Asmat.Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar dari dunia
luar.

Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku tersebut.Setiap
harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya,mulai dari mencari
ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai kepada mencari pohon sagu yang tua,menebang pohon
sagu,menokok,membawa sagu dari hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat
makanan atau tempat masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk
keperluan minum keluarga.

Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang
disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan berjudi.Kadang suami membuat rumah atau
perahu,namun dengan batuan istri.Ada pula suami yang mau menemani istrinya mencari kayu
bakar.Sayangnya mereka hanya benar-benar menemani.Mendayung perahu,menebang kayu,dan
membawanya pulang adalah tugas istri.Suami yang cukup berbaik hati akan membantu
membawakan kapak istrinya.

Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan,maka istri akan menjadi
korban luapan kemarahan.Jika mereka kalah judi,maka istri pula yang akan dijadikan obyek
kekesalan.Mereka yang tinggal di Agats,kini terbiasa pula untuk mabuk,mereka lebih rentan
untuk mengamuk,sehingga istripun yang akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir,jika mereka ingin tau atau jika hendak menyelenggarakan
pesta.Ketika laki-laki mengukir,maka tugas perempuan akan semakin bertambah.Perempuan
harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain yang diinginkan suami mereka agar dapat
terus bertenaga untuk mengukir.Semakin lama laki-laki mengukir,semakin banyak pula makanan
yang harus mereka sediakan.Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat,karena harus
memangur,meramah,dan mengolah sagu,dan bahkan menjaring ikan,lebih tragisnya lagi,jika
ukiran itu dijual,maka uangnya hanya untuk suami yang membuatnya,perempuan Asmat tidak
menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan
itu,satu ukiranpun tidak akan selesai dibuat.(Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang
Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan
Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation.Hal.22).

Bencana Yang Di Waspadai


Bencana bagi Suku Asmat kurang lebih ada 3,yaitu ;

 Penyakit Malaria
 Buaya
 HIV/AIDS

Setelah virus HIV/AIDS marak di Asmat dan mulai merenggut korban jiwa,semakin bertumpuk
daftar persoalan yang harus dihadapi PEMDA dan seluruh masyarakat Asmat.Sebagai sebuah
Kabupaten baru yang tengah sibuk-sibuknya melakukan pembenahan infrastruktur dan segala
sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menyelenggarakan sebuah pemerintahan baru,dalam
berbagi aspek,berjangkitnya HIV/AIDS ini merupakan sebuah pukulan telak yang bakal
menyedot dana,waktu,tenaga,dan pikiran dari segenap komponen masyarakat Asmat,instansi-
instansi terkait dalam jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat khususnya dan sudah pasti butuh
Pemerintah Pusat perlu segera mengambil langkah-langkah penanggulanggannya.

Mitologi
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun
dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap
hari. Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu
tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat
yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi
orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika
ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung
yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si
buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai
Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai
ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat
indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia
mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu
memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung
itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu
nenek-moyang orang Asmat.

Upacara Adat
Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu

 Ritual Kematian

Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi
mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka
percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru
lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena
mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang
dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu
muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan.
Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal.
Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu
spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad
20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama
anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh
mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di
desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil
menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk
mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam
pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar
rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah
kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan
maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai
berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah
menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi
kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah
disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya
dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan
dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung,
terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu
yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang
dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya
terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan
beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa
menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang
Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap
dapat menemukan kuburannya.

 Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung

Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan
prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang,
dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke
pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali
sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak
boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa
jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat
sehingga tidak dapat dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian
kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan
suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah
berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau
berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum
dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru bersama
dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di kampung
tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa.
Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan
perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu
burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan
suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan
pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan
maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang.
Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

 Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab
berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu
keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati
terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak
yang membunuh.

Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8
minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan
patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-
masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis.
Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada
saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-
perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini,
wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan
tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah
meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara
sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri
di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan
warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan
mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-
roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon
agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis
ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

 Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)

Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je).
Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan
sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat
nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang
akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-
orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh
keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara
dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.

Anda mungkin juga menyukai