net/publication/337157458
Flora dan Fauna Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat-Indonesia
(Flora and Fauna of Leuweung Sancang Nature Reserve, Garut, West Java-
Indonesia)
CITATIONS READS
0 235
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Abdul Haris Mustari on 11 November 2019.
Penulis:
Abdul Haris Mustari
C.01/12.2019
Judul Buku:
Flora dan Fauna Cagar Alam Leuweung Sancang
Penulis:
Abdul Haris Mustari
Penyunting Bahasa:
Aditya Dwi Gumelar
Desain Sampul:
M. Ade Nurdiansyah
Penata Isi:
Alfyandi
Korektor:
Dwi M. Nastiti
Jumlah Halaman:
122 + 8 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, Desember 2019
ISBN: 978-602-440-804-6
Juli 2019
Abdul Haris Mustari
vi vi
DAFTAR ISI
PRAKATA................................................................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................................... vii
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1
KEADAAN UMUM KAWASAN................................................................................................ 3
LEGENDA DAN MITOS........................................................................................................... 9
Kisah dan Jejak Prabu Siliwangi..................................................................................... 12
Ranca Kalong................................................................................................................. 13
Ciporeang dan Cipangisikan.......................................................................................... 15
Karang Gajah................................................................................................................. 15
FORMASI HUTAN................................................................................................................ 17
Hutan Mangrove........................................................................................................... 19
Hutan Pantai.................................................................................................................. 24
Hutan Dataran Rendah.................................................................................................. 31
PERMASALAHAN KONSERVASI........................................................................................... 79
Perambahan Hutan....................................................................................................... 81
Penguasaan Lahan Ilegal............................................................................................... 81
Permukiman Ilegal......................................................................................................... 82
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 87
INDEKS................................................................................................................................ 89
LAMPIRAN.......................................................................................................................... 91
TENTANG PENULIS............................................................................................................ 121
viii viii
PENDAHULUAN
Kawasan hutan Cagar Alam (CA) Leuweung Sancang atau lebih dikenal dengan nama
Leuweung Sancang memiliki potensi flora dan fauna yang tinggi. Leuweung Sancang
merupakan salah satu dari sedikit ekosistem hutan dataran rendah yang masih tersisa di
Pulau Jawa di mana terdapat tiga formasi hutan, yaitu hutan mangrove, hutan pantai, dan
hutan dataran rendah. Leuweung Sancang menjadi laboratorium alam yang sangat penting
terutama nilai ekologisnya. Selain itu, kawasan ini memiliki nilai ekonomi dan sosial budaya.
Karena masih lengkapnya eksosistem hutan serta kawasan pantai dan laut yang terdapat
di Sancang, kawasan hutan ini menjadi lokasi praktik lapang yang sangat sesuai untuk
bidang ilmu seperti mahasiswa kehutanan, biologi, dan perikanan dari berbagai perguruan
tinggi dan lembaga penelitian. Leuweung Sancang dan pantai di sekitarnya sering menjadi
lokasi pelatihan dalam rekruitmen anggota baru berbagai instansi yang bergerak di bidang
kehutanan, lingkungan, termasuk beberapa LSM dan kelompok pencinta alam. Melalui
pelatihan ini mereka diharapkan menjadi pemerhati lingkungan dan kehutanan serta akan
menjadi mitra bagi pihak manajemen dalam penglolaan kawasan.
Selain itu, terdapat berbagai legenda dan mitos terkait dengan cagar alam yang terletak
di pantai selatan Jawa Barat ini. Bila mendengar kata ‘Leuweung Sancang’ pikiran tertuju
pada suatu kawasan hutan primer yang dianggap keramat di mana berkembang berbagai
legenda dan mitos, suatu cerita yang terkait dengan ‘maung sancang’ atau harimau
‘jajaden’ atau jadi-jadian serta legenda mengenai Prabu Siliwangi, raja yang terkenal di
tataran Sunda. Bagi penduduk lokal, cerita ini senantiasa hidup dan dituturkan dari mulut
ke mulut dan dari generasi ke generasi.
Namun seiring berjalannya waktu, Leuweung Sancang senantiasa menghadapi
berbagai tekanan, terutama perambahan hutan untuk pemukiman dan perkebunan,
penebangan kayu dan perburuan liar, pengambilan hasil laut, serta aktivitas nelayan di
dalam kawasan Cagar Alam Laut Sancang yang berdampak negatif terhadap ekosistem
Leuweung Sancang. Leuweung Sancang harus dilestarikan melalui berbagai upaya. Apabila
ekosistem ini rusak maka yang akan dirugikan bukan hanya regional Jawa Barat tetapi juga
pada tingkat nasional bahkan internasional karena akan kehilangan suatu ekosistem unik
dan hilangnya keanekaragaman berbagai jenis flora dan fauna. Fungsi dan peran ekosistem
hutan mangrove, hutan pantai dan hutan dataran rendah yang tidak akan pernah
tergantikan, serta ekosistem tersebut apabila sekali rusak dan punah maka tidak akan
pernah tercipta kembali sekalipun dilakukan berbagai upaya rehabilitasi karena ekosistem
asli tidak akan tergantikan. Secara ringkas, Cagar Alam Leuweung Sancang sangat penting
karena beberapa hal:
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
1. Terdapat tiga formasi hutan tropis yang sangat penting. Karena merupakan hutan
primer, suksesi vegetasinya klimaks. Ketiga formasi hutan tersebut, yaitu hutan
mangrove, hutan pantai, dan hutan dataran rendah. Hutan ini penting dalam
menjaga ekosistem makro dan mikro di bagian selatan Jawa.
2. Lima dari enam spesies primata Pulau Jawa terdapat di Cagar Alam Leuweung
Sancang, yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung
budeng (Trachypithecus auratus), kukang jawa (Nycticebus javanicus), dan monyet
panjang (Macaca fascicularis). Empat spesies primata yang disebut pertama
adalah endemik Pulau Jawa.
3. Habitat berbagai satwaliar endemik lainnya, yaitu macan tutul (Panthera pardus
melas) dan elang jawa (Nizaetus bartelsi).
4. Habitat berbagai jenis tumbuhan di antaranya patmo sari (Rafflesia patma),
meranti merah (Shorea javanica), dan palahlar/keruing (Dipterocarpus hasseltii).
5. Mengandung nilai sejarah, budaya, sosial, legenda dan mitos, serta cerita rakyat
terkait sejarah Prabu Siliwangi.
6. Potensi perairan sangat tinggi di mana Leuweung Sancang senantiasa menjaga
kesuburan ekosistem pantai di sekitarnya karena adanya hutan mangrove, kaya
akan hasil laut, ikan, kepiting, lobster, dan rumput laut. Beragamnya hasil laut
menjadi aspek penting dalam kehidupan nelayan di sepanjang pesisir selatan
Jawa Barat.
7. Karena kekayaan hayati tersebut di atas, Leuweung Sancang menjadi laboratorium
alam yang tidak ternilai harganya, tempat dilakukannya berbagai kegiatan praktik
lapang dan penelitian terkait ilmu kehutanan, biologi, serta sosial budaya oleh
mahasiswa dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi. Dalam buku ini tercatat
sebanyak 199 spesies tumbuhan (149 spesies berhabitus pohon, 37 spesies epifit
dan tumbuhan bawah, serta 13 spesies liana dan rotan), 22 spesies mamalia, 124
spesies burung, 11 spesies amfibi, 19 spesies reptil, dan 87 spesies kupu-kupu. Hal
ini menggambarkan betapa pentingnya ekosistem Cagar Alam Leuweng Sancang
dari aspek keanekaragaman hayati.
2 2
KEADAAN UMUM
KAWASAN
Leuweung Sancang terletak 111 km di selatan kota Garut, berbatasan langsung dengan
Samudra Indonesia. Kawasan hutan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan
status cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 116/Um/59/tanggal 1 Juli 1959
dengan luas 2.157 hektare dan dikukuhkan kembali dengan SK Menteri Pertanian No.9470/
SK/M pada tanggal 5 Oktober 1961. Kawasan ini kemudian dimantapkan kedudukannya
sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal
9 Juli 1978 dengan luas 2.157 hektare dengan status cagar alam. Penetapan Cagar Alam
Leuweung Sancang secara definitif berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia No:SK. 1860/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 25 Maret 2014, luasnya adalah
2.313,90 ha.
Selain cagar alam darat, di sebelah selatan di bagian pantai dan laut terdapat cagar
alam laut dengan nama Cagar Alam Laut Sancang seluas 1.150 hektare yang ditetapkan
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.682/Kpts-II/1990 tanggal 17 November 1990.
Kawasan cagar alam laut berupa kawasan pantai, perairan laut, padang lamun, dan
hamparan terumbu karang.
Cagar Alam Leuweung Sancang yang dalam pengelolaannya merupakan satu unit resort
dengan nama Resort Cagar Alam Leuweung Sancang berada di bawah Seksi Konservasi
Wilayah (SKW) V Garut, Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah III Ciamis, Balai
Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Leuweung Sancang terletak
di Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Terdapat 19 lokasi di sepanjang pantai selatan
yang diberi nama sesuai nama sungai atau blok hutan yang telah dikenal secara baik oleh
pengelola dan penduduk di sekitar Leuweung Sancang. Lokasi tersebut mulai dari arah barat
ke timur berturut-turut, yaitu Cimerak, Cibaluk, Cijeruk, Cipangikis, Cikabodasan, Cetut,
Cikalongberan, Cipalawah, Cipayawungan, Cipunaga, Cibako, Cicukangjambe, Ciporeang,
Cipangisikan, Karang Gajah, Cipadaruum, Cipanglembuan, Cidahon, dan Panglima.
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 1 Peta Cagar Alam Leuweung Sancang; nama-nama lokasi yang tertera di
sepanjang pantai selatan menunjukkan nama sungai dan blok hutan
Secara geografis, Cagar Alam Leuweung Sancang terletak antara 330 28’–330 35’ LS dan
03 00’–030 21’ BT. Di sebelah utara berbatasan dengan perkebunan PT Mira Mare, di sebelah
0
timur Sungai Cikaengan, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan di
sebelah barat dengan Sungai Cisanggiri. Topografi kawasan datar sampai bergelombang,
ketinggian berkisar 0–177 mdpl. Suhu udara rata-rata 27,5 0C, kelembapan udara 80% dan
curah hujan 3.686 mm per tahun. Iklim di kawasan Sancang dan sekitarnya termasuk tipe
iklim B, yaitu tipe basah menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson.
Fasilitas yang terdapat di cagar alam ini, yaitu satu pondok kerja resort dan satu mes di
pinggir muara Sungai Cibaluk, biasa juga disebut Yayasan atau TPI/Tempat Pelelangan Ikan,
terletak di sebelah barat Leuweung Sancang. Di muara Sungai Cibaluk terdapat 10 kios atau
warung sederhana (2018) yang menjual berbagai keperluan pengunjung seperti makanan
dan minuman serta dua home stay yang dikelola masyarakat berkapasitas 10 kamar tidur.
Untuk menuju kawasan hutan Sancang dari pondok kerja resort di Cibaluk, perjalanan bisa
menggunakan perahu kayu menyeberang di muara Sungai Cibaluk dengan waktu tempuh
6 6
KEADAAN UMUM KAWASAN
5–10 menit, atau berjalan kaki menyeberang di muara sungai ketika air laut surut. Di
sebelah timur kawasan, di blok hutan Cikajayaan tempat petilasan yang biasa dikunjungi
juga terdapat penyeberangan menggunakan rakit bambu yang dikelola oleh masyarakat
menuju air terjun Cikajayaan atau ke Karang Gajah di muara Sungai Cipangisikan dari arah
Desa Sancang. Perlu diketahui bahwa Leuweung Sancang berstatus cagar alam, bukan
taman wisata alam. Karena itu aktivitas yang diperbolehkan hanya yang terkait dengan
pendidikan dan penelitian, serta tentunya harus mendapatkan Surat Izin Masuk Kawasan
Konservasi (SIMAKSI) terlebih dahulu.
Gambar 2 Leuweung Sancang menjadi lokasi penelitian dan praktik lapang mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi (Foto Abdul Haris Mustari)
7 7
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 3 Mes dan kantor jaga resort Cagar Alam Leuweung Sancang, terletak di muara
Sungai Cibaluk (Foto Abdul Haris Mustari)
8 8
LEGENDA
DAN MITOS
Nama Leuweung Sancang dikenal banyak orang dari berbagai lapisan. Uraian berikut
sekadar mendokumentasikan berbagai legenda dan mitos terkait dengan Leuweung
Sancang. Sudah umum diketahui bahwa beberapa tapak di kawasan Leuweung Sancang
dianggap keramat terkait dengan sejarah serta berbagai legenda dan mitos mengenai
leluhur Jawa Barat. Terdapat beberapa petilasan (keramat) yang sering dikunjungi oleh
peziarah karena dianggap ada kaitannya dengan jejak Raja Padjajaran, Prabu Siliwangi.
Beberapa petilasan tersebut di antaranya Cikajayaan, Karang Gajah, Ciporeang, dan Cibako.
Petilasan tersebut umumnya berada di bagian timur Cagar Alam Leuweung Sancang. Selain
di bagian timur juga beberapa petilasan terdapat di bagian barat dan tengah seperti blok
hutan Meranti dan Cijeruk. Setiap petilasan dijaga oleh juru kunci atau yang lebih dikenal
dengan sebutan kuncen. Jumlah petilasan semakin meningkat seiring dengan munculnya
kuncen baru. Apabila seorang kuncen meninggal maka tugas dan perannya diturunkan
kepada anaknya, dan seterusnya sehingga merupakan pekerjaan yang turun-temurun.
Setiap kuncen memiliki pengikut atau peziarah yang datang dari berbagai daerah, terutama
di wilayah Jawa bagian barat. Ada juga yang datang dari luar Pulau Jawa. Peziarah datang
karena berbagai tujuan dan alasan. Ada yang bertujuan dengan alasan terkait spiritualisme,
mencari kekuatan rohani dan kanuragan, ada yang berkunjung karena alasan kelancaran
usaha dan bisnis, dan ada pula yang datang karena alasan politik, menginginkan jabatan
atau posisi tertentu.
Jumlah kuncen semakin lama semakin banyak di Cagar Alam Leuweung Sancang.
Pada awalnya hanya ada satu kuncen yang bernama Aki Da’i, lokasi petilasannya berada
di blok hutan Cipunaga, Leuweung Sancang. Kuncen Aki Da’i dianggap kuncen perintis
dan merupakan tokoh yang dihormati pada waktu itu. Setelah Aki Da’i meninggal, muncul
lima kuncen sebagai penerus, yaitu Salim, Subki, Aden, Ahman, dan Ma’ Res. Dalam
perkembangannya kuncen Ahman memiliki dua orang murid atau kader kuncen, yaitu
Hadro dan Misro. Setelah kelima kuncen tersebut meninggal, tugas dan peran kuncen
diwariskan kepada anak dan cucu mereka yang kemudian berkembang seperti yang ada
sekarang. Karena itu kuncen yang ada saat ini merupakan kuncen lapis ketiga dan keempat.
Sampai dengan tahun 2019 tercatat lebih dari 40 orang kuncen di Leuweung Sancang.
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 5 Kondisi di salah satu petilasan berupa air terjun dan tebing gua yang sering
dikunjungi peziarah di blok hutan Cikajayaan (Foto Abdul Haris Mustari)
12 12
LEGENDA DAN MITOS
membawa potongan kayu ini mereka akan terhindar dari segala hal yang tidak diinginkan,
dijadikan ‘jimat’. Ada juga yang mempercayai bahwa di sungai dan hutan Leuweung Sancang
terdapat buaya dan maung atau harimau jadi-jadian atau ‘maung kajajadeun’ perwujudan
dari seorang embah atau karuhun yang sakti. Berbagai versi cerita mengenai legenda dan
mitos, dan ini hanya salah satu versi yang ada.
Ranca Kalong
Terdapat suatu blok hutan yang berada di bagian tengah Leuweung Sancang yang jarang
didatangi manusia karena dianggap keramat, yaitu Ranca Kalong. Ranca artinya rawa, dan
kalong yaitu sejenis kelelawar besar pemakan buah (Pteropus vampyrus). Blok hutan itu
dinamai Ranca Kalong karena pada waktu tertentu kawasan hutan tersebut berupa rawa-
rawa, terutama pada musim penghujan terdapat banyak genangan air, pepohonannya
dihuni ribuan kelelawar pada siang hari, dan pada sore hari menjelang magrib, kelelawar
tersebut terbang meninggalkan pohon tempat bertengger (roosting trees) untuk mencari
makan berbagai jenis buah ke arah utara dari Leuweung Sancang.
Ranca Kalong terletak sekitar 1 km ke arah utara-timur dari blok hutan Cikalongberan.
Pada peta Leuweung Sancang, Ranca Kalong terdapat di bagian tengah agak ke barat, dan
dianggap sebagai bagian terpenting atau jantung kawasan hutan tersebut. Kawasan ini
jarang dimasuki manusia, karena dianggap daerah kekuasaan para mahluk halus penjaga
hutan. Penduduk setempat mempercayainya apabila ada yang berani masuk ke kawasan
hutan ini maka akan sulit keluar dan menemukan jalan untuk keluar. Mereka akan tersesat,
hilang orientasi, sulit menentukan arah mata angin, berputar-putar di sekitar hutan itu
meskipun menggunakan kompas atau GPS. Di Ranca Kalong terdapat suatu tempat yang
dikenal lokasi pinang (jambe) tumbuh berjajar karena terdapat tegakan pohon pinang
hutan sebanyak lebih 20 batang yang tumbuhnya teratur berjajar seperti sengaja ditanam
padahal pinang tersebut tumbuh alami. Lokasi pinang tumbuh berjajar tersebut oleh
masyarakat sekitar dipercayai ada kaitannya dengan kerajaan mahluk halus di Leuweung
Sancang.
Salah seorang kuncen (pak Salim) mengisahkan bahwa di sebelah utara Ranca Kalong
terdapat batu yang disebut Batu Surade atau Batu Suraga, tempat yang digunakan oleh
Prabu Siliwangi melakukan ritual Braga Sukma (olah jiwa), tempat manggung atau bertapa,
ketika berada di Leuweung Sancang. Batu Surade berupa batu besar, panjang, dan terdapat
aksara Sanskerta Kuno.
13 13
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 6 Kaboa (Aegiceras corniculatum), salah satu spesies tumbuhan yang terdapat
di hutan mangrove Leuweung Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
Secara ekologi, Ranca Kalong merupakan kawasan hutan yang paling bagus kondisi
vegetasinya. Blok hutan ini merupakan perwakilan ekosistem hutan dataran rendah, spesies
tumbuhan dominan adalah palahlar (Dipterocarpus hasseltii) dan kimaung (Dipterocarpus
javanica), kedua termasuk famili Dipterocarpaceae. Pohon palahlar dan kimaung
ukurannya raksasa, garis tengah batang mencapai 1,5 m dan tingginya lebih 40 m. Selain
palahlar dan kimaung juga terdapat banyak pohon putat (Barringtonia acutangula) raksasa
yang berdiameter 1–1,5 meter di Ranca Kalong. Ketika terjadi perambahan hutan secara
besar besaran dalam periode 1998–2003 yang hampir menghabiskan seluruh kawasan
hutan Leuweung Sancang, blok hutan Ranca Kalong termasuk yang dapat diselamatkan
dari aktivitas perambahan dan penebangan liar. Oleh karena itu, di hutan ini masih dapat
ditemukan pohon-pohon raksasa yang berusia ratusan tahun. Vegetasi hutan Ranca Kalong
di Leuweung Sancang merupakan contoh terbaik perwakilan ekosistem hutan primer
dataran rendah. Vegetasinya berada pada tingkat suksesi klimaks, suksesi akhir, suatu
ekosistem hutan dataran rendah yang sudah jarang dijumpai di Pulau Jawa.
14 14
LEGENDA DAN MITOS
Karang Gajah
Lokasi ini disebut Karang Gajah karena ukuran karang yang besar. Hempasan ombak
laut selatan dan hembusan angin kencang di sepanjang pesisir pantai ini dapat menyiutkan
nyali siapa saja yang ingin mencapai batu karang tersebut. Saat air laut pasang, Karang
Gajah seolah terpisah dari pantai dan daratan utama Leuweung Sancang, namun ketika
air laut surut, karang gajah dapat dikunjungi melewati karang datar yang berada di sisi
utara. Lokasinya yang berada di pantai selatan Leuweung Sancang, di muara kiri Sungai
Cipangisikan, Karang Gajah seolah benteng kokoh yang menahan hempasan ombak pantai
selatan. Dari cerita nelayan serta kondisi ombak di sekeliling Karang Gajah, diketahui bahwa
persis di kaki karang itu terdapat palung atau gua bawah laut yang apabila seseorang
terseret gelombang dan tenggelam di sekitar perairan itu maka akan terjepit di sela-sela
karang yang tajam. Oleh karena itu, pengunjung dilarang keras mandi dan berenang di
pantai sekitar Karang Gajah.
15 15
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
16 16
FORMASI HUTAN
Terdapat tiga formasi hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu hutan mangrove,
hutan pantai, dan hutan dataran rendah. Komposisi dan jenis tumbuhan dan satwaliar
pada setiap formasi hutan berbeda. Berikut ini adalah jenis-jenis tumbuhan dan satwa
pada setiap formasi hutan.
Hutan Mangrove
Kondisi Fisik
Hutan mangrove terdapat di sepanjang pesisir selatan Cagar Alam Leuweung Sancang
membentuk sabuk tipis dengan luas sekitar 50 ha. Jenis tanah di hutan mangrove adalah
Aluvial, dengan tekstur sandy clay loam (lempung liat berpasir) dan struktur granular,
tanah tidak matang, KTK tergolong rendah, dan pH tergolong netral 7–8. Suatu hal yang
menarik adalah di beberapa bagian tanah mangrove terdapat lapisan tanah gambut. Suhu
udara 27 0C, dan kelembapan relatif 70–80%.
Vegetasi
Hutan mangrove terdapat di sepanjang pantai membentang dari arah barat ke timur
mulai dari blok hutan Cikalongberan, Cipalawah, Cipunaga sampai Cibako. Hutan mangrove
di Leuweung Sancang berupa sabuk (belta) tipis dengan lebar berkisar 10–50 m. Tipisnya
sabuk vegetasi mangrove serta lumpur mangrove yang tidak dalam disebabkan tidak adanya
sungai besar yang bermuara di kawasan ini. Ekosistem hutan mangrove Leuweung Sancang
tergolong tua, suksesinya mencapai klimaks. Suksesi vegetasi mangrove berlangsung
secara alam dan regenerasi vegetasinya juga berlangsung secara alamiah. Mangrove ini
cukup terjaga dari segala gangguan seperti penebangan liar dan perambahan. Ekosistem
mangrove dengan suksesi klimaks seperti ini sudah jarang ditemukan di Pulau Jawa.
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 8 Hutan mangrove Cagar Alam Leuweung Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di hutan mangrove di antaranya bakau atau
kijingkang (Rhizophora apiculata) yang cukup dominan serta Rhizophora mucronata yang
populasinya sangat sedikit, hanya terdapat beberapa individu pohon dan permudaan di
Cipunaga. Rhizophora tumbuh dengan baik di bagian mangrove yang memiliki lumpur agak
dalam karena memiliki akar tunjang (stilt root) yang sesuai untuk lapisan lumpur tebal.
Pada bagian mangrove yang kedalaman lumpurnya tergolong sedang didominasi jenis
tancang (Bruguiera gymnorrhiza). Sementara itu, pada bagian yang lapisan lumpurnya tipis
terdapat jenis granat atau bogem (Xylocarpus granatum), pedada (Sonneratia caseolaris),
dan api-api (Avicennia marina dan A.officinalis). Tumbuhan bawah di hutan mangrove,
yaitu warakas (Acrosticum aureum) dan jeruju (Acanthus ilicifolius) dapat dijumpai di uara
Sungai Cibajing di sebelah barat kawasan.
Salah satu keistimewaan hutan mangrove Leuweung Sancang, yaitu terdapatnya
tegakan kaboa (Aegiceras corniculatum) yang cukup luas bahkan di beberapa bagian
mangove, kaboa membentuk tegakan murni seperti yang terdapat di hutan mangrove
antara ruas Cikalongberan dan Cungai Cipalawah serta di muara Sungai Cibako. Kaboa
mendominasi bagian mangrove yang subsrat tanahnya relatif keras, lapisan lumpur tipis
dan bahkan pada bagian mangrove yang tidak terdapat lumpur sama sekali. Di atas lapisan
batu karang kaboa tumbuh dengan baik. Kaboa tumbuh berumpun, percabangan banyak,
tingginya mencapai 5 m.
Pulau Mangrove
Di muara Sungai Cipalawah, terdapat pulau kecil yang luasnya sekitar 5 ha yang biasa
disebut pulau mangrove karena ditumbuhi vegetasi murni tumbuhan mangrove. Apabila
air laut surut, kedalaman air yang memisahkan daratan utama mangrove dengan pulau
mangrove tersebut hanya sekitar 50 cm sehingga seseorang dapat menyeberang ke pulau
20 20
FORMASI HUTAN
mangrove. Ketika air laut pasang, kedalaman air laut di muara Sungai Cipalawah sekitar
1 m. Sampai dengan tahun 1980-an, pulau mangrove tidak bervegetasi sama sekali
melainkan hanya berupa hamparan karang dan padang lamun dengan lapisan lumpur
dan pasir tipis di atasnya. Lambat laun pulau kecil tersebut ditumbuhi vegetasi mangrove
yang benihnya berasal dari mangrove utama yang berjarak 40–50 meter. Benih mangrove
awalnya berasal dari tegakan mangrove utama yang terbawa oleh proses pasang surut air
laut. Oleh karena itu, kolonisasi vegetasi mangrove di pulau mangrove berlangsung dalam
kurun kurang dari 40 tahun terakhir.
Pulau mangrove di Cagar Alam Leuweung Sancang sesungguhnya dapat dijadikan
lokasi studi suksesi alam vegetasi mangrove. Jenis tumbuhan mangrove yang pertama kali
tumbuh di Pulau Mangrove adalah pedada (Sonneratia caseolaris), api-api (Avicennia sp.),
dan kijingkang (Rhizophora apiculata). Akar pasak tumbuhan pedada dan api-api sangat
sesuai untuk menangkap dan mengendapkan lumpur sehingga lambat laun pulau mangrove
akan semakin luas dan memfasilitasi tumbuhnya ketiga jenis tumbuhan mangrove tersebut
di atas. Substrat tanah di pulau mangrove adalah pasir dan lumpur tipis.
Saat ini jenis tumbuhan yang terdapat di Pulau Mangrove didominasi oleh pedada
(Sonneratia caseolaris), kijingkang (Rhizophora apiculata), api-api (Avicennia sp.) dan
terdapat beberapa rumpun kecil kaboa (Aegiceras corniculatum). Pada tahun 2019,
dengan perkiraan umur pedada sekitar 30–35 tahun, diameter batang pedada adalah 30
cm. Sementara batang kijingkang yang paling besar adalah 20–25 cm.
21 21
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 10 Karakteristik perakaran vegetasi mangrove: (a) akar tunjang (Rhizophora spp.),
(b) akar jarum (Sonneratia spp., Avicennia spp.), (c) akar lutut (Bruguiera spp.),
dan (d) akar papan (Xylocarpus granatum) ( (Foto Abdul Haris Mustari)
22 22
FORMASI HUTAN
(a) (b)
(b)
(a)
(b)
(a)
Gambar 11 Batang, akar, daun dan buah Rhizophora mucronata (a) lebih besar
dibandingkan daun dan buah R. apiculata (b) (Foto Abdul Haris Mustari)
23 23
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Satwaliar
Jenis satwaliar yang dapat dijumpai di hutan mangrove di antaranya berbagai jenis
burung seperti burung madu sriganti (Cynniris jugularis), cipoh kacat (Aegithina tiphia),
burung cabe (Dicaeum sanguinolentum), raja udang meninting (Alcedo meninting), cekakak
sungai (Halcyon chloris), dan cangcaran (Psilopogon australis). Di hamparan lumpur tipis
dan di padang lamun ketika air laut surut dapat disaksikan berbagai spesies burung yang
tergolong Burung Wader famili Scolopacidae, di antaranya gajahan penggala (Numenius
phaeopus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), trinil betis merah (Tringa tetanus), trinil ekor
kelabu (Heteroscelus brevipes), cerek kalung hitam (Charadrius dubius), biru laut ekor
blokrok (Limosa lapponica), dan kedidi putih (Calidris alba). Juga terdapat beberapa spesies
burung dara laut di antaraya dara laut sumatera (Sterna sumatrana), dara laut jambul
besar (Sterna bergii), dan kadang terdapat kuntul kecil (Egretta garzetta) dan kuntul karang
(Egretta sacra). Jenis-jenis burung tersebut berlomba mencari makan kerang-kerangan,
ikan kecil, crustaceae ketika air laut surut, di mana hamparan karang dan pasir terbuka
luas. Fenomena yang menarik ini terjadi setiap hari saat air laut surut.
Jenis mamalia yang terdapat di hutan mangrove dan hutan pantai di antaranya lutung
budeng (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fasscicularis), dan kucing
akar (Prionailurus viverrinus). Jenis reptil di hutan mangrove di antaranya biawak (Varanus
salvator) dan ular cincin mas (Boiga dendrophylla). Di hamparan lumpur mangrove
terdapat ikan blodoh (Periopthalmus sp.) berlarian bahkan dapat memanjat akar dan
pohon mangrove. Di lumpur dan lantai mangrove terdapat sejenis kerang yang dalam
bahasa lokal disebut ‘totok’ yang biasa dipungut masyarakat untuk dikonsumsi.
Di pulau mangrove terdapat beberapa jenis burung di antaranya cekakak sungai
(Halcyon chloris), cipoh kacat (Aegithina tiphia), dan cinenen jawa (Orthotomus sepium).
Terdapat satu kelompok monyet ekor panjang di pulau mangrove dengan jumlah anggota
kelompok 6–10 individu.
Hutan Pantai
Kondisi Fisik
Jenis tanah di hutan pantai adalah Regosol yang memiliki tekstur lempung liat berpasir,
dan struktur remah dan granular. Nilai pH tanah berkisar 5,5–7,2, KTK tergolong sedang.
Tebal solum 20 cm pada horizon O dengan warna N1 black dan kematangan tanah hampir
matang. Suhu udara di hutan pantai berkisar 25–26 0C dan kelembapan relatif 98%.
24 24
FORMASI HUTAN
Vegetasi
Hutan pantai Leuweung Sancang terdapat di sepanjang pantai mulai dari Cipangikis,
Cikabodasan, Cetut, Cikalongberan, Cipalawah, Cipunaga, Cibako, Ciporeang, Karang Gajah,
dan Cidahon. Hutan pantai berbatasan langsung dengan garis pantai pada tanah berpasir.
Ada beberapa ruas hutan pantai yang berada setelah hutan mangrove seperti di Cipalawah
dan Cipunaga.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 12 Beberapa jenis burung air: (a) dara laut jambul besar Sterna bergii, (b) trinil
kaki-merah Tringa totanus, (c) gajahan penggala Numenius phaeopus, dan
(d) cerek kalung hitam Charadrius dubius, mencari makan berupa ikan kecil
dan moluska saat air laut surut di padang lamun (Foto Abdul Haris Mustari)
25 25
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 13 Berbagai jenis biota laut dan biota mangrove: ular laut, ikan buntal, ikan
blodoh, dan kepiting (Foto Abdul Haris Mustari)
Hutan pantai tidak terpengaruh pasang surut air laut. Jenis tumbuhan yang terdapat
di hutan pantai, yaitu ketapang (Terminalia catappa), butun (Barringtonia asiatica),
putat (Barringtonia acutangula), bayur/cayur (Pterospermum javanicum), cerlang
(P. diversifolium), brogondolo (Hernandia peltata), lame laut (Alstonia macrophylla),
kibangbara (Guettarda speciosa), kibalanak (Desmodium umbellatum), pisitan monyet
(Dysoxylum caulostachyum), ki pahang (Pongamia pinnata), waru laut (Hibiscus tiliaceus),
kihampelas (Ficus ampelas), teureup (Artocarpus elastica), kepuh (Sterculia foetida),
dan dadap (Erythrina variegata). Pada zona peralihan hutan pantai dan hutan mangrove
terdapat dungun (Heritiera littoralis) dan kadang nibung (Oncosperma filamentosum), jenis
palem yang tumbuh berumpum dan memiliki batang dan pelepah berduru tajam, banyak
terdapat di blok hutan Cidahon di sebelah timur Leuweung Sancang. Jenis tumbuhan
bawah hutan pantai di antaranya pandan (Pandanus tectorius) dan berbagai jenis rotan
(Calamus spp.). Di bagian pantai yang tanahnya berpasir tumbuh katang-katang (Ipomoea
pescapre) dan bakung (Crinum asiaticum).
26 26
FORMASI HUTAN
(a) (b)
Gambar 15 Kondisi hutan pantai (a) dan tumbuhan brogondolo Hernandia peltata (b)
yang merupakan salah satu jenis dominan di hutan pantai (Foto Abdul Haris
Mustari)
27 27
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
(a)
(b)
(c)
Gambar 16 Vegetasi pantai; (a) kipahang Pongamia pinnata, (b) bakung Crinum asiaticum,
dan (c) katang-katang Ipomoea pescapre (Foto Abdul Haris Mustari)
Satwaliar
Kelimpahan populasi satwaliar dari semua taksa dari tahun ke tahun semakin menurun
terutama karena kerusakan habitat dan frekuensi kehadiran manusia yang semakin tinggi
di Leuweung Sancang. Pada tahun 1997, dapat dengan mudah dijumpai satwaliar terutama
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung budeng (Trachypithecus auratus) di
muara sungai Cibaluk, Sungai Cibajing, dan rawa di sekitarnya. Kedua jenis primata ini hidup
berkelompok di tajuk hutan mangrove dan hutan pantai. Akan tetapi vegetasi di lokasi itu
saat ini sangat berkurang serta tingginya aktivitas manusia, bahkan hutan mangrove sudah
tidak ada lagi, hanya tersisa beberapa pohon pedada di kawasan itu. Satwaliar mamalia
lainnya yang dapat dijumpai di hutan pantai, yaitu kancil (Tragulus javanicus), berang
berang (Aonyx cinerea), bajing kelapa (Callosciurus notatus), dan jelarang (Ratufa bicolor).
28 28
FORMASI HUTAN
(a) (b)
Gambar 17 Jelarang Ratufa bicolor (a) diurnal dan tando Cynocephalus sp. (b) nokturnal,
di hutan pantai dan dataran rendah (Foto Abdul Haris Mustari)
29 29
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Hutan pantai merupakan habitat berbagai jenis burung, baik untuk tempat mencari
makan, tempat istirahat maupun sebagai bagian dari wilayah jelajah. Jenis-jenis burung
di hutan pantai di antaranya kangkareng (Anthracoceros albirostris), cekakak sungai
(Todirhamphus chloris), cekakak batu (Lacedo pulchella), saerang batu (Dicrurus paradiseus),
burung cabe (Dicaeum trochileum), cipoh (Aegithina tiphia), pijantung kecil (Arachnothera
longirostra), dan burung madu hitam (Nectarinia sperata).
(a) (b)
Gambar 18 Cekakak batu Lacedo pulchella (a) dan cekakak sungai Halcyon chloris (b) (Foto
Abdul Haris Mustari)
(a) (b)
Gambar 19 Kadalan kembang Phaenicophaeus javanicus (a) dan takur tulungtumpuk
Psilopogon javensis (b) (Foto Abdul Haris Mustari)
30 30
FORMASI HUTAN
Vegetasi
Setelah hutan pantai ke arah darat terdapat hutan dataran rendah. Hutan dataran
rendah mencakup kawasan yang lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove dan
hutan pantai. Di Leuweung Sancang, peralihan zona hutan pantai ke hutan dataran rendah
secara alami ditandai dengan kehadiran berbagai jenis tumbuhan berdiameter besar,
khususnya palahlar (Dipterocarpus hasseltii) serta terdapatnya jenis rotan. Veegetasi
tingkat pohon yang dominan di hutan dataran rendah adalah palahlar, INP mencapai 130%
bahkan lebih pada beberapa blok hutan. Jenis lainnya, yaitu palahlar beurit (Dipterocarpus
gracilis), huru minyak (Litsea recinosa), lame atau kayu gabus (Alstonia scholaris), laban
(Vitex pubescens), dan kenanga (Canangium odoratum). Strata tajuk di hutan dataran
rendah tergolong lengkap, yaitu A sampai E.
Di bagian utara hutan dataran rendah, berbatasan dengan perkebunan PT Mira Mare
di blok Meranti, terdapat meranti merah atau damar mata kucing (Shorea javanica), satu
satunya pohon meranti yang tersisa di blok hutan tersebut. Diameter batang 133 cm
(dbh), tinggi bebas cabang 20 m, dan tinggi total 40 m. Setelah diteliti secara cermat tidak
terdapat permudaan (seedling) alami di bawah dan di sekitar pohon meranti ini, termasuk
kawasan hutan di sekitarnya. Pohon meranti merah sering dikunjungi mahasiswa yang
melaksanakan praktikum analisis vegetasi untuk melihat langsung kondisi pohon meranti
merah tersebut.
31 31
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 20 Pohon meranti merah (Shorea javanica) yang sangat langka di Leuweung
Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
Gambar 21 Keruing atau dikenal dengan nama lokal palahlar (Dipterocarpus hasseltii),
diameter batang mencapai 1,5 m dan tinggi total 50 m, merupakan jenis
tumbuhan dominan di hutan dataran rendah, terutama di blok hutan Ranca
Kalong, Cipalawah, dan Cipunaga (Foto Abdul Haris Mustari)
32 32
FORMASI HUTAN
Tabel 3 Jenis tumbuhan di hutan dataran rendah Cagar Alam Leuweung Sancang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
1 Benda (Teureup) Artocarpus elastica Moraceae
2 Borosole Brassica oleracea Papaveraceae
3 Cangcaratan Nauclea purpurascens Rubiaceae
4 Dangdeur Gossampinus heptaphylla Bombacaceae
5 Darewah Grewia paniculata Tiliaceae
6 Dungun Heritiera littoralis Sterculiaceae
7 Gintung (Gadog) Bischofia javanica Euphorbiaceae
8 Hamerang Ficus alba Moraceae
9 Hampelas Ficus melinocarpa Moraceae
10 Haringing Cassia timorensis Caesalpiniaceae
11 Ipis kulit Kibessia azurea Melastomaceae
12 Ipis kulit Decaspermum fruticosum Myrtaceae
13 Karet munding Ficus elastica Moraceae
14 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae
15 Kelepu Anthocephalus chinensis Rubiaceae
16 Kenanga Canangium odoratum Annonaceae
17 Kiara Ficus altissima Moraceae
18 Kibangkong Palaquium rostratum Sapotaceae
33 33
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Tabel 3 Jenis tumbuhan di hutan dataran rendah Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
19 Kibuaya Leea angulata Elaeocarpaceae
20 Kiciat Ficus septica Moraceae
21 Kihiang A. procera Mimosaceae
22 Kikadu Cleistanthus myrianthus Euphorbiaceae
23 Kiruhah Hynocarpus heterophyllus Flacourtiaceae
24 Kisegel Dillenia excelsa Dilleniaceae
25 Kiseureuh Piper adunctum Piperaceae
26 Kiteja Cinnamomum culilawan Lauraceae
27 Kitoke Albizia lebbeck Mimosaceae
28 Kokopian Plectronia glabra Rubiaceae
29 Kondang Ficus variegata Moraceae
30 Kopeng Ficus rives Moraceae
31 Kopo Eugenia cymosa Myrtaceae
32 Lame darat Alstonia scholaris Apocynaceae
33 Leungsir Pometia pinnata Sapindaceae
34 Mangga leuweung Garcinia lateriflora Guttiferae
35 Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae
36 Palahlar Dipterocarpus javanica Dipterocarpaceae
37 Palahlar beurit Dipterocarpus gracilis Dipterocarpaceae
38 Pangsor Ficus callosa Moraceae
39 Pisitan monyet Dysoxylum caulostachyum Meliaceae
40 Pohpohan Buchanania arborescens Anacardiaceae
41 Pulus Laportea stimulans Urticaceae
42 Sempur Dillenia aurea Dilleniaceae
43 Tengek caah Nauclea pallida Rubiaceae
Satwaliar
Salah satu yang menjadikan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki prioritas
tinggi dalam hal konservasi, yaitu terdapatnya owa jawa (Hylobates moloch). Populasi
owa jawa sudah sangat jarang dijumpai di hutan dataran rendah Pulau Jawa. Hutan
dataran rendah juga menjadi habitat satwa arboreal seperti surili (Presbytis comata),
lutung (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kukang jawa
(Nycticebus javanicus), dan jelarang (Ratufa bicolor). Satwaliar terestrial di antaranya babi
hutan (Sus scrofa), kancil (Tragulus javanicus), dan kijang muncak (Muntiacus muntjak).
34 34
FORMASI HUTAN
Mamalia nokturnal yang terdapat di Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu macan
tutul jawa (Panthera pardus melas) dan ajag (Cuon alpinus). Kedua jenis karnivor tersebut
agak sulit dijumpai secara langsung karena aktif pada malam hari dan sangat sensitif akan
kehadiran manusia. Macan tutul jawa kadang muncul di muara Sungai Cipalawah di dekat
hutan pantai dan hutan mangrove.
Selain mamalia, hutan dataran rendah adalah habitat berbagai jenis burung seperti
julang (Aceros undulatus), kangkareng (Anthracoceros albirostris), rangkong (Buceros
rhinoceros), pelatuk (Reindwartipicus validus), takur tohtor (Psilopogon armillaris), burung
hantu (Bubo sumatranus), saerang batu (Dicrurus paradiseus), dan ayam hutan merah
(Gallus gallus). Penulis juga masih sempat melihat langsung merak hijau (Pavo muticus)
pada bagian hutan dataran rendah yang berbatasan dengan areal perkebunan PT Mira
Mare di sebelah utara. Pada tahun 2017 Himakova melaporkan keberadaan elang jawa
(Nizaetus bartelsi) di hutan dataran rendah di sekitar Cipangisikan, di bagian timur Leuweung
Sancang. Penemuan kembali elang jawa dilaporkan oleh Annisa (personal communication)
pada April 2019, di blok hutan Panglima yang terletak di bagian timur Leuweung Sancang.
Penemuan ini semakin menguatkan Leuweung Sancang sebagai habitat penting satwaliar
endemik dan dilindungi.
(a) (b)
Gambar 23 Kijang muncak (Muntiacus muntjak) betina dewasa (a) dan jantan dewasa
(b). Betina dewasa ditemukan oleh penulis di hutan riparian Sungai Cijeruk,
Leuweung Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
35 35
EKOLOGI SPESIES
Rafflesia patma
Leuweung Sancang merupakan habitat penting bunga Rafflesia patma yang disebut
juga patmo sari. R. patma termasuk jenis tumbuhan yang dilindungi undang-undang.
Bunga ini bersifat holoparasit, yaitu parasit sejati karena tidak memiliki klorofil tetapi
akar hisap yang disebut haustorium yang menempel pada tumbuhan inang yaitu kibalera
(Tetrastigma lanceolarium, T.cylindrica). Kibalera sejenis liana yang sangat dibutuhkan
oleh R. patma untuk menempel dan tumbuhnya biji. Biji R. patma disebarkan oleh satwa
di antaranya jenis-jenis Rodentia, seperti bajing dan tupai serta jenis-jenis tikus dan celurut
hutan. Kemungkinan juga disebarkan oleh babi hutan di mana biji R. patma menempel
pada kuku ketika satwa tersebut tidak sengaja menginjak bunga R. patma yang mekar,
matang atau membusuk di mana terdapat biji yang siap tumbuh.
Di Cagar Alam Leuweung Sancang, R. patma terdapat di Cipangikis, Cikabodasan,
Cipalawah, Cipayawungan, Cipunaga, Cibako, Ciporeang, dan riparian Cipangisikan
dekat Karang Gajah. R. patma dapat dijumpai pada ketinggian berkisar 0–10 mdpl dan
pada zona 5–500 m dari garis pantai. Akibat gelombang pasang yang tinggi pada 2007
dan beberapa periode berikutnya, banyak R. patma yang mati di sepanjang hutan pantai
mulai dari Cipangikis sampai Ciporeang. Beberapa knop atau kuncup R. patma ditemukan
dalam kondisi layu atau mati akibat terkena langsung air asin ketika gelombang pasang
naik. Pak Ruskindi (Polhut Leuweung Sancang) menyatakan bahwa banyak R. patma yang
mati akibat terkena air asin dan vegetasi di sekitar tempat tumbuh Raffesia patma mati
oleh pengaruh langsung dan tidak langsung air laut akibat gelombang pasang, termasuk
gelombang tsunami pada tahun 2006.
Pada tahun 1997 tercatat sebanyak 9 knop R. patma dengan diameter berkisar
4,5–12 cm. Juga ditemukan satu bunga R. patma yang sedang mekar di Cibako. Kesembilan
knop R. patma yang ditemukan tersebut tersebar di sekitar sungai Cipangikis, sungai
Cipalawah, dan Cibako. Pada tahun 2006 juga tercatat satu R. patma masing-masing di
Cipangikis dan Cikalongberan.
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Pada bulan Agustus 2015 ditemukan bunga R. patma yang mekar di hutan pantai
Cipalawah pada posisi 10 m dari batas hutan mangrove dan hutan pantai. R. patma yang
ditemukan tumbuh pada kibalera pada posisi 40 cm dari permukaan tanah dan arah
tumbuh ke samping. Kibalera memanjat pada pohon pereng (Ficus sp). Suhu di sekitar R.
patma adalah 29 0C dan kelembapan 83%.
Ketika pertama kali terlihat pada tanggal 8 Agustus 2015, R. patma belum mekar, tetapi
sudah menunjukkan ciri fisik kelopak bunga yang sebentar lagi akan mekar, yaitu lapisan-
lapisan kelopak bunga sudah mulai agak terbuka atau lepas pada masing-masing ujungnya.
Tiga hari kemudian yaitu pada tanggal 11 Agustus pukul 08.00 satu kelopak bunga sudah
terbuka, disusul kelopak ke-2 yang terbuka pada sore hari pukul 14.00. Pada tanggal 12
Agustus, pukul 08, kelopak ke-3 mekar, kemudian menyusul knop ke-4 yang terbuka pada
sore hari. Jumlah kelopak seluruhnya 5 helai, dan pada saat bunga mekar dimulai dengan
terbukanya kelopak teratas, menyusul kelopak berikutnya pada posisi searah jarum jam.
Diamater bunga setelah mekar berkisar 29–33 cm, panjang kelopak bunga 10 cm.
Gambar 24 Tahapan perkembangan bunga Rafflesia patma mulai dari bentuk knop sampai
bunga mekar kemudian layu dan membusuk (Foto Abdul Haris Mustari)
40 40
EKOLOGI SPESIES
Gambar 25 Ada dua jenis kibalera yaitu Tetrastigma lanceolarium (atas tengah, potongan
melintang batang agak pipih) dan T. cylindrica (atas kanan, potongan melintang
batang bulat atau cylindris), dan tahapan perkembangan bunga Rafflesia
patma (Foto Abdul Haris Mustari)
41 41
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 26 Tahapan perkembangan bunga dan posisi Rafflesia patma menempel pada
akar Tetrastigma (Foto Abdul Haris Mustari)
Secara garis besar, perkembangan bunga dimulai saat biji R. patma menempel pada
tumbuhan inang jenis kibalera Tetrastigma lanceolarium atau T. cylindrica, kemudian
muncul knop, kemudian knop itu berkembang perlahan dan pada saatnya mekar sempurna,
kemudian layu dan akhirnya mati membusuk. Pada saat mekar penuh, aroma menyengat
42 42
EKOLOGI SPESIES
khas R. patma yang berbau busuk menarik berbagai serangga penyerbuk bunga di antaranya
lalat hijau (Lucilia sp.), lalat biru (Protocalliphora sp.), lalat hitam (Sarcophaga sp.), dan
lalat buah (Drosophylla sp.). Dari sini mulai lagi siklus hidup R. patma: (1) bunga mekar
diserbuki berbagai jenis serangga, (2) terdapat biji fertil pada bunga yang mati membusuk,
(3) biji yang terdapat pada bunga yang mati secara tidak disengaja dibawa dan disebar oleh
satwa di antaranya bajing, tupai, tikus, dan babi hutan atau terbawa aliran air permukaan,
(4) biji sampai dan menempel pada akar Tetrastigma, (5) biji tumbuh menjadi kuncup,
akhirnya (6) kuncup berkembang menjadi bunga sempurna yang mengundang berbagai
jenis serangga penyerbuk. Perlu waktu minimal dua tahun mulai biji R. patma menempel
pada tumbuhan inang Tetrastigma sampai bunga mekar sempurna, suatu prosesi alam
yang sempurna.
Tetrastigma termasuk famili Vitaceae, tumbuhan liana berkayu, sering dijumpai
memanjat pada pohon pereng (Ficus sp.), cayur/bayur (Pterospermum javanicum), cerlang
(P. diversifolium), ketapang (Terminalia catappa), dan jenis tumbuhan lain. Sebagai liana,
Tetrastigma memiliki akar untuk mengambil nutrisi dari tanah dan daun serta klorofil
sehingga mampu berfotosintesis. Tetrastigma hanya memerlukan pohon tumbuhan lain,
biasanya pohon yang cukup besar, sebagai panjatan. Kulit batang Tetrastigma agak kasar
beralur. Selain batang, Tetrastigma juga memiliki akar tunjang atau akar napas yang sampai
di tanah. Berdasarkan pengamatan penulis selama lebih tujuh belas tahun mengunjungi
Leuweung Sancang, kuncup atau knop R. patma lebih sering terdapat pada kibalera jenis
Tetrastigma lanceolarium daripada T. cylindrica.
Biji bunga R. patma yang terbawa secara tidak sengaja oleh satwa misalnya jenis
Rodensia, babi hutan atau serangga, menempel dan kemudian tumbuh pada kulit batang
atau akar Tetrastigma. Kuncup R. patma kadang ditemukan muncul persis di permukaan
tanah menempel pada batang atau akar Tetrastigma. Kuncup juga dapat muncul pada
ketinggian sampai 1 m pada batang Tetrastigma. Kadang kuncup R. patma seolah muncul
langsung dari permukaan tanah tanpa adanya batang atau akar Tetrastigma. Pada kondisi
seperti ini sebenarnya R. patma tetap tumbuh pada akar Tetrastigma yang berada di bawah
permukaan tanah, hanya tidak terlihat karena tertutup tanah, serasah atau humus. Kunci
keberadaan R. patma adalah adanya tumbuhan inang yaitu kibalera (Tetrastigma spp.).
Macan Tutul
Macan tutul (Panthera pardus melas) biasa juga disebut harimau tutul, merupakan
salah satu sub spesies macan tutul endemik Jawa. Satwa ini dilindungi undang-undang.
Setelah harimau jawa (Panthera tigris javanica) punah pada era 1960an, maka macan tutul
menjadi predator puncak (top predator) di Pulau Jawa. Cagar Alam Leuweung Sancang
43 43
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
merupakan salah satu habitat penting macan tutul, namum demikian belum banyak
diketahui mengenai populasinya di kawasan ini. Macan tutul memiliki wilayah jelajah yang
cukup luas, sementara luas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang hanya 2.313,90 ha dan
luas itu tidak semuanya sesuai untuk kehidupan macan tutul karena satwa ini membutuhkan
hutan primer serta terdapatnya mangsa (prey) yang cukup.
Habitat macan tutul di Cagar Alam Leuweung Sancang terutama terdapat di blok hutan
Cipalawah mencakup hutan dataran rendah, hutan pantai, dan hutan mangrove, serta di
sepanjang riparian Sungai Cipalawah. Macan tutul kadang dijumpai di blok hutan ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan jejak kaki dan feses. Berdasarkan
tutupan vegetasi, blok hutan Cipalawah memiliki vegetasi yang paling memungkinkan
untuk kehidupan macan tutul, yaitu terdapat beberapa strata tajuk, vegetasi yang cukup
rapat di beberapa bagian hutan serta vegetasi di mana tumbuhan bawah relatif jarang di
bawah tegakan pohon raksasa palahlar yang memungkinkan macan tutul memburu dan
menangkap mangsanya.
Di Cipalawah, pada hutan dataran rendah jenis tumbuhan yang dominan adalah
palahlar (Dipterocarpus haseltii), palahlar berit (D.gracilis), putat (Barringtonia acutangula),
dan langkap (Arenga obtisifolia). Di hutan pantai, jenis tumbuhan yang dominan adalah
bayur/cayur (Pterospermum javanicum), cerlang (P. diversifolium), lame laut (Alstonia
macrophylla), dan beberapa jenis beringin (Ficus spp.). Macan tutul juga sering ditemukan
jejaknya di zona transisi hutan pantai dan hutan mangrove di muara Sungai Cipalawah.
Selain di Cipalawah, habitat macan tutul di Cagar Alam Leuweung Sancang adalah hutan
dataran rendah dan hutan pantai yang terdapat di Cipangkis, Cikabodasan, Cikalongberan,
Cipunaga dan riparian Sungai Cipangisikan.
Mangsa macan tutul di Cagar Alam Leuweung Sancang terutama babi hutan (Sus
scrofa), kijang muncak (Muntiacus muntjak), biawak (Varanus salvator), lutung budeng
(Trachypithecus auratus), surili (Presbytis comata), dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis). Potensi mangsa lainnya, yaitu jelarang (Ratufa bicolor), berang-berang cakar
kecil (Aonyx cinereus), dan musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus).
44 44
EKOLOGI SPESIES
Gambar 27 Macan tutul di Cagar Alam Leuweung Sancang (Foto Javan Species Recovery
Program), dan jejak macan tutul berupa feses yang mengandung rambut
mamalia yang ditemukan di hutan dataran rendah Sungai Cipalawah dan jejak
kaki berukuran 7 cm yang ditemukan di zona transisi hutan mangrove dan
hutan pantai muara Sungai Cipalawah (Foto Abdul Haris Mustari)
45 45
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Owa Jawa
Hutan dataran rendah Leuweung Sancang merupakan habitat penting owa jawa. Owa
jawa (Hylobates moloch) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa. Habitat
owa jawa umumnya adalah hutan tropis pegunungan, hanya sedikit populasinya yang
tersisa di hutan dataran rendah. Hutan dataran sejak lama telah mengalami kerusakan
karena berbagai aktivitas manusia seperti permukiman, pertanian, dan perkebunan yang
umumnya bermula di dataran rendah.
Gambar 28 Owa jawa (Hylobates moloch) di sekitar air terjun Cikajayaan di tepi Sungai
Cipangisikan (Foto Abdul Haris Mustari)
46 46
EKOLOGI SPESIES
47 47
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Blok hutan di Cijeruk, Cibaluk, dan Cimerak yang berada di sebelah barat kawasan
Leuweung Sancang vegetasinya sudah berubah menjadi hutan sekunder, semak belukar,
padang rumput dan alang-alang. Demikian pula dengan kawasan hutan dataran rendah
dan hutan pantai di sebelah utara Cibako dan Ciporeang vegetasi yang ada berupa hutan
sekunder dan semak belukar. Penambahan luas kawasan hutan berupa semak belukar
dan hutan sekunder disebabkan oleh perambahan dan illegal logging dalam periode 1998
sampai 2003. Kawasan yang layak dihuni oleh owa jawa adalah sebagian besar hutan
dataran rendah serta sebagian hutan pantai di mana masih terdapat tumbuhan tingkat
pohon yang memiliki strata tajuk A dan B.
Gambar 29 Penyebaran kelompok owa jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang (Hagang
dan Mustari 2019)
Struktur Umur
Berdasarkan struktur populasi terlihat bahwa jumlah individu owa jawa dewasa lebih
banyak dibandingkan jumlah individu remaja dan anak. Rentang umur owa jawa dewasa
adalah 6–33 tahun (selang 27 tahun), muda 4–6 tahun (selang 2 tahun) dan anak 0–4 tahun
(selang 4 tahun). Karena setiap kelas umur memiliki lebar selang umur yang berbeda,
48 48
EKOLOGI SPESIES
dilakukan penyusunan populasi pada setiap kelas umur ke dalam selang waktu yang sama
(rata-rata tahunan) dengan cara membagi jumlah individu pada setiap kelas umur dengan
lebar selang umur kelasnya (Santosa et al. 2008). Struktur populasi owa jawa disajikan
dalam dua bentuk piramida umur. Piramida umur yang pertama dibuat berdasarkan jumlah
individu yang sebenarnya pada setiap kelas umur, dan piramida umur yang kedua dibuat
berdasarkan kelas umur rata-rata tahunan.
Berdasarkan jumlah individu setiap kelas umur, bentuk piramida umur menunjukkan
kondisi di mana populasi owa jawa sedang mengalami penurunan, yaitu jumlah individu
dewasa lebih banyak daripada jumlah individu muda dan anak. Akan tetapi berdasarkan
jumlah individu rata-rata tahunan, bentuk piramida umur menunjukkan populasi yang
stabil. Namun demikian, jumlah seluruh individu owa jawa di Leuweung Sancang yang
hanya berjumlah 14 individu termasuk sangat sedikit, apalagi populasinya sudah terisolasi.
Populasi owa jawa hanya ada di Leuweung Sancang di kawasan selatan Garut. Populasi
yang kecil dan terisolasi dalam jangka waktu yang lama akan mengalami tekanan silang
dalam (inbreeding depression) sehingga akan terjadi erosi genetik disebabkan perkawinan
kerabat dekat. Akibat selanjutnya adalah struktur populasi yang tidak seimbang dan
pada akhirnya akan mengarah pada suatu kondisi yang disebut populasi masuk pusaran
kepunahan (extinction vortex). Spesies yang populasinya masuk pusaran kepunahan akan
sulit keluar kondisi itu dan akhirnya akan terjadi kepunahan lokal.
Hal ini tidak diharapkan terjadi pada populasi owa jawa di Cagar Alam Leuweung
Sancang. Untuk itu habitat yang layak untuk owa jawa harus dijaga dengan baik, yaitu
mempertahankan adanya hutan primer dengan strata vegetasi dan tajuk yang lengkap.
Termasuk adanya pohon besar dan tinggi serta adanya kesinambungan tajuk untuk
pergerakan dan perpindahan owa jawa di dalam wilayah jelajahnya serta terdapatnya
berbagai jenis tumbuhan penghasil buah makanan owa jawa. Hidup owa jawa sepenuhnya
arboreal, bergerak dengan cara brachiasi, menggunakan kedua tangannya bergelantungan
berpindah dari satu cabang ke cabang yang lain. Kesinambungan tajuk vegetasi mutlak
adanya untuk menjamin kelangsungan hidup owa jawa.
Tabel 4 Komposisi dan struktur umur owa jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang
Kelompok owa jawa Jumlah (individu) N
No
di blok hutan Jantan dewasa Betina dewasa Jantan muda Betina muda Anak (individu)
1 Cipangikis 1 1 0 0 0 2
2 Ranca Kalong 1 1 0 0 0 2
3 Cipalawah 1 1 0 0 0 2
4 Cipunaga 1 1 1 1 1 5
5 Cipangisikan 1 1 1 3
Total (individu) 5 5 1 1 2 14
Sumber : Hagang dan Mustari (2019)
49 49
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
(a) (b)
Gambar 30 Struktur umur owa jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang: (a) struktur umur
berdasarkan jumlah individu setiap kelas umur, (b) struktur umur rata-rata
tahunan (Hagang dan Mustari 2019)
Tumbuhan Pakan
Tercatat sebanyak 7 famili tumbuhan makanan owa jawa di Cagar Alam Leuweung
Sancang. Jenis tumbuhan yang banyak dikonsumsi oleh owa jawa adalah tergolong famili
Moraceae, yaitu 43% dan disusul famili Anacardiaceae sebanyak 22%. Sisanya adalah
tumbuhan famili Lecythidaceae, Lauraceae, Sapindaceae, Euphorbiaceae, dan Dilleniaceae
masing-masing sebesar 7%. Dari komposisi jenis tumbuhan pakan owa jawa dapat
disimpulkan bahwa tumbuhan famili Moraceae memiliki peran penting sebagai sumber
pakan bagi satwa langka ini. Di Cagar Alam Leuweung sancang tercatat 14 jenis tumbuhan
yang tergolong famili Moraceae.
50 50
EKOLOGI SPESIES
Gambar 31 Komposisi jenis tumbuhan pakan owa jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang
(Hagang dan Mustari 2019)
Makanan utama owa jawa adalah berbagai jenis buah (frugivore). Daun dan pucuk
juga dimakan hanya dalam porsi yang kecil. Hasil penelitian Hagang dan Mustari (2019)
menunjukkan bahwa sekitar 93% makanan owa jawa adalah buah, terutama buah berbagai
jenis tumbuhan famili Moraceae seperti berbagai jenis beringin (Ficus altissima), hampelas
(F.ampelas), kondang (F.variegata), spp.), dan teureup (Artocarpus elasticus). Jenis
tumbuhan lain penghasil buah makanan owa jawa adalah dahu (Dracontomelon dao), ki
buah (D. mangiferum), ki segel (Dillenia excelsa), dan putat (Barringtonia acutangula).
Tabel 6 Jenis tumbuhan pakan owa jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang
51 51
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lutung Budeng
Lutung budeng (Trachypithecus auratus) biasa juga disebut lutung jawa, javan leaf
monkey dan ebony leaf monkey. Nama lutung budeng didasarkan atas nama spesies
ini yang tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 mengenai jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi.
Jenis primata ini sering terlihat di hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang, mulai
dari Sungai Cijeruk sampai di bagian timur di sekitar muara Sungai Cipangisikan dan
hutan di sekitar Karang Gajah. Apabila mendeteksi kehadiran manusia atau sesuatu yang
dianggap mengancam maka luteng budeng mengeluarkan suara khas, suara peringatan
akan adanya ancaman, alarm call ‘khekok-khekok-khekok-khekok’ yang dilakukan secara
berulang. Alarm call paling sering dikeluarkan oleh jantan dewasa pemimpin kelompok.
Lutung budeng hidup berkelompok, dengan jumlah anggota setiap kelompok mencapai
20 individu. Satu kelompok terdiri atas beberapa kelas umur dan jenis kelamin, yaitu jantan
dewasa sebagai pemimpin kelompok (alfa male), dan beberapa betina dewasa (harem),
serta kelas umur muda, anak, dan bayi. Oleh karena itu, kehidupan sosial lutung budeng
termasuk multi male-multi female group, yaitu dalam satu kelompok terdapat beberapa
jantan dewasa dan betina dewasa. Pemimpin kelompok adalah jantan dewasa yang
fisiknya paling besar dan paling kuat. Sebagai pemimpin, alfa male harus mampu menjaga
kelompoknya dari ancaman dan gangguan, terutama dari kelompok lutung budeng yang
lain.
Kelas umur primata umumnya dapat dibuat lebih rinci, terdiri atas bayi (baby, infant),
anak (juvenile), remaja atau muda (young), setengah dewasa (sub adult), dan dewasa
(adult). Jantan dan betina dapat dibedakan dari organ kelamin eksternal seperti penis,
skrotum, dan puting susu. Bayi lutung budeng yang masih sangat kecil berwarna oranye
kekuningan. Warna ini lambat laun berubah dari oranye kekuningan menjadi kehitaman
seiring bertambahnya umur. Bayi lutung budeng selalu digendong dan didekap oleh
induknya.
Pasaribu (2019), Mustari dan Pasaribu (2019) melakukan inventarisasi populasi,
penyebaran, dan tumbuhan pakan lutung budeng di Cagar Alam Leuweung Sancang.
Populasi dan sebaran kelompok dihitung menggunakan metode konsentrasi (concentration
count) dengan cara sensus, yaitu menghitung populasi secara keseluruhan. Jumlah
individu kelompok serta sebaran kelompok ditentukan pada saat lutung budeng berada
pada pohon tidur (sleeping trees). Berdasarkan penelitian pendahuluan diketahui bahwa
kelompok lutung budeng di Leuweung Sancang selalu menggunakan vegetasi dan pohon
52 52
EKOLOGI SPESIES
yang terdapat di hutan pantai untuk tidur. Meskipun ketika mencari makan pada siang hari,
kelompok lutung budeng dapat menggunakan seluruh tipe hutan yang ada, yaitu hutan
dataran rendah, hutan pantai, dan kadang di hutan mangrove.
Gambar 32 Bayi lutung budeng yang masih berwarna kuning oranye dalam dekapan
induknya (Foto Abdul Haris Mustari)
Lutung budeng mulai mendekati pohon tidur sekitar pukul 17.00. Penghitungan
jumlah individu setiap kelompok dilakukan pada saat kelompok lutung budeng berada
pada pohon tidur pada pukul 17.30–19.00. Kehadiran pengamat di sekitar pohon tidur
diusahakan pada pukul 17.00 atau sebelumnya dengan posisi agak berlindung agar lutung
budeng tidak merasa terganggu. Koordinat pohon tidur dicatat menggunakan GPS.
Langkah pertama yang dilakukan adalah memetakan sebaran kelompok lutung
budeng di sepanjang hutan pantai. Setiap kelompok memiliki wilayah jelajah (home
range) tertentu. Diperlukan beberapa hari untuk menentukan jumlah kelompok. Survei
sebaran kelompok dilakukan dengan cara berjalan kaki di sepanjang hutan pantai dan
dilakukan beberapa kali ulangan. Setelah jumlah dan sebaran kelompok diketahui, langkah
berikutnya adalah menghitung jumlah individu setiap kelompok, termasuk struktur umur
serta jenis kelamin untuk kelas umur dewasa dan muda. Pada setiap kelompok, jumlah
individu yang diambil sebagai hasil akhir dari beberapa kali ulangan adalah jumlah yang
terbanyak, karena mungkin pada pengamatan sebelumnya masih ada anggota kelompok
yang belum terdeteksi. Parameter yang dicatat, yaitu jumlah kelompok, sebaran kelompok,
jumlah individu setiap kelompok, kelas umur, jenis kelamin, dan karakteristik pohon tidur
(jenis tumbuhan, model percabangan, tinggi pohon).
53 53
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lutung budeng dapat menggunakan pohon tidur selama 2–3 malam berturut-turut,
atau memilih pohon yang berbeda dari hari sebelumnya, namun masih berada di dalam
wilayah jelajah kelompok (home range). Apabila jumlah individu dalam suatu kelompok
tidak terlalu banyak, kelompok tersebut hanya menggunkan satu pohon tidur. Namun
apabila jumlah anggota kelompok cukup besar, lebih 15 individu, kelompok lutung
budeng dapat menggunakan lebih dari satu pohon tidur meskipun masih berdekatan.
Jenis tumbuhan yang sering dipergunkan lutung budeng sebagai pohon tidur di antaranya
ketapang (Terminalia catappa), kipahang (Pongamia pinnata), beringin (Ficus sp.), bayur
(Pterospermum javanicum), lame laut (Alstonia macrophylla), rao (Dracontomelon
mangiferum), popohan (Buchanania arborescens), dan leungsir/matoa (Pometia pinnata).
Jenis tumbuhan yang dipilih kelompok lutung budeng sebagai pohon tidur juga sekaligus
sebagai sumber pakan berupa daun, pucuk dan buah. Pohon tidur umumnya adalah pohon
terbesar di lingkungan tersebut dan umumnya memiliki percabangan terbuka, mendatar
atau horizontal.
Di dalam wilayah jelajah terdapat teritori (territory). Setiap kelompok memiliki teritori
yang berbeda. Teritori adalah bagian dari wilayah jelajah yang dipertahankan (defended)
oleh suatu kelompok dari masuknya kelompok lain. Wilayah jelajah suatu kelompok mungkin
saja tumpang tindih (overlap) dalam luasan tertentu dengan wilayah jelajah kelompok lain
yang berdekatan. Apabila terdapat bagian dari wilayah jelajah yang tumpang tindih, maka
bagian tersebut merupakan wilayah bertemunya dua wilayah jelajah dari kelompok yang
berbeda (intersepsi). Setiap kelompok selalu berusaha agar wilayah jelajahnya berbeda
dengan kelompok lain. Semakin besar overlapping atau intersepsi wilayah jelajah semakin
sering terjadi konflik antar kelompok karena kedua kelompok semakin sering bertemu
dalam mencari kebutuhan hidupnya terutama makanan, air, dan tempat berlindung.
Berbeda halnya dengan wilayah jelajah, teritori tidak overlap. Teritori dijaga sangat ketat
baik oleh kelompok dan pelanggaran terhadap wilayah teritori dapat menyebabkan
perkelahian serius antar kelompok. Pohon tidur merupakan bagian dari wilayah teritori
karena itu pohon tidur dipertahankan ketat oleh suatu kelompok.
Hasil penelitian Pasaribu (2019), Mustari dan Pasaribu (2019) menunjukkan bahwa
terdapat 19 kelompok lutung budeng yang tersebar di hutan pantai Cagar Alam Leuweung
Sancang. Jumlah seluruh anggota kelompok adalah 227 individu (95 individu dewasa, 62
individu muda/remaja dan 69 individu anak). Jumlah anggota setiap kelompok berkisar
8–17 individu. Perbandingan kelamin atau sex-ratio individu dewasa adalah 1 : 3. Kepadatan
populasi sebesar 0,15 individu/ha. Luas kawasan hutan Cagar Alam Leuweung Sancang
yang dihuni lutung budeng adalah 1.500 ha meliputi hutan dataran rendah, hutan pantai,
dan hutan mangrove. Meskipun demikian, populasi lutung lebih banyak menggunakan
hutan pantai sebagai wilayah jelajah, sumber apakan dan pohon tidur.
54 54
EKOLOGI SPESIES
(a)
(b)
(c)
Gambar 33 Gambaran lengkap kelas umur lutung budeng terdiri dari jantan dan betina
Dewasa (a), jantan dan betina muda (b), serta anak dan bayi (c) (Foto Abdul
Haris Mustari)
55 55
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Sebaran Kelompok
Dari peta penyebaran kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa lutung budeng
memilih vegetasi hutan pantai sebagai tempat tidur di sepanjang pesisir selatan Leuweung
Sancang. Vegetasi hutan pantai juga menjadi sumber pakan lutung budeng. Oleh karena
itu, akan lebih mudah menemukan lutung budeng di hutan pantai, terutama pada pagi
dan sore hari yaitu ketika baru bangun dan akan meninggalkan pohon tempat tidurnya
dan pada sore hari ketika suatu kelompok bergerak perlahan menuju dan memilih tempat
tidur. Pada siang hari, lutung budeng mencari makan ke arah yang lebih dalam, yaitu ke
arah utara memasuki kawasan hutan dataran rendah Leuweung Sancang atau tetap berada
di lingkungan vegetasi hutan pantai. Pada sore hari kelompok lutung budeng kembali ke
selatan di hutan pantai untuk memilih pohon tidur. Sering juga ditemukan kelompok lutung
budeng sepanjang hari hanya berada di kawasan hutan pantai karena hutan pantai cukup
luas di mana tersedia berbagai jenis tumbuhan pakan kesukaan lutung budeng.
56 56
EKOLOGI SPESIES
Struktur Umur
Napier dan Napier (1967) menyatakan bahwa kelas umur lutung budeng terdiri atas
anak (0–4 tahun), muda/remaja (4–8 tahun), dan dewasa (8–20 tahun). Struktur umur
lutung budeng di Cagar Alam Leuweung Sancang secara keseluruhan didominasi oleh
individu dewasa, yaitu sebanyak 97 ekor (43%), sedangkan remaja dan anak masing-masing
jumlahan 62 ekor (27%) dan 68 ekor (30%). Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan
kelas umur rata-rata tahunan dewasa : remaja : anak adalah 8,1 : 15,5 : 17.
57 57
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
(a) (b)
Gambar 35 Struktur umur lutung budeng di Cagar Alam Leuweung Sancang; (a) struktur
umur berdasarkan jumlah individu setiap kelas umur, (b) struktur umur rata-
rata tahunan, yaitu jumlah individu setiap kelas umur dibagi lebar selang umur
(Pasaribu 2019, Mustari dan Pasaribu 2019)
Jumlah individu kelas umur anak dan remaja lebih sedikit daripada jumlah individu
kelas umur dewasa sehingga memberi gambaran populasi yang menurun karena regenerasi
sedikit. Akan tetapi, berdasarkan piramida kelas umur rata-rata tahunan, terlihat bahwa
populasi lutung budeng di Cagar Alam Leuweung Sancang menunjukkan pola yang stabil
atau meningkat di mana jumlah individu rata-rata tahunan untuk kelas umur remaja dan
anak kebih besar daripada yang dewasa.
Tumbuhan Pakan
Sekitar 70% makanan lutung budeng adalah daun, pucuk, umbut berbagai jenis
tumbuhan, dan sekitar 30% makanannya adalah buah dan bunga. Jenis tumbuhan yang
menjadi makanan utama Lutung budeng di antaranya daun, pucuk dan buah serta bunga
ketapang (Terminalia catappa), kibangbara (Pongamia pinnata), lame laut (Alstonia
macrophylla), kondang (Ficus variegata), daun kihampelas (Ficus ampelas). Lutung
budeng juga dapat dijumpai mencari makan di hutan mangrove dan hutan dataran rendah
Leuweung Sancang. Salah satu jenis makanan kesukaan Lutung budeng di hutan mangrove
adalah daun, pucuk, buah, dan bunga pedada (Sonneratia spp.).
58 58
EKOLOGI SPESIES
Tabel 9 Jenis tumbuhan pakan lutung budeng di Cagar Alam Leuweung Sancang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Bagian yang Dimakan
1 Kibuah/rao Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae buah, bunga
2 Popohan Buchanania arborescens Anacardiaceae daun, pucuk, buah, bunga
3 Burahol Stelechocarpus burahol Annonaceae buah, bunga
4 Kenanga Canangium odoratum Annonaceae daun
5 Lame laut Alstonia macrophylla Apocinaceae daun, pucuk
6 Nyamplung Calophyllum inophyllum Calophyllaceae daun
7 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae daun, pucuk, buah, bunga
8 Simpur Dillenia excelsa Dilleniaceae buah, bunga
9 Huni,buni Antidesma bunius Euphorbiaceae buah, bunga
10 Ki pahang Pongamia pinnata Fabaceae daun, pucuk, buah
11 Putat Barringtonia acutangula Lecythidaceae daun
12 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae daun, buah, bunga
13 Waru laut Thespesia populnea Malvaceae daun, buah, bunga
14 Pisitan leuweung Lansium domesticum Meliaceae buah, bunga
15 Kiara Ficus altissima Moraceae daun, buah, bunga
16 Kondang Ficus variegata Moraceae daun, buah, bunga
17 Benda/teurep Artocarpus elastica Moraceae buah, bunga
18 Teureup Artocarpus elasticus Moraceae buah
19 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae daun, buah
20 Kopo Syzygium zippelianum Myrtaceae daun, buah, bunga
21 Calincing Averrhoa bilimbi Oxalidaceae daun, bunga
22 Kijingkang Rhizophora mucronata Rhizophoraceae buah
23 Leungsir/matoa Pometia pinnata Sapindaceae pucuk, buah, bunga
24 Keucip Pouteria duclitan Sapotaceae daun
24 Pedada Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae buah
26 Api api Avicennia marina Verbenaceae buah, bunga
Sumber : Pasaribu (2019), Mustari dan Pasaribu (2019)
Berdasarkan jenis tumbuhan pakan dan bagian tumbuhan yang dimakan, terlihat
bahwa jumlah dan variasi jenis tumbuhan pakan lutung budeng lebih banyak daripada owa
jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang. Selain itu, lutung budeng lebih banyak menghuni
hutan pantai serta perbatasan hutan pantai dan hutan dataran rendah. Demikian pula
penyebaran pohon tidur lutung budeng yang lebih banyak terdapat di sepanjang zona
vegetasi hutan pantai. Sementara itu, penyebaran kelompok owa jawa lebih banyak
terdapat di hutan dataran rendah, serta pada zona hutan dataran rendah dan hutan pantai.
Owa jawa memilih kawasan hutan yang agak jauh dari garis pantai, serta lebih sepi dari
gangguan manusia.
59 59
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Surili
Surili (Presbytis comata) termasuk salah satu jenis primata yang langka, dilindungi dan
endemik Jawa Barat dan Banten. Jenis ini masih dapat dijumpai di Leuweung Sancang.
Seperti halnya lutung budeng, surili hidup berkelompok berkisar 5–10 individu per kelompok.
Kelompok surili dipimpin oleh jantan dewasa, makanan utamanya adalah berbagai jenis
daun, pucuk, bunga, dan buah. Suara khas Surili dapat dikenali meskipun tidak melihatnya
secara langsung, terutama suara alarm yang dikeluarkan ketika mendeteksi kehadiran
manusia adalah ‘khiik-khiik-khiik-khiik” yang dilakukan secara berulang. Suara peringatan
atau alarm call paling sering dikeluarkan oleh jantan dewasa pemimpin kelompok. Habitat
surili di Leuweung Sancang adalah hutan pantai dan hutan dataran rendah. Kadang surili,
lutung budeng dan monyet ekor panjang dijumpai pada habitat yang sama, atau dijumpai
pada pohon yang sama atau berdekatan dengan pohon ditemukannya owa jawa. Hal ini
menandakan bahwa keempat jenis primata tersebut memiliki relung ekologi (niche) yang
berbeda.
Pada Juli 2018 Mustari (personal observation) menemukan 3 individu surili di sekitar
Sungai Cipalawah pada transisi hutan dataran rendah dan hutan pantai. Menggunakan
metode konsentrasi (concentration count) sensus, Puspita dan Mustari (2019) melaporkan
2 kelompok surili di Cagar Alam Leuweung Sancang. Kelompok tersebut terdapat di riparian
Sungai Cijeruk dan Sungai Cipangikis dan blok hutan Panglima dengan jumlah anggota
kelompok masing-masing 6 individu dan 5 individu. Struktur umur surili adalah 6 dewasa,
3 remaja dan 2 anak, dan sex-ratio individu dewasa adalah 1 : 2.
60 60
EKOLOGI SPESIES
61 61
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
62 62
EKOLOGI SPESIES
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar 37 Lima spesies primata yang terdapat di Cagar Alam Leuweung Sancang: (a) owa
jawa, (b) surili, (c) lutung budeng, (d) monyet ekor panjang, dan (e) kukang
jawa. Kelima spesies tersebut relung ekologi, niche yang berbeda (Foto Abdul
Haris Mustari)
63 63
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Kalong
Leuweung Sancang merupakan salah satu habitat penting koloni kalong (Pteropus
vampyrus). Koloninya terdapat di sekitar hutan pantai blok hutan Cipangikis dan
Cikabodasan. Koloni kalong di cagar alam ini hanya terdapat di blok hutan tersebut, tidak
jauh dari garis pantai. Apabila pada suatu musim terjadi hembusan angin kencang dan
ombak tinggi yang melanda Leuweung Sancang selama beberapa hari atau minggu, maka
koloni kalong memilih pohon bertengger (roosting trees) agak jauh sekitar 200–500 m
dari garis pantai. Akan tetapi apabila cuaca cukup tenang, pohon bertengger koloni kalong
hanya berjarak 100–200 m dari garis pantai. Kadang juga dijumpai pohon bertengger
kalong di blok hutan Cikalomberan dan Cipawalah, terutama pada puncak musim barat
bulan Januari dan Februari. Keberadaan koloni kalong di Cikalomberan dan Cipalawah yang
berada agak ketengah dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah upaya kalong
mencari pohon bertengger yang relatif terlindung dari tiupan angin kencang musim barat.
Annisa dan Mustari (2019) menyatakan bahawa pada Maret dan April 2019 koloni
kalong di Leuweung Sancang berada sekitar 300 meter di sebelah utara garis pantai. Titik-
titik di peta menunjukkan sebaran pohon bertengger kalong. Koloni pohon bertengger
yang utama terdapat di bagian barat Leuweung Sancang di blok hutan Cipangikis dan
Cikabodasan. Pohon bertengger kalong cenderung mengelompok, atau membentuk
klaster.
Koloni kalong di Leuweung Sancang memilih blok hutan Cipangikis dan Cikabodasan
kemungkinan disebabkan karena blok hutan tersebut lebih dekat ke sumber pakan berupa
kawasan pertanian serta perkebunan di bagian utara dan barat dari Leuweung Sancang yang
meliputi kecamatan Cisompet, Pamempeuk, dan Cibalong. Kalong tidak hanya mengonsumsi
buah yang ada di kawasan perkebunan tetapi juga buah berbagai jenis tumbuhan di hutan
perbukitan yang berada di sebelah utara dan barat Leuweung Sancang.
Pada beberapa kesempatan juga teramati kalong terbang ke wilayah Tasikmalaya yang
berada di sebelah timur Leuweung Sancang. Hal ini menandakan musim berbuah di wilayah
tersebut. Blok hutan Cipangikis dan Cikabodasan juga sangat strategis, cukup terlindung
dari hempasan langsung angin laut selatan yang sangat kencang karena posisinya berada
pada cekungan garis pantai.
64 64
EKOLOGI SPESIES
Gambar 38 Sebaran pohon bertengger kalong ‘roosting trees’ di blok hutan Cipangikis
dan Cikabodasan (Annisa dan Mustari 2019)
Populasi
Untuk menduga populasi kalong di Leuweung Sancang dilakukan inventarisasi
populasi meggunakan metode sensus, yaitu menghitung ukuran populasi (population size)
secara keseluruhan. Penghitungan dilakukan ketika kalong terbang meninggalkan pohon
bertengger atau pohon tidur (roosting trees) pada sore menjelang senja hari. Berdasarkan
pengamatan pendahuluan diketahui bahwa kalong mulai terbang meninggalkan pohon
bertengger sekitar pukul 17.45 atau 17.50. Pada pukul 18.15, semua kalong sudah
meninggalkan pohon bertengger. Waktu tersebut dapat bergeser maju atau mundur
dalam kisaran 5 menit, tergantung posisi matahari serta kondisi cuaca. Ketika cuaca cerah
pada senja hari, kalong terbang tepat waktu sekitar pukul 17.45 atau 17.50. Akan tetapi
ketika cuaca mendung atau hujan maka waktu terbang agak tertunda, sekitar pukul 17.55.
Namun yang pasti, semua kalong akan terbang dari pohon bertengger baik cuaca cerah
maaupun mendung atau hujan sekalipun karena kalong harus mencari makan selama
malam hari. Karena itu penghitungan populasi kalong sebaiknya dilakukan dalam periode
pukul 17.45–18.15.
65 65
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Pada metode sensus, beberapa pencatat ditempatkan pada lokasi yang sama, dengan
posisi berjajar melintang arah terbang kalong. Lokasi dipilih di mana semua kalong yang
terbang melintas terlihat jelas, yaitu di pinggir pantai di muara Sungai Cibaluk. Agar tidak
terjadi penghitungan ganda (double counting), maka horizon cakrawala tepat di atas
pencatat di mana kalong terbang melintas dibagi empat (quadran) sesuai jumlah kelompok
atau pencatat yang ada. Pada setiap kelompok pencatat terdapat satu orang yang khusus
mencatat jumlah kalong pada tally sheet yang telah disiapkan. Pada kolom waktu dibuat
interval waktu 5 menit, yaitu 17.45–17.50, 17.50–17.55, 17.55–18.00, 18.00–18.05.
18.05–18.10 dst. Pencatatan jumlah kalong yang terbang melintas dilakukan secara kontinu.
Interval waktu lima menit tersebut dibuat untuk mengetahui pada menit keberapa kalong
mulai terbang dan pada menit keberapa paling banyak jumlah kalong.
Gambar 39 Grafik waktu terbang kalong dalam periode 17.50–18.15 (Mustari 2018)
Pada awalnya hanya sedikit jumlah kalong yang terbang, tetapi kemudian terus
bertambah, dan mencapai puncaknya pada lima menit ketiga. Setelah itu jumlahnya mulai
berkurang dan akhirnya semua kalong meninggalkan pohon bertengger. Berdasarkan
pengamatan, lama waktu yang diperlukan mulai individu kalong yang terbang pertama kali
sampai individu terakhir meninggalkan pohon bertengger berkisar 20–30 menit. Beberapa
individu kalong terlihat mengambil inisiatif untuk terbang lebih awal, sebagai pembuka
dan menstimulasi individu kalong lainnya untuk segera terbang meninggalkan pohon
bertengger pada senja menjelang magrib sekitar pukul 17.45.
66 66
EKOLOGI SPESIES
Beberapa individu kalong yang terbang lebih awal daripada yang lainnya menunjukkan
arah terbang yang berbeda. Ada yang terbang ke arah barat-utara, arah utara, dan arah
utara agak ke timur. Hal ini diduga sebagai upaya koloni kalong untuk membagi wilayah
tempat mencari makan agar tidak terjadi penumpukan jumlah kalong pada suatu lokasi
pencarian makan berupa buah berbagai jenis tumbuhan.
Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa semua individu koloni kalong di Leuweung
Sancang terbang meninggalkan pohon bertengger pada senja hari. Hal ini terjadi karena
persediaan makanan berupa buah tidak cukup memadai bagi Pteropus vampyrus di hutan
Leuweung Sancang. Bagi spesies ini, Leuweung Sancang hanya menjadi tempat tinggal
koloninya, sedangkan untuk makanannya berada di luar kawasan, bahkan bisa mencapai
radius 10 km lebih dari Leuweung Sancang. Setelah mencari makan sepanjang malam,
pada subuh dinihari, populasi kalong yang jumlahnya mencapai ribuan individu itu kembali
ke koloni pohon bertenggernya di Leuweung Sancang sekitar pukul 5.00–5.30.
Selain dihitung pada senja hari ketika kalong terbang meninggalkan pohon bertengger
untuk mencari makan juga dilakukan penghitungan populasi secara langsung ketika
kalong berada pada pohon bertengger pada siang hari. Metode ini juga disebut metode
sensus, yaitu menghitung populasi secara keseluruhan. Berdasarkan survei sebaran pohon
bertengger diketahui bahwa koloni kalong di Leuweung Sancang menggunakan sebanyak
35 pohon bertengger. Pohon-pohon bertengger tersebut berada di blok hutan Cipangikis
dan Cikabodasan yang masih berdekatan satu dengan yang lain. Setiap pohon bertengger
dihitung jumlah kalongnya, di mana penghitungan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan,
dan yang dihitung adalah jumlah individu kalong terbanyak dari ketiga ulangan tersebut.
Dengan metode ini Annisa dan Mustari (2019) melaporkan sebanyak 4.133 individu
kalong.
67 67
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Selain dicatat jumlah kalong, juga dideskripsikan kondisi tajuk pohon bertengger.
Tajuk pohon dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu pohon mati pucuk, tajuk gundul, dan
tajuk yang masih utuh. Dari 35 pohon bertengger, sebanyak 20 pohon termasuk pohon
mati pucuk, 11 pohon tajuk gundul, dan hanya 4 pohon yang tajuknya masih utuh. Secara
keseluruhan, jumlah individu kalong pada pohon tajuk gundul dan pohon mati pucuk lebih
banyak daripada jumlah kalong pada pohon bertajuk lebat. Rerata jumlah kalong pada
pohon tajuk gundul adalah yang terbanyak yaitu 179 individu per pohon, diikuti pohon
mati pucuk 105 individu per pohon dan yang terendah adalah pohon yang tajuknya masih
utuh, hanya 18 individu per pohon (Annisa dan Mustari 2019).
68 68
EKOLOGI SPESIES
bertemu dengan pemburu kalong di dalam kawasan cagar alam ini. Penangkapan kalong
dengan menggunakan kail dilakukan secara perorangan. Akan tetapi, kadang juga dijumpai
2–3 orang menerbangkan layang-layang berkail secara bersamaan. Penangkapan kalong
biasanya dilakukan di blok hutan Cijeruk dan di muara Sungai Cibaluk. Pemburu kalong
memanfaatkan arah terbang kalong yang selalu melintasi kawasan ini, yaitu kalong yang
terbang ke arah utara untuk mencari makan. Blok hutan Cijeruk berada di sebelah barat dan
utara dari hutan pantai blok Cipangkis dan Cikabodasan tempat bertengger koloni kalong.
Setiap pemburu dapat menangkap 2–4 ekor kalong setiap hari. Kalong dijual dengan harga
sekitar Rp50 ribu per ekor. Informasi yang didapatkan bahwa kalong, terutama organ hati
dan jantung, dicari oleh segelintir orang untuk dikonsumsi yang menurut sugesti mereka,
organ tersebut berkhasiat dalam pengobatan penyakit tertentu, misalnya asma.
Gambar 40 Beurih (Sterculia campanulata), salah satu jenis pohon bertengger kalong di
Leuweung Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
69 69
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Gambar 41 Posisi kalong pada pohon bertengger (Foto Abdul Haris Mustari)
70 70
EKOLOGI SPESIES
Gambar 42 Kalong yang terluka dan jatuh ke lantai hutan menjadi mangsa predator, salah
satunya adalah biawak (Foto Abdul Haris Mustari)
71 71
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Annisa dan Mustari (2019) mencatat sebanyak 35 individu pohon bertengger kalong,
terdiri atas 14 spesies tumbuhan. Berdasarkan model arsitektur pohon, 14 spesies tumbuhan
tersebut dapat dikategorikan ke dalam delapan model, yaitu model Stone, Aubreville,
Koriba, Rauh, Troll, Massart, Roux, dan Scarrone. Spesies tumbuhan yang paling banyak
dipergunakan kalong sebagai pohon bertengger, yaitu beurih (Sterculia campanulata) dan
dahu (Dracontomelon dao) masing-masing 9 dan 6 pohon. Beurih memiliki model arsitektur
tajuk Stone dan dahu mengikuti model Aubreville.
Model arsitektur Stone memiliki ciri batang monopodial, yaitu batang tumbuh ke atas
dan merupakan batang utama. Pertumbuhan cabang bersifat poliaksial dan ortotropik.
Poliaksial artinya cabang tumbuh dengan aksis yang berbeda (berselang seling), dan
ortotropik artinya arah tumbuh cabang, daun serta bunga menuju ke atas (Halle et al.
1978). Contoh jenis yang termasuk dalam model Stone adalah dahu (Dracontomelon dao),
dawolong (Acalypha compacta), dan gintung (Bischofia javanica) (Annisa dan Mustari
2019).
72 72
EKOLOGI SPESIES
Gambar 44 Model arsitektur pohon bertengger kalong di Cagar Alam Leuweung Sancang
(Annisa dan Mustari 2019)
Model Aubreville memiliki ciri batang monopodial dengan pertumbuhan cabang
ritmik atau cabang tumbuh seirama. Arah pertumbuhan cabang, daun, dan bunga bersifat
plagiotropik yang artinya arah tumbuhnya ke samping atau ke bawah. Cabang yang tumbuh
seirama menjadikan pohon model ini memiliki struktur yang mirip seperti pagoda sehingga
sering disebut pertumbuhan cabang terminalia (Halle et al. 1978). Jenis yang memiliki
model arsitektur ini adalah beunying (Ficus fistulosa), beurih (Sterculia campanulata),
dan jaha (Terminalia bellirica). Kalong memilih pohon tinggi dan besar sebagai pohon
bertengger, memiliki tinggi di atas 23 meter dan tajuk lebar. Selain itu, kondisi di bawah
pohon bertengger memiliki tutupan lahan yang relatif terbuka atau tidak ada vegetasi lain
yang tumbuh di bawahnya (Annisa dan Mustari 2019).
73 73
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
(a) (b)
Gambar 45 Model arsitektur pohon Stone (kiri) dan Aubreville (kanan) (Halle et al. 1978)
yang banyak dipergunakan kalong sebagai pohon bertengger di Cagar Alam
Leuweung Sancang (Annisa dan Mustari 2019)
Gambar 46 Pohon bertengger kalong model Stone (kiri) dan model Aubreville (kanan)
(Foto Abdul Haris Mustari)
Pada awalnya semua tajuk pohon yang ditempati kalong kondisinya normal di mana
daun cukup lebat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan semakin seringnya suatu
pohon dipakai kalong sebagai tempat bertengger, tidur, dan istirahat pada siang hari,
lambat laun daun dan ranting mulai layu. Hal ini disebabkan oleh cabang dan ranting
dipakai oleh kalong bertengger dengan posisi menggelantung, kaki di atas, kepala
di bawah. Pada saat bertengger, jari kaki dan kuku mencengkram ranting, lama kelamaan
kulit ranting terkelupas atau tercakar. Akhirnya daun dan ranting layu, kering, dan mati.
74 74
EKOLOGI SPESIES
Selain itu, kalong termasuk mamalia, suhu tubuhnya relatif tetap (homoitherm). Hal ini
berpengaruh terhadap suhu mikro tajuk pohon yang cenderung lebih tinggi daripada tajuk
pohon yang tidak dihuni kalong. Tambahan lagi, urine dan feses yang dihasilkan cenderung
meningkatkan suhu mikro lingkungan tajuk. Apalagi satu pohon bertengger dihuni oleh
ratusan individu kalong sehingga lambat laun daun dan ranting pohon akan mati.
Matinya pohon tempat tidur kalong tidak selalu harus dipandang sebagai suatu hal
yang negatif. Pohon yang mati akan segera digantikan individu pohon baru melalui suksesi
alami. Dengan matinya pohon bertengger kalong yang umumnya adalah pohon yang
ukurannya relatif besar dan tinggi sehingga ketika mati atau meranggas dihuni kalong,
akan tercipta rimpang atau ruang (forest gaps). Terbentuknya rimpang akan mempercepat
suksesi vegetasi secara alami karena cahaya matahari dapat tembus masuk ke lantai hutan
yang pada gilirannya menstimulir perkecambahan benih beberapa jenis tumbuhan yang
akan berkembang menjadi individu pohon baru. Selain itu, feses dan urin kalong menjadi
pupuk alam bagi tumbuhan hutan. Feses kalong bercampur urin menjadi makanan berbagai
jenis serangga. Serangga secara ekologi berperan dalam menyuburkan tanah hutan serta
beberapa jenis membantu penyerbukan tumbuhan. Beberapa jenis tumbuhan hanya dapat
diserbuk oleh jenis serangga atau satwa tertentu. Jaring dan rantai makanan di dalam hutan
akan tetap terjaga, sehingga secara keseluruhan, peran dan fungsi ekologi di dalam hutan
akan tetap berjalan secara alami, dan salah satunya adalah karena peran kalong.
Apabila di suatu tapak pohon bertengger kalong mati atau rapuh, maka koloni kalong
akan pindah ke tapak yang lain namun masih berdekatan, memilih pohon bertengger yang
diinginkan. Suksesi vegetasi akan segera terjadi pada tapak yang ditinggalkan oleh koloni
kalong. Kalong akan pindah ke vegetasi yang berdekatan, sehingga koloni kalong masih
berada pada blok hutan yang relatif sama. Strategi kalong seperti ini adalah untuk menjaga
siklus rotasi penggunaan pohon bertengger, sehingga vegetasi mendapat kesempatan
melakukan suksesi dan regenerasi secara alami.
75 75
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Hasil inventarisasi populasi banteng di Leuweung Sancang pada tahun 1984 yang
dilakukan oleh petugas PHPA Sancang dalam Setiawati (1986) terdapat 116 ekor banteng.
Dari jumlah tersebut, populasi banteng terbanyak terdapat di padang penggembalaan
Cipalawah, yaitu 69 individu. Dua tahun kemudian, Setiawati (1986) melakukan studi di
padang penggembalaan yang sama dan mencatat hanya 27 ekor banteng. Pada tahun 1997,
informasi dari petugas lapangan bahwa hanya tersisa 14 ekor banteng di seluruh kawasan
cagar alam. Ketika penulis mengunjungi Leuweung Sancang pada Juli 1997 masih sempat
melihat langsung sekitar 5 ekor banteng di padang penggembalaan Cijeruk, sekitar 500
meter dari pinggir Sungai Cibaluk. Penulis menduga bahwa tahun 1997/1998 merupakan
tahun terakhir keberadaan banteng di Leuweung Sancang, karena setelah tahun itu terjadi
pergolakan politik yang berdampak pada pengelolaan kawasan konservasi.
Dalam periode 1998–2003, terjadi perambahan hutan dan penebangan liar secara
besar-besaran di Leuweung Sancang yang hampir menghabiskan seluruh kawasan hutan
primer dataran rendah Leuweung Sancang. Bahkan dalam periode tersebut sempat berdiri
pemukiman ilegal dari kelompok masyarakat yang berdiam di sebelah utara Leuweung
Sancang. Mereka mendirikan perkampungan baru dan mengolah lahan blok hutan Cijeruk.
Pemukim ilegal menanam berbagai komoditi pertanian dan perkebunan. Periode itu, secara
politik di Indonesia ditandai dikenal masa transisi pemerintahan dan awal era reformasi.
Euforia kegembiraan reformasi disalahgunakan oleh kelompok masyarakat tertentu,
mereka merambah hutan dan mendirikan pemukiman ilegal di kawasan yang seharusnya
dilindungi.
Perambahan secara besar-besaran serta illegal logging di Cagar Alam Leuweung
Sancang berdampak besar terhadap kelangsungan hidup satwaliar. Jenis satwa yang
paling terdampak salah satunya adalah banteng karena sebagai satwa mamalia terestrial
yang tubuhnya besar sulit mencari tempat berlindung, mudah ditemukan oleh pemburu,
apalagi satwa ini menyukai habitat terbuka. Akhirnya banteng mengalami kepunahan lokal
di kawasan yang dahulu dikenal sebagai salah satu habitat penting banteng di Pulau Jawa.
Sejak 2003, para petugas di Cagar Alam Leuweung Sancang tidak pernah lagi dijumpai.
Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mencari keberadaan sisa-sisa populasi banteng,
tapi tidak pernah berhasil, bahkan jejaknya pun tidak ditemukan baik jejak kaki maupun
fesesnya atau tanda lain keberadaan ungulata besar ini. Berdasarkan fakta-fakta tersebut
dapat disimpulkan bahwa populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang telah punah.
Banteng hanya tinggal cerita dan kenangan di Leuweung Sancang. Banteng, sekali punah
tidak akan tercipta kembali, pergi untuk selamanya.
76 76
EKOLOGI SPESIES
Elang Jawa
Elang jawa (Nizaetus bartelsi) termasuk burung endemik dan langka. Saat ini populasinya
terbatas pada hutan pegunungan, terutama di Jawa bagian barat. Keberadaan elang jawa
di Leuweung Sancang sangat menggembirakan karena di habitat hutan dataran rendah ini,
habitat yang pernah hampir rusak seluruhnya akibat perambahan, satwa yang dilindungi ini
masih dapat dijumpai meskipun sudah jarang sekali. Ekspedisi Himakova IPB 2017 berhasil
mendokumentasikan foto elang jawa, namun populasinya di Leuweung Sancang belum
diketahui. Sebagai salah satu predator puncak, populasinya tentu tidak banyak, apalagi
luas kawasan hutan Leuweung Sancang tergolong kecil untuk ukuran wilayah jelajah elang
jawa. Jenis elang umumnya membutuhkan hutan primer serta terdapatnya pohon-pohon
tinggi (emergent trees). Selain elang jawa, juga terdapat elang bido (Spilornis cheela) yang
lebih sering dijumpai di Leuweung Sancang.
Gambar 47 Elang jawa (Nizaetus bartelsi) (Foto Himakova-IPB) dan elang bido (Spilornis
cheela) (Foto Abdul Haris Mustari) di Leuweung Sancang
Biota Laut
Cagar Alam Laut Sancang memiliki potensi rumput laut yang tinggi seperti jenis agar-
agar (Gracilaria spp.), kades (Gelidium sp.), paris (Myriophylum brasiliense), rambu kasang
(Afluda mutica), julung julung, bulu kambing, bulu monyet, sarip, dan bembe. Jenis yang
bernilai ekonomi tinggi yaitu rumput laut merah dan rumput laut hijau karena digunakan
sebagai bahan baku pembuatan agar-agar dan untuk campuran dodol garut.
Lokasi pengambilan rumput laut di CA Laut Sancang terutama di pantai Cipunaga. Para
pengumpul rumputn laut umumnya berasal dari desa Sancang dengan jumlah seluruhnya
lebih 50 orang. Waktu pengambilan rumput laut terutama pada musim kemarau yang
berlangsung bulan Juli s/d Desember di mana puncaknya berlangsung dalam bulan Agustus
sampai September. Pengambilan rumput laut dilakukan oleh laki-laki dan kadang oleh
77 77
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
78 78
PERMASALAHAN
KONSERVASI
Perambahan Hutan
Perambahan hutan hutan secara besar besaran bahkan hampir menghabiskan seluruh
kawasan hutan CA Leuweung Sancang terjadi tahun 1998–2003 dengan total kerusakan
seluas 1.725,6 hektare atau sekitar 80% (Anonim 2000). Hal ini dipicu oleh krisis moneter
multidimensi serta euforia reformasi termasuk perambahan hutan oleh masyarakat sekitar
sancang yang dimotori oleh beberapa oknum dari LSM tertentu di Jawa Barat. Sebagian
besar kawasan di bagian barat dan timur Leuweung Sancang mengalami kerusakan
ekosistem yang sangat serius. Kerusakan paling parah terjadi di blok hutan Cijeruk di mana
sempat terdapat pemukiman pada tahun 1998 sampai tahun 2000an dengan jumlah 150
KK. Perambahan ini berhasil diatasi setelah dilakukan operasi gabungan Lodaya untuk
memberantas perambahan dan pemukiman ilegal di dalam kawasan.
Setelah perambahan dapat diatasi, pada tahun 2004 dilakukan rehabilitasi lahan
dengan menanam berbagai jenis tanaman di antaranya ketapang, salam, keben. Akan
tetapi hasil rehabilitasi lahan tidak dapat mengganti ekosistem yang telah terlanjur rusak.
Ekosistem alam tidak akan pernah tergantikan dengan cara apa pun. Saat ini ekosistem
Leuweung Sancang pada bagian yang pernah dirambah tersebut vegetasinya didominasi
semak belukar dan alang-alang. Pelajaran berharga yang dipetik adalah jangan pernah
membiarkan ekosistem alam dirusak karena sekali rusak tidak akan pernah tergantikan,
pergi untuk selamanya. Penulis masih sempat melihat kondisi hutan di blok Cijeruk ketika
belum dirambah. Pada waktu itu berbagai jenis tumbuhan dan satwa mudah dijumpai
seperti lutung budeng, rangkong, kangkareng, merak, ayam hutan, berang-berang dan
banteng terdapat di Cijeruk. Ketika itu vegetasi hutan pantai masih sangat bagus didominasi
pohon keben dan ketapang serta berbagai jenis beringin.
Permukiman Ilegal
Di sepanjang pantai selatan cagar alam ini pada tahun 1997 tercatat 80 pondok liar
nelayan yang tersebar di tujuh lokasi. Satu tahun kemudian, dimulai pada tahun 1998,
dalam era reformasi, pemukiman liar berlipat mencapai ratusan, namun berhasil ditekan
kembali setelah operasi Lodaya. Pada tahun 2006, jumlah pondok liar sebanyak 72 buah.
Namun sejak tahun 2009, terjadi peningkatan jumlah podok, yang saat ini (2018) jumlahnya
sekitar 121 pondok nelayan di sepanjang pantai selatan Leuweung Sancang.
Semua pemilik pondok memiliki rumah di desa atau di kampung yang berada di sebelah
utara Leuweung Sancang, seperti di Kecamatan Cibalong dan Kecamatan Pamempeuk.
Pondok tersebut ditempati ketika musim menangkap ikan. Akan tetapi, beberapa keluarga
nelayan berada di pondok hampir setiap hari bahkan ada satu dua keluarga yang sudah
menetap di pondok tersebut seperti yang terdapat di blok hutan Cibako.
Apabila setiap pondok dihuni 2–4 orang, biasanya satu keluarga terdiri dari suami, istri
dan anak. Dari angka ini dapat diketahui banyaknya individu yang menggantungkan hidupnya
dari hasil laut berkisar 160–320 orang. Apabila pondok liar tidak segera ditertibkan maka
akan menjadi masalah di kemudian hari, terlebih apabila para penghuninya sudah merasa
bahwa mata pencahariannya sebagai nelayan dan pengumpul rumput laut serta hasil
laut lainnya semakin tidak dapat digantikan dengan jenis mata pencaharian lain, mereka
akan berusaha menetap di sepanjang pantai cagar alam itu dan bukan tidak mungkin
melakukan klaim sebagai tanah milik. Masalah lain yang muncul dengan adanya pemukim
ilegal adalah perburuan dan penebangan liar karena jumlah mereka semakin bertambah
dan sering masuk hutan. Para ‘penghuni ilegal’ itu telah membentuk komunitas mandiri
dengan adanya berbagai profesi yaitu pencari ikan, pengumpul rumput laut, bandar yang
membeli tangkapan nelayan dan pemilik warung yang menyediakan barang kebutuhan
pokok sehari-hari. Di ujung barat Leuweung Sancang di blok Cimerak sebanyak 304 KK telah
menduduki kawasan secara ilegal. Di Cibaluk, di sekitar Tempat Pelelangan Ikan terdapat
14 KK menduduki kawasan dengan membuat kios atau warung sekaligus sebagai tempat
tinggal sehari-hari.
82 82
PERMASALAHAN KONSERVASI
Gambar 49 Pondok dan aktivitas nelayan di sepanjang pantai selatan Cagar Alam Leuweung
Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
Tabel 14 Sebaran dan jumlah pondok liar di pantai selatan Cagar Alam Leuweung
Sancang
Jumlah dan sebaran pondok ilegal nelayan pada tahun:
Lokasi
1997
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Cipangikis 10 6 6 7 9 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Cikabodasan 10 7 7 7 14 15 15 15 15 15 15 15 15 15
Cetut - - - - 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4
Cikalongberan 30 29 33 35 35 35 35 35 35 35 35 35 36 36
Cipunaga 9 9 13 13 15 15 15 15 11 11 11 11 11 11
Cibako 6 6 6 6 10 12 12 12 12 12 12 12 12 12
83 83
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Tabel 14 Sebaran dan jumlah pondok liar di pantai selatan Cagar Alam Leuweung Sancang
(lanjutan)
Jumlah dan sebaran pondok ilegal nelayan pada tahun:
Lokasi
1997
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Ciporeang 12 12 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Cipangisikan - - 1 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Cicukangjambe 3 5 5 3 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Jumlah 80 72 85 95 116 120 120 120 120 120 120 120 121 121
Aktivitas Peziarah
Leuweung Sancang berstatus cagar alam, bukan kawasan wisata. Namun demikian
Leuweung Sancang sering didatangi banyak pihak dengan berbagai tujuan seperti nelayan,
berwisata, rekreasi dan memancing dan juga karena alasan spiritual yaitu berziarah
ke beberapa situs atau tapak yang berada di Leuweung Sancang. Umumnya pengunjung
tidak memiliki Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Banyak di antara
pengunjung yang membuang sampah berupa plastik, botol, dan kaleng di sembarang
tempat. Beberapa pengunjung juga ada yang menebang dan mengambil pohon kaboa
untuk tujuan tertentu.
84 84
PERMASALAHAN KONSERVASI
Penggembalaan Ternak
Pada bulan September 2006, blok hutan Cijeruk terbakar, menghabiskan areal
hutan seluas 68 ha bekas proyek GNRHL. Setelah kebakaran ekosistem berubah menjadi
padang rumput, alang-alang dan semak belukar sehinga menarik para pemilik sapi untuk
menggembalakan ternaknya di area ini, terutama sapi dan kerbau. Pada tahun 2007,
tercatat 247 ekor sapi yang digembalakan di blok hutan ini. Pada tahun 2008 sebanyak
25 ekor sapi dilepaskan oleh pemiliknya di blok Cijeruk. Pada tahun 2012, terdapat 74 ekor
kerbau rawa yang digembalakan bahkan dikandangkan di Cijeruk (52 dewasa, 14 muda,
dan 8 anak kerbau). Tahun 2018 dan 2019, jumlah sapi yang digembalakan di Cijeruk dan
sekitarnya semakin banyak. Hal ini mengganggu ekosistem Cagar Alam Leuweung Sancang,
karena vegetasi berubah, serta ada kemungkinan berjangkit epizootica, yaitu penyakit
yang tertular kepada populasi satwa asli yang disebarkan oleh satwa ternak karena adanya
kontak secara langsung atau tidak langsung.
Gambar 50 Ternak sapi dan kerbau air digembalakan di sekitar di pantai dan padang
rumput di blok hutan Cijeruk dan muara Sungai Cibaluk yang berada di dalam
kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang (Foto Abdul Haris Mustari)
85 85
DAFTAR PUSTAKA
Annisa PC dan Mustari AH. 2019. In press. Populasi dan karakteristik pohon tidur kalong
(Pteropus vampyrus Linnaeus 1758) di Cagar Alam Leuweung Sancang.
Anonim. 2000. Laporan investigasi kerusakan Cagar Alam Leuweung Sancang Kecamatan
Cibalong Kabupaten Garut Jawa Barat. Komunitas Peduli Lingkungan Hidup, Bela
Alam Nusantara, KPLH Belantara. Unpublished Report.
Hagang S dan Mustari AH. 2019. In press. Populasi, sebaran dan jenis pakan owa jawa
(Hylobates moloch Audebert 1797) di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa
Barat.
Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and Forest, An Architectural
Analysis. New York (US): Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Himakova (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya dan Ekowisata IPB). 2017.
Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia Cagar Alam Leuweung Sancang.
Unpublished Report.
Istomo, Hilwan I, Kusmana C. 2017. Tumbuhan alami di Jawa Bagian Barat: Mangrove,
Pantai, Dataran Rendah dan Pegunungan. Bogor (ID): IPB Press.
MacKinnon J. 1990. Field Guide to the Birds of Java and Bali. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
University Press.
Mustari AH dan Pasaribu AF. 2019. In press. Habitat dan populasi lutung budeng
(Trachypithecus auratus) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa
Barat. Jurnal Wasian.
Mustari AH. 2009. Keanekaragaman jenis tumbuhan dan potensi ekowisata Cagar Alam
Leuweung Sancang, Jawa Barat. Media Konservasi 14(3): 114–121.
Mustari AH. 2018. Potensi Flora dan Fauna Cagar Alam Leuweung Sancang. Unpublished
Report.
Napier JR, dan Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates: Morphology, Ecology and
Behaviour of Non Human Primates. New York (US): Academic Press.
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Pasaribu AF. 2019. Habitat dan populasi lutung budeng (Trachypithecus Auratus E. Geoffroy)
di Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan,
IPB.
Priatna DR. 1989. Kajian habitat Rafflesia patma Blume dan aspek pengelolaan kawasan
di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Puspita D dan Mustari AH. 2019. In press. Karakteristik habitat, populasi, dan penyebaran
surili (Presbytis comata Desmarest 1822) di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut
Jawa Barat.
88 88
INDEKS
B L
Brogondolo 26, 27 Lutung budeng 2, 24, 28, 44, 47, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 81
C
M
Cibako 5, 11, 19, 20, 25, 39, 46, 48, 82, 83
Cijeruk 5, 11, 35, 46, 47, 48, 52, 60, 61, 62, Macan tutul 2, 35, 43, 44, 45, 84
69, 76, 81, 85 Meranti merah 2, 31, 32
Cikabodasan 5, 25, 39, 44, 46, 47, 64, 65, Muntiacus muntjak 34, 35, 44, 75
67, 69, 83 O
Cikalongberan 5, 13, 19, 20, 25, 39, 44, 46,
Owa jawa 2, 34, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 59,
83
60, 61, 62, 63, 84
Cipalawah 5, 8, 19, 20, 21, 25, 32, 35, 39,
P
40, 44, 45, 46, 47, 49, 60, 61, 64, 76
Cipangisikan 5, 7, 8, 15, 27, 35, 39, 44, 46, Palahlar 34, 72
47, 49, 52, 61, 84 Panthera pardus 2, 35, 43
Cipangkis 44, 69 Pedada 20, 21, 28, 58
Ciporeang 5, 11, 15, 25, 39, 48, 84 Presbytis comata 2, 34, 44, 60
H R
Hylobates moloch 2, 34, 46 Rafflesia patma 2, 37, 39, 40, 41, 42
J Ranca Kalong 13, 14, 32, 46, 47, 49
Kalong 13, 14, 32, 46, 47, 49, 64, 67, 68, 69, T
70, 71, 72, 73, 75 Tancang 20
Karang Gajah 5, 7, 11, 15, 16, 25, 39, 52 Trachypithecus auratus 2, 24, 28, 34, 44,
Kibalera 39, 40, 41, 42, 43 52
LAMPIRAN
92 92
LAMPIRAN
93 93
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
94 94
LAMPIRAN
95 95
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lampiran 2 Jenis epifit, tumbuhan bawah dan rumput di Cagar Alam Leuweung Sancang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
1 Alang alang Imperata cylindrica Poaceae
2 Bakung Crinum asiaticum Amaryllidaceae
3 Bambangan Donax cunnaeformis Maranthaceae
4 Bambu kecil Bambusa pringgodani Poaceae
5 Bulu mata kerbau Fimbristylis acuminata Poaceae
6 Dodombaan/Babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae
7 Dondoman Chrysopogon aciculatus Poaceae
8 Gadog/Gadung Dioscorea hispida Dioscoreaceae
9 Gongseng Curcuma purpurascens Zingiberaceae
10 Harendong Melastoma malabathricum Melastomaceae
11 Honeng,kuning Curcuma sp. Zingiberaceae
12 Honje Etlingera elatior Zingiberaceae
13 Jampang pait Axonopus compressus Poaceae
14 Jeruju Acanthus ilicifolius Acanthaceae
15 Kadaka Asplenium nidus Polypodiaceae
16 Katang katang Ipomoea pescapre Convolvulaceae
17 Ki Asahan Tetracera scandens Dilleniaceae
18 Kipare Breynia racemosa Euphorbiaceae
19 Kirinyuh Euphatorium pallescens Compositae
20 Lamiding/Warakas Acrosticum aureum Polypodiaceae
21 Memeniran Phyllanthus urinaria Euphorbiaceae
22 Owar Flagellaria indica Flagellariaceae
23 Pacing Costus speciosus Costaceae
24 Pakis Cycas rumphii Cycadaceae
25 Pandan laut Pandanus tectorius Pandanaceae
26 Pleomele Dracaena reflexa Asparagaceae
27 Pulus Laportea stimulans Urticaceae
28 Raflesia Rafflesia patma Rafflesiaceae
29 Rumput benggala Panicum maximum Poaceae
30 Sadagori Sida acuta Malvaceae
31 Sariawan pijit Ischaemum muticum Poaceae
32 Sayar Caryota mitis Arecaceae
96 96
LAMPIRAN
Lampiran 2 Jenis epifit, tumbuhan bawah dan rumput di Cagar Alam Leuweung Sancang
(lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
33 Sulangkar Leea sambucina Leaceae
34 Sulangkar Leea indica Leaceae
35 Teh tehan Acalypha sp. Euphorbiaceae
36 Teki Cyperus brevifolia Cyperaceae
37 Tepus Amomum coccinium Zingiberaceae
Lampiran 3 Jenis liana (areue/tali) dan rotan di Cagar Alam Leuweung Sancang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
1 Areue asahan Tetracera scandens Dilleniaceae
2 Areue hata Lygodium circinatum Schizaceae
3 Areue kawao Milletia seriacea Papilionaceae
4 Areue kikupu Bauhinia aureifolia Fabaceae
5 Areue kuderang Maclura cochinchinensis Moraceae
6 Canar Smilax zeylanica Smilaceae
7 Ki Balera Tetrastigma lanceolarium Vitaceae
8 Ki Balera Tetrastigma cylindrica Vitaceae
9 Ki Jalu Phyllanthus sp. Phyllanthaceae
10 Kondang Ficus variegata Moraceae
11 Ki Hoe Calamus sp. Arecaceae
12 Rotan batang Calamus zollingeri Palmae
13 Rotan cacing Calamus sp. Palmae
97 97
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
98 98
LAMPIRAN
Lampiran 4 Jenis tumbuhan berhabitus pohon di Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
30 Ki Segel Dillenia indica Dilleniaceae
31 Sempur Dillenia aurea Dilleniaceae
32 Ki Maung Shorea sp. Dipterocarpaceae
33 Meranti merah Shorea javanica Dipterocarpaceae
34 Palahlar Dipterocarpus hasseltii Dipterocarpaceae
35 Palahlar beurit Dipterocarpus gracilis Dipterocarpaceae
36 Ki Calung Diospyros macrophylla Ebenaceae
37 Ki Buaya Leea angulata Elaeocarpaceae
38 Gintung/Gadog Bischofia javanica Euphorbiaceae
39 Huni Antidesma sp. Euphorbiaceae
40 Kanyere Bridelia monoica Euphorbiaceae
41 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae
42 Ki Endok Drypetes longifolia Euphorbiaceae
43 Ki Hoe Bridelia glauca Euphorbiaceae
44 Ki Kadu Cleistanthus myrianthus Euphorbiaceae
45 Ki Muncang Aleurites moluccana Euphorbiaceae
46 Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae
47 Parengpeng Mallotus philippinensis Euphorbiaceae
48 Werejit Exoecaria agallocha Euphorbiaceae
49 Ki Balanak Desmodium umbellatum Fabaceae
50 Ki Hiang Albizia procera Fabaceae
51 Taloe Cynometra ramiflora Fabaceae
52 Ruing anak Castanopsis acuminatissima Fagaceae
53 Ki Ruhah Hynocarpus heterophyllus Flacourtiaceae
54 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
55 Ki Ceri Garcinia dioica Guttiferae
56 Mangga Leuweung Garcinia lateriflora Guttiferae
57 Brogondolo Hernandia peltata Hernandiaceae
58 Cerem Engelhardia spicata Juglandaceae
59 Huru Actinodaphne sphaeocarpa Lauraceae
60 Huru Cinnamomum parthenoxylon Lauraceae
61 Huru batu Litsea cassiaefolia Lauraceae
62 Ki Tales Natahaebe sphatulata Lauraceae
63 Ki Teja Cinnamomum iners Lauraceae
99 99
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lampiran 4 Jenis tumbuhan berhabitus pohon di Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
64 Ki Teja Cinnamomum culilawan Lauraceae
65 Borosole Barringtonia excelsa Lecytidaceae
66 Butun Barringtonia asiatica Lecytidaceae
67 Penggung Barringtonia racemosa Lecytidaceae
68 Putat Barringtonia acutangula Lecytidaceae
69 Bungur Lagestroemia speciosa Lythraceae
70 Baros Magnolia sp. Magnoliaceae
71 Tisuk Hibiscus macrophyllus Malvaceae
72 Tongtolok Pterocymbium tinctorium Malvaceae
73 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae
74 Waru laut Homalanthus populnea Malvaceae
75 Siri-siri Kibessia azurea Melastomaceae
76 Granat Xylocarpus granatum Meliaceae
77 Kedoya Dysoxylum amooroides Meliaceae
78 Ki Bawang Dysoxylum alliaceum Meliaceae
79 Ki Langgir Dysoxylum sp. Meliaceae
80 Marang inan Dysoxylum densiflorum Meliaceae
81 Nyirih Xylocarpus sp. Meliaceae
82 Pisitan leuweung Lansium domesticum Meliaceae
83 Pisitan monyet Dysoxylum caulostachyum Meliaceae
84 Ki Minyak Stephania capitata Menispermaceae
85 Ki Hiang Albizia procera Mimosaceae
86 Ki Toke Albizia lebbeck Mimosaceae
87 Benda/Teureup Artocarpus elasticus Moraceae
88 Bisoro Ficus hispida Moraceae
89 Cangcara Castilloa elastica Moraceae
90 Hamerang Ficus alba Moraceae
91 Hampelas Ficus ampelas Moraceae
92 Haringhin Ficus benjamina Moraceae
93 Karet munding Ficus elastica Moraceae
94 Ki Ara Ficus retusa Moraceae
95 Ki Ara Ficus altissima Moraceae
96 Ki Ciat Ficus septica Moraceae
97 Kondang Ficus variegata Moraceae
100100
LAMPIRAN
Lampiran 4 Jenis tumbuhan berhabitus pohon di Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
98 Kopeng Ficus rives Moraceae
99 Pangsor Ficus callosa Moraceae
100 Peer/Pereng Ficus sp. Moraceae
101 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae
102 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae
103 Jambu dipa Syzygium malaccense Myrtaceae
104 Jambu kopo Eugenia subglauca Myrtaceae
105 Ki Salam Eugenia polyanthum Myrtaceae
106 Ki Sireum Eugenia clavimyrtus Myrtaceae
107 Ki Tembaga Eugenia antisepticum Myrtaceae
108 Kopo Eugenia cymosa Myrtaceae
109 Kopo Syzygium zippelianum Myrtaceae
110 Kulit ipis/Ipis kulit Decaspermum fruticosum Myrtaceae
111 Calincing Averhoa bilimbi Oxalidaceae
112 Gebang Corypha utan Palmae
113 Nipa Nypa fruticans Palmae
114 Borosole Brassica oleracea Papaveraceae
115 Dadap Erythrina variegata Papilionaceae
116 Ki Endog Allophyllus cobbe Papilionaceae
117 Ki Pahang Pongamia pinnata Papilionaceae
118 Ki Seureuh Piper adunctum Piperaceae
119 Ki Jingkang Rhizophora mucronata Rhizophoraceae
120 Ki Jingkang Rhizophora apiculata Rhizophoraceae
121 Tancang Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae
122 Tancang B.cylindrica Rhizophoraceae
123 Cangcaratan Nauclea purpurascens Rubiaceae
124 Gempol Nauclea orientalis Rubiaceae
125 Kelepu Anthocephalus chinensis Rubiaceae
126 Ki Bangbara Guettarda speciosa Rubiaceae
127 Ki Kopi Hypobathrum frutescens Rubiaceae
128 Kokopian Plectronia glabra Rubiaceae
129 Pace Morinda citrifolia Rubiaceae
130 Tengek caah Nauclea pallida Rubiaceae
131 Leungsir Pometia pinnata Sapindaceae
101 101
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lampiran 4 Jenis tumbuhan berhabitus pohon di Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
132 Rambutan leuweung Nepheluim sp. Sapindaceae
133 Keucip Pouteria duclitan Sapotaceae
134 Ki Bangkong Palaquium rostratum Sapotaceae
135 Pedada Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae
136 Pedada, prepat Sonneratia alba Sonneratiaceae
137 Beurih Sterculia campanulata Sterculiaceae
138 Cayur/Bayur Pterospermum javanicum Sterculiaceae
139 Cerlang Pterospermum diversifolium Sterculiaceae
140 Dungun Heritiera littoralis Sterculiaceae
141 Hantap Sterculia oblongata Sterculiaceae
142 Hantap heulang Sterculia macrophylla Sterculiaceae
143 Kepuh Sterculia foetida Sterculiaceae
144 Tangkolo Kleinhovia hospita Sterculiaceae
145 Darewah Grewia paniculata Tiliaceae
146 Ki Huut Celtis wigtii Ulmaceae
147 Babakoan Tounefortia argentea Verbenaceae
148 Heras Vitex pubescens Verbenaceae
149 Singkil Premna integrifolia Verbenaceae
Lampiran 5 Epifit, tumbuhan bawah dan rumput di Cagar Alam Leuweung Sancang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
1 Jeruju Acanthus ilicifolius Acanthaceae
2 Bakung Crinum asiaticum Amaryllidaceae
3 Sayar Caryota mitis Arecaceae
4 Pleomele Dracaena reflexa Asparagaceae
5 Dodombaan/Babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae
6 Kirinyuh Euphatorium pallescens Compositae
7 Katang katang Ipomoea pescapre Convolvulaceae
8 Pacing Costus speciosus Costaceae
9 Pakis Cycas rumphii Cycadaceae
10 Teki Cyperus brevifolia Cyperaceae
11 Ki Asahan Tetracera scandens Dilleniaceae
12 Gadung/Gadog Dioscorea hispida Dioscoreaceae
13 Kipare Breynia racemosa Euphorbiaceae
102102
LAMPIRAN
Lampiran 5 Epifit, tumbuhan bawah dan rumput di Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
14 Memeniran Phyllanthus urinaria Euphorbiaceae
15 Teh tehan Acalypha sp. Euphorbiaceae
16 Owar Flagellaria indica Flagellariaceae
17 Sulangkar Leea sambucina Leaceae
18 Sulangkar Leea indica Leaceae
19 Sadagori Sida acuta Malvaceae
20 Bambangan Donax cunnaeformis Maranthaceae
21 Harendong Melastoma malabathricum Melastomaceae
22 Pandan laut Pandanus tectorius Pandanaceae
23 Alang alang Imperata cylindrica Poaceae
24 Bambu kecil Bambusa pringgodani Poaceae
25 Bulu mata kerbau Fimbristylis acuminata Poaceae
26 Dondoman Chrysopogon aciculatus Poaceae
27 Jampang pait Axonopus compressus Poaceae
28 Rumput benggala Panicum maximum Poaceae
29 Sariawan pijit Ischaemum muticum Poaceae
30 Kadaka Asplenium nidus Polypodiaceae
31 Lamiding/Warakas Acrosticum aureum Polypodiaceae
32 Raflesia/patmo sari Rafflesia patma Rafflesiaceae
33 Pulus Laportea stimulans Urticaceae
34 Gongseng Curcuma purpurascens Zingiberaceae
35 Honeng/kuning Curcuma sp. Zingiberaceae
36 Honje Etlingera elatior Zingiberaceae
37 Tepus Amomum coccinium Zingiberaceae
103 103
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lampiran 6 Jenis liana dan rotan di Cagar Alam Leuweung Sancang (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
8 Areue kawao Milletia seriacea Papilionaceae
9 Ki Jalu Phyllanthus sp. Phyllanthaceae
10 Areue hata Lygodium circinatum Schizaceae
11 Canar Smilax zeylanica Smilaceae
12 Ki Balera Tetrastigma lanceolarium Vitaceae
13 Ki Balera Tetrastigma cylindrica Vitaceae
104104
LAMPIRAN
Pulau Mangrove
Pulau Mangrove terletak sekitar 40 m di sebelah selatan muara Sungai Cipalawah.
Vegetasi yang terdapat di Pulau Mangrove merupakan vegetasi yang relatif baru di mana
kolonisasinya dimulai sekitar tahun 1989 an. Pada awalnya bibit mangrove yang menjadi
cikal bakal vegetasi mangrove di pulau ini berasal dari tegakan mangrove yang telah lebih
dahulu ada yang terdapat di muara Sungai Cipalawah. Namun saat ini vegetasi mangrove
yang ada di pulau mangrove tersebut sudah mampu menghasilkan buah sendiri yang
cukup untuk berlangsungnya regenerasi mangrove secara alami, terutama jenis Sonneratia
caseolaris, Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.
Hutan Pantai
Lampiran 12 INP tingkat semai di hutan pantai
No Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)
1 Dungun Heritiera littoralis 7,74
2 Ki Pahang Pongamia pinnata 6,26
3 Huru Actinodaphne spaeocarpa 68,87
4 Ki Balanak Desmodium umbellatum 16,7
5 Areue Kawao Milletia seriacea 9,24
6 Areue (Tali) Asahan Tetracera scandens 21,74
7 Ki Buah Dracontomelon mangiferum 9,24
8 Huru Minyak Litsea tomentosa 9,24
9 Hantap Sterculia oblongata 35,47
10 Calincing Averhoa billimbi 7,74
11 Ki Minyak Stephania capitata 7,74
Total 199,98
105 105
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
106106
LAMPIRAN
107 107
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Lampiran 19 INP tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan dataran rendah
No Nama Lokal Nama Ilmiah KR(%) FR(%) INP(%)
1 Balung injuk Polyalthia lateriflora 5,02 5,19 10,21
2 Bangban Donax cannaeformis 2,70 3,90 6,60
3 Beurih Sterculia campanulata 0,39 1,30 1,68
4 Bingbin Pinanga conorata 3,09 1,30 4,39
5 Bintaro Cerbera manghas 0,39 1,30 1,68
6 Borosole Barringtonia excelsa 1,93 5,19 7,13
7 Cerlang Pterospermum javanicum 1,16 1,30 2,46
8 Dodombaan Ageratum conyzoides 0,77 1,30 2,07
9 Hantap Sterculia oblongata 1,93 1,30 3,23
10 Hanyere Bridelia monoica 0,77 1,30 2,07
11 Hata Lygodium scandens 0,77 2,60 3,37
12 Huru Actinodaphne sphaeocarpa 3,09 3,90 6,98
13 Ipis Kulit Syzygium lineatum 0,39 1,30 1,68
14 Jampang pait Axonopus compressus 2,32 1,30 3,62
15 Jarong Achyranthes aspera 1,16 1,30 2,46
16 Ki banen Crypteronia paniculata 6,95 2,60 9,55
17 Ki Buah Dracontomelon mangiferum 1,93 1,30 3,23
18 Ki Ciat Ficus septica 3,47 2,60 6,07
19 Ki Endog Allophyllus cobbe 5,02 5,19 10,21
20 Ki Hoe Bridelia glauca 1,16 1,30 2,46
21 Ki Kikupu Bauhinia aureifolia 3,09 2,60 5,69
22 Ki Kopi Hypobathrum frutescens 0,77 2,60 3,37
23 Ki maung Shorea sp. 5,41 6,49 10,32
24 Ki minyak Stephania capitata 0,39 1,30 1,68
25 Ki pahang Pongamia pinnata 0,39 1,30 1,68
26 Ki ruhak Hynocarpus heterophyllus 1,93 3,90 5,83
27 Ki Segel Dillenia indica 0,39 1,30 1,68
28 Ki Taleus Natahaebe sphatulata 2,70 3,90 6,60
29 Pacing Costus speciosus 0,39 1,30 1,68
30 Pakis Cycas rumphii 0,77 1,30 2,07
108108
LAMPIRAN
Lampiran 19 INP tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan dataran rendah (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah KR(%) FR(%) INP(%)
31 Paliat Piper ornatum 1,93 1,30 3,23
32 Pandan Pandanus utilis 0,39 1,30 1,68
33 Pereng Mallotus philippinensis 0,39 1,30 1,68
34 Rane Selaginella willdenowii 4,63 2,60 7,23
35 Rotan Calamus zollingeri 8,11 6,49 14,60
36 Salak hutan Eleiodoxa conferta 0,39 1,30 1,68
37 Sayar Leea sambucina 1,54 1,30 2,84
38 Suji Leuweung Dracaena elliptica 1,16 1,30 2,46
39 Sulangkar Leea indica 3,47 2,60 6,07
40 Tatamagan Pennisetum purpureum 8,49 2,60 11,09
41 Teureup Artocarpus elasticus 0,39 1,30 1,68
42 Tongtolok Pterocymbium tinctorium 0,77 1,30 2,07
109 109
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
110110
LAMPIRAN
111 111
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
Satwaliar
Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki keanekaragaman jenis satwaliar yang tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh tercatat sebanyak 22 jenis mamalia, 124 jenis burung,
11 jenis amfibi, 19 jenis reptil, dan 87 jenis kupu-kupu di kawasan hutan ini.
112112
LAMPIRAN
113 113
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
114114
LAMPIRAN
115 115
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
116116
LAMPIRAN
117 117
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
118118
LAMPIRAN
119 119
FLORA DAN FAUNA
Cagar Alam Leuweung Sancang
120120
TENTANG PENULIS