Anda di halaman 1dari 316

Ekologi,

Perilaku, dan Konservasi

ANOA
Ekologi,
Perilaku, dan Konservasi

ANOA
Penulis:
Abdul Haris Mustari

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana, No. 3
Kota Bogor - Indonesia

C.01/05.2020
Judul Buku:
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi Anoa
Penulis:
Abdul Haris Mustari
Penyunting Bahasa:
Aditya Dwi Gumelar
Desain Sampul & Penata Isi:
Alfyandi
Foto Cover:
Anoa dataran rendah (hitam pekat) dan anoa gunung (hitam kecokelatan)
(Foto Abdul Haris Mustari)
Korektor:
Dwi M. Nastiti
Jumlah Halaman:
288 + 24 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, Mei 2020

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com

ISBN: 978-602-440-808-4

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2020, HAK CIPTA PADA PENULIS DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari penerbit
PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas selesainya penulisan buku ini. Penulis
menyadari bahwa kajian dan risalah ekologi, perilaku, dan konservasi suatu spesies tidak akan
pernah mencapai akhir atau selesai dan menjadi karya yang sempurna karena kehidupan suatu
spesies tidak akan pernah selesai diteliti dan ditulis. Seseorang yang memulai penelitian dengan
tujuan ingin menjawab suatu pertanyaan mengenai kehidupan suatu spesies, setelah bertahun-
tahun bahkan mungkin puluhan tahun dihabiskannya melakukan penelitian mengenai spesies
tersebut pada akhirnya akan muncul beberapa pertanyaan yang mungkin belum bisa dijawab.
Demikianlah sifat dari suatu penelitian, semakin banyak diteliti semakin banyak hal baru yang
perlu diketahui. Oleh karena itu, penelitian tidak akan pernah berakhir. Namun seorang peneliti
yang memiliki minat dan kengintahuan yang besar akan kehidupan suatu spesies terlebih spesies
yang tergolong langka dan endemik akan konsisten melakukan penelitian dalam kondisi apa pun
serta penuh tantangan meneliti di hutan-hutan tropis dari dataran rendah sampai pegunungan
yang memiliki medan yang sulit. Penelitian akan dilakukan dalam kondisi apa pun.
Buku ini menyajikan beberapa aspek ekologi, perilaku, dan konservasi anoa di habitat
aslinya (in-situ) di Sulawesi. Beberapa aspek perilaku anoa baik yang ada di alam maupun
yang ada di kandang atau di taman margasatwa (ex-situ) juga disajikan dalam buku ini sebagai
pelengkap informasi mengenai perilaku dan kehidupan anoa yang menarik untuk diketahui.
Hasil kajian mengenai kehidupan anoa dapat menjadi rujukan dan bahan pertimbangan
dalam melakukan upaya konservasi populasi dan habitat satwa ini di Sulawesi. Beberapa aspek
mengenai ekologi, perilaku, dan konservasi anoa yang disajikan dalam buku ini mencakup:
1. Pendahuluan, anoa sebagai komponen penting dalam ekosistem hutan di Sulawesi.
2. Sejarah evolusi dan palaeo-ecology terkait anoa.
3. Taksonomi dan morfologi anoa serta posisi anoa di antara beberapa jenis kerbau dunia
serta beberapa nama lokal anoa dari berbagai suku di Sulawesi.
4. Populasi dan penyebaran anoa di habitat aslinya di Sulawesi.
5. Karakteristik habitat, tipe-tipe habitat serta preferensi habitat anoa dalam mencari
makan, minum dan berlindung, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah,
riparian dan hutan pegunungan.
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

6. Ekologi makan mencakup jenis-jenis tumbuhan makanan anoa di alam dan analisis
kandungan nutrisi pakan.
7. Perilaku anoa, baik anoa yang ada di habitat aslinya maupun yang ada di kandang atau
di taman margasatwa serta perilaku harian dan alokasi waktu (activity budget) anoa.
8. Legenda dan mitos terkait anoa (ethno-anoa) oleh beberapa suku asli yang berdomisili
di sekitar hutan yang menjadi habitat anoa, serta informasi mengenai perburuan
anoa.
9. Survei dan inventarisasi populasi yang merupakan panduan teknis dalam melakukan
kegiatan survei habitat dan monitoring populasi anoa di habitat aslinya.
10. Pendekatan in-situ dan ex-situ dalam pelestarian anoa.
11. Konservasi anoa, membahas mengenai penurunan populasi, degradasi serta deforestasi
habitat anoa dan perlunya keterlibatan yang sungguh-sungguh oleh para pihak dalam
melestarikan anoa di habitat aslinya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu di
lapangan sehingga penelitian yang memakan waktu cukup lama berjalan dengan baik. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Dirjen KSDAE
dan Direktur KKH atas dukungannya sehingga pengumpulan data di lapangan dapat dilakukan
dan hasilnya telah dipublikasikan dalam berbagai publikasi ilmiah serta dalam bentuk buku.
Terima kasih kepada seluruh staf Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Taman
Nasional yang telah membantu dan memfasilitasi penelitian ini di Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Terima kasih kepada Ir. Dominggu dan
Ir. Ramon Palette masing-masing sebagai kepala BKSDA Sulawesi Tenggara dan BKSDA
Sulawesi Utara serta seluruh staf yang bertugas di era 1994-an ketika penulis pertama kali
memulai penelitian di beberapa kawasan hutan di Sulawesi. Di Sulawesi Tenggara, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ir. Nurhayat (alm), Ir. Sahulata R. Yohana, MSi., Ir. Sri
Winenang, MSc., Ir. Anis Suratin, MSi., Ir. Sahid, Sakrianto Djawie, SP, MSi., Pak Landipo,
Laode Bogi, Laode Pada, Pak Tamrin, dan Laode Harumu. Terima kasih kepada Pak La Ondu
dan keluarga yang banyak membantu penulis selama penelitian di Tanjung Amolengo dan
sekitarnya. Demikian pula kepada Pak Saleh (alm) dan keluarga di Desa Labotaone, Pak Basri,
Pak Martinus Pela, Pak Daniel, Pak Sahidin dan Pak Syamsu penulis mengucapkan terima kasih.
Terima kasih kepada sahabat Dr. James Burton, Dr. Ikeu Sri Rejeki, dan Dr. Didi Indrawan,
di mana penulis sering berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai anoa dan satwa endemik
Wallacea serta kegiatan konservasi di Sulawesi.

vi
PRAKATA

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak La Tie dan keluarga di Desa Amolengo
yang terletak di bagian selatan Sulawesi Tenggara yang selalu mendampingi penulis selama
beberapa tahun tinggal dan mondok di hutan di mana menjadi habitat anoa. Nama-nama jenis
tumbuhan dan satwa dalam bahasa daerah Tolaki yang penulis tuangkan dalam buku ini adalah
dari Pak La Tie. Dia adalah kompas hidup dan kamus berjalan nama-nama tumbuhan dan
satwa di hutan-hutan Sulawesi Tenggara. Penulis dibantu oleh beberapa anggota masyarakat di
Desa Amolengo dan sekitarnya terutama Pak La Mane, Pak La Uno, Pak Kadir, Pak Sungkono,
Antu, dan Engu (alm) yang telah menemani penulis selama di lapangan. Informasi mengenai
perburuan dan teknik berburu anoa penulis dapatkan dari beberapa mantan pemburu satwaliar
seperti Pak Taebu di Amolengo, Pak Sambo Karaeng di Mamasa. Dalam pendakian ke Gunung
Gandang Dewata di Mamasa, Sulawesi Barat untuk menelusuri habitat dan populasi anoa,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak Daud dan Muhamad Ismul. Terima kasih atas
bantuan dan keramahan masyarakat yang berdiam di sekitar hutan seperti Desa Ulu Nese, Langga
Pulu, Amolengo, Ampera dan Rumba Rumba, Batu Putih, Lamapu, Tumbu Jaya, Lambangi,
Roda, Moramo, Tambeanga, dan Labotaone yang terletak di bagian selatan Sulawesi Tenggara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman penulis di Suaka Margasatwa
Nantu-Boliyohuto di Gorontalo, yaitu Dr Lynn Clayton, Pak Idrus Labantu dan keluarga,
Jemi, Jecky, Barth, dan semua kawan yang bertugas di Camp Adudu-Nantu.
Penerbitan buku ini dapat terlaksana atas bantuan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS), untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih.
Semoga buku sederhana ini bermanfaat.

Mei 2020

Abdul Haris Mustari

vii
KATA PENGANTAR

Anoa (Bubalus spp.) merupakan jenis asli Pulau Sulawesi dan Buton, terdiri dari anoa
dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (B. quarlesi). Anoa dikenal sebagai
sapi kerdil Sulawesi, dilindungi secara nasional (Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan
No. P.106/2018), dan dalam skala global termasuk species dengan status endangered kategori
C1+2a(i) ver 3.1 IUCN RedList. Sebagai endemic, umbrella, dan flagship untuk wilayah Sulawesi,
anoa merupakan salah satu jenis yang masuk dalam daftar satwa liar prioritas konservasi
nasional. Ancaman di alam terutama karena perburuan untuk tujuan diambil dagingnya dan
atau dijual hidup, serta fragmentasi dan degradasi hutan. Anoa memiliki habitat yang jauh
di dalam hutan yang masih alami dan sukar dijangkau karena sifatnya yang peka terhadap
gangguan manusia, akibatnya perkiraan jumlah populasi serta perilakunya di habitat alam
belum banyak diketahui.
Buku ‘Ekologi, Perilaku, dan Konservasi Anoa’ yang disusun oleh Dr. Abdul Haris Mustari
merupakan buku pertama yang membahas anoa secara komprehensif. Pada bagian pertama,
dimulai dengan mengulas sejarah pembentukan pulau Sulawesi, evolusi serta palao-ecology
yang secara tidak langsung menginformasikan kemungkinan sejarah migrasi anoa sampai
ke Pulau Sulawesi dan Buton. Buku ini juga membahas secara mendalam terkait ekologi
dan perilaku anoa pada berbagai karakteristik habitat alaminya (in-situ), selain menyajikan
informasi secara umum terkait taxonomy, morphology, genetik, ex-situ serta legenda dan mitos
anoa bagi masyarakat lokal Sulawesi. Dijelaskan pula beberapa metodologi survey yang dapat
dilakukan oleh para praktisi. Pada bagian akhir disajikan rekomendasi kenapa perlu dilakukan
pelestarian anoa serta manfaatnya bagi konservasi secara umum di Sulawesi. Pengalaman
sebagai dosen ekologi satwa liar, dengan latar belakang sebagai orang asli yang lahir dan besar di
Sulawesi ditambah penelitian intensif selama program master serta doktoral terkait anoa turut
memperkaya tulisan yang disajikan. Melalui buku ini pembaca seolah diajak menjelalahi hutan
Sulawesi, mengeksplor anoa beserta jenis-jenis simpatrik lainnya di Pulau Sulawesi dan atau
jenis yang memiliki kekerabatan sebagai wild cattle di region lainnya.
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Melestarikan flora fauna Sulawesi berarti mengapresiasi sejarah panjang pembentukan


geology dan natural history, dan secara otomatis mengapresiasi kehidupan manusia itu sendiri
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam. Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia ilmu
pengetahuan secara umum, bagi para akademisi dan praktisi untuk pengelolaan anoa yang lebih
baik, juga bagi pengelolaan tumbuhan dan satwa liar lain di habitat alaminya di Sulawesi dan
Buton. Terlebih diharapkan semakin banyak munculnya para peneliti, ahli dan pemerhati anoa
Indonesia.

Direktur Jenderal KSDAE

Ir. Wiratno, MSc

x
DAFTAR ISI

PRAKATA.............................................................................................................................. v

KATA PENGANTAR............................................................................................................ ix

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL................................................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR............................................................................................................ xix

BAB 1
PENDAHULUAN.................................................................................................................1

BAB 2
EVOLUSI DAN PALAEO-ECOLOGY ..................................................................................5

BAB 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI..................................................................................15
Beberapa Nama Lokal Anoa..............................................................................................15
Taksonomi........................................................................................................................17
Anoa di antara Beberapa Spesies Kerbau............................................................................20
Morfologi..........................................................................................................................27
Tanduk.............................................................................................................................38
Profil Darah dan Kondisi Fisiologis...................................................................................49

BAB 4
POPULASI DAN PENYEBARAN.......................................................................................51
Anoa In-situ......................................................................................................................51
Anoa Ex-situ......................................................................................................................52
Penyebaran . .....................................................................................................................54
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

BAB 5
KARAKTERISTIK HABITAT.............................................................................................59
Tipe habitat......................................................................................................................61
Okupansi Habitat.............................................................................................................76
Spesies Lain di Habitat Anoa . ..........................................................................................79
Relung Ekologi.................................................................................................................84
Predator............................................................................................................................87

BAB 6
EKOLOGI MAKAN............................................................................................................93
Sulawesi Tenggara..............................................................................................................93
Sulawesi Selatan..............................................................................................................130
Sulawesi Barat.................................................................................................................131
Sulawesi Tengah..............................................................................................................133
Sulawesi Utara.................................................................................................................135
Makanan Anoa Ex-situ....................................................................................................136

BAB 7
PERILAKU.........................................................................................................................145
Perilaku Sosial.................................................................................................................147
Pola Sebaran....................................................................................................................149
Pola Aktivitas Harian .....................................................................................................153
Activity Budget.................................................................................................................174
Activity Budget Anoa di Taman Margasatwa Ragunan .....................................................177

BAB 8
LEGENDA DAN MITOS.................................................................................................181
Sambo Karaeng...............................................................................................................188
Ritual Berburu................................................................................................................190
Kisah Seorang Pejuang Konservasi...................................................................................193
Amolengo.......................................................................................................................197

xii
DAFTAR ISI

BAB 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI..................................................................211
Mengenali Keberadaan Anoa di Habitat Aslinya.............................................................213
Metode Survei.................................................................................................................223
Metode Jalur (transect).....................................................................................................225
Metode Konsentrasi (concentration count)........................................................................229
Analisis Data...................................................................................................................232
Permodelan Okupansi.....................................................................................................238
Spatially Explicit Capture Recapture (SECR).....................................................................241

BAB 10
IN-SITU VS EX-SITU........................................................................................................249
BAB 11
KONSERVASI ANOA........................................................................................................253
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi ............................................................................258

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................271
GLOSARIUM....................................................................................................................281
INDEKS.............................................................................................................................285
TENTANG PENULIS.......................................................................................................287

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ringkasan peristiwa penting geologi di Sulawesi...................................................7


Tabel 3.1 Deskripsi morfologi anoa dataran rendah dan anoa gunung................................28
Tabel 3.2 Berat tubuh anoa dari beberapa wilayah di Sulawesi............................................29
Tabel 3.3 Ukuran tanduk anoa dan sebab kematian dari berbagai
wilayah di Sulawesi.............................................................................................39
Tabel 3.4 Morfologi anoa di Taman Margasatwa Ragunan.................................................40
Tabel 3.5 Perkembangan umur dan panjang tanduk anoa..................................................45
Tabel 3.6 Rata-rata pertambahan panjang tanduk anoa......................................................45
Tabel 5.1 Jenis tumbuhan tingkat pohon (dbh > 20 cm) yang dominan
di hutan dataran rendah, Kalobo, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa.................64
Tabel 5.2 Lokasi penyebaran anoa di hutan sekitar Danau Matano....................................65
Tabel 5.3 Jenis tumbuhan tingkat pohon (dbh > 20 cm) yang dominan
di hutan riparian, Kalobo, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa ...........................67
Tabel 5.4 Perbedaan kandungan mineral dan pH antara salt-lick dan kontrol
di Adudu SM Nantu Boliyohuto Gorontalo (Clayton 1996)..............................73
Tabel 5.5 Perbedaan kandungan mineral dan pH pada air panas di salt-lick
dan air kontrol di Sungai Nantu, SM Nantu Boliyohuto
Gorontalo (Clayton 1996)..................................................................................73
Tabel 5.6 Kepadatan populasi anoa dataran rendah dan babi hutan Sulawesi
berdasarkan perjumpaan langsung (direct encounter) menggunakan
metode line transect dengan panjang total transek 372 km
di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Mustari 2003).........................................76
Tabel 5.7 Laju perjumpaan (encounter rate) anoa dataran rendah pada beberapa
tipe habitat di Tanjung Peropa dan Tanjung Amolengo (Mustari 2003)..............77
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 5.8 Okupansi habitat anoa dataran rendah pada beberapa tipe habitat
pada musim kemarau dan musim hujan di Kalobo dan Tambeanga
(Tanjung Peropa) serta di Amolengo (Mustari 2003)..........................................77
Tabel 6.1 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 2003, 2019)............98
Tabel 6.2 Jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan anoa
di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo Sulawesi Tenggara
(Mustari 1995, Mustari 2003)..........................................................................102
Tabel 6.3 Jenis tumbuhan penghasil buah makanan anoa di Sulawesi Tenggara
(Mustari 1995, Mustari 2003)..........................................................................104
Tabel 6.4 Jenis tumbuhan yang teridentifikasi dalam feses anoa di blok hutan Kalobo,
Tanjung Peropa Mustari 2003).........................................................................110
Tabel 6.5 Prosentase fragmen tumbuhan makanan yang terdapat dalam sampel
feses anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo..........................................111
Tabel 6.6 Fenologi tumbuhan di habitat anoa, sepanjang tahun dari bulan
Januari s/d Desember (Mustari 2003)...............................................................118
Tabel 6.7 Persentase (%) bahan kering dan kandungan nutrisi tumbuhan
makanan anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa(Mustari 2003)................122
Tabel 6.8 Persentase (%) bahan kering dan kandungan nutrisi buah
makanan anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Mustari 2003)...............124
Tabel 6.9 Persentase (%) kandungan nutrisi tumbuhan pakan anoa
di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo (Mustari 1995).................................124
Tabel 6.10 Persentase (%) kandungan nutrisi feses anoa di Suaka Margasatwa
Tanjung Peropa (sampel nomor 1 s/d 7 adalah sampel feses musim hujan,
dan no 8 s/d 13 adalah sampel feses musim kemarau (Mustari 2003)...............128
Tabel 6.11 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara ............................................129
Tabel 6.12 Jenis tumbuhan pakan anoa di Kambuno Katena, Luwu, Sulawesi Selatan.......130
Tabel 6.13 Jenis-jenis pakan anoa Taman Nasional Gandang Dewata
(Ismul dan Mustari 2019).................................................................................132
Tabel 6.14 Jenis tumbuhan pakan anoa di Taman Nasional Lore Lindu ............................134
Tabel 6.15 Jenis tumbuhan pakan alami anoa di Sulawesi Tengah......................................134
Tabel 6.16 Jenis tumbuhan pakan anoa di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ........135

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 6.17 Jenis makanan anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari 1995)................137
Tabel 6.18 Konsumsi hijaun pakan anoa di Taman Margasatwa Ragunan
(Mustari dan Masyud 1997, 2001), percobaan dilakukan
dalam waktu 7 x 24 jam....................................................................................139
Tabel 6.19 Rataan konsumsi hijaun pakan anoa di Labotaone, SM Tanjung Beropa
(Mustari, 2002), percobaan dilakukan dalam waktu 6 x 24 jam........................139
Tabel 6.20 Rata-rata konsumsi hijauan pakan anoa di BKSDA in Kendari
(Mustari 2003), percobaan dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam.........................139
Tabel 6.21 Persentase (%) kandungan nutrisi hijauan pakan anoa
di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari dan Masy’ud, 1997;
2001; Mustari 2003).........................................................................................140
Tabel 6.22 Persentase (%) kandungan nutrisi hijaun pakan anoa di Labotaone,
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Mustari 2001; 2003), hijauan terdiri
dari daun nangka (Artocarpus integra), daun peropa (Sonneratia alba)
dan daun kahule-hule (Ficus sp.) dengan proporsi yang sama............................140
Tabel 6.23 Persentase (%) kandungan nutrisi dalam feses anoa di Labotaone,
Suaka Margasatwa Tanjung Beropa (Mustari 2001; 2003), pakan terdiri dari
campuran daun nangka (Artocarpus integra), daun peropa (Sonneratia alba)
dan daun kahule-hule (Ficus sp.) dengan proporsi yang sama............................140
Tabel 6.24 Persentase (%) kecernaan bahan makanan anoa di Labotaone,
Suaka Margasatwa Tanjung Beropa ..................................................................141
Tabel 6.25 Pendugaan kebutuhan minimum protein anoa di Labotaone,
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa...................................................................141
Tabel 6.26 Kebutuhan air minum anoa di Labotaone, Suaka Margasatwa
Tanjung Peropa (Mustari 2002; Mustari 2003).................................................143
Tabel 6.27 Volume air minum dan frekuensi defekasi anoa di kandang kantor BKSDA
Kendari (Mustari 2001, Mustari 2003).............................................................143
Tabel 7.1 Indeks dispersi empat jenis mamalia di Sulawesi...............................................152
Tabel 7.2 Jenis tumbuhan yang dipakai oleh anoa menggosok tanduk
(Mustari 1995).................................................................................................160
Tabel 11.1 Kawasan prioritas pengelolaan habitat dan populasi anoa di Sulawesi...............259
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa...................................263

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rekonstruksi geologi Sulawesi dalam 5 juta tahun lalu


(Nugraha dan Hall 2016, Frantz et al. 2018)..................................................11
Gambar 2.2 Keanekaragaman genetik dan sub populasi populasi anoa
di Sulawesi(Burton et al. 2005).......................................................................12
Gambar 3.1 Kerbau rawa di Indonesia (Foto Abdul Haris Mustari)....................................21
Gambar 3.2 Tanduk kerbau rawa dipajang di dinding depan rumah adat
di kampung Tarung, Waikabubak, Sumba Barat (kiri) dan patung
kerbau rawa bule, tedong bonga,di alun-alun kota Mamasa,
Sulawesi Barat (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)........................................22
Gambar 3.3 Kehidupan kerbau rawa di danau Sungai Buluh, Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan (Foto Abdul Haris Mustari).............................................23
Gambar 3.4 Morfologi anoa di antara beberapa jenis kerbau dunia....................................25
Gambar 3.5 Morfologi anoa dataran rendah dari dua lokasi yang berbeda:
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara (kiri)
dan Tolitoli, Sulawesi Tengah bagian utara (kanan)
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................30
Gambar 3.6 Morfologi anoa gunung, berasal dari wilayah Luwu (kiri)
dan Sidenreng (kanan), keduanya merupakan kawasan
Pegunungan Latimojong dan sekitarnya, Sulawesi Selatan
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................30
Gambar 3.7 Morfologi anoa yang terdapat di Anoa Breeding Centre, Manado;
secara geografis anoa berasal dari semenanjung tengah-utara
(sekitar Palu), dan utara (Tolitoli, Gorontalo,
dan Bolaang Mongondo (Foto Abdul Haris Mustari).....................................31
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 3.8 Morfologi anoa yang terdapat di Bontomarannu Education Park,


Gowa; secara geografis berasal dari wilayah pegunungan di bagian tengah-
selatan Sulawesi, meliputi Sidendereng Rappang, Luwu dan Seko
(Luwu Utara), berdasarkan bentang alam, termasuk dalam
wilayah Pegunungan Latimojong (Foto Abdul Haris Mustari)........................32
Gambar 3.9 Perkembangan umur, panjang tanduk dan morfologi anoa jantan Damar
di Taman Margasatwa Ragunan (Foto Abdul Haris Mustari)..........................34
Gambar 3.10 Perkembangan umur dan morfologi Wesi atau Wani
(umur 1 tahun Foto Basri, umur 4–13,5 tahun,
Foto Abdul Haris Mustari).............................................................................35
Gambar 3.11 Perkembangan umur dan morfologi Bone (betina) dari
umur 2 sampai 17 tahun (Foto Abdul Haris Mustari).....................................37
Gambar 3.12 Buton (kiri, jantan) dan Marleni (tengah, betina) yang merupakan
induk dari Bone (kanan, betina) (Foto Abdul Haris Mustari).........................38
Gambar 3.13 Morfologi tanduk anoa dewasa, bagian pangkal membesar
setelah anoa berumur lebih dari 4 tahun (Foto Abdul Haris Mustari).............40
Gambar 3.14 Variasi morfologi tanduk anoa dari berbagai wilayah
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................42
Gambar 3.15 Variasi morfologi tanduk anoa dari berbagai wilayah
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................43
Gambar 3.16 Variasi bentuk tanduk luar anoa dari Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
dan Tanjung Amolengo, Sulawesi Tenggara (Foto Abdul Haris Mustari).........44
Gambar 3.17 Susunan gigi pada anoa (Foto Abdul Haris Mustari).......................................44
Gambar 3.18 Contoh beberapa bentuk tanduk anoa: (a) tanu monggara,
(b) tanu mosipi, dan (c) tanu laa (Foto Abdul Haris Mustari).........................48
Gambar 3.19 Tanu hoa (kiri) yang bentuknya agak melengkung ke belakang
dan tanu sube (kanan) yang pangkalnya sangat besar
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................48
Gambar 4.1 Penyebaran dan habitat penting anoa di Sulawesi (Mustari et al. 2013)...........56
Gambar 4.2 Kawasan konservasi, hutan lindung dan penyebaran
spesies anoa di Sulawesi..................................................................................57

xx
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Habitat hutan mangrove, dikunjungi anoa ketika air laut surut
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................62
Gambar 5.2 Habitat hutan pantai di Tanjung Batikolo, Sulawesi Tenggara,
salah satu habitat penting anoa (Foto Abdul Haris Mustari)...........................63
Gambar 5.3 Hutan dataran rendah (Foto Abdul Haris Mustari).........................................64
Gambar 5.4 Kondisi habitat Danau Matano dan riparian di sekitarnya
(Foto Abdul Haris Mustari)............................................................................66
Gambar 5.5 Kondisi vegetasi riparian di Gorontalo (kiri) dan
di Sulawesi Tenggara (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)..............................67
Gambar 5.6 Tegakan bambu tali (kiri) di Tanjung Amolengo dan
bambu merambat (kanan) di Gunung Gandang Dewata,
termasuk makanan anoa (Foto Abdul Haris Mustari)......................................68
Gambar 5.7 Areal terbuka dan padang rumput di Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo pada musim hujan (kiri) dan
pada musim kemarau (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari).............................70
Gambar 5.8 Anoa dan babirusa di salt-lick di Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone (Foto TN BNW).................................................................71
Gambar 5.9 Babirusa di salt-lick di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto,
di hulu Sungai Paguyaman, Gorontalo (Foto Abdul Haris Mustari)................72
Gambar 5.10 Babirusa dan anoa di salt-lick Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto,
di hulu Sungai Paguyaman, Gorontalo (Foto Kompas)...................................72
Gambat 5.11 Kondisi vegetasi habitat anoa di Gunung Gandang Dewata pada
ketinggian 1500 mdpl (kiri) dan 2600 mdpl (kanan) yang didominasi
jenis Lithocarpus spp, batang, cabang dan ranting tumbuhan
berbalut lumut (Foto Abdul Haris Mustari)....................................................75
Gambar 5.12 Okupansi habitat oleh anoa pada empat tipe habitat yang berbeda
di Tanjung Peropa Sulawesi Tenggara (Mustari 2003).....................................78
Gambar 5.13 Okupansi habitat oleh anoa di hutan dataran rendah dan
hutan pantai Tanjung Amolengo (Mustari 2003)............................................79
Gambar 5.14 Satwa endemik yang dapat dijumpai pada habitat yang sama
dengan anoa (Foto Abdul Haris Mustari)........................................................82

xxi
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 5.15 Satwa lain yang dapat dijumpai pada habitat yang sama dengan anoa
(Foto Abdul Haris Mustari) ...........................................................................83
Gambar 5.16 MDS plot komposisi tumbuhan makanan anoa, babi hutan Sulawesi,
dan rusa timor................................................................................................87
Gambar 5.15 Malayapython reticulatus sinonim Python reticulatus, predator utama
di hutan tropis Sulawesi, termasuk predator bagi anoa, babirusa
dan babi hutan Sulawesi (Foto Abdul Haris Mustari)......................................90
Gambar 6.1 Komposisi makanan anoa terdiri dari dikotil, monokotil
dan paku-pakuan (Mustari 2003).................................................................106
Gambar 6.2 Proporsi tumbuhan pakan anoa yang terdiri dari monokotil, dikotil
dan paku-pakuan sepanjang tahun mulai Desember sampai
Februari tahun berikutnya di Tanjung Peropa (Mustari 2003)......................106
Gambar 6.3 Proporsi daun dan buah tumbuhan pakan anoa di Kalobo,
Lawio, Tambeanga, dan Amolengo (Mustari 2003).......................................107
Gambar 6.4 Proporsi tumbuhan kelompok monokotil, dikotil dan paku-pakuan
pakan anoa di Kalobo, Lawio, Tambeanga dan Amolengo (Mustari 2003)....107
Gambar 6.5 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Kalobo,
Tanjung Peropa (Mustari 2003)....................................................................108
Gambar 6.6 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Lawio,
Tanjung Peropa (Mustari 2003)....................................................................108
Gambar 6.7 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Tambeanga,
Tanjung Peropa (Mustari 2003)....................................................................109
Gambar 6.8 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Amolengo,
Tanjung Amolengo (Mustari 2003)..............................................................109
Gambar 6.9 Balandete (Merremia peltata), liana famili Convolvulaceae, tumbuh
di habitat terbuka atau di tepi jalan setapak atau jalan yang baru
dibuka adalah satu satu makanan kesukaan anoa serta bambu
yang juga sangat disukai anoa (Foto Abdul Haris Mustari)............................113
Gambar 6.10 Tokoalinda Ellatostachys sp. salah satu jenis herba yang disukai anoa
di habitat alaminya serta rumpio Acrosticum aureum, tumbuh
terutama di sekitar rawa dan hutan pantai, dan kadang dijumpai
di pinggir hutan mangrove. Bagian pucuk, daun dan tunasnya
dimakan anoa (Foto Abdul Haris Mustari)...................................................113

xxii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 6.11 Kura rano atau rumput rawa (Eleocharis dulcis) salah satu jenis rumput
yang dimakan anoa. Padang rumput alami ini berada di tengah hutan,
dan berubah menjadi danau kecil ketika musim hujan, tergenang air.
Anoa dan babi hutan sering berkumpul di habitat mikro ini
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................114
Gambar 6.12 Buah dongi Dillenia serrata (kiri) dan sukun hutan Artocarpus sp. (kanan),
termasuk buah makanan anoa (Foto Abdul Haris Mustari)...........................114
Gambar 6.13 Buah kahule hule, sejenis beringin Ficus variegata, sangat disukai anoa.
Jenis tumbuhan ini termasuk cauliflori, buah keluar dari cabang, batang,
bahkan pada bagian pangkal batang terdapat buah yang mudah dijangkau
satwa terestrial seperti anoa. Buah yang sudah masak dan jatuh
ke lantai hutan menjadi sumber makanan bagia anoa
dan satwa lainnya (Foto Abdul Haris Mustari)..............................................115
Gambar 6.14 Buah konduri (Parkia roxburghii), biasa juga disebut petai hutan Sulawesi,
karena aromanya seperti petai yang biasa dikonsumsi sebagai lalab.
Konduri berbunga dan berbuah pada musim kemarau. Buahnya disukai
oleh banyak jenis satwa termasuk anoa, babi hutan, monyet hitam.
Anoa dan babi hutan makan buah konduri yang jatuh ke lantai hutan
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................116
Gambar 6.15 Buah berbagai jenis pololi//palli (Lithocarpus spp.), salah satu jenis
buah makanan anoa terutama di daerah dengan altitude di atas
1000 mdpl (Foto Abdul Haris Mustari)........................................................116
Gambar 6.16 Laju dekomposis feses anoa pada musim hujan (Mustari 2003)....................127
Gambar 6.17 Laju dekomposis feses anoa pada musim kemarau (Mustari 2003)................127
Gambar 7.1 Ungulata di Sulawesi: (a) anoa, (b) babirusa, (c) babi hutan Sulawesi
dan (d) rusa timor (Foto Abdul Haris Mustari).............................................152
Gambar 7.2 Berendam atau berkubang, salah satu aktivitas kesukaan anoa
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................158
Gambar 7.3 Anoa jantan sering menanduk batang pohon di kandang
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................160
Gambar 7.4 Perilaku ingestif anoa, makan, dan minum (Foto Abdul Haris Mustari)........162
Gambar 7.5 Perilaku eliminatif anoa, defekasi, dan urinasi (Foto Abdul Haris Mustari)...163

xxiii
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 7.6 Sepasang anoa saling kejar pada musim kawin bulan Agustus
di Pera 1 Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo (Foto Dominggus)
dan sepasang anoa bercumbu di kolam berendam
di Kebun Binatang Ragunan (Foto Abdul Haris Mustari).............................165
Gambar 7.7 Induk anoa dalam kondisi hamil 5 bulan (Foto Abdul Haris Mustari)..........166
Gambar 7.8 Induk anoa dan anak (a) umur satu bulan (b) umur tujuh bulan
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................168
Gambar 7.9 Luka dan goresan bekas tandukan bagian samping tubuh anoa
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................171
Gambar 7.10 Perilaku investigatif (Foto Abdul Haris Mustari)...........................................172
Gambar 7.11 Posisi anoa ketika istirahat atau tidur (Foto Abdul Haris Mustari)................173
Gambar 7.12 Anoa menjilat bagian tubuhnya (Foto Abdul Haris Mustari)........................174
Gambar 7.13 Ilustrasi kandang peraga anoa di Taman Margasatwa Ragunan
(Indriyani 2019)...........................................................................................175
Gambar 7.14 Activity budget anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari 2020).............178
Gambar 7.15 Presentase activity budget anoa di Taman Margasatwa Ragunan
(Mustari 2020).............................................................................................180
Gambar 8.1 Trofi tanduk anoa yang dipajang di dinding ruang tamu penduduk
di Sulawesi (Foto Abdul Haris Mustari)........................................................185
Gambar 8.2 Kepala anoa menjadi logo Pemprov Sulawesi Tenggara dan patung anoa
di depan bandara Mutiara Palu Sulawesi Tengah
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................188
Gambar 8.3 Profil Sambo Karaeng (kiri), Pak Daud (tengah) tokoh masyarakat
di Gandang Dewata dan Mambulilling, Mamasa, dan Pak La Tie (kanan)
Suku Tolaki, kamus berjalan nama-nama tumbuhan dan satwa
di hutan Sulawesi Tenggara (Foto Abdul Haris Mustari)...............................190
Gambar 8.4 Dr. Lynn Marion Clayton, pejuang konservasi dan pelestari babirusa
dan satwa endemik Sulawesi serta ekosistem Hutan Nantu-Boliyohuto
(Foto Lynn Marion Clayton)........................................................................197
Gambar 8.5 Potret kehidupan Suku Tolaki, Muna dan Bajo di Desa Amolengo
dan sekitarnya; La Tie berada di tengah sedang memegang tanduk anoa
di rumahnya (Foto Abdul Haris Mustari).....................................................200

xxiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 8.6 Profil masyarakat di Banggaiba dan kondisi hutan DAS Sungai Lariang,
serta bentang alam di Lembah Bada, dan patung megalit peradaban
berusia ribuan tahun (Foto Abdul Haris Mustari).........................................209
Gambar 8.7 Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa, dan Tanjung Batikolo.........................210
Gambar 9.1 Membedakan organ kelamin luar anoa jantan (kiri dan tengah)
dan anoa betina (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)....................................212
Gambar 9.2 Perbandingan morfologi tengkorak, kuku, jejak kaki
dan feses mamalia ungulata Sulawesi: anoa, babirusa dan babi hutan
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................214
Gambar 9.3 Ilustrasi bentuk kuku atau tapak satwa ungulata Sulawesi
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................215
Gambar 9.4 Kuku belakang anoa (dew claw) berada pada posisi yang lebih
tinggi (kiri) dibanding dengan kuku belakang babirusa dan
babi hutan Sulawesi (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari).............................216
Gambar 9.5 Rusa timor di Sulawesi (Foto Abdul Haris Mustari)......................................216
Gambar 9.6 Jejak kaki depan dan jejak kaki belakang anoa; ketika anoa sedang berjalan
biasa (normal, tidak sedang berlari), posisi jejak kaki belakang hanya berjarak
beberapa centimeter di belakang jejak kaki depan. Sementara bila berlari,
posisi kaki depan dengan kaki belakang agak berjauhan, di mana cetakan kaki
belakang dapat berada di depan cetakan kaki depan karena jarak langkahnya
yang panjang (Foto Abdul Haris Mustari).....................................................217
Gambar 9.7 Anak anoa berumur 1,5–2 bulan di Tanjung Amolengo Sulawesi Tenggara
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................218
Gambar 9.8 Dekomposer feses anoa dung beettle berusaha mendorong
dan menggulung feses yang telah dibentuknya menjadi bola-bola kecil
untuk dibawa ke sarang (Foto Abdul Haris Mustari).....................................219
Gambar 9.9 Feses anoa yang baru berumur 1 hari (kiri) dan feses
yang sudah berumur sekitar 3–4 hari (kanan)
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................220
Gambar 9.10 Feses babi hutan Sulawesi yang masih baru (kiri)
dan yang sudah mengering (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)...................220
Gambar 9.11 Tempat berkubang atau berendam anoa atau babi hutan
(Foto Abdul Haris Mustari)..........................................................................221

xxv
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 9.12 Pohon tempat menggosok badan babi hutan setelah berendam
atau berkubang (Foto Abdul Haris Mustari).................................................221
Gambar 9.13 Desain plot metode Line Transect..................................................................225
Gambar 9.14 Desain plot metode Strip Transect.................................................................227
Gambar 11.1 Perburuan anoa masih terus terjadi: (a) kaki anoa yang luka akibat jerat,
(b) fetus anoa dari induk yang tertangkap kemudian dibunuh
oleh penduduk sekitar hutan, (c) kepala anoa yang tertangkap
di Teluk Kolono ketika sedang berenang (Foto Abdul Haris Mustari),
dan (d) pembantaian anoa di Sulawesi Tengah (Foto Basri)...........................256
Gambar 11.2 Perburuan dan perdagangan ilegal satwaliar di Sulawesi Utara
(Foto Lynn Marion Clayton.........................................................................257

xxvi
BAB 1
PENDAHULUAN
Terletak di antara pengaruh Zoogeografi Oriental di bagian barat (Sundaic)
dan Zoogeografi Australia di sebelah timur (Papuan) Indonesia, bio-region Wallacea
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk berbagai jenis flora
dan fauna endemik. Kawasan Wallacea pertama kali dicetuskan dan dipopulerkan
oleh seorang naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace di era 1850-an yang berdasarkan
pengamatannya bahwa kawasan ini memiliki jenis satwa dan tumbuhan yang berbeda
dengan yang ada di bagian barat dan timur nusantara. Jenis satwa dan tumbuhan di
region ini merupakan perpaduan wilayah barat dan timur. Jenis satwa dan tumbuhan
berbeda dengan yang ada di wilayah asal dan leluhur satwa dan tumbuhan tersebut
karena telah mengalami isolasi geografi dan genetik dalam rentang waktu evolusi yang
cukup lama sehingga muncul spesies-spesies baru, spesiasi. Beberapa jenis satwa yang
mengalami spesiasi seiring dengan proses geologi yaitu megafauna Sulawesi mencakup
anoa, babirusa, dan babi hutan Sulawesi.
Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi dan Pulau Buton, dan telah berada di
pulau ini tidak kurang dari empat juta tahun lalu yaitu sejak masa Pliosen. Leluhur
anoa telah menghuni Sulawesi ketika bentuk dan ukuran pulau ini belum seperti yang
terlihat saat ini. Ketika itu Sulawesi barulah berupa satu pulau tua yang merupakan
cikal bakal pulau ini yang berdasarkan rekonstruksi geologi oleh banyak ahli, pulau tua
itu terletak di bagian tengah-barat Sulawesi. Pada bagian Sulawesi inilah leluhur anoa
pertama menginjakkan kaki setelah melalui rangkaian perjalanan evolusi bermigrasi dari
wilayah yang disebut Siwaliks (Sivaliks) yang terletak di Asia Selatan. Ketika leluhur
anoa pertama kali menginjakkan kaki di Sulawesi, bagian semenanjung utara, selatan
dan tenggara pulau ini belum muncul ke permukaan laut. Oleh karena itu, leluhur
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

anoa telah ada di pulau ini dan mengawali evolusinya jauh sebelum mahluk hidup yang lain
ada di Sulawesi. Manusia baru ada di Sulawesi diperkirakan tidak lebih dari 40 ribu tahun lalu,
dibandingkan dengan leluhur anoa yang telah ada sekitar 4 juta tahun lalu di Sulawesi.
Evolusi anoa berjalan seiring dengan sejarah geologi pulau ini. Sehingga tidak salah apabila
anoa identik dengan Sulawesi. Ketika mendengar kata anoa, maka imajinasi akan tertuju ke
pulau di bagian tengah Indonesia itu, yaitu Sulawesi.
Anoa dilindungi oleh pemerintah bahkan sejak negeri ini belum merdeka di mana
pemerintah kolonial telah memasukkan anoa sebagai satwa yang dilindungi. Anoa termasuk
satwa yang rentan punah, endangered dalam IUCN Red List, dan termasuk dalam kategori
Appendix I CITES. Anoa juga menjadi koleksi langka di beberapa kebun binatang di luar
negeri, baik di Eropa maupun di Amerika Utara. Anoa sangat dihargai baik skala regional,
nasional dan internasional karena termasuk satwa yang langka, endemik, rentan punah, serta
memiliki sejarah evolusi yang unik dan kompleks.
Di lain pihak anoa belum dihargai dan diposisikan sebagaimana mestinya. Populasi anoa
terancam karena perburuan liar serta habitat aslinya berupa hutan tropis Sulawesi hilang karena
konversi untuk perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Sampai hari ini perburuan anoa
masih terus berlangsung. Beberapa penduduk lokal memelihara dan membesarkan anoa yang
kebetulan induknya mereka tangkap atau bunuh di hutan. Bermacam anggapan disematkan
pada satwa ini, ada yang kagum akan ketangguhan anoa, ada yang menganggapnya berbahaya
karena ketajaman tanduknya. Ada juga sebagian masyarakat yang menganggap anoa adalah
binatang buas, suatu pendapat yang keliru karena anoa termasuk satwa pemakan tumbuhan
(herbivor), bukan pemakan daging (karnivor).
Anoa adalah satwa penghuni hutan sejati dan bersama dengan babirusa serta banyak spesies
endemik Sulawesi, hidupnya sangat bergantung pada ekosistem hutan yang masih asli. Hal ini
dapat dipahami, karena sebagai satwa yang telah memulai evolusinya sejak awal pembentukan
geologi Sulawesi, anoa sudah beradaptasi sempurna dengan geologi, fisik, iklim dan bentang
alam pulau ini. Karena itu anoa tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem hutan Sulawesi,
seperti kehidupan ikan dan air. Di antara beberapa jenis kerabat kerbau, marga Bubalus, anoa
adalah jenis yang hidupnya paling tergantung pada ekosistem hutan. Meskipun anoa termasuk
mamalia terestrial terbesar di Sulawesi, tetapi dalam marga Bubalis, anoa adalah yang paling
kecil bobot tubuhnya serta yang paling soliter kehidupan sosialnya. Perilaku asli anoa seperti itu
bukan tanpa alasan karena anoa hidup di hutan tropis, pegunungan, lembah, hutan riparian,
sekitar danau, rawa, yang secara fisik menghuni tipe-tipe habitat dan ekosistem yang paling
rumit (highly-structured habitats) dibandingkan dengan jenis kerbau lainnya, yang umumnya
hidup di habitat yang relatif terbuka pada ekosistem di mana tidak banyak terdapat tipe
habitat. Hidup soliter dan tubuh yang lebih kecil adalah salah satu bentuk adapatasi satwa

2
Bab 1
PENDAHULUAN

di habitat berhutan dengan kondisi fisik geologi yang kompleks. Karena akan sulit bagi satwa
yang bertubuh besar dan berkelompok untuk bergerak bebas di habitat hutan dengan topografi
ekosistem yang bervariasi.
Kajian mengenai ekologi yang mencakup populasi, karakteristik habitat, tumbuhan pakan,
perilaku dan upaya konservasi anoa telah penulis lakukan sejak tahun 1994 sampai sekarang.
Ketertarikan penulis pada aspek ekologi, perilaku dan konservasi anoa dimulai sejak penulis
menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan IPB. Ketika itu ada mata kuliah yang
mengajarkan mengenai ekologi satwaliar dan salah satu kegiatan praktikumnya dilaksanakan di
Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Salah satu jenis satwa yang menarik perhatian penulis
adalah satwa yang bagi kebanyakan pengunjung kebun binatang justru kurang menarik. Hal ini
karena morfologi anoa tidak terlalu istimewa, suatu jenis satwa yang hanya serupa sapi kerdil,
kerbau kerdil atau bahkan ada yang menyangkanya sejenis kambing hutan. Meskipun penulis
lahir dan besar di Sulawesi, tetapi belum pernah melihat anoa di habitat aslinya dan ketika
melaksanakan praktikum itulah peenulis untuk pertama kalinya melihat rupa anoa. Nama
anoa cukup dikenal, bahkan siswa SD pun pernah mendengar atau membaca karena nama
jenis satwa tersebut tercantum pada berbagai buku bacaan terutama yang terkait dengan alam
Sulawesi. Buku yang berkisah mengenai tumbuhan dan satwa asli Sulawesi pasti ada nama anoa
di dalamnya. Meskipun demikian, hanya sedikit orang yang pernah melihat anoa apalagi di
habitat aslinya, termasuk orang Sulawesi sekalipun hanya sedikit yang pernah melihat anoa.
Selama melakukan penelitian, penulis sering didampingi oleh penduduk lokal yang
merupakan suku asli Sulawesi di antaranya suku Tolaki, Muna, Buton, Bugis, Toraja, Mamasa,
Kaili, Kulawi, Minahasa, Gorontalo, Wana, dan beberapa suku lainnya. Penulis juga berinteraksi
dan menggali informasi dari penduduk asli yang sering masuk hutan untuk berbagai keperluan
yang sangat paham akan kondisi hutan seperti pemburu, pengumpul rotan, pencari madu,
pencari kayu serta petani yang kebunnya berdekatan dengan hutan habitat anoa. Mereka
memiliki pengalaman dan pengetahuan berharga mengenai hutan dan kehidupan satwaliar,
termasuk anoa. Mereka dengan senang hati berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang
seluk beluk hutan dan keanekaragaman hayatinya. Dalam banyak kesempatan, penulis tinggal
beberapa minggu bahkan bulan dengan penduduk asli. Data yang disajikan dalam buku ini
terutama dari hasil pengamatan langsung penulis ditambah informasi dari penduduk suku asli
yang sangat berharga. Beberapa nama lokal tumbuhan, khususnya jenis tumbuhan makanan
anoa tertulis dalam bahasa daerah dari berbagai suku, umumnya dalam bahasa daerah Tolaki
dan beberapa dalam bahasa Muna dan Buton di Sulawesi Tenggara. Sampai saat ini pun penulis
masih sering melakukan penelitian dan kunjungan ke hutan-hutan di Sulawesi, menggali
berbagai aspek terkait anoa serta keanekaragaman hayati yang tidak akan pernah habis digali
dan ditulis karena begitu kayanya pulau yang terletak di bio-region Wallace ini. Suatu pulau
yang proses pembentukan geologi dan bentang alamnya yang demikian kompleks, yang pada

3
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

gilirannya menghasilkan keanekaragaman fisik geologi serta hayati yang sangat tinggi pula.
Karena itu dengan melestarikan flora dan fauna Sulawesi, termasuk anoa, berarti mengapresiasi
sejarah panjang pembentukan geologi dan sejarah alam (natural history) Sulawesi, yang berarti
pula mengapresiasi kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari alam.

4
BAB 2
EVOLUSI DAN PALAEO-ECOLOGY
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai kehidupan suatu spesies
saat ini perlu dipahami evolusi dan palaeo-ecology spesies tersebut, terutama asal muasal
leluhur serta kondisi fisik dan biotik lingkungannya pada masa lalu. Evolusi berasal
dari bahasa latin evolvere yang artinya membuka lipatan. Evolvere terdiri dari dua kata
yaitu ex (keluar), dan volvere (menggulung), yang kalau digabung arti harfiahnya adalah
menggulung atau membuka lipatan. Kata evolusi pada awalnya (1662) berarti membuka
gulungan buku. Dalam pengertian ilmiah kata evolusi pertama kali digunakan pada
tahun 1832 oleh seorang ahli geologi berkebangsaan Skotlandia bernama Charles Lyell.
Istilah ini kemudian kembali dipopulerkan oleh pencetus teori evolusi, Charles Darwin
pada tahun 1859 dalam bukunya ‘on the origin of species’ atau asal muasal spesies. Dalam
biologi dan ekologi, evolusi adalah proses perubahan secara perlahan dalam jangka
waktu yang sangat lama di mana suatu spesies akan berubah menjadi spesies lain yang
lebih baik dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Olah karena itu, dalam perjalanan
evolusi suatu spesies terjadi seleksi alam dan adaptasi terhadap lingkungan. Secara
perlahan namun pasti akan terjadi perubahan genetik dan morfologi yang mungkin
sangat berbeda dengan leluhurnya. Beragam spesies tumbuhan dan satwa yang dapat
dilihat saat ini adalah hasil dari proses evolusi tersebut.
Palaeo-ecology merupakan cabang dari ekologi yang mempelajari ekologi masa
lampau. Palaeo-ecology merujuk pada kondisi lingkungan pada waktu yang lampau
seiring dengan perjalanan evolusi suatu spesies. Evolusi dan palaeo-ecolgy terkait anoa
adalah kajian ekologi masa lalu mengenai garis keturunan dan keberadaan anoa serta
kondisi habitat pada masa lampau di Sulawesi, termasuk bagaimana perjalanan leluhur
anoa bermigrasi dan akhirnya sampai di Sulawesi, serta bagaimana kondisi geologi dan
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

habitat pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa temuan fosil anoa serta fosil leluhur
dan kerabatnya (palaeontology). Leluhur dan kekerabatan satwa dipelajari oleh para ahli palaeo-
ecology dan palaeontology melalui pendekatan morfometris dan pendekatan genetik.
Secara taksonomi anoa termasuk dalam Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili
Bovidae, Tribe Bovini. Tribe Bovini terdiri atas tiga Sub Tribe, yaitu Bovina, Bubalina, dan
Pseudorygina (IUCN 2013).
Sub Tribe Bovina mencakup genus Bos dan Bison, meliputi banteng (Bos javanicus d’Alton,
1823), gaur (Bos gaurus C.H.Smith, 1827), kouprey (Bos sauveli Urbain, 1937), yak (Bos mutus
Przewalski, 1883), bison Amerika (Bison bison Linnaeus, 1758), dan bison Eropa (B. bonasus
Linnaeus, 1758). Juga termasuk dalam Tribe Bovini adalah berbagai jenis-jenis sapi domestik.
Code of Zoological Nomenclature (Gentry et al. 2004) menyatakan bahwa satwa domestik adalah
subspesies dari spesies yang masih liar. Oleh karena itu, jenis-jenis satwa yang telah didomestikasi,
termasuk berbagai jenis sapi merupakan subspesies dari spesies yang masih liar. Sapi domestik
yang leluhurnya adalah aurochs (Bos primigenius) terdiri atas sapi taurine (B. p. taurus sinonim
B. taurus) dan zebu (B. p. indicus sinonim B. indicus) (Lenstra et al. 2014). Sementara jenis
sapi yang leluhurnya adalah banteng (Bos javanicus) yaitu sapi Bali, didomestikasi secara luas
di Indonesia umumnya dan di daerah Bali, Madura, NTB, NTT, dan Sulawesi khususnya.
Sub Tribe Bubalina meliputi genus Bubalus dan Syncerus, yaitu berbagai jenis kerbau,
seperti kerbau air Asia (Bubalus arnee Kerr, 1792), tamaraw (Bubalus mindorensis Heude,
1888), anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis C.H.Smith, 1827), anoa gunung (B. quarlesi
Ouwens, 1910), dan kerbau Afrika (Syncerus caffer Sparrman, 1779).
Sub Tribe Pseudorygina hanya satu spesies, yaitu saola (Pseudoryx nghetinhensis Dung,
Giao, Touc, Arctander & MacKinnon, 1993) (Groves 1981, 2001, IUCN 2013, Hassanin
2014).
Anoa, kerbau air Asia, dan tamaraw termasuk dalam subtribe Bubalina, genus Bubalus.
Evolusi leluhur genus Bubalus diperkirakan dari Proamphibos di Siwaliks, Asia Selatan, pada
era Pliosen 3,5–2,2 juta tahun yang kemudian menurunkan Hemibos pada awal Pleistosen
dan Bubalus pada tengah dan akhir Pleistosen (Pilgrim 1939, Groves 1981, 2001, Martinez-
Navarro et al. 2007 dan Bibi 2009). Penemuan fosil satwa yang mirip dengan yang ada
di Middle-Siwaliks yaitu sedimen tengah Siwaliks juga ditemukan dalam penggalian fosil satwa
di Kali Glagah dan Cijulang Pulau Jawa yang disebut ‘Siva Malayan’ (Hooijer 1948, Groves
1976, Groves 1981).

6
Bab 2
EVOLUSI DAN PALAEO-ECOLOGY

Tabel 2.1 Ringkasan peristiwa penting geologi di Sulawesi


Zaman Mulai pada Peristiwa Geologi
Era Periode Peristiwa Biologi
(Epoch) (juta tahun) terkait Sulawesi
Cenozoic Quaternary Holosen 0,01 Manusia modern
Pleistosen 3 Leluhur manusia pertama
Tertiary Pliosen 10 Kalimantan dan Karnivor besar
Sulawesi berdekatan atau
bersinggungan di dangkalan
Doangdoang atau terjadi
penurunan air laut di Selat
Makassar
Miosen 25 Sula/Banggai dan bagian Mamalia herbivor dan grazer
timur Sulawesi bertabrakan
dan kemudian menyatu
dengan Sulawesi bagian barat,
semenanjung utara memutar
Oligosen 40 Bagian barat Indonesia dan Kemunculan mamalia besar
bagian barat Sulawesi sudah pelari (running mammals)
berada pada posisinya saat ini
Eosen 60 Australia berpisah dari Kemunculan beragam
Antartika, mulai aktivitas mamalia modern
gunung berapi di bagian barat
Sulawei
Paleosen 70 Mamalia berplasenta
Mesozoic Cretaceous 145 Tumbuhan berbunga
(Angiospermae), puncak
keemasan dinosaurus dan
kemudian punah, burung
bergigi punah, muncul
burung modern
Jurassic 215 Bagian barat Indonesia,Tibet, Masa keemasan Dinosaurus,
Burma, Thailand, Malaysia burung bergigi, jenis pemakan
dan bagian barat Sulawesi serangga kuno, mamalia
terpisah dari Gondwana berkantung (marsupial)
Triassic 250 Benua tunggal Pangea Mamalia primitif (bertelur),
terpecah menjadi Laurasia dinosaurus, penyu, conifer
(utara) dan Gondwana Angiospermae
(selatan); pulau-pulau dan
beberapa bagian Asia Tenggara
merupakan bagian timur dari
Gondwana
Paleozoic Permian 270 Serangga modern, reptil
Carboniferous 350 Serangga, reptil pertama
Devonian 400 Amfibi
Silurian 440 Ikan berahang, jenis
kalajengking
Ordovician 500 Ikan pertama muncul
Cambrian 600 Trilobit
Pre-Cambrian 4600 Bakteria, sponges, worms
Sumber: Whitten et al. 1987 (dimodifikasi)

7
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Perlu dicatat bahwa kata ‘leluhur’ atau lineage anoa adalah cikal bakal spesies anoa yang
dikenal sekarang ini terdapat di Sulawesi. Morfologi leluhur anoa baik Proamphibos maupun
Hemibos belum menyerupai morfologi anoa seperti yang ada saat ini karena fosil anoa belum
pernah ditemukan di luar Sulawesi. Perjalanan panjang leluhur anoa yang bermigrasi ke Sulawesi
berdaptasi dengan iklim dan lingkungan yang baru dan sumberdaya berupa makanan, air dan
tempat berlindung menyebabkan perubahan genetik dan morfologi. Dalam adaptasi tersebut
terjadi spesiasi yaitu terbentuknya suatu spesies baru yang melahirkan spesies anoa seperti yang
ada saat ini.
Bagaimana leluhur anoa mencapai Sulawesi masih diperdebatkan oleh para ahli palaeo-
ecology. Groves (1976) menyatakan bahwa leluhur anoa bermigrasi ke Sulawesi melalui
‘penyempitan’ jalur laut yang terdapat di antara Jawa dan Kalimantan serta Sulawesi. Sumatera,
Jawa, Kalimantan, dan Bali (Sundaic) yang merupakan bagian dari Oriental suatu ketika pernah
bersatu ketika permukaan air laut turun ketika terjadi Glasiasi, terbentuknya lapisan es tebal di
kutub.
Selama periode penurunan air laut, terdapat beberapa pulau di bagian barat Majene di
Sulawesi Barat dan terbentuk dangkalan Doangdoangan yang terletak di Selat Makassar (Audley-
Charles 1981). Apabila air laut turun sekitar 100 meter dari kondisi saat ini, maka akan terbuka
suatu hamparan darat yang luas yang hampir menghubungkan Kalimantan bagian tenggara dan
Sulawesi barat daya. Selain itu, di sepanjang bagian utara Selat Makassar pada kedalaman 1000
meter terdapat kontur bawah laut di bagian timur Kalimantan yang bersesuaian dengan kontur
bawah laut di bagian barat Sulawesi. Berdasarkan kontur bawah laut yang bersesuaian itu maka
diperkirakan bahwa Selat Makassar pada suatu ketika pernah mengalami penyempitan di mana
Kalimantan dan Sulawesi pernah bersinggungan atau berdekatan (Katili 1978). Kontur bawah
laut yang bersesuaian itu oleh para ahli geologi disebut ‘Palau Laut Centre of Diastrofism’.
Diperkirakan bahwa leluhur anoa menyeberang atau bermigrasi ke Sulawesi selama periode
ketika Kalimantan dan Sulawesi saling mendekat atau ketika air laut surut dalam.
Bahwa menyeberangnya leluhur anoa ke Sulawesi dari jalur Kalimantan yang pada saat
itu masih terhubung dengan Jawa dan Sumatera sangat mungkin terjadi. Diketahui bahwa
anoa menyukai lingkungan air dan termasuk satwa yang dapat berenang dan diasumsikan
bahwa leluhur anoa juga kemungkinan dapat berenang pada jarak tertentu (Mustari 1995).
Anoa termasuk satwa yang dapat berenang dengan baik seperti yang pernah terjadi di Teluk
Kolono di bagian Selatan Sulawesi Tenggara (Mustari 1995). Teluk Kolono merupakan teluk
dengan lebar 1–3 km dan kedalam berkisar 20–40 m. Teluk tersebut memisahkan tiga kawasan
konservasi yang merupakan habitat penting anoa di wilayah ini, yaitu Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa dan Tanjung Batikolo. Anoa pada masa itu masih dapat

8
Bab 2
EVOLUSI DAN PALAEO-ECOLOGY

bertukar individu populasi dari kawasan konservasi yang berbeda namun berdekatan. Anoa
dapat berenang dengan baik dan memungkinkan terjadinya pertukaran individu populasi pada
beberapa dekade yang lalu ketika belum banyak dibangun permukiman dan aktivitas manusia
di sepanjang pantai Teluk Kolono (Mustari 1995, 2003). Mustari (1995) melaporkan bahwa
terdapat dua individu anoa yang tertangkap oleh masyarakat ketika sedang berenang di Teluk
Kolono pada tahun 1984 dan 1994. Bahwa anoa dapat berenang dalam jarak tertentu juga
dilaporkan oleh beberapa penduduk lokal di wilayah tersebut (Mustari 1995, 2003). Apabila
air laut turun 40 m sesungguhnya ketiga kawasan konservasi habitat anoa tersebut saling
terhubung pada masa lampau dan populasi anoa di ketiga kawasan tersebut dipastikan dapat
bertukar individu.
Penyebaran populasi anoa dengan cara berenang dalam jarak yang relatif dekat antar pulau
kemungkinan juga dapat menjawab proses migrasi anoa secara alami dari daratan Sulawesi
Tenggara ke Pulau Buton. Laut yang memisahkan daratan di ujung selatan Sulawesi Tenggara di
Desa Amolengo dan Langgapulu dengan ujung utara Pulau Buton di Desa Labuan Bajo lebarnya
hanya sekitar 7 km (sekitar 30 menit naik ketinting) dan kedalamannya tidak lebih dari 60 m.
Apabila permukaan air laut turun sekitar 50 meter dari kondisi saat ini, maka kedua pulau akan
terhubung jalur darat yang memungkinkan dilintasi anoa dan mamalia darat lainnya. Oleh
karena itu, Tanjung Amolengo dan Tanjung Peropa serta kawasan hutan di sekitarnya yang
terletak di ujung Selatan Sulawesi Tenggara merupakan titik terdekat penyeberangan anoa ke
Buton Utara pada era Pleitosen (1–2 juta tahun lalu). Di Buton terdapat kawasan konservasi
yang juga di huni anoa, yaitu Cagar Alam Buton Utara serta Suaka Margasatwa Lambusango
yang terletak di tengah Pulau Buton.
Sampai dengan masa Pliosen (4 juta tahun), bentang alam daratan Sulawesi belum seperti
yang terlihat saat ini yaitu menyerupai huruf K, melainkan hanya berupa satu pulau atau
massa daratan dengan bentuk yang lebih sederhana. Bagian daratan yang pertama muncul di
Sulawesi adalah yang terdapat di bagian tengah yang saat ini meliputi bentang alam berbagai
pegunungan di bagian tengah termasuk Pegunungan Gandang Dewata dan Mambulilling
di sebelah barat, Pegunungan Latimojong, Pegunungan Quarles, Pegunungan Takolekaju,
Pegunungan Nokilalaki dan sekitarnya serta pegunungan di Sulawesi Tengah bagian timur.
Sementara daratan di semenanjung utara, selatan, tenggara Sulawesi, termasuk Buton dan
pulau-pulau di sekitarnya baru muncul di atas permukaan laut pada Akhir Pliosen dan Awal
Pleistosen, dalam kisaran waktu 1–2 juta tahun. Kemunculan daratan di semenanjung utara,
selatan, timur, dan tenggara termasuk Buton ke atas permukaan laut dalam periode waktu
geologi tersebut mendorong terjadinya penyebaran dan diversifikasi fauna Sulawesi. Suatu
penyebaran secara hampir bersamaan yang disebut ‘synchronous diversification’ banyak spesies
termasuk anoa, babirusa dan babi hutan Sulawesi (Frantz et al. 2018).

9
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Keberadaan tiga spesies mamalia ungulata endemik Sulawesi, yaitu babirusa, babi hutan
Sulawesi dan anoa diperkirakan berlangsung dalam rentang waktu yang berbeda, berkisar
antara 2–14 juta tahun yang lalu. Kolonisasi leluhur babirusa terjadi lebih awal, yaitu sejak
13 juta tahun lalu, sementara leluhur anoa dan babi hutan Sulawesi berkembang dalam kurun
waktu 2–4 juta tahun (Gongora et al. 2011, Stelbrink et al. 2012, Frantz et al. 2013, Rozzi
2017). Meskipun ketiga spesies tersebut sudah berada di daratan Sulawesi bagian tengah selama
beberapa juta tahun, namun penyebaran dan kolonisasi populasinya di seluruh Sulawesi baru
terjadi dalam kurun waktu 1–2 juta tahun, yaitu setelah munculnya daratan Sulawesi lainnya
(Frantz et al. 2018). Daratan itu mencakup semenanjung utara, selatan, tenggara, dan Buton,
termasuk kepulauan Banggai di bagian timur Sulawesi serta kepulauan Sula di Maluku Utara.
Anoa hanya terdapat di daratan utama Sulawesi (Sulawesi mainland) dan Buton. Anoa
tidak terdapat di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Kepulauan Togian, Kepulauan Banggai,
Pulau Wawonii, Pulau Muna, Pulau Kabaena dan Kepulauan Tukang Besi di Sulawesi Tenggara
(Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko), meskipun pulau-pulau tersebut letaknya
relatif berdekatan dengan daratan utama Sulawesi (Mustari 1995, 2003). Sementara penyebaran
babirusa dan babi hutan selain di daratan Sulawesi, terdapat juga di Kepulauan Togian, Pulau
Buru dan Kepulauan Sula. Penyebaran babi hutan Sulawesi lebih luas karena selain pulau-pulau
tersebut, dapat dijumpai juga di Pulau Buton serta pulau-pulau di sekitarnya mencakup Muna,
Kabaena dan Wawonii di Sulawesi Tenggara. Suatu hal yang menarik, babirusa tidak terdapat
pada tiga pulau yang disebut terakhir ini (Mustari, personal observation).
Frantz et al. (2018) memperkirakan bahwa penyebaran anoa ke seluruh Sulawesi bermula
dari populasi anoa yang terdapat di Sulawesi bagian tengah dan bagian barat. Sementara
babirusa dan babi hutan Sulawesi diperkirakan populasinya berawal dari Sulawesi Tengah
bagian tengah dan bagian timur. Apabila dilihat bentang alam Sulawesi di bagian tengah dan
bagian barat saat ini, maka populasi awal anoa atau ‘populasi tua anoa’ di Sulawesi adalah
populasi yang terdapat di beberapa wilayah hutan dan pegunungan yang mencakup Gunung
Gandang Dewata, Gunung Mambulilling, Pegunungan Takolekaju, Pegunungan Latimojong,
Pegunungan Quarles di Toraja, Pegunungan Faruhumpenai, Gunung Nokilalaki dan sekitarnya.
Secara administratif wilayah-wilayah tersebut mencakup beberapa kabupaten, yaitu Majene,
Polewali-Mandar, Mamasa, Mamuju, Enrekang, Toraja, Luwu, Sigi, Donggala, Poso Selatan,
Morowali, dan Banggai.
Kondisi bentang alam, iklim, habitat, tutupan vegetasi, tipe hutan, pegunungan, dan
ketinggian habitat pada saat awal penyebaran anoa kemungkinan belum seperti yang terlihat
saat ini. Hal ini mengingat bahwa bagian barat dan bagian tengah Sulawesi termasuk kawasan
yang sangat sering dilanda gempa tektonik bermagnitudo tinggi terutama di wilayah patahan
Palu-Koro. Oleh karena itu, perubahan geologi dan bentang alam di kawasan ini sangat

10
Bab 2
EVOLUSI DAN PALAEO-ECOLOGY

dinamis. Topografi dan bentang alam (landscape) di kawasan ini sangat variatif, gabungan dari
pegunungan yang menjulang tinggi, lembah, sungai, rawa, dan danau. Kondisi ini memberikan
gambaran mengenai ekosistem dan habitat populasi awal anoa yang kemudian menyebar
ke seluruh daratan di semenanjung Sulawesi.
Ketiga spesies mamalia besar yang ada di Sulawesi yaitu anoa, babirusa, babi hutan Sulawesi,
serta spesies lain yang termasuk mamalia tidak terbang (non-volant mammals) menyebar
secara hampir bersamaan ‘synchoronous’ dalam kurun waktu 1–2 juta tahun lalu. Akibat
dari penyebaran itu salah satunya adalah terdesak atau punahnya beberapa spesies yang sudah
terlebih dahulu menghuni Sulawesi di antaranya Celebochoerus heekereni yang punah pada akhir
Pleistosen sampai Holosen, digantikan oleh babirusa dan babi hutan Sulawesi (Frantz et al.
2018).

Pliosen (4 juta tahun) Pleistosen (2 juta tahun) Pleistosen (1 juta tahun)

Gambar 2.1 Rekonstruksi geologi Sulawesi dalam 5 juta tahun lalu (Nugraha dan Hall 2016,
Frantz et al. 2018)

Studi keragaman genetik yang dilakukan oleh Burton et al. (2005) menyatakan bahwa
terdapat empat sub populasi anoa yang berbeda di Sulawesi. Keempat sub populasi tersebut
adalah sub populasi Pulau Buton, sub populasi Sulawesi Tenggara, sub populasi Sulawesi
Tengah, dan sub populasi Sulawesi Utara. Suatu hal yang menarik bahwa genetik anoa sub
populasi region Pulau Buton dan Sulawesi Tenggara lebih mirip dibandingkan dengan sub
populasi anoa dari region Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Hal ini mendukung hipotesa
bahwa populasi anoa yang ada di Pulau Buton berasal dari daratan Sulawesi Tenggara yang
diperkirakan menyebar melalui selat sempit yang memisahkan daratan utama Sulawesi dengan
pulau Buton bagian utara.

11
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Keterangan: merah~Buton, hijau~Sulawesi Tenggara, biru~Sulawesi Tengah, kuning~tidak mewakili tipe tertentu,
pink~Sulawesi Utara
Gambar 2.2 Keanekaragaman genetik dan sub populasi populasi anoa di Sulawesi
(Burton et al. 2005)

Berdasarkan karakteristik morfometrik dari 42 spesimen tengkorak anoa dari berbagai


wilayah di Sulawesi dengan menganalisis ukuran dari 44 bagian atau parameter, Kurniawan
(2010) menyatakan bahwa terdapat tiga klaster populasi anoa. Klaster pertama berasal dari
Pulau Buton, klaster kedua merupakan campuran dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Utara, serta klaster ketiga adalah spesimen tengkorak yang berasal dari
Sulawesi Tengah. Tengkorak dan tanduk anoa dari Pulau Buton mempunyai rata-rata ukuran
terbesar, sedangkan tengkorak anoa dari Sulawesi Tengah mempunyai rata-rata ukuran terkecil.
Variasi ukuran tengkorak anoa dari Sulawesi Tengah adalah yang tertinggi dibandingkan
dengan ukuran tengkorak dari region lain. Hasil studi morfometrik spesimen tengkorak anoa
(Kurniawan 2010) sesuai dengan hasil studi genetik (Burton et al. 2005).
Isolasi geografi dalam jangka waktu yang lama menyebabkan terjadinya keragaman genetik
dan keragaman morfologi pada suatu spesies. Kondisi ini pada akhirnya akan menciptakan
beberapa spesies baru. Terciptanya spesies baru akibat isolasi geografi disebut spesiasi allopatrik
(allopatric speciation) dan adaptasi di lingkungan yang baru disebut adaptive radiation. Populasi
anoa berawal di bagian tengah dan barat yang kemudian menyebar ke seluruh semenanjung
Sulawesi. Pemencaran populasi ke seluruh Sulawesi yang kemudian beradaptasi dan adanya
isolasi geografi menyebabkan terjadinya keragaman genetik dan morfologi anoa.
Bentang alam pegunungan yang mendominasi bagian tengah Sulawesi ‘memaksa’ satwa
yang ada seperti anoa untuk hidup beradaptasi pada daerah pegunungan dengan topografi yang
berat bahkan tergolong sangat terjal dan berbukit. Ukuran rata-rata berat badan anoa gunung
lebih kecil dibandingkan anoa dataran rendah. Demikian pula dengan ukuran tanduk. Ukuran
tanduk anoa gunung lebih pendek dan lebih kecil daripada tanduk anoa dataran rendah. Pada

12
Bab 2
EVOLUSI DAN PALAEO-ECOLOGY

lingkungan pegunungan yang terjal, tubuh yang lebih kecil akan lebih lincah bergerak. Demikian
pula dengan ketebalan rambut, anoa gunung memiliki rambut yang lebih tebal sebagai bentuk
adaptasinya terhadap suhu lingkungan pegunungan yang lebih dingin.
Ekosistem pegunungan ada di hampir setiap wilayah di Sulawesi, baik di semenanjung
utara, timur, tenggara, dan selatan Sulawesi. Demikian pula dengan ekositem dataran rendah,
lembah, danau, dan rawa ada di setiap wilayah. Oleh karena itu, morfologi anoa seperti yang
digambarkan sebelumnya, yaitu anoa gunung dan anoa dataran rendah sebenarnya dapat
dijumpai pada setiap wilayah. Meskipun didominasi ekosistem pegunungan, di bagian tengah
dan barat Sulawesi juga terdapat ekosistem dataran rendah, hanya ukurannya lebih kecil
dibandingkan dengan yang terdapat di semenanjung tenggara, selatan dan utara. Namun
demikian ada suatu hal yang berlaku umum, bahwa anoa yang menghuni hutan dataran rendah
ukuran tubuhnya lebih besar daripada anoa yang menghuni hutan pegunungan. Hal ini terjadi
karena bentuk adaptasi anoa pada ekosistem dan habitat seperti yang dijelaskan di atas.
Keberadaan anoa dan satwa purba Sulawesi lainnya terungkap dari studi yang dilakukan
pada dua lokasi yaitu di bawah sedimen sungai dekat Sompoh, Beru dan Celeko di Kabupaten
Soppeng, serta penemuan fosil di kompleks karts di Maros. Kedua lokasi tersebut berada
di Sulawesi Selatan. Fosil satwa yang ditemukan di Sompoh, Beru dan Celeko dinamai fauna
Cabenge, menunjuk pada nama suatu daerah yaitu Cabenge di Soppeng yang diperkirakan
berlangsung pada Akhir Pliosen, lebih 1 juta tahun lalu (Sartono 1979, Hooijer 1982).
Sementara fosil satwa yang ditemukan di situs karts Maros disebut fauna Toalian, merujuk
pada nama suatu suku yaitu Suku Toala, masih relatif baru, diperkirakan berusia sekitar 30 ribu
tahun lalu (Hooijer 1950).
Bersamaan dengan fosil anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dari fauna Cabenge,
juga ditemukan fosil satwa purba Sulawesi yang sudah punah seperti stegodon kerdil (Stegodon
sompoensis), gajah kerdil Sulawesi (Elephas celebensis), babi raksasa Sulawesi (Celeboechoerus
heekereni), babi hutan Sulawesi (Sus celebensis), babirusa (Babyrousa babyrussa), dan kura-kura
raksasa (Geochelone atlas). Di situs fauna Toalian, terdapat fosil anoa dataran rendah dan anoa
gunung, babi hutan Sulawesi, babirusa, kuskus beruang, kuskus kerdil Sulawesi, monyet hitam
Sulawesi, tulang belulang manusia (Homo sapiens), dan tikus raksasa (Lenomys meyeri)(Hooijer
1948, Musser 1984).
Berdasarkan gambaran mengenai perjalanan evolusi dan palaeo-ecology anoa di Sulawesi
maka dapat diringkas sebagai berikut. Leluhur anoa, Proamphibos (sudah punah, hanya
ditemukan dalam bentuk fosil) berasal dari Siwaliks, Asia Selatan pada era Pliosen-Pleistosen.
Sebagian dari populasi Proamphibos bermigrasi ke wilayah timur yaitu ke Asia Tenggara, melalui
dangkalan Sunda mencapai Jawa atau Kalimantan yang akhirnya sampai di Sulawesi. Ketika

13
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

leluhur anoa sampai di Sulawesi pada era Pliosen-Pleistosen, bentuk dan ukuran pulau ini
belum seperti yang terlihat saat ini. Pada saat ini baru ada daratan tua yang terdapat di bagian
tengah dan barat Sulawesi. Populasi awal leluhur anoa yang terdapat di bagian tengah dan bagian
barat Sulawesi itu kemudian menyebar ke seluruh Sulawesi setelah terbentuk atau munculnya
daratan di semenanjung utara, selatan, dan tenggara serta Pulau Buton.
Beragamnya tipe habitat, kondisi lingkungan serta bentang alam di berbagai wilayah
di Sulawesi menyebabkan beragamnya morfologi dan genetik anoa. Anoa sering disederhanakan
menjadi dua spesies, yaitu anoa yang menghuni dataran rendah disebut anoa dataran rendah
(Bubalus depressicornis) dan anoa yang terdapat di dataran tinggi atau pegunungan disebut anoa
gunung (B. quarlesi), berdasarkan studi morfologi dan studi genetik. Sesungguhnya keragaman
spesies anoa lebih dari itu. Studi genetik anoa yang lebih mendalam lambat laun menemukan
bahwa anoa memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Hal ini tidak mengherankan, berbagai populasi anoa yang menempati habitat
yang kondisinya sangat berbeda karena sejarah pembentukan geologi, iklim, dan bentang alam
di Sulawesi yang juga sangat kompleks dan beragam. Secara evolusi, kondisi ini memfasilitasi
terjadinya keragaman morfologi dan genetik, bukan hanya pada anoa tetapi pada seluruh satwa
Sulawesi, khususnya satwa yang tergolong endemik.
Leluhur anoa telah mengalami perjalanan panjang evolusi dalam rentang waktu jutaan
tahun. Leluhur anoa berada pada kondisi lingkungan yang senantiasa berubah, akibat dari
perubahan iklim dan geologi, perubahan bentang alam, perubahan habitat, hutan, serta
pegunungan. Populasi anoa sudah mengalami semuanya, beradaptasi dengan lingkungan,
dalam rangka bertahan hidup, terjadi seleksi alam yang menghasilkan morfologi dan genetik
terbaik, yaitu spesies anoa seperti yang dapat dilihat saat ini. Anoa adalah penghuni sejati hutan
Sulawesi.

14
BAB 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI
Beberapa Nama Lokal Anoa
Anoa, sejenis sapi kerdil, hidup di hutan tropis Sulawesi. Penduduk di Sulawesi
menyebut anoa dengan nama yang berbeda-beda sesuai nama daerah dari berbagai suku
di pulau tersebut. Berbagai nama daerah anoa yang berbeda di seluruh wilayah Sulawesi
mulai dari bagian utara, tengah, selatan, barat, dan timur serta tenggara Sulawesi
menggambarkan keanekaragaman bahasa daerah dari berbagai suku dan etnis, serta
sekaligus menggambarkan bagaimana tingkat keterisolasian suku-suku tersebut pada
masa lampau.
Mustari (1995) mencatat beberapa nama daerah anoa di seluruh Sulawesi, mulai
dari Minahasa dan sekitarnya anoa disebut Buulu Tutu, Bandogo Tutu, . Di Bolaang
Mongondow anoa disebut Bantong dan di Gorontalo anoa disebut Sapi Utan, Dangko
dan Langkau. Di bagian tengah Sulawesi Suku Kaili menyebutnya Nuua. Di Dampelas
Sulawesi Tengah anoa dikenal dengan nama Baulu atau Buulu. Di Buol Toli-Toli anoa
dikenal dengan nama Bukuya dan Bokulru. Etnis Kulawi mengenal anoa dengan
nama Lupu, dan etnis Tobaku di sekitar Kulawi menyebut anoa dengan nama daerah
Ntokoo. Di Lembah Bada Sulawesi Tengah, anoa dinamai Tometungka. Suku Pamona
di Pegunungan Takolekaju menyebut anoa dengan nama Benci (baca e seperti enak).
Sementara suku Rongkong di Luwu Utara menyebit anoa dengan nama Nuang. Di
Toraja bagian barat termasuk di daerah Mamasa, anoa dikenal dengan nama lokal
Tokata. Beberapa daerah di Sulawesi Selatan menyebut anoa dengan nama Soko. Bahkan
ada obat tradisional yang sering dijual pedagang obat kaki lima di pasar tradisional
berupa minyak kelapa dan dicampur beberapa ramuan tumbuhan obat tertentu disebut
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

minyak Soko karena pada ramuan tersebut juga direndam atau ditaruh tanduk dan tengkorak
anoa sebagai penambah khasiat. Obat tradisional ini sering dipakai sebagai obat gosok atau obat
urut.
Pada suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, anoa disebut Kadue, dan dapat membedakan dua
jenis anoa yaitu Kadue Meeto untuk anoa yang warnanya hitam atau anoa dataran rendah
dan Kadue Wosula untuk anoa gunung gunung (Wosu artinya gunung). Di daerah Malili
termasuk sekitar Danau Matano penduduk menyebut anoa dengan nama Anuang. Dalam
bahasa Indonesia, satwa ini dikenal dengan nama anoa, namun ada juga yang menyebutnya sapi
hutan atau sapi cebol Sulawesi (Mustari 1995). Namun meskipun sering disebut sapi cebol
atau sapi kerdil, tetapi secara taksonomi, anoa termasuk marga kerbau, Bubalus, anak marga
Anoa. Ada yang mengklasifikasikan anoa dalam marga tersendiri yaitu Anoa. Secara keseluruhan
tercatat sebanyak 23 nama daerah anoa di Sulawesi. Tidak diketahui secara pasti nama anoa
yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari daerah mana, tetapi yang paling mungkin
adalah kata ‘anoa’ diadopsi dari nama daerah satwa tersebut di daerah Buton (Noa), Malili
(Anuang), Rongkong (Nuang, Nua), dan Kaili (Nuua). Namun perlu juga dicatat bahwa Suku
Mangyans dan beberapa suku yang tinggal di daerah pegunungan di bagian selatan barat daya
Pulau Mindoro, Philipina Selatan, menyebut tamaraw (Bubalus mindorensis), endemik Pulau
Mindoro dengan nama anuang (Manuel 1957).
Berikut beberapa nama daerah anoa di Sulawesi yang dicatat oleh penulis (Mustari, 1995,
2003; Mustari, personal observation):
Nama daerah Suku dan daerah
Buulu tutu, bandogo tutu : Minahasa, Sulawesi Utara
Bantong : Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
Sapi utan, Dangko, Langkau : Gorontalo
Nuua : Kaili, Sulawesi Tengah
Baulu, Buulu : Dampelas, Sulawesi Tengah
Bokulru dan Bukuya : Tolitoli, Sulawesi Tengah
Lupu : Kulawi, Sulawei Tengah
Ntokoo : Tobaku, Sulawesi Tengah
Tometungka : Lembah Bada, Sulawesi Tengah
Benci (baca e seperti dalam kata enak) : Pamona, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan
Nuang, Nua : Rongkong, Luwu Utara, Sulawesi Selatan
Tokata : Mamasa, Toraja, Sulawesi bagian barat
Anoang matjetjo (maceco) : Toraja, untuk anoa gunung
Anuang : Malili dan Matano, Sulawesi Selatan
Kadue : Tolaki, Sulawesi Tenggara
Noa : Buton
Soko : Bugis, Sulawesi Selatan

16
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Dalam berbagai bahasa di luar Indonesia, anoa dataran rendah dikenal dengan nama
Lowland anoa (Inggris), Anoa des plaines (Prancis), Anoa (Jerman), Anoa de Ilanura (Spanyol),
dan Anoa di pianura (Itali). Sementara anoa gunung disebut Mountain anoa atau Quarles anoa
(Inggris), Anoa de quarle dan Anoa des montagnes (Prancis), Berganoa (Jerman), Anoa de
Montana (Spanyol), dan Anoa di montagna (Itali) (IUCN 2013).

Taksonomi
Berapa jumlah spesies anoa di Sulawesi masih diperdebatkan oleh para ahli taksonomi. Ada
yang menyatakan bahwa ada dua spesies anoa yaitu anoa dataran rendah Bubalus depressicornis
dan anoa gunung Bubalus quarlesi (Harper 1945, Groves 1969, Honacki et al. 1982, Corbet
& Hill 1992, Wilson & Reeder 1993). Ada juga yang berpendapat bahwa anoa hanya ada satu
spesies dengan dua atau tiga subspesies Bubalus depressicornis depressicornis, B.d. quarlesi, dan
B.d.fergusoni (Laurie & Hill 1954, Dolan 1965, Fradrich 1973, Weise 1979).
Deskripsi ilmiah pertama mengenai anoa dilakukan oleh Hamilton Smith (1827) yang
memberi nama Antilope depressicornis, berdasarkan deskripsi morfologi tengkorak dan tanduk
anoa yang ada di sebuah museum di Inggris. Hamilton Smith (1827) menganggap anoa satu
genus dengan antelop. Kata depressicornis berasal dari kata depressed yang arti harfiahnya adalah
tertekan atau memipih karena apabila pangkal tanduk anoa tersebut dipotong, maka potongan
melingkar (cross-section) berbentuk agak pipih atau ‘depressed’, tidak bulat seperti potongan
melintang silinder berupa cincin. Sementara pada anoa gunung (Bubalus quarlesi), kata quarlesi
merujuk pada asal dua anoa hidup yang dideskripsikan morfologinya oleh Ouwens (1910) yang
berasal dari kawasan hutan di Pegunungan Quarles di wilayah Toraja.
Ada yang menganggap bahwa anoa merupakan genus tersendiri yaitu genus Anoa, terpisah
dari genus Bubalus (Simpson 1945, Bohlken 1958, Geraads 1992, McKenn &Bell 1997).
Sementara yang lain menempatkan anoa dalam genus Bubalus (Groves 1969 dan 1981, Grubb
2005, IUCN 2013) yang banyak dijadikan rujukan saat ini Bubalus (Anoa) depressicornis dan
anoa gunung Bubalus (Anoa) quarlesi. Groves (1969, 1981) menempatkan Anoa sebagai subgenus
dari Bubalus yang menegaskan bahwa anoa sangat berbeda dari anggota Bubalus lainnya.
Sugiri dan Hidayat (1996) menyatakan kemungkinan lebih dari dua spesies anoa
di Sulawesi berdasarkan analisis mtDNA cytochrome b (cytb) sembilan individu anoa dari
kebun binatang dan lima anoa dari Sulawesi Tengah. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Schreiber et al. (1999) dan Burton et al. (2005) yang menemukan jumlah kromoson yang
sangat beragam yaitu 2n=36, 38, 42, 44, 45, 46, 47, dan 48 mengindikasikan tingginya variasi
genetik anoa di Sulawesi, serta kemungkinan adanya speseis baru berdasarkan variasi genetik
anoa di seluruh Sulawesi. Pranadewi (1998) melaporkan bahwa lima anoa di Kebun Binatang

17
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Ragunan memiliki jumlah kromosom yang bervariasi 2n=38, 42, 45, 46, namun semuanya
memiliki jumlah lengan kromosom, Nombre Fondamental Matthey (NF) yang sama yaitu 60,
kelimanya menunjukkan morfologi kariotip anoa gunung. Burton et al. (2005) menyatakan
bahwa di Sulawesi terdapat minimal empat sub populasi anoa yang memiliki keragaman genetik
yang berbeda, yaitu sub populasi Buton, sub populasi Sulawesi Tenggara, sub populasi Sulawesi
Tengah, dan sub populasi Sulawesi Utara.
Hasil penelitian Priyono et al. (2018) mengenai genetik anoa dengan metode barcoding
DNA menunjukkan bahwa sepuluh individu anoa, masing-masing lima individu anoa yang
terdapat di Anoa Breeding Centre, Manado, Sulawesi Utara dan lima individu anoa yang
terdapat di Bontomarannu Education Park, Gowa Sulawesi Selatan memiliki jarak genetik
yang lebih tinggi (3,4%) daripada ambang batas yang memisahkan spesies. Selain itu juga
menyatakan bahwa anoa yang terdapat di Anoa Breeding Centre termasuk anoa dataran rendah
(Bubalus depressicornis) dan anoa yang menjadi koleksi Bontomarannu Education Park adalah
anoa gunug (B. quarlesi). Sebagai catatan bahwa anoa yang diteliti oleh Priyono et al. (2018)
yang ada di Anoa Breeding Centre, Manado secara geografis berasal dari berbagai wilayah
yang terletak di semenanjung tengah-utara (Palu) dan utara (Tolitoli, Gorontalo, Bolaang
Mongondow) Sulawesi. Sementara anoa yang ada di Bontomarannu Education Park, Gowa
secara geografis berasal dari wilayah pegunungan di bagian tengah-selatan Sulawesi yaitu
Sidendereng Rappang, Luwu dan Seko (Luwu Utara). Daerah tersebut berdasarkan bentang
alam, termasuk dalam wilayah Pegunungan Latimojong, Pegunungan Quarles dan Pegunungan
Takolekaju yang oleh Frantz et al. (2018) disebut sebagai salah satu wilayah asal populasi anoa
yang kemudian menyebar ke seluruh Sulawesi ‘synchronous diversification’ setelah semenanjung
utara, selatan dan tenggara Sulawesi, Togian, Banggai dan Sula terbentuk pada Akhir Pliosen
dan Awal Pleistosen, atau dalam kisaran waktu 1–2 juta tahun.
Proses evolusi yang mengkibatkan terjadinya perbedaan dan pemisahan taksonomi anoa
dataran rendah dan anoa gunung terjadi sekitar 2 juta tahun yang lalu dan dengan kerbau
rawa (Bubalus arnee carabanensis) dan tamaraw (Bubalus mindorensis) diperkirakan terjadi
sekitar 1,5 juta tahun (Tanaka et al. 1996). Perbedaan anoa dataran rendah dan anoa gunung
berdasarkan mtDNA cytochrome b (cytb) adalah 3,6%, dan dengan kerbau air sebesar 3,33%.
Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan susunan mtDNA anoa dataran rendah dan anoa
gunung lebih tinggi daripada antara anoa dengan kerbau air (Tanaka et al. 1996). Berdasarkan
mtDNA cytochrome b (cytb) tersebut diketahui bahwa perbedaan genetik anoa dataran rendah
dan anoa gunung lebih besar dibandingkan dengan anoa daratan rendah dengan kerbau air.
Kakoi et al. (1994) menyatakan bahwa leluhur anoa gunung bermigrasi ke Sulawesi lebih awal
dibandingkan leluhur anoa dataran rendah dengan perbedaan rentang waktu geologi sekitar 2
juta tahun. Sementara Frantz et al. (2018) menyatakan bahwa penyebaran populasi anoa (tidak

18
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

disebutkan apakah anoa gunung atau anoa dataran rendah) diperkirakan bermula dari bagian
tengah dan barat Sulawesi daratan Sulawesi yang kemudian menyebar secara hampir bersamaan
(synchronous diversification) ketika semenanjung utara, selatan dan tenggara Sulawesi muncul ke
atas permukaan laut membentuk daratan.
Terlepas dari berapa spesies anoa di Sulawesi, secara morfologi dapat dibedakan minimal
dua spesies yaitu yang warnanya hitam dan ukuran tubuhnya lebih besar lebih sering dijumpai
di hutan dataran rendah dan yang warnanya cokelat kemerahan umumnya menghuni hutan-
hutan pegunungan. Namun demikian sesungguhnya variasi dan gradasi warna sangat beragam,
mulai dari hitam pekat, agak hitam, hitam keabuan, hitam kecokelatan, hitam kemerahan,
dan seterusnya. Demikian pula dengan variasi bentuk tanduk anoa yang sangat tinggi yang
menunjukkan adanya adaptasi lokal. Oleh karena itu, adanya variasi morfometris (ukuran
tubuh, bentuk dan ukuran tanduk, warna rambut dan kulit, dan lain-lain) dan genetik
yang tinggi mendukung hipotesis bahwa kemungkinan terdapat lebih dari dua spesies anoa
di Sulawesi.
Anoa dataran rendah Bubalus depressicornis (C.H. Smith 1827)
Sinonim Antilope depressicornis, Bos bubalus anoa, Bos depressicornis fergusoni,
Oreas platyceros, Probubalus celebensis
Anoa gunung Bubalus quarlesi (Ouwens 1910)
Sinonim Anoa quarlesi, Anoa anoa, Bubalus depressicornis quarlesi

Secara umum anoa diklasifikasikan sebagai berikut:


Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Klas : Mammalia
Sub Klas : Theria
Infra Klas : Metatheria
Ordo : Artiodactyla/Cetartiodactyla
Sub Ordo : Ruminantia
Famili : Bovidae
Tribe : Bovini
SubTribe : Bubalina
Genus : Bubalus
Subgenus : Anoa
Spesies : Bubalus depressicornis (C.H. Smith 1827)
: Bubalus quarlesi (Ouwens 1910)

19
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Anoa di antara Beberapa Spesies Kerbau


Terdapat lima spesies kerbau yang masih hidup sampai saat ini (IUCN 2013), yaitu:
1. Kerbau air Asia Bubalus arnee (Kerr 1792) sinonim Bubalus bubalis (Linnaeus 1758),
penyebaran alaminya terdapat di India, Bhutan, Nepal, Kamboja, dan Thailand. Kerbau
air Asia terdiri dari tiga subspesies yaitu kerbau air yang masih liar (Bubalus arnee arnee)
dan dua subspesies yang sudah didomestikasi yaitu kerbau rawa (B. a. carabanensis), dan
kerbau sungai atau kerbau air (B. a. bubalis).
2. Tamaraw Bubalus mindorensis (Heude 1888) endemik Pulau Mindoro Philipina.
3. Anoa dataran rendah Bubalus depressicornis (C.H. Smith 1827), endemik Sulawesi.
4. Anoa gunung Bubalus quarlesi (Ouwens 1910), endemik Sulawesi.
5. Kerbau Afrika Syncerus caffer, terdapat di Afrika, terdiri atas empat sub spesies (Cornelis
et al. 2014), yaitu (1) Cape buffalo Syncerus caffer caffer (Sparrman 1779), (2) West
African savanna buffalo S. c. brachyceros (Gray 1837), (3) Central African savanna buffalo
atau biasa diesebut Nile Buffalo S. c. aequinoctialis (Blyth 1866), dan (4) Forest buffalo
S.c. nanus (Boddaert 1785) yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil serta menghuni habitat
berhutan atau yang bervegetasi rapat dengan nama umum dwarf buffalo dan red buffalo.
Kerbau rawa memiliki postur tubuh serta ukuran tanduk yang lebih besar dibandingkan
kerbau sungai. Selain itu kerbau rawa lebih menyukai habitat berupa rawa dan lumpur
dibandingkan dengan kerbau air yang lebih menyukai habitat di mana terdapat air yang cukup
melimpah seperti danau, sungai untuk mandi atau berendam. Meskipun demikian kerbau
rawa juga sering dijumpai berendam di sungai atau air yang tergenang luas seperti kerbau yang
dipelihara oleh masyarakat di danau dan rawa di Kalimantan Selatan. Kerbau sungai terutama
dimanfaatkan sebagai penghasil susu sementara kerbau rawa banyak digunakan di Asia Selatan
dan Asia Tenggara sebagai hewan untuk mengangkut dan menarik beban serta membajak
sawah.
Kerbau adalah sumber protein hewani, dagingnya sering disajikan dalam berbagai acara
adat mapun untuk pesta. Di Sulawesi Selatan, daging hewan yang paling sering digunakan
dalam pembuatan Coto Makassar adalah daging kerbau karena memiliki cita rasa yang khas
dan diminati oleh para penikmat coto yang merupakan salah satu kuliner khas kota Angin
Mamiri itu.

20
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Di Indonesia, kerbau rawa dipelihara secara luas di seluruh pelosok terutama di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Kerbau ini menjadi aset penting bagi masyarakat
di pedesaan, harga jualnya sama dengan sapi bahkan di beberapa daerah harganya lebih tinggi
daripada sapi. Kerbau dipelihara untuk menunjang ekonomi keluarga. Di daerah Toraja, kerbau
rawa memiliki nilai adat dan budaya yang tinggi khususnya dalam acara Rambu Solo, yaitu
upacara adat kematian. Pada upacara tersebut puluhan bahkan ratusan ekor kerbau dipotong.
Demikian pula masyarakat yang menganut kepercayaan Hindu Kaharingan di Kalimantan
Tengah dalam upacara Tiwah, yaitu suatu acara adat yang dipandang sakral dan mistis yang
dilakukan untuk mengantar dan memudahkan perjalan roh orang yang telah meninggal menuju
nirwana. Pada acara adat Tiwah puluhan ekor kerbau dipotong yang kemudian dikonsumsi
secara komunal dalam acara tersebut. Hal yang sama terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara
Timur kerbau memiliki nilai adat dan nilai ekonomi yang tinggi. Kerbau beserta hewan ternak
lainnya seperti sapi dan kuda digunakan sebagai Belis, yaitu mahar yang harus disediakan oleh
keluarga pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak perempuan dalam acara perkawinan.
Jumlah kerbau yang dipotong atau dikorbankan, baik dalam acara Rambu Solo di Toraja,
Tiwah di Kalimantan, dan Belis di Sumba dapat menunjukkan status dan gengsi keluarga.
Semakin banyak jumlah kerbau yang dipersembahkan semakin tinggi status dan strata sosial
keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, tanduk dan kepala kerbau biasa dipasang di
dinding depan rumah adat Tongkonan pada adat Toraja dan rumah keluarga atau rumah adat
di Kalimantan dan Sumba.

Gambar 3.1 Kerbau rawa di Indonesia (Foto Abdul Haris Mustari)

21
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 3.2 Tanduk kerbau rawa dipajang di dinding depan rumah adat di kampung Tarung,
Waikabubak, Sumba Barat (kiri) dan patung kerbau rawa bule, tedong bonga,
di alun-alun kota Mamasa, Sulawesi Barat (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)

Di Kalimantan Selatan, di kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan,
kerbau rawa dipelihara di lingkungan danau. Pemilik kerbau membangun kandang khusus
untuk kerbau di tengah danau, berupa kandang panggung, berbahan kayu kuat dan awet,
biasanya berbahan kayu ulin. Satu kandang dapat menampung 20–50 ekor kerbau. Kandang
tersebut juga berfungsi sebagai tempat untuk berkembang biak, di mana induk-induk kerbau
melahirkan anak-anaknya. Pada pagi hari pukul 07.00, penggembala kerbau melepas kawanan
kerbaunya dari kandang, menggiringnya ke bagian danau yang banyak ditumbuhi rerumputan
tinggi, eceng gondok dan semak yang tumbuh di danau. Sang pengembala menggiring kerbau
menggunakan sampan kecil karena air danau yang cukup dalam. Kerbau adalah perenang
yang mahir. Sore menjelang magrib, kawanan kerbau digiring ke kandang untuk istirahat, juga
dengan menggunakan perahu sampan.

22
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Gambar 3.3 Kehidupan kerbau rawa di danau Sungai Buluh, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan
Selatan (Foto Abdul Haris Mustari)

Di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kerbau rawa yang dipelihara,
digembalakan, dan bahkan dilepas secara bebas di alam dalam jumlah mencapai puluhan
bahkan ratusan ekor. Kerbau yang lepas banyak di antaranya yang menjadi feral seperti
yang terdapat di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo. Demikian pula di Taman Nasional
Baluran, Jawa Timur kerbau rawa yang asalnya adalah kerbau yang dipelihara oleh penduduk,
kemudian beberapa individu yang lepas ke hutan dan kemudian menjadi populasi kerbau feral
dan berkembang biak mencapai lebih seribu. Kerbau feral di taman nasional ini di era 1980-
an menjadi masalah ekologi karena menyaingi populasi banteng yang termasuk dilindungi
terutama dalam penggunaan sumberdaya pakan, air dan tempat berlindung. Pihak manajemen
taman nasional akhirnya melakukan penangkapan kerbau feral tersebut untuk mengurangi
populasinya untuk memberi kesempatan kepada jenis mamalia asli seperti banteng dan rusa
timor di TN Baluran agar dapat berkembang biak lebih baik.

23
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Di Northern Territory, Australia, kerbau rawa dimasukkan ke benua itu pada tahun
1830-an yang kemudian berkembang biak dalam jumlah yang sangat fantastis, mencapai
ratusan ribu ekor yang merupakan populasi kerbau feral. Populasi kerbau feral ini akhirnya
juga menyebabkan masalah ekologi di bagian utara Australia. Vegetasi asli berubah, demikian
pula dengan landscape atau bentang alam berubah karena tercipta banyak rawa dan kubangan
kerbau, injakan kaki ratusan ribu kerbau memadatkan tanah dan jenis mamalia asli terdesak,
khususnya satwa herbivor seperti kanguru, walaru dan wallaby. Akhirnya juga dilakukan upaya
pengurangan populasi kerbau feral di negara tersebut.
Satwa feral adalah satwa yang asal usulnya merupakan satwa yang dipelihara penduduk atau
memang sengaja dilepas. Satwa yang lepas ke alam kemudian berkembang biak membentuk
suatu populasi tersendiri yang disebut populasi feral. Sementara satwaliar adalah satwa yang
secara genetik liar dan belum pernah dipelihara manusia, hidup bebas di habitatnya.

24
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Anoa dataran rendah Bubalus depressicornis, Anoa gunung Bubalus quarlesi, 60–80 kg
80–100 kg, Foto: Abdul Haris Mustari Foto: Abdul Haris Mustari

Tamaraw Bubalus mindorensis, Kerbau rawa Bubalus arnee carabanensis,


200–274 kg, Foto: Earth 800–1000 kg, Foto: Abdul Haris Mustari

Kerbau air Asia (Bubalus arnee arnee), Kerbau Afrika (Syncerus caffer),
800–1000 kg, IUCN Red List 500–1000 kg, IUCN Red List

Gambar 3.4 Morfologi anoa di antara beberapa jenis kerbau dunia

25
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Berat badan anaoa dataran rendah berkisar 80–100 kg (ada yang mencapai 120 kg, tetapi
jarang) dan anoa gunung sekitar 60–80 kg. Kerbau air Asia, serta dua sub spesies turunannya,
kerbau rawa dan kerbau sungai memiliki berat badan 800–1000 kg. Kerbau Afrika bobot
bandannya berkisar 500–1000 kg. Berdasarkan berat badan beberapa jenis kerbau diketahui
bahwa anoa adalah jenis kerbau terkecil di dunia. Karena ukurannya kecil untuk kategori
kerbau, maka anoa disebut juga kerbau kerdil atau kerbau cebol (dwarf buffalo). Pada beberapa
literatur disebutkan bahwa berat badan anoa dataran rendah berkisar 150–300 kg, akan tetapi
dari seluruh individu anoa yang telah ditimbang berat badannya, tidak satupun yang mencapai
150 kg mengindikasikan bahwa berat badan anoa yang tercatat dalam beberapa literatur
sebelumnya kemungkinan terlalu tinggi.
Ukuran tubuh anoa yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis kerbau lainnya, baik
genus Bubalus maupun genus Sincerus dan dengan leluhurnya yang berasal dari daratan Asia
Selatan kemungkinan mengikuti teori Island Rule/Foster Rule yang biasa disebut juga Island
Syndrome. Lomolino (2005) menyatakan bahwa keterbatasan sumberdaya dan ketidakhadiran
predator besar menyebabkan terjadinya pengerdilan ukuran tubuh satwa besar yang hidup
pada ekosistem pulau. Demetrius (2000) menjelaskan bahwa Island Rule/Foster Rule (Foster
1964) adalah perubahan ukuran tubuh yang terjadi karena perpindahan spesies dari daratan
ke pulau di mana pola perubahan morfologi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) satwa
yang ukuran tubuhnya besar akan berevolusi menuju ukuran yang lebih kecil; (2) satwa ukuran
menengah, tidak ada gejala khas dalam perubahan ukuran tubuh; dan (3) satwa ukuran kecil,
berevolusi menuju ukuran yang lebih besar. Salah satu mekanisme yang bekerja pada satwa
yang berukuran besar dan kecil adalah terkait dengan wilayah jelajah di mana pada pulau yang
berukuran kecil, wilayah jelajah bagi satwa yang berukuran besar akan terbatas, tetapi tidak bagi
satwa yang berukuran kecil. Pada wilayah jelajah yang lebih kecil, persediaan dan kelimpahan
sumberdaya terutama makanan, air dan tempat berlindung terbatas. Salah satu implikasinya
adalah satwa yang berukuran besar berevolusi menjadi lebih kecil di pulau. Sementara satwa
yang berukuran kecil ketika bermigrasi ke pulau dapat meningkatkan akses ke sumberdaya
apabila tubuhnya menjadi lebih besar serta tidak ada atau kurangnya kompetisi (Witting 1997).
Selain itu satwa berukuran kecil akan mengalami proses yang disebut ‘ecological release’ atau
lepasnya suatu spesies dari tekanan ekologi karena tidak terdapat atau berkurangnya predator
sehingga tubuhnya menjadi lebih besar. Perubahan ukuran tubuh suatu spesies berjalan seiring
dengan rangkaian evolusinya.
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa leluhur anoa berasal dari
wilayah Asia Selatan, pada lapisan sedimen Middle Siwaliks, Proamphibos, yang bermigrasi ke
wilayah timur akhirnya mencapai daratan Sulawesi pada era Pliosen-Pleistosen. Dibandingkan
dengan daratan utama (mainland) Asia, Sulawesi adalah pulau yang kecil ukurannya. Apalagi
ketika leluhur anoa bermigrasi, bentuk dan ukuran Pulau Sulawesi belum seperti yang terlihat

26
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

sekarang. Pada saat itu daratan yang ada atau yang muncul di atas permukaan laut baru terdapat
di bagian tengah Sulawesi. Karena itu dalam perjalanan evolusinya, ukuran tubuh anoa menjadi
lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tubuh leluhurnya, salah satunya karena terbatasnya
sumberdaya. Tambahan lagi tidak terdapat predator besar di Sulawesi seperti harimau (Panthera
tigris) dan macan tutul (Panthera pardus). Hal yang sama terjadi pada tamaraw yang endemik
Pulau Mindoro, Philipina. Meskipun kedua jenis kerbau ini, anoa dan tamaraw, memiliki rute
migrasi yang berbeda di mana leluhur anoa mencapai Sulawesi dan leluhur tamaraw mencapai
Pulau Mindoro (van den Berg et al. 2001).
Selain berat tubuh yang paling kecil di antara jenis-jenis kerbau, anoa adalah yang paling
soliter serta mendiami habitat yang paling rapat tutupan vegetasinya, ekosistem hutan tropis
yang memiliki struktur bentang alam yang paling kompleks. Variasi habitat sangat tinggi
membentang mulai dari ekosistem hutan mangrove, hutan pantai, hutan dataran rendah
sampai ekosistem hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas yang memiliki topografi
sangat berat bahkan tergolong ekstrem. Sementara kerbau air Asia Bubalus arnee umumnya
mendiami habitat yang relatif terbuka pada ekosistem savana dan rawa. Demikian juga dengan
kerbau Afrika, Syncerus caffer, habitatnya adalah padang rumput dan savana, kecuali untuk
subspesies S.c. nanus, habitatnya adalah hutan, meskipun vegetasinya tidak serapat hutan tropis
serta bentang alamnya yang tidak sekompleks habitat anoa di Sulawesi.

Morfologi
Anoa termasuk satwa berkuku genap, bentuk kepala menyerupai kepala sapi, tanduk
tumbuh lurus dan mengarah ke belakang. Groves (1969) menggambarkan bahwa Tinggi
gumba anoa 690–1060 mm. Anoa dataran rendah memiliki warna putih di bagian metacarpal,
panjang ekor mencapai lutut, rambut lebih jarang pada individu dewasa, potongan melintang
pangkal tanduk ‘triangular’ atau bersegi tiga dan terdapat ‘wrinkled’ berupa cincin atau spiral
pada bagian dasar sampai pertengahan panjang tanduk, panjang tanduk 271–373 mm pada
anoa jantan dan 183–260 mm pada anoa betina; panjang tengkorak 298–322 mm pada jantan
dan 290–300 mm pada betina.
Pada anoa gunung, warna tungkai sama dengan warna badan, ekor pendek, tidak mencapai
lutut, potongan melingkar pangkal ekor bulat, tidak ada ‘wrinkled’ atau garis-garis cincin pada
pangkal tanduk. Tinggi gumba 630 mm, panjang tanduk 146–199 mm, dan panjang tengkorak
244–290 mm. Anoa gunung memiliki rambut warna cokelat cerah, terdapat bercak putih kecil
di bagian atas kuku, rambut panjang, lembut dan menyerupai wool. Panjang ekor sekitar 18cm,
dan bagian dalam telinga berwarna cokelat tua.

27
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 3.1 Deskripsi morfologi anoa dataran rendah dan anoa gunung
Deskripsi/bagian badan Anoa dataran rendah Anoa gunung
Berat badan 80–100 kg 50–70 kg
(kadang mencapai 110/120 kg)
Tinggi gumba 69–106 cm 63 cm
Panjang badan 170–190 cm 120–155 cm
Panjang ekor lebih 18 cm 18 cm
Panjang tengkorak 298–322 mm 244–290 mm
(jantan), 290–300 mm (betina)
Panjang tanduk 271–373 mm (jantan), 146–199 mm,
183–260 mm (betina)
Bentuk tanduk besar, kokoh, dari dasar sampai agak kecil, tidak atau sedikit
pertengahan panjang tanduk ‘wrinkled’ dan potongan
terdapat garis melingkar melingkar dasar tanduk
‘wrinkled’ yang sangat jelas, berbentuk bulat
potongan melingkar dasar tanduk
berbentuk segitiga ‘triangular’
Warna rambut hitam, cokelat kehitaman cokelat kehitaman, cokelat cerah
Rambut tebal/tipis relatif tipis tebal
Rambut lurus/wolly agak kasar, lurus agak lembut, sedikit ikal ‘woolly’
Tungkai depan warna agak putih/terang warna sama dengan badan
White spot di atas kuku terdapat bercak putih yang jelas tidak ada bercak putih/tidak jelas
antara lutut dan kuku di antara lutut dan kuku
White crescent pada lingkar ada atau kadang ada tidak ada
bawah leher

Anoa yang baru lahir warna rambutnya hitam kecokelatan. Setelah beberapa bulan dan
menjadi anoa muda, rambutnya berubah menjadi kuning kecokelatan, dan setelah dewasa warna
rambut hitam sampai hitam kecokelatan untuk anoa dataran rendah dan cokelat kemerahan
untuk anoa gunung. Rambut anoa gunung lebih tebal dan ‘woolly’ daripada anoa dataraan
rendah. Umumnya rambut anoa jantan lebih gelap daripada yang betina. Pada beberapa
individu terdapat bercak putih pada bagian rahang, di bagian tenggorokan terdapat warna
putih berbentuk sabit atau white crescent.

28
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Beberapa individu anoa telah ditimbang dan diketahui berat badannya. Di antaranya anoa
yang berasal dari Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara, anoa yang menjadi
koleksi Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta dan anoa yang terdapat di Anoa Breeding Centre,
Manado, Sulawesi Utara. Beberapa individu anoa yang terdapat di Anoa Breeding Centre
merupakan anoa yang dipelihara atau dikuasai oleh individu masyarakat di berbagai lokasi
seperti Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Anoa tersebut kemudian diserahkan
kepada pihak BKSDA Sulawesi Utara, yang selanjutnya dititipkan ke Anoa Breeding Centre
(ABC).

Tabel 3.2 Berat tubuh anoa dari beberapa wilayah di Sulawesi


No Nama Anoa Jenis Kelamin Lokasi/Asal Anoa Berat Badan (kg) Sumber Data
1 Tina Betina dewasa Tanjung Peropa 79 Mustari (2003)
2 Mburi Betina dewasa Tanjung Peropa 110 Mustari (2003)
3 Bio Jantan dewasa Tanjung Peropa 87 Mustari (2003)
4 Botaone Betina dewasa Tanjung Peropa 85 Mustari (2003)
5 Lambusango Betina dewasa Buton 80 Mustari (2003)
6 Marleni Betina dewasa Ragunan 110 TM Ragunan
7 Buton Jantan dewasa Ragunan 56 TM Ragunan
8 Murni Betina dewasa Ragunan 94 TM Ragunan
9 Poso Jantan dewasa Ragunan 95 TM Ragunan
10 Hanan Jantan dewasa Ragunan 97 TM Ragunan
11 Rambo Jantan dewasa Tolitoli 110 ABC
12 Manis Betina dewasa Palu 100 ABC
13 Ana Betina dewasa Palu 83,5 ABC
14 Denok Betina dewasa Palu 94,5 ABC
15 Rocky Jantan muda, 3,5 tahun Bolaang Mongondow 50 ABC
16 Stella Betina muda Napu, Poso 43 ABC

29
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 3.5 Morfologi anoa dataran rendah dari dua lokasi yang berbeda: Suaka Margasatwa
Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara (kiri) dan Tolitoli, Sulawesi Tengah bagian
utara (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 3.6 Morfologi anoa gunung, berasal dari wilayah Luwu (kiri) dan Sidenreng (kanan),
keduanya merupakan kawasan Pegunungan Latimojong dan sekitarnya, Sulawesi
Selatan (Foto Abdul Haris Mustari)

30
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Rambo (jantan) 110 kg, Tolitoli Manis (betina) 100 kg, Palu

Denok (betina) 94,5 kg, Palu Ana (betina), 83,5 kg, Palu

Rocky (jantan) 50 kg, Bolaang Mongondow, Rita (betina), Gorontalo


Sulawesi Utara

Gambar 3.7 Morfologi anoa yang terdapat di Anoa Breeding Centre, Manado; secara geografis
anoa berasal dari semenanjung tengah-utara (sekitar Palu), dan utara (Tolitoli,
Gorontalo, dan Bolaang Mongondo (Foto Abdul Haris Mustari).

31
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Ambo Sidenreng (jantan),Sidenreng Indo Sidenreng (betina), Sidenreng

Ambo Luwu (jantan), Luwu Indo Luwu (betina), Luwu

Indo (betina) dan Ambo (jantan) Luwu Indo Seko (betina)-Seko Luwu Utara

Gambar 3.8 Morfologi anoa yang terdapat di Bontomarannu Education Park, Gowa; secara
geografis berasal dari wilayah pegunungan di bagian tengah-selatan Sulawesi,
meliputi Sidendereng Rappang, Luwu dan Seko (Luwu Utara), berdasarkan
bentang alam, termasuk dalam wilayah Pegunungan Latimojong (Foto Abdul
Haris Mustari)

32
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Anoa yang menjadi koleksi Anoa Breeding Centre umumnya termasuk anoa dewasa
dengan perkiraan umur lebih 6 tahun, kecuali dua individu muda yaitu Rocky (jantan), Rita
(betina), dan Stella (betina) yang berdasarkan morfologi dan panjang tanduk, berumur di bawah
4 tahun pada tahun 2016. Sementara anoa yang menjadi koleksi Bontomarannu Education
Park umumnya masih tergolong anoa muda, dengan perkiraan umur berkisar 1,5–2,5 tahun,
kecuali satu individu betina dewasa yaitu Indo Sidenreng yang diperkirakan berumur lebih 6
tahun. Sebagai catatan, semua anoa tersebut di atas lahir di alam, kemudian ada yang ditangkap
dan dipelihara oleh penduduk lokal, yang kemudian menjadi koleksi kedua institusi tersebut,
sehingga tidak diketahui umurnya yang pasti, hanya perkiraan berdasarkan morfologi, warna
rambut, gigi, dan panjang tanduk pada saat penulis mendokumentasikan foto pada tahun
2016.

Morfologi dan Struktur Umur


Bobot badan bayi anoa yang baru lahir berkisar 3–4 kg, namun dalam beberapa
kejadian, bayi anoa bisa mencapai bobot 6 kg bahkan lebih. Panjang badan bayi anoa sekitar
50–60 cm. Secara umum struktur umur anoa terdapat lima kategori yaitu bayi, anak, muda,
setengah dewasa, dan dewasa. Bayi anoa berumur 0–3 bulan, anak 3 bulan–1,5 tahun, muda
1,5–2,5 tahun, setengah dewasa 2,5–4 tahun, dan dewasa lebih 4 tahun. Namun demikian,
struktur umur anoa dapat dikategorikan menjadi lebih sederhan yaitu anak (0–2 tahun), muda
(2–4 tahun) dan dewasa lebih 4 tahun. Secara biologis, anoa mulai menunjukkan tanda puber
atau birahi pada umur 2–3 tahun. Akan tetapi, kematangan usia untuk melakukan perkawinan
baru tercapai pada umur sekitar 3 tahun untuk anoa betina dan 4 tahun untuk anoa jantan.
Di alam, meskipun anoa telah mencapai umur dewasa, 3–4 tahun, tidak serta merta anoa
jantan dapat mendapatkan pasangan betina karena adanya persaingan di antara sesama jantan
yang lebih dewasa, umur lebih 5 tahun. Untuk mendapatkan pasangan, anoa jantan harus
memiliki fisik yang kuat serta tanduk yang kokoh, siap mempertahakan diri dan bertarung.
Pada musim kawin, terjadi persaingan dan pertarungan di antara sesama jantan dewasa. Jantan
dewasa saling kejar memperebutkan betina yang memasuki masa birahi dan hanya jantan
pemenang yang akan mendapatkan betina yang sedang dalam fase estrus atau subur tersebut.
Selain itu, anoa betina juga memiliki tanduk yang kuat dan tajam, sebelum terjadi perkawinan
terjadi saling kejar, serta dalam kondisi tertentu jantan dan betina dapat saling menanduk
sebelum terjadi kopulasi.

33
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

1 bulan, belun muncul tanduk 6 bulan, panjang tanduk 8 cm

1 tahun, panjang tanduk 11 cm 1,5 tahun, panjang tanduk 14 cm

2 tahun, panjang tanduk 16 cm 4 tahun, panjang tanduk 18,5 cm

Gambar 3.9 Perkembangan umur, panjang tanduk dan morfologi anoa jantan Damar di
Taman Margasatwa Ragunan (Foto Abdul Haris Mustari)

34
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

1 tahun 4 tahun 5 tahun

6 tahun 7 tahun 8 tahun

9 tahun 10 tahun 11 tahun

12 tahun 13,5 tahun

Gambar 3.10 Perkembangan umur dan morfologi Wesi atau Wani (umur 1 tahun Foto Basri,
umur 4–13,5 tahun, Foto Abdul Haris Mustari)

35
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Anoa pada Gambar 3.10 tersebut merupakan adalah anoa betina yang diberi nama Wesi
atau Wani. Tidak diketahui secara pasti tahun kelahirannya karena anoa ini lahir di habitat
aslinya di wilayah Pegunungan Wani, Sulawesi Tengah (Basri, pers.com.). Nama Wani diberikan
oleh penulis sesuai daerah asalnya yaitu Pegunungan Wani. Berdasarkan morfologi dan ukuran
tanduk pada saat ditangkap oleh penduduk di wilayah itu, umurnya diperkirakan kurang dari
satu tahun pada tahun 2006. Pada awalnya Wani diperlihara oleh seseorang di wilayah Palu,
yang kemudian dipelihara di lingkungan Universitas Tadulako untuk tujuan penelitian. Anoa
ini kemudian dibawa ke Taman Margasatwa Ragunan pada 13 Agustus 2009, yaitu pada saat
umurnya sekitar 3 tahun. Pada umur sekitar 9 tahun, Wani melahirkan anak pertama yang
diberi nama Damar (jantan) dan pada umur 11 tahun melahirkan anak kedua yang diberi
nama Tangguh (jantan). Keterlambatan melahirkan anak pertama kemungkinan disebabkan
karena keterlambatan dalam memberinya pasangan jantan, yaitu ketika Wani berumur sekitar
8 tahun.

36
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

2 tahun 6 tahun

12 tahun 15 tahun

16 tahun 17 tahun
Gambar 3.11 Perkembangan umur dan morfologi Bone (betina) dari umur 2 sampai 17 tahun
(Foto Abdul Haris Mustari)

37
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Anoa pada Gambar 3.11 di atas adalah Bone (betina), lahir pada tanggal 25 Juni 1995
di Taman Margasatwa Ragunan. Induk Bone adalah Buton (jantan) dan Marleni (betina)
(Mustari dan Masy’ud 1997). Pranadewi (1998) menyatakan bahwa Buton memiliki jumlah
kromosom 2n=46 dan Marleni 2n=38. Bone memiliki jumlah kromosom 2n=42, merupakan
perpaduan jumlah kromosom kedua induknya. Berdasarkan catatan penulis, Bone mati pada
tahun 2013, pada umur 18 tahun. Sampai mati, Bone belum pernah bereproduksi, walaupun
secara fisik anoa ini cukup sehat. Apakah hal ini disebabkan oleh masalah genetik?, yaitu jumlah
kromosom kedua induknya sangat berbeda 2n=46 dan 38, masih merupakan tanda tanya.

Gambar 3.12 Buton (kiri, jantan) dan Marleni (tengah, betina) yang merupakan induk dari
Bone (kanan, betina) (Foto Abdul Haris Mustari)

Tanduk
Morfologi dan ukuran tanduk
Bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar hutan habitat anoa atau mereka yang pernah
berhadapan langsung dengan anoa misalnya pemburu, maka ketika berbicara mengenai satwa
ini yang pertama diungkapkan adalah keberanian, kekuatan dan kelincahan anoa. Termasuk
bagaimana keberanian dan keganasan anoa apabila dalam kondisi terganggu atau ketika akan
ditangkap oleh pemburu. Anoa disegani terutama karena tanduknya yang panjang dan ujungnya
runcing. Tanduknya dianggap sangat berbahaya. Sebagai satwa yang tergolong famili Bovidae,
anoa memiliki tanduk sejati yaitu tanduk yang permanen, tidak tanggal atau berganti pada
waktu tertentu. Selain itu anoa jantan dan anoa betina keduanya memiliki tanduk.
Tanduk anoa yang biasa ditemukan di daerah dataran rendah memiliki ukuran yang
lebih panjang daripada anoa yang terdapat di daerah yang lebih tinggi. Bentuk dan ukuran
tanduk anoa dari berbagai wilayah di Sulawesi berbeda. Ada yang bagian dasarnya sempit dan
lebar pada bagian ujung tanduk. Ada juga yang sempit di bagian dasar, agak lebar di bagian
tengah dan menyempit kembali di bagain ujung di antara kedua tanduk. Umumnya anoa
yang menghuni hutan dataran rendah memiliki tanduk yang lebih besar, lebih lebih kokoh,
dan terdapat cincin atau ulir melingkar (wrinkled) pada bagian dasar tanduk. Panjang bagian
dasar tanduk yang berulir bervariasi, ada yang hanya sekitar sepertiga panjang tanduk, ada yang

38
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

berulir sampai setengah panjang tanduk, bahkan ada yang berulir sampai dua pertiga panjang
tanduk. Sementara anoa yang menghuni hutan pegunungan, umumnya memiliki tanduk yang
lebih pendek, lebih runcing pada bagian ujung, ukuran tanduk lebih kecil, dan cincin atau ulir
pada pangkal tanduk tidak terlalu kentara atau bahkan tidak terdapat ulir sama sekali.
Panjang tanduk anoa dataran rendah dapat mencapai lebih 30 cm. Data mengenai panjang
tanduk yang tertera pada Tabel 3.3 berikut diketahui bahwa panjang tanduk mencapai 33,5 cm.
Sementara tanduk anoa yang terpanjang berasal dari pulau Buton mencapai 35,9 cm. Panjang
tanduk anoa yang tersimpan di salah satu musemum di Paris panjangnya 37 cm. Tanduk
anoa gunung lebih pendek dibanding dengan anoa dataran rendah, sekitar 15–20 cm. Kedua
belah tanduk luar anoa, kiri dan kanan, panjangnya sering berbeda apabila diukur secara teliti.
Perbedaan tersebut dapat mencapai 10 mm bahkan lebih, tetapi umumnya berbeda dalam
kisaran 5–10 mm. Jarang dijumpai anoa yang kedua belah tanduknya sama panjang. Dari 25
spesimen tanduk yang diukur, hanya empat anoa yang kedua belah tanduknya sama panjang.

Tabel 3.3 Ukuran tanduk anoa dan sebab kematian dari berbagai wilayah di Sulawesi
Panjang tanduk (cm)
No Asal anoa Tahun Kelamin Sebab Kematian
Kanan Kiri
1 Tanjung Amolengo 1992 jantan 33,5 32,2 tombak, parang
2 Tanjung Amolengo 1984 betina 28,6 28,0 ditangkap saat berenang di
Teluk Kolono, Sultra
3 Tanjung Amolengo 21 Agust.1994 betina 20,7 21,1 jerat kaki
4 Tajung Peropa 23 Agust.1994 jantan 21,3 21,8 jerat kaki
5 Tanjung Peropa 23 Agust.1994 jantan 17,6 17,1 jerat kaki
6 Tanjung Amolengo 31 Agust.1994 jantan 23,6 23,4 ditangkap saat berenang di
Teluk Kolono, Sultra
7 Tanjung Peropa 04 Agust.1994 jantan 26,5 27,0 jerat kaki
8 Tanjung Peropa 1992 jantan 29,3 30,1 jerat kaki
9 Tanjung Amolengo 29 Nov.1994 jantan 25,3 25,7 mati alami
10 Tanjung Amolengo 12 Jan.1995 jantan 22,1 - jerat kaki
11 Tanjung Amolengo 22 Jan.1995 jantan 31,8 30,9 jerat kaki
12 Tanjung Peropa 1985 jantan 18,7 19,8 jerat kaki
13 Tanjung Amolengo 1994 betina 21,0 19,5 jerat kaki
14 Tanjung Peropa 25 Sept. 1996 betina 18,0 18,8 jerat kaki
15 Tanjung Batikolo April 1996 betina 22,0 22,0 mati alami
16 Tanjung Peropa 19 Sept.1996 betina 22,0 22,0 jerat kaki
17 Tanjung peropa Sept. 2005 betina 21,5 21,5 jerat kaki
18 Tanjung Peropa 2005 betina 19,5 19,0 jerat kaki
19 Tanjung Peropa 2005 betina - 25,7 jerat kaki
20 Tanjung Peropa Maret 2005 betina 20,4 - jerat kaki, ada fetus di perut
21 Gandang Dewata 2017 jantan 15,4 14,4 mati bertarung dengan
anoa lain
22 Gandang Dewata 2011 jantan 15,3 15,2 tombak, anjing

39
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 3.3 Ukuran tanduk anoa dan sebab kematian dari berbagai wilayah di Sulawesi (lanjutan)
Panjang tanduk (cm)
No Asal anoa Tahun Kelamin Sebab Kematian
Kanan Kiri
23 Gandang Dewata 2011 jantan 13,2 13,2 tombak, anjing
24 Gandang Dewata 2011 jantan 11,7 11,5 tombak, anjing
25 Mamasa-Toraja ? jantan 31,2 30,8 tombak, anjing
Catatan mengenai lokasi asal anoa: Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa dan Tanjung Batikolo (Sulawesi Tenggara),
Gunung Gandang Dewata (Sulawesi Barat), Pegunungan di perbatasan Mamasa dan Tana Toraja (batas Sulsel-
Sulbar).

Tabel 3.4 Morfologi anoa di Taman Margasatwa Ragunan


Berat Tinggi Panjang Panjang Panjang Lingkar Panjang
Nama Datang di
No Sex Badan Gumba Badan Ekor Kepala Dada Tanduk
Anoa Ragunan
(kg) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm)
1 Buton Jantan 1972 56 67,2 129,4 17,0 25,0 97 7,0
2n=46
2 Poso Jantan 1984 95 123,5 164,0 25,0 27,8 115 28,0
2n=48
3 Hanan Jantan 12.11.1986 97 131,2 175,0 24,5 29,1 111 26,5
2n=48
4 Murni Betina 20.09.1993 94 124,0 128,2 29,3 24 120 27,0
2n=46
5 Marleni Betina 14.04.1994 110 73,5 139,6 29,2 26 111 22,5
2n=38
6 Bone Betina 25.06.1995 45 67,0 112,0 23,0 23,0 ? 11,5
2n=42
Sumber: KB Ragunan

Gambar 3.13 Morfologi tanduk anoa dewasa, bagian pangkal membesar setelah anoa berumur
lebih dari 4 tahun (Foto Abdul Haris Mustari)
40
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Ngata Toro-Kulawi, Sulawesi Tengah Gn. Gandang Dewata, Mamasa, panjang tanduk
15,4 cm

Gn. Gandang Dewata, Mamasa, secara Palaeo- Toraja bagian barat berbatasan dengan Mamasa.
geografis, termasuk dalam wilayah pegunungan Palaeo-geografis, termasuk dalam wilayah
Sulawesi bagian tengah-barat. pegunungan Sulawesi bagian tengah-barat.
Panjang tanduk 13,2 cm Panjang tanduk 31,2 cm

41
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Morowali, Sulawesi Tengah bagian timur. Morowali, Sulawesi Tengah bagian timur
Tanduk sebelah kiri lebih pendek daripada
tanduk sebelah kanan. Jarak antar tanduk
melebar ke arah ujung

Pinogu, TN Bogani Nani-Wartabone, Sulawesi Danau Matano, Palaeo-geografis, termasuk


Utara. Panjang tanduk 25,5 cm region Sulawesi Selatan-Tenggara bagian utara.
Tanduk luar sebelah kiri lebih panjang daripada
tanduk sebelah kanan

Gambar 3.14 Variasi morfologi tanduk anoa dari berbagai wilayah (Foto Abdul Haris
Mustari)

42
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara bagian Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara bagian
selatan. Panjang tanduk 21,5 cm selatan. Panjang tanduk 19,5 cm

Tanjung Amolengo, Sulawesi Tenggara bagian Lambusango, Buton, merupakan pulau


selatan, panjang tanduk 25,7 cm tersendiri tetapi secara geografis berdekatan
dengan Sulawesi Tenggara bagian selatan

Gambar 3.15 Variasi morfologi tanduk anoa dari berbagai wilayah (Foto Abdul Haris
Mustari)

43
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 3.16 Variasi bentuk tanduk luar anoa dari Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dan
Tanjung Amolengo, Sulawesi Tenggara (Foto Abdul Haris Mustari)

Rahang M P C I I C P M
Atas (n=12) 3 3 0 0 0 0 3 3
Bawah (n=18) 3 2 1 3 3 1 2 3
Keterangan: M: Molar (geraham belakang), P: Premolar (geraham depan), C: Canine (taring), dan I: Incisor (seri).

Gambar 3.17 Susunan gigi pada anoa (Foto Abdul Haris Mustari)

Jumlah gigi anoa dewasa adalah 30 buah, terdiri dari 12 buah pada rahang atas (P 3 dan M
3 pada masing-masing rahang sebelah kiri dan kanan) dan 18 buah pada rahang bawah (terdiri
dari I 3 C1, P 2 dan M 3 pada masing-masing rahang sebelah kiri dan kanan).

44
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Perkembangan ukuran panjang tanduk


Sampai dengan umur sekitar 2 bulan, anak anoa belum memiliki tanduk. Pada usia sekitar
3 bulan, tanduk mulai muncul sekitar 2 cm, dan perkembangan panjang tanduk terus bertambah
seiring bertambahnya umur. Pada umur sekitar 6 bulan, panjang tanduk sudah mencapai 8 cm,
dan pada usia satu tahun, tanduknya sudah mencapai 11 cm atau lebih. Tanduk terus bertambah
panjang sampai anoa berumur 4 tahun atau mulai memasuki umur dewasa. Dari pertambahan
panjang tanduk dapat dilihat bahwa umur 0–12 bulan (0–1 tahun), rata-rata penambahan
panjang tanduk adalah 0,9 cm per bulan. Pada umur 12–18 bulan (1–1,5 tahun), tanduk
bertambah panjang rata-rata 0,6 cm per bulan. Pada umur 18–24 bulan, pertambahannya
mulai menurun yaitu rata-rata 0,3 cm per bulan. Pada umur 22–48 bulan (2–4 tahun) rata-rata
pertumbuhan panjang tanduk hanya sekitar 0,1 cm per bulan.
Pertambahan ukuran panjang tanduk anoa setelah berumur 4 tahun sangat sedikit. Hal ini
karena pada umur sekitar 4 tahun, perkembangan tanduk anoa tidak banyak ke arah panjangnya
melainkan ke arah samping, terutama pada bagian pangkal tanduk yang semakin besar dan
semakin kokoh. Bertambah besarnya pangkal tanduk anoa ketika berumur lebih 4 tahun adalah
karena anoa sudah memasuki usia dewasa penuh. Pada usia itu anoa membutuhkan tanduk yang
selain panjang dan runcing juga kuat karena tanduk adalah senjata utama, terlebih pada anoa
jantan muda yang harus bersaing ketat dalam memperebutkan betina terutama dalam musim
kawin. Tanduk yang kuat juga sangat penting untuk membela diri dari predator, terutama ular
python.

Tabel 3.5 Perkembangan umur dan panjang tanduk anoa


Umur (bulan) Panjang Tanduk (cm)
6 8,0
12 11,0
18 14,0
24 16,0
30 Tidak ada data
36 Tidak ada data
42 18,0
48 18,5

Tabel 3.6 Rata-rata pertambahan panjang tanduk anoa


Umur (bulan) Rara-rata Pertambahan Panjang Tanduk (cm/bulan)
0–12 0,9
12–18 0,6
18–24 0,3
24–48 0,1

45
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Beberapa istilah mengenai bentuk dan ukuran tanduk


Dari penelusuran penulis selama lebih 25 tahun, tercatat bahwa Suku Tolaki di Sulawesi
Tenggara adalah suku yang memiliki kosa kata yang paling banyak di antara suku lainnya
terkait anoa. Dalam hal tanduk anoa misalnya, Tolaki mengenal berbagai perbedaan bentuk
dan ukuran tanduk yang dinyatakan secara kualitatif, misalnya dengan menggunakan ruas buku
jari yang disebut ‘imolu’. Akan tetapi, imolu dapat juga berarti garis melingkar berupa cincin
pada sekitar setengah panjang tanduk dari dasar yang disebut ‘wrinkled’, terutama pada anoa
dataran rendah. Tanduk dalam bahasa Tolaki disebut tanu. Tolaki menggambarkan ukuran
tanduk anoa berdasarkan panjang ruas jari tangan, telapak tangan dan siku. Berikut beberapa
ukuran dan morfologi tanduk anoa dalam bahasa Tolaki.
1. Tanu Heho: apabila bagian tanduk diraba dan belum ada yaitu pada anoa yang baru
lahir sampai umur sekitar 1 bulan, termasuk masih bayi (infant).
2. Tanu Boko: cikal bakal tanduk sudah mulai terasa apabila diraba, yaitu sudah ada
benjolan bakal tanduk pada kepala anoa.
3. Tanu Aso Imolu (aso: satu, imolu: ruas jari): panjang tanduk sama dengan satu ruas
buku jari atau sekitar 3 cm. Umur anak anoa sekitar 3 bulan.
4. Tanu Ruo Imolu (ruo: dua, imolu: ruas jari): panjang tanduk sama dengan dua ruas
buku jari atau sekitar 5 cm. Umur anoa sekitar 4–5 bulan.
5. Tanu Tolu Imolu/Tanu Tinonggu (tolu: tiga, imolu: ruas jari): panjang tanduk
mencapai tiga ruas buku jari, dan apabila tanduk digenggam maka hampir tidak
terlihat ujung tanduk, panjang sekitar 7–8 cm. Umur anoa sekitar 8–10 bulan.
6. Tanu Asunggondiso: tanduk anoa yang panjangnya lebih dari 3 ruas jari, atau sekitar
10 cm. Tanu Asunggondiso biasa juga diberi istilah Tanu Biri, yaitu tanduk yang
panjangnya kurang lebih sama dengan panjang daun telinga anoa itu sendiri, sekitar
10–12 cm. Umur anoa sekitar satu tahun.
7. Tanu Sumamba: tanduk anoa yang panjangnya mencapai percabangan dasar ibu
jari dan telunjuk, atau sekitar 14 cm. Apabila anoa tumbuh secara normal, maka
umurnya sekitar 18–24 bulan (2 tahun). Pada anoa betina, morfologinya sudah mulai
menunjukkan sebagai anoa muda yang memasuki peralihan menjadi anoa dewasa,
pubertas, sudah mulai menunjukkan tanda birahi.
8. Tanu Tundombele (tundombele: telapak tangan): panjang tanduk anoa sama dengan
panjang jari telunjuk plus panjang telapak tangan manusia, atau sekitar 17–18 cm.
Umur anoa sekitar 3,5–4 tahun, atau anoa sudah memasuki usia dewasa.

46
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

9. Tanu Pekalarua (kalaru: pergelangan tangan): panjang tanduk anoa sudah mencapai
ruas pergelangan tangan, pada posisi di mana gelang tangan biasa dipakai. Panjang
tanduk sekitar 20 cm, atau umur anoa sekitar 5 tahun atau lebih. Di habitat alam,
anoa jantan sudah memasuki usia dewasa penuh dan siap untuk kawin.
10. Tanu Puhu (puhu: daerah pergelangan tangan dan bagian lengan yang padat berisi
otot atau daging), yaitu panjang tanduk sekitar 25 cm.
11. Tanu Laa atau disebut Asohiku (aso: satu, hiku: siku): panjang tanduk anoa sama
panjang dengan siku orang dewasa, panjangnya lebih 30 cm. Panjang tanduk dengan
ukuran ini jarang dijumpai, umumnya hanya anoa yang hidup di hutan dataran
rendah, ketinggian 0–1000 mdpl.
Sebagai catatan bahwa ukuran kualitatif tanduk seperti yang disebut di atas umumnya
lebih sesuai untuk anoa dataran rendah yang panjang tanduknya mencapai 25–30 cm, bahkan
ada yang lebih. Pada anoa gunung panjang tanduk umumnya berkisar 15–20 cm. Pada awal
perkembangannya, sampai anoa berumur sekitar 1,5 tahun, panjang tanduk baik anoa dataran
rendah maupun anoa gunung menunjukkan perkembangan yang relatif sama.
Beberapa istilah dalam bahasa daerah Suku Tolaki untuk bentuk tanduk anoa:
1. Tanu Monggara (monggara: lebar): Tanduk yang bentuknya melebar atau renggang
dari pangkal sampai ujung.
2. Tanu Hoa: Tanduk yang bentuknya agak melengkung ke belakang. Hoa dalam bahasa
Tolaki berarti burung rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), karena bentuk tanduk
menyerupai paruh burung rangkong, melengkung.
3. Tanu Laa: Jarak antar kedua tanduk lebar dan besar di bagian bawah, dan hampir
merata dan berangsur mengecil sampai ujung. Tanu Laa biasanya panjang, mencapai
32–35 cm.
4. Tanu Mosipi (mosipi: sempit): Tanduk yang bentuknya menyempit mulai dari
pangkal sampai ujung. Menurut Suku Tolaki, bentuk tanduk seperti ini sangat sesuai
untuk melawan predator khususnya ular python.
5. Tanu Sube (sube: sendok): Bentuk tanduk yang pangkalnya besar atau lebar sampai
sekitar tiga perempat panjang tanduk, kemudian tanduk mengecil sampai ujung.
6. Tanu Isole: Pangkal tanduk agak kecil dan tajam atau meruncing sampai ujung
tanduk.

47
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 3.18 Contoh beberapa bentuk tanduk anoa: (a) tanu monggara, (b) tanu mosipi, dan
(c) tanu laa (Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 3.19 Tanu hoa (kiri) yang bentuknya agak melengkung ke belakang dan tanu sube
(kanan) yang pangkalnya sangat besar (Foto Abdul Haris Mustari)

Selain itu ada ukuran tanduk anoa yang dinamai khusus sesuai fungsinya seperti:
1. Tanu Nese (nese: Donax cunaeformis): tanduk anoa yang pada saat melatih diri untuk
ketepatan dan ketajaman tanduk sudah dapat membelah biji buah nese (Donax
cunaeformis). Buah nese bulat, kecil, keras, sebesar kelereng atau buah lengkeng.
2. Tanu Dongi (dongi: Dillenia serrata): anoa yang tanduknya sangat tajam dan memiliki
ketepatan tinggi sehingga dapat menangkap/menancapkan buah dongi (Dillenia
serrata), salah satu buah makanan anoa.

48
Bab 3
TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

3. Tanu Daka: tanduk anoa yang dapat menyusur atau menyisir permukaan tanah;
tanduk yang sudah bisa mengait akar tumbuhan pada permukaan tanah. Salah satu
kelebihan anoa ketika menanduk sasaran adalah menanduk dengan kepala yang sangat
rendah dan posisi tanduk hampir horizontal dengan tanah, sasaran ditanduk/dikait
kemudian diangkat dalam rentetan yang banyak, sampai lebih 30 kali tandukan.
4. Tanu Haka (haka: akar): tanduk yang sudah mampu mengangkat akar kayu yang
rapat pada tanah, artinya tandukan anoa yang sudah sangat kuat dan tepat.

Profil Darah dan Kondisi Fisiologis


Sugiri dan Hidayat (1996) menyatakan bahwa di Kebun Binatang Ragunan
kandungan eritrosit darah anoa adalah 6,9–13,08 x 106/ml ( 9,91 ± 2,4), leukosit
3,15–4,175 x 103/ml ( 3,38 ± 0,92), konsentrasi hemoglobin 12–15,3% ( 13,4 ± 1,6)
dan PVC 43–52,5% ( 46 ± 3,67). Di Kebun Binatang Surabaya menunjukkan kandungan
eritrosit darah anoa sebesar 6,54–9,2 x 106/ml ( 7,58 ± 1,5), leukosit 4,9–11,65 x 103/ml
( 3,38 ± 0,92), konsentrasi hemoglobin 10–13 g% ( 13,2 ± 2) dan PVC 32–40%
( 41 ± 6,6).
Profil darah dan kondisi fisiologis empat individu anoa di Anoa Breeding Centre Manado
berikut ini adalah hasil penelitian Sinusi (2016). Rata-rata kadar hemoglobin dan nilai
hematokrit adalah (17,16) g/dl dan (45,23)%. Indeks eritrosit yang meliputi MCH, MCV,
MCHC berturut-turut (16,46) gl, (43,36) fl, (38,26) g/dl. Nilai respirasi keempat individu
anoa berturut-turut adalah (70,8 kali/menit), (66,3 kali/menit), (67,7 kali/menit), dan
(67,5 kali/menit). Suhu rektal masing-masing (38,0 ºC), (37,7 ºC), (37,9 ºC), dan
(38,1 ºC). Disimpulkan bahwa nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan jumlah leukosit anoa
jantan lebih tinggi dibanding dengan anoa betina, sementara nilai hematokrit anoa jantan
lebih rendah dibanding dengan anoa betina. Rata-rata jumlah leukosit anoa jantan lebih tinggi
dibanding dengan anoa betina yaitu masing-masing sebesar (5,85 x 103/ml) dan (5,45 x 103/ml).
Di Leipzig Zoo Jerman Nötzold et al. (2015) melaporkan bahwa jumlah leukosit anoa dataran
rendah adalah (2,89 x 103/ml), lebih rendah dibanding anoa jantan dan betina yang terdapat
di BP2LHK Manado (Sinusi 2016). Berdasarkan kontrol fisiologis, kondisi anoa yang terdapat
di dalam kandang dalam keadaan stres akibat keadaan lingkungan dan manajemen kandang
yang tidak sesuai dengan habitat asli anoa di alam liar (Sinusi 2016). Karena itu sebagai satwa
yang secara alami hidup bebas, sudah seharusnya prioritas pengelolaan populasi adalah anoa
in-situ. Karena bagaimanapun pengelolaan yang dilakukan oleh manusia tidak akan pernah
menyamai kondisi habitat di alam. Habitat alam menyediakan segala kebutuhan anoa untuk
makan, minum, dan tempat berlindung, serta interaksi dengan spesies lain secara alami.

49
BAB 4
POPULASI DAN PENYEBARAN
Anoa In-situ
Tidak mudah mendapatkan gambaran populasi anoa di habitat aslinya apalagi
populasi anoa secara menyeluruh di Sulawesi. Anoa sangat peka akan kehadiran manusia,
hidup soliter dan habitat yang sulit diakses. Data populasi anoa yang ada terbatas
pada kawasan konservasi di mana pernah dilakukan penelitian yang lebih intensif. Di
Tanjung Amolengo (604 ha) dan Tanjung Peropa (38.297 ha) diperkirakan populasi
anoa masing-masing 10 dan 350 individu (Mustari 1995, Mustari 2003). Berdasarkan
data tersebut maka kepadatan populasi anoa kurang dari 1 individu per km2.
Di Suaka Margasatwa Lambusango dengan luas 27.700 ha di Pulau Buton,
diperkirakan kepadatan populasi anoa berkisar antara 0,25–0,33 anoa per km2.
Berdasarkan angka kepadatan populasi tersebut diperkirakan terdapat 150–200
individu di suaka margasatwa tersebut (Wheeler 2006). Di Sulawesi Tengah, di Taman
Nasional Lore Lindu, pada tiga kawasan hutan pegunungan yaitu Gunung Nokilalaki,
Gunung Roket dan Gunung Tumawu, Jahidin (2003), berdasarkan ukuran jejak kaki,
memperkirakan kepadatan populasi anoa sebesar 0,85 individu per km2. Di Cagar Alam
Tangkoko Batuangus dengan luas kawasan 4.446 ha, Syam (1977) memperkirakan
populasi anoa sebanyak 38–62 individu, dengan kepadatan populasi berkisar 1,3–2,1
individu per km2. Saat ini anoa diperkirakan sudah punah dari kawasan konservasi
yang ada di ujung utara Sulawesi itu. Mustari (personal observation) mengunjungi CA
Tangkoko tahun 1994, dan tidak menemukan satu ekor pun anoa. Penyebab utamanya
disinyalir adalah karena perburuan liar.
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Angka kepadatan populasi anoa di atas tidak bisa menjadi patokan untuk kepadatan
populasi anoa di seluruh hutan Sulawesi, mengingat kawasan konservasi tersebut dikenal
sebagai habitat terbaik anoa. Jadi untuk kawasan lain, kepadatan anoa diperkirakan jauh lebih
rendah. Satu hal yang pasti bahwa populasi anoa semakin menurun di seluruh bagian hutan di
Sulawesi.
Anoa memiliki lintasan tertentu di dalam hutan, lintasan yang menghubungkan satu
komponen habitat dengan komponen habitat lainnya, seperti sumber air, makan dan tempat
berlindung. Populasi anoa sering kali dilebih-lebihkan, pengamatan didasarkan hanya pada
jejak kaki dan kotoran di sepanjang lintasan yang sering dilalui anoa. Padahal jejak kaki dan
kotoran yang dikatakan banyak itu hanya berasal dari beberapa individu anoa. Anoa memiliki
wilayah jelajah yang luas dan mobilitas yang tinggi sehingga dapat dengan cepat berpindah dari
satu habitat ke habitat lain. Hal ini memperbesar kemungkinan kesalahan dalam pendugaan
ukuran populasi yang hanya didasarkan pada penghitungan jejak kaki atau feses.
Beberapa penduduk asli Amolengo dikenal sebagai pawang anoa yang biasa berburu
anoa dan rusa. Penduduk desa mengatakan kepada penulis bahwa ada ratusan ekor anoa
di SM Tanjung Amolengo. Ternyata setelah dilakukan inventarisasi populasi anoa dengan
menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan, populasi anoa maksimal 10 individu.
Hal ini memberi pelajaran, bahwa sering kali informasi yang diberikan penduduk lokal terkait
populasi satwa langka dan dilindungi terlalu dilebihkan.

Anoa Ex-situ
Sampai tahun 2018 (GSMP 2018), jumlah anoa ex-situ, anoa di berbagai lembaga konservasi
yang mencakup kebun binatang, taman margasatwa, taman safari, Anoa Breeding Centre,
dan lembaga konservasi yang dikelola pihak swasta atau perorangan seluruhnya berjumlah 39
individu (18 jantan dan 21 betina).
Sampai dengan Agustus 2019, anoa ex-situ di Indonesia tersebar pada 10 lembaga
konservasi dengan jumlah seluruhnya 41 individu. Penyebaran ke 41 anoa tersebut sebagai
berikut. Sebanyak 4 anoa di KB Ragunan Jakarta, 6 anoa di KB Surabaya, 7 anoa di Taman
Safari I Cisarua Bogor, 2 anoa di Taman Safari II Prigen, 4 anoa di Taman Safari III Gianyar
Bali, dan 10 anoa di Anoa Breeding Centre, BP2LHK Manado.
Terdapat 5 anoa di Bontomarannu Education Park, 1 anoa di Citra Celebes Gowa dan
1 anoa di Taman Wisata Alam Lejja, Soppeng. Ketiga lokasi tersebut berlokasi di Sulawesi
Selatan. Sebagai catatan, bahwa di Taman Wisata Alam Lejja ada 2 anoa, sepasang jantan dan
betina, tetapi kemudian mati satu individu pada 2019.

52
Bab 4
POPULASI DAN PENYEBARAN

Pada Juli 2019 terdapat 1 anoa di BKSDA Sulawesi Tenggara yang merupakan anoa betina
muda umur diperkirakan 1 tahun. Anoa tersebut ditangkap penduduk dengan jerat kaki di
kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo, Teluk Kolono, Sulawesi Tenggara. Kondisi kaki
kiri depan luka serius akibat jerat, infeksi dan akhirnya diamputasi. Saat ini anoa tersebut berada
di kandang bagian belakang kantor BKSDA Sulawesi Tenggara.
Di Anoa Breeding Centre Manado (2019) terdapat 10 individu anoa. Dari 10 anoa, 7 anoa
berasal dari alam, terdiri atas 2 jantan yang diberi nama Rambo dan Rocky, serta 5 betina yang
diberi nama masing-masing Manis, Ana, Denok, Rita, dan Stella. Tujuh anoa itu ditangkap
oleh penduduk di kawasan hutan di Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Anoa
tersebut awalnya dipelihara oleh penduduk setempat yang kemudian diserahkan kepada pihak
BKSDA Sulawesi Utara. Selanjutnya pihak BKSDA menitipkan anoa itu di Anoa Breeding
Centre untuk dirawat, diteliti dan menjadi bahan edukasi konservasi anoa untuk masyarakat
umum. Sampai dengan Juli 2019 sebanyak 7 anak anoa yang lahir di Anoa Breeding Centre.
Dari 7 kelahiran anoa, 3 anoa selamat dan hidup sampai saat ini, masing-masing diberi nama
Maesa (jantan 2,5 tahun), Anara (betina 2 tahun) dan Deandra (betina 1 tahun); 3 anak anoa
mati beberapa saat setelah lahir dan 1 lagi mati ketika masih dalam kandungan induknya.
Seluruh anoa yang terdapat di Bontomarannu Education Park, Sokkolio, Gowa yang
berjumlah 5 individu adalah tangkapan masyarakat, berasal dari kawasan hutan di Kabupaten
Luwu Utara dan Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Kedua wilayah tersebut
secara geografis merupakan bagian dari bentang alam Pegunungan Latimojong dan Pegunungan
Takolekaju.
Di luar negeri, terdapat 143 anoa yang tersebar pada 34 institusi, umumnya berupa kebun
binatang. Dari jumlah tersebut yang terbanyak adalah di Amerika Utara dan Eropa, masing-
masing 93 dan 53 individu. Sisanya terdapat di kebun binatang Singapura dan Jepang.
Dengan demikian apabila dijumlahkan seluruhnya maka populasi anoa ex-situ adalah 184
individu, terdiri atas 41 individu (22%) di dalam negeri dan 143 individu (78%) di luar negeri.
Meskipun populasi anoa ex-situ cukup banyak namun yang dapat berbiak atau yang berpotensi
bereproduksi (founder) tidak lebih dari setengah jumlah tersebut. Hal ini disebabkan karena
banyak anoa ex-situ yang sudah tua dan/atau sakit. Selain itu, beberapa individu anoa hanya
sendirian (single, jantan atau betina) yang berada di lembaga konservasi yang berbeda atau
bahkan di negara yang berbeda. Selain itu, 143 anoa di luar negeri berasal dari beberapa founder
yang sebenarnya berkerabat dekat sehingga berpotensi terjadi inbreeding, yaitu perkawinan
kerabat dekat yang secara genetik berbahaya, variasi genetik rendah.
Selain anoa yang terdata secara resmi, masih ada beberapa anoa yang dipelihara oleh
penduduk secara perorangan khususnya di wilayah pedalaman Sulawesi. Mustari (personal
observation) pernah menemukan 2 anoa muda di Luwu Timur, di sekitar Danau Towuti yang
dipelihara oleh masyarakat. Penulis percaya bahwa masih ada beberapa anoa yang dipelihara
masyarakat namun belum dilaporkan kepada pihak berwenang.
53
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Penyebaran
Sekitar tahun 1860-an, ketika Alfred Russel Wallace menjelajahi Sulawesi, anoa
masih dapat ditemukan di hutan hutan sekitar permukiman yang waktu itu masih berupa
perkampungan kecil yang tersebar, satu kampung hanya ada beberapa rumah. Seiring dengan
perkembangan permukiman, dan aktivitas manusia yang semakin meningkat, keberadaan anoa
semakin jauh. Anoa hanya dapat dijumpai pada hutan yang belum terjamah manusia. Beberapa
kawasan hutan yang dahulunya masih memiliki populasi anoa yang cukup bagus, saat ini sudah
jarang ditemukan anoa bahkan di beberapa kawasan anoa sudah mengalami kepunahan lokal.
Penyebab utama adalah deforestasi, degradasi habitat dan perburuan liar. Berikut ini adalah
daerah penting penyebaran dan habitat anoa di Sulawesi:
- Sulawesi Utara: Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone, Gunung Poniki, bentang
alam hutan Gunung Klabat, Suaka Margasatwa Manembo Nembo, Cagar Alam Gunung
Ambang, Hutan di Likupang, Langowan, Pangku, dan Paibi.
- Gorontalo: DAS dan Hulu Sungai Paguyaman, Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto,
hutan di daerah Marisa dan Popayato, Cagar Alam Panua.
- Sulawesi Tengah: Cagar Alam Gunung Sojol, Tolitoli, Donggala, Cagar Alam Gunung
Dako, Gunung Tinombala, Lore Kalamata, Sirenja, Sindue, Balaesang, Dampelas, Besoa,
Taman Nasional Lore Lindu dan hutan di Lembah Bada, Hutan Lindung Sangginora di
Poso, Mayoa, Pegunungan Pompangeo, Cagar Alam Morowali di Sulawesi Tengah bagian
timur, Cagar Alam Tanjung Api-api, Puncak Dingin, Lore Kalamata, Kulawi, Palolo,
Cagar Alam Pangi Binangga, hutan dan pegunungan di Pantai Timur dan Pantai Barat,
Pegunungan Takolekaju meliputi Sulawesi Tengah, Barat dan Selatan.
- Sulawesi Barat: Taman Nasional Gunung Gandang Dewata-Gunung Mambulilling
di Mamasa dan Mamuju, Pegunungan di perbatasan Toraja dan Mamasa, Pegunungan
Lampuko-Mampi, Suaka Margasatwa Sumarorang, Binuang, dan Cagar Alam Masupu.
- Sulawesi Tenggara: Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, Suaka Margasatwa Tanjung
Peropa, Suaka MargasatwaTanjung Batikolo, Suaka Margasatwa Tanjung Polewali, Taman
Hutan Raya Tanjung Nipa Nipa, hutan di sekitar Lasolo-Sampara, Taman Wisata Alam
Mangolo, Hutan Lindung Pegunungan Mekongga di Kolaka Utara, Hutan Lindung di
Matarombea di Kolaka Timur dan Konawe Utara, Hutan Lindung Boro-Boro, Taman
Nasional Rawa Aopa-Watumohai, Cagar Alam Lamedai, wilayah Lasolo-Sampara,
Pegunungan Tangkeleboke, Pegunungan Abuki, Pegunungan Matarombea, Hutan di
kawasan Mowewe dan beberapa kawasan hutan di sekitar Asera.

54
Bab 4
POPULASI DAN PENYEBARAN

- Sulawesi Selatan: Pegunungan di Tanah Toraja, Pegunungan Latimojong, Pegunungan


Seiko di Luwu Utara, Panganreyang Tudeya, Cagar Alam Faruhumpenai, Pegunungan
Verbek dan hutan lindung di sekitar Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona,
hutan di daerah Malili di Luwu Timur Hutan Lindung Kambuno Katena, dan Cagar Alam
Bulusaraung.
- Pulau Buton: Suaka Margasatwa Lambusango, Cagar Alam Kakenaue, dan Cagar Alam
Buton Utara.

Secara ringkas penyebaran anoa pada setiap region di Sulawesi sebagai berikut:
Provinsi/Region Daerah
Sulawesi Utara CA Gunung Klabat, SM Gunung Manembo Nembo, CA Gunung
Ambang, dan TN Bogani Nani-Wartabone.
Gorontalo SM Nantu, Pegunungan Boliyohuto, CA Panua
Sulawesi Tengah Toli-Toli, Pegunungan Sojol, Donggala, TN Lore Lindu, CA Morowali,
CA Gunung Tinombala, CA Pangi Binangga, CA Bakiriang, Pantai Timur
dan Pantai Barat, Pegunungan Takolekaju, Mayoa, Gunung Pompangeo,
Gunung Lumut
Sulawesi Barat TN Gandang Dewata dan Gunung Mambulilling, Hutan Lampoko-
Mampie, dan HL Sungai Katena-Rompi
Sulawesi Tenggara-Buton SM Tanjung Peropa, HL Boro-Boro, TN Rawa Aopa-Watumohai,
Pegunungan Tangkeleboke, Pegunungan Abuki, Pegunungan
Matarombea, Pegunungan Mekongga, Gunung di Routa, hutan di sekitar
Sungai Asera-Lasolo-Sampara, CA Lambusango, CA Buton Utara
Sulawesi Selatan Pegunungan Verbek dan sekitarnya termasuk hutan di sekitar Danau
Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona, CA Faruhumpenai,
Pegunungan Bowonglangi

Berdasarkan penelitian penulis selama 25 tahun (dari tahun 1994 sampai 2019) di Sulawesi
Tenggara, anoa terdapat di SM Tanjung Amolengo, SM Tanjung Peropa, SM Tanjung Batikolo,
SM Tanjung Polewali, TWA Mangolo, CA Lamedai, CA Buton Utara, SM Lambusango di
Buton bagian tengah dan TN Rawa Aopa Watumohai, Tahura Tanjung Nipa Nipa, Pegunungan
Mekongga, Pegunungan Tangkeleboke, Pegunungan Matarombea. Di Sulawesi Selatan anoa
terdapat di sekitar Danau Matano, Danau Mahalona, Danau Towuti, SM Faruhumpenai,
Pegunungan Latimojong, Rantemario, Takolekaju, dan Rongkong di Luwu Utara. Di Sulawesi
Barat anoa terdapat di Pegunungan Gandang Dewata dan Pegunungan Mambulilling. Di
Sulawesi Tengah, anoa terdapat di TN Lore Lindu dan Pegunungan Nokilalaki, Lembah
Bada, pegunungan di Napu, Pantai Barat dan Pantai Timur, CA Morowali, Tolitoli dan Buol,
Pegunungan Dako. Di Gorontalo anoa terdapat di SM Nantu-Boliyohuto, CA Panua dan
hutan di Popayato dan Marisa. Di Sulawesi Utara anoa terdapat di TN Bogani-Nani Wartabone
termasuk di wilayah Pinogu.

55
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Nantu Bogani Nani


Gn. Tinombala Wartabone

Peg. Takolekaju Pati-pati


Lore Lindu

Gn. Gandang
Dewata

Gn.
Peg. Matarombea
Mambulilling
Peg. Tangkeleboke

Tj. Batikolo

Tj. Peropa

Tj. Amolengo

Buton Utara

Peg. Latimojong
Lambusango
Peg. Mekongga

Rawa Aopa
Watumohai

Gambar 4.1 Penyebaran dan habitat penting anoa di Sulawesi (Mustari et al. 2013)

56
Bab 4
POPULASI DAN PENYEBARAN

Gn. Tinombala Nantu

Lore Lindu Gn. Lumut Bogani Nani


Peg. Takolekaju Wartabone

Gn. Gandang
Dewata
Matano

Towuti

Tj. Batikolo

Tj. Peropa
Gn. Mambulilling
Tangkeleboke

Tj. Amelongo

Bantimurung Rawa Aopa


Bulusaraung Watumohai

Gambar 4.2 Kawasan konservasi, hutan lindung dan penyebaran spesies anoa di Sulawesi

Nomor kode peta (areal dalam km2)


1 Hutan Gunung Klabat (extinct?) 6 CA Panua (540)
2 CA Tangkoko Batuangus (extinct) 7 SM Nantu-Boliyohuto (500)
3 SM Gn. Manembonembo (65) 8 CA Buol Tolitoli (225)
4 CA Gunung Ambang (250) 9 SM Tanjung Matop (16)
5 TN Bogani Nani-Wartabone (2871) 10 Hutan Poboya (extinct?)

57
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

11 TN Lore Lindu (2310) 35 Peg. Latimojong (580)


12 CA Tanjung Api (42) 36 TN Bantimurung-Bulusaraung (430)
13 SM Pati Pati 37 Hutan di Peg. Toraja
14 SM Lombuyan-Pangimanan (36) 38 HL Kambuno Katena
15 CA Morowali (2250) 39 Gn. Mambulilling
16 CA Gunung Dako 40 Lasolo-Sampara (450)
17 Gunung Tinombala 41 TN Rawa Aopa-Watumohai (968)
18 CA Gunung Sojol (500) 42 SM Tanjung Polewali (80)
19 CA Pangi Binangga (60) 43 SM Tanjung Peropa (389)
20 CA Bakiriang (10) 44 SM Tanjung Amolengo (6)
21 Lembah Bada 45 SM Tanjung Batikolo (55)
22 Pantai Timur 46 TWA Mangolo (50)
23 Pantai Barat 47 TAHURA Tanjung Nipa Nipa
24 Pegunungan Takolekaju 48 CA Lamedai (5) (extinct?)
25 Mayoa-Mampi-Seko 49 CA Buton Utara (820)
26 Gunung Pompangeo 50 SM Lambusango (250)
27 Gunung Lumut, Tempu, Hohoban 51 CA Kakenauwe (8.1)
28 TN Kepulauan Togian -absent(x) 52 TB Padang Mata Osu (extinct)
29 Peleng/Banggai -absent (x) 53 Peg. Mekongga-Tangkeleboke
30 SM Dolongan 54 Peg. Abuki
31 CA Faruhumpenai (900) 55 Peg. Matarombea
32 Gn Gandang Dewata 56 Pulau Kabaena -absent (x)
33 HL Sungai Katena-Rompi (100) 57 Pulau Muna -absent (x)
34 SM Lampoko Mampie (20) 58 Pulau Wawoni -absent (x)

Keterangan: CA Cagar Alam, SM Suaka Margasatwa, TB Taman Buru, HL Hutan Lindung, TN Taman Nasional,
TAHURA Taman Hutan Raya. Angka di dalam kurung adalah luas kawasan dalam km2. Angka dalam
kurung adalah luas kawasan, (x-absent, tidak ada anoa).

58
BAB 5
KARAKTERISTIK HABITAT
Anoa termasuk satwa pemalu dan sangat peka berbagai jenis gangguan. Satwa
ini memiliki indera penciuman (olfactory system) yang sangat peka. Oleh karena itu,
gangguan yang sedikit saja terhadap habitatnya akan menyebabkan anoa menghindar
mencari tempat yang lebih aman. Dengan demikian anoa mendiami habitat yang
jauh dari permukiman dan aktivitas manusia, yaitu umumnya hutan yang memiliki
aksesibilitas rendah, berbukit dan bergunung. Anoa cenderung menghindari kontak
langsung dengan manusia atau lingkungan di mana terdapat aktivitas manusia, seperti
permukiman, perkebunan, dan pertambangan.
Seiring pertambahan penduduk dan terbukanya akses untuk berbagai kegiatan
seperti permukiman, transmigrasi, perkebunan dan pertambangan maka habitat anoa
yang dahulunya sulit terjangkau, aksesnya semakin terbuka. Akibatnya habitat satwa
ini semakin berkurang dan terkotak-kotak yang pada akhirnya menyebabkan populasi
dan habitat terganggu. Beberapa kawasan hutan yang dahulunya dikenal sebagai habitat
anoa, saat ini tidak lagi dijumpai satwa tersebut seperti yang terjadi di Cagar Alam
Tangkoko Batuangus di Bitung Sulawesi Utara, anoa mengalami kepunahan lokal.
Beberapa kawasan hutan yang menjadi habitat anoa telah terfragmentasi. Akibatnya
populasi kecil yang terisolir, tidak terjadi perkawinan dan pertukaran genetik antar
individu yang pada gilirannya akan membawa masalah serius inbreeding, perkawinan
antar kerabat dekat. Akhirnya terjadi erosi genetik seperti yang terjadi pada kawasan
hutan yang relatif sempit misalnya Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Cagar
Alam Lamedai di Sulawesi Tenggara. Banyak lagi kawasan hutan yang terfragmentasi
seperti ini di mana terdapat populasi anoa yang kecil dan terisolir.
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Sebagai satwa ungulata penghuni hutan sejati, anoa membutuhkan habitat sebagai sumber
makanan, air dan tempat berlindung serta melakukan interaksi sosial. Habitat yang dibutuhkan
adalah hutan primer mulai dari hutan pantai, hutan rawa, hutan dataran rendah, dan hutan
pegunungan. Semakin jauh kawasan hutan dari lingkungan manusia semakin disukai anoa.
Hal ini terkait dengan naluri dasar anoa sebagai satwa yang sangat peka yang telah beradaptasi
selama jutaan tahun di hutan alam Sulawesi.
Secara umum, karakteristik habitat anoa yaitu terdapatnya hutan yang rapat terdiri atas
beberapa strata tajuk, kombinasi pohon tinggi, perdu, semak belukar, dan tegakan bambu
di hutan Komposisi jenis tumbuhan yang ada merupakan jenis-jenis yang dapat dimakan oleh
anoa baik daun, pucuk, terubusan, bunga bahkan buahnya. Pada habitat itu, terdapat sumber
air baik berupa air yang mengalir seperti sungai, danau dan rawa atau berupa cerukan atau
aliran air di hutan.
Habitat anoa dapat dengan mudah diketahui berdasarkan jejak terutama jejak kaki, feses,
dan tempat berkubang atau mandi. Jadi selain melalui perjumpaan langsung, kehadiran anoa
dapat diketahui di suatu kawasan hutan dari jejak yang ditinggalkannya baik berupa jejak kaki
maupun kotoran serta tempat anoa berkubang dan berendam. Pada beberapa batang pohon,
sering terdapat lumpur gesekan badan anoa setelah berkubang. Selain itu, anoa memiliki
kebiasaan mengasah tanduk dengan cara menggosokkannya pada batang pohon tertentu. Bekas
renggutan makan anoa pada tumbuhan bawah juga dapat menjadi petunjuk keberadaannya.
Jejak juga dapat berupa tulang-belulang anoa yang mati secara alami. Akan tetapi, dari sekian
banyak tanda atau jejak yang ditinggalkan anoa, jejak kaki dan feses lebih sering dijumpai
serta mudah dikenali. Kotoran anoa serupa kotoran sapi atau kerbau yaitu berupa compokan,
menyatu, berbeda dengan kotoran rusa atau kambing yang berupa butiran-butiran.
Penyebaran anoa, selain ditentukan oleh ketersediaan pakan, juga terkait erat dengan
keberadaan sumber air berupa sungai, mata air, cerukan terutama pada musim kemarau. Oleh
karena itu, pada musim kemarau air terbatas, anoa dapat dijumpai di sekitar sumber air yang
ada di dalam hutan. Meskipun anoa dapat dijumpai pada radius yang agak jauh dari sumber
air namun anoa akan tetap berada dalam wilayah jelajah di mana ada air. Anoa membutuhkan
air setiap hari untuk minum dan berendam. Pada musim hujan, air relatif tersedia merata di
dalam hutan, baik berupa sumber air yang permanen maupun musiman. Selama musim hujan,
anoa juga dapat memperoleh air dari dedaunan basah tumbuhan. Air juga terdapat pada aliran
anak-anak sungai. Di hutan pegunungan sumber air banyak, anoa tidak sulit mendapatkan
air. Anoa membutuhkan air setiap hari baik untuk minum maupun untuk berendam ketika
terik matahari menyengat. Oleh karena itu aktivitas anoa tidak jauh dari sumber air berupa
sungai, mata air, rawa dan danau terlebih dalam musim kemarau di mana persediaan air di
hutan terbatas. Jejak kaki dan feses anoa banyak ditemukan di sekitar sumber air ketika musim
kemarau. Berbeda halnya pada musim hujan di mana air tersedia relatif merata di seluruh

60
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

kawasan hutan, anoa juga tersebar merata. Di beberapa lokasi di mana banyak kawasan hutan
yang dikonversi menjadi areal perkebunan, anoa sering masuk kebun terutama kebun yang
baru dibuka dan muncul tunas baru terubusan yang menjadi makanan kesukaan anoa. Tunas-
tunas baru disukai anoa karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.

Tipe habitat
Habitat anoa dapat berupa habitat makro berupa formasi atau tipe hutan tertentu seperti
hutan mangrove, hutan pantai, hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Habitat anoa juga
dapat lebih spesifik seperti hutan riparian, tegakan bambu, tempat mengasin (salt-lick), habitat
rawa atau padang rumput alami di tengah hutan yang jauh dari permukiman dan gangguan
manusia. Berikut ini beberapa tipe habitat yang disukai anoa.

1. Hutan mangrove
Hutan mangrove berbatasan langsung dengan laut, terpengaruh oleh pasang surut air
laut, tidak terpengaruh iklim. Hutan mangrove umumnya berada di muara sungai. Spesies
tumbuhan hutan mangrove tergolong spesifik karena memiliki toleransi terhadap salinitas
yang tinggi. Perakaran tumbuhan mangrove khas, berbagai bentuk akar nafas, di antaranya
akar tunjang yang dimiliki tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,
Rhizophora stylosa); akar lutut seperti yang terdapat pada tancang (Bruguiera gymnorrhiza,
B. caryophylloides, B.sexaangula) akar pasak pada jenis api-api (Avicennia marina, A.officinalis,
A.alba) dan pedada (Sonneratia alba, S.caseolaris).
Pada bagian hutan mangrove yang lumpurnya cukup dalam, jenis tumbuhan yang umum
dijumpai adalah bakau merah (Rhizophora mucronata), bakau putih (R.apiculata). Sementara
pada bagian yang lumpurnya tipis dapat dijumpai api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia
spp.), dan tancang (Bruguiera spp.). Pada peralihan hutan mangrove dengan hutan pantai,
spesies tumbuhan yang dominan adalah bogem (Xylocarpus granatum, Xylocarpus moluccensis),
nguru laut (Heritiera littoralis), dan nipah (Nypa fruticans).
Daun dan buah beberapa tumbuhan mangrove dimakan anoa. Ketika air laut surut,
mangrove dapat menjadi habitat bagi anoa mencari makan dan mendapatkan garam mineral.
Hutan mangrove menyediakan tempat berlindung serta makanan berupa daun, pucuk dan buah.
Tumbuhan mangrove yang paling disukai anoa yaitu daun buah peropa/pedada Sonneratia alba,
S. caaseolaris, serta buah api-api Avicennia spp. Buah Rhizophora apiculata dan R. mucronata juga
dimakan anoa. Tumbuhan bawah hutan bakau yang sering dijumpai di zona peralihan hutan
bakau dan hutan pantai yang dalam bahasa daerah Tolaki, disebut rumpio (Acrosticum aureum)
juga disukai anoa terutama bagian pucuk. Jejak kaki dan feses anoa sering dijumpai di hutan
mangrove, misalnya di blok hutan mangrove Lanowulu yang terletak di pantai selatan Taman

61
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara. Demikian pula di kawasan konservasi
Suaka Margasatwa (SM) Tanjung Peropa, SM Tanjung Amolengo dan SM Tanjung Batikolo
di ujung selatan Sulawesi Tenggara, sering dijumpai jejak anoa. Dalam beberapa kesempatan
penulis dapat melihat langsung anoa di hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan habitat
yang penting bagi anoa dataran rendah.

Gambar 5.1 Habitat hutan mangrove, dikunjungi anoa ketika air laut surut (Foto Abdul
Haris Mustari)

2. Hutan pantai
Setelah hutan mangrove, ke arah yang lebih tinggi terdapat hutan pantai. Hutan pantai juga
terdapat langsung di garis pantai, terutama yang pantainya terdapat pasir. Hutan pantai tidak
terpengaruh pasang surut air laut karena letaknya yang lebih tinggi dari hutan mangrove, hanya
sesekali dalam satu bulan. Ketika terjadi ombak atau pasang tinggi, air laut dapat mencapai
substrat atau tanah hutan pantai, meskipun tidak sepenuhnya tergenang, hanya mendapatkan
hempasan air pasang tinggi. Spesies tumbuhan khas hutan pantai di Sulawesi di antaranya

62
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

nyamplung (Calophyllum inophyllum), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus


tectorius), dungun (Heritiera littoralis), keben (Barringtonia asiatica), cemara laut (Casuarina
equisetifolia), agel (Corypha sp.), serta jenis tumbuhan bawah di antaranya Ipomoea pescapre,
Cyperus penduculatus dan Spinifex littoreus.
Anoa mendatangi hutan pantai baik untuk mencari makan atau berlindung saat terik
matahari. Hutan pantai juga sering menjadi tempat persinggahan anoa untuk kemudian menuju
hutan mangrove saat air laut surut. Jejak kaki dan feses anoa sering dijumpai di hutan pantai,
bahkan di beberapa kawasan hutan, anoa memiliki lintasan tertentu di hutan pantai. Hal ini
diketahui dari frekuensi penemuan jejak kaki dan feses anoa yang cukup tinggi.

Gambar 5.2 Habitat hutan pantai di Tanjung Batikolo, Sulawesi Tenggara, salah satu habitat
penting anoa (Foto Abdul Haris Mustari)

3. Hutan dataran rendah


Hutan dataran rendah dipengaruhi iklim, memiliki strata tajuk yang lengkap, kekayaan
spesies flora dan fauna yang tinggi, dan berada pada ketinggian 2–1000 mdpl (Soerianegara
dan Indrawan 2002). Berbagai jenis tumbuhan dengan kondisi tajuk dan pohon yang sangat
kokoh dapat dijumpai di hutan dataran tendah. Beberapa spesies tumbuhan di hutan dataran

63
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

rendah tingginya mencapai 50 m seperti pohon cenrana (Pterocarpus indicus), matoa (Pometia
pinnata), rao (Dracontomelon dao, D. mangiferum), moniwang/konduri (Parkia roxburghii),
pangi (Pangium edule), kalaero (Diospyros malabarica), gito-gito (D. pilosanthera), beringin
(Ficus spp.) binuang (Octomelos sumatrana), dan toho (Artocarpus sp).
Analisis habitat anoa yang dilakukan di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, Tanjung
Peropa dan Tanjung Batikolo menunjukkan bahwa temperatur udara di hutan dataran rendah
berkisar 22,5–31,4 ºC, rata-rata sekitar 25 ºC. Kelembapan udara pada siang hari berkisar
82–89% (rata-rata 85%), dan 90–100% pada pagi hari (Mustari 2003). Di suatu hutan dataran
rendah di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada ketinggian 690–712 mdpl Allo
et al. (2018) menyatakan bahwa karakteristik komponen abiotik habitat anoa yaitu tanah
bertekstur lempung, pH tanah berkisar 4,38–5,6, pH air minum 6,75 dan kubangan 5,66,
salinitas air minum dan kubangan 0,00 ppt, turbiditas air minum 0,07 FAU dan kubangan
0,22 FAU, suhu udara berkisar antara 19–23 ºC , dan kelembapan udara 80,5–84,2%.

Gambar 5.3 Hutan dataran rendah (Foto Abdul Haris Mustari)

Tabel 5.1 Jenis tumbuhan tingkat pohon (dbh > 20 cm) yang dominan di hutan dataran
rendah, Kalobo, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
K KR D DR INP
No Nama daerah Nama ilmiah F FR (%)
(phn/ha) (%) (m2/ha) (%) (%)
1 Kasu meeto Diospyros malabarica 6 6.7 7 5.8 0.8129 5.4 17.9
2 Lahu lahu Meliosma nitida 5 5.2 5 4.2 0.7815 5.2 14.5
3 Ondolia Canangium odoratum 5 5.2 6 5.0 0.5311 3.5 13.7
4 Kote Lophopetalum fimbriatum 4 4.4 5 4.2 0.5661 3.8 12.4
5 Konduri Parkia roxburghii 2 2.2 3 2.5 1.0210 6.8 11.5
6 Tanggeambali Homalium tomentosum 3 3.7 5 4.2 0.5282 3.5 11.4

64
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Tabel 5.1 Jenis tumbuhan tingkat pohon (dbh > 20 cm) yang dominan di hutan dataran
rendah, Kalobo, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (lanjutan)
K KR D DR INP
No Nama daerah Nama ilmiah F FR (%)
(phn/ha) (%) (m2/ha) (%) (%)
7 Mehere Drypetes cf globosa 4 4.4 6 5.0 0.1951 1.3 10.7
8 Ewu Planchonia valida 3 3.0 4 3.3 0.5285 3.5 9.8
9 Morobite Celtis philippensis 4 4.4 3 2.5 0.3407 2.3 9.2
10 Kasu wai Orophea enneandra 3 3.0 4 3.3 0.3974 2.6 8.9
(K = Kerapatan, F = Frekuensi, D = Dominansi, INP = Indeks Nilai Penting)

4. Hutan di sekitar danau


Mustari et al. (2007) melaporkan mengenai kondisi habitat anoa di sekitar danau-danau
purba di Sulawesi yaitu Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona di Malili, Luwu
Timur, Sulawesi Selatan. Secara geografis, kawasan danau purba dan hutan di sekitarnya adalah
pertemuan ekosistem hutan yang ada di bagian selatan, tenggara dan tengah Sulawesi dengan
ciri topografi bergunung, berbukit dan lembah. Di sebelah utara danau tersebut terdapat Suaka
Margasatwa Faruhumpenai yang merupakan habitat utama anoa. Hasil studi menunjukkan
bahwa hutan di sekitar danau-danau tua tersebut merupakan habitat anoa, ditemukan banyak
feses dan jejak kaki, serta sering anoa diburu dan ditangkap oleh penduduk sekitar.
Terdapat beberapa tipe hutan seperti hutan primer, hutan riparian dan hutan di sekitar
danau dengan tumbuhan khas akar nafas. Tanahnya termasuk ultra basic, kandungan besi dan
nikel tergolong tinggi. Tercatat sebanyak 44 spesies tumbuhan di antaranya tapi-tapi (Canarium
sp.), bitti (Vitex sp.), bonu (Crithospermum buretti), mengkulang (Heritiera sp.), kayu asa
(Castanopsis sp.), koleuju (Metrosideros petiolata), betao (Calophyllum soulatri), sisio (Cratoxylon
formosum), dan bunu (Crithospermum buretti) (Mustari et al. 2007).

Tabel 5.2 Lokasi penyebaran anoa di hutan sekitar Danau Matano


Tanggal Lokasi Panjang Jalur (km) Jejak Jarak dari As Jalur (m)
07.01.07 Hutan Primer di sekitar Fiona 3 Jejak kaki 5
08.01.07 DAS Sungai yang membentang 8 Jejak kaki 5
dari Fiona ke danau Mahalona
09.01.07 Pertemuan Fiona-Debby-Diana 1 Feses 5
Disposal area
10.01.07 Fiona-Debby-Diana Disposal area 7 Feses 5
16.01.07 Tanah Merah 2 - -
17.01.07 Tanah Merah 3 Jejak kaki 2,5
18.01.07 Suba’rio 7 Jejak kaki 2
20.01.07 Sungai Lawa 5 - -

65
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 5.2 Lokasi penyebaran anoa di hutan sekitar Danau Matano (lanjutan)
Tanggal Lokasi Panjang Jalur (km) Jejak Jarak dari As Jalur (m)
21.01.07 Sungai Petea 2 - -
22.01.07 Desa Nuha 4 Jejak kaki 15
23.01.07 Padang Rumput Waru-Waru 4 Jejak kaki 0,5
24.01.07 Padang Rumput Soluro 2 Feses 10
27.01.07 Sungai Petea 3 Jejak kaki, Feses 5
Total panjang jalur (km) 49

Gambar 5.4 Kondisi habitat Danau Matano dan riparian di sekitarnya (Foto Abdul Haris
Mustari)

5. Hutan riparian
Hutan riparian (riverine forest) terdapat di sepanjang aliran sungai, berjarak sekitar 50–100
meter dari pinggir sungai. Hutan riparian dapat dijumpai di hampir semua tipe hutan, mulai
dari hutan pantai, hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan. Hutan riparian yang agak
luas biasanya berada di hutan dataran rendah karena secara alami, badan sungai semakin lebar
dengan semakin rendahnya ketinggian tempat dan yang paling lebar adalah muara sungai
berbatasan dengan ekosistem laut. Lapisan lumpur di muara sungai umumnya tebal karena
sedimentasi material yang terbawa aliran sungai. Air di sekitar muara sungai adalah payau atau
anta (brackish water) karena merupakan pertemuan dua ekosistem yang berbeda yaitu air tawar
dan air laut. Apabila kondisi habitat cukup aman dari gangguan manusia, anoa sering minum
air di muara sungai, airnya agak asin tetapi salinitasnya masih lebih rendah daripada air laut.
Hutan riparian sangat penting bagi anoa, baik sebagai tempat mencari makan, minum
dan tempat berlindung. Hutan riparian juga dipakai anoa sebagai tempat istirahat. Saat terik
matahari menyengat, anoa kadang dijumpai istirahat sambil memamah biak di hutan riparian,
yang udaranya sejuk, dan dekat dengan air sungai sebagai sumber air minum. Di kawasan hutan

66
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

yang beriklim kering, hutan riparian sangat penting karena selain sebagai habitat juga menjadi
koridor pergerakan anoa. Vegetasi riparian memiliki rata-rata tajuk yang lebih tinggi dibanding
dengan rata-rata tajuk vegetasi non riparian di sekitarnya. Selain itu pada habitat yang beriklim
kering vegetasi riparian tetap hijau walaupun pada musim kemarau seperti beberapa kawasan
yang menjadi habitat anoa di bagian tengah Sulawesi.

Gambar 5.5 Kondisi vegetasi riparian di Gorontalo (kiri) dan di Sulawesi Tenggara (kanan)
(Foto Abdul Haris Mustari)

Tabel 5.3 Jenis tumbuhan tingkat pohon (dbh > 20 cm) yang dominan di hutan riparian,
Kalobo, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
K KR D DR INP
No Nama daerah Nama ilmiah F FR (%)
(phn/ha) (%) (m2/ha) (%) (%)
1 Hehea walu Pittosporum sp. 7 6.0 5 4.9 5.3819 28.8 39.7
2 Lahu lahu Meliosma nitida 11 9.4 7 6.8 0.8470 4.5 20.7
3 Kasu meeto Diospyros malabarica 10 8.5 6 5.8 0.8694 4.7 19.0
4 Kapu wone Ficus sp. 4 3.4 4 3.9 2.1756 11.7 19.0
5 Rao Dracontomelon dao/ 7 6.0 6 5.8 0.8954 4.8 16.6
D. mangiferum
6 Toho Artocarpus sp. 6 5.1 6 5.8 0.7032 3.8 14.7
7 Pangi Pangium edule 6 5.1 6 5.8 0.6205 3.3 14.3
8 Ondolia Canangium odoratum 7 6.0 5 4.9 0.3848 2.1 12.9
9 Kolaka biasa Lithocarpus sp. 4 3.4 4 3.9 0.7069 3.8 11.1
10 Toluto Pterocymbium tinctorium 4 3.4 4 3.9 0.6620 3.5 10.8
(K=Kerapatan, F=Frekuensi, D=Dominansi, INP=Indeks Nilai Penting)

Vegetasi hutan riparian di sepanjang Sungai Petea yang menghubungkan ekosistem Danau
Matano, Danau Mahalono dan Danau Towuti merupakan habitat penting anoa karena menjadi
koridor anoa. Jenis tumbuhan dominan di wilayah tersebut di antaranya Carallia brachiata,

67
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan kenari (Canarium commune). Beringin (Ficus spp.)
dan leda (Eucalyptus deglupta) sering terdapat hutan riparian Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, hutan riparian didominasi tumbuhan pangi (Pangium
edule), toho (Artocarpus sp.), gito-gito (Diospyros pylosanthera), hehea walu (Pittosporum sp.),
tawo (Duabanga moluccana), dan aren (Arenga pinnata). Buah dari tumbuhan tersebut menjadi
salah satu sumber makanan anoa.

6. Tegakan bambu (bamboo)


Di beberapa bagian hutan dataran rendah, dapat dijumpai blok hutan yang vegetasinya
didominasi jenis tumbuhan tertentu. Vegetasi dengan tegakan spesifik seperti tegakan bambu
dapat dijumpai di blok hutan Kalobo, salah satu blok hutan di Suaka Margasatwa Tanjung
Peropa. Jenis bambu tali (Schizostachyum lima) dan Schizostachyum cf. brachycladum adalah
yang paling umum dijumpai. Selain sebagai tempat berlindung, daun muda, pucuk dan rebung
bambu adalah makanan kesukaan anoa. Anoa juga menyukai tegakan bambu sebagai tempat
berlindung dan mencari makan. Jejak kaki, feses dan tempat istirahat anoa sering dijumpai
di bawah tegakan bambu. Tegakan bambu memberi perlindungan yang efektif bagi anoa dari
terik matahari dan terpaan hujan dan angin kencang. Tegakan bambu banyak terdapat di hutan
hutan Sulawesi mulai dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan. Habitat yang
disukai bambu adalah yang tanahnya relatif lembap baik pada tanah datar, tebing bahkan pada
tanah yang tergolong marjinal dapat dijumpai tegakan bambu.

Gambar 5.6 Tegakan bambu tali (kiri) di Tanjung Amolengo dan bambu merambat (kanan)
di Gunung Gandang Dewata, termasuk makanan anoa (Foto Abdul Haris
Mustari)

68
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

7. Rawa, padang rumput dan areal terbuka alami


di tengah hutan
Habitat yang disukai anoa tidak selalu berupa hutan yang rapat. Pada beberapa habitat
anoa, dapat ditemukan padang rumput alami yang dikelilingi pepohonan rapat jauh di tengah
hutan, jarang dikunjungi manusia. Pingir danau dan rawa juga merupakan habitat kesukaan
anoa, di mana tumbuh berbagai jenis rumput pakan anoa. Dengan demikian, kombinasi
adanya vegetasi hutan yang rapat yang didominasi oleh pepohonan besar dan areal yang agak
terbuka, serta adanya sumber air merupakan habitat yang ideal bagi anoa. Areal terbuka juga
dapat berupa rimpang (forest gaps) yang disebabkan oleh pohon besar yang tumbang secara
alami, misalnya karena angin kencang dan tanah longsor. Rimpang memicu suksesi alami dan
regenerasi vegetasi hutan yang dimulai oleh jenis tumbuhan bawah dan jenis pioner, seperti
berbagai jenis rumput, paku-pakuan, herba, dan semak. Beberapa jenis tumbuhan pioner dan
rumput dimakan. Pada saat terjadi rimpang, banyak jenis tumbuhan tertimpa pohon besar yang
tumbang. Pada pohon, cabang atau ranting yang patah tumbuh tunas-tunas baru (coppice) yang
disukai anoa. Oleh karena itu, habitat yang vegetasinya relatif terbuka di hutan yang terjadi
secara alami merupakan salah satu habitat kesukaan anoa mencari makan. Akan tetapi, areal
terbuka tersebut harus tetap terkoneksi dengan vegetasi hutan yang rapat dan jarang dikunjungi
manusia sebagai tempat berlindung anoa (cover).
Di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo terdapat dua padang rumput alami yang luasnya
masing-masing 1,8 ha dan 0,5 ha, berlokasi sekitar 700 m di sebelah utara hutan mangrove.
Penduduk setempat menamainya pera (rawa) yaitu Pera 1 dan Pera 2, keduanya sering didatangi
anoa. Pada musim hujan, padang rumput ini tergenang air setinggi hampir satu meter dan
pada musim kemarau, airnya kering atau hanya berupa kubangan-kubangan dangkal yang
dipakai babi hutan. Jenis rumput yang terdapat di padang rumput tersebut yaitu kura rano
(Cynodon dactylon), dan tio tio (Eleocharis dulcis). Rawa itu dikelilingi berbagai jenis tumbuhan
seperti putat (Barringtonia racemosa), pandan (Pandanus sp.), beringin (Ficus spp.), dan sisio
(Cratoxylon formosum).
Beberapa pohon besar seperti moniwang (Parkia roxburghii), kapu lesea hoa/beringin daun
lebar (Ficus drupaceae), dan orope meeto (Ellatostachys verrucosa). Anoa makan berbagai jenis
rumput, serta buah dan bunga putat yang jatuh ke lantai hutan. Ketika air di rawa mulai surut
pada pertengahan musim kemarau pada bulan Agustus dan September, anoa dan beberapa
jenis mamalia lain seperti babi hutan dan rusa sering mendatangi rawa tersebut untuk makan,
minum dan berendam. Namun seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di
desa Amolengo, perubahan lambat laun terjadi, manusia mengusik tempat yang tenang itu,
akibatnya anoa semakin jarang dijumpai.

69
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Selain di Tanjung Amolengo, padang rumput berupa rawa juga terdapat di Tanjung Peropa,
Tanjung Batikolo, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, dan di sekitar danau Matano.
Habitat semacam ini juga terdapat di kawasan hutan lainnya di Sulawesi, berupa lahan terbuka
alami yang berada di tengah hutan, jarang dikunjungi manusia, dan terdapat sumber air, baik
berupa air tawar atau air mengandung garam mineral dan sulfur. Habitat tersebut menjadi
lokasi yang sering dikunjungi anoa seperti yang ada di Gorontalo dan Sulawesi Utara. Di hulu
Sungai Paguyaman, Gorontalo, di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto terdapat areal terbuka
yang kaya mineral tempat satwa mengasin (salt-lick). Kondisinya juga berupa daerah terbuka
alami di tengah hutan, terdapat mata air hangat, kaya belerang dan garam mineral.

Gambar 5.7 Areal terbuka dan padang rumput di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo
pada musim hujan (kiri) dan pada musim kemarau (kanan) (Foto Abdul Haris
Mustari)

8. Tempat mengasin (salt-lick)


Tempat mengasin (salt-lick) biasa juga disebut sesapan, karena merupakan tempat satwa
mengisap, menjilat atau minum garam-garam mineral. Mamalia ruminansia, seperti anoa
membutuhkan garam mineral. Oleh karena itu, anoa secara teratur mengunjungi sumber-
sumber garam mineral seperti pantai, mata air yang memiliki kandungan mineral tinggi.
Mineral dan garam juga terdapat pada bebatuan tertentu di hutan, yang biasa disebut batu
jilatan karena sering dikunjungi dan dijilat satwa. Tempat mengasin seperti ini disebut salt-lick,
di mana berbagai jenis satwa terutama ungulata secara sering mendatangi tempat ‘istimewa’ ini
untuk mendapatkan garam mineral yang dibutuhkan dalam proses metabolisme pencernaan
makanan. Salt-lick berupa mata air yang mengandung garam, mengandung sulfur, seperti yang
terdapat di hutan Adudu, Suaka Margasatwa Nantu di hulu Sungai Paguyaman, Gorontalo.
Salt-lick juga terdapat di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara.

70
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Salt-lick dapat juga berupa batu tertentu yang secara teratur didatangi satwa untuk dijilat
karena kandungan garamnya yang tinggi. Anoa, babirusa, babi hutan Sulawesi, monyet hitam
Sulawesi (Macaca heckii) adalah di antara satwa yang sering mengunjungi salt-lick. Salt-lick
tidak hanya terdapat di kedua kawasan tersebut. Hampir di seluruh kawasan hutan apabila
dicermati terdapat salt-lick, baik berupa mata air, genangan lumpur atau berupa batu jilatan,
terutama habitat anoa yang jauh dari kawasan pantai. Sementara habitat yang berbatasan
langsung dengan pantai, anoa dapat dengan mudah mendapatkan garam mineral dari air laut
dan vegetasi mangrove.
Survei keberadaan salt-lick sangat penting dilakukan oleh pihak pengelola kawasan karena
lokasi seperti itu termasuk komponen habitat esensial, dan harus dilindungi keberadaannya.
Para pemburu biasanya memanfaatkan keberadaan salt-lick karena mereka mengetahui lokasi
tersebut sering didatangi satwa seperti anoa, babirusa, babi hutan, rusa timor, monyet, dan
burung. Karena itu penting bagi pengelola untuk melakukan patroli di sekitar salt-lick agar
lokasi tersebut aman dari para pemburu liar yang sering memanfaatkan keberadaan salt-lick
untuk mengintai buruannya.

Gambar 5.8 Anoa dan babirusa di salt-lick di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Foto
TN BNW)

71
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 5.9 Babirusa di salt-lick di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto, di hulu Sungai


Paguyaman, Gorontalo (Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 5.10 Babirusa dan anoa di salt-lick Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto, di hulu
Sungai Paguyaman, Gorontalo (Foto Kompas)

Analisis kandungan mineral salt-lick di Suaka Margasatwa Nantu yang dilakukan oleh
Clayton (1996) menunjukkan bahwa tanah di salt-lick tersebut memiliki kandungan sodium
(2.7 kali), seng (9.5 kali), besi (3.7 kali), sulfur-sulfat (9.3 kali), dan mangan (3.4 kali) lebih
tinggi dibanding dengan tanah kontrol yang ada di sekitar lokasi salt-lick. Demikian pula
dengan mata air panas yang berada di tengah salt-lick memiliki kandungan mineral yang lebih

72
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

tinggi yaitu klorida (133 kali), sulfat (85 kali), boron (164 kali), kalsium (3.6 kali) dan sodium
(36.5 kali) lebih tinggi daripada air dari Sungai Nantu yang ada di sekitarnya sebagai kontrol.
Kandungan klorida (Cl) dan sodium (Na) dan mineral lain yang terdapat pada tanah dan mata
air panas di salt-lick menunjukkan bahwa lokasi tersebut sangat penting bagi satwa ruminan
seperti anoa (Bubalus depressicornis) dan satwa non ruminan babirusa (Babyrousa celebensis)
dan babi hutan sulawesi (Sus celebensis). Selain mamalia terestrial di SM Nantu-Boliyohuto
juga terdapat satwa arboreal seperti monyet hitam sulawesi (Macaca heckii), kuskus beruang
(Ailurops ursinus), tarsius (Tarsius tarsier), rangkong sulawesi (Rhyticeros cassidix), dan banyak
jenis satwa endemik Sulawesi.

Tabel 5.4 Perbedaan kandungan mineral dan pH antara salt-lick dan kontrol di Adudu SM
Nantu Boliyohuto Gorontalo (Clayton 1996)
Lokasi Cu Na Zn Fe SO4S Mn Co pH
Salt-lick 1.8 589 7.6 299 3255 93 24.6 5.5
Kontrol 2.4 215 0.8 80 352 27 28.1 6.4
Keterangan: semua unsur dalam satuan ppm (kecuali pH)

Tabel 5.5 Perbedaan kandungan mineral dan pH pada air panas di salt-lick dan air kontrol di
Sungai Nantu, SM Nantu Boliyohuto Gorontalo (Clayton 1996)
Lokasi pH Nitrat-N Cl Sulfat P Boron K
Air Panas 8.1 ˂ 0.1 160 461 ˂ 0.1 164 1.07.9
Kontrol 7.9 ˂ 0.1 1.2 5.4 0.2 ˂ 0.01 ˂ 0.1
Lokasi Cu Mg Mn Ca Zn Na Fe
Air Panas ˂ 0.1 0.1 ˂ 0.01 90 ˂ 0.01 259 0.02
Kontrol ˂ 0.01 6.1 ˂ 0.01 25 ˂ 0.01 7.1 ˂ 0.01
Keterangan: semua unsur dalam satuam mg/ltr; klorida (Cl), fosfor (P), kalium (K), tembaga (Cu), magnesium
(Mg), mangan (Mn), kalsium (Ca), seng (Zn), sodium (Na), besi (Fe), kobalt (Co).

Clayton (1996) juga melaporkan bahwa selama 3688 menit (61 jam dan 28 menit)
pengamatan, tercatat jenis-jenis satwa yang menggunakan salt-lick tersebut adalah babirusa,
babi hutan sulawesi, anoa dan monyet hitam sulawesi, dengan prosentase (lama penggunaan)
berturut-turut 97.9%, 0.5%, 0.9% dan 0.6%. Babirusa adalah jenis satwa pengguna salt-lick
terbanyak atau terlama. Clayton (1996) menyatakan bahwa anoa tercatat mengunjungi salt-
lick sebanyak lima kali, yang kesemuanya merupakan anoa soliter, jantan atau betina dewasa,
meskipun pernah dilaporkan terdapat empat individu anoa secara bersamaan mengunjungi
salt-lick yang terdiri dari jantan dan betina dewasa serta dua individu muda. Anoa mengunjungi
salt-lick setelah pukul 17.00 dengan rata-rata selama 5.6 menit berada di salt-lick tersebut.
Aktifitas utama anoa ketika mengunjungi salt-lick adalah menjilat tanah (geophagy). Hal ini

73
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

menunjukkan bahwa anoa mendatangi salt-lick untuk mendapatkan berbagai garam mineral
yang terkandung di salt-lick tersebut. Juga dilaporkan bahwa jejak-jejak kaki anoa banyak
dijumpai di sekitar salt-lick yang menunjukkan bahwa kemungkinan anoa sering mengunjungi
salt-lick tersebut pada malam hari. Hal ini mendukung pengamatan penulis di habitat anoa
yang lain bahwa satwa ini aktif pada siang dan malam hari.
Pada awal tahun 1990 an terdapat empat lokasi salt-lick di Hutan Nantu dan sekitarnya yaitu
Nooti, Moliulo, Abati, dan Adudu. Namun sangat disayangkan, karena dalam perkembangannya
hanya lokasi terakhir (Adudu) yang masih bertahan karena tiga salt-lick yang pertama yaitu
Nooti, Moliulo dan Abati rusak dan akhirnya musnah karena salt-lick itu beserta seluruh hutan
disekitarnya dikonversi menjadi areal perkebunan dan permukiman penduduk lokal sehingga
tidak dapat lagi dipergunakan oleh satwaliar seperti babirusa dan anoa. Masih bertahannya salt-
lick Adudu karena perjuangan yang dilakukan oleh Dr. Lynn Marion Clayton.

9. Hutan pegunungan (mountain forest)


Hutan pegunungan terdiri atas hutan pegunungan bawah (1000–1500 mdpl) dan hutan
pegunungan atas (1500–2400 mdpl). Beberapa puncak tertinggi di Sulawesi di antaranya
Gunung Rantemario (3450 mdpl) di perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Gunung
Lompobatang (2871 mdpl) di Sulawesi Selatan, Gunung Tambusisi (2422 mdpl) di Morowali,
Sulawesi Tengah, Gunung Nokilalaki (2280 mdpl) di Sulawesi Tengah, Gunung Roroka Timbu
(2450 mdpl) (Whitten et al. 1987).
Pada ketinggian 1000 mdpl dan seterusnya, komposisi dan struktur vegetasi berubah. Jenis
tumbuhan yang umum di hutan pegunungan di antaranya pololi (Castanopsis acuminatissima,
C. buruana), Lithocarpus havilandii, L. glutinosus, L. elegans, L. celebicum, damar Agathis
dammara, dan cemara gunung (Casuarina junghuniana). Buah Castanopsis dan Lithocarpus
merupakan buah kesukaan anoa di hutan pegunungan. Kondisi hutan di atas ketinggian
2000 mdpl, lantai hutan serta pepohonan diselimuti lumut tebal. Pada ketinggian di atas
2400 mdpl, pepohonan diselimuti lumut tebal dan lantai hutan berupa bahan organik berupa
lumut dan pakua-pakuan.
Habitat anoa gunung adalah pada ketinggian mulai 1000 mdpl. Penulis melakukan
pendakian di Gunung Gandang Dewata (puncak 3038 mdpl), Kabupaten Mamasa
Sulawesi Barat pada Maret 2019. Feses dan jejak kaki anoa ditemukan pada ketinggian
2500–2600 mdpl. Suhu udara berkisar 7–14 ºC. Tercatat 6 feses anoa, empat di antaranya
masih baru, sekitar 1–2 hari ketika ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa anoa masih
dapat ditemukan pada hutan sub alpine (di atas 2400 mdpl). Hasil analisis feses anoa gunung
di Gandang Dewata menunjukkan bahwa satwa ini mengonsumsi berbagai jenis tumbuhan
pakan di antaranya lumut, buah Lithocarpus, paku-pakuan, dan bambu merambat. Keenam

74
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

feses anoa gunung yang ditemukan cukup berdekatan berjarak kurang dari 50 m satu dengan
yang lain. Dari analisis lokasi penemuan feses, terlihat bahwa anoa berjalan mengikuti jalur
pendakian Gunung Gandang Dewata dan pada ruas tertentu pada ketinggian sekitar 2500 mdpl
anoa membelok ke kawasan hutan yang lebih rendah, ke arah lembah di mana terdapat aliran
sungai. Demikian pula di Gunung Mambulilling (puncak 2800 mdpl) yang berdampingan
dengan Gunung Gandang Dewata, pada ketinggian 2000–2500 mdpl masih terdapat feses
dan jejak kaki anoa. Suhu udara pada siang hari berkisar 7–14 ºC, dan jenis tumbuhan yang
dominan adalah Vaccinum sp. Lithocarpus spp., Agathis dammara (Mustari dan Ismul 2019).

Gambat 5.11 Kondisi vegetasi habitat anoa di Gunung Gandang Dewata pada ketinggian
1500 mdpl (kiri) dan 2600 mdpl (kanan) yang didominasi jenis Lithocarpus
spp, batang, cabang dan ranting tumbuhan berbalut lumut (Foto Abdul Haris
Mustari)

Feses anoa juga dilaporkan ditemukan pada ketinggian lebih 3000 mdpl, di dekat
puncak Gunung Rantemario di Sulawesi Selatan bagian Barat. Hasil analisis kandungan feses
menunjukkan kandungan lumut yang cukup tinggi. Diduga bahwa anoa makan lumut dalam
jumlah cukup banyak karena satwa tersebut membutuhkan air yang terkandung di dalam
lumut (Whitten et al. 1987). Anoa memakan jenis lumut juga dilaporkan oleh Mustari dan
Ismul (2019), berdasarkan tanda-tanda makan satwa tersebut di Gunung Gandang Dewata.
Feses dan jejak kaki anoa dapat dijumpai pada ketinggian sekitar 2225 mdpl di Gunung Roroka
Timbu, Sulawesi Tengah.
Di kawasan hutan yang memiliki pantai, anoa gunung kadang turun ke pantai mencari
garam mineral. Anoa gunung beradaptasi dengan baik dan dapat menjelajahi topografi yang
sangat curam, berbukit dan suhu yang relatif dingin berkisar 15–20 ºC. Di beberapa puncak
gunung tertinggi di Sulawesi, suhu di bawah 10 ºC. Kondisi ini direspon anoa gunung dalam
perjalanan evolusinya dengan rambut yang lebih tebal dan agak ber ‘wool ’ untuk menjaga suhu

75
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

tubuhnya tetap hangat, dibandingkan anoa dataran rendah yang memilki rambut yang relatif
tipis. Bentang alam hutan pegunungan dengan topografi yang sangat curam, terjal dan tebing
hanya sesuai bagi mamalia terestrial yang lincah bergerak. Oleh karena itu anoa yang biasa
dijumpai di hutan pegunungan atau pada topografi berat ukuran tubuhnya relatif kecil, memiliki
bobot tubuh sekitar 60–70 kg, dibandingkan dengan anoa di hutan dataran rendah yang bobot
tubuhnya dapat mencapai 100 kg atau lebih. Anoa di hutan pegunungan beradaptasi melalui
proses evolusi yang panjang dengan ukuran tubuh yang relatif kecil serta rambut yang tebal,
dan lincah bergerak.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anoa memiliki sebaran altitudinal yang
bervariasi, mulai dari hutan mangrove, hutan pantai sampai dengan hutan pada ketinggian
3000 mdpl. Namun demikian anoa lebih sering dijumpai pada kisaran ketinggian 0–2000
mdpl. Di atas ketinggian 2000 mdpl, jejak kaki dan feses anoa masih dapat ditemukan, akan
tetapi sudah mulai berkurang. Seperti yang dijumpai di Gunung Gandang Dewata, jejak kaki
dan feses anoa masih dijumpai pada ketinggian 2500 mdpl (Mustari dan Ismul 2019).

Okupansi Habitat
Okupansi habitat (habitat occupancy) menggambarkan sejauh mana suatu spesies
mengokupasi atau menempati tipe habitat tertentu. Okupansi habitat dapat ditentukan
berdasarkan data kepadatan feses, laju defekasi, serta lamanya feses terakumulasi pada suatu
tipe habitat (hari). Kepadatan feses (jumlah feses/km2) dihitung menggunakan metode line
transect, strip transect, dan metode kuadrat (dapat dilihat pada bab inventarisasi populasi anoa)
atau metode lain di mana kepadatan feses satwa dapat diperoleh.

Tabel 5.6 Kepadatan populasi anoa dataran rendah dan babi hutan Sulawesi berdasarkan
perjumpaan langsung (direct encounter) menggunakan metode line transect dengan
panjang total transek 372 km di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Mustari 2003)
Jumlah Anoa Laju Perjumpaan Lebar Jalur Efektif/ Kepadatan Estimasi Populasi
Spesies % CV
(indiv.) (indiv./km) Effective Strip Width (m) (indiv./km2) (indiv.)
Anoa dataran 23 0,06 30,0 0,9 350 17,35
rendah (0,5–1,5) (195–584)
Babi hutan 49 0,13 11,7 5,6 2180 13,63
Sulawesi (3,8–8,4) (1401–3270)

Berikut adalah gambaran okupansi habitat anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
dan di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo (Mustari 2003). Kalobo terletak di selatan dan
Tambeanga terletak di utara Tanjung Peropa. Berdasarkan ketinggian tempat, semua tipe habitat
berikut ini masih tergolong hutan dataran rendah (0–1000 mdpl). Pengamatan dilakukan

76
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

dengan mengklasifikasikan tipe habitat lebih rinci untuk melihat perbedaan okupansi habitat
pada setiap tipe habitat meliputi habitat riparian, tegakan bambu, hutan dataran rendah, hutan
dataran rendah berbatu dengan formasi batuan gamping besar, dan hutan pantai.

Tabel 5.7 Laju perjumpaan (encounter rate) anoa dataran rendah pada beberapa tipe habitat di
Tanjung Peropa dan Tanjung Amolengo (Mustari 2003)
Jumlah Anoa Laju Perjumpaan
Lokasi Tipe Habitat
(individu) (jumlah anoa/km panjang jalur)
Tj. Peropa (blok Hutan riparian 2 0,021
hutan Kalobo) Tegakan bambu 6 0,115
Hutan dataran rendah 5 0,054
Hutan dataran rendah 4 0,087
perbukitan
Tj. Peropa (blok Hutan dataran rendah 6 0,071
hutan Tambeanga) perbukitan
Tj. Amolengo Hutan dataran rendah 9 0,112
Hutan pantai 1 0,023

Dari ketiga lokasi tersebut diketahui bahwa anoa paling sering dijumpai di hutan dataran
rendah di Tanjung Amolengo yaitu 9 kali, serta di tegakan bambu dan hutan dataran rendah di
Kalobo, masing-masing 6 dan 5 individu anoa. Demikian juga di hutan dataran rendah dengan
landscape berbukit di Tambeanga sebanyak 6 individu. Hanya 2 dan 1 anoa yang tercatat di
hutan pantai Tanjung Amolengo dan hutan riparian Kalobo. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena luas kedua tipe habitat tersebut lebih kecil dibandingkan yang lain.

Tabel 5.8 Okupansi habitat anoa dataran rendah pada beberapa tipe habitat pada musim
kemarau dan musim hujan di Kalobo dan Tambeanga (Tanjung Peropa) serta di
Amolengo (Mustari 2003)
Okupansi Habitat (anoa-hari/km2) pada Musim:
Lokasi Tipe Habitat
Kemarau S.D. Hujan S.D.
Tj. Peropa Riparian 1,02 0,84 1,98 0,86
(blok hutan Kalobo) Tegakan bambu 2,11 2,28 1,59 1,27
Hutan dataran 1,35 0,75 2,26 3,23
rendah
Hutan dataran 0,92 0,89 0,72 0,51
rendah perbukitan
Tj. Peropa Hutan dataran 1,63 0,79 0,83 0,35
(blok hutan Tambeanga) rendah perbukitan
Tj. Amolengo Hutan dataran 0,50 0,29 0,62 0,13
rendah
Hutan pantai 0,85 1,02 1,39 1,00

77
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Data tersebut di atas menunjukkan seluruh tipe habitat dipergunakan oleh anoa baik pada
musim kemarau maupun pada musim hujan. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai tipe habitat
tersebut adalah penting dalam kehidupan anoa karena masing-masing memiliki kelimpahan
sumberdaya (makanan, air dan tempat berlindung) yang berbeda. Okupansi habitat berkisar
0,62 sampai 2,26 anoa-hari/km2. Pada musim kemarau, anoa banyak menggunakan habitat
berupa tegakan bambu serta hutan dataran rendah. Hal ini disebabkan karena hutan bambu
cukup berdekatan dengan sungai sehingga akses untuk mendapatkan air minum cukup mudah
dan dekat. Demikian pula dengan hutan dataran rendah yang walaupun musim kemarau, tetap
tersedia air berupa mata air dan aliran sungai-sungai kecil. Pada musim hujan, anoa banyak
menempati hutan dataran rendah, hutan riparian, tegakan bambu, dan hutan pantai.
Habitat anoa di Tambeanga menunjukkan okupansi habitat adalah tinggi selama musim
kemarau (September–November) dan menurun selama musim penghujan. Hal yang sama
terjadi pada habitat hutan datarn rendah berbatu gamping besar di Kalobo. Sementara okupansi
habitat relatif stabil di hutan dataran rendah Tanjung Amolengo, sedangkan agak berfluktuasi
di hutan pantai.

Gambar 5.12 Okupansi habitat oleh anoa pada empat tipe habitat yang berbeda di Tanjung
Peropa Sulawesi Tenggara (Mustari 2003)

78
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Gambar 5.13 Okupansi habitat oleh anoa di hutan dataran rendah dan hutan pantai Tanjung
Amolengo (Mustari 2003)

Spesies Lain di Habitat Anoa


Anoa hidup pada habitat di mana terdapat berbagai jenis sawaliar. Berbagai jenis satwa
dapat dijumpai pada habitat yang sama dengan anoa (co-exist). Co-exist spesies adalah spesies
yang hidup pada habitat yang sama, baik yang berasal dari leluhur yang sama maupun dari
leluhur yang berbeda. Spesies yang berevolusi dari leluhur yang sama disebut spesies simpatrik
(sympatric species). Munculnya spesies simpatrik (sympatric speciation) karena dalam evolusi
spesies yang bersangkutan terjadi isolasi reproduksi yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perbedaan genetik yang kemudian memunculkan spesies baru. Pada spesies simpatrik tidak ada
kendala atau barrier geografi. Hal ini berbeda dengan spesies allopatrik (allopatric speciation) di
mana faktor geografis lebih berperan dalam terjadinya isolasi populasi. Pada spesies allopatrik,
awalnya terjadi pemencaran individu pada suatu populasi yang kemudian membentuk populasi
baru pada wilayah geografi yang berbeda atau berjauhan. Melalui proses evolusi, populasi yang
berbeda tersebut mengalami isolasi atau kendala fisik geografi sehingga tidak memungkinkan
berlangsunya pertukaran individu dan aliran genetik (gene flow) dengan populasi asal yang
pada akhirnya terbentuk spesies baru. Sementara spesies parapatrik (parapatric speciation), yaitu
evolusi dari beberapa populasi yang secara geografi berdekatan, menjadi spesies yang berbeda.
Pada spesies parapatrik masih memungkinkan terjadinya perkawinan silang (interbreeding) antar
individu populasi yang berbeda tersebut, namun sangat terbatas dan spesies yang ada berbeda.
Co-exist spesies dan sympatric spesies memanfaatkan sumberdaya yang kelihatannya sama
seperti makanan, air dan tempat berlindung dan seolah terjadi persaingan di antara spesies
dalam mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan. Namun demikian setiap spesies tersebut
sesungguhnya menggunakan sumberdaya yang berbeda. Setiap spesies memiliki relung ekologi
(niche) yang berbeda.

79
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Di banyak kawasan hutan, anoa hidup pada habitat yang sama dengan satwa lain seperti
babirusa dan babi hutan Sulawesi, dan pada habitat tertentu bahkan juga terdapat rusa timor
yang merupakan mamalia yang diintroduksi. Meskipun keempat spesies mamalia tersebut
kadang terdapat pada habitat yang sama, setiap spesies memanfaatkan sumberdaya yang berbeda
karena masing-masing spesies dalam evolusinya telah beradaptasi dan mengembangkan relung
ekologi yang berbeda.
Beragam jenis satwa hidup menggunakan sumberdaya serta berbagi ruang dengan anoa.
Ada yang hidup di lantai hutan (terrestrial) seperti babirusa, babi hutan Sulawesi dan kadang
monyet hitam Sulawesi (Macaca spp.) turun ke tanah mencari makan. Terdapat juga jenis
mamalia yang hidup di tajuk pohon (arboreal) seperti berbagai jenis tarsius (Tarsius spp.),
kuskus beruang (Ailurops ursinus), kuskus tembung atau kuskus kerdil Sulawesi (Strigocuscus
celebensis). Selain mamalia, terdapat burung terestrial seperti maleo senkawor (Macrocephalon
maleo), gosong kaki-merah (Megapodius reinwardt), dan ayam hutan merah (Gallus gallus).
Pada tajuk pohon tinggi terdapat rangkong Sulawesi (Rhyticeros casssidix), kangkareng Sulawesi
(Penelopides exarhatus), dan pelatuk (Mulleripicus fulvus) dan berbagai jenis burung merpati
hutan dari suku Columbidae. Beragam jenis satwaliar tersebut membentuk komunitas di hutan
tropis Sulawesi.
Secara ekologi, kebutuhan sumberdaya bagi anoa, babirusa dan babi hutan Sulawesi relatif
berdekatan dibandingkan dengan jenis satwaliar lainnya yang disebutkan di atas. Hal ini karena
ketiganya merupakan mamalia besar terestrial endemik Sulawesi. Ketiganya telah berada di
pulau ini selama jutaan tahun yang lalu pada era Pliosen dan Pleistosen. Babirusa dan babi
hutan Sulawesi dapat dijumpai hidup pada habitat yang sama dengan anoa pada ketinggian
0–1000 mdpl. Namun demikian apabila dicermati, ketiganya memiliki preferensi habitat dan
jenis makanan yang berbeda.
Karakteristik habitat yang disukai babirusa adalah yang terdapat sumber air yang cukup
seperti mata air, sungai, dan genangan kecil mata air yang memungkinkannya mendapatkan air
untk minum, mandi dan berkubang. Babirusa mengunjungi mata air dan tempat mengasing
(salt-lick) secara teratur untuk mendapatkan garam mineral. Babirusa juga sering mengunjungi
sumber air panas yang kaya mineral seperti yang terdapat di Suaka Margasatwa Nantu di
Gorontalo (Mustari, personal observation). Makanan babirusa di antaranya berbagai jenis
umbi dan bagian akar yang mengandung air (succulent), rebung, juga jamur dan buah-buahan
seperti dongi (Dillenia serrata, D. serrata), rao (Dracontomelon dao, D. mangiferum). Salah satu
makanan kesukaan babirusa adalah buah pangi (Pangium edule). Kadang babirusa terlihat
mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, diduga untuk mendapatkan sumber
protein hewani berupa ulat atau cacing. Satwa ini juga mengonsumsi daun, rumput, dan satwa
lain seperti reptil kecil, ikan, burung dan serangga dalam jumlah yang terbatas.

80
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Babi hutan Sulawesi lebih umum dijumpai daripada babirusa, karena kawasan hutan
sekunder, dan hutan yang telah terganggu juga menjadi habitat babi hutan. Bahkan areal
perkebunan yang berdekatan dengan hutan sering terdapat babi hutan. Habitat babi hutan
Sulawesi mencakup hutan primer, hutan sekunder dan hutan riparian. Habitat babi hutan
adalah hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah di mana terdapat sumber-sumber
air seperti sungai, rawa, danau merupakan tempat yang disukai babi hutan Sulawesi. Di Suaka
Margasatwa Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa dan Tanjung Batikolo di Sulawesi Tenggara,
babi hutan sering ditemukan mencari makan dan berkubang di areal di mana juga ditemukan
anoa (Mustari 1994, 2003). Pada akhir musim kemarau atau ketika air mulai surut di areal
terbuka di tengah Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, dapat dijumpai lebih 30 individu
babi hutan pada saat yang sama mencari makan dan berkubang di lapangan rumput berawa di
tengah hutan (Mustari, personal observation).
Babi hutan termasuk omnivore, lebih spesifik lagi yaitu oportunistic omnivore, yaitu
memakan segala yang ada yang tersedia di hutan seperti daun, rumput, akar, umbi, buah dan
bunga yang jatuh ke lantai hutan. Ketika sedang mencari makan, babi hutan dapat menggali
atau menggaruk tanah, mencari makanan berupa cacing, umbi-umbian dan akar yang banyak
mengandung air, succulent. Babi hutan juga makan satwa kecil seperti telur burung, anak
burung, cacing, kepiting, moluska serta reptilia kecil seperti kadal dan ular kecil. Pada malam
hari, babi hutan sering kali masuk kebun di sekitar hutan makan singkong, ubi jalar, pisang,
cokelat bahkan buah kelapa yang jatuh menjadi sumber makanan babi hutan; taring babi hutan
sangat kuat, dapat membuka sabuk dan tempurung kelapa. Seperti halnya babirusa, salah satu
makanan kesukaan babi hutan Sulawesi adalah buah pangi (Pangium edule).
Rusa timor (Rusa timorensis) diintroduksi beberapa abad yang lampau ke Sulawesi serta
bagian timur nusantara. Rusa timor menghuni kawasan hutan dataran rendah, padang rumput,
semak belukar, dan daerah yang iklimnya relatif kering. Makanan utama rusa timor adalah
berbagai jenis rumput, daun perdu dan semak, daun dan buah dalam jumlah yang terbatas.
Pada spesies co-exist terjadi pemisahan relung ekologi. Relung ekologi terbentuk sejalan
dengan proses panjang evolusi spesies yang bersangkutan. Spesies co-exist dapat terjadi pada
beberapa asli atau endemik. Kehadiran spesies introduksi sering kali menyebabkan gangguan
terhadap relung ekologi spesies asli. Introduksi rusa timor ke Sulawesi dapat mengganggu
relung ekologi spesies ungulata terestrial endemik Sulawesi seperti anoa, babirusa, dan babi
hutan Sulawesi. Meskipun rusa timor lebih sering dijumpai pada habitat padang rumput dan
hutan sekunder dengan topografi yang relatif datar, tetapi pada saat tertentu rusa timor juga
masuk ke hutan-hutan primer habitat anoa seperti yang terjadi di Suaka Margasatwa Tanjung
Amolengo dan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai serta di beberapa kawasan hutan
di Sulawesi.

81
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tarsius lariang (Tarsius lariang) Monyet butun (Macaca brunnescens)

Kuskus beruang (Ailurops ursinus) Kuskus tembung (Strigocuscus celebensis)

Babirusa (Babyrousa babyrussa) Babi hutan Sulawesi (Sus celebensis)

Gambar 5.14 Satwa endemik yang dapat dijumpai pada habitat yang sama dengan anoa (Foto
Abdul Haris Mustari)

82
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Ayam hutan merah (Gallus gallus) Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix)

Tikus ekor putih (Maxomys helwandii) Katak (Limnonectes grunniens)

Gambar 5.15 Satwa lain yang dapat dijumpai pada habitat yang sama dengan anoa (Foto
Abdul Haris Mustari)

83
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Relung Ekologi
Relung ekologi adalah peran suatu spesies di habitat atau lingkungannya. Anoa hidup
simpatrik dengan beberapa spesies bain yang tergolong ungulata maupun dari taksa lain seperti
primata dan banyak jenis burung di habitatnya. Apabila dilihat secara sepintas maka terjadi
persaingan di antara spesies tersebut, terutama di antara ungulata asli Sulawesi: anoa, babirusa
dan babi hutan, serta beberapa satwa arboreal seperti burung rangkong Sulawesi dan monyet
hutan Sulawesi. Apakah spesies-spesies simpatrik bersaing dalam mendapatkan makanan,
air dan habitat tempat berlindung?. Jawabannya adalah tidak karena satwa tersebut di atas
tergolong asli, indigenous hutan Sulawesi. Secara evolusi satwa tersebut telah menempati habitat
hutan di Sulawesi dalam jangka waktu yang sangat lama dalam hitungan umur evolusi sehingga
masing-masing sudah memiliki relung ekologi yang berbeda, atau dengan kata lain sumber
pakan, air, tempat berlindung, perilaku dan adaptasi yang berbeda.
Spesies simpatrik mungkin saja memiliki relung ekologi yang kelihatannya tumpang
tindih (overlap), tetapi kaidah ekologi menyatakan bahwa tidak ada dua atau lebih spesies yang
memiliki relung ekologi yang persis sama pada habitat yang sama (niche overlap seratus persen).
Seiring berjalannya waktu dalam evolusinya setiap spesies akan mengurangi overlapping relung
ekologi. Spesies simpatrik memiliki relung ekologi yang berbeda.
Beberapa spesies memiliki jenis makanan yang sama, misalnya daun, buah dan bunga,
tetapi waktu aktif berbeda (diurnal atau nokturnal), ketinggian pohon dan tajuk yang disukai
berbeda (top, middle dan lower canopy). Beberapa satwa makan buah atau daun langsung
pada tajuk pohon (arboreal), sementara yang lain memanfaatkan buah masak yang jatuh ke
lantai hutan (terestrial). Ada satwa yang menyukai buah beringin (Ficus spp.), dongi (Dillenia
serrata, D, ochreata, D. celebica), rao (Dracontomelon dao, D. mangiferum), dan buah huhubi
(Artocarpus dasyphyllus) yang masih mentah, yang lain mencari buah yang masih mengkal,
sementara spesies lain hanya makan buah matang. Bahkan ada satwa yang hanya memakan
buah ranum yang jatuh ke lantai hutan. Oleh karena itu, meskipun beberapa jenis satwa makan
jenis buah yang sama tetapi tahap kematangan buah yang disukai berbeda. Demikian pula
halnya dengan daun, ada yang menyukai daun, pucuk, tunas dan umbut. Ada satwa yang justru
memanfaatkan kulit batang dan kulit buah, bahkan ada yang makan bagian akar dan umbi
tumbuhan. Kesimpulannya habitat menyediakan beragam relung ekologi bagi beragam jenis
satwa.
Dalam hal kebutuhan air, ada satwa yang hanya minum dari sumber air yang jernih dan
ada juga yang bisa memanfaatkan air pada kondisi yang apa pun: jernih, keruh bahkan yang
sangat keruh pun dimanfaatkan. Tempat berkubang atau berendam juga demikian, beberapa

84
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

satwa memilih tempat berendam yang airnya agak dalam, 40–60 cm atau lebih, seperti pada
anoa. Ada juga yang memilih tempat berkubang yang tidak harus tergenang air dalam, seperti
yang disukai babi hutan Sulawesi dan babirusa.
Habitat utama anoa adalah hutan yang belum terjamah, ketinggian 0–2500 mdpl. Anoa
gunung menghuni hutan pegunungan, mulai dari pegunungan bawah sampai pegunungan
atas, bahkan kadang sampai pada vegetasi sub alpin. Anoa gunung lincah bergerak, kaki dan
postur tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan anoa dataran rendah. Makanan anoa terdiri atas
berbagai jenis hijauan, baik berupa daun, pucuk, umbut, dan buah, lebih bersifat browzer.
Babirusa menempati hutan dataran rendah pada ketinggian 0–1000 mdpl. Habitat yang
disukai babirusa adalah yang jarang didatangi manusia, hutan primer di mana terdapat cukup
sumber air. Babirusa tergolong pemakan segala (omnivor), makan berbagai jenis buah, cacing,
dan reptil kecil termasuk ular kecil (Mustari, personal observation).
Babi hutan Sulawesi menghuni beragam tipe habitat, mulai dari hutan primer, hutan
sekunder, areal perkebunan serta pada habitat yang tergolong marginal atau yang vegetasinya
berupa semak belukar. Babi hutan sering diposisikan sebagai hama utama komoditas perkebunan,
dan dianggap musuh oleh para petani di sekitar hutan. Babi hutan makan segala macam yang
tersedia pada musim tertentu (oportunistic omnivore). Komposisi makanannya hampir sama
dengan babirusa. Namun demikian makanan babi hutan Sulawesi lebih beragam karena lebih
toleran dalam menempati berbagai tipe habitat. Mustari (2003) melaporkan sebanyak 35 jenis
makanan babi hutan Sulawesi di Suaka Maragatwa Tanjung Peropa dan Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo.
Multi Dimentional Analysis (MDA) untuk jenis makanan tiga mamalia besar Sulawesi
yaitu anoa, babi hutan Sulawesi dan rusa timor, menunjukkan bahwa ketiganya memiliki jenis
makanan yang berbeda. Oleh karena itu ketiga spesies tersebut memiliki relung ekologi yang
berbeda (Mustari 2003).
Apabila diringkas, maka gambaran relung ekologi dari empat satwa ungulata yang hidup
di hutan Sulawesi adalah sebagai berikut:
- Anoa dataran rendah: Anoa dataran rendah menghuni hutan dataran rendah 0–1000
mdpl. Satwa ini juga mengunjungi hutan pantai dan hutan mangrove. Habitatnya adalah
hutan yang masih utuh, jarang dikunjungi manusia. Anoa termasuk browser, memiliki
variasi makanan yang tinggi. Makanannya terdiri atas daun, buah, pucuk dan tunas dari
berbagai jenis tumbuhan. Umumnya dikotil, herba, perdu, tumbuhan bawah, dan buah
yang jatuh ke lantai hutan atau yang tumbuhnya dekat lantai hutan seperti beberap jenis
beringin (Ficus spp.) yang tergolong caulifloria, buah keluar langsung dari batang, dahan
dan bahkan pada akar di permukaan tanah. Satwa ini membutuhkan air setiap hari untuk

85
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

minum dan berkubang. Anoa hidup soliter, dua atau tiga individu per kelompok. Satwa
ini aktif pada siang dan malam hari, sangat sensitif akan gangguan dan kehadiran manusia,
selalu menghindar dari kontak dengan manusia atau lingkungan permukiman manusia.
Anoa hanya melahirkan 1 anak per kelahiran (litter size).
- Anoa gunung: Habitat anoa gunung adalah hutan pegunungan bawah (1000–1500 mdpl)
dan hutan pegunngan atas (1500–2500 mdpl). Bahkan jejaknya dapat ditemukan sampai
vegetasi sub alpin ( >2500 mdpl). Postur tubuh serta tanduk lebih kecil dan lebih lincah
pada habitat pegunungan. Makanannya sama dengan anoa dataran rendah, terdiri atas
daun, pucuk, tunas, buah dan bunga berbagai jenis tumbuhan. Melahirkan 1 anak per
kelahiran.
- Babirusa: Habitat babirusa adalah hutan dataran rendah (0–1000 mdpl) yang masih utuh
dan jarang didatangi manusia. Babirusa termasuk satwa omnivora. Makan buah yang jatuh
ke lantai hutan, cacing tanah dan akar tumbuhan yang mengandung banyak air (succulent).
Babirusa hidup berkelompok kecil 3–5 individu per kelompok. Kelompok dipimpin oleh
betina dewasa (matriarchal group). Babirusa membutuhkan air setiap hari untuk minum
dan berkubang dan sering mengunjungi tempat mengasin (salt-lick). Babirusa melahirkan
hanya 1 anak pada setiap kelahiran.
- Babi hutan Sulawesi: Babi hutan menghuni hutan dataran rendah sampai hutan
pegunungan bawah, sampai ketinggian sekitar 1500 mdpl. Babi hutan Sulawesi juga dapat
hidup di hutan sekunder, habitat bervegetasi semak belukar, serta di areal perkebunan
di sekitar hutan. Babi hutan Sulawesi termasuk satwa omnivora, makan segala macam,
termasuk daun, buah, umbi-umbian, cacing, reptil kecil, dan moluska. Babi hutan Sulawesi
dapat menggali dan menggerus tanah mencari makanan di lantai hutan (menyungkur).
Babi hutan Sulawesi sering masuk kebun memakan tanaman perkebunan cokelat,
batang dan umbut pisang, tunas kelapa, buah kelapa, jagung, padi, ubi jalar, singking,
dan tanaman palawija lainnya. Babi hutan Sulawesi hidup dalam kelompok kecil 3–5
individu per kelompok. Kelompok dipimpin oleh betina dewasa (matriarchal group). Satu
kali melahirkan, induk babi hutan Sulawesi dapat melahirkan 4–6 anak, meskipun yang
tumbuh mencapai usia dewasa mungkin hanya 1–3 anak dan yang lain mati atau dimangsa
predator, bagian dari seleksi alam.
- Rusa timor: Awalnya diintroduksi kemudian menyebar ke seluruh Sulawesi dan Buton.
Rusa timor menyukai habitat yang relatif terbuka dan padang rumput, semak, dan perdu.
Makanan utamanya adalah berbagai jenis rumput (grazer), meskipun juga makan daun
dan pucuk serta buah tumbuhan dikotil dalam jumlah terbatas.

86
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Gambar 5.16 MDS plot komposisi tumbuhan makanan anoa, babi hutan Sulawesi, dan rusa
timor

Analisis multivariat komposisi tumbuhan pakan anoa, babi hutan dan rusa timor
di Tanjung Amolengo menunjukkan bahwa ketiga jenis mamalia tersebut memiliki komposisi
jenis tumbuhan pakan yang berbeda atau dengan kata lain ketiganya memiliki relung ekologi
yang berbeda.

Predator
Di sub zoogeografi Sundaic yang mencakup Sumatera, Jawa dan Kalimantan terdapat
spesies predator khususnya jenis kucing suku Felidae, seperti harimau sumatera, macan tutul,
dan macan dahan. Sulawesi yang merupakan salah satu pulau di sub wilayah zoogeografi
Wallacea tidak terdapat spesies kucing besar yang menjadi pemangsa puncak. Hanya terdapat
musang Sulawesi (Macrogalidia muschenbroekii) yang merupakan spesies musang asli Sulawesi.
Dua spesies musang yang lain di Sulawesi yaitu musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus)
dan musang tenggalung (Viverra tangalunga), keduanya adalah spesies yang diintroduksi.
Musang Sulawesi disinyalir dapat menjadi predator alam bagi anoa, babi hutan dan babirusa,
tetapi hanya pada individu muda atau anak. Musang ini terlalu kecil untuk menjadi pemangsa
anoa yang berat tubuhnya mencapai 80–100 kg. Lagi pula anoa dewasa sangat kuat dan lincah
menghindari predator.
Predator yang paling mungkin bagi anoa dan mamalia besar lainnya seperti babi hutan
dan rusa timor adalah ular python. Ada dua spesies ular python di Sulawesi yaitu Python
reticulatus dan P. molurus. Reptil raksasa ini panjang tubuhnya mencapai 8 m bahkan lebih.

87
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Dalam beberapa kejadian, python memangsa manusia dengan menelannya bulat-bulat, seperti
yang pernah terjadi di Muna dan Sulawesi Barat, penduduk lokal ditelan ular raksasa ini. Kedua
spesies pyhton tersebut dapat dijumpai hampir di seluruh kawasan hutan di Sulawesi, terlebih
hutan yang masih tergolong perawan (virgin forest), terutama di hutan riparian dan hutan
dataran rendah. Ular python yang panjangnya lebih 6 m, dapat memangsa anoa dewasa.
Habitat yang disukai python adalah lubang kayu besar, lubang batu dan di pinggir sungai
serta rawa atau di sekitar mata air. Python menyukai habitat air atau berdekatan dengan air.
Python juga biasa ditemukan setelah hujan, kemudian muncul matahari dan di tempat terbuka
biasa berjemur (basking) menghangatkan tubuhnya. Python menyukai mangasa yang masih
hidup dari berbagai spesies satwa targetnya di hutan. Oleh karena itu, mangsa seperti anoa, babi
hutan Sulawesi, babirusa, monyet hitam Sulawesi adalah termasuk mangsa targetnya.
Mustari (personal observation) pernah menyaksikan langsung bagaimana seekor python
menunggu mangsa di tepi rawa yang terdapat di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo pada
siang hari sekitar pukul 9.00. Predator ini menghadang mangsa di koridor yang sering dilalui
anoa dan babi hutan Sulawesi. Python berada di bawah vegetasi yang cukup rapat, di mana
ular besar ini diam menunggu mangsa dan membuat dua tumpukan atau lilitan tubuh. Satwa
ini diam seolah tidur atau istirahat, tetapi sesungguhnya perangkap atau alarm mangsa sudah
dipasang, yaitu dengan air liurnya yang dibentangkan terlihat seperti sehelai benang atau
senar putih bening yang disebut tasi oleh penduduk Tolaki. Tubuh python berada di seberang
lintasan satwa selebar kurang lebih 40 cm dan air liur putih bening dibentangkan, ujungnya
dilekatkan pada batang pohon kecil di seberang lintasan. Air liur python putih bening tersamar
tidak terlihat oleh satwa mangsa yang akan melintas karena sangat halus. Air liur bening yang
dibentangkan di lintasan satwa mangsa berfungsi sebagai detektor. Apabila ada mangsa yang
lewat dan menyentuh air liur benang itu, dengan secepat kilat python akan bereaksi menangkap
dan melilitnya sampai lumpuh kehabisan tenaga. Taktik seperti ini dilakukan karena python
menangkap mangsa dengan cara menghadang (ambush) dan mengelabui mangsanya melalui
detektor air liur berupa benang halus tersebut. Pada kesempatan lain, mungkin python dapat
menangkap mangsa dengan cara menghadang tanpa memasang benang air liur seperti itu.
Corak warna kulit python, cokelat bercampur kuning serta hitam memudahkannya melakukan
kamuflase di lantai hutan yang berserasah daun kering untuk menghadang mangsa.
Jumlah lilitan python ketika menghadang mangsa menunjukkan tipe mangsa yang
diinginkan. Kekuatan utama python ada pada lilitannya. Dengan posisi melilitkan atau
melingkarkan tubuh, ular dapat menjangkau mangsa yang lebih jauh serta dapat menyambar
mangsa sangat cepat. Apabila mangsa yang diinginkan adalah satwa besar dan memiliki tenaga
kuat, maka python membentuk 2–3 gumpalan berupa lilitan tubuh di tanah lantai hutan.

88
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Ketika menangkap mangsa, python secepat kilat melumpuhkan mangsa (prey) dengan
cara melilitnya sehingga mangsa secara perlahan akan sulit bernafas, dan pada akhirnya akan
mati secara perlahan. Ketika menangkap mangsa, python akan menggunakan kekuatan
tulang belakangnya dengan cara segera membalikkan tubuhnya ketika sedang melilit mangsa
dan berusaha melumpuhkannya. Lilitan python lebih maksimal, keras dan kencang melalui
kekuatan tulang belakang.
Setelah mati atau dalam keadaan mangsa lemas, python mengeluarkan cairan air liur
yang banyak dan melumuri mangsanya agar licin dan mudah ditelan. Bagian kepala anoa
akan ditelan terlebih dahulu sehingga lebih mudah bagi python ketika menelan mangsanya
itu karena posisi tanduk anoa arahnya tidak terbalik atau sungsang. Selain itu, dengan bagian
kepala yang dimasukkan ke perut terlebih dahulu, python memastikan bahwa mangsanya akan
mati kehabisan napas. Setelah itu bagian tubuh lainnya secara perlahan masuk ke perut python
melalui mekanisme gerak otot peristaltik. Hal yang sama dilakukan oleh jenis ular lainnya
ketika sedang melumpuhkan dan menelan mangsanya. Apabila perut mangsa seperti anoa
cukup besar karena rumen menampung bahan makanan yang banyak, python akan menguras
terlebih dahulu isi rumen dengan cara melubangi atau memperbesar bagain dubur anoa agar
bahan makanan berupa hijuan perlahan kelur. Perut mangsa menjadi kempes atau mengecil
dan mudah ditelan.
Di perut python tubuh mangsa akan dicerna secara kimiawi dalam waktu beberapa hari
atau minggu kedepan sehingga seluruh bagian tubuh akan hancur dengan sendirinya termasuk
daging dan tulang. Sementara tanduk luar, kuku dan rambut, atau bagian yang mengandung
zat chitin, tidak tercerna di tubuh python dan material ini tetap utuh dan dikeluarkan oleh
python bersama dengan fesesnya. Oleh karena itu, feses python sering mengandung fragmen
tanduk, kuku dan rambut mangsa yang tidak tercerna.
Setelah beberapa hari, apabila mangsanya berupa mamalia besar seperti anoa, python
akan melilitkan tubunya pada batang pohon yang bertujuan agar bagian tanduk dan sisa
makanan yang tidak hancur tercerna akan lebih mudah keluar bersama feses. Fragmen feses
python yang berwarna putih sesungguhnya adalah tulang mangsa yang hancur dalam proses
kimiawi di perutnya. Oleh karena itu, sering tercium aroma tidak sedap di sekitar python yang
sedang mencerna mangsanya. Proses pencernaan kimiawi menghasilkan gas yang keluar dari
perut python. Bau yang tidak sedap ini dalam bahasa Tolaki disebut Tehuho, artinya bau gas
tidak sedap dan amis yang keluar dari perut dan mulut python. Ukuran besar kecilnya python
berkorelasi kuat dengan ukuran fesesnya yang berupa gumpalan atau boli-boli warna putih.
Semakin besar ukuran feses semakin besar pula tubuh python.

89
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Lingkungan di mana terdapat python sering terdapat banyak lalat besar yang disebut lalat
kadue atau lalat anoa. Lalat besar itu ada dua jenis masing-masing disebut Tamoli dan Hulo
Hulo dalam bahasa Tolaki. Gigitan lalat ini dapat menimbulkan rasa sakit dan pendarahan pada
bekas gigitan. Oleh karena itu, seseorang perlu waspada apabila menemukan jenis lalat ini di
hutan karena tidak jauh dari tempat itu kemungkinan ada ular python.

Gambar 5.15 Malayapython reticulatus sinonim Python reticulatus, predator utama di hutan
tropis Sulawesi, termasuk predator bagi anoa, babirusa dan babi hutan Sulawesi
(Foto Abdul Haris Mustari)

Penulis pernah bertemu dengan orang yang melihat langsung kejadian python melilit
seekor anoa. Namanya Tamim (45 tahun), penduduk Desa Tumbu Jaya, Kolono, Konawe
Selatan, Sulawesi Tenggara. Kejadiannya sudah cukup lama yaitu pada musim hujan bulan Juli
1996 di Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo, di pesisir Teluk Kolono. Pada waktu itu Tamim
bersama dua temannya bermaksud mencari rotan di kawasan hutan tersebut. Pagi hari sekitar
09.00 seekor anoa jantan muda dililit python. Awalnya anoa tersebut lari menghindar karena
kehadiran Tamim dan temannya. Ketika anoa lari menghindar dan melintasi jalan setapak
di hutan di mana seekor python yang sedang dalam posisi menghadang mangsa (ambush) di
dekat pohon holea (Cleistanthus sumatranus). Python menunggu mangsa dengan cara diam
dan membuat tumpukan atau lilitan tubuh dengan kepala disembulkan di dalam lilitan di sisi
jalan setapak yang biasa dilalui mangsa. Anoa ditangkap oleh python dewasa yang panjangnya
diperkirakan 7–8 m, dan berat tubuh sekitar 200 kg. Sekejap python melilit tubuh anoa
sebanyak dua lilitan, sedangkan mulutnya mencengkram kuat pada bagian ketiak atau dada
anoa, dan ekornya dililitkan pada batang pohon holea di dekatnya yang berdiameter 10 cm.

90
Bab 5
KARAKTERISTIK HABITAT

Melihat kejadian yang langka itu, Tamim dan temannya mendekat dan dengan sigap
menebas putus leher ular python itu. Pada saat berusaha melilit mangsa maka fokus python
ada pada mangsanya sehingga seseorang dapat dengan mudah melukai dan atau menangkap
predator besar ini. Python akhirnya mati, sementara anoa masih hidup namun dalam kondisi
lemas karena hampir kehabisan napas dan tenaga akibat lilitan python. Berikutnya para pencari
rotan tersebut menebas leher anoa yang sudah tidak berdaya. Selain mengenai leher, secara
tidak sengaja parangnya juga mengenai bagian ujung salah satu tanduk anoa hingga putus.
Selanjutnya python dan anoa yang sudah mati dibawa mereka ke kampungnya di Desa Tumbu
Jaya yang berada di seberang Teluk Kolono menggunakan perahu. Tubuh anoa muda itu
dipotong kecil-kecil kemudian dibagikan kepada para tetangganya, sedangkan python hanya
mereka buang di tepi pantai. Tamim menyatakan bahwa panjang tanduk anoa itu sekitar
14 cm. Berdasarkan panjang tanduk, umur anoa itu diperkirakan sekitar 2 tahun, termasuk
anoa usia muda. Kejadian di atas menegaskan kembali bahwa predator utama anoa di alam
adalah python.

91
BAB 6
EKOLOGI MAKAN
Dibandingkan dengan jenis ungulata lainnya, anoa adalah yang paling tergantung
akan adanya hutan sebagai habitat dan sumber pakan. Dari analisis mengenai jenis-
jenis pakan, anoa sangat berbeda dengan jenis ungulata ruminansia, lebih banyak
mengonsumsi tumbuhan daun dari tumbuhan dikotil, herba, semak dan perdu, browser,
serta membutuhkan kondisi habitat yang relatif tertutup oleh pepohonan atau yang
berhutan dan terdapat sumber air yang cukup banyak. Oleh karena itu, untuk menjaga
kelestarian anoa, keberadaan hutan adalah faktor yang sangat penting karena hutan
adalah segalanya bagi anoa, berfungsi sebagai rumah dan sumber makanannya. Berikut
beberapa jenis tumbuhan pakan anoa dari berbagai kawasan hutan di Sulawesi.

Sulawesi Tenggara
Penelitian jenis tumbuhan pakan anoa serta ekologi makan anoa yang cukup detil
telah dilakukan di Sulawesi Tenggara oleh penulis sejak tahun 1994 dan sampai saat ini
masih terus melakukan penelitian mengenai habitat, populasi dan penyebaran anoa di
kawasan ini. Mustari (1994, 2003) melakukan penelitian di beberapa kawasan konservasi
di bagian selatan Sulawesi Tenggara mencakup Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo,
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo, dan Suaka
Margasatwa Tanjung Polewali serta beberapa kawasan di bagian utara, termasuk di
wilayah Kolaka.
Di habitat aslinya, tumbuhan makanan anoa sangat beragam. Selama lebih dua
puluh tahun pengamatan di habitat anoa, penulis telah mencatat lebih 140 jenis
tumbuhan pakan anoa. Berbeda dengan satwa ruminansia lainnya seperti banteng,
kerbau air, serta rusa yang tumbuhan pakannya terutama jenis rumput dan grazer,
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

anoa lebih banyak mengonsumsi jenis tumbuhan dikotil di hutan yaitu daun, pucuk, tunas,
bunga buah dari tumbuhan dikotil, browser. Anoa juga makan berbagai jenis rumput, namun
dalam jumlah yang terbatas. Di alam jenis tumbuhan makanan anoa sangat beragam mencakup
habitus pohon, perdu, semak, liana, paku-pakuan, dan tumbuhan air. Anoa makan daun dan
buah beberapa jenis beringin (Ficus spp.). Beringin termasuk salah satu jenis tumbuhan yang
buahnya langsung keluar dari batang atau akar (cauliflori) pada bagian bawah yang terjangkau
anoa. Anoa juga kadang makan lumut di hutan-hutan pegunungan. Hasil penelitian di Sulawesi
Tenggara menunjukkan bahwa makanan anoa mencakup jenis tumbuhan dikotil lebih 70%,
berbagai jenis buah 22%, dan sisanya adalah jenis tumbuhan paku-pakuan (Mustari 2003,
2019).
Untuk mengetahui jenis tumbuhan makanan anoa dilakukan berbagai macam cara yaitu
pengamatan langsung, pengamatan tidak langsung berdasarkan bekas renggutan dan bekas
makan anoa serta analisis feses. Hasil studi menunjukkan bahwa anoa makan berbagai jenis
tumbuhan, demikian pula dengan bagian tumbuhan yang dimakan. Anoa makan pucuk, daun
muda, buah, dan rebung bambu. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai dalam feses anoa
adalah balandete (Merremia peltata), sejenis liana yang daunnya agak lebar berbentuk hati. Jenis
lain yang disukai anoa yaitu Sonneratia alba, waru laut (Hibiscus tiliaceus), putat (Barringtonia
racemosa), warakas (Acrosticum aureum), rumput teki (Cyperus spp. ), berbagai jenis bambu
(Bambusa spp), serta rumput air yang sering tumbuh di rawa dan sekitarnya Cynodon dactylon.
Tidak jarang anao dijumpai di hutan bakau saat air laut surut, makan daun, pucuk dan
buah beropa (Sonneratia alba) serta buah api-api (Avicennia spp.). Untuk meraih daun yang
lebih tinggi, anoa mengangkat kedua kaki depannya pada pangkal pohon.
Selain daun dan pucuk, anoa makan berbagai jenis buah yang jatuh ke lantai hutan seperti
buah beringin (Ficus spp.), dongi (Dillenia serrata, D.ochreata, D.celebica), konduri (Parkia
roxburghii), toho (Artocarpus sp.), buah kalaero (Diospyros pilosanthera), buah kasumeeto
(Diospyros malabarica), kabuko jenis jambu-jambuan (Syzygium sp.), menambo sejenis manggis
hutan (Garcinia tetrandra), dan huhubi (Artocarpus dasyphyllus). Nama daerah tumbuhan yang
dipakai umumnya adalah bahasa daerah suku Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Di kawasan hutan pegunungan, anoa biasa mengonsumsi tumbuhan perdu, semak, dan
buah yang jatuh ke lantai hutan. Kadang anoa makan atau menjilati lumut-lumut yang ada
di hutan pegunungan terutama yang memiliki ketinggian di atas 2000 mdpl. Selain sebagai
sumber pakan, lumut juga sumber air minum bagi anoa karena kandungan airnya yang cukup
tinggi. Namun demikian air terbuka tetap menjadi kebutuhan pokok anoa di habitatnya
terutama untuk minum.

94
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Anoa kadang keluar dari hutan untuk mencari makan di kawasan yang berbatasan dengan
kebun penduduk atau tepi hutan (forest edges). Tanaman perkebunan juga menarik bagi
anoa karena makanan terkumpul pada suatu tempat dan mudah diperoleh seperti tanaman
singkong, ubi jalar, jagung, padi ladang, palawija, dan umbut pisang. Pemilik kebun pada saat
tertentu membersihkan lahan dengan cara memaras atau memangkas tumbuhan yang dianggap
pengganggu tanaman. Setelah dipangkas atau dipotong, tumbuhan di lahan perkebunan
akan tumbuh terubusan (coppice) di mana tersedia makanan kesukaan anoa berupa daun dan
pucuk. Perilaku anoa yang sering keluar dari hutan dan masuk ke lahan perkebunan kadang
dimanfaatkan oleh pemilik kebun atau penduduk sekitar hutan untuk memasang jerat kaki
yang disebut dudeso di bagian utara Sulawesi, terbuat dari tali nilon dan kawat sling kopling.
Jerat dudeso tidak selektif, dapat menjerat satwa apa saja yang melewatinya terutama mamalia
besar seperti anoa, babi hutan, babirusa, dan rusa.
Anoa mengunjungi hutan mangrove ketika air laut surut untuk mencari makan berupa daun
dan buah tumbuhan mangrove seperti daun pedada (Sonneratia spp.), buah bakau (Rhizophora
mucronata.), buah api-api (Avicennia spp.). Anoa juga pernah terlihat menjilat rumput laut,
tiram dan berbagai jenis kerang laut ketika air laut surut pada lokasi yang berdekatan dengan
hutan mangrove. Makan daun tumbuhan mangrove serta menjilat rumput laut, kulit kerang
dan tiram diduga sebagai upaya anoa untuk mendapatkan garam mineral yang dibutuhkan
dalam proses pencernaannya.
Tercatat lebih sepuluh jenis beringin (Ficus spp.) tumbuh di hutan-hutan tropis Sulawesi.
Hampir seluruh jenis beringin menghasilkan buah yang disukai anoa serta satwa lain termasuk
babirusa, babi hutan Sulawesi, monyet hitam Sulawesi, kuskus beruang dan kuskus kerdil
Sulawesi, burung rangkong, serta puluhan jenis merpati hutan. Terdapat beberapa jenis
beringin di Sulawesi yang musim berbuahnya bergantian sepanjang tahun, baik pada musim
hujan maupun musim kemarau menghasilkan buah sebagai makanan berbagai jenis satwa
di hutan Sulawesi. Ukuran buah beringin bervariasi sesuai jenisnya sehingga sesuai untuk berbagai
jenis satwa baik burung, mamalia kecil, serta mamalia besar seperti anoa. Masing-masing sudah
memiliki preferensi baik dalam ukuran maupun dalam tingkat kematangan buah.
Jejak kaki dan feses anoa sering dijumpai di bawah pohon beringin yang sedang berbuah
di mana ketika buah masak dan jatuh ke lantai hutan dapat dimakan oleh anoa. Buah yang
jatuh ke lantai hutan disebabkan masak alami dan aktivitas berbagai satwa arboreal yang sedang
makan buah beringin, seperti tupai, monyet hitam Sulawesi, burung rangkong, dan berbagai
jenis burung dari famili Columbidae. Oleh karena itu ketika musim buah tiba, sekitar bulan
Januari sampai Maret berbagai jenis satwa termasuk anoa dapat dengan mudah dijumpai di
sekitar pohon yang sedang berbuah. Bahkan pada musim kemarau pun, berbagai jenis pohon
beringin serta jenis tumbuhan lain menghasilkan buah sebagai sumber pakan satwa, meskipun
tidak sebanyak buah pada musim hujan.

95
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Selain daun dan buah jenis tumbuhan dari kelompok dikotil, sumber pakan anoa lainnya
yaitu berbagai jenis tumbuhan yang tergolong paku-pakuan, seperti Polypodium persicifolium,
Microlepia sp., Thelypteris heterocarpa, dan Acrosticum aureum. Jenis paku banyak dijumpai di
sepanjang hutan riparian, sekitar rawa dan sekitar mata air. Habitat yang disukai berbagai jenis
paku adalah yang kelembapan relatif tinggi di atas 70%, meskipun ada juga jenis paku yang
tumbuh pada tanah yang relatif kering. Bagian tumbuhan paku yang disukai anoa adalah pucuk
dan daun muda. Bekas makan anoa dapat dijumpai pada tumbuhan paku, sering kali bagian
yang dimakan hanya sekitar seperdua panjang helai daun dan pucuk paku.
Jenis tumbuhan pakan anoa diketahui berdasarkan analisis kandungan feses dengan
mengidentifikasi epidermis tumbuhan yang terdapat pada feses. Epidermis daun, buah dan bagian
tumbuhan yang lain tidak hancur dalam proses pencernaan anoa sehingga dapat diidentifikasi
secara mikroskopis.Terlebih dahulu dibuat slide epidermis berbagai jenis tumbuhan yang
potensil dimakan anoa yang dikumpulkan dari habtatnya. Epidermis yang diidentifikasi dalam
feses anoa kemudian dibandingkan dan dicocokkan dengan epidermis dari slide yang menjadi
referensi untuk mengetahui pola dan bentuk selnya. Selain itu identifikasi jenis tumbuhan
pakan anoa dilakukan melalui perjumpaan langsung di lapangan. Dalam beberapa kesempatan
tercatat lebih 50 kali penulis bertemu langsung dengan anoa di habitatnya (Mustari 1995,
2003). Selain itu dilakukan analisis terhadap tumbuhan bekas makan anoa atau pada daun
bekas renggutan anoa (browsing sign). Hal ini dapat dilakukan karena jejak kaki anoa, babi
hutan Sulawesi, babirusa, dan rusa timor dapat dibedakan. Lebih spesifik lagi untuk babi hutan
dan babirusa tidak memiliki kebiasaan menjangkau dan merenggut daun atau pucuk yang lebih
tinggi. Pada kondisi tertentu anoa dapat mengangkat kedua kaki depan untuk menjangkau
pakan yang diinginkan. Beberapa jenis tumbuhan pakan anoa juga dikumpulkan berdasarkan
informasi dari pawang dan/atau mantan pemburu anoa yang memiliki pengalaman cukup
banyak dan sering berinteraksi dengan anoa di habitatnya. Metode yang terakhir ini hanya
sebagai tambahan atau pendukung data yang dikumpulkan. Jenis-jenis tumbuhan pakan anoa
yang telah dikumpulkan oleh penulis dalam kurun waktu sekitar 25 tahun terakhir adalah
terutama berdasarkan ketiga metode analisis feses, perjumpaan langsung, dan analisis bekas
makan anoa.
Dari daftar jenis makanan tersebut dapat disimpulkan bahwa anoa memiliki variasi makanan
yang sangat tinggi di habitat alaminya. Tercatat sebanyak 147 jenis tumbuhan terdiri atas 85
jenis tumbuhan berhabitus pohon (berkayu) serta 62 jenis tumbuhan tergolong herba, perdu,
semak, liana, rumput, dan tumbuhan bawah lainnya. Jumlah famili (suku) tumbuhan juga sangat
tinggi, yaitu 51 famili dan yang tertinggi adalah tumbuhan dari famili Moraceae sebanyak 22
jenis, disusul famili Euphorbiaceae sebanyak 11 jenis tumbuhan untuk yang berhabitus pohon.
Sementara yang berhabitus herba, perdu, liana, rumput, dan tumbuhan bawah yang terbanyak
adalah famili Poaceae sebanyak 19 jenis disusul famili Cyperaceae sebanyak 5 jenis tumbuhan.
Famili Poaceae dan Cyperaceae mencakup jenis rumput dan bambu.

96
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Jenis tumbuhan pakan anoa juga mencakup vegetasi mangrove seperti Rhizophora spp.,
Avicennia spp., dan Sonneratia spp. bagian tumbuhan yang dimakan adalah buah dan pucuk
yang berada pada posisi yang lebih rendah atau yang jatuh ke lantai hutan ketika air laut surut.
Jenis tumbuhan mangrove tersebut memiliki kadar tanin yang tinggi. Anoa juga makan jenis
tumbuhan yang tergolong jahe-jahean dari famili Zingiberaceae. Anoa juga mengonsumsi
jenis tumbuhan yang tergolong pakua-pakuan dari famili Blechnaceae, Denstaediaceae,
Polypodiaceae, Pteridaceae, dan Thelypteridaceae. Bahkan anoa juga makan umbi dan daun
tumbuhan yang sebenarnya beracun apabila dikonsumsi manusia tanpa perlakuan khusus
terlebih dahulu seperti wikoro atau gadung (Dioscorea hispida) famili Dioscoreaceae. Tumbuhan
ini mengandung sianida alami yang cukup tinggi sehingga dapat menyebabkan keracunan atau
bahkan kematian. Selain itu, anoa makan tumbuhan yang sangat gatal apabila tersentuh kulit
manusia yaitu Laportea stimulans dan Elastotema rostratum (Urticaceae) karena kandungan silika
yang tinggi pada bagian batang dan daun. Silika yang sangat halus apabila masuk ke pori-pori
kulit karena tumbuhan ini secara tidak disengaja tersentuh ketika masuk hutan. Demikian pula
dengan tumbuhan yang kandungan taninnya tinggi seperti vegetasi mangrove dapat dimakan
oleh anoa.
Bagaimana anoa dapat memakan dan menetralisir bahan-bahan yang beracun atau gatal
tersebut masih perlu dipelajari lebih lanjut. Selain itu, anoa menyukai jenis tumbuhan yang oleh
manusia dianggap sebagai jenis tumbuhan obat seperti tumbuhan dari famili Zingiberaceae.
Di alam anoa mengonsumsi berbagai jenis tumbuhan karena nutrisi dan khasiatnya saling
melengkapi (complementary effect): kandungan protein, serat, karbohidrat, lemak, kalori,
garam mineral, dan khasiat obat unsur penyembuh atau penangkal zat racun. Selain itu, dalam
beberapa kesempatan penulis melihat langsung anoa menjilati tanah, kayu lapuk, kulit kerang,
dan arang bekas pembakaran ketika penduduk sekitar hutan membakar dan membersihkan
lahan perkebunan mereka. Tanah dan arang diketahui mengandung zat tertentu yang berperan
menetralisir racun.
Nama-nama tumbuhan pakan anoa berikut disajikan nama daerah, nama ilmiah, famili
dan bagian tumbuhan yang dimakan, seperti daun, pucuk, tunas, bunga dan buah. Nama
daerah tumbuhan yang dipakai umumnya adalah nama dalam bahasa Tolaki dan beberapa
dalam bahasa daerah Muna. Tolaki, Muna dan Buton merupakan suku mayoritas di Sulawesi
Tenggara daratan. Nama-nama jenis tumbuhan dalam bahasa daerah Tolaki sudah dituangkan
dalam bentuk buku ‘Checklist Jenis-Jenis Tumbuhan di Sulawesi Tenggara dalam bahasa daerah
Tolaki’, Mustari (2017) di mana terdapat lebih 600 jenis tumbuhan terdapat dalam buku itu,
ditulis nama daerah, nama ilmiah, dan familinya.
Selain tumbuhan pakan anoa yang tersedia secara alami di habitat anoa, satwa ini juga sering
keluar hutan dan mengonsumsi tanaman perkebunan yang berada di sekitar hutan habitat anoa,
terutama kebun yang berbatasan langsung dengan hutan. Jenis tanaman perkebunan tersebut

97
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

di antaranya ubi jalar (Ipomoea batatas), daun ubi kayu (Manihot esculenta), pisang, padi, dan
jenis palawija lainnya. Demikian pula dengan tunas dan daun muda herba, semak serta rumput
yang terdapat dikebun dan tumbuh dengan cepat sesaat setelah pemilik kebun membersihkan
kebun dari gulma dan tumbuhan pengganggu. Terubusan-terubusan, daun muda, pucuk, serta
tunas tumbuh dan menjadi makanan bagi anoa. Hanya kebun yang berlokasi di dekat hutan
dan berada cukup jauh dari perkampungan yang biasa didatangi anoa karena satwa ini sensitif
akan kehadiran manusia.

Tabel 6.1 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 2003, 2019)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tubuhan yang Dimakan
Pohon/tumbuhan berkayu:
1 Kawo Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi Daun
2 Nonohu Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi Daun
3 Rawa Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi Daun
4 Oloho/kedondong Spondias sp. Anacardiaceae Buah
5 Kase Chisocheton ceramicus Meliaceae Buah, bunga
6 Rao Dracontomelon dao/ Anacardiaceae Buah, bunga
D. mangiferum
7 Ondolia Cananga odorata Annonaceae Daun, pucuk
8 Kole Mitrephora cf.polypyrena Annonaceae Daun
9 Pepundi nggasu Alphonsea javanica Annonaceae Buah
10 cf.kedondong Schefflera elliptica Araliaceae Daun, pucuk
11 Bila Crestentia cujete Bignoniaceae Daun, pucuk
12 Loluna Cordia myxa Borraginaceae Daun, pucuk
13 Menambo Garcinia tetrandra Clusinaceae Buah
14 Pedengisi Garcinia balica Clusinaceae Daun
15 Benua Octomelos sumatrana Datiscaceae Daun
16 Bolongita Tetrameles nudiflora Datiscaceae Daun
17 Dongi Dillenia serrata Dilleniaceae Daun, buah, bunga
18 Bitau Drypetes neglecta Euphorbiaceae Daun, pucuk
19 Holea Cleistatnthus sumatranus Euphorbiaceae Daun
20 Kasu wila Mallotus moluccanus Euphorbiaceae Daun, pucuk
21 Macaranga Macaranga hispida Euphorbiaceae Daun, pucuk
22 Ombana biasa Sumbaviopsis albicans Euphorbiaceae Daun
23 Pute pute mata Macaranga gigantea Euphorbiaceae Daun
24 Tawa momea Macaranga tanarius Euphorbiaceae Daun
25 Towula Mallotus sp. Euphorbiaceae Daun
26 Longahi Acalypha bochmerioides Euphorbiaceae Daun

98
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.1 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 2003, 2019) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tubuhan yang Dimakan
27 Ombana watu Mallotus oblongifolius Euphorbiaceae Daun
28 Wunu Acalypha caturus Euphorbiaceae Daun
29 Asana Pterocarpus indicus Fabaceae Daun
30 cf.kelor Dalbergia lanceolarius Fabaceae Daun, pucuk
31 Konduri Parkia roxburghii Fabaceae Buah
32 Roda Erythrina subumbrans Fabaceae Daun
33 Belum teridentifikasi Flemingia strobilifera Fabaceae Daun, pucuk
34 Pangi Pangium edule Flacourtiaceae Buah
35 Tawa huko Gnetum gnemon Gnetaceae Daun, buah
36 Dede meiho Garcinia cf dioica Guttiferae Daun
37 Putat Barringtonia racemosa Lecythidaceae Daun, buah, bunga
38 Tolihe Barringtonia acutangula Lecythidaceae Daun
39 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae Daun, pucuk
40 Bidara Cudramia cochinchinensis Moraceae Daun, pucuk
41 Elemeo Belum teridentifikasi Moraceae Buah
42 Huhubi Artocarpus dasyphyllus Moraceae Buah
43 Kahule besar Ficus variegata Moraceae Daun, buah, kulit batang
44 Kahule daun kecil Ficus sp. Moraceae Daun, pucuk
45 Kapu Ficus hirta Moraceae Buah
46 Kapu Ficus virens Moraceae Buah
47 Kapu dawi dawi Ficus cf.involacrata Moraceae Buah
48 Kapu lesea hoa Ficus drupaceae Moraceae Buah
49 Kapu merica Ficus tinctoria Moraceae Buah
50 Kapu wone Ficus sp. Moraceae Buah
51 Liboni Ficus septica Moraceae Daun, pucuk
52 Nangka Artocarpus integra Moraceae Daun, pucuk, buah
53 Pokae/Rante rante Ficus sp. Moraceae Buah
54 Siwa Ficus sp. Moraceae Daun, pucuk
55 Toho Artocarpus sp. Moraceae Daun, buah
56 Wehuko berbuluh Ficus sp. Moraceae Daun
57 Wehuko momea Ficus variegata Moraceae Daun
58 Wehuko wila Ficus variegata Moraceae Daun
59 Kapu Ficus cf.hirta Moraceae Daun, pucuk
60 Ngawe Ficus sp. Moraceae Daun
61 Roramo Ficus sp. Moraceae Daun, buah
62 Alohanggadue Embelia javanica Myrsinaceae Daun, pucuk

99
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 6.1 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 2003, 2019) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tubuhan yang Dimakan
63 Lempeni Ardisia humilis Myrsinaceae Daun, pucuk
64 Belum teridentifikasi Maesa ramentosa Myrsinaceae Daun
65 Ruruhi ndawa Eugenia formosa Myrtaceae Buah
66 Tarapasi Syzygium lineatum Myrtaceae Daun, buah
67 Wonggia Syzygium sp. Myrtaceae Daun
68 Kabuko Syzygium sp. Myrtaceae Daun
69 Bakau Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Daun, pucuk, buah
70 Kokabu Antocephalus macrophyllus Rubiaceae Daun
71 Mengkudu Morinda citrifolia Rubiaceae Daun, pucuk
72 Taena Timonius sp. Rubiaceae Daun
73 See Evodia celebica Rutaceae Daun
74 Benono Lepisanthes fruticosa Sapindaceae Daun, buah
75 Beropa Sonneratia alba Sonneratiaceae Daun, pucuk, buah
76 Tawo Duabanga moluccana Sonneratiaceae Daun, pucuk
77 Tongke Bruguiera gymnorrhyza Sonneratiaceae Daun, pucuk
78 Kepuh Sterculia foetida Sterculiaceae Daun, pucuk
79 Tokulo Kleinhovia hospita Sterculiaceae Daun, pucuk
80 Wayu/Bayur Pterospermum celebicum Sterculiaceae Daun
81 Api-api Avicennia marina Verbenaceae Daun, pucuk, buah
82 Bonearate Vitex sp. Verbenaceae Daun
83 Kulipapo Vitex cofasus Verbenaceae Daun
84 Belum teridentifikasi Callicarpa longifolia Verbenaceae Daun, pucuk
85 Tuduho nggalopua Clerodendrum buchananii Verbenaceae Daun
Perdu, semak, liana, dan tumbuhan bawah:
1 Hao kame kame Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi Daun
2 Tilindili Acanthus ilicifolius Acanthaceae Daun
3 Tokoalinda biasa Pachystachys sp. Acanthaceae Daun
4 Tokoalinda ngginiku Pachystachys coccinea Acanthaceae Daun
5 Woro woro Saurauia pendula Actinidiaceae Daun
6 Hao pepundi Urona discolor Annonaceae Daun
7 Pepundi hao Uvaria littoralis Annonaceae Daun, pucuk
8 Paku Heterogonium alderwereltii Aspidiaceae Daun, pucuk, tunas
9 cf.Komba komba Widelia biflora Asteraceae Daun
10 Tamba saumeeto Vernonia arborea Asteraceae Daun
11 Taumo Blumea balsamifera Asteraceae Daun
12 Paku Blechnum orientale Blechnaceae Daun, pucuk, tunas

100
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.1 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 2003, 2019) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tubuhan yang Dimakan
13 Taluede Stenochlaena palustris Blechnaceae Daun
14 Ohao Lepistemon cf.binectariferum Convolvulaceae Daun
15 Balandete Merremia peltata Convolvulaceae Daun, pucuk, tunas
16 Hao tambololi Trichosanthes sp. Cucurbitaceae Daun
17 Ala-ala Cyperus digitatus Cyperaceae Daun
18 Alang-alang Imperata cylindrica Cyperaceae Daun
19 Rara Scleria purpurescens Cyperaceae Daun
20 Rara mbae Scleria lithosperma Cyperaceae Daun
21 Tio tio Eleocharis dulcis Cyperaceae Daun
22 Paku hada Microlepia sp. Denstaediaceae Daun
23 Wikoro Dioscorea hispida Dioscoreaceae Umbi, pucuk
24 Derris Derris trifolia Fabaceae Daun, pucuk
25 Hao Ndawa Calopogonium mucunoides Fabaceae Daun, pucuk
26 Hao ahi-ahi Leea angulata Leeaceae Daun
27 Onese Donax cunnaeformis Maranthaceae Daun
28 Hao mbeleuti Pithecollobium umbellatum Mimosaceae Daun
29 Pundikia Musa sp. Musaceae Daun, pucuk, tunas
30 Belum teridentifikasi Piper betle Piperaceae Daun
31 Buluh/gelagah Sacharum spontaneum Poaceae Daun
32 Hilanggoku/papaitan Cyrtococcum patens Poaceae Daun
33 Kowuna Schizostachyum brachycladum Poaceae Daun, pucuk, rebung
34 Kura dodai Belum teridentifikasi Poaceae Daun
35 Kura donga Axonopus compressus Poaceae Daun
36 Kura langga Centotheca lappacea Poaceae Daun
37 Kura rano Cynodon dactylon Poaceae Daun
38 Kura mbae Cyperus kyllinga Poaceae Daun
39 Rembigare Paspalum conjugatum Poaceae Daun
40 Pae pae Isachne albens Poaceae Daun
41 Papaitan Cyrtococcum patens Poaceae Daun
42 Wuluh Schizostachyum cf. lima Poaceae Daun, pucuk
43 Belum teridentifikasi Setaria sp. Poaceae Daun
44 Belum teridentifikasi Centotecha lappaceae Poaceae Daun
45 Kopu kopu dahu Leptapsis urceolata Poaceae Daun
46 Unanggandi Belum teridentifikasi Poaceae Daun
47 Paata Eleusine indica Poaceae Daun
48 Paka Phymatodes nigrescens Polypodiaceae Daun, pucuk, tunas

101
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 6.1 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 2003, 2019) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tubuhan yang Dimakan
49 Paku Polypodium particifolium Polypodiaceae Daun, pucuk, tunas
50 Rumpio Acrosticum aureum Pteridaceae Daun, pucuk
51 Paku Pteris longipinnula Pteridaceae Daun, pucuk, tunas
52 Konggamo Rubus moluccanus Rosaceae Daun, pucuk
53 Tameau langgai Physalis minima Solanaceae Daun, bunga
54 We Wai Flagellaria indica Taccaceae Daun
55 Paku Thelypteris japonica Thelypteridaceae Daun, pucuk, tunas
56 Paku Thelypteris heterocarpa Thelypteridaceae Daun, pucuk, tunas
57 Siapu Trema orientalis Ulmaceae Daun
58 Lombinga Laportea stimulan Urticaceae Daun
59 Lae Alpinia sp. Zingiberaceae Daun
60 Kosimbo cf Hedycium Zingiberaceae Daun

Tabel 6.2 Jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan anoa di Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo Sulawesi Tenggara (Mustari 1995, Mustari 2003)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tumbuhan yang Dimakan
Pohon:
1 Rau Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae Daun
2 Oloho Spondias pinnata Anacardiaceae Buah, daun
3 Ondolea Canangium odoratum Annonaaceae Daun, pucuk
4 Pepundi Nggasu Alphonsea javanica Annonaceae Daun, pucuk
5 Pepundi Hao Uvaria littoralis Annonaceae Daun pucuk
6 Bolongita Tetrameles nudiflora Datiscaceae Daun,pucuk
7 Dongi Dillenia serrata Dilleniaceae Buah
8 Kasumeeto Diospyros pilosanthera Ebenaceae Buah
9 Holea Cleistanthus sumatranua Euphorbiaceae Daun, pucuk
10 Kasampalu/api2darat Trigonopleura malayana Euphorbiaceae Daun, pucuk
11 Moniwang/Konduri Parkia roxburghii Fabaceae Buah
12 Putat Barringtonia racemosa Lecythidacea Daun, pucuk
13 Wewu Planchonia valida Lecythidaceae Daun, pucuk
14 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae Daun, pucuk
15 Huhubi Artocarpus dasyphyllus Moraaceae Buah
16 Kapu Lesea Hoa Ficus drupacea Moraceae Buah
17 Kapu Wone Ficus hirta Moraceae Buah
18 Kapu Ficus sp. Moraceae Buah
19 Kapu lesea hoa Ficus sp. Moraceae Buah
20 Elemeo Ficus sp. Moraceae Buah
21 Kapu wone Ficus sp. Moraceae Buah
22 Pokae Ficus sp. Moraceae Buah

102
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.2 Jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan anoa di Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo Sulawesi Tenggara (Mustari 1995, Mustari 2003) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian Tumbuhan yang Dimakan
23 Roramo Ficus sp. Moraceae Buah
24 Wehuko Ficus variegata Moraceae Buah
25 Kapu Ficus virens Moraceae Buah
26 Lempeni Ardisia humilis Myrsinaceae Daun, Pucuk
27 Tembeuwa Kjellbergiodendron celebicum Myrtaceae Buah
28 Kabuko Syzygium sp. Myrtaceae Buah
29 Agel Corypha utan Palmae Buah
30 Kaleuwi Petunga microcarpa Rubiaceae Daun, Pucuk
31 Orope Ellatostachys verrucosa Sapindaceae Pucuk
32 Peropa Sonneratia alba Sonneratiaceae Daun, Buah
Bambu, Herba,rumput, dan rotan:
1 Rotan Calamus sp. Arcaceae Buah,tunas
2 Wonta Cyperus haspan Cyperaceae Daun
3 Wonta Cyperus sp. Cyperaceae Daun
4 Rara mbae Scleria lithosperma Cyperaceae Daun
5 Wikoro/gadung Dioscorea hispida Dioscoreaceae Umbi, daun
6 Sosoreu Lee indica Leeaceae Daun, pucuk
7 Kowuna Schizostachyum brachycladum Poaceae Daun, pucuk
8 Buluh Schizostachyum cf. lima Poaceae Daun, pucuk
9 Kura langga Centotheca lappacea Poaceae Daun
10 Kura rano Panicum repens Poaceae Daun
11 Una/lang alang Imperata cylindrica Poaceae Daun
12 Karewu rewu Oplismenus burmanii Poaceae Daun
13 Hulu mata karabau Oryza meyeriana Poaceae Daun
14 Rumput Paspalum conjugatum Poaceae Daun, pucuk
15 Rumpio/warakas Arcosticum aureum Polypodiaceae Daun, pucuk

Buah sangat penting dalam menu anoa karena kandungan nutrisinya yang tinggi.
Berbagai jenis buah menyusun sekitar 10% makanan anoa di habitat alaminya, dan yang
sangat menggembirakan bahwa buah tersedia sepanjang tahun di hutan Sulawesi, hanya saja
ketersediannya lebih banyak ketika musim hujan, seperti yang disajikan pada tabel fenologi
tumbuhan. Sebanyak 34 jenis tumbuhan yang buahnya dimakan anoa, yang terbanyak adalah
dari famili Moraceae. Selain fragmen epidermis, juga ditemukan banyak biji buah yang tidak
dapat dicerna yang dikeluarkan melalui feses anoa. Dari analisis feses, ditemukan berbagai
jenis biji tumbuhan dalam feses anoa di antaranya biji buah konduri yang biasa juga disebut
petai hutan (Parkia roxburghii), huhubi (Artocarpus dasyphyllun), rao (Dracontomelon dao), kase
(Chisocheton ceramicus), biji berbagai jenis beringin hutan (Ficus spp.), rema (Arenga pinnata),
dan sebagainya.

103
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Biji tumbuhan yang terbuang bersama feses anoa dapat tumbuh dengan baik, bahkan
lebih baik viabilitasnya daripada biji yang diambil dan ditanam langsung oleh manusia. Biji
yang keluar bersama feses telah mengalami proses kimiawi di dalam pencernaan anoa, termasuk
memecahkan dormansi biji sehingga biji dapat berkecambah dan kemudian tumbuh dengan
baik. Lagi pula dengan keluarnya biji dan terbawa bersama feses anoa, secara langsung biji
mendapatkan nutrisi yang sangat diperlukan dalam proses perkecambahan dan pertumbuhan
awal biji. Feses anoa menjadi pupuk alami bagi berbagai jenis biji tumbuhan yang telah
dimakan oleh anoa. Oleh karena itu, fungsi ekologis anoa dalam ekosistem hutan tropis di
Sulawesi sangat penting, membantu penyebaran benih tumbuhan sehingga regenerasi hutan
alam berlangsung dengan baik. Anoa bersama dengan satwaliar lain termasuk primata, burung,
rodensia, dan kelelawar menjaga kelangsungan regenerasi hutan alam, menjaga agar hutan tetap
sehat. Manusia memetik manfaat dari adanya hutan yang sehat.
Dibandingkan dengan reforestasi yang biasa dilakukan oleh manusia dengan menanam
benih atau bibit tumbuhan yang lebih sering gagal daripada berhasil. Reforestasi alami yang
dilakukan oleh satwaliar jauh lebih tinggi tingkat keberhasilannya. Satwa yang menyebarkan
biji dan benih tumbuhan selalu tumbuh karena biji telah terseleksi dengan baik menjadi benih
yang unggul hasil pilihan alam melalui jasa satwaliar.

Tabel 6.3 Jenis tumbuhan penghasil buah makanan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 1995,
Mustari 2003)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili
1 Oloho Spondias pinnata Anacardiaceae
2 Rau Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae
3 Pepundi Hao Uvaria littoralis Annonaceae
4 PepundiNggasu Alphonsea javanica Annonaceae
5 Rema Arenga pinnata Arecaceae
6 We Kilala Calamus sp. Arecaceae
7 Dede Meiho Garcinia cf dioica Clusiaceae
8 Mandula Garcinia dulcis Clusiaceae
9 Menambo Garcinia tetrandra Clusiaceae
10 Pedengisi Garcinia balica Clusiaceae
11 Dongi Dillenia serrata, D.ohcreata, D.celebica Dilleniaceae
12 Kalaero Diospyros malabarica Ebenaceae
13 Kasumeeto Diospyros pilosanthera Ebenaceae
14 Moniwang/Konduri Parkia roxburghii Fabaceae
15 Eha Castanopsis argentea Fagaceae
16 Pangi Pangium edule Flacourtiaceae
17 Wewu Planchonia valida Lecythidaceae

104
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.3 Jenis tumbuhan penghasil buah makanan anoa di Sulawesi Tenggara (Mustari 1995,
Mustari 2003) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili
18 Elemeo Ficus sp. Moraceae
19 Huhubi Artocarpus dasyphyllus Moraceae
20 Kahule daun besar Ficus sp.1 Moraceae
21 Kahule daun kecil Ficus sp.2 Moraceae
22 Kapu dawi dawi Ficus sp.3 Moraceae
23 Kapu merica Ficus sp.4 Moraceae
24 Kapu wone Ficus sp.5 Moraceae
25 Pokae Ficus sp.6 Moraceae
26 Roramo Ficus sp.7 Moraceae
27 Kapu Wone Ficus hirta Moraceae
28 Kapu Ficus virens Moraceae
29 Kapu Lesea Hoa Ficus drupacea Moraceae
30 Wehuko Ficus variegata Moraceae
31 Toho Artocarpus sp. Moraceae
32 Pundikia Musa sp. Musaceae
33 Kabuko Syzygium sp. Myrtaceae
34 Tembeuwa Kjellbergiodendron celebicum Myrtaceae

Analisis feses anoa yang dilakukan penulis menunjukkan bahawa sekitar 84% makanan anoa
adalah dari tumuhan yang tergolong biji belah (dikotil). Tumbuhan biji tertutup (monokotil)
dan jenis-jenis paku masing-masing 11% dan 5%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
makanan utama anoa di habitatnya adalah tumbuhan dikotil dan yang dimakan adalah daun,
pucuk, tunas, bunga, serta buah. Jenis-jenis rumput dan paku juga penting dalam menu makanan
anoa. Rumput dan paku-pakuan biasanya tumbuh di areal terbuka atau adanya rimpang (forest
gaps) di dalam hutan. Demikian pula di hutan riparian serta sekitar rawa yang terbuka, dapat
dijumpai berbagai jenis rumput makanan anoa. Pakua-pakuan biasanya tumbuh pada habitat
yang kelembapannya relatif tinggi dan kandungan air tanah yang juga tinggi. Bambu yang juga
menyediakan makanan yang penting bagi anoa. Bagian bambu yang dimakan adalah daun
muda, tunas, dan rebung.
Selain itu juga dianalisis ketersediaan dan konsumsi tumbuhan dikotil, monokotil dan
paku-pakuan selama 14 bulan, berlangsung secara berkelanjutan dimulai pada Desember 2000
sampai Februari 2002. Data ini memberikan gambaran lengkap mengenai konsumsi tumbuhan
pakan anoa sepanjang tahun. Dapat dilihat bahwa konsumsi tumbuhan kelompok dikotil
sepanjang tahun sesuai dengan hasil analisis proporsi makan anoa, memiliki proporsi yang lebih
tinggi daripada monokotil dan paku-pakuan.

105
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 6.1 Komposisi makanan anoa terdiri dari dikotil, monokotil dan paku-pakuan
(Mustari 2003)

Gambar 6.2 Proporsi tumbuhan pakan anoa yang terdiri dari monokotil, dikotil dan paku-
pakuan sepanjang tahun mulai Desember sampai Februari tahun berikutnya
di Tanjung Peropa (Mustari 2003)

106
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Gambar 6.3 Proporsi daun dan buah tumbuhan pakan anoa di Kalobo, Lawio, Tambeanga,
dan Amolengo (Mustari 2003)

Gambar 6.4 Proporsi tumbuhan kelompok monokotil, dikotil dan paku-pakuan pakan anoa
di Kalobo, Lawio, Tambeanga dan Amolengo (Mustari 2003)

107
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 6.5 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Kalobo, Tanjung Peropa (Mustari
2003)

Gambar 6.6 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Lawio, Tanjung Peropa (Mustari
2003)

108
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Gambar 6.7 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Tambeanga, Tanjung Peropa
(Mustari 2003)

Gambar 6.8 Proporsi jenis-jenis tumbuhan pakan anoa di Amolengo, Tanjung Amolengo
(Mustari 2003)

109
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 6.4 Jenis tumbuhan yang teridentifikasi dalam feses anoa di blok hutan Kalobo, Tanjung
Peropa Mustari 2003)
Prosentase (%)
Frekuensi
No Nama Daerah Nama Ilmiah Musim Musim Musim Hujan dan (%)
Hujan Kering Musim Kemarau
1 Balandete (lf ) Merremia peltata 28,7 43,7 35,8 100
2 Pokae (fr) Ficus spp. 2,6 20,0 10,9 59
3 Unknown (fr) monocts fruits 16,1 1,9 9,3 57
4 Unknown (lf/D) dicots leaves 10,9 6,3 8,7 64
5 Tameau langgai Physalis minima 11,7 3,0 7,5 52
6 Kowuna (lf ) Schizostachyum spp. 3,8 5,0 4,4 74
7 Paku hada (lf ) Microlepia sp. 5,3 2,5 4,0 59
8 Rara (lf ) Scleria purpurescens 3,3 2,0 2,7 44
9 Wehuko (lf ) Ficus variegata 2,4 1,1 1,8 30
10 Holea (lf ) Cleistanthus sumatranus 1,1 1,4 1,2 23
11 Wako (lf ) Caryota mytis 1,4 1,0 1,2 28
12 Tawa huko (lf ) Gnetum gnemon 1,4 0,9 1,2 21
13 Kapu (fr) Ficus spp. 0,2 1,6 0,8 8
14 Kaleuwi (lf ) Petunga microcarpa 0,3 1,4 0,8 30
15 We wai (lf ) Flagellaria indica 0,9 0,7 0,8 31
16 Ulu pulu manu Leptaspis banksii 1,1 0,2 0,7 18
17 Woro woro (lf ) Saurauia sp. 1,1 0,1 0,7 8
18 Gelagah (lf ) Sacharum spontaneum 1,2 0,0 0,6 5
19 Taena (lf ) Timonius sp. 0,3 1,0 0,6 20
20 Dongi (fr) Dillenia serrata 0,2 1,0 0,6 16
21 Taluede (lf ) Stenochlaea palustris 0,3 0,9 0,6 11
22 Lempeni (lf ) Ardisia humilis 0,5 0,3 0,4 16
23 Pepundi hao (lf ) Uvaria littoralis 0,3 0,4 0,4 7
24 Waru (lf ) Hibiscus tiliaceus 0,1 0,6 0,3 5
25 Tokoalinda (lf ) Elastotema rostratum 0,6 0,0 0,3 7
26 Kura langga (lf ) Pachystachys coccinea 0,3 0,3 0,3 11
27 Pundikia (stem) Musa sp. 0,5 0,0 0,3 5
28 Kura donga (lf ) Axonopus compressus 0,5 0,0 0,3 8
29 Kosimbo cf. Hedycium 0,4 0,0 0,2 2
30 Tarapasi (lf ) Syzygium lineatum 0,3 0,1 0,2 3
31 Hao tambololi (lf ) Trichosanthes sp. 0,1 0,4 0,2 3
32 Haonggonduri Mimosa sp. 0,4 0,0 0,2 2
33 Loluna (lf ) Cordia myza 0,4 0,0 0,2 8
34 Puta (lf ) Barringtonia racemosa 0,0 0,4 0,2 10
35 Pangi (fr) Pangium edule 0,0 0,4 0,2 5
36 Tia (lf ) Pithecollobium laxiflorum 0,0 0,4 0,2 10
37 Holea mbute (lf ) Belum teridentifikasi 0,3 0,0 0,2 3
38 Lombinga (lf ) Laportea stimulans 0,3 0,0 0,2 7
39 Paku (lf ) Blechnum orientale 0,1 0,1 0,1 11

110
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.4 Jenis tumbuhan yang teridentifikasi dalam feses anoa di blok hutan Kalobo, Tanjung
Peropa Mustari 2003) (lanjutan)
Prosentase (%)
Frekuensi
No Nama Daerah Nama Ilmiah Musim Musim Musim Hujan dan (%)
Hujan Kering Musim Kemarau
40 Wonggia (lf ) Syzygium polycephalum 0,0 0,2 0,1 5
41 Kokapi (lf ) Drynaria sparsisora 0,0 0,2 0,1 3
42 Pae pae (lf ) Isachne albens 0,1 0,1 0,1 5
43 Hokio (lf ) Acronychia trifoliata 0,1 0,1 0,1 26
44 Huhubi (lf ) Artocarpus dasyphyllus 0,1 0,0 0,1 3
45 Unknown (lf/fern) fern 0,1 0,0 0,1 3
46 Hilanggoku (lf ) Cyrtococcum patens 0,1 0,0 0,1 3
47 Ombana (lf ) Sumbaviopsis albicans 0,0 0,1 0,1 2
48 Kole (lf ) Mitrephora cf polypyrena 0,0 0,1 0,0 2
49 Toho (fr) Artocarpus sp. 0,0 0,1 0,0 2
50 Kabuko (fr bark) Syzygium sp. 0,1 0,0 0,0 2
51 Menambo (frbark) Garcinia tetrandra 0,1 0,0 0,0 2
52 Unknown (lf/M) monocots 0,0 0,1 0,0 2
53 Rotan Calamus sp. 0,0 0,0 0,0 2
54 D.heterophylla (lf ) Derris heterophylla 0,0 0,0 0,0 2
55 Akar akaran (lf ) Mikania cordata 0,1 0,0 0,1 2
lf = daun, fr =buah, D=dikotil, M=monokotil

Tabel 6.5 Prosentase fragmen tumbuhan makanan yang terdapat dalam sampel feses anoa di
Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo
Prosentase (%)
Frekuensi
No Nama Daerah Nama Ilmiah Musim Musim Musim Hujan dan (%)
Hujan Kering Musim Kemarau
1 Balandete (lf ) Merremia peltata 57,0 53,5 55,2 100
2 Kowuna/buluh (lf ) Schizostachyum sp. 8,3 11,7 10,0 80
3 Rara (lf ) Scleria purpurescens 4,9 10,1 7,5 61,4
4 Unknown fruits (fr) monocots fruits 0,0 4,8 4,6 71,4
5 Kura rano (lf ) Cynodon dactylon 6,0 2,6 4,3 60
6 Rumpio (lf ) Acrosticum aureum 1,3 3,6 2,4 42,9
7 Pokae (lf ) Ficus spp. 2,7 1,1 1,9 25,7
8 Unknown leaves monocots leaves 1,7 1,5 1,6 37,1
9 Paku (lf ) ferns leaves 0,7 1,7 1,2 18,6
10 Kaleuwi (lf ) Petunga microcarpa 1,1 1,2 1,1 32,9
11 Pae pae (lf ) Isachne albens 1,2 0,6 0,9 11,4
12 Dongi (fr) Dillenia serrata 1,0 0,7 0,9 18,6
13 Holea (lf ) Cleistanthus sumatranus 0,7 0,0 0,8 27,1

111
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 6.5 Prosentase fragmen tumbuhan makanan yang terdapat dalam sampel feses anoa di
Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo (lanjutan)
Prosentase (%)
Frekuensi
No Nama Daerah Nama Ilmiah Musim Musim Musim Hujan dan (%)
Hujan Kering Musim Kemarau
14 Waru (lf ) Hibiscus tiliaceus 1,4 0,0 0,7 2,9
15 Konduri (lf ) Parkia roxburghii 1,3 0,0 0,7 11,4
16 Rara mbae (lf ) Scleria lithosperma 0,4 0,9 0,7 8,6
17 Hao tambololi (lf ) Trichosanthes 0,2 1,0 0,6 14,3
18 Tilindili (lf ) Acanthus ilicifolius 0,2 1,0 0,6 12,9
19 Tio tio (lf ) Eleocharis dulcis 0,7 04 0,5 11,4
20 Kura dodai (lf ) Paspalum conjugatum 1,0 0.0 0,5 8,6
21 Haonggonduri (lf ) Belum teridentifikasi 0,7 0,3 0,5 8,6
22 Naha iwoi (lf ) Pandanus sp. 0,9 0,0 0,4 2,9
23 Peropa (lf ) Sonneratia alba 0,0 0,7 0,3 10,0
24 Tia (lf ) Pithecollobium laxiflorum 0,6 0,0 0,3 2,9
25 Paku hada (lf ) Microlepia sp. 0,5 0,0 0,3 7,1
26 Puta (lf ) Barringtonia racemosa 0,1 0,4 0,3 15,7
27 Hilanggoku (lf ) Cyrtococcum patens 0,0 0,5 0,2 5,7
28 Taluede (lf ) Stenochlaena palustris 0,3 0,2 0,2 10,0
29 We wai (lf ) Flagellaria indica 0,3 0,1 0,2 12,9
30 Lempeni (lf ) Ardisia humilis 0,0 0,2 0,1 4,3
31 Kura langga (lf ) Centotheca lappaceum 0,1 0,0 0,1 5,7
32 Taena (lf ) Timonius sp. 0,2 0,0 0,1 1,4
33 Kura donga (lf ) Axonopus compressus 0,1 0,0 0,1 2,9
34 Kokapi (lf ) Drynaria sparsisora 0,0 0,1 0,1 2,9
35 Pepundi hao (lf ) Uvaria littoralis 0.1 0,0 0,0 1,4
36 Paku (lf ) Blechnum orientale 0,1 0,0 0,0 2,9
37 Wehuko (lf ) Ficus variegata 0,0 0,1 0,0 1,4
38 Roramo (fr) Ficus sp. 0,1 0,0 0,0 1,4
39 d.heterophylla (lf ) Derris heterophylla 0,0 0,0 0,0 1,4
40 Wonggia (lf ) Syzygium polycephalum 0.0 0,0 0,0 2,9
41 Kapu (fr) Ficus drupacea 0.0 0,0 0,0 1,4
42 Gelagah (lf ) Sacharum spontaneum 0.0 0,0 0,0 1,4
43 Lombinga (lf ) Laportea stimulans 0.0 0,0 0,0 1,4
44 Tawa huko (lf ) Gnetum gnemon 0,0 0,0 0,0 2.9

lf = leaf, fr = fruit (Mustari 2003)

112
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Gambar 6.9 Balandete (Merremia peltata), liana famili Convolvulaceae, tumbuh di habitat
terbuka atau di tepi jalan setapak atau jalan yang baru dibuka adalah satu satu
makanan kesukaan anoa serta bambu yang juga sangat disukai anoa (Foto Abdul
Haris Mustari)

Gambar 6.10 Tokoalinda Ellatostachys sp. salah satu jenis herba yang disukai anoa di habitat
alaminya serta rumpio Acrosticum aureum, tumbuh terutama di sekitar rawa dan
hutan pantai, dan kadang dijumpai di pinggir hutan mangrove. Bagian pucuk,
daun dan tunasnya dimakan anoa (Foto Abdul Haris Mustari)

113
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 6.11 Kura rano atau rumput rawa (Eleocharis dulcis) salah satu jenis rumput yang
dimakan anoa. Padang rumput alami ini berada di tengah hutan, dan berubah
menjadi danau kecil ketika musim hujan, tergenang air. Anoa dan babi hutan
sering berkumpul di habitat mikro ini (Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 6.12 Buah dongi Dillenia serrata (kiri) dan sukun hutan Artocarpus sp. (kanan),
termasuk buah makanan anoa (Foto Abdul Haris Mustari)

114
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Gambar 6.13 Buah kahule hule, sejenis beringin Ficus variegata, sangat disukai anoa. Jenis
tumbuhan ini termasuk cauliflori, buah keluar dari cabang, batang, bahkan pada
bagian pangkal batang terdapat buah yang mudah dijangkau satwa terestrial
seperti anoa. Buah yang sudah masak dan jatuh ke lantai hutan menjadi sumber
makanan bagia anoa dan satwa lainnya (Foto Abdul Haris Mustari)

115
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 6.14 Buah konduri (Parkia roxburghii), biasa juga disebut petai hutan Sulawesi, karena
aromanya seperti petai yang biasa dikonsumsi sebagai lalab. Konduri berbunga
dan berbuah pada musim kemarau. Buahnya disukai oleh banyak jenis satwa
termasuk anoa, babi hutan, monyet hitam. Anoa dan babi hutan makan buah
konduri yang jatuh ke lantai hutan (Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 6.15 Buah berbagai jenis pololi//palli (Lithocarpus spp.), salah satu jenis buah makanan
anoa terutama di daerah dengan altitude di atas 1000 mdpl (Foto Abdul Haris
Mustari)

116
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Fenologi tumbuhan pakan anoa


Fenologi (pembungaan) vegetasi penting diketahui karena terkait dengan ketersediaan
sumber pakan anoa di habitatnya. Vegetasi hutan selalu menyediakan pakan bagi anoa sepanjang
tahun, musim hujan dan musim kemarau. Meskipun buah bukan makanan utama anoa, tetapi
unsur buah dalam makanan anoa sangat penting terutama untuk memenuhi kebutuhan energi
dan nutrisi. Mustari (2003) mengamati fenologi 28 jenis tumbuhan berhabitus pohon di Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa lengkap dalam satu tahun, dari bulan Januari sampai Desember.
Fenologi seperti ini memiliki pola tertentu dan tetap setiap tahun apabila parameter-parameter
iklim seperti curah hujan, kelembapan, waktu serta periode musim hujan dan musim kemarau
juga sama.
Angin yang berhembus dari barat dan dari timur di Sulawesi Tenggara keduanya membawa
hujan. Musim Timur berlangsung dari Mei sampai September, yang puncak musim hujannya
terjadi pada Juni. Pada bulan ini hujan berlangsung hampir setiap hari, siang, dan malam, air
sungai meluap dan banjir terjadi di mana-mana. Sementara Musim Barat yang juga membawa
hujan, berlangsung pada November sampai Maret tahun berikutnya. April dan Oktober adalah
musim peralihan, yaitu peralihan Musim Barat ke Musim Timur dan sebaliknya. Pada musim
peralihan ini angin relatif tenang, ombak di laut pun tenang. Ombak tinggi di laut timur
Sulawesi terjadi pada bulan Juli dan Agustus ketika Musim Timur dan bulan Januari ketika
Musim Barat. Angin Barat puncak hujannya terjadi pada bulan Januari.
Di Sulawesi Tenggara hujan berlangsung selama tujuh bulan, Desember s/d Juni, sedangkan
musim kemarau berlangsung selama empat bulan, Juli s/d Oktober. Pada akhir November atau
awal Desember adalah awal turunnya hujan Angin Barat setelah musim kemarau. Curah hujan
belum tinggi intensitasnya, namun sudah cukup untuk menstimulir beberapa jenis tumbuhan
untuk segera berbunga dan berbuah. Jadi hujan yang mulai turun pada akhir November atau awal
Desember itu langsung direspons tumbuhan dengan mengeluarkan bunga karena sebelumnya
berlangsung kemarau. Seluruh tumbuhan bersuka ria menyambut datanganya hujan dan secara
fisiologis akan menghasilkan bunga. Pada Januari hampir seluruh jenis tumbuhan berbuah dan
beberapa jenis bahkan buahnya telah masak dan jatuh ke lantai hutan. Berbagai jenis buah dapat
ditemukan jatuh ke lantai hutan selama Januari sampai Februari. Buah yang jatuh ini menjadi
salah satu sumber pakan satwa terestrial seperti anoa, babi hutan dan babirusa, serta beberapa
jenis burung terestrial seperti burung gosong, maleo. Sementara satwa arboreal seperti rangkong
Sulawesi, kangkareng, monyet hitam Sulawesi, dan bajing berpesta di tajuk menikmati buah
yang belimpah. Pada malam hari giliran satwa nokturnal, berbagai jenis kelelawar menikmati
melimpahnya buah di musim itu.

117
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Bagaimana dengan iklim di bagian lain Sulawesi. Iklim secara umum sama, kecuali
di Sulawesi bagian tengah yang musim kemaraunya berlangsung lebih lama. Di region ini, banyak
ditemkan savana dan hutan. Di Sulawesi Barat, musim hujan yang sangat tinggi intensitasnya
justru terjadi selama Musim Barat karena berhadapan langsung dengan laut Selat Makassar.
Hutan Sulawesi sangat ramah kepada satwa penghuninya karena sepanjang tahun tersedia
makanan berupa daun, pucuk, tunas, bunga, dan buah. Kelimpahan serangga mengikuti
kelimpahan bunga, buah dan nektar. Serangga penting bagi insektivor seperti burung dan
tarsius. Jenis tumbuhan yang berbuah pada musim hujan dan musim kemarau berbeda.
Mayoritas tumbuhan berbunga dan berbuah pada musim hujan, ada yang berbuah sepanjang
tahun seperti dongi (Dillenia serrata), rema (Arenga pinnata), (Pangium edule), pundikia (Musa
sp.), ada juga yang hanya berbuah pada musim kemarau yaitu konduri (Parkia roxburghii),
dadap (Erythrina sp.), dan beberapa jenis beringin (Ficus spp.). Dengan fenologi seperti ini,
satwaliar pemakan buah dapat mengonsumsi buah sepanjang tahun di hutan tropis Sulawesi.
Sebaliknya, tumbuhan mendapatkan keuntungan dari keberadaan berbagai jenis satwaliar,
mamalia, burung, dan serangga karena satwa inilah yang menjadi penyerbuk dan penyebar benih
tumbuhan. Feses dan urin satwa menyuburkan tanah hutan, aktivitas mikroorganisme tanah
mempercepat terjadinya dekomposisi serasah dan biomassa tumbuhan yang merubah bahan
organik menjadi nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan. Anoa, babirusa dan babi hutan melalui
fesesnya yang mengandung biji tumbuhan yang tidak hancur dalam proses pencernaannya
menjadi pupuk alami yang mempercepat perkecambahan biji dan pertumbuhan anakan.
Musang yang memakan buah berbagai jenis palem memecahkan dormansi biji dalam proses
pencernaannya sehingga biji atau benih tidak dorman, biji segera tumbuh dengan viabilitas
yang tinggi, siap melakukan regenerasi tumbuhan. Burung dan kelelawar pemakan buah
membawa biji jauh dari pohon induknya dan tumbuh menjadi pohon-pohon buah di tempat
lain. Rodensia dan satwa fosforial membawa buah ke lubang dan sarang di lantai hutan dan
biji akan tumbuh dengan baik. Anoa dan satwa lain adalah bagian tidak terpisahkan dari hutan
tropis Sulawesi, memiliki peran ekologi yang penting dalam ekosistem secara keseluruhan.

Tabel 6.6 Fenologi tumbuhan di habitat anoa, sepanjang tahun dari bulan Januari s/d
Desember (Mustari 2003)
No Nama Daerah Nama Ilmiah J F M A M J J A S O N D
1 Pepundinggasu Alphonsea javanica * * * * * fl*
2 Rema Arenga pinnata * * * * * * * * * * * fl*
3 Huhubi Artocarpus dasyphyllus * * * fl*
4 Toho Artocarpus sp. * * * fl*
5 We Kilala Calamus sp. * *
6 Dongi Dillenia serrata * * * * * * * * * * * fl*
7 Kalaero Diospyros malabarica * * * * * fl*

118
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.6 Fenologi tumbuhan di habitat anoa, sepanjang tahun dari bulan Januari s/d
Desember (Mustari 2003) (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah J F M A M J J A S O N D
8 Kasumeeto Diospyros pilosanthera * * * * * fl*
9 Rau/Rao Dracontomelon dao/ * * * * * fl*
D.mangiferum
10 Mehere Drypetes cf globosa * * fl*
11 Kapu Lesea Hoa Ficus drupacea * * * * * fl*
12 Kapu Wone Ficus hirta * * * * * fl*
13 Elemeo Ficus sp. * * fl*
14 Pokae Ficus sp. * * * * * * fl*
15 Roramo Ficus sp. * * * fl*
16 Wehuko Ficus variegata *
17 Pedengisi Garcinia balica * * * * * fl*
18 Dede Meiho Garcinia cf. dioica * * * fl*
19 Mandula Garcinia dulcis * * * fl*
20 Menambo Garcinia tetrandra * * * fl
21 Tembeuwa Kjellbergiodendron celebicum * * * * *
22 Pundikia Musa sp. * * * * * * * * * * * fl*
23 Pangi Pangium edule * * * * * * * * * * * fl*
24 Konduri/moniwang Parkia roxburghii fl * * * * * *
25 Wewu Planchonia valida * * * fl*
26 Oloho Spondias pinnata * *
27 Kabuko Syzygium sp. * * *
28 Pepundi Hao Uvaria littoralis * * fl*
Catatan J–D : bulan, fl: berbunga, *: berbuah, fl*:berbunga dan berbuah

Kandungan nutrisi pakan


Untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam tumbuhan pakan anoa dilakukan analisis
kandungan nutrsi dengan metode proximat. Sebanyak 46 jenis tumbuhan serta dua jenis buah
yang dikumpulkan dari Suaka Margasatwa Tanjung Peropa nutrisinya (Mustari 2003) dan
9 jenis berasal dari Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo (Mustari 1995). Jenis tumbuhan
tersebut dikumpulkan dan dianalisis kandungan nutrisinya karena berdasarkan pengamatan
melalui bekas makan anoa (browsing signs) serta analisis feses, tumbuhan tersebut merupakan
jenis yang dimakan anoa di habitat alaminya. Jenis tumbuhan yang memiliki preferensi tinggi
dimakan anoa seperti Merremia peltata, Physalis minima dan bambu (Schizostachyum lima dan
cf Schizostachyum brachycladum) juga dianalisis kandungan nutrisinya termasuk dua jenis buah
yang berdasarkan pengamatan dimakan oleh anoa.

119
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Bagian tumbuhan yang diambil untuk dianalisis adalah campuran daun muda, pucuk,
tunas, dan umbut yang berdasarkan pengamatan merupakan bagian tumbuhan yang disukai
anoa. Sementara buah yang dikumpulkan dari habitat anoa adalah buah yang jatuh ke lantai
hutan yang kondisinya masih segar. Secara umum, daun muda dan pucuk serta tunas memiliki
kandungan protein yang tinggi serta kandungan serat kasar yang rendah. Kandungan nutrisi
yang dianalisis meliputi persentase (%) Bahan Kering, Abu, Protein Kasar, Serat Kasar, Extract
Ether (lemak), Bahan Ekstrak Tanpa N (BETN), Kalsium, Phosfor, dan Gross Energy (kal/g).
Hasil analisis diketahui bahwa persentasi kandungan nutrisi pakan anoa cukup bervariasi
untuk semua unsur nutrisi termasuk kandungan energi. Persentase bahan kering semua
sampel hijauan pakan berkisar 82–90%. Kandungan abu sangat bervariasi dengan kisaran
5,46– 4,45%. Kandungan abu yang tertinggi tersebut terdapat pada daun tokoalinda (Elastotema
rostratum), sejenis herba yang juga dimakan anoa dan keberadaannya cukup melimpah sebagai
tumbuhan bawah. Selain kandungan abu yang tinggi Elastotema rostratum juga memiliki
kandungan kalsium yang tinggi, bahkan yang tertinggi dari hijauan yang lain yaitu sebesar
6,35%, disusul daun pokae (Ficus sp.). Bukan hanya daun, buah pokae pun sangat disukai
anoa di antara jenis buah yang lain. Sementara jenis yang memiliki kandungan abu terendah
adalah daun dongi (Dillenia serrata). Sebagian besar (65%) dari jenis tumbuhan tersebut
memiliki kandungan protein kasar sebesar 10%, meskipun cukup bervariasi dari 5,58–21,60%
( 12,70%; S.D. 4,34). Kandungan serat kasar berkisar 14,68–62,68% ( 36,93%; S.D. 12,07).
Prosentase lemak 0,91–11,5% ( 2,38%; S.D. 1,75). Kandungan BETN memiliki variasi
yang sangat tinggi berkisar 0,76–52,31 ( 24,64%; S.D. 15,20). Kandungan energi berkisar
2419–3583 kal/g ( 3093 kal/g; S.D. 282,82).
Merremia peltata, Physalis minima, dan dua jenis bambu Schizostachyum lima dan cf
Schizostachyum brachycladum kandungan nutrisinya tidak memiliki perbedaan yang cukup
besar dengan jenis lain, kecuali Physalis minima yang kandungan proteinnya relatif tinggi
sekitar 20,04%. Sementara Merremia peltata persentase kandungan proteinnya hanya sebesar
11,66%. Daun dan pucuk bambu Schizostachyum lima dan cf Schizostachyum brachycladum
malah lebih rendah kandungan proteinnya, masing-masing 10,44% dan 6,06%. Daun bambu
seperti yang sudah diduga berdasarkan tekstur daun mengandung serat kasar yang cukup tinggi
yaitu 37,54% dan 43,07% masing-masing untuk Schizostachyum lima dan cf Schizostachyum
brachycladum.
Jenis tumbuhan yang juga memiliki kandungan protein tinggi adalah Trema orientalis
(21,60%), Acalypha boehmerioides (19,82%), dan cf Micromelon minutum (19,38%), namun
tidak ditemukan dalam feses anoa. Tetapi berdasarkan pengamatan dan tanda renggutan anoa,
jenis tersebut termasuk yang dimakan anoa. Tidak ditemukannya dalam feses kemungkinan
karena sel-sel epidermisnya mirip dengan jenis lain. Daun peropa (Sonneratia alba) yang

120
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

merupakan tumbuhan pakan kesukaan anoa yang tumbuh di hutan mangrove memiliki
kandungan BETN tertinggi yaitu sebesar 52,31%, dan kandungan protein kasarnya adalah
10,45%, tidak berbeda nyata dengan jenis yang lain.
Anoa mengonsumsi banyak jenis buah di hutan, akan tetapi yang dianalisis kandungan
nutrisinya hanya dua jenis yaitu buah Diospyros pilosanthera dan Syzygium sp., keduanya disukai
anoa. Persentase protein dan serat kasar kedua jenis buah tersebut lebih rendah daripada daun,
pucuk, tunas, akan tetapi kandungan BETN dan energinya lebih tinggi. Persentase BETN
kedua jenis buah tersebut masing-masing 52,35% dan 64,42% untuk Diospyros pilosanthera
dan Syzygium sp., sedangkan kandungan energi kasar adalah masing-masing 4190 kal/g dan
4216 kal/g untuk Diospyros pilosanthera dan Syzygium sp.
Sampel tumbuhan pakan anoa yang dikumpulkan dari Suaka Margasatwa Tanjung
Amolengo menunjukkan bahwa rumpio (Acrosticum aureum) dan waru (Hibiscus tiliaceus)
memiliki kandungan protein cukup tinggi masing-masing 15,52% dan 14,55%. Acrosticum
aureum adalah jenis yang umum dijumpai di sekitar hutan pantai, hutan mangrove dan rawa
yang masih dipengaruhi pasang surut air laut. Jenis ini termasuk paku-pakuan, pucuk, umbut,
dan tunas yang berwarna cokelat kemerahan sangat disukai anoa. Selain kandungan proteinnya
yang tinggi, Acrosticum aureum juga memiliki kandungan kalsium dan posfor sebesar 0,36%.
Karewu rewu (Oplismenus burmannii) dan puta (Barringtonia racemosa) memiliki serat yang
kasar yang cukup tinggi yaitu 34%. Kadar kalsium tertinggi dimiliki oleh waru laut (Hibiscus
tiliaceus) sebesar 1,13% dan rumpio (Acrosticum aureum) memiliki kandungan posfor tertinggi
di antara hijauan pakan yang lain sebesar 0,36%. Kandungan energi setiap jenis hijauan lebih
dari 3500 kal/g, di mana jenis yang tertinggi adalah putat (Barringtonia racemosa) dan karewu
rewu (Oplismenus burmannii).
Buah secara umum menyediakan energi yang banyak bagi berbagai jenis satwa pemakan
buah, termasuk anoa. Apalagi tersedia berbagai jenis buah di habitat anoa, terlebih pada musim
hujan periode Desember–Maret. Kandungan energi dalam buah dapat diubah secara cepat
dalam metabolisme anoa menjadi sumber tenaga serta berbagai vitamin yang diperlukan anoa.
Terlebih anoa sebagai satwa penjelajah hutan, topografi habitat yang bervariasi yang umumnya
adalah terjal, curam bergunung, serta wilayah jelajah yang luas, memerlukan energi yang cukup
besar. Anoa sangat lincah bergerak di dalam wilayah jelajahnya.

121
Tabel 6.7 Persentase (%) bahan kering dan kandungan nutrisi tumbuhan makanan anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa

122
(Mustari 2003)
ANOA

Bahan Protein Serat Energi


No Nama Daerah Nama Ilmiah Abu Lemak BETN Ca P
Kering Kasar Kasar (kal/g)
1 Balandete Merremia peltata 89,24 7,46 11,66 25,58 5,19 39,35 1,72 0,25 3198
2 Benua Octomelos sumatrana 84,63 10,13 13,42 45,87 2,67 12,54 0,88 0,70 3439
3 Bolongita Tetrameles nudiflora 87,15 9,00 16,84 20,15 1,20 39,96 0,42 1,48 3142
4 Bubu Sacharum spontaneum 86,87 8,13 6,52 33,12 2,20 36,90 2,21 1,01 3067
5 Buluh Schizostachyum lima 88,88 17,85 10,44 37,54 1,70 21,25 0,33 0,12 2894
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

6 Dede Meiho Garcinia cf. dioica 87,79 6,46 9,50 35,94 1,68 34,21 1,74 0,11 3562
7 Dongi Dillenia serrata 88,47 5,46 8,40 46,46 2,81 25,34 2,21 0,09 2546
8 Hao Ahi Leea angulata 86,11 12,33 8,84 60,17 0,97 3,80 1,20 0,79 2929
9 Karematu Dehaasia caesia 87,89 12,15 9,47 62,68 0,99 2,60 1,15 0,79 2800
10 Kokabu Antocephalus macrophyllus 85,46 11,41 17,4 48,01 2,83 5,81 1,77 0,9 2763
11 Konduri Parkia roxburghii 86,74 9,97 14,17 57,03 1,11 4,46 1,15 0,81 3189
12 Kosimbo cf Hedycium sp. 88,14 6,93 11,51 34,87 4,68 30,15 0,77 0,24 3246
13 Kowuna Schizostachyum cf brachycladum 88,45 10,93 6,06 43,07 1,49 26,90 1,46 0,35 2990
14 Kulipapo Vitex cofasus 85,77 8,90 12,2 45,31 11,5 7,86 0,95 0,70 3314
15 Liboni Ficus septica 88,72 16,02 14,8 36,53 2,41 18,96 4,30 0,32 3370
16 Loluna Cordia myza 85,33 7,10 12,75 21,11 1,57 42,8 0,85 0,71 3326
17 Lombinga Laportea stimulans 85,91 18,7 11,64 25,52 1,37 28,68 4,07 0,37 3258
18 Longahi Acalypha boehmerioides 86,41 15,01 19,82 48,55 1,84 1,19 1,12 0,90 2816
19 Menambo Garcinia tetrandra 89,89 7,72 8,50 54,72 1,14 17,81 1,20 0,18 2798
20 Ngawe Ficus sp. 85,73 7,11 9,06 21,13 1,01 47,42 2,11 1,11 3098
21 Ombana Sumbaviopsis albicans 90,37 8,14 9,07 20,71 0,95 51,50 1,10 0,63 3129
22 Paata Eleusine indica 88,35 7,05 5,58 25,22 0,91 51,41 0,97 0,77 2910
23 Peropa Sonneratia alba 90,45 9,61 10,45 14,68 3,40 52,31 0,73 0,27 3127
24 Pokae Ficus sp. 87,03 22,48 18,55 43,95 1,79 0,76 5,14 0,38 2679
25 Pundikia Musa sp. 85,05 10,70 9,67 49,31 1,07 14,30 0,87 0,71 3329
Tabel 6.7 Persentase (%) bahan kering dan kandungan nutrisi tumbuhan makanan anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
(Mustari 2003) (lanjutan)
Bahan Protein Serat Energi
No Nama Daerah Nama Ilmiah Abu Lemak BETN Ca P
Kering Kasar Kasar (kal/g)
26 Puta Barringtonia racemosa 88,16 6,00 11,30 37,56 2,33 30,97 0,74 0,13 3220
27 Putemata Macaranga gigantea 86,69 12,12 15,39 49,10 2,72 7,36 1,90 0,93 3439
28 Rawa Belum teridentifikasi 85,44 7,97 8,68 20,83 2,51 45,45 0,38 0,20 2732
29 Roda Erythrina subumbrans 85,68 7,35 16,71 44,61 2,69 14,32 1,32 0,14 3067
30 Ruruhi Ndawa Eugenia formosa 86,49 5,72 8,25 43,28 2,94 26,30 1,01 0,20 3209
31 See cf Micromelon minutum 89,22 7,97 19,38 31,37 1,69 28,81 1,47 0,35 2909
32 Siapu Trema orientalis 86,41 7,88 21,60 45,13 1,77 16,52 0,91 0,73 3214
33 Tamba saumeeto Vernonia arborea 87,14 11,21 18,25 27,42 3,69 26,57 1,66 0,31 2716
34 Tameau Physalis minima 85,39 18,08 20,04 26,15 1,74 19,38 1,62 0,32 3170
35 Taumo Blumea balsamifera 86,62 11,25 16,87 23,60 3,96 30,94 0,21 0,03 3149
36 Tawo Duabanga moluccana 82,12 9,79 10,15 46,42 1,11 14,65 1,13 0,88 3407
37 Toho Artocarpus sp. 87,74 9,02 14,50 31,64 2,17 30,41 1,55 027 3493
38 Tokoalinda Elastotema rostratum 85,81 24,45 9,56 27,58 2,73 21,49 6,35 0,11 2526
39 Tokulo Kleinhovia hospita 83,58 9,95 17,76 42,44 1,75 11,68 0,90 0,69 2852
40 Tolihe Barringtonia acutangula 90,10 7,51 10,77 22,30 1,70 47,82 3,11 0,26 3123
41 Towula Mallotus sp. 88,47 7,80 14,20 33,21 5,33 27,93 1,39 0,25 3450
42 Unanggandi Belum teridentifikasi 89,11 10,8 5,63 38,12 1,68 32,88 0,67 0,11 3169
43 Wehuko Ficus variegata 85,33 12,4 16,79 32,98 2,72 20,44 2,83 0,70 3211
44 Wonggia Syzygium polycephalum 86,72 7,95 8,31 22,10 1,00 47,36 1,99 0,95 3311
45 Woro Saurauia sp. 86,68 15,41 17,98 47,99 2,75 2,55 0,99 0,61 2419
46 Wunu Acalypha caturus 86,71 9,87 15,61 47,92 2,13 11,13 1,71 0,91 3583

123
EKOLOGI MAKAN
Bab 6
Tabel 6.8 Persentase (%) bahan kering dan kandungan nutrisi buah makanan anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Mustari

124
2003)
ANOA

Bahan Protein Serat Energi


No Nama Daerah Nama Ilmiah Abu Lemak BETN Ca P
Kering Kasar Kasar (kal/g)
1 Kalaero Diospyros pilosanthera 86,84 3,94 2,73 26,15 1,67 52,35 0,24 0.20 4190
2 Kabuko Syzygium sp. 83,67 4,44 4,91 8,06 1,84 64,42 0,61 0.19 4216

Tabel 6.9 Persentase (%) kandungan nutrisi tumbuhan pakan anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo (Mustari 1995)
Protein Energi
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

No Nama Daerah Nama Ilmiah Abu Serat Kasar Lemak Ca P


Kasar (kal/g)
1 Kaleuwi Petunga microcarpa 4,65 10,66 25,22 1,83 0,69 0,16 3959
2 Waru laut Hibiscus tiliaceus 6,68 14,55 26,80 2,26 1,13 0,20 3990
3 Putat Barringtonia racemosa 4,53 10,89 34,14 1,91 0,44 0,16 4074
4 Rumpio Acrosticum aureum 9,27 15,52 31,82 0,99 0,25 0,36 3546
5 Teki Cyperus haspan 10,64 9,37 33,23 0,82 0,29 0,20 3589
6 Ala ala Cyperus sp. 9,54 8,96 29,76 1,40 0,26 0,19 3863
7 Rara mbae Scleria lithosperma 12,88 7,30 33,43 1,13 0,25 0,11 3726
8 Karewu rewu Oplismenus burmannii 11,43 9,46 34,05 1,33 0,38 0,25 4073
9 Kura dodai Paspalum conjugatum 18,25 9,34 33,76 0,54 0,19 0,18 3805
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Feses anoa
Banyak informasi ilmiah yang terkandung dalam feses satwaliar termasuk feses anoa di
habitatnya. Feses termasuk jejak yang ditinggalkan anoa mengindikasikan bahwa anoa pernah
mendatangi habitat tersebut. Feses juga menunjukkan kelimpahan anoa pada suatu habitat,
di mana kelimpahan populasi berbanding lurus dengan kelimpahan feses, semakin tinggi
kelimpahan feses, semakin tinggi anoa. Oleh karena itu, feses anoa dapat menjadi ukuran
okupansi habitat (habitat occupancy). Studi jenis pakan anoa juga dapat diketahui dari analisis
feses melalui identifikasi epidermis dan sisa-sisa tumbuhan pakan yang terdapat dalam feses.
Feses juga dapat menunjukkan seberapa sering anoa menempati suatu tipe habitat atau sudah
berapa hari yang lalu anoa mendatangi suatu tipe habitat dari tingkat kesegaran feses. Dengan
pengalaman yang cukup di lapangan, seseorang dapat mengestimasi umur feses, dengan
demikian berapa hari atau jam lalu anoa melewati lintasan atau menempati habitat tertentu.
Berikut adalah gambaran mengenai feses anoa dan laju dekomposisi feses di habitatnya.
Berat feses anoa dewasa yang masih segar atau utuh di hutan yang dijumpai berkisar
126–670 g (n = 40; = 311,1 g; S.D. =12,7 g), sedangkan berat kering oven feses anoa berkisar
17,8–27,5% (n = 27; = 22,9%; S.D. = 2,3%) dari berat basah atau berat segar. Sementara
bobot feses anak anoa yang diperkirakan berumur kurang dari tiga bulan sekitar 100 g.

Dekomposisi feses
Laju dekomposisi feses anoa di habitatnya diamati mulai dari feses yang baru dikeluarkan
oleh anoa (kurang dari 12 jam) sampai feses terdekomposisi sempurna sehingga tidak bisa
dikenali lagi sebagai feses anoa karena telah hancur dan/atau bercampur dengan tanah hutan.
Laju dekomposisi feses anoa berbeda selama musim hujan dan musim kemarau. Pada musim
hujan, feses anoa lebih cepat terdekomposisi karena pengaruh dari butiran hujan yang langsung
mengenai feses serta aliran air permukaan (surface run off ) di lantai hutan yang dengan cepat
membawa material feses atau mendegradasi feses tersebut. Tambahan lagi aktivitas kumbang
pemakan dan pengurai feses (dung bettle) yang lebih aktif selama musim hujan yang dapat
dengan cepat mendekomposisi feses anoa di lantai hutan dan di sela-sela serasah.
Gambar berikut menunjukkan sebanyak 51 dan 32 feses anoa yang diamati masing-masing
pada musim hujan dan musim kemarau. Setiap feses yang tersebut diamati setiap dua hari, mulai
dari feses yang masih baru sampai terdekomposisi sempurna dan sudah tidak dapat dikenali lagi
sebagai feses anoa. Pada musim hujan, feses anoa masih reelatif utuh selama empat hari pertama
dan pada hari kelima feses mulai terdekomposisi. Pada musim kemarau, sepuluh hari pertama
feses anoa masih relatif utuh, setelah itu mulai terdekomposisi sampai akhirnya hancur dan

125
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

hilang. Pada musim kemarau, feses dapat bertahan lama di lantai hutan salah satunya karena
terawetkan oleh sinar matahari yang membuat feses bertekstur lebih keras, bahkan ditemukan
feses yang masih utuh sampai tiga bulan. Feses ini ditemukan terlindung dari hempasan butiran
hujan dan aliran air permukaan di lantai hutan.
Feses anoa mengandung berbagai material hijauan atau buah yang dimakan anoa. Bagian
epidermis daun dan kulit buah tidak hancur dalam peroses pencernaan sehingga dapat
diidentifikasi jenis tumbuhan atau jenis buah tersebut melalui identifikasi mikroskopis. Selain
itu ada beberapa fragmen epidermis yang dapat dikenali langsung. Demikian pula dengan biji
buah tersisa dalam proses pencernaan, misalnya biji buah konduri (Parkia roxburghii), huhubi
(Artocarpus dasiphyllus), dan beberapa biji buah beringin (Ficus spp.). Biji buah konduri dan
biji huhubi dapat dikenali langsung ketika feses anoa diurai secara mekanis. Biji buah konduri
berwarna cokelat kehitaman, bentuk lonjong, agak gepeng sedangkan biji buah huhubi bulat
seukuran biji saga atau buah buni, berwarna putih kekuningan.
Berdasarkan pengamatan, buah huhubi adalah salah satu yang paling disukai anoa serta
satwa lain seperti babi hutan Sulawesi dan monyet hitam Sulawesi. Musim berbuah huhubi
berlangsung dalam musim penghujan, Januari dan Februari. Ketika buah huhubi telah masak
dan jatuh ke lantai hutan hampir tidak ditemukan tersisa karena semuanya dimakan oleh satwa.
Pada tiga contoh feses anoa tercatat masing-masing 8, 12 dan 18 biji buah huhubi.
Demikian pula dengan konduri, buahnya sangat disukai satwa seperti anoa dan babi
hutan Sulawesi. Feses anoa yang mengandung fragmen buah konduri, seperti daging buah yang
mengandung banyak serat serta biji, tidak cepat hancur atau terdekomposisi. Kemungkinan
buah jenis konduri yang aromanya seperti buah petai ini mengandung zat kimia tertentu yang
menyebabkan feses anoa tidak cepat terdekomposisi. Kemungkinan lain yaitu kandungan serat
buah konduri yang tinggi berperan dalam mengawetkan feses anoa.

126
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Gambar 6.16 Laju dekomposis feses anoa pada musim hujan (Mustari 2003)

Gambar 6.17 Laju dekomposis feses anoa pada musim kemarau (Mustari 2003)

127
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Analisis feses
Sebanyak 13 sampel feses anoa dikumpulkan dari kawasan hutan Suaka Margasatwa Tanjung
Peropa dan dianalisis kandungan nutrisinya (Mustari 2003). Analisis kandungan nutrisi feses
anoa bertujuan untuk mengidentifikasi nutrisi apa saja yang terkandung di dalam feses dan
dibandingkan dengan kandungan nutrisi pakan anoa. Sebanyak 7 sampel feses dikumpulkan
selama musim hujan dan 6 sampel dikumpulkan dalam musim kemarau. Secara keseluruhan,
hasil analisis menunjukkan bahwa feses anoa dalam musim hujan memiliki persentasi kandungan
Protein Kasar, Serat Kasar, Lemak, Phosfor, dan Energi yang lebih tinggi dibandingkan sampel
feses yang dikumpulkan dalam musim kemarau. Hal ini diduga terkait dengan lebih banyaknya
tersedia daun muda, pucuk, tunas, bunga, dan buah makanan anoa selama musim hujan daripada
musim kemarau. Dalam musim hujan jaringan tumbuhan serta aktivitas petumbuhan, titik
tumbuh serta tunas-tunas muda makanan anoa lebih banyak tersedia. Sebaliknya, persentase
Bahan Kering feses lebih tinggi dalam musim kemarau dibandingkan musim hujan. Hal ini
diduga terkait dengan kandungan air bahan makanan anoa yang lebih tinggi dalam musim
hujan. Ketika musim hujan air membasahi dedaunan dan segala yang dimakan oleh anoa.
Kandungan Energi (kal/g) juga lebih tinggi selama musim hujan, semuanya lebih 4200 kal/g,
dibandingkan dengan feses musim kemarau yang tidak lebih dari 3500 kal/g.

Tabel 6.10 Persentase (%) kandungan nutrisi feses anoa di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
(sampel nomor 1 s/d 7 adalah sampel feses musim hujan, dan no 8 s/d 13 adalah
sampel feses musim kemarau (Mustari 2003)
Bahan Protein Serat Energi
No Abu Lemak BETN Ca P
Kering Kasar Kasar (kal/g)
1 89,92 19,01 13,90 25,15 12,19 19,67 2,60 0,39 4608
2 90,94 17,74 15,18 29,75 7,71 20,56 2,87 0,47 4384
3 88,60 16,54 16,89 29,93 12,94 29,19 1,52 0,39 4236
4 86,79 22,57 15,29 40,14 5,17 3,62 2,11 0,57 4451
5 95,94 17,41 15,58 45,92 4,33 12,70 1,76 0,57 4798
6 96,24 17,52 16,19 39,42 5,64 17,47 1,96 0,62 4738
7 95,54 17,87 15,66 41,52 4,13 16,36 3,11 0,61 4656
8 92,54 13,72 9,45 34,13 5,12 30,12 1,70 0,29 3377
9 91,91 25,34 10,46 38,11 3,23 14,77 1,65 0,30 3441
10 90,04 19,70 12,49 31,67 2,84 23,34 1,74 0,32 3339
11 92,54 19,72 10,64 39,17 6.41 16,64 4,03 0,44 3383
12 91,71 19,96 10,65 39,79 5,33 16,06 4,53 0,28 3278
13 91,22 10,76 12,10 42,90 2,68 22,78 2,50 0,31 3436

128
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.11 Jenis tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Tenggara


No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian yang Dimakan
1 Alang-alang Imperata cylindrica (L.) Raeusch. Poaceae Daun muda
2 Bakau Rhizophora mucronata Lam. Rhizophoraceae Daun
3 Bambu Bambusa sp. Poaceae Rebung
4 Kala teba Ficus vibes Moraceae Buah
5 Karewu-rewu Panicum malabatricum (L.) Merr. Poaceae Daun
6 Kelapa Cocos nucifera L. Arecaceae Daun muda
7 Kokabu Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. Rubiaceae Daun, buah
8 Lonhkida Nauclea orientalis (L.) L. Rubiaceae Daun
9 Moniwa Diospyros ulo Merr. Ebenaceae Daun, buah
10 Nguru Tarrietia riedeliana Oliv. Malvaceae Daun
11 Ondolia Cananga odorata (Lam.) Hook. F. & Thomson Annonaceae Daun
12 Peropa Sonneratia alba Sm. Lythraceae Daun
13 Rumpio Corypha sp. Arecaceae Daun
14 Puta Barringtonia racemosa (L.) Spreng. Lecythidaceae Daun
15 Rumput glagah Rhynchospora corymbosa (L.) Britton Cyperaceae Daun
16 Rumput gambut Eleocharis retroflesea Cyperaceae Daun
17 Rumput wonta Cyperus haspan L. Cyperaceae Daun
18 Rumput Eleocharis dulcis (Burm.f.) Trin. Ex Hensch. Cyperaceae Daun
19 Rumput Achronichia trifoliata Zoll. Cyperaceae Daun
20 Rumput Cyperus cryperinus (L.) Kuntze Cyperaceae Daun
21 Rumput Poa annua L. Poaceae Daun
22 Tolitoli Scyphiphora hydrophyllacea C. F. Gaertn Rubiaceae Daun
23 Ubi jalar Ipomoea batatas (L.) Lam. Convolvulaceae Daun, umbi
24 Ubi kayu Manihot utilissima Phol Euphorbiaceae Daun, umbi
25 Waru laut Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae Daun muda
26 Belum teridentifikasi Fimbrystilis dichotoma (L.) Vahl Cyperaceae Daun
27 Dongi Dillenia serrata Thunb. Dilleniaceae Daun
28 Wikoro,gadung Dioscorea hispida Dennst. Dioscoreaceae Daun
Sumber: Rifai dan Soehyar 1977

129
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Sulawesi Selatan
Hasil peneliatian Mustari et al. (2007) di habitat anoa di sekitar Danau Matano menunjukkan
bahwa pada tingkat semai, jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) mendominasi kawasan dengan nilai
INP sebesar 30,68%. Jenis lainnya dengan nilai INP yang terbesar adalah tapi-tapi (canarium
sp.) dengan nilai INP sebesar 24,62% dan kolaka (Parinari corymbosa) dengan nilai INP sebesar
12,5%. Beberapa jenis memiliki nilai INP terkecil, yaitu sebesar 7,19% di antaranya vitex
(Vitex sp.), melinjo (Gnetum gnemon), dan kayu tanduk (Alstonia macrophylla).
Ketersediaan pakan sangat mempengaruhi penyebaran satwaliar. Semakin mengelompok
penyebaran pakan maka satwa akan mengelompok di areal tersebut. Beberapa jenis tumbuhan
yang terdapat di lokasi penelitian merupakan penghasil buah yang cukup melimpah sepanjang
tahun, di antaranya dengen (Dillenia serrata, D.ochreata, D. celebica). Pohon ini menghasilkan
buah yang disukai beberapa jenis satwa di lokasi pengamatan, antara lain anoa, babi hutan, rusa
timor dan monyet hitam Sulawesi (Mustari et al. 2007).
Tikupadang et al. (1995) melaporkan sebanyak 42 jenis tumbuhan yang menjadi makanan
anoa di hutan lindung Kambuno Katena, Luwu, Sulawesi, di mana bagian tumbuhan yang
dimakan meliputi daun, pucuk, buah dan batang.

Tabel 6.12 Jenis tumbuhan pakan anoa di Kambuno Katena, Luwu, Sulawesi Selatan
Bagian Tumbuhan
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili
yang Dimakan
1 Ampuni Ficus pubinervis Blume Moraceae Daun
2 Balongkosu Bambo bambusa Poaceae Daun
3 Bantonu Melochia umbellata (Houtt.) Malvaceae Daun, pucuk
4 Batea keruti Xylocarpus granatum J. Koening Meliaceae Daun, pucuk
5 bateala Myristica koordesi Wrab. Myristaceae Daun
6 Balante Rapanea avenis (Blume) Mez Primulaceae Daun
7 Benceu Eugenia deglupta Myrtaceae Daun
8 Bono Garcinia celebica Clusiaceae Daun
9 Dende-dende Imperipinatus sp. Ulmaceae Daun, pucuk
10 Dengin Dillenia serrata Thunb. Dilleniaceae Daun, pucuk
11 Juku Stemonurus celebicus Valeton Stemonuraceae Daun
12 Kalambuto Ervatmia sphaerocarpa Apocynaceae Daun
13 Kalihundi Sterculia urceolata Sm. Malvaceae Pucuk, batang
14 Kampendo Ficus benjamina L. Moraceae Daun
15 Kangkung Ipomoea aquatica Forssk. Convolvulaceae Daun
16 Katimba Zingiber officinale Zingiberaceae Pucuk, batang
17 Katupubi Elaeocarpus teiysmannii Koord. & Valeton Elaeocarpaceae Daun, pucuk

130
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.12 Jenis tumbuhan pakan anoa di Kambuno Katena, Luwu, Sulawesi Selatan (lanjutan)
Bagian Tumbuhan
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili
yang Dimakan
18 Kayu lapuk Belum teridentifikasi Batang
19 Kinoni benci Ficus adenosperma Miq. Moraceae Daun, pucuk
20 Kondo Gonocaryum litorale (Blume) Sleumer Cardiopteridaceae Daun
21 Kutopu mukaju Palaquium bataanense Merr. Sapotaceae Daun
22 Lamedo Rithroxylon ecarinatum Erytproxlaceae Anak
23 Loka Musa paradisiaca L. Musaceae Daun, buah
24 Lui - lui Garcinia dulcis (Roxb,) Kurz Clusiaceae Daun, pucuk
25 Maeja Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser Rubiaceae Daun
26 Malowira Celtis philippensis Blanco Cannabaceae Daun
27 Mbayoyo Planchonella membranacea (H. J. Lam) Sapotacea Daun
28 Nas Pandanus tectorius Parkinson ex Du Roi Pandanaceae Daun
29 Nyati Goniothalamus ordorata Annonaceae Buah
30 Pada - pada Axonopus compressus Poaceae Daun
31 Patoro Palaquium multiflorum Sapotaceae Daun
32 Pokae Ficus vesculosa Moraceae Buah
33 Pusiwara Eugenia sp. Myrtaceae Daun, pucuk
34 Rotan Calamus sp. Palmae Batang
35 Sakdan daepa Vatica celebensis Dipterocarpaceae Daun
36 Tanpai Oroxylum indicum Gignoniaceae Daun
37 Tole - tole Pterocymbium tinctorium Sterculiaceae Daun, pucuk
38 Tongko Randia celebica Rubiaceae Daun
39 Ubi jalar Ipomoea batatas (L.) Lam. Convolvulaceae Daun, pucuk
40 Ubi kayu Manihot utilissima Phol Euphorbiaceae Batang
41 Wongu Gymnacrathera paniculata Myristaceae Pucuk
42 Yuro Musei sp. Usneaceae Daun
Sumber : Tikupadang et al. 1996

Sulawesi Barat
Penelitian mengenai tumbuhan pakan anoa di Sulawesi bagian barat belum banyak
dilakukan oleh para peneliti. Ismul dan Mustari (2019) melakukan penelitian mengenai
tumbuhan makanan makanan anoa di kawasan Taman Nasional Gandang Dewata. Taman
nasional ini tergolong relatif baru, merupakan taman nasional ke 53 yang ditetapkan oleh
pemerintah dengan luas 180.000 ha. Taman nasional ini secara umum mencakup dua kawasan
pegunungan penting di wilayah barat Sulawesi yaitu Gunung Gandang Dewata (3038 mdpl)
dan Gunung Mambulilling (2800 mdpl).

131
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Berdasarkan sejarah geologi, kedua kawasan pegunungan tersebut merupakan bagian tertua
dari daratan Sulawesi. Bagian tengah-barat Sulawesi sudah berada di atas permukaan laut sejak
akhir Pliosen (Nugraha dan Hall 2016, Frantz et al. 2018). Kawasan ini merupakan salah satu
populasi awal anoa yang kemudian memencar ke seluruh Sulawesi seperti yang telah dijelaskan
pada Bab 1 buku ini. Oleh karena itu, populasi anoa yang terdapat di wilayah pegunungan ini
adalah yang tertua di Sulawesi. Morfologi anoa yang terdapat di Gunung Gandang Dewata
dan Gunung Mambulilling adalah anoa gunung, badan lebih kecil, tanduk lebih pendek tetapi
sangat runcing.
Ismul dan Mustari (2019) melaporkan sebanyak 27 jenis tumbuhan pakan anoa yang
termasuk kedalam 19 famili. Jenis tumbuhan tersebut di antaranya adan (Phyllostachys aurea),
andulan (Pinanga caesia), Ballang-ballang (Carex perankensis), Baibo (Vaccinium sp.), linda (Ficus
sp.), bintasu (Ficus virgata), cere-cere (Nephentes sp.). galung-galung (Blechnum capense), karrabula
(Lycopodiella sp.), loak (Pronephrium triphyllum), loak (Asplenium nidus), lumut (Selaginella sp.),
nande barubambang (Elatostema lineolatum), nande tokata (Agalmyla remotidentata), nandeloi
(Syzygium sp.), nase balao (Freycinetia celebica), nasek-nasek (Pandanus helicopus), berbagai jenis
palli (Lithocarpus helwandii, L. glutinosus. L. celebicum), panak-panak (Alpinia sp.), parettek
(Piper macropiper), potok (Acrophorus nodosus), poppong (Ficus auriculata), poppo bumbungan
(Ficus trichocarpa), sandaniki (Cyrtandra polyneura), tantawase, uwe (Calamus sp.), (Alpinia sp.).
Famili yang paling banyak menjadi pakan anoa adalah Moraceae. Beberapa jenis tumbuhan
pakan paling disukai anoa adalah jenis Elatostema lineolatum, Piper macropiper, Pronephrium
triphyllum, Blechnum capense, Agalmyla remotidentata, Alpinia leptostachy, Cyrtandra polyneura,
dan Vaccinium sp.

Tabel 6.13 Jenis-jenis pakan anoa Taman Nasional Gandang Dewata (Ismul dan Mustari
2019)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Habitus Bagian yang Dimakan
1 Andulan Pinanga caesia Arecaceae Palem Pucuk
2 Uwe Calamus sp. Arecaceae - Daun
3 Loak Asplenium nidus Aspleniaceae Paku Daun, pucuk
4 Galung-galung Blechnum capense Blechnaceae Paku Daun
5 Ballang-ballang Carex perakensis Cyperaceae Rumput Daun
6 Potok Acrophorus nodosus Dryopteridaceae Herba Daun
7 Baibo Vaccinium sp. Ericaceae Pohon Daun, batang
8 Palli Lithocarpus spp. Fagaceae Pohon Buah
9 Nande Tokata Agalmyla remotidentata Gesneriaceae Herba Daun
10 Sandaniki Cyrtandra polyneura Gesneriaceae Herba Daun
11 Karrabula Lycopodiella sp. Lycopodiaceae Lumut Batang, daun
12 Tantawsae Belum teridentifikasi Lythraceae Herba Daun

132
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.13 Jenis-jenis pakan anoa Taman Nasional Gandang Dewata (Ismul dan Mustari 2019)
(lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Habitus Bagian yang Dimakan
13 Linda Ficus sp. Moraceae Pohon Buah
14 Bintasu Ficus virgata Moraceae Pohon Buah, daun, kulit batang
15 Poppo bumbungan Ficus trichocarpa Moraceae Pohon Buah
16 Poppong Ficus auriculata Moraceae Pohon Buah
17 Nandeloi Syzygium sp. Myrtaceae Pohon Daun
18 Cere-cere Nephentes spp. Nepenthaceae Herba Daun
19 Nase balao Freycinetia celebica Pandanaceae Herba Daun
20 Nasek-nasek Pandanus helicopus Pandanaceae Herba Daun muda
21 Parettek Piper macropiper Piperaceae Herba Daun
22 Adan Phyllostachys aurea Poaceae Rumput Daun
23 Lumut Selaginella sp. Selaginellaceae Lumut Batang, daun
24 Loak Pronephrium triphyllum Thelypteridaceae Herba Batang
25 Nande Barubambang Elatostema lineolatum Urticaceae Herba Daun
26 Panak-panak Alpinia leptostachya Zingiberaceae Herba Daun, umbi
27 Belum teridentifikasi Alpinia sp. Zingiberaceae Herba Daun

Bagian tumbuhan yang dimakan daunnya berupa jenis Phyllostachys aurea, Pinanga caesia,
Carex perakensis, Phyllostachys aurea, Pronephrium triphyllum, (Vaccinium sp.), Ficus virgata,
(Nephentes sp.), Blechnum capense, Asplenium nidus, Elatotesma lineolatum, (Syzygium sp.),
Agalmyla remotidentata, Freycinetia celebica, Pandanus helicopus, Alpinia leptostachya, Piper
macropiper, Acrophorus nodosus, Cyrtandra polyneura, (Calamus sp.), dan (Alpinia sp.). Anoa
makan buah semua tumbuhan yang tergolong famili Moraceae. Demikian juga Lithocarpus
celebicus, buahnya dimakan anoa. Anoa memakan rumput dari jenis Carex parakensis, kulit
batang dari jenis Ficus virgata serta lumut dari jenis (Lycopediella sp.) dan (Selaginella sp.).

Sulawesi Tengah
Beberapa penelitian mengenai pakan anoa telah dilakukan di Sulawesi Tengah. Sugiharta
(1994), Foead (1992), Jahidin (2003) mencatat beberapa jenis tumbuhan pakan anoa di hutan
pegunungan Sulawesi Tengah, paha habitat dengan kisaran ketinggian 1200–2357 mdpl
meliputi Gunung Nokilalaki, Gunung Roket dan Gunung Tumawu, di mana tercatat sebanyak
16 jenis tumbuhan pakan anoa.

133
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 6.14 Jenis tumbuhan pakan anoa di Taman Nasional Lore Lindu
Bagian Tumbuhan
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili
yang Dimakan
Pohon
1 Nunu Excoecaria sp. Euphorbiaceae Pucuk, daun
2 Nonce - - Pucuk, daun
3 Waka - - Pucuk, daun
4 Aren Arenga pinnata Palmae Pucuk
5 Kayu dupa Styrax benzoin Styraceae Pucuk, daun
6 Langsat hutan Aglaia eusideroxylon Meliaceae Pucuk, daun
7 Andolia - - Pucuk, daun
8 Beringin hutan Ficus hampelas Moraceae Pucuk, daun
9 Jengi - - Buah
10 Nantura Ficus sp. Moraceae Buah
Herba
1 Balliala Anisomelos sp. Labiaceae Pucuk, daun
2 Liluh Curculigo latifolia Hypoksidaceae Pucuk, daun
3 Bambu hutan Bambusa vulgaris Graminae Pucuk
4 Balole Rubus rosaefolius Rosaceae Pucuk, daun
5 Mamanua (paku) Nephrolephis eksaltata Polipodiaceae Pucuk
6 Rumput paraga Paspalum conjugatum Graminae Pucuk, daun
Sumber : Jahidin (2003)

Tabel 6.15 Jenis tumbuhan pakan alami anoa di Sulawesi Tengah


Bagian Tumbuhan
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili
yang Dimakan
1 Bakanggaroka Garcinia sp. Clusiaceae Daun, buah
2 Katatuma Elastotema sp. Urticaceae Daun, bunga, batang muda
3 Lambori Frecynetia insignis Pandanaceae Daun
4 Tamomo Trichosteleum sp Hypnaceae Daun
5 Kadamuku Smilax leucophylla Smilaceae Daun, bunga, umbi
6 Walangkome Acer laurinum Aceraceae Daun
7 Rotan noko Calamus inops Arecaceae Daun, tunas
8 Kao pangkao Podocarpus imbricatus Podocarpaceae Daun, batang muda
9 Harao pinang Areca vestiarea Arecaceae Tunas, buah
10 Pakuwana Microlepia todayensis Denstaedtiaceae Daun
11 Bonitu Lasianthus clementis Rubiaceae Tuna, daun, bunga, buah
12 Marantapi Calophyllum soulatri Clusiaceae Tunas
13 Tatari Scleria sp. Cyperaceae Daun
14 Tommanete Dysoxylum sp. Meliaceae Daun, tunas, bunga, buah
15 Palili Lithocarpus celebicum Fagaceae Daun, buah
Sumber : Pujaningsih et al. (2009)

134
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Sulawesi Utara
Studi mengenai tumbuhan pakan anoa di Sulawesi Utara dilakukan oleh Syam (1977)
di Cagar Alam Tangkoko Batuangus, yang menyebutkan bahwa anoa makan daun, buah,
kulit batang, umbi, umbut dan pucuk tumbuhan. Satwa ini juga dilaporkan makan berbagai
jenis buah seperti buah pakoba (Eugenia sp.), coro (Ficus sp.), nantu (Palaquium obtusifolium),
beringi (Ficus benjamina), kedondong hutan (Spondias sp.) dan buah rao (Dracontomelon dao,
D.mangiferum). Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Rahman (2001), mencatat
sebanyak 46 jenis tumbuhan pakan anoa di Sungai Tolinggopoto dan sekitarnya, Pinogu,
di antaranya buhio (Ficus variegatus), poli (Ficus minahassae), gesengo (Aglaia elliptica), pangi
(Pangium edule), tombito (Licuala celebica), momali (Antideswa sp.), topu (Sauria caulflora),
dan taginabala (Musa paradisiaca). Sementara Arini dan Wahyuni (2016) mencatat sebanyak 35
jenis tumbuhan potensi dimakan anoa di TN Bogani Nani Wartabone.

Tabel 6.16 Jenis tumbuhan pakan anoa di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian yang Dimakan
1 Rotan susu Calamus sp. Arecaceae Tunas,daun
2 Paku hutan Pteridium sp. Dennstaedtiaceae Daun
3 Pandan hutan Pandanus sp. Pandanaceae Daun
4 Rotan merah Calamus symphysipus Arecaceae Tunas
5 Paku bunga suplir Selaginella verruculosa Selaginellaceae Daun
6 Paku anoa Athyrium silvaticum Polypodiaceae Daun
7 Pinang hutan Areca sp. Arecaceae Daun,buah
8 Kano kano Phragmites karka Poaceae Daun
9 Kayu kambing Garuga floribunda Burseraceae Daun
10 Bonsai hutan - - Tunas, daun
11 Rumput boi Paspalum conjugatum Poaceae Tunas, daun
12 Kunyit hutan Alpinia sp. Zingiberaceae Tunas, daun
13 Kusu kusu Imperata cylindrica Poaceae Daun
14 Paku Asplenium pellucidum Polypodiaceae Daun
15 Barisu Pandanus helicopus Pandanaceae Tunas. daun
16 Pala hutan Knema latifolia Myristicaceae Daun
17 Rumput korit Pollia sorrogensis Commelinaceae Daun
18 Rumput piso Scleria multifoliata Poaceae Daun
19 Jambu monyet - - Buah
20 Tepu/Rofu Elastotema sp. Urticaceae Daun
21 Daun nasi Phyrrium pubinerve Maranthaceae Daun
22 Tolipolu - - Daun
23 Belabugo - - Daun
24 Guito Alternanthera sp. Maranthaceae Daun
25 Meangbanga Pigafetta filaris Arecaceae Buah

135
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Tabel 6.16 Jenis tumbuhan pakan anoa di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Bagian yang Dimakan
26 Pisang hutan Musa sp. Musaceae Buah
27 Kunyit hutan Alpinia sp. Zingiberaceae Daun
28 Dangin Dillenia serrata Dilleniaceae Buah
29 Pangi Pangium edule Salicaceae Buah
30 Bunganopoli Ficus sp. Moraceae Buah
31 Bunga oranye Impatiens balsamina Balsaminaceae Daun
32 Seho Arenga pinnata Arecaceae Buah
33 Pinang Yaki Areca sp. Arecaceae Buah
34 Sirih sirihan Piper sp. Piperaceae Daun
35 Pakis utan - - Daun
Sumber : Arini dan Wahyuni (2016)

Makanan Anoa Ex-situ


Pada dasarnya satwa yang berada di kandang akan sangat tertekan karena ditempatkan
pada habitat yang sangat berbeda dengan habitat alaminya yaitu hutan tropis yang sangat kaya
akan sumberdaya yang dibutuhkan satwa. Ketika satwa ditempatkan pada dalam kandang
maka segala perilaku alaminya berubah, terutama kemampuan menjelajah, jenis tumbuhan
pakan alami tidak lagi tersedia karena kandang membatasi segalanya. Umumnya kandang satwa
dibuat sangat kecil serta tidak memenuhi syarat kesehatan satwa. Untuk itu bagi pengelola satwa
khususnya anoa di kandang, kesejahteraan satwa harus diperhatikan karena satwa bagaimanapun
juga adalah mahluk hidup yang merasakan stres serta sakit apabila tidak dikelola dengan baik.

Jenis pakan dan preferensi makan


Untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsumsi tumbuhan pakan anoa, penulis
telah melakukan beberapa studi mengenai jenis pakan, preferensi pakan, konsumsi pakan,
dan kecernaan pakan serta kebutuhan protein anoa yang ada di dalam kandang. Seluruhnya
terdapat delapan individu anoa yang telah diteliti jenis pakan dan kebutuhan nutrisinya masing-
masing Taman Margasatwa Ragunan Jakarta (3 individu anoa), anoa yang ada di masyarakat
di dekat SM Tanjung Peropa (3 individu) dan anoa yang ada di halaman kantor BKSDA
Sulawesi Tenggara (2 individu).

136
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Tabel 6.17 Jenis makanan anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari 1995)
Bagian Tumbuhan yang
No Nama Daerah Nama Ilmiah Berat Basah (Kg)
Dimakan
1 Jagung Zea mays 0,50 Buah
2 Ubi jalar Ipomoe batatas 0,25 Umbi
3 Kangkung Ipomoea aqua 0,25 Daun
4 Pepaya Carica papaya 0,50 Buah
5 Jambu air Psidium guajava 0,50 Buah
6 Pisang Musa sp. 0,50 Buah
7 Mentimun Cucurbita sp. 0,25 Buah
8 Kacang panjang Vigna unguicolia 0,25 Buah
9 Wortel Daucus carota 0,50 Umbi
10 Buncis ‘stringbean’ 0,25 Buah
11 Apel Malus sylvestris 0,25 Buah
12 Kentang Solanum tuberasum 0,25 Umbi
13 Rumput berbagai jenis Poaceae 3,00 Daun
Total 7,25

Untuk mengetahui preferensi pakan anoa diberikan empat jenis tumbuhan pakan, yaitu
rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput papaitan (Cyrtococcum patens), akar-akaran
(Mikania cordata), dan daun pacingan (Costus speciosus). Pemberian keempat jenis hijauan
tersebut pertimbangannya karena merupakan pakan hijauan alami dan cukup mudah diperoleh
karena tersedia di lingkungan lembaga konservasi itu. Dalam pengelompokan taksa, akar-
akaran dan daun pacingan termasuk dalam kelompok herba dan tumbuhan bawah. Ketika
empat jenis hijauan diberikan secara bersamaan dengan proporsi yang sama, maka anoa terlebih
dahulu mengonsumsi akar-akaran dan daun pacingan, kemudian rumput gajah dan rumput
papaitan. Hal ini menunjukkan bahwa anoa memiliki preferensi makan terhadap herba yang
lebih tinggi dibandingkan dengan jenis rumput, meskipun rumput juga dimakan setelah tidak
ada pilihan lain. Dalam percobaan lain, apabila rumput dan buah, misalnya pisang, jagung,
pepaya, buncis, kacang panjang, kentang, mentimun, dan wortel diberikan bersamaan, maka
anoa akan memilih jenis buah dan umbi tersebut terlebih dahulu. Apabila diberikan kangkung
(Ipomoea aquatica) dan daun ubi jalar (Ipomoea batatas) bersamaan dengan rumput, anoa akan
memakan kangkung dan daun ubi jalar terlebih dahulu. Hal ini sekali lagi memperkuat temuan
di alam bahwa anoa lebih menyukai tumbuhan herba atau paku-pakuan daripada jenis rumput,
meskipun rumput juga dimakan tetapi yang masih sangat segar, dan rumput muda yang serat
kasarnya rendah.

137
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Juga dapat dicatat bahwa anoa, baik di habitat alaminya maupun di kandang, menyukai
hijauan yang kadar airnya relatif tinggi seperti tameau langgai (Physalis minima), kura rano
(Cynodon dactylon), dan buah wehuko (Ficus variegata). Di Ragunan, anoa sangat menyukai
tumbuhan yang kadar airnya relatif tinggi seperti pacingan (Costus speciosus), akar akaran
(Mikania cordata), dan berbagai jenis buah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
di alam (Mustari 1995, Mustari 2003) bahwa anoa sangat menyukai berbagai jenis buah yang
ada di hutan seperti buah (Ficus spp.), buah dongi (Dillenia serrata), buah toho (Artocarpus
sp.), buah konduri (Parkia roxburghii), dan buah huhubi (Atocarpus dasyphyllus). Satwa ini juga
biasa mengonsumsi umbi hutan yang dalam bahasa daerah disebut wikoro (Dioscorea hispida).
Di habitat pegunungan, anoa mengonsumsi buah di antaranya pololi (Lithocarpus spp.), eha
(Castanopsis argentea) dan agatis (Agathis dammara).

Konsumsi hijauan
Konsumsi pakan (food intake) menunjukkan seberapa banyak hijauan yang dapat dimakan
oleh satwa dalam waktu 1 x 24 jam. Di Ragunan, sebelumnya dilakukan uji coba hijauan mana
yang lebih disukai anoa, apakah hijuan dalam bentuk campuran atau hijauan tunggal. Hijauan
tunggal rumput gajah dan hijauan campuran (empat jenis) diberikan secara bersamaan sehingga
anoa dapat memilih yang mana lebih disukai yang ditandai dengan prioritas pemilihannya atau
yang dimakan terlebih dahulu. Hasil percobaan menunjukkan preferensi makan yang tinggi pada
hijauan campuran yang terdiri atas rumput gajah, rumput papaitan, akar-akaran, dan pacingan
daripada hijauan tunggal rumput gajah. Hal ini menunjukkan bahwa anoa menyukai hijauan
campuran karena seperti halnya di habitat alaminya, anoa makan berbagai jenis tumbuhan.
Rataan konsumsi hijauan anoa di Ragunan adalah 5,98 kg untuk hijauan tunggal rumput
gajah dan 8,15 kg untuk hijauan campuran yang terdiri atas daun pacingan, akar akaran,
rumput gajah, dan rumput papaitan. Angka di atas menunjukkan bahwa anoa mengonsumsi
hijauan sebesar 8,50% untuk makanan tunggal dan 11,58% untuk makanan campuran dari
berat badannya. Dengan demikian konsumsi hijauan segar enam individu anoa yang diteliti
berkisar 7,45–11,58% dari berat badannya.
Mustari (2001) melakukan studi mengenai kebutuhan pakan anoa tiga individu anoa
dalam di desa Labotaone, Kecamatan Laonti, Kabupaten Kendari yang masih merupakan
bagian dari wilayah jelajah anoa di SM Tanjung Beropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tiga individu anoa dewasa dengan berat badan rata rata 92 kg mengonsumsi 6,85 kg hijauan
segar per individu per hari atau sekitar 7,45% dari berat badannya. Hijauan yang diberikan
terdiri atas daun nangka (Artocarpus integra), peropa (Sonneratia alba), dan kahule-hule (Ficus
sp.) dengan proporsi yang sama dan diberikan dalam waktu yang bersamaan.

138
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Kebutuhan hijauan anoa di kandang yaitu sekitar 8 kg hijauan basah per hari atau
sekitar 8–10% dari berat badan anoa. Dengan demikian, anoa yang berat badannya berkisar
80–100 kg memerlukan hijauan untuk pakan sebanyak 8–10 kg berat basah setiap hari atau
dalam waktu 24 jam.

Tabel 6.18 Konsumsi hijaun pakan anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari dan Masyud
1997, 2001), percobaan dilakukan dalam waktu 7 x 24 jam
Konsumsi Pakan Rasio Berat Basah/Berat Badan
Berat Badan (kg/hari)/Berat Basah (%)
Nama Anoa
(kg) Hijauan Hijauan
Rumput Gajah Rumput Gajah
Campuran Campuran
Marleni (betina dewasa) 110 7,03 10,33 6,39 9,39
Buton (jantan dewasa) 56 4,69 6,74 8,38 12,04
Bone (betina muda) 45 6,23 7,38 13,84 16,40
Rataan 70,33 5,98 8,15 9,4 12,61

Tabel 6.19 Rataan konsumsi hijaun pakan anoa di Labotaone, SM Tanjung Beropa (Mustari,
2002), percobaan dilakukan dalam waktu 6 x 24 jam
Berat Badan Konsumsi Pakan (kg/hari) Rasio Berat Basah/
Nama Anoa
(kg) Berat Basah Berat Kering Berat Badan (%)

Tina (betina dewasa) 79 6,45 1,88 8,16


Mburi (betina dewasa) 110 6,63 1,93 6,03
Bio (jantan dewasa) 87 7,48 2,18 8,59
Rata-rata 92 6,85 1,99 7,59

Tabel 6.20 Rata-rata konsumsi hijauan pakan anoa di BKSDA in Kendari (Mustari 2003),
percobaan dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam
Berat Badan Konsumsi Pakan (kg/hari) Rasio Berat Basah/
Nama Anoa
(kg) Berat Basah Berat Kering Berat Badan (%)
Botaone (betina dewasa) 85 8,13 2,37 9,56
Lambusango 80 6,70 1,95 8,38
(betina dewasa)
Rata-rata 82,5 7,42 2,16 8,97

139
140
Kandungan nutrisi pakan ANOA

Tabel 6.21 Persentase (%) kandungan nutrisi hijauan pakan anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari dan Masy’ud, 1997; 2001;
Mustari 2003)
Bahan Protein Serat
Jenis Hijauan Abu Lemak BETN Ca P Energi (kal/g)
Kering Kasar Kasar
Rumput gajah 43,89 5,69 7,28 15,96 0,77 14,19 0,46 0,09 1880
Hijauan campuran 32,95 4,59 5,84 9,37 0,67 12,48 0,37 0,13 1289
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

Tabel 6.22 Persentase (%) kandungan nutrisi hijaun pakan anoa di Labotaone, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Mustari 2001;
2003), hijauan terdiri dari daun nangka (Artocarpus integra), daun peropa (Sonneratia alba) dan daun kahule-hule (Ficus
sp.) dengan proporsi yang sama
Protein
Bahan Kering Abu Serat Kasar Lemak BETN Ca P Energi (kal/g)
Kasar
88,55 13,6 10,91 28,51 5,91 30,09 2,55 0,33 3406

Analisis kandungan nutrisi feses


Tabel 6.23 Persentase (%) kandungan nutrisi dalam feses anoa di Labotaone, Suaka Margasatwa Tanjung Beropa (Mustari 2001;
2003), pakan terdiri dari campuran daun nangka (Artocarpus integra), daun peropa (Sonneratia alba) dan daun kahule-hule
(Ficus sp.) dengan proporsi yang sama
Bahan Protein Serat Gross Energi
Nama Anoa Abu Lemak BETN Ca P
Kering Kasar Kasar (kal/g)
Tina 26,09 18,32 15,55 37,16 1,72 21,92 4,40 0,66 3836
Mburi 25,35 17,56 14,83 36,69 2,42 23,37 4,10 0,48 3684
Bio 21,25 17,34 13,91 37,90 2,48 22,74 4,20 0,62 4147
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Daya cerna makanan


Daya cerna makanan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
menentukan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap dalam saluran pencernaan
Tractus gastrointestinalis yang menggambarkan efisiensi biologis satwa. Persen daya cerna untuk
bahan kering, protein, lemak, serat kasar dan BETN ketiga individu anoa di Labotaone SM
Tanjung Beropa berkisar 50–88%. Koefisien cerna untuk protein dan serat kasar relatif sama
yaitu sekitar 50%, sedangkan persen daya cerna lemak relatif lebih tinggi yaitu di atas 80%.
Ketiga anoa tersebut memiliki Total Digested Nutrient (TDN) di atas 50% (rata-rata 52,64%).

Tabel 6.24 Persentase (%) kecernaan bahan makanan anoa di Labotaone, Suaka Margasatwa
Tanjung Beropa
Nama Anoa Bahan Kering Protein Lemak Serat Kasar BETN TDN
Tina 59,04 41,65 88,09 46,64 70,18 50,67
Mburi 63,73 50,69 85,15 53,32 71,83 53,67
Bio 63,30 53,50 84,70 51,52 72,44 53,58
Rata-rata 62,02 48,61 85,98 50,49 71,48 52,64

Kebutuhan protein
Pendugaan kebutuhan minimum protein oleh anoa didasarkan pada perbandingan
kandungan N dalam hijauan yang dikonsumsi dan kandungan N yang terdapat dalam urine
dan feses. Untuk studi ini, pendugaan kebutuhan minimum protein anoa hanya didasarkan
pada kandungan N dalam urin. Kebutuhan minimum protein anoa berdasarkan kandungan N
dalam urin berkisar 29,48–42,89 g per hari (rata-rata 36,87 g per hari). Sementara kebutuhan
minimum protein dalam kondisi basal berkisar 23,19–29,72 g per hari (rata-rata 25,94 g per
hari).

Tabel 6.25 Pendugaan kebutuhan minimum protein anoa di Labotaone, Suaka Margasatwa
Tanjung Peropa
Berat Badan/W Berdasarkan Kandungan N 2.70 (W0.75).6,25/1000
Nama Anoa W0,75 (kg)
(kg) dalam Urine (g/hari) (g/hari)
Tina 79 26,50 38,23 23,17
Mburi 110 33,97 29,48 29,72
Bio 87 28,49 42,89 24,93
Rata-rata 92 29,65 37,80 25,94

141
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Air minum
Anoa termasuk satwa yang membutuhkan air setiap hari untuk minum (water-dependent
species). Oleh karena itu, habitat yang sesuai untuk anoa selain terdapat sumber pakan berupa
hijauan segar, buah dan berbagai jenis rumput, serta tempat berlindung maka harus tersedia air
baik untuk keperluan minum maupun untuk mandi, berkubang atau berendam. Di habitatnya
anoa mendapatkan air minum dari mata air, sungai, rawa, dan danau. Rataan konsumsi air
minum setiap individu anoa di Labotaone Tanjung Peropa adalah 5,8 liter per hari. Di BKSDA
Kendari dua ekor anoa yang diteliti, rataan konsumsi air minum adalah 6,8 liter per hari,
sedangkan di Ragunan anoa mengonsumsi 4,1 liter per hari. Dari ketiga lokasi tersebut anoa
memerlukan volume air minum sebanyak 6–7 liter per hari. Suhu udara di sekitar kandang
pada saat dilakukan pengamatan berkisar 25–28 0C dan kelembapan relatif 70%. Anoa minum
pada siang dan malam hari, akan tetapi anoa lebih sering minum pada siang hari terutama saat
matahari terik dan suhu udara relatif tinggi. Di alam, diperkirakan anoa membutuhkan air yang
lebih banyak untuk minum karena mobilitasnya yang tinggi, wilayah jelajah yang luas, serta
topografi habitat yang bergelombang, berbukit, dan bergunung sehingga kemungkinan anoa
membutuhkan air minum yang lebih banyak, diperkirakan 2 sampai 3 kali lipat daripada anoa
yang ada di kandang. Air minum penting baik kuantitas maupun kualitasnya agar kesehatan
satwa tetap terjaga dan metabolismenya berjalan normal.
Semakin luas wilayah jelajah anoa, semakin banyak air yang diperlukan karena anoa yang
senantiasa bergerak dalam wilayah jelajahnya akan mengeluarkan keringat yang lebih banyak
sehingga konsekuensinya adalah air minum yang dibutuhkan lebih banyak juga. Bagi anoa yang
ditempatkan di dalam kandang, tempat minum harus dibuat berupa kolam ukuran 2 m x 3 m,
dengan kedalaman 70 cm, bentuknya mengikuti bentukan alam, oval, atau bundar. Selain
sebagai tempat air minum, kolam tersebut dipakai anoa berendam ketika terik matahari cukup
menyengat. Anoa termasuk satwa yang sangat menyukai air dan sering berkubang.
Sebagai satwa ruminansia, anoa membutuhkan mineral yang berguna membantu
pencernaannya. Anoa yang ditempatkan di dalam kandang, dalam periode tertentu, misalnya
satu kali seminggu harus diberikan mineral dapat berupa garam yang dilarutkan ke dalam air
minum atau diberikan bersama dengan makanannya.

142
Bab 6
EKOLOGI MAKAN

Feses dan urin


Pengamatan defekasi dan urinasi anoa dilakukan terhadap 5 individu anoa. Jenis hijauan
yang diberikan selama pengamatan itu adalah hijauan yang diketahui biasa dimakan anoa di
habitatnya, seperti daun nangka (Artocarpus integra), daun peropa (Sonneratia alba) dan daun
jenis beringin (Ficus spp.). Pengamatan dilakukan selama 6 x 24 jam. Frekuensi anoa membuang
feses rata-rata 7,4 kali dalam periode 24 jam. Defekasi dilakukan pada siang dan malam hari,
dan ketika pagi hari setelah istirahat dan/atau tidur pada malam hari, anoa selalu mengeluarkan
feses. Dicatat juga berat feses yang dihasilkan anoa, yaitu rata-rata dalam satu hari berat basah
atau berat segar feses anoa adalah 3,15 kg dalam 1 x 24 jam. Persentase bahan kering feses
sebesar 24,23%, berat feses kering oven anoa rata-rata 0,76 kg.
Urin anoa juga dicatat volumenya dengan cara manampung urin yang dihasilkan setiap
individu anoa, dengan cara dibuat lantai kandang setinggi 0,5 m dari tanah sehingga urin
dapat ditampung dengan baik melalui lembar plastik yang dibentang di bawah lantai kandang
anoa. Hasilnya adalah dalam 1 x 24 jam, rata-rata seekor anoa mengeluarkan urin sebanyak
2,42 liter.

Tabel 6.26 Kebutuhan air minum anoa di Labotaone, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
(Mustari 2002; Mustari 2003)
Konsumsi Air Minum Volume Urine Feses
Nama Anoa
(liter/hari) (liter) Berat Basah (kg) Berat Kering (kg)
Tina 5,23 2,34 2,95 0,71
Mburi 6,87 2,94 2,76 0,67
Bio 5,63 2,06 3,74 0,97
Mean 5,91 2,42 3,15 0,76

Tabel 6.27 Volume air minum dan frekuensi defekasi anoa di kandang kantor BKSDA Kendari
(Mustari 2001, Mustari 2003)
Nama Anoa Konsumsi Air Minum (liter/hari) Laju Defekasi (defekasi/hari)
Botaone 6,80 7,9
Lambusango 6,75 7,1
Mean 6,78 7,4

143
BAB 7
PERILAKU
Di alam, habitat anoa terdapat pada kawasan yang aksesibilitasnya rendah, bahkan
beberapa tidak dapat diakses sama sekali karena topografinya yang sangat ekstrem, curam,
terjal, dan gunung-gunung tertinggi di Sulawesi. Namun habitat dengan aksesibiltas
rendah itu justru yang menyelamatkan anoa dan jenis satwa lain yang langka, endemik
dan dilindungi. Habitat anoa bervariasi mulai dari mangrove, pantai, hutan dataran
rendah sampai hutan pegunungan. Jejak kaki dan feses anoa masih dapat ditemukan
di zona sub alpin 3000 mdpl, meskipun sudah jarang. Populasi anoa semakin sedikit
dengan semakin tingginya habitat, seperti pada zona sub alpin tersebut. Anoa tergolong
sensitif, senantiasa menghindari lingkungan yang sering didatangi manusia.
Habitatnya sulit dijangkau, peka gangguan dan selalu menghindar dari kehadiran
manusia menjadikan perilaku anoa menarik untuk dikaji. Perilaku anoa berbeda dengan
kerabat dekatnya, berbagai jenis kerbau, seperti kerbau air Asia, tamaraw, dan kerbau
Afrika. Berbeda pula dengan beberapa jenis sapi seperti banteng, gaur dan seladang
yang lebih menyukai areal terbuka, padang rumput dan semak belukar. Anoa hidup
di hutan yang bervegetasi rapat, bertopografi berat, bermacam tipe hutan di mana
terdapat sumber makanan hijauan tumbuhan dikotil, liana, monokotil, herba, rumput,
paku-pakuan, tumbuhan penghasil buah, air untuk minum, tempat berendam dan
berkubang serta tempat berlindung, melakukan interaksi sosial, reproduksi dan
berkembang biak. Anoa hidup dan menikmati hutan asli Sulawesi, di mana evolusi telah
membentuk morfologi, anatomi, fisiologi, dan perilaku yang semuanya telah menyatu
dengan hutan. Areal terbuka di hutan yang terbentuk secara alami seperti rimpang (forest
gaps), rawa yang ditumbuhi rumput asli sering didatangi anoa. Akan tetapi areal terbuka
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

alami seperti itu tetap harus terkoneksi langsung dengan hutan primer sebagai satu kesatuan
ekosistem karena kehidupan anoa sangat bergantung pada habitat berhutan untuk berlindung,
makan, dan sumber air minum serta untuk interaksi sosial.
Perilaku satwa di alam dan di kandang ada yang sama ada juga yang berbeda. Kandang
membatasi satwa melakukan berbagai aktivitas dalam mencari makan dan memilih jenis hijauan
pakan. Di alam, tumbuhan makanan anoa sangat beragam, terdiri atas tumbuhan dikotil,
liana, monokotil, herba, rumput, paku, dan buah. Kandungan nutrisi pakan juga lengkap
serta komposisi yang seimbang antara protein, serat, lemak, mineral, dan vitamin yang saling
melengkapi. Demikian pula dengan perilakunya dalam mencari air untuk minum, berendam,
dan menjelajah habitat secara alami. Anoa dewasa bertarung saat musim kawin dalam memilih
pasangan. Induk mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak. Induk anoa
juga melindungi anaknya secara ketat dari berbagai ancaman predator. Perilaku anak yang
selalu ingin dilindungi induknya serta masa sapih yang berlangsung cukup lama secara alami.
Induk menurunkan perilaku bagaimana mencari makan dan minum serta berlindung dan anak
pun belajar dari induknya berbagai perilaku untuk bertahan hidup kelak. Semua kemampuan
dan keterampilan dalam bentuk perilaku alami sudah dipelajarinya. Ketika waktunya disapih,
anak memulai hidup mandiri.
Beberapa perilaku alami tersebut tidak terjadi atau mungkin sulit terbentuk pada anoa ex-
situ. Ada campur tangan manusia yang menghalangi atau membatasi berbagai perilaku alami
tersebut. Kemampuan bertahan hidup di alam, daya tahan tubuh terhadap penyakit, serta
kemampuan berhadapan dengan predator hanya dimiliki oleh anoa di habitat alam karena
semua bentuk perilaku menyatu sempurna dengan habitat. Habitat alami memiliki mekanisme
sendiri dalam membentuk dan menyeleksi satwa yang hidup di dalamnya, sementara satwa
yang dipelihara dan yang dikandangkan, naluri dan kemampuan alaminya tidak berkembang
maksimal.
Menurut Scott (1956) ada sembilan tipe perilaku yang dapat diamati pada satwa ternak
atau satwa yang dibudidaya manusia (farm animals), mencakup perilaku contactual (kontak
badan), ingestif (makan dan minum), shelter seeking (berlindung dan mencari perlindungan),
agonistik (agresifitas dan bermusuhan), seksual dan reproduksi, epimeletik (induk memelihara
anak), et-epimeletik (anak ingin diperihara dan dilindungi induk), eliminatif (mengeluarkan
kotoran dan urin), allelomimetik (meniru), dan investigatif (ingin tahu sekitarnya).
Perilaku anoa yang disajikan berikut ini adalah hasil pengamatan penulis di habitat alam.
Beberapa perilaku harian anoa di kebun binatang dan di kandang juga penulis sajikan sebagai
pembanding. Perilaku anoa di habitatnya berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis
sejak tahun 1994 sampai sekarang. Sampai saat ini penulis masih sering melakukan perjalanan
dan pengamatan di hutan-hutan Sulawesi mengenai anoa, babirusa, babi hutan Sulawesi,

146
Bab 7
PERILAKU

monyet hitam Sulawesi, tarsius, kuskus beruang dan satwaliar lainnya yang hidup simpatrik
dengan anoa. Jenis hijauan pakan, konsumsi pakan, kebutuhan nutrisi, kandungan nutrisi
pakan anoa telah dilaporkan oleh Mustari (1995), Mustari dan Mas’ud (1997, 2001), Mustari
(2002), Mustari (2003). Perilaku dan activity budget anoa di Taman Margasatwa Ragunan
diteliti oleh Mustari (2019) dan Mustari dan Indriyani (2019).

Perilaku Sosial
Di alam, anoa hidup soliter, sering ditemukan satu individu, kadang dua individu, jarang
tiga individu atau lebih. Apabila ditemukan dua individu anoa, kemungkinan merupakan
pasangan jantan dan betina dewasa saat musim kawin atau masa estrus, atau induk dan anak.
Apabila ditemukan anoa dalam kelompok kecil tiga ekor, meskipun jarang, biasanya adalah
induk dan dua anaknya yang berbeda usia. Dua anak yang ikut induk adalah anak usia muda
(1,5–2,5 tahun) dan anak yang masih tergolong bayi (juvenile, 0–6 bulan). Keduanya merupakan
kakak dan adik. Anak anoa jantan ikut lebih lama bersama dengan induknya dibanding anak
anoa betina. Anoa betina disapih lebih cepat oleh induknya dibanding dengan anak anoa jantan.
Oleh karena itu, anoa yang berumur sekitar dua setengah tahun atau lebih dan ditemukan
masih ikut induknya umumnya adalah anak anoa jantan. Anak anoa betina lebih cepat disapih,
yaitu ketika usianya sekitar 1,5–2 tahun. Anak anoa betina muda kadang ditemukan masih
bersama dengan induknya meskipun usianya lebih dua tahun, tetapi jarang terjadi.
Mustari (1995) mencatat bahwa dari 40 perjumpaan langsung dengan anoa di Tanjung
Amolengo, 21 perjumpaan (50,5%) adalah jantan dewasa, 3 perjumpaan (7,5%) betina dewasa,
9 perjumpaan (22,5%) merupakan pasangan jantan dan betina dewasa, 5 perjumpaan (12,5%)
induk bersama anaknya, dan 2 perjumpaan (5%) merupakan kelompok kecil 3 individu terdiri
atas betina dewasa, anak, dan jantan muda. Jantan muda tersebut adalah anak yang masih
ikut dengan induknya. Dengan demikian secara keseluruhan diketahui bahwa 60% anoa yang
dijumpai di Tanjung Amolengo adalah anoa soliter, 35% kelompok kecil dua anoa yaitu jantan
dan betina dewasa atau induk dan anak, dan hanya 5% yang berjumlah 3 individu.
Secara keseluruhan dari total 115 perjumpaan langsung dengan anoa di Tanjung Amolengo
dan Tanjung Peropa dalam periode 1994–2003 oleh penulis, tercatat bahwa 84% anoa yang
ditemukan terdiri atas satu individu. Hanya sebagian kecil (14%) anoa yang dijumpai lebih
dari satu individu yang terdiri atas jantan dan betina dewasa atau induk dan anak. Demikian
pula dengan hasil pemantauan kamera jebakan (camera trap) di beberapa kawasan konservasi
di Sulawesi, lebih 80% anoa yang terekam adalah anoa soliter. Berdasarkan hal-hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa anoa adalah spesies kerbau yang paling soliter kehidupan sosialnya
dibandingkan dengan kerbau air Asia (Bubalus arnee), tamaraw (B. mindorensis), dan kerbau
Afrika (Syncerus caffer). Kehidupan sosial anoa juga lebih soliter dibanding dengan banteng

147
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

(Bos javanicus), gaur (B.gaurus), kouprey (B.sauveli), dan yak (B. mutus). Perilaku sosial anoa
mirip dengan saola (Pseudoryx ngetinhensis) yang juga soliter, terdapat di hutan dan pegunungan
Vietnam dan Laos.
Kehidupan anoa yang soliter di alam terkait dengan evolusi anoa, geologi dan kondisi
bentang alam (landscape) Sulawesi seperti yang diuraikan pada bab awal buku ini. Habitat anoa
bervegetasi rapat di hutan tropis di Sulawesi mulai dari hutan dataran rendah sampai hutan
pegunungan. Bentang alam Sulawesi didominasi lingkungan pegunungan, lipatan dan patahan
geologi akibat aktivitas tektonik yang tergolong tinggi. Ekosistem hutan dan alam secara
keseluruhan menyatu dan akhirnya membentuk kehidupan anoa seperti yang dapat disaksikan
hari ini, termasuk kehidupan sosialnya yang tergolong paling soliter di antara jenis-jenis kerbau
maupun sapi. Sebagai satwa asli Sulawesi, anoa telah beradaptasi dengan sangat baik melalui
proses evolusi, menyatu dengan sempurna dengan alam Sulawesi.
Kombinasi bentang alam berhutan dan formasi batuan serta gua menambah kompleksitas
struktur dan komposisi bentang alam habitat anoa. Kondisi habitat seperti ini menyebabkan
mamalia besar terestrial seperti anoa untuk hidup soliter atau hidup dalam kelompok kecil.
Mobilitas kelompok yang jumlah anggotanya tergolong besar tentunya akan mengalami
kesulitan di lingkungan hutan yang rapat, komposisi dan struktur vegetasi beragam (highly-
structured habitats) serta topografi habitat yang umumnya curam, terjal dan bergunung. Pada
kondisi habitat seperti ini satwa beradaptasi dengan cara hidup soliter atau berkelompok kecil.
Sulit terjadi apabila anoa hidupnya berkelompok dengan kondisi habitat seperti itu.
Berdasarkan karakteristik habitat demikian, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab
soliternya kehidupan anoa karena dalam perjalanan evolusinya selama jutaan tahun menempati
habitat yang bervegetasi rapat serta topografi berat. Soliter adalah pilihan yang paling sesuai untuk
kehidupan anoa. Alam memiliki mekanisme mengenai jenis satwa yang hidup di dalamnya.
Anoa sebagai salah satu satwa endemik Sulawei beradaptasi sempurna dengan habitatnya.
Kerabat terdekat anoa adalah tamaraw (Bubalus mindorensis) di Pulau Mindoro, Philipina
Selatan, habitatnya 90% berupa padang rumput termasuk rumput tinggi, herba serta semak
belukar. Tamaraw dapat membentuk kelompok yang lebih besar yaitu 11 individu (Alvarez
1970), dan 6 individu (Kuehn 1986). Babi hutan Sulawesi dan babirusa yang hidup di habitat
yang sama dengan anoa memiliki jumlah kelompok yang lebih besar, berkisar 3–5 individu per
kelompok. Babirusa menempati habitat 0–1000 mdpl, dan babi hutan Sulawesi 0–1500 mdpl.
Anoa dapat dijumpai pada ketinggian sampai sekitar 2500 mdpl terutama anoa gunung. Hutan
dataran rendah serta hutan riparian juga memiliki topografi yang berat.
Mustari (1995) menyatakan bahwa babi hutan Sulawesi dengan jumlah 25 individu
ditemukan pada waktu yang sama, makan dan minum di padang rumput alami Pera I
Tanjung Amolengo. Demikian pula dengan rusa timor yang diintroduksi ke Sulawesi yang

148
Bab 7
PERILAKU

akar evolusinya berasal dari Sunda Kecil dan Pulau Jawa memiliki kelompok yang lebih besar,
bahkan penulis pernah mencatat 17 ekor rusa timor pada waktu yang bersamaan, juga di Pera
I Tanjung Amolengo. Namun demikian jumlah individu yang ditemukan secara bersamaan
tersebut bukan merupakan kelompok yang permanen, baik babi hutan Sulawesi maupun rusa
timor. Satwa tersebut akan terpecah menjadi beberapa kelompok kecil, terdiri atas 3–5 individu
ketika masuk ke hutan.
Demikian pula dengan kehidupan sosial babirusa, jumlah anggota kelompoknya 3–5
individu (Clayton 1996). Meskipun babirusa kadang dijumpai lebih 10 ekor sekaligus pada
tempat mengasin, salt-lick, di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo, namun ketika kembali ke
hutan rapat di sekitarnya, babirusa membentuk kelompok kecil 3–5 individu (Mustari personal
observation).

Pola Sebaran
Pola sebaran satwa diketahui berdasarkan data perjumpaan satwa selama penulis melakukan
penelitian di bebarapa lokasi di Sulawesi. Data yang dicatat mencakup frekuensi perjumpaan dan
jumlah satwa yang dijumpai. Data dikumpulkan oleh penulis selama dua periode yaitu periode
pertama tahun 1994–1996 dan periode kedua pada tahun 2000–2001. Data perjumpaan
langsung anoa dan babi hutan Sulawesi dikumpulkan di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo
dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dan sekitarnya. Kedua kawasan konservasi ini hanya
berjarak sekitar 3 km, hanya dibatasi kampung dan kebun di desa Amolengo, Molinese,
Langgapulu, Ampera, dan Rumba-Rumba. Populasi anoa dan babi hutan Sulawesi sering
bertukar individu populasi di antara kedua kawasan tersebut. Data perjumpaan rusa timor
didapatkan di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo. Perjumpaan langsung dengan anoa dan
babi hutan Sulawesi sebagian besar berlangsung di dalam kawasan, namun dalam beberapa
kesempatan kedua jenis mamalia tersebut ditemukan di pinggir hutan yang berbatasan dengan
wilayah perkampungan dan perkebunan terutama di daerah perlintasan/koridor penghubung
Amolengo dan Peropa, di jalur sungai kecil seperti di Langgapulu, Wakorindi, Peosoa, dan
Napabampa.
Data perjumpaan babirusa diperoleh penulis di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto,
Gorontalo. Kawasan konservasi ini merupakan salah satu habitat terbaik babirusa di Sulawesi.
Kawasannya berada di hulu Sungai Paguyaman Gorontalo. Salah satu yang sangat menarik di
kawasan ini yaitu terdapatnya tempat mengasin yang sering didatangi babirusa, anoa, dan babi
hutan Sulawesi.

149
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Pola sebaran rusa timor juga dianalisis bersama dengan tiga spesies mamalia endemik
Sulawesi tersebut karena jenis rusa ini juga terdapat di habitat yang sama dengan anoa dan
babi hutan Sulawesi di Tanjung Amolengo. Rusa timor diintroduksi yang kemudian menyebar
ke seluruh Sulawesi, menempati savana, padang rumput dan hutan sekunder dataran rendah.
Ditemukannya anoa pada habitat yang sama dengan rusa timor seperti yang terjadi di Suaka
Margasatwa Tanjung Amolengo sebenarnya jarang terjadi karena keduanya memiliki preferensi
habitat serta jenis makanan yang berbeda. Kehadiran rusa timor di Tanjung Amolengo
kemungkinan disebabkan karena di sekitar suaka margasatwa tersebut terdapat areal terbuka
yang cukup luas di sebelah utara kawasan, berbatasan dengan kebun penduduk yang ditumbuhi
berbagai jenis rumput yang disukai rusa timor.
Whitten et al. (1987) menyatakan bahwa anoa ditemukan pada habitat yang tidak pernah
dihuni oleh rusa. Tetapi di beberapa kawasan hutan dataran rendah dan hutan sekunder di
mana terdapat habitat dengan kombinasi vegetasi hutan padang rumput. Pada kondisi tertentu,
anoa dan rusa timor dapat ditemukan, meskipun keduanya memiliki relung ekologi (niche)
yang berbeda. Analisis jenis tumbuhan pakan anoa, babi hutan Sulawesi dan rusa timor
menunjukkan komposisi pakan yang berbeda sebagimana diuraikan pada bab mengenai ekologi
makan anoa.
Pola sebara satwa dapat diketahui berdasarkan indeks dispersi (index of dispersion)
sebagaimana yang dinyatakan oleh Fowler et al. (1998) yang membagi tiga pola penyebaran
yaitu teratur (regular), acak (random), dan berkelompok (contagious atau clumped). Parameter
yang diperlukan untuk menentukan nilai indeks dispersi yaitu jumlah perjumpaan (number of
observations) dan jumlah individu satwa yang dijumpai (number of animals). Pada spesies yang
sama, semakin bervariasi jumlah individu (jumlah anggota kelompok) satwa yang tercatat pada
setiap perjumpaan maka semakin tinggi nilai keragaman (s2, variance) dan nilai indeks dispersi,
dan sebaliknya.
Satwa yang memiliki nilai keragaman (s2, variance) tinggi adalah satwa yang perilakunya
berkelompok. Pada satwa yang hidup berkelompok, suatu ketika dapat ditemukan kelompok
dengan jumlah individu yang cukup besar 5–6 individu, tetapi pada waktu yang lain ditemukan
dalam kelompok kecil 2–3 individu atau hanya 1 individu. Perilaku berkelompok seperti ini
biasa ditemukan pada babi hutan dan rusa timor. Sementara satwa soliter, umumnya ditemukan
hanya satu individu, kadang dua, dan jarang tiga individu seperti halnya pada anoa. Satwa yang
hidup soliter memiliki nilai keragaman (s2, variance) yang rendah karena jumlah individu yang
tercatat pada setiap perjumpaan tidak banyak berbeda atau tidak fluktuatif.

150
Bab 7
PERILAKU

Nilai indeks dispersi diperoleh dari hasil pembagian nilai keragaman (s2, variance) dengan
nilai rata-rata ( ) jumlah individu satwa pada setiap perjumpaan. Oleh karena itu, semakin
tinggi nilai keragaman (s2, variance), semakin tinggi nilai indeks dispersi, dan sebaliknya.
Secara umum Fowler et al.(1998) membuat katagori indeks dispersi (s2/ ) sebagai berikut:
satwa menyebar merata (regular) apabila nilai indeks dispersi s2/ < 1; menyebar acak (random)
apabila nilai indeks dispersi s2/ = 1; dan menyebar berkelompok (contagious) apabila nilai
indeks dispersi s2/ > 1.
Semakin tinggi nilai indeks dispersi maka pola sebaran satwa semakin berkelompok, dan
sebaliknya. Dari tiga mamalia endemik Sulawesi yang hidup simpatrik: anoa, babirusa dan
babi hutan Sulawesi, maka diketahui bahwa nilai indeks dispersi (s2/ ) anoa adalah yang paling
rendah, disusul babirusa, kemudian rusa timor dan yang tertinggi adalah babi hutan Sulawesi.
Apabila dibuat notasi, nilai indeks dispersi empat jenis mamalia tersebut sebagai berikut:
anoa < babirusa < rusa timor < babi hutan Sulawesi. Hal ini mengindikasikan bahwa pola
sebaran anoa lebih merata dibadingkan dengan babirusa, rusa dan babi hutan Sulawesi. Nilai
indeks dispersi anoa dan babirusa kurang dari satu. Berdasarkan katagori nilai indeks dispersi
oleh Fowler et al. (1998), maka anoa dan babirusa memiliki pola sebaran merata atau reguler
(s2/ < 1), sedangkan babi hutan Sulawesi dan rusa timor memiliki pola sebaran mengelompok
(s2/ > 1).
Rusa timor di beberapa lokasi dapat membentuk kelompok besar 5–6 individu atau
lebih, seperti yang terdapat di padang savana Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai,
Ujung Kulon, Alas Purwo dan Baluran (Mustari personal observation). Di Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo, rusa timor hanya membentuk kelompok kecil, lebih kecil dari kelompok
yang seharusnya. Hal ini mungkin disebabkan karena ukuran populasi rusa timor di Tanjung
Amolengo yang kecil, serta luas kawasan yang hanya 604 ha. Penyebab lain yaitu vegetasi yang
rapat dan tidak tersedia padang rumput luas yang disukai rusa; hanya terdapat padang rumput
kecil yang luasnya kurang 2 ha di dalam kawasan Suaka margasatwa Tanjung Amolengo. Selain
itu rusa timor menjadi target utama perburuan satwa oleh penduduk setempat.

151
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7.1 Ungulata di Sulawesi: (a) anoa, (b) babirusa, (c) babi hutan Sulawesi dan (d) rusa
timor (Foto Abdul Haris Mustari)

Tabel 7.1 Indeks dispersi empat jenis mamalia di Sulawesi


Babi hutan
Parameter Anoa Babirusa Rusa timor
Sulawesi
Jumlah perjumpaan (observations) 115 18 58 16
Jumlah satwa (individu) 173 43 166 42
Rata-rata ( ) jumlah satwa 1,5 2,39 2,86 2,63
pada setiap perjumpaan (individu)
Keragaman (s2, variance) 0,36 2,13 6,02 3,98
Indeks dispersi (s2/ ) 0,24 0,89 2,10 1,51

152
Bab 7
PERILAKU

Pola Aktivitas Harian


Beberapa tulisan mengenai anoa menyebutkan bahwa satwa ini aktif pada malam hari. Pada
siang hari anoa istirahat atau tidur di tempat-tempat perlindungannya di hutan berupa pohon
rindang, tebing, gua, dan tempat yang aman di dalam kerimbunan hutan tropis Sulawesi. Hasil
penelitian penulis selama dua puluh lima tahun menunjukkan bahwa anoa aktif pada siang
(diurnal) dan malam hari (nokturnal). Di alam, anoa mencari makan, minum, berendam dan
berkubang, melakukan interaksi sosial, serta aktivitas reproduksi pada siang dan malam hari.
Siang hari anoa lebih sering ditemukan mencari makan serta aktivitas lain di hutan.
Pada kawasan hutan yang berdekatan dengan perkebunan dan permukiman, serta pada
hutan di mana sering terdapat gangguan manusia, seperti adanya penebangan pohon, pencarian
hasil hutan non kayu misalnya rotan, madu, berburu, maka anoa cenderung aktif pada malam
hari. Hal ini terkait dengan sifatnya yang peka akan gangguan manusia. Anoa selalu menghindari
kontak dengan manusia. Sementara pada hutan yang berada jauh dari permukiman dan aktivitas
manusia, secara alami anoa aktif pada siang dan malam hari.
Pada malam hari anoa mulai mencari makan sekitar pukul 19.00 dan sampai pukul
22.00 kadang dijumpai anoa masih aktif mencari makan. Anoa yang keluar dari hutan pada
malam hari selalu kembali ke hutan pada dini hari pukul 04.00–05.00. Jejak kaki dan feses
anoa sering ditemukan di sepanjang jalan setapak dan koridor lintasan anoa serta di sekitar
sumber air berupa sungai, rawa dan mata air. Perilaku anoa seperti ini biasa dimanfaatkan oleh
para pemburu dengan memasang jerat kaki di lintasan anoa. Di areal perbatasan hutan dan
kebun (forest edges) tersedia berbagai jenis hijauan berupa terubusan dan tunas berbagai jenis
tumbuhan, rumput, berbagai jenis paku, dan kadang makan tanaman seperti padi ladang, ubi
jalar, singkong, pisang, sayuran dan palawija serta rumput yang baru tumbuh pada areal bekas
pembakaran kebun.
Aktivitas harian anoa menunjukkan pola dua fase (bi-phasic) yaitu aktif pada pagi hari
sekitar pukul 6:00–9:00, sedangkan pada siang hari sekitar pukul 11:00–15:00 anoa mengurangi
aktivitasnya, beristirahat, berkubang atau berendam. Pada sore hari sekitar pukul 15:00–18:00
anoa kembali aktif mencari makan dan minum. Pada malam hari pun anoa aktif. Aktivitas
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu makan, minum dan berlindung serta
istirahat, termasuk kegiatan sosial dan interaksi individu untuk reproduksi. Hal yang sama
ditunjukkan oleh babi hutan dan babirusa, yaitu aktif pada siang dan malam hari.
Di alam anoa aktif pada siang dan malam hari juga didukung hasil penelitian anoa di kebun
binatang atau yang kebetulan terdapat di masyarakat (Mustari 1995, 2003). Pola aktif harian
anoa disajikan dalm bentuk grafik activity budget pada uraian selanjutnya. Di kandang, anoa

153
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

disuplai makan dan air minum, sementara yang di alam anoa bebas mencari kebutuhannya.
Meskipun ditempatkan di kandang, anoa tetap menunjukkan pola aktivitas alami yaitu aktif
pada siang dan malam hari. Anoa yang sudah lama berada di kandang, bahkan sudah terlalu
lama karena sejak lahir berada di lingkungan yang sangat terbatas maka persentase istirahat dan
tidur lebih tinggi pada malam hari dibandingkan siang hari. Namun demikian hasil pengamatan
menunjukkan bahwa anoa tetap aktif pada siang dan malam hari.
Anoa cenderung mencari makan atau keluar dari hutan rapat pada malam hari apabila di
sekitar habitatnya terdapat kawasan permukiman atau perkebunan. Hal ini mengindikasikan
bahwa anoa menghindari kontak dengan manusia. Waktu istirahat anoa adalah pada siang hari
yang terik, sekitar pukul 11.00 sampai dengan pukul 14.00. Istirahat juga dapat dilakukan
anoa sambil berendam atau berkubang. Pada malam hari anoa beristirahat pada tengah malam
setelah pukul 23.00. Apabila pada siang hari aktif sepenuhnya, maka pada malam hari lebih
banyak istirahat atau tidur, dan sebaliknya.
Secara umum pola aktivitas harian anoa adalah seperti yang disebutkan di atas. Aktif pada
siang dan malam hari, aktivitas tinggi pada pagi dan sore hari serta awal dan akhir malam. Perlu
dicatat bahwa sering kali aktivitas dipengaruhi kondisi cuaca, cerah, mendung, hujan, angin
kencang, sungai di hutan banjir meluap, dan sebagainya. Ketika hujan deras dan angin kecang,
anoa cenderung berlindung atau istirahat meskipun pada pagi dan sore hari yang dalam kondisi
normal aktivitasnya tinggi.

Wilayah jelajah
Anoa memiliki mobilitas yang tinggi, menjelajah satu tipe habitat ke tipe habitat yang
lain. Populasi anoa dataran rendah di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa bagian selatan dengan jarak sekitar 2–3 yang hanya dipisahkan
oleh kawasan desa dan perkebunan. Populasinya saling bertukar individu ketika permukiman
di desa tersebut belum padat seperti saat ini. Koridor yang menghubungkan beberapa tipe
habitat sangat penting bagi anoa. Koridor dapat berupa vegetasi atau hutan riparian dan rawa-
rawa yang menghubungkan kedua kawasan hutan ini harus dipertahankan. Ketika belum
banyak manusia yang bermukim di kawasan tersebut, anoa kadang ditemukan berenang di
Teluk Kolono yang terletak di ujung selatan Sulawesi Tenggara. Pertukaran populasi anoa
dapat terjadi antara Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa bagian selatan dan Tanjung Batikolo.
Namun permukiman dan aktivitas manusia semakin membatasi pergerakan populasi anoa di
ketiga kawasan konservasi tersebut.

154
Bab 7
PERILAKU

Koridor atau lintasan anoa


Anoa memiliki lintasan atau koridor yang tertentu di hutan, menghubungkan tipe habitat
yang satu dengan yang lain, atau menghubungkan satu sumberdaya dengan sumberdaya lain
yang dibutuhkan anoa, seperti tempat mencari makan, minum, berendam dan mandi, istirahat
dan berlindung. Jalur lintasan dan pergerakan anoa dapat dengan mudah dikenali dari jejak
kaki dan feses pada jalur tersebut. Jalan setapak di hutan juga dapat menjadi jalur lintasan anoa
dan satwa lain seperti babi hutan. Umumnya jalur pergerakan anoa mengikuti kontur tanah di
lereng bukit dan gunung, namun ada juga jalur yang memotong kontur. Anoa bergerak melalui
jalur yang memotong kontur diduga karena lebih dekat dengan sumberdaya yang dibutuhkan.
Anoa memiliki kemampuan menjelajah hutan bervegetasi rapat dan bertopografi berat.
Dalam kondisi tertentu, misalnya mendeteksi sesuatu yang mencurigakan, anoa melarikan
diri atau berpindah tanpa melalui jalur lintasan tetapnya. Apabila mendeteksi sesuatu dan
dianggap mengancam maka anoa akan bergerak dan lari secepat kilat, tanpa memperdulikan
apa yang ada di dekatnya, bahkan sering kali menerobos semak belukar rapat di hadapannya.

Perilaku menggaruk tanah (soil scratching)


Anoa memiliki kebiasaan menggaruk tanah dengan kuku kaki pada jalur yang biasa
dilaluinya. Di beberapa lokasi, tempat menggaruk tersebut terdapat feses atau urine anoa. Anoa
menggosokkan kuku pada lokasi tertentu di sepanjang lintasannya yang diduga juga bagian dari
perilaku penandaan wilayah jelajah (mungkin wilayah teritori). Perilaku ini sering ditemukan
pada satwa ungulata khususnya di mana terdapat kelenjar hormonal di antara kedua celah
kukunya untuk menandai teritorinya. Beberapa bekas garukan di tanah tersebut berdekatan
dengan feses anoa. Mustari (1995, 2003) menyatakan sebanyak 37 garukan kaki anoa yang
ditemukan di Tanjung Amolengo dan Tanjung Peropa, panjang garukan berkisar 30–73 cm (n
37; 50 cm; S.D. 11.1 cm), dan lebar 7–42 cm (n 37; 20 cm; S.D. 7.2 cm) dan dalam sekitar
0,5–1,0 cm.
Belum diketahui secara pasti apakah perilaku menggosok dan menggaruk tanah dengan
kaki sebagai bentuk penandaan teritori atau bukan, perlu diteliti lebih lanjut, mengingat hanya
beberapa jenis satwa yang tergolong ungulata yang memiliki teritori. Kemungkinan yang lain
adalah perilaku menggaruk tanah dilakukan untuk membersihkan kuku dari tanah atau lumpur
yang menempel ketika sedang melakukan perjalanan

155
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Perilaku istirahat dan mencari tempat berlindung


(shelter seeking)
Berlindung atau mencari tempat berlindung termasuk bagian dari perilaku harian anoa
di habitat alaminya. Hal terpenting dalam memilih tempat berlindung dan istirahat adalah
keamanan dan kenyamanan. Keamanan terutama menyangkut kehadiran manusia, serta
kemungkinan adanya predator alami, terutama ular python yang sering ditemukan di hutan
Sulawesi. Lokasi yang disukai anoa berlindung atau beristirahat adalah lereng bukit, kaki tebing,
tanah menjorok di kaki tebing menyerupai gua, puncak bukit, lubang besar gerowong pohon
tumbang, sekitar akar papan atau banir, di bawah liana, rumpun bambu, rotan, dan gua.
Pada siang hari yang terik, anoa biasa ditemukan berlindung di bawah rindang pepohonan
di sekitar mata air, di sekitar rawa, di sekitar tempat berkubang atau mandi. Demikian pula
pepohonan sekitar sumber mata air panas seperti yang terdapat di hutan Suaka Margasatwa
Nantu di hulu Sungai Paguyaman Gorontalo, anoa sering menjadikannya tempat istirahat.
Satwa ini juga dapat dijumpai beristirahat di hutan riparian atau di puncak bukit yang
aman dari gangguan manusia. Ketika istirahat, anoa memamah biak, mengunyah kembali
makanannya di bawah pohon, di kaki bukit dan tebing, sekitar akar banir atau akar papan.
Pada suatu kesempatan, penulis menjumpai anoa istirahat di lubang kayu besar pohon angsana
(Pterocarpus indicus) yang tumbang, terdapat gerowong menyerupai lorong berdiameter 80 cm,
panjang 2 m di Tanjung Peropa.
Tempat lain yang disukai anoa untuk istirahat adalah puncak-puncak perbukitan, tanah
relatif kering dan terdapat pepohonan rimbun. Pemilihan puncak-puncak perbukitan untuk
istirahat atau berlindung dilakukan terutama pada malam hari atau pada saat musim hujan
di mana kondisi tanah di bagian hutan yang lebih rendah basah atau becek. Tempat lain yang
disukai anoa yaitu di bawah tegakan bambu karena rumpun bambu memberikan perlindungan
yang sangat baik dari terik matahari, apalagi daun mudah dan rebung bambu merupakan salah
satu makanan kesukaan anoa di habitat alaminya.
Perilaku mencari tempat berlindung juga ditunjukkan oleh anoa yang berada di kandang.
Di kandang yang cukup luas, terdapat pepohonan dan shelter, anoa beristirahat dan mencari
tempat berlindung ketika hujan lebat atau angin kencang disertai petir. Saat istirahat, anoa
menyukai bagian lantai kandang yang kering dan bersih atau pada shelter yang lantainya kering.
Hal ini memperkuat temuan di habitat alam, bahwa ketika berlindung dan istirahat, anoa
menyukai tanah lantai hutan yang kering. Hal ini diduga karena tanah yang kering memberikan
kehangatan pada tubuh anoa, terlebih anoa yang hidup di habitat hutan pegunungan. Anoa
menyukai air dan sering berendam, tetapi ketika istirahat dan berlindung, anoa akan memilih
tempat yang tanahnya cukup kering.

156
Bab 7
PERILAKU

Perilaku berendam, berkubang dan mandi


Berbagai cara dilakukan oleh satwa dalam memelihara diri, untuk menjaga kesehatannya
atau agar tubuhnya senantiasa dalam kondisi yang baik. Anoa memelihara diri misalnya menjilat
bagian tubuhnya, kulit dan rambut, serta menjilat tungkai dan kaki. Untuk mengusir serangga
yang mengganggu, anoa senantiasa menggerakkan atau mengibaskan ekornya. Selain itu anoa
secara teratur berkubang atau mandi, selain menyejukkan badannya, mandi dan berkubang
dilakukan untuk mengusir serangga misalnya nyamuk dan lalat dari tubuhnya. Saat terik
matahari sekitar pukul 11.00–14.00 saat suhu udara sekitar 28–31 oC dan kelembapan 60–70%,
anoa sering dijumpai berendam di tempat berkubang di hutan, atau di sekitar mata air terlebih
apabila terdapat mata air panas mengandung belerang, anoa sangat menyukai tempat seperti ini.
Dari 40 kali penulis melihat langsung anoa di Tanjung Amolengo, 6 kali di antaranya ditemukan
saat berkubang atau berendam. Di habitat aslinya, dari beberapa kali perjumpaan langsung
dengan anoa yang sedang berendam umumnya pada kisaran waktu 08.30–16.30. Jadi pada pagi
hari pun ketika matahari terik dan suhu udara cukup panas, sekitar pukul 09.00 anoa dapat
dijumpai berkubang untuk mendinginkan tubuhnya serta mengusir serangga yang menganggu
atau menggigit tubuhnya. Anoa yang terluka, lemah setelah bertarung memperebutkan pasangan
sering berada di sekitar sumber air, memilih tempat yang memudahkannya mendapatkan air
dan berendam, terlebih pada musim kemarau saat air terbatas.
Di habitatnya, tempat berkubang anoa umumnya berbentuk bulat, oval atau agak
memanjang, dengan diameter berkisar 1,5–5 m dengan kedalaman air 0,4–0,6 m. Lokasi
yang dipilih berendam anoa yaitu yang aman dari berbagai gangguan, terutama gangguan atau
kehadiran manusia. Selama berendam, anoa tetap menunjukkan sikap dan perilaku waspada.
Apabila selama berendam dan tiba-tiba terdapat gangguan atau ancaman, anoa dengan cepat
akan meninggalkan tempat berendam dan seketika mencari tempat yang lebih aman. Kondisi
air di tempat berendam atau berkubang bervariasi, mulai dari air yang cukup bersih dan
bening sampai air yang keruh. Air yang keruh juga dapat dipakai berendam, terutama ketika
musim hujan, atau ada satwa lain yang juga sering berkubang seperti babi hutan dan babirusa.
Meskipun demikian, anoa, babi hutan dan babirusa masing-masing memiliki preferensi waktu
dan tipe tempat berkubang, sehingga tidak bersaing secara langsung. Babi hutan lebih fleksibel
memilih tempat berkubang, karena ukuran kubangan yang kecil sekalipun atau yang persediaan
airnya terbatas dapat dipakai oleh babi hutan. Bahkan pada beberapa tempat berkubang babi
hutan, hanya berupa lumpur dan tanah yang sedikit becek berupa cekungan di lantai hutan
atau di dasar tebing dangkal. Jenis satwa yang telah menggunakan suatu tempat berkubang atau
berendam apabila tidak ditemukan secara langsung, maka dapat diketahui dari jejak kaki satwa
yang masih baru yang terdapat di sekeliling tempat berkubang.

157
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Apabila air di kubangan cukup dalam, sekitar 50–60 cm, maka anoa akan membenamkan
seluruh badannya, hanya bagian leher dan kepala yang berada di atas permukaan air. Apabila
air di tempat berendam agak dangkal, kurang dari 40 cm, maka hanya sebagian dari tubuhnya
yang terendam. Saat berendam, leher, kepala dan telinga digerak-gerakkan untuk mengusir
serangga yang mengganggu yang menggigit bagian tubuh yang tidak terkena atau terendam air.
Umumnya anoa yang berendam hanya satu individu, tetapi kadang terlihat dua individu yaitu
sepasang anoa atau induk dan anaknya. Apabila yang berendam dua individu, maka posisinya
saling membelakangi. Posisi saling membelakangi diduga sebagai upaya anoa agar lebih efektif
dalam memantau lingkungan sekitarnya, serta lebih efisien dalam penggunaan ruang dalam
kubangan, khususnya pada kubangan yang ukurannya agak kecil. Dengan posisi yang saling
membelakangi, areal pantauan keduanya lebih luas, dan untuk melihat kemungkinan gangguan
atau intruder. Karena itu pada saat berendam, mandi atau berkubang anoa tetap waspada,
terutama kehadiran manusia. Di areal terbuka padang rumput rawa Pera 1 di sisi bagian barat
yang agak terlindung pepohonan di Tanjung Amolengo, penulis melihat secara langsung
sepasang anoa yang berendam pada pukul 14.30 selama 30 menit. Posisi penulis di atas pohon
di pinggir areal terbuka itu, membuat pengintaian khusus disebut ‘nyanggong’. Posisi kedua
anoa saling membelakangi ketika sedang berendam.
Pada kandang yang cukup luas, anoa dapat berendam di bak air yang disediakan, biasanya
ukuran 1,2 m x 1,5 m x 0,6 m. Bak air itu juga berfungsi sebagai bak tempat minum. Waktu
berendam sama dengan yang diamati di alam, yaitu saat terik matahari, suhu udara tinggi,
antara pukul 10.00–14.00. Di Taman Margasatwa Ragunan, tercatat anoa berendam selama
15 menit dan pada kesempatan lain anoa berendam lebih lama yaitu selama 60 menit. Ketika
berendam dan air tidak cukup dalam sehingga bagian atas tubuhnya tidak terkena air, anoa
menggunakan kepala yang dikibaskan berulangkali ke arah samping dan belakang sehingga air
mengenai seluruh bagian tubuh.

Gambar 7.2 Berendam atau berkubang, salah satu aktivitas kesukaan anoa (Foto Abdul Haris
Mustari)

158
Bab 7
PERILAKU

Perilaku berenang
Anoa dapat berenang dengan baik, meskipun bukan termasuk satwa perenang ulung. Pada
beberapa kesempatan anoa terlihat berenang di Teluk Kolono, pantai selatan Sulawesi Tenggara.
Pada 31 Agustus 1994, ditemukan anoa yang berenang tidak jauh dari bibir pantai di teluk
tersebut, dan pada saat yang sama driver speed boat melintas dan melihat anoa yang sedang
berenang itu. Anoa didekati, diburu, dilukai dan ditangkap. Beberapa tahun sebelumnya juga
ada anoa tertangkap dan terbunuh ketika sedang berenang. Anoa dalam keadaan tertentu dapat
berenang dengan. Namun demikian berenang bukan perilaku rutin anoa, hanya dalam keadaan
tertentu, atau dalam keadaan terdesak. Bahwa anoa bisa berenang dapat dipahami, mengingat
kerabat kerbau lainnya, genus Bubalus, seperti kerbau air asia (Bubalus arnee), dan tamaraw
(Bubalus mindorensis) juga adalah berenang yang baik.

Perilaku menggosok tanduk


Anoa sering menggosok tanduk pada batang pohon tertentu di hutan. Mustari (1995)
melaporkan mengenai perilaku anoa menggosok atau mengasah tanduk pada batang pohon
tertentu di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo. Tercatat sebanyak 147 individu pohon yang
digunakan oleh anoa menggosok tanduk, di mana 68,7% adalah pohon Evodia sp., termasuk
Rutaceae. Diameter pohon berkisar 2–6 cm dan bekas gosokan dan tandukan anoa berada pada
ketinggian 0–125 cm dari atas tanah (umumnya 60–100 cm). Berdasarkan pengukuran jarak
dasar dan ujung kedua tanduk, dari 23 tengkorak yang diukur, jarak dasar tanduk berkisar
30–65 mm (rata-rata 51,13 mm), dan jarak ujung tanduk 80–235 cm (rata-rata 152,30 cm).
Berdasarkan data tersebut anoa memilih diameter batang yang termasuk dalam rentan
jarak pangkal tanduk ntuk menggosok dan mengasah tanduknya (Mustari 1995). Aktivitas
menggosok dan mengasah tanduk dilakukan anoa dengan tujuan meruncingkan ujung tanduk.
Menggosok tanduk juga kemungkinan untuk meninggalkan hormon tertentu yang terdapat
pada pangkal tanduk untuk menandai wilayah jelajah dengan meninggalkan aroma hormonal
yang ada di pangkal tanduk dan di bagian atas kepala pada pohon tertentu. Namun hal ini
masih perlu diteliti lebih lanjut. Kebiasaan menggosok tanduk tidak hanya dilakukan anoa di
alam. Anoa yang ditempatkan di kandang juga sering menggosok tanduk pada batang pohon
atau pada dinding dan pagar kandang.
Menggosok tanduk bukan sekedar mengasah tanduk tetapi juga melatih ketepatan
dan kecepatan menanduk. Keahlian ini diperlukan anoa dalam rangka membela diri dari
predator dan ancaman lain. Karena itu tanduk sangat penting bagi anoa, karena tanduk
adalah senjata utamanya, baik anoa jantan maupun anoa betina. Seperti yang telah diuraikan
pada bab sebelumnya bahwa ketika penduduk lokal berkisah mengenai anoa, yang pertama

159
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

dibicarakan adalah tanduknya. Tanduk anoa sangat tajam, dan sering melukai siapa saja yang
mengganggunya. Anoa yang tertangkap dan dibunuh selalu disimpan tanduknya, dipajang di
dinding rumah sebagai trofi. Seseorang yang masuk hutan dan kebetulan menemukan anoa yang
mati secara alami, tanduknya selalu dibawa ke rumah. Tanduk dianggap berharga, setidaknya
untuk dipajang di dinding rumah.

Gambar 7.3 Anoa jantan sering menanduk batang pohon di kandang (Foto Abdul Haris
Mustari)

Tabel 7.2 Jenis tumbuhan yang dipakai oleh anoa menggosok tanduk (Mustari 1995)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili N N (%)
1 Belum teridentifikasi Uvaria celebica Annonaceae 1 0,68
2 Kasu wai Xylopia malayana Annonaceae 1 0,68
3 Towula Macaranga sp. Euphorbiaceae 2 1,36
4 Kasampalu Trigonopleura malayana Euphorbiaceae 3 2,04
5 Kasu Tanu Homalium foetidum Flacourtiaceae 9 6,12
6 Tawa Mokora Cryptocarya sp. Lauraceae 1 0,68
7 Karematu Dehaasia caesia Lauraceae 2 1,36
8 Puta Barringtonia racemosa Lecythidaceae 4 2,72
9 Tarapasi Syzygium leneatum Myrtaceae 3 2,04
10 Kabuko Syzygium sp. Myrtaceae 4 2,72

160
Bab 7
PERILAKU

Tabel 7.2 Jenis tumbuhan yang dipakai oleh anoa menggosok tanduk (Mustari 1995)
(lanjutan)
No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili N N (%)
11 Wonggia Syzygium cf zollingerianum Myrtaceae 1 0,68
12 Bidara Plectronia horrida Rubiaceae 5 3,40
13 Sio Evodia sp. Rutaceae 101 68,71
14 Korope Ellatostachys verrucosa Sapindaceae 1 0,68
15 Koleuhu Euphorianthus obtusatus Sapindaceae 8 5,44
16 Kaeo Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi 1 0,68
Total 147

Perilaku contactual
Perilaku contactual yaitu perilaku melakukan kontak atau sentuhan badan antar individu
dalam kelompok, atau sentuhan badan dengan pasangannya. Seperti halnya satwa ungulata
lainnya, anoa melakukan kontak badan dengan individu anoa lain. Perilaku contactual dapat
diamati dengan jelas apabila anoa ditempatkan di dalam kandang. Antara anak dan induk atau
antara jantan dan betina yang berada di kandang yang sama senantiasa menunjukkan adanya
perilaku kontak atau sentuhan badan. Pada perilaku ini, anoa saling menggosokkan sisi badan,
bagian perut, atau mencium bagian tubuh pasangannya. Contactual termasuk menjilati bagian
tubuh pasangan atau induk kepada anak dan sebaliknya. Di habitat alaminya perilaku ini dapat
diamati ketika anoa yang berpasangan berendam atau berkubang sambil melakukan kontak
badan. Demikian pula antara induk dan anak karena kontak badan sesungguhnya merupakan
bagian dari komunikasi tubuh antar anoa.

Perilaku ingestif
Bagian tumbuhan yang dimakan anoa yaitu daun, buah, pucuk dan umbut, bunga, dan
umbi. Buah yang jatuh ke lantai hutan pada saat musim buah terutama selama musim hujan,
Desember sampai Maret juga menjadi makanan anoa misalnya buah berbagai jenis beringin
(Ficus spp.), rao (Dracontomelon dao, D. mangiferum), dongi (Dillenia serrata), moniwang
(Parkia roxburgii), dan berbagai jenis buah lainnya. Namun demikian daun, pucuk, tunas tetap
merupakan porsi terbesar dari makanan anoa secara keseluruhan. Daun muda dan rebung atau
tunas muda bambu juga menjadi makanan kesukaan anoa. Di kebun binatang, anoa diberi
makan berupa buah pisang, jagung muda, wortel, kacang panjang, buncis, dan ubi jalar. Anoa
juga diberikan berbagai jenis rumput dan yang disukai adalah rumput yang baru dipotong yang
masih segar. Jenis rumput makanan anoa di antaranya rumput gajah (Pennisetum purpureum),
papaitan (Cyrtococcum patens), dan jenis herba seperti pacingan (Costus speciosus). Anoa juga
menyukai daun tumbuhan mangrove terutama daun dan nuah pedada (Sonneratia spp.).

161
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Dalam memilih makanan, pertama anoa mencium dan mengendus hijauan atau buah
sebelum dimasukkan ke mulutnya. Dengan indera penciuman anoa dapat mengetahui jenis
makan yang baik dan yang tidak atau tumbuhan yang bisa dan tidak bisa dimakan. Daun,
rumput dan buah diraih menggunakan lidahnya, makanan dimasukkan ke mulut kemudian
dikunyah. Anoa menunjukkan preferensi yang tinggi pada jenis makanan berupa daun dibanding
buah dan umbi. Buah dan umbi juga dimakan tetapi terlebih dahulu memilih dedaunan. Jenis
makanan yang biasa diberikan kepada anoa di KB Ragunan yaitu kangkung, kacang panjang,
pisang, jambu biji, pepaya, jagung dan ubi jalar. Ketika semua jenis makanan itu diberikan
bersamaan, maka kangkung dan kacang panjang dimakan terlebih dahulu, kemudian jenis
buah dan umbi, misalnya ubi jalar dan kentang.

Gambar 7.4 Perilaku ingestif anoa, makan, dan minum (Foto Abdul Haris Mustari)

Perilaku eliminatif
Anoa membuang feses dan urin dengan cara kaki belakang ditekuk dan direnggangkan, ekor
diangkat dan badan agak dibungkukkan. Feses anoa mirip feses sapi atau kerbau, yaitu berupa
tumpukan berbentuk lingkaran, kadang agak mengeras berupa boli-boli. Feses anoa sering
dijumpai di sepanjang jalan setapak dan pada lintasan anoa. Lintasan tersebut menghubungkan
satu areal hutan dengan areal hutan lainnya. Lintasan menghubungkan sumberdaya yang
dibutuhkan oleh anoa seperti tempat mencari makan, minum, mandi dan berkubang. Feses
anoa sering ditemukan di sekitar mata air, di sekitar pohon tempat istirahat, di puncak-puncak
perbukitan, hutan di sepanjang aliran sungai. Feses juga dapat dijumpai di sekitar lokasi mencari
makan, feeding ground atau rawa padang rumput alami di hutan di mana anoa, babi hutan dan
rusa sering mengunjungi tempat ini. Demikian pula di areal batas kebun dan hutan, feses anoa
sering dijumpai. Kadang anoa membuang feses dan urin pada tempat tertentu, biasanya adalah
tempat istirahat anoa pada siang hari. Pernah juga dijumpai anoa di kebun binatang melakukan
defekasi dan urinasi di bak air yang biasa dipakainya berendam.

162
Bab 7
PERILAKU

Dalam kondisi estrus, frekuensi urinasi betina tinggi walau durasinya pendek. Demikian
pula dengan anoa jantan, ketika estrus frekuensi urinasi tinggi. Hal ini diduga sebagai respon
fisiologis anoa yang sedang mengalami fase estrus di mana aktivitas hormonal meningkat. Ketika
estrus urinasi anoa betina selalu menarik bagi anoa jantan. Anoa jantan mendekati betina,
mencium urin bahkan menjilatnya. Pada kesempatan lain anoa jantan bahkan meminum urin
betina pasangannya.

Gambar 7.5 Perilaku eliminatif anoa, defekasi, dan urinasi (Foto Abdul Haris Mustari)

Perilaku seksual dan reproduksi


Di alam anoa menunjukkan perilaku birahi selama musim kemarau yang berlangsung dari
bulan Agustus sampai November. Dalam periode ini sering terjadi perkelahian di antara sesama
anoa jantan dewasa, memperebutkan betina yang juga sedang dalam masa estrus. Di alam,
anoa betina dewasa kelamin (sexually mature) pada usia sekitar 3 tahun, dan yang jantan dewasa
kelamin pada usia sekitar 4 tahun. Di kandang atau di kebun binatang, anoa jantan sudah mulai
menunjukkan tanda birahi pada usia sekitar 2–2,5 tahun. Di habitat aslinya, anoa mencapai
dewasa kelamin dan siap kawin pada usia di atas 3 tahun, bahkan sekitar 5 tahun untuk yang
jantan. Hal ini terkait dengan perilaku alami anoa dalam memperebutkan pasangan, terutama
anoa jantan dewasa. Persaingan sesama jantan dewasa dalam memperebutkan betina yang
memasuki masa birahi dan estrus berlangsung sangat ketat. Pada musim birahi anoa jantan
dewasa saling kejar dan saling menanduk hingga terjadi luka serius, bahkan dapat berakhir
dengan kematian.
Kasim (2002) melaporkan bahwa anoa memiliki siklus estrus 15–23 hari dengan periode
estrus 2–4 hari. Puncak estrus terjadi pada hari ketiga, masa kehamilan 10–11 bulan dan interval
kelahiran 1–1,5 tahun. Iskandar dan Santoso (1983) menyatakan bahwa anoa dewasa kelamin
pada umur 2 tahun, lebih cepat dibanding dengan kerbau air yang mencapai dewasa kelamin

163
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

pada usia 3–5 tahun (Tolihere 1987). Akan tetapi umur dewasa kelamin tersebur kemungkinan
adalah kondisi di kandang atau di penangkaran. Di habitat aslinya, kematangan seksual satwa
dipengaruhi banyak faktor terkait kondisi habitat, ketersediaan makanan, air dan tempat
berlindung, serta perilaku dan persaingan alami di antara individu jantan dan betina dewasa.
Di alam, kondisi habitat dengan topografi yang berat, menuntut anoa jantan untuk
memiliki fisik yang kuat. Karena itu hanya jantan dengan fisik yang kuat dan tanduk yang
runcing, kokoh dan kuat yang dapat mengawini betina. Selama musim kawin, pasangan anoa
yang sedang birahi kadang memasuki areal perkebunan yang berada di tepi hutan. Di desa
terpencil yang berdekatan dengan habitat anoa seperti desa Amolengo di ujung selatan Sulawesi
Tenggara, anoa yang memasuki fase birahi sering ditemukan berkejaran di areal perkebunan
dan di pinggir perkampungan pada musim kemarau yang puncaknya terjadi pada bulan
Oktober. Perilaku saling kejar anoa yang sedang birahi juga dapat dijumpai di areal terbuka atau
di padang rumput alami di dalam hutan seperti Pera 1 dan Pera 2 di Tanjung Amolengo.
Setelah memenangkan pertarungan fisik dengan jantan lain, jantan masih harus berkejaran
dengan betina, sampai pada akhirnya betina siap dikawini. Anoa betina yang sedang estrus tidak
serta merta dapat menerima jantan. Perilaku berkejaran pada jantan dan betina estrus adalah
mekanisme fisiologis untuk memaksimalkan fungsi-fungsi hormon reproduksi keduanya. Juga
memaksimalkan semua organ reproduksi. Dengan berkejaran, organ pernapasan akan bekerja
maksimal, yang pada gilirannya memperlancar aliran daran ke seluruh organ reproduksi, dan
memaksimalkan fungsi hormonal. Dalam kondisi seperti itu, anoa jantan dan betina benar-
benar siap kawin. Mekanisme pertarungan, saling menanduk dan berusaha saling mencederai,
secara fisik mungkin terlihat berbahaya. Tetapi bagi satwaliar, kekuatan fisik diperlukan, karena
jantan dan betina dewasa yang kuat yang akan menghasilkan anak dan keturunan yang kuat
dan genetik yang unggul. Karena itu individu yang akan berhasil memenangkan pertarungan
ketika musim kawin pastilah individu yang lebih kuat. Selain itu, dengan beradu fisik, saling
kejar, energi dan aktivitas hormon reproduksi berfungsi maksimal. Kondisi ini diperlukan
oleh satwa di alam agar perkawinan dan pembuahan sel telur oleh sperma berada pada kondisi
optimum. Hukum alam berlaku bagi anoa dan satwaliar bahwa individu yang paling adaptif dan
kuat yang akan bertahan hidup dan menghasilkan keturunan yang unggul. Perilaku seperti ini
mungkin tidak terjadi atau sulit terjadi pada pasangan anoa ex-situ karena kandang membatasi
pergerakannya, sehingga fungsi organ reproduksi dan aktivasi hormonal tidak berlangsung
maksimal.
Mustari (1995) melaporkan bahwa perilaku seksual anoa ex-situ yaitu saling mencumbu,
mencium dan menjilat tubuh pasangan, jantan terhadap betina dan sebaliknya. Bagian tubuh
yang dijilat atau diciumi adalah kepala, leher, punggung bagian belakang, perut, dan di sekitar
organ genital. Ketika betina sedang urinasi, anoa jantan mencium dan menjilati bagian genital

164
Bab 7
PERILAKU

betina dan bahkan meminum urin betina, dan kejadian seperti ini teramati sebanyak 11 kali.
Selain itu betina juga pernah tercatat menjilati bagian genital jantan pasangannya. Aktivitas
lain yaitu menjilat tubuh pasangannya. Anoa jantan menjilati bagian genital anoa betina, dan
sebaliknya anoa betina menjilati genitalia anoa jantan. Perilaku menjilat juga sering diamati
pada anoa betina membuang air seni, bahkan air seni di tanah juga dicium anoa jantan. Perilaku
ini juga diamati pada saat kedua anoa yang merupakan pasangan itu berbaring atau istirahat.
Perkawinan anoa berlangsung pada bulan Agustus–Oktober. Masa kehamilan induk
anoa berkisar 275–315 hari. Karena itu anak anoa akan lahir dalam periode bulan Agustus–
November tahun berikutnya, atau pada pertengahan dan akhir musim kemarau. Induk anoa
dan anak yang berumur 1–3 bulan pada akhir bulan November atau Desember yang merupakan
awal musim penghujan akan memiliki persediaan makanan yang cukup. Dalam beberapa kali
kesempatan, penulis menemukan anak anoa yang berumur 1–3 bulan pada bulan September–
November, yang mengindikasikan bahwa induk anoa melahirkan pada akhir musim kemarau
menjelang musim hujan tiba. Hal ini terkait dengan ketersediaan makanan, berupa pucuk,
daun dan terubusan muda serta musim berbuah berbagai jenis tumbuhan hutan seperti dongi
(Dillenia serrata, D. ochreata, D. celebica), rao (Dracontomelon dao dan D. Mangiferum), pangi
(Pangium edule), huhubi (Artocarpus dasiphyllus), dan berbagai jenis beringin (Ficus spp.).
Jenis-jenis buah tersebut semuanya dimakan anoa. Ketersediaan makanan yang cukup dan
bernutrisi tinggi seperti berbagai jenis buah dan pucuk serta terubusan muda pada awal musim
penghujan diperlukan oleh anak-anak anoa serta induk anoa agar produksi susu lebih banyak
dan berkualitas, mengandung nutrisi tinggi untuk anaknya.

Gambar 7.6 Sepasang anoa saling kejar pada musim kawin bulan Agustus di Pera 1 Suaka
Margasatwa Tanjung Amolengo (Foto Dominggus) dan sepasang anoa bercumbu
di kolam berendam di Kebun Binatang Ragunan (Foto Abdul Haris Mustari)

165
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 7.7 Induk anoa dalam kondisi hamil 5 bulan (Foto Abdul Haris Mustari)

Perilaku epimeletik
Perilaku epimeletik yaitu perilaku induk dalam memberi perhatian atau pemeliharaan
kepada anak. Induk anoa memiliki naluri yang sangat kuat dalam menjaga anaknya dari
ancaman termasuk adanya pemangsa. Pada saat lahir anak anoa yang masih berselimut cairan
ketuban (omnion) langsung dijilati oleh induknya, sampai tubuh anak mengering. Cara ini
dilakukan oleh induk sambil menghangatkan tubuh anaknya melalui jilatan sekaligus sebagai
bentuk kontak fisik pertama induk kepada anaknya. Setelah tubuh agak kering dari cairan
ketuban, dalam beberapa menit setelah lahir, anak mulai mencoba berdiri dan merangkak
yang diawasi penuh oleh induknya. Pada kondisi ini anak anoa masih sangat labil tetapi naluri
sebagai satwaliar sudah mulai muncul, yaitu anak sudah belajar berdiri dan merangkak. Dalam
waktu beberapa jam setelah lahir anak anoa sudah mulai berjalan dan kemudian berlari pelan.
Ini adalah strategi satwa menghindari predator.
Induk anoa lebih agresif ketika memiliki anak. Ketika masih kecil, umur kurang dari tiga
bulan, induk dan anak anoa sering berada pada bagian hutan yang tanahnya cukup kering.
Bagian hutan dengan kondisi seperti ini umumnya terdapat di tempat yang lebih tinggi, misalnya
di perbukitan atau pada lereng yang drainasenya bagus sehingga lantai hutan tidak becek. Kuku
anak anoa yang masih kecil, seperti halnya kuku satwa yang tergolong ungulata lainnya, masih
lunak, karena itu apabila kaki menginjak tanah atau substrat yang basah atau becek, maka
kemungkinan berbagai macam bakteri akan masuk ke bagian kuku yang masih lembek tersebut
dan ini dapat menyebabkan infeksi. Infeksi pada kuku anak anoa akan menjadi masalah serius,
karena itu naluri induk anoa membawa anaknya ke areal yang tanahnya kering.
Anak anoa yang masih kecil belum mampu mengikuti induknya berjalan jauh mencari
makan atau minum. Pada kondisi seperti itu, induk anoa kadang menempatkan anaknya di atas
tumpukan dedaunan semak, herba, tali hutan atau liana yang rapat setinggi sekitar 0,5–1 meter

166
Bab 7
PERILAKU

di atas permukaan tanah. Anak anoa diangkat oleh induknya dengan cara induk merendahkan
bagian kepala sehingga posisi tanduk agak mendatar dapat menjangkau dan menaikkan anaknya
di atas leher tepat di belakang tanduk. Induk kemudian meletakkan anak pada posisi yang
diinginkan, yaitu di atas tumpukan dedaunan dan tumbuhan liana. Dengan menempatkan
anaknya di tempat yang aman, induk dapat berjalan agak jauh untuk mencari makan dan minum.
Pada posisi itu anak anoa untuk sementara waktu aman dari ancaman predator. Meskipun
hal ini tidak menjamin sepenuhnya bahwa anak akan aman dari pemangsaan atau gangguan
predator, terutama ular python dan musang Sulawesi. Akan tetapi python dan ular lain serta
musang Sulawesi umumnya aktif pada malam hari. Induk yang melindungi anaknya dengan
cara menempatkannya di atas tumpukan dedaunan dan liana biasanya hanya berlangsung pada
siang hari. Pada malam hari induk senantiasa bersama dengan anaknya.
Induk anoa saangat protektif dalam menjaga keselamatan anaknya. Dalam kondisi
terancam, misalnya ketika diserang oleh anjing pemburu, induk berusaha menempatkan
anaknya pada posisi yang paling aman, yaitu di bawah perut di antara kedua kaki depan dan
kaki belakang. Kedua kaki depannya disilangkan untuk memberi perlindungan maksimal
kepada anaknya yaitu membentengi anaknya dengan kedua kakinya. Badan, kepala dan tanduk
agak dimiringkan. Dengan posisi seperti ini, induk anoa dapat menutup rapat anaknya dari
serangan anjing dan/atau predator dan pada saat yang bersamaan induk siap menyerang yang
mengancamnya dan membela serta melindungi penuh anaknya.
Bentuk perhatian induk terhadap anaknya yaitu menyusui, mencium dan menjilati
bagian tubuh anaknya. Induk akan senantiasa mengikuti anaknya, dan sebaliknya anak selalu
mengikuti langkah induknya. Induk juga selalu memberikan kesempatan anaknya untuk
menyusu sepuasnya. Pada saat istirahat atau tidur, anak ditempatkan di sisi perut samping
dalam atau di bagian belakang.

Perilaku et epimeletik
Perilaku et epimeletik yaitu perilaku yang menunjukkan keinginan untuk diperhatikan,
dipelihara atau diurus. Perilaku ini dapat diamati pada anak anoa yang ingin diperhatikan
induknya mulai ketika lahir sampai pada umur tertentu saat tiba waktunya untuk disapih.
Induk anoa yang memiliki anak, menunjukkan perilaku yang sangat protektif terhadap
anaknya, dan cenderung agresif. Posisi induk anoa saat melahirkan adalah berdiri, dan sedikit
membungkukkan badannya, hampir sama posisinya ketika sedang membuang feses dan/atau
urin. Anak yang lahir tetap aman meskipun induknya dalam keadaan berdiri, karena anak
dibungkus selaput dan cairan ketuban/omnion yang banyak. Bagian badan yang keluar duluan
adalah kepala. Sesaat setelah lahir, anak anoa masih lemah. Induk secara naluriah menjilati
bahkan memakan selaput dan dan bahan lain yang melekat pada anaknya, dan dengan cara

167
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

itu, anak akan dengan sendirinya bersih dan perlahan badannya mulai mengering. Menjilat
cairan ketuban anak adalah kontak pertama induk dengan anaknya setelah anak berada di
luar kandungan dan merupakan salah satu bentuk perhatian induk kepada anak. Dengan
demikian anak anoa merasakan sentuhan pertama dari induknya, sekujur tubuhnya dijilati oleh
induknya. Induk senantiasa melindungi anaknya dari segala kemungkinan terburuk, termasuk
kemungkinan adanya predator di sekitarnya. Secara naluriah induk yang akan melahirkan akan
mecari tempat yang aman di hutan dari kemungkinan adanya predator. Tempat yang aman
itu, misalnya di bawah pepohonan, di sekitar akar banir atau akar papan, di lantai hutan yang
tanahnya kering dan di bawah rumpun bambu atau pepohonan teduh.
Secara naluriah, sesaat setelah lahir, ketika sudah mulai belajar berdiri dan berjalan, hal
pertama yang dilakukan anak anoa adalah mencari puting susu induknya untuk mendapatkan
suplai nutrisi yang sangat diperlukan untuk perkembangan fisik selanjutnya. Induk anoa
meresponnya dengan membiarkan anaknya menyusu atau belajar menyusu. Di Taman
Margasatwa Ragunan, anak masih menyusu pada umur 8–12 bulan.
Perilaku epimeletik dan et epimeletik anoa masih dapat berlangsung meskipun induk dan
anak sudah dipisah dan berada pada kandang berbeda namun masih berbatasan langsung. Anak
anoa masih sering meminta perhatian dari induknya dengan cara berdiri di dekat dinding pagar
kandang yang memisahkannya dengan ibunya, menunggu untuk dijilati atau disentuh oleh
induknya melalui celah-celah dinding kandang. Anak anoa juga sering mengeluarkan suara
ketika meminta perhatian induknya. Sebaliknya induk berusaha mendekati anak, meskipun
dibatasi pagar pembatas kandang.

Gambar 7.8 Induk anoa dan anak (a) umur satu bulan (b) umur tujuh bulan (Foto Abdul
Haris Mustari)

168
Bab 7
PERILAKU

Perilaku allelomimetik
Perilaku allelomimetik yaitu perilaku meniru. Allelomimetik dapat dilakukan oleh anak
yang meniru perilaku induknya atau anoa muda yang belajar atau meniru perilaku anoa dewasa.
Anak anoa yang baru dilahirkan, belajar berdiri, berjalan dan kemudian berlari adalah bagian dari
perilaku allelomimetik, meniru induknya. Setelah anak mulai mencari makan alami berbagai
jenis tumbuhan di hutan, anak akan belajar dan meniru perilaku induknya. Mulai dari memilih
jenis tumbuhan yang akan dimakan, mencium terlebih dahulu hijauan, menjulurkan lidah
dan kemudian merenggut dan memasukkan ke mulut. Perilaku meniru selanjutnya termasuk
bagaimana mendeteksi adanya bahaya atau predator. Berkubang, mandi, minum dan mencari
tempat berlindung dipelajari anak selama bersama dengan induknya karena anak anoa masih
terus bersama dengan induknya sampai umur sekitar 1,5–2 tahun. Setelah itu anak disapih
untuk selanjutnya hidup mandiri.

Perilaku agonistik
Ada yang menganggap anoa satwa yang agresif, berbahaya, sering melukai orang, bahkan
tidak jarang membunuh manusia dengan tanduknya yang sangat tajam. Namun sifat agresif
anoa sering kali dilebihkan karena pada dasarnya anoa selalu menghindari manusia. Penciuman
anoa sangat tajam, aroma keringat dan bau asap rokok menyebabkan anoa menghindar.
Anoa agresif dalam tiga keadaan. Pertama ketika anoa dalam masa birahi, periode Agustus–
Oktober, yaitu pada musim kemarau, anoa jantan cenderung agresif karena memperebutkan
betina. Kedua, induk betina yang memiliki anak sangat agresif dan protektif karena nalurinya
untuk melindungi dan menjaga anaknya. Beberapa kasus penduduk lokal yang masuk hutan
untuk mencari hasil hutan tiba-tiba diseruduk anoa betina beranak. Ketiga, anoa yang luka
cenderung agresif dan dapat menyerang dengan ganas. Anoa terluka disebabkan karena terjadinya
perkelahian serius sesama individu jantan dalam memperebutkan pasangan selama musim kawin.
Sesama anoa jantan berkelahi dengan tanduk yang sangat tajam dapat mengakibatkan luka
serius pada lawannya atau luka kedua belah pihak. Luka akibat perkelahian umumnya terdapat
di bagian kepala, samping leher dan bagian badan terutama di bagian samping dan bawah
perut. Perkelahian serius dapat menimbulkan kematian akibat luka parah. Anoa yang terluka
mendekat sumber air untuk minum atau berendam. Karena itu anoa luka sering ditemukan di
dekat sumber air. Beberapa tengkorak dan tulang belulang ditemukan tidak jauh dari sumber
air yang menandakan bahwa ketika sakit atau terluka parah, anoa mendekati sumber air, berupa
mata air, sungai atau tempat berkubang.

169
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Ketika menanduk, kepala anoa ditundukkan atau direndahkan dan ujung tanduk
diarahkan ke sasaran. Kepala dengan tanduk yang runcing dihentakkan dengan posisi seolah
tanduk menyendok dan menusuk lawan dengan kecepatan yang tinggi. Sepasang anoa jantan
dan betina yang sudah menempai kandang yang sama cukup lama masih memperlihatkan
perilaku agresif satu dengan lainnya, kadang saling menanduk.
Anoa cenderung agresif pada ketiga kondisi di atas: birahi, induk punya anak, anoa luka.
Selain pada tiga kondisi tersebut anoa adalah satwa yang sangat pemalu dan sensitif akan
kehadiran objek yang mencurigakan, menghindar dari kontak dengan manusia, hidup di tengah
hutan yang jauh dari aktivitas manusia. Apabila mencium sesuatu yang aneh dengan cepat anoa
menghindar, melarikan diri mencari perlindungan yang aman.
Beberapa hal yang harus diperhatikan apabila secara kebetulan bertemu dengan anoa di
hutan agar terhindar dari sifat agresif satwa ini. Perilaku menanduk anoa dimulai dari bawah
yaitu di atas permukaan tanah dan menanduk dengan cara menyedok dan menusuk. Ketika
berhadapan dengan anoa agresif sedapat mungkin mencari tempat berlindung yaitu batang
pohon, untuk menghindari serangan langsung anoa. Bahkan pohon yang kecil, berdiameter
10 cm atau lebih dapat dijadikan tempat berlindung dan kalau memungkinkan secepatnya
memanjat pohon. Anoa menanduk dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa. Anoa jantan
dan betina memiliki tanduk yang kuat dan sangat tajam. Apabila dalam kondisi sangat terdesak
tidak sempat mencari pohon untuk berlindung maka tidak ada cara lain selain menangkap dan
memegang kedua tanduknya. Tenaga harus dimaksimalkan ketika memegang kedua tanduk
dan pada saat itu anoa dapat ditaklukkan.
Ketika menanduk, anoa membelokkan tandukannya ke arah kiri, atau di sebelah kanan
kita. Tandukan anoa lebih tepat sasaran ke sebelah kiri, sehingga cara menghindarinya yaitu
diusahakan ke sebelah kanan anoa. Mencoba menghindar ke arah kiri justru akan semakin
membuka peluang anoa untuk menanduk dan menyerang lebih ganas.
Selain bersifat soliter, anoa termasuk satwa yang agak sulit dizinakkan meskipun sudah
beberapa tahun di kandang. Karakter liar anoa tetap ada meskipun sudah beberapa tahun dalam
pemeliharaan. Beberapa anoa di kebun binatang atau yang dipelihara penduduk bagian ujung
tanduknya dipotong agar tidak membahayakan. Namun tentunya hal ini akan menganggu
dan membuat anoa tidak maksimal menampilkan dirinya sebagai satwaliar. Tanduk yang utuh
diperlukan anoa untuk membela diri dan tanduk adalah bagian penting tubuh anoa.

170
Bab 7
PERILAKU

Gambar 7.9 Luka dan goresan bekas tandukan bagian samping tubuh anoa (Foto Abdul
Haris Mustari)

Perilaku investigatif
Perilaku investigatif atau perilaku menyelidiki tempat tinggal, lingkungan atau habitatnya.
Di habitat aslinya, anoa hidup bebas dalam rangka mendapatkan segala kebutuhan hidupnya
baik berupa hijauan pakan, minum dan berkubang dan tempat berlindung serta melakukan
interaksi sosial, termasuk seksual dan reproduksi. Anoa memiliki wilayah jelajah yang tertentu.
Di dalam wilayah jelajah anoa mendapatkan segala kebutuhan hidup. Bagian dari wilayah jelajah
yang lebih sering dipergunakan disebut daerah inti (core area). Daerah inti lebih sering dijelajahi
karena menyediakan kebutuhan makan, minum dan tempat berlindung yang mungkin lebih
baik secara kualitas dan kuantitas. Di daerah inti terdapat sumber pakan yang lebih baik, berupa
hijauan, daun, buah, tempat mandi dan berkubang dan tempat berlindung yang lebih aman
dari segala bentuk gangguan.
Anoa menjelajahi habitat melalui lintasan tertentu. Hal ini dapat dilihat dari jejak kaki
dan feses anoa di sepanjang lintasan tersebut. Sambil bergerak dalam wilayah jelajahnya anoa
melakukan investigasi atau menyelidiki kondisi wilayah jelajahnya, terutama terkait dengan
kebutuhan hidupnya, yaitu hijauan untuk makan, minum, dan tempat berlindung, juga
diperlukan dalam interaksi di antara individu-individu anoa.
Di kandang anoa rutin menjelajah seluruh bagian kandang. Anoa sering menjelajahi seluruh
sisi dan bagian dalam kandangnya. Pada kondisi ini anoa sering bergerak, menjelajahi kandang
dilakukan anoa baik siang maupun malam hari karena satwa ini aktif pada siang dan malam
hari. Induk dan anak juga sering terlihat bergerak di sepanjang sisi kandang melakukan kegiatan

171
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

inverstigatif. Perilaku investigatif dengan cara aktif bergerak di dalam kandang sesungguhnya
berpengaruh positif terhadap kesehatan anoa karena secara langsung fisik dan otot bergerak,
menjadi latihan fisik, exercise bagi anoa. Anak anoa perlu aktif bergerak, demikian pula dengan
anoa dewasa, perlu ruang yang cukup untuk bergerak. Karena itu ukuran kandang harus
memadai. Pada dasarnya semakin luas dan besar kandang semakin bagus untuk perkembangan
fisik dan psikis anoa. Kandang luas dapat mengurangi tingkat stres anoa. Di alam wilayah
jelajah anoa sangat luas. Anoa terbiasa dengan habitat yang luas. Kandang anoa harus cukup
luas, minimal berukuran 15 x 30 m sehingga anoa memiliki ruang yang cukup untuk bergerak
di dalam kandang. Sekali lagi semakin luas kandang, semakin bagus bagi anoa.

Gambar 7.10 Perilaku investigatif (Foto Abdul Haris Mustari)

Posisi istirahat dan tidur


Pada saat tidur anoa berbaring, kaki depan dan belakang dilipat atau ditekuk. Kadang
kedua kaki depan direntangkan atau diselonjorkan. Ketika istirahat, kepala dan leher dalam
keadaan biasa atau normal. Kadang kepala merunduk, hingga mulut menyentuh tanah. Posisi
lain yaitu leher ditekuk atau dilipat ke samping hingga kepala bersandar di sisi perutnya dan
mata dipejamkan.

172
Bab 7
PERILAKU

Gambar 7.11 Posisi anoa ketika istirahat atau tidur (Foto Abdul Haris Mustari)

Perilaku berendam dan berkubang


Berendam dan berkubang juga termasuk aktivitas memelihara diri, yaitu untuk
mendinginkan tubuhnya saat terik matahari menyengat dan untuk mengusir serangga
pengganggu. Memelihara diri juga dilakukan dengan mengibaskan ekor arah kiri dan kanan,
mengusir serangga dari tubuhnya yang dilakukan pada waktu makan, berjalan, atau dalam
posisi berdiri saat istirahat. Anoa kadang menjulurkan ujung lidah ke arah hidung berulang
kali. Seperti halnya satwa ruminansia, bagian depan hidung senantiasa basah oleh kelenjar
yang dikeluarkannya sendiri. Menggaruk bagian kepala dilakukan menggunakan kuku kaki
belakang, kiri maupun kanan. Ujung tanduk juga kadang digunakan untuk menggaruk bagian
tubuh. Bagian mulut, lidah dan gigi juga dipakai untuk menggaruk atau menjilat bagian badan
dan tungkai yang mungkin dirasa gatal oleh gigitan serangga.

173
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 7.12 Anoa menjilat bagian tubuhnya (Foto Abdul Haris Mustari)

Activity Budget
Activity budget adalah alokasi atau persentase waktu setiap perilaku. Studi activity budget
dapat dilakukan di habitat alam atau di kandang dan taman margasatwa. Activity budget satwa
berbeda di habitat alam dan di habitat buatan manusia. Di alam satwa bebas menggunakan
waktu dan kemampuan alaminya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjelajahi
seluruh habitatnya. Sementara satwa yang dibatasi oleh lingkungan manusia tidak memiliki
kebebasan karena segala sesuatu ditentukan oleh pengelola atau pemilik, seperti makan dan
minum yang sepenuhnya disuplai, dan dinding kandang membatasi pergerakannya. Activity
budget anoa di habitat alaminya sulit diamati secara langsung karena peluang perjumpaan
dengan satwa tersebut sangat kecil. Kalaupun berjumpa secara langsung, waktunya sangat
singkat karena satwa ini sangat peka.
Activity budget mencerminkan lama waktu dan persentase setiap aktivitas satwa selama
24 jam. Pengamatan dilakukan secara berkelanjutan dalam waktu 24 jam dan dilakukan
beberapa kali ulangan. Activity budget dihitung berdasarkan lama (durasi) setiap perilaku atau
berdasarkan tingkat keseringan (frekuensi) setiap perilaku. Untuk keperluan tersebut dilakukan
pengamatan activity budget perilaku anoa yang ada di Taman Margasatwa Ragunan. Sebanyak
enam individu anoa diteliti activity budget nya. Semua anoa yang diteliti perilakunya telah
beradaptasi dengan baik dengan lingkungan kandang dan telah terhabituasi dengan manusia.
Anoa tersebut ditempatkan di kandang peraga dan di kandang karantina. Anoa yang
ditempatkan di kandang peraga dapat dilihat oleh pengunjung umum. Sedangkan anoa yang
ditempatkan di kandang karantina adalah anoa yang memerlukan perlakuan khusus seperti
anoa yang sedang memasuki masa reproduksi, birahi, estrus, atau anoa yang sakit dan perlu
perawatan. Ukuran kandang peraga dan kandang karantina relatif sama yaitu 10 m x 30 m.

174
Bab 7
PERILAKU

Konstruksi kandang terbuat dari besi, pagar BRC dan ram kawat setinggi 1,5 m. Dengan
konstruksi seperti itu individu anoa yang ditempatkan pada kandang yang berbeda tatapi
berdekatan langsung masih dapat saling melihat dan berinteraksi secara visual, meskipun tidak
dapat melakukan kontak badan secara penuh. Pagar kandang dari ram kawat dan BRC masih
memungkinkan anoa kontak badan misalnya melalui celah pagar.

Gambar 7.13 Ilustrasi kandang peraga anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Indriyani 2019)

Di kandang, anoa ditempatkan berpasangan atau sendiri, tergantung kondisinya. Anoa


yang ditempatkan berpasangan adalah individu jantan dan betina dewasa atau anoa induk
dan anaknya yang belum disapih. Setiap anoa diberi nama oleh pihak pengelola dan keeper
atau perawat yang setiap hari berinteraksi dengan anoa dalam memberi makan, minum dan
membersihkan kandang. Poso (jantan dewasa) dan Murni (betina dewasa) ditempatkan pada
kandang yang sama, sementara Manis (betina dewasa) ditempatkan pada kandang terpisah.
Kedua kandang tersebut masih berdekatan dan berbatasan langsung, hanya dipisahkan pagar besi
di mana masih terjadi kontak visual dan dalam kondisi tertentu masih terjadi memungkinkan
terjadi kontak sosial seperti berusaha saling mendekati, meskipun terpisah dinding pagar.
Kelompok kedua yang diamati perilakunya adalah Marleni (betina dewasa), Buton (jantan
dewasa) dan Bone (betina muda umur 2 tahun). Bone adalah anak dari pasangan Marleni dan
Buton.
Perilaku anoa disajikan dalam waktu 24 jam disajikan dalam bentuk grafik dan pie chart
untuk melihat persentase perilaku secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan, anoa aktif
pada siang dan malam hari, hanya intensitasnya berbeda. Aktivitas anoa di Taman Margasatwa
Ragunan lebih banyak pada siang hari, hal ini terkait dengan pola pemberian makan oleh

175
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

pihak pengelola yang selalu memberi makan pada pagi dan sore hari. Hal ini sesuai dengan
pengamatan di habitat alaminya, bahwa anoa aktif pada siang dan malam hari (Mustari 1995,
2003). Namun demikian setiap aktivitas atau perilaku intensitasnya berbeda dari waktu ke
waktu selama 24 jam.
Anoa diberikan makan dua kali dalam satu hari yaitu pada pagi dan sore hari, masing-
masing pada pukul 08.00 dan pukul 16.00. Aktivitas makan anoa cenderung tinggi pada pagi
dan sore hari yaitu ketika makanan diberikan. Di antara kedua periode tersebut anoa makan
meskipun jumlahnya sedikit karena hanya memanfaatkan sisa-sisa makanan yang ada. Pada
malam hari anoa juga teramati melakukan aktivitas makan, yaitu makan sisa makan yang
diberikan pada siang hari atau makan rumput atau hijauan yang tumbuh di dalam kandang
maupun yang terdapat di luar kandang. Anoa memakan hijauan di luar kandang dengan cara
meraihnya dengan lidah melalui celah-celah bagian bawah pagar kandang.
Aktivitas istirahat dan berlindung persentasenya cenderung tinggi pada siang hari setelah
pukul 10:00 sampai sekitar pukul 16:00. Aktivitas istirahat juga tinggi pada malam hari setelah
pukul 21:00 sampai menjelang pagi hari. Anoa beristirahat pada shelter yang tersedia di dalam
kandang. Shelter berupa bangunan kecil beratap yang melindungi anoa dari sengatan matahari,
atau ketika hujan lebat dan angin kencang. Shelter digunakan oleh anoa untuk istirahat
dan berlindung pada siang dam malam hari. Anoa kadang terlihat istirahat pada siang hari
di bawah pohon yang terdapat di dalam kandang. Perilaku berjalan, berpindah dan memeriksa
(investigatif ) kandang juga memiliki persentase yang cukup tinggi pada pagi hari sampai pukul
11:00 dan pukul 18:00–21:00. Hal ini menunjukkan bahwa anoa aktif berpindah dan berjalan
di dalam lingkungan kandang, apabila kandangnya cukup luas. Di habitat alam anoa selalu
berpindah, bergerak dari satu habitat ke habitat lain mencari kebutuhan hidup yaitu makan,
minum dan tempat berlindung (Mustari 1995, 2003).
Di Taman Margasatwa Ragunan anoa berendam dan mandi di bak air yang disediakan.
Aktivitas ini dilakukan terutama saat siang hari ketika terik matahari atau suhu udara di kandang
dan sekitarnya cukup tinggi. Suhu udara yang tercatat di kandang anoa dan sekitarnya berkisar
23–31 oC, dengan rata-rata 25,7oC pada pagi hari (07.30), 28,3 oC pada siang hari (12.00) dan
27 oC pada sore hari (18.00). Kelembapan udara 91% pada pagi, 79% pada siang dan 84%
pada sore hari. Ketika terik matahari cukup menyengat, suhu udara sekitar 28–31 oC, anoa
sering dijumpai berendam pada bak air yang ada di kandang. Anoa berendam pada siang hari
selama 20–60 menit. Anoa berendam sendiri atau berpasangan. Ketika pasangan anoa mulai
berendam dan keduanya masih dalam posisi berdiri, pasangan itu mulai melakukan kontak
badan (contactual), atau bercumbu menjilati pasangannya di bagian kepala, leher, dan badan
yang dilakukan oleh anoa jantan kepada betina dan sebaliknya. Setelah itu keduanya berendam
dengan cara menekukkan kedua kaki dan membenamkan badannya ke air di bak.

176
Bab 7
PERILAKU

Activity Budget Anoa


di Taman Margasatwa Ragunan

177
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 7.14 Activity budget anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari 2020)

178
Bab 7
PERILAKU

179
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 7.15 Presentase activity budget anoa di Taman Margasatwa Ragunan (Mustari 2020)

180
BAB 8
LEGENDA DAN MITOS
Anoa lebih dikenal namanya daripada satwanya itu sendiri. Nama anoa sangat
populer dan hampir semua orang di Sulawesi mengenal namanya, meskipun mungkin
belum pernah melihatnya langsung di habitat aslinya. Masyarakat dan pemerintah daerah
di Sulawesi bangga dengan adanya anoa di wilayahnya. Anoa menjadi bendera dan ikon
konservasi (flagship species) di Sulawesi. Karena itu sesungguhnya anoa telah menjadi duta
yang mengenalkan Sulawesi baik di tingkat nasional maupun internasional. Seseorang
yang melihat atau mendengar nama anoa, ingatannya segera tertuju pada pulau yang
bentuknya unik menyerupai huruf K atau serupa sarang laba-laba di kawasan tengah-
timur Indonesia itu, Sulawesi.
Anoa menjadi maskot fauna Provinsi Sulawesi Tenggara, bersama dengan anggrek
serat sebagai flora maskot provinsi itu. Pemerintah dan masyarakat Sulawesi Tenggara
menyebut daerahnya sebagai Bumi Anoa, dan ini telah diperkuat dengan logo provinsi
yaitu kepala dan tanduk anoa dan di setiap baju pegawai pemerintah di provinsi ini
terdapat lambang berupa kepala anoa. Rumah adat pun demikian, pada anjungannya
terdapat kepala anoa sebagai simbol dan kebanggaan daerah. Anoa telah menjadi
simbol dan inspirasi masyarakat Sulawesi Tenggara, lambang akan keberanian. Semoga
hal ini dapat diwujudkan juga dalam kebijakan dan tindakan nyata pemerintah dan
masyarakatnya dalam melestarikan anoa di habitat aslinya di Sulawesi.
Apresiasi yang tinggi terhadap anoa juga tampak di Sulawesi Tengah. Di Kilometer
Nol kota Palu terdapat tugu anoa yang menandakan identitas diri dan keinginan kuat
untuk menjadikan satwa ini sebagai lambang daerah. Patung anoa terdapat di bagian
depan halaman Bandara Mutiara Palu. Seseorang yang baru keluar dari bandara atau
berada di halaman depan akan dapat melihat patung anoa dua ekor, yang di dekatnya
juga terdapat patung burung maleo, salah satu jenis burung endmik Sulawesi.
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Pada tingkat nasional, anoa diabadikan menjadi nama panser buatan PT Pindad yaitu
Panser Anoa dan telah dipakai oleh TNI sebagai salah satu Alutsista. Anoa adalah salah satu
satwa yang telah berevolusi dan menghuni pulau Sulawesi sejak Pliosen dan Pleistosen, 1–4
juta tahun lalu. Karena itu satwa ini telah menyatu sempurna dengan kondisi alam Sulawesi
dengan kompleksitas sejarah pembentukan geologinya. Bentang alam Sulawesi yang terdiri
dari pegunungan, lembah, ngarai, tebing, dan jurang, dan hutan belantara, menjadikan anoa
sebagai penghuni asli sangat tanggguh, kuat dan lincah. Panser karya anak bangsa merek Anoa
diharapkan menjadi kebanggaan TNI dan masyarakat Indonesia. Panser Anoa merepresentasikan
karakter anoa yaitu berani, kuat, lincah, dan pantang menyerah. Ketika harus mempertahankan
diri, anoa bertarung satu lawan satu. Pertarungan akan berakhir setelah salah satu dari keduanya
terluka parah bahkan bertarung sampai hembusan napas terakhir. Demikianlah karakter asli
anoa, tangguh dan pemberani.
Sifat berani anoa terpancar dari sorot matanya yang bening, tajam dan biru kemerahan.
Para pemburu satwa yang berburu pada malam hari mengenal dengan baik sorot mata tersebut.
Ketika lampu sorot pemburu mengenai mata anoa maka akan terpancar warna biru kemerahan
dari bola mata satwa ini. Sorot mata itu berbeda dengan sorotan mata satwa lainnya seperti
mata rusa dan babi hutan. Dari pancaran sorotan mata yang terkena cahaya lampu, pemburu
yang berpengalaman dengan cepat dapat mengetahui bahwa satwa yang sedang mereka hadapi
adalah anoa. Masyarakat Sulawesi termasuk mereka yang sering berburu satwa senantiasa
menaruh hormat pada anoa.
Hanya sedikit orang yang pernah melihat langsung anoa di habitatnya, hanya mereka yang
sering masuk hutan yang kadang secara kebetulan melihat atau berjumpa dengan anoa. Mereka
masuk hutan untuk berbagai keperluan, misalnya mengambil dan mengumpulkan hasil hutan
seperti kayu, rotan, madu, dan hasil hutan lainnya.
Anoa tergolong satwa yang sangat pemalu dan sensitif akan kehadiran manusia. Hal ini
disebabkan karena indera penciumannya sangat tajam. Apabila mencium sesuatu yang asing
misalnya aroma makanan yang dibawa manusia, bau keringat atau asap rokok, anoa akan segera
menghindar dari tempat itu. Tidak jarang seseorang yang menjumpai feses atau bekas urin anoa
yang masih sangat baru di hutan dan jejak kakinya pun menunjukkan bahwa baru beberapa
detik yang lalu anoa ada di situ, tetapi anoa itu sudah beberapa ratus meter lari meninggalkan
tempat itu. Anoa sangat sensitif, selalu menghindar dari hal-hal yang terkait dengan kehadiran
manusia. Karena itu, anggapan bahwa anoa termasuk satwa yang sering menyerang manusia
tidaklah betul. Anggapan tersebut keliru dan perlu diluruskan.
Sejak tahun 1994 sampai sekarang tercatat lebih dari lima puluh kali penulis bertemu
langsung anoa di habitat aslinya. Bahkan penulis pernah berada pada jarak kurang dari lima
meter dengan anoa di hutan Tanjung Amolengo. Ketika itu penulis berada di hutan pantai

182
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

di mana terdapat beberapa jenis tumbuhan bawah di antaranya rumpio (Acrosticum aureum).
Posisi penulis berada di bawah angin dan sedikit terlindung sehinga anoa itu tidak mendeteksi
kehadiran penulis dan anoa itu kemungkinan tidak merasa terganggu. Kesan yang penulis
peroleh bahwa anoa termasuk satwa yang sangat tenang ketika tidak merasa terancam.
Pada Maret 2019, penulis melakukan pendakian ke puncak Gunung Gandang Dewata
yang terletak di kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Pendakian itu salah satu tujuannya adalah
menemukan anoa di habitat aslinya di gunung yang terkenal sebagai salah satu habitat penting
anoa di wilayah barat Sulawesi. Daerah ini menurut sejarah evolusi, palaeo-ecology, geologi
dan penyebaran anoa, termasuk salah satu asal pemencaran populasi anoa di seluruh Sulawesi.
Ketika melakukan pendakian penulis sama sekali tidak menemukan anoa secara langsung,
hanya beberapa feses dan jejak kaki yang masih baru mulai pada ketinggian 2600 mdpl. Hal ini
menandakan bahwa meskipun di wilayah yang dikenal sebagai habitat utama anoa, tetapi tetap
tidak mudah menemukan satwa ini karena anoa tergolong sangat sensitif, selalu menghindar
dari kehadiran manusia.
Seseorang yang ingin melihat langsung anoa sebaiknya perlu mengetahui tahu perilaku
dan habitat kesukaan anoa. Diperlukan waktu beberapa minggu atau bulan tinggal di hutan,
mengendap dan mengintip, berjalan perlahan, menggunakan pakaian berwarna samar dengan
lingkungan hutan agar bisa melakukan kamuflase dengan baik, tidak merokok serta tidak
menggunakan aroma tajam serta jenis wewangian karena akan tercium oleh anoa. Ketika
melakukan pengintaian, seseorang harus menempatkan diri di bawah angin dari posisi anoa,
sehingga bau tidak tercium oleh satwa ini.
Kisah mengenai keganasan anoa sering kali dibesar-besarkan karena satwa apapun tidak
akan menyerang apabila tidak dalam posisi terdesak. Anoa cenderung agresif dalam tiga kondisi.
Pertama ketika musim kawin atau birahi, kedua ketika induk punya anak, dan yang ketiga yaitu
anoa luka terutama anoa jantan setelah bertarung dan bersaing memperebutkan betina saat
musim kawin.
Ketika menanduk, anoa memiliki ketepatan yang sangat tinggi. Anoa berlatih menanduk
pada batang dan buah tumbuhan onena (Donax cunnaeformis), ukurannya kecil bulat, warna
hijau, seperti kelereng atau buah lengkeng. Batang tumbuhan ini sebesar jari tangan, bulat dan
licin sehingga sulit di tanduk demikian pula buahnya. Induk anoa melatih anak menanduk
batang dan buah tumbuhan itu, dan kalau anak anoa berhasil membelahnya berarti sudah
lulus dan mulai saat itu perlahan anak disapih oleh induknya. Kemampuannya menanduk
dan membelah buah onena yang kecil, keras dan licin pertanda bahwa anak sudah mahir
mempertahankan diri karena telah memiliki ketepatan dan kecepatan dalam menanduk.

183
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Hampir semua orang yang pernah penulis temui di Sulawesi terutama di pelosok dekat
habitat anoa menceritakan bahwa anoa adalah binatang yang jahat karena buas dan sangat
berbahaya karena tanduknya sangat tajam. Mereka berkisah kalau dikampungnya suatu waktu
anoa pernah menciderai orang bahkan tidak jarang ada yang terbunuh akibat tandukan anoa.
Kesan ini tertanam kuat di tengah masyarakat dan kadang diceritakan secara turun temurun.
Berdasarkan pengalaman penulis selama lebih 25 tahun, anoa bukan binatang yang jahat,
karena satwa ini selalu menghindar dari lingkungan manusia. Persepsi masyarakat mengenai
anoa perlahan perlu diubah melalui penyadartahuan bahwa anoa adalah satwaliar yang sangat
pemalu dan sensitif gangguan.
Di desa Amolengo Sulawesi Tenggara, seorang tokoh masyarakat bertarung dengan anoa
pada tahun 1997 di pinggir kali kecil yang berada di tepi hutan. Waktu itu dia turun ke kali
mencuci pakaian. Pada saat mencuci tiba tiba dari arah belakang muncul seekor anoa jantan
dewasa menyeruduk dan berusaha menanduknya. Namun dengan sigap dia bertarung membela
diri. Setelah bergelut sekian lama dengan sisa tenaga yang tersisa, orang tua tersebut sempat
menggapai parangnya dan menebaskannya ke leher anoa dan akhirnya anoa itu terbunuh.
Dagingnya dimakan dan dibagikan ke tetangga. Tanduk anoa itu disimpannya di rumah dan
sempat diperlihatkan kepada penulis. Dia lalu mengatakan bahwa tanduk itu akan disimpan
sebagai bukti kepada anak cucunya bahwa kakeknya yang gagah berani pernah bertarung
dengan anoa.
Seorang lelaki tua ditanduk anoa betina beranak di pinggir sungai di sekitar Danau Poso,
Sulawesi Tengah. Ketika sedang mengganas menanduk, tubuh orang tua ditanduk berulangkali
dan tubuhnynya tidak sempat menyentuh tanah. Tubuhnya ditanduk dan ditadah lagi oleh
anoa, sampai akhirnya orang tua malang itu mengembuskan nafas terakhir. Orang-orang yang
kebetulan ada di situ hanya bisa menonton karena tidak mampu menolong, takut karena
ditanduk, mereka mendekat ketika semuanya sudah terlambat, orang itu meninggal dunia.
Anoa diburu untuk dikonsumsi dagingnya, kulitnya diambil, tanduknya disimpan sebagai
trofi. Tanduk dipajang di dinding bagian dalam rumah, biasanya di ruang tamu sebagai hiasan.
Beberapa tempat penginapan di Sulawesi bahkan memajang tanduk anoa di ruang lobby
penginapan.

184
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Gambar 8.1 Trofi tanduk anoa yang dipajang di dinding ruang tamu penduduk di Sulawesi
(Foto Abdul Haris Mustari)

Seorang penduduk yang bernama Bapak Taebu yang bermukim di dekat hutan Amolengo
di bagian Selatan Kendari dikenal sebagai pawang anoa menceritakan bahwa sejak masih muda
sampai dia berumur sekitar 60 an tahun telah menangkap ratusan ekor anoa. Pada dekade
tersebut larangan berburu satwa dilindungi ini belum intensif dilakukan oleh pihak berwenang.
Pada masa itu daging anoa biasa dihidangkan dalam pesta pesta perkawinan di kampung
pinggiran hutan layaknya daging sapi atau kerbau.
Masyarakat yang berburu anoa ada yang menggunakan tombak, jerat kaki atau dengan
bantuan anjing buru. Selain itu beberapa pemilik kebun di dekat hutan memasang berjejer
bambu runcing, panjang setengah meter. Jejeran bambu runcing itu dipasang di bagian dalam
kebun dan di tanam condong ke luar di mana anoa atau rusa yang meloncat masuk ke kebun
karena tertarik tanaman jagung dan palawija dapat terbunu, tertusuk bambu runcing di bagian
perutnya. Hal ini sangat mengerikan, dan anoa yang tertangkap dengan cara ini pasti merasakan
sakit yang luar biasa.
Mereka yang pernah mengonsumsi daging anoa dengan bersemangat menceritakan bahwa
cita rasa daging anoa mirip daging kerbau namun bedanya pada daging anoa terdapat aroma
daun segar yang diremas, warna daging lebih merah dan serat daging agak kasar. Bahwa daging
anoa berwarna lebih merah kemungkinan disebabkan oleh jenis tumbuhan makanan anoa yang
lebih bervariasi di hutan daripada jenis makanan kerbau dan satwa ternak lainnya yang variasi
pakannya terbatas.

185
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Setelah menyantap daging anoa ‘badan terasa hangat dan berkeringat dan dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit’. Demikian yang diceritakan oleh mereka yang biasa
mengonsumsi daging anoa. Akan tetapi tidak dijelaskan jenis penyakit apa yang bisa disembuhkan
dengan makan daging anoa, mungkin ini hanyalah sugesti belaka. Wawancara yang penulis
lakukan menyimpulkan bahwa secara umum masyarakat sebenarnya lebih menyukai daging
sapi atau rusa, karena seratnya lebih halus serta aroma daging tidak tajam. Aroma daging anoa
cukup tajam seperti aroma daun atau rumput yang diremas.
Selain daging, tanduk anoa juga dipercaya oleh beberapa orang memiliki khasiat tertentu.
Anoa yang ditangkap, tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian, dan tanduk diambil bersama
dengan bagian kepala. Agar tidak membusuk, tengkorak dengan tanduk yang masih melekat
diawetkan secara tradisional. Caranya kepala atau tengkorak diberi garam lalu diletakkan di atas
tungku, terkena asap dan suhu tinggi beberapa hari atau beberapa minggu agar sisa daging yang
masih melekat cepat kering. Dengan cara itu, kepala atau tengkorak anoa terawetkan.
Di daerah tertentu, pesta adat kematian dilakukan secara besar-besaran, dan indikasinya
adalah dari jumlah hewan yang dipotong dan dikorbankan. Hewan yang dipotong adalah
kerbau dan babi pada suku tertentu. Jumlah ini dapat mencapai puluhan bahkan ratusan ekor
kerbau dan babi untuk menghormati arwah seorang bangsawan atau orang tua yang sangat
dihormati. Namun pada kalangan tertentu, penyembelihan kerbau yang jumlahnya fantastis
itu belum dianggap sempurna apabila tidak dilengkapi dengan penyembelihan anoa. Anoa
dianggap sebagai satwa yang istimewa, harus ada untuk melengkapi jumlah kerbau yang banyak
itu, walaupun hanya satu ekor anoa yang dipotong dianggap sudah cukup. Harga seekor anoa
untuk keperluan ini dapat mencapai Rp25 juta bahkan lebih (tahun 2017). Anoa adalah simbol
dan pelengkap jumlah kerbau yang dikorbankan.
Tanduk anoa lurus, tajam, panjangnya mencapai 35 cm untuk anoa dataran rendah dan
20 cm untuk anoa gunung. Tanduk anoa disukai sebagai hiasan karena bentuknya khas dan
merupakan satwa langka khas Sulawesi. Tanduk anoa biasa dijumpai dipasang pada dinding
ruang tamu atau di bagian depan rumah. Tanduk anoa juga biasa dipasang pada pahatan kayu
jati lalu dipernis menyerupai kepala anoa sesungguhnya, ada telinga, hidung dan mata dibuat
dari kelereng.
Tanduk anoa juga biasa digunakan oleh petani untuk menghindari serangan hama di ladang
mereka seperti hama babi hutan, tikus dan wereng. Caranya, tanduk anoa dikerik dan hasil
kerikan berupa serbuk tanduk yang terdiri dari zat khitin dibakar di dekat kebun. Asap yang
timbul dari pembakaran serbuk itu menimbulkan aroma khas dan petani percaya bahwa asap
tersebut dapat mengusir hama dari ladang mereka.

186
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Serbuk kerikan tanduk anoa juga digunakan untuk mengobati ternak yang sakit. Caranya
kerikan tanduk anoa dicampur ke air minum ternak, diaduk kemudian diminumkan kepada
ternak yang sakit. Bukan hanya untuk ternak tetapi juga untuk manusia. Caranya ramuan
serbuk tanduk dimasukkan ke air minum dan diberikan kepada orang yang sakit, terutama
untuk sakit perut. Mereka percaya bahwa ramuan itu dapat menyembuhkan sakit perut.
Selain digunakan untuk obat tradisional, tanduk anoa juga dipakai sebagai senjata tajam.
Seorang tokoh masyarakat di dekat hutan Amolengo, pak kepala dusun, menceritakan bahwa
apabila melakukan ronda malam di kampungnya, dia lebih sering membawa sebilah tanduk
anoa daripada senjata tajam. Menurutnya, senjata tajam berbahan besi atau baja masih dapat
ditaklukkan oleh ilmu tertentu atau ilmu kanuragan, sedangkan tanduk anoa tidak mengenal
ilmu kebal. Karena itu dia percaya bahawa seseorang yang memiliki ilmu kebal sekalipun masih
bisa ditembus tajamnya tanduk anoa. Hal ini mungkin hanya sugesti belaka.
Ada beberapa penduduk di sekitar hutan Tanjung Amolengo yang percaya bahwa ada
‘kerajaan anoa’ di hutan tersebut. Seorang sesepuh kampung menuturkan bahwa ketika anoa
masih banyak, ada satu ekor anoa putih yang merupakan pemimpin dari semua anoa yang
ada di hutan Amolengo dan sekitarnya. Ini mungkin hanya suatu dongeng atau cerita rakyat.
Anoa dataran rendah berwarna hitam dan anoa gunung berwarna hitam kecokelatan atau
cokelat kemerahan. Pada anoa dataran rendah kadang ada garis putih melintang di bagian
bawah leher berbentuk bulan sabit (white crescent) dan kebetulan warna putih ini yang dilihat
orang tua tersebut. Bisa juga yang dilihat adalah anoa yang baru selesai berendam dan lumpur
yang menempel di tubuhnya mengering dan berubah warna menjadi putih keabuan sehingga
berkesan seperti warna putih. Warna lumpur mengering di badan anoa mungkin dikesankan
warna putih.
Sebagai kesimpulan, anoa memiliki legenda dan mitos tersendiri dalam kehidupan
masyarakat, khususnya mereka yang bermukim di sekitar hutan. Legenda dan mitos tersebut
terkait kelangkaannya, sifat elusivitasnya, dan umur evolusinya yang telah berjalan seiring
dengan umur evolusi dan geologi Pulau Sulawesi. Anoa telah menghuni hutan tropis dan
bentang alam pegunungan Sulawesi jutaan tahun sebelum manusia pertama menginjakkan
kakinya di pulau ini. Beberapa khasiat daging dan tanduk anoa seperti yang dikemukakan di atas
mungkin hanya sugesti.

187
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 8.2 Kepala anoa menjadi logo Pemprov Sulawesi Tenggara dan patung anoa di depan
bandara Mutiara Palu Sulawesi Tengah (Foto Abdul Haris Mustari)

Sambo Karaeng
Namanya Sambo Karaeng, berdomisili di desa Mabulilling, tepatnya di kaki gunung
legendaris, Gunung Mambulilling dan Gunung Gandang Dewata. Desa ini dapat ditempuh
dengan kendaraan bermotor sekitar 30 menit dari ibukota Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Rumahnya ke arah gunung Mambulilling menanjak mengikuti jalan desa berkelok diapit
hamparan lembah kebun dan persawahan yang indah, dan sesekali ada tegakan Pinus merkusii,
sisa sisa tegakan hasil reboisasi tahun 1980-an. Di kampungnya lelaki sepuh namun masih
terlihat tegar ini dikenal dengan nama Bapak Yusup, karena anak tertuanya bernama Yusuf.
Suatu kebiasaan di Sulawesi untuk menghormati orang yang sudah berkeluarga untuk tidak
memanggil nama asli melainkan nama atau sebagai ayah dari anak tertuanya, jadi bapaknya
Yusuf. Pada Maret 2019, Bapak Yusuf berumur sekitar 65 tahun. Dia mulai ikut dan belajar
berburu, terutama anoa dan babi hutan, dari ayahnya serta kerabat pemburu di kampungnya
pada usia 15 tahun. Dia belajar berburu dari ayahnya yang juga mewarisi pekerjaan berburu
dari kakek dan buyutnya. Hampir semua orang di Mamasa mengenalnya dengan baik, dan
reputasinya sebagai pemburu satwa tidak diragukan lagi. Menurut pengakuannya sudah ribuan
ekor anoa ditangkap dan dibunuhnya. Demikian pula dengan jumlah babi hutan Sulawesi,
sudah ribuan ekor yang ditangkap. Untuk kedua jenis mamalia endemik Sulawesi tersebut,
pemburu kawakan ini hanya menyebut angka ribuan karena begitu banyaknya satwa yang telah
diburu dan ditangkap, tidak dapat mengingat angka pasti, tidak terhitung lagi jumlah satwa
yang telah ditangkap.

188
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Selain Sambo Karaeng, di Mamasa masih ada orang tua yang sangat dihormati apabila
berbicara mengenai hutan, gunung dan tumbuhan serta satwa di dalamnya, yaitu Pak Daud
atau Bapak Daud. Pekerjaan utamanya ketika masih muda adalah mantri kesehatan dan pernah
bergabung selama sembilan tahun dengan pihak TNI ketika memerangi pemberontakan DII/
TII Kahar Muzakkar pada periode 1950–1960-an. Usianya saat ini 91 tahun, yang menurut
ukuran orang umumnya sudah sangat sepuh namun dia masih kuat berjalan kaki, dan indera
pendengaran dan penglihatannya masih jernih. Dia bukan pemburu khusus anoa, walaupun
pernah beberapa kali menangkap anoa. Ketika berkunjung ke rumah miliknya, rumah panggung
yang terbuat dari bahan kayu, beliau memperlihatkan empat tengkorak dan tanduk anoa
koleksinya yang berasal dari sekitar Gunung Mambulilling dan Gunung Gandang Dewata.
Semua spesimen tengkorak itu penulis foto dan ukur panjang tanduk. Tanduk anoa koleksinya
memperlihatkan karakteristik anoa gunung (Bubalus quarlesi), yaitu lebih pendek sekitar
13–15 cm, tajam dan pada pangkal tanduk tidak terlihat garis melingkar (wrinkled) yang jelas.
Anoa tersebut semuanya berasal dari habitat pada ketinggian di atas 1500 mdpl.
Bapak Daud dikenal sebagai kuncen Gunung Gandang Dewata. Setiap pendaki tau
kelompok pencinta alam yang akan mendaki Gunung Gandang Dewata akan mengunjungi
rumah Bapak Daud terlebih dahulu untuk meminta nasihat mengenai tata krama naik gunung,
termasuk apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan selama pendakian. Bahkan
rumahnya sering menjadi tempat singgah sementara dan tempat menginap para pendaki
sebelum memulai pendakian. Rumahnya terletak tidak jauh dari kaki Gunung Gandang
Dewata, berjarak hanya sekitar 2 km.
Pak La Tie bukan seorang pemburu. Dia adalah orang Tolaki, penduduk asli di daratan
utama (mainland) Sulawesi Tenggara. Walau suku Tolaki, dia dikenal dengan nama La Tie. Kata
La di depan nama seseorang di Sulawesi Tenggara diberikan kepada laki-laki dari Suku Muna
atau Buton, sementara yang perempuan terdapat kata Wa di depan namanya, misalnya Wa Tia,
Wa Oni. Dia dipanggil nama La Tie karena di desanya mayoritas masyarakatnya adalah Suku
Muna yang sebenarnya adalah suku pendatang dari Pulau Muna. Pak La Tie sebenarnya masih
ada keturunan darah bangsawan Tolaki, tetapi pada dekade 1940 an orang tuanya merantau
ke bagian selatan Sulawesi Tenggara. Orang tua kandung La Tie yang bernama Pondamba,
adalah perintis utama perkampungan di wilayah Teluk Kolono, terutama di daerah Amolengo,
Ulunese, Ampera, Rumba-Rumba, Batu Putih, Tumbu Jaya, dan Napawali. Pada waktu itu
hutan masih sangat rapat dan dianggap anker oleh penduduk setempat. Sebelum membuka
hutan untuk dijadikan kampung dan kebun, terlebih dahulu dilakukan ritual untuk meminta
‘restu’ dari mahluk gaib penghuni hutan. Dalam ritual itu, darah anak anjing dipersembahkan
kepada mahluk gaib. Karena itu syaratnya adalah anak anjing dipotong sebagai persembahan
kepada mahluk tidak kasat mata itu.

189
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

La Tie sering menjadi guide peneliti yang berkunjung ke hutan-hutan di Tanjung Amolengo,
Tanjung Peropa dan Tanjung Batikolo yang terletak di bagian selatan Sulawesi Tenggara. Saat ini
dia adalah salah satu mitra Polhut BKSDA Sulawesi Tenggara. Kadang peneliti atau mahasiswa
menginap di rumah Pak La Tie, rumah panggung tinggi berbahan kayu di desa Amolengo/
Ulunese. Dia adalah pengenal jenis tumbuhan dan satwa di hutan. Dia mengenal hampir
seluruh jenis tumbuhan dan satwa dalam bahasa daerah Tolaki. Juga mengenal medan dengan
baik walau tidak pernah menggunakan kompas. Pak La Tie adalah kompas berjalan dan kamus
hidup biodiversitas tumbuhan dan satwa di Sulawesi Tenggara. Banyak peneliti dan mahasiswa
yang telah dibantu dan didampinginya di hutan untuk meraih gelar-gelar akademik, walau
dia sendiri sekolah formalnya tidak lulus sekolah lanjutan pertama. Pak La Tie berjasa dalam
pelestarian flora, fauna, dan ekosistem hutan dan berjasa kepada peneliti.

Gambar 8.3 Profil Sambo Karaeng (kiri), Pak Daud (tengah) tokoh masyarakat di Gandang
Dewata dan Mambulilling, Mamasa, dan Pak La Tie (kanan) Suku Tolaki,
kamus berjalan nama-nama tumbuhan dan satwa di hutan Sulawesi Tenggara
(Foto Abdul Haris Mustari)

Ritual Berburu
Riwayat berikut ini diceritakan langsung oleh Pak Sambo Karaeng. Menurutnya, kelompok
pemburu satwa ada dua macam, yaitu yang berburu biasa dan yang berburu dengan ritual
tertentu menurut adat dan kebiasaan leluhur. Kelompok yang kedua ini mewarisi pekerjaan
berburu dari orang tua secara turun temurun. Mereka berburu dengan peralatan sederhana
yaitu tombak dan anjing pemburu. Ketika berburu, menurut Sambo Karaeng tidak boleh
sembarang waktu dan hari, musim berburu biasanya sebelum dilakukan panen raya padi di
sawah pada bulan Maret sampai April. Karena itu musim berburu biasanya dilakukan sekitar
bulan Februari.

190
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Berburu biasanya dilakukan berkelompok 3–7 orang. Satwa target untuk diburu terutama
anoa dan babi hutan Sulawesi. Sebelum berburu, dilakukan ritual yang sudah dijalankan turun
temurun, yaitu memotong ayam warna putih. Sekali lagi harus ayam berwarna putih!. Ayam
tersebut akan dipotong sebagai persembahan kepada para ‘penghuni hutan yang memiliki hutan
beserta isinya termasuk satwa yang akan diburu’. Ayam putih hidup di bawa masuk ke hutan
di lokasi di mana akan dilakukan perburuan yaitu di Gunung Gandang Dewata dan Gunung
Mabulilling dan hutan di sekitarnya. Sebelum berburu juga didirikan pondok untuk tempat
berlindung dan bermalam selama berburu. Pada saat mendirikan pondok juga dilakukan ritual
tertentu memohon keselamatan. Biasanya kelompok pemburu tinggal selama dua minggu di
hutan.
Di lokasi berburu, mantra dibacakan, ayam dipotong sebagai persembahan kepada makhluk
gaib penghuni hutan. Oleh pemburu dengan ritual tertentu, mahluk gaib penjaga hutan itu
dipanggil atau disapa dengan sebutan Nene’, suatu sebutan yang menunjukkan penghormatan.
Persembahan berupa ayam putih yang dipotong tersebut, istilahnya Dia’lli, artinya dibeli. Jadi
satwa yang akan diburu ditukar atau dibeli dari pemilik atau penghuni hutan berupa makhluk
gaib, dengan syarat memotong ayam putih, darahnya dipersembahkan.
Ayam dipotong setelah pemburu bermalam selama satu atau dua malam di hutan, yaitu
sebelum memulai aktivitas berburu. Jadi ketika berada di hutan habitat anoa dan babi hutan,
pemburu tidak langsung melakukan perburuan, tetapi terlebih dahulu istirahat beberapa saat
dan membangun pondok untuk menginap beberapa hari. Ayam dipotong kemudian dibersihkan
dan dimasak. Setelah masak, daging ayam dan nasi ketan diletakkan di piring. Juga terdapat
daun sirih, pinang, kapur sirih dan peloan (kulit kayu) sebagai persembahan. Salah satu anggota
pemburu bertugas membaca mantra yang disebut Mara’dia. Mantra dibacakan dalam bahasa
lokal Mamasa, dalam ritual kepercayaan Aluk Todolo (Tondo Pangala). Mantra diawali dengan
kalimat ‘Nene datangmaka ini meminta anoa dan babi’ (artinya Nene’ kami sudah datang kesini
dan meminta anoa dan babi hutan). Sebutan Nene adalah sebutan penghormatan kepada para
leluhur dan penghuni hutan yang berupa makhluk halus. Banyak doa serta mantra-mantra yang
mengiringi persembahan tersebut yang isinya adalah mempersembahkan sesajen dan memohon
izin kepada makhluk gaib penghuni hutan untuk berburu, dan agar perburuan mendapatkan
hasil maksimal dan deberi keselamatan, serta satwa hasil buruan dapat dinikmati oleh seluruh
anggota pemburu dan keluarganya di kampung.
Setelah anoa atau babi hutan tertangkap, satwa tersebut dibaringkan di tanah. Tombak
dan parang yang telah digunakan berburu diletakkan di atas tubuh satwa dan membaca mantra
bahwa anoa atau babi hutan sudah ditangkap dan sekali lagi meminta izin dan berterima kasih
kepada Nene’ dan mahluk gaib lainnya. Selanjutnya mata, telinga, hidung dan mulut satwa
buruan dibalut dan atau digosokan kulit kayu dan meminta maaf kepada roh satwa yang telah
ditangkap dan dibunuhnya itu apabila pemburu telah melakukan kesalahan. Mereka meminta
maaf atas perlakukan pemburu terhadap satwa buruannya
191
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Kaki anoa atau babi hutan kemudian diikat. Caranya kaki depan diikat bersama kaki
belakang pada sisi yang sama, yaitu kaki kiri depan dengan kaki kiri belakang, kaki kanan
depan dengan kaki kanan belakang. Dengan cara ini lebih mudah membawa satwa buruan ke
pondok, karena kaki diikat dan dibawa seperti seseorang sedang membawa ransel, dikaitkan dan
digendong di punggung belakang. Hasil buruan dikumpulkan di pondok berburu, kemudian
tubuh satwa dipotong dan diawetkan dengan cara diasap yaitu diletakkan di atas bara api. Jumlah
anoa atau babi hutan yang ditangkap bervariasi berkisar 2–3 ekor. Tetapi ada kalanya banyak,
mencapai 7 ekor, bahkan menurut Sambo Karaeng, pernah suatu ketika dia dan kelompoknya
menangkap sebanyak 39 ekor anoa sekali berburu, ketika dia masih berumur sekitar 18 tahun,
yang berarti sekitar tahun 1970-an. Pada waktu itu status Gunung Mambulilling dan Gunung
Gandang Dewata adalah hutan lindung, belum berstatus taman nasional seperti saat ini.
Suatu hal menarik bahwa ketika berada di hutan, para pemburu harus menggunakan kosa
kata tertentu terkait dengan jenis satwa yang diburu, bagian dan anggota tubuh satwa buruan
serta alat dan bahan yang digunakan berburu. Kosa kata tersebut khusus dipakai ketika para
pemburu berada di hutan, tidak digunakan ketika berada di kampung, di desa atau di tengah
masyarakat umum. Kosa kata tersebut adalah Bahasa Pangala, artinya bahasa di hutan, bahasa
yang hanya dipakai ketika mereka berada di hutan. Ketika di hutan, dianggap tabu atau pemali
apabila menggunakan bahasa yang biasa dipakai di tengah masyarakat kampung. Mereka
meyakini bahwa pelanggaran terhadap tabu dan pemali ini akan mendatangkan marabahaya,
bencana dan hal-hal lain yang tidak diinginkan yang akan menimpa mereka saat melakukan
perburuan.
Sebagai contoh anoa yang dalam bahasa daerah Mamasa dan Toraja bagian barat disebut
Tokata, dalam bahasa Pangala disebut Lando. Babi hutan yang dalam bahasa daerah disebut
Bai/bahi, dalam bahasa Pangala disebut Bulu bulawan. Anjing buru disebut Dongkayu. Berikut
ini adalah beberapa kosa kata dalam bahasa Pangala.

Bahasa daerah Mamasa Bahasa Pangala (bahasa di hutan)


Anoa, Tokata : Lando
Anjing : Dongkayu
Babi hutan : Bulu bulawan
Kaki anoa : Resa
Ekor anoa : Lelo
Telinga : Paperangin
Mata : Delli
Tulang : Mala
Kepala : Petamba

192
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Bahasa daerah Mamasa Bahasa Pangala (bahasa di hutan)


Parang : Kambera
Tombak : Sala’tanan
Api : Maro
Kayu bakar : Pemaroan
Air : Sakkoan
Belanga : Balenga
Sendok : Perotta
Piring : Lobe
Rotan (untuk mengikat kaki anoa : Lalau
atau babi hutan)

Kisah Seorang Pejuang Konservasi


Apabila menyebut babirusa dan Hutan Nantu di Gorontalo, maka yang akan muncul
pertama adalah nama Dr. Lynn Marion Clayton. Dia adalah peneliti dan pelestari babirusa in-situ
yang dikenal dunia. Dia lulus doktor dari Oxford University pada tahun 1996, berkebangsaan
Inggris, yang penelitian disertasinya adalah mengenai bio-ekologi dan konservasi babirusa
di Hutan Nantu, Gorontalo. Di daerah Gorontalo dan Sulawesi Utara, Dr. Lynn Marion
Clayton lebih dikenal dengan nama Miss Lynn. Karena itu penulis juga akan menyebutnya
Miss Lynn. Kisah perjuangan Miss Lynn dalam mempertahankan keberadaan Hutan Nantu
dan memperjuangkannya menjadi kawasan konservasi demi melestarikan babirusa dan banyak
satwa endemik Sulawesi menjadi inspirasi untuk para pegiat konservasi. Dia memulai penelitian
ekologi babirusa serta penyadartahuan masyarakat akan pentingnya melestarikan hutan dan
biodiversitasnya (environmental awareness) sejak 1989 sampai saat ini. Sudah lebih tiga puluh
tahun Miss Lynn melakukan kegiatan konservasi di Hutan Nantu dan sekitarnya serta di
wilayah Sulawesi Utara. Dia juga berupaya agar masyarakat tidak melakukan perburuan dan
perdagangan ilegal satwa dilindungi di wilayah Sulawesi Utara dengan bekerja sama dengan
aparat dan masyarakat setempat serta upaya pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah dasar
serta penduduk di sekitar Hutan Nantu.
Kawasan hutan Suaka Margasatwa Nantu pada awalnya merupakan gabungan dari
beberapa kawasan hutan dengan status yang berbeda. Sampai dengan awal 1990-an, kawasan
Hutan Nantu berupa hutan lindung (13.500 ha), hutan produksi terbatas (14.830 ha), hutan
produksi (1.695 ha), dan hutan produksi yang dapat dikonversi (1.190 ha). Kemudian Miss
Lynn bersama dengan teman-teman yang peduli konservasi (Abdul Haris Mustari-IPB,
Daniel Walter Sinaga-PHKA, Ike Muttaqin-APHI, Zainuddin-Seksi BKSDA Gorontalo, dan
beberapa teman lain) pada Maret 1993 mengunjungi Hutan Nantu untuk mengumpulkan

193
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

data dasar ekologi dan studi kelayakan kemungkinan hutan tersebut menjadi kawasan
konservasi. Keterlibatan APHI, yang waktu itu diketuai oleh Bob Hasan, karena lebih dari
setengah luas kawasan Hutan Nantu merupakan konsesi dari beberapa HPH. Pada tahun-
tahun berikutnya, dalam periode 1993–1998, dilalui dengan perjuangan bersama dengan para
pengambil keputusan, mengadakan workshop, seminar, presentasi, audiensi dengan Gubernur,
Bupati dan anggota DPRD Gorontalo dalam memperjuangkan Hutan Nantu menjadi kawasan
konservasi. Pada tahun 1999, akhirnya Menteri Kehutanan berdasarkan SK Nomor 573/
Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999, menetapkan Hutan Nantu yang terletak di hulu Sungai
Paguyaman tersebut menjadi Suaka Margasatwa Nantu seluas 31.215 ha. Pada tahun 2010,
berdasarkan SK Nomor 325/Menhut-II/2010, luas tersebut bertambah sehingga menjadi
51.507,3 ha yaitu dengan dimasukkannya kawasan Hutan Lindung Gunung Boliyohuto
sebagai satu kesatuan pengelolaan sehingga namanya menjadi SM Nantu-Boliyohuto. Saat ini
ada usulan untuk meningkatkan statusnya menjadi taman nasional.
Pada awal 1990 an, perjalanan ke Hutan Nantu tidaklah mudah seperti saat ini. Perjalanan
dilakukan dengan kendaraan roda empat atau dua dari kota Gorontalo ke Desa Mohiolo
yang terletak di sisi hilir Sungai Paguyaman dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Kemudian
perjalanan dilanjutkan dengan naik perahu kayu yang disebut ketinting yang dapat memuat
3 orang ke arah hulu Sungai Paguyaman. Perjalanan dilakukan melawan arus deras di mana
beberapa kali penumpang harus turun dari perahu karena air dangkal dan perahu kandas.
Perjalanan naik perahu ke arah hulu untuk sampai di Camp Adudu dari Desa Mohiolo
diperlukan waktu sekitar 8–9 jam. Camp Adudu adalah stasiun penelitian yang didirikan oleh
Miss Lynn, letaknya di tepi Sungai Paguyaman, sekitar 500 meter dari mata air panas yang
mengandung garam-garam mineral di blok hutan Adudu, tempat terbaik untuk mengamati
satwa-satwa endemik Sulawesi terutama babirusa dan anoa. Pada awal 1990-an Camp Adudu
hanyalah berupa pondok sederhana, lebih tepat disebut gubuk. Saat ini berkat usaha dan kerja
keras Miss Lynn, pondok tersebut sudah berubah menjadi Stasiun Penelitian yang cukup
nyaman untuk ditinggali para peneliti yang ingin mengungkap keanekaragaman hayati SM
Nantu-Boliyohuto.
Hutan Nantu adalah lokasi terbaik untuk melihat berbagai jenis satwa endemik Sulawesi
di habitat aslinya khususnya babirusa dan anoa di blok hutan Adudu yang merupakan bagian
dari SM Nantu-Boliyohuto di mana terdapat air garam tempat mengasin (salt-lick) satwa, kaya
mineral, mengandung sulfur dan terdapat sumber air panas yang sering dikunjungi satwa.
Selain babirusa dan anoa, di hutan itu juga terdapat satwa endemik lainnya di antaranya kuskus
beruang sulawesi, kuskus kerdil sulawesi, musang sulawesi, tarsius, monyet hitam sulawesi,
burung gosong, rangkong sulawesi, kangkareng sulawesi, dan burung paruh bengkok. Sebelum
ditetapkan sebagai kawasan konservasi, Hutan Nantu merupakan kawasan berburu para
pemburu ilegal dengan target babirusa, babi hutan, anoa dan monyet hitam sulawesi.

194
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Tidak sedikit orang yang mencibir dan mencurigai kerja keras upaya konservasi yang telah
dilakukan oleh Miss Lynn. Pihak-pihak yang tidak menyukainya terutama mereka yang ingin
menguasai kawasan hutan Nantu menjadi lahan pribadi, para penebang liar, pengambil rotan,
para pemburu liar dan para penambang liar. Orang yang belum memahaminya menyangka
bahwa keberadaan Miss Lynn dalam waktu yang lama dan berurusan dengan Hutan Nantu
karena ada sesuatu hal di luar kegiatan dan kepentingan konservasi. Namun seiring berjalannya
waktu masyarakat Gorontalo mulai memahami keberadaan dan jasa Miss Lynn. Sebagai sesama
pejuang konservasi dari sejak awal pembentukan SM Nantu, saya mengetahui persis bahwa Miss
Lynn berada di Gorontalo dan Sulawesi Utara hanya karena kecintaannya semata pada babirusa
dan kepeduliannya akan kelestarian satwa asli Sulawesi yang dilindungi dan terancam punah
serta keinginannya untuk melestarikan ekosistem hutan di Gorontalo. Tidak ada kepentingan
lain selain itu. Dia rela meninggalkan keluarganya di Inggris dan mengorbankan kehidupan
pribadinya untuk melestarikan babirusa dan Hutan Nantu. Sangat jarang orang di negeri ini
yang mau melakukan kegiatan konservasi dan berjuang untuk melestarikan satwa dan hutan
dan terjun langsung di lapangan dalam jangka waktu yang lama dan berkesinambungan. Sudah
selayaknya masyarakat, akademisi dan Pemerintah Daerah Gorontalo memberi penghargaan
kepada Miss Lynn dan menjadikannya warga kehormatan, karena jasa dan upayanya dalam
menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan di Gorontalo. Karena tidak ada orang
yang memiliki komitmen yang demikian kuat berjuang untuk konservasi seperti yang dimiliki
oleh Miss Lynn.
Dalam kegiatannya melindungi babirusa dan ekosistem Hutan Nantu, Miss Lynn tidak
menggunakan uang negara satu rupiah pun, melainkan dari pembuatan proposal dan pencarian
dana yang bersifat kompetitif dari NGO dan dari donatur yang peduli akan pelestarian
babirusa, habitat dan ekosistem hutan di Sulawesi, pulau terbesar dan terkaya biodiversitasnya
di bio-region Wallacea. Mencari dana untuk kegiatan konservasi tidak mudah, perlu upaya dan
kerja keras. Beberapa orang lokal yang bekerja dan setia dengannya sejak 1988 sampai saat ini
di Hutan Nantu pada awalnya adalah para pemburu atau keluarga pemburu ilegal, termasuk
pemburu babirusa, anoa, monyet hitam sulawesi dan banyak jenis satwa dilindungi lainnya.
Namun dengan kegigihan dan pendekatan yang simpatik dari Miss Lynn, para pemburu itu
akhirnya disadarkan dan diubahnya menjadi tulang punggung dan ujung tombak konservasi,
untuk melestarikan babirusa, melindungi berbagai jenis satwa endemik dan terancam punah
serta berusaha menjaga keutuhan ekosistem Hutan Nantu-Boliyohuto.
Keberadaan hutan SM Nantu-Boliyohuto sangat penting karena kekayaan hayatinya yang
tinggi serta letaknya di hulu Sungai Paguyaman, sungai terbesar di Gorontalo. Hutan ini menjadi
bagian penting dari DAS Paguyaman, yang apabila rusak niscaya wilayah Gorontalo akan
menjadi langganan banjir yang dapat melumpuhkan kota Gorontalo serta meluluhlantahkan
permukiman yang berada di sepanjang aliran sungai tersebut. Hal ini akan menimbulkan

195
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

kerugian materil dan korban jiwa. Sumber air untuk irigasi berkurang, dan kekeringan akan
melanda setiap musim kemarau tiba. Oleh karena itu, keberadaan hutan SM Nantu-Boliyohuto
sangat penting bagi warga Gorontalo.
Persepsi yang keliru mengenai keberadaan Miss Lynn hendaknya diubah dan diperbaiki.
Dia bekerja dan berjuang untuk keselamatan dan kelestarian kekayaan hayati Indonesia,
Gorontalo dan Sulawesi Utara. Miss Lynn telah berjuang tanpa mengenal lelah dalam jangka
waktu yang panjang. Penulis yakin tidak ada orang Indonesia dan orang Sulawesi yang mampu
melakukannya, berpuluh tahun berjuang untuk konservasi babirusa, biodiversitas dan keutuhan
ekosistem hutan. Saat ini jerih payah Miss Lynn sudah dapat dinikmati. Hutan Nantu-Boliyohuto
terjaga dengan baik meskipun masih perlu terus ditingkatkan. Banyak peneliti dan mahasiswa
setiap tahun melakukan penelitian dengan bermacam topik di SM Nantu-Boliyohuto terutama
terkait bidang biologi, ekologi, biodiversitas, kehutanan, tumbuhan, konservasi, tata air, daerah
aliran sungai dan lain sebagainya. Mahasiswa dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi
di Gorontalo dan Sulawesi Utara menjadikan SM Nantu-Boliyohuto sebagai laboratorium alam
yang tidak ada duanya. Juga peneliti dari luar negeri, mengenalkan Gorontalo dan kekayaan
hayatinya. Babirusa dan ekosistem hutan Nantu-Boliyohuto telah menjadi duta yang baik
untuk wilayah Gorontalo dan sekitarnya. Ekosistem SM Nantu-Boliyohuto adalah kekayaan
alam Gorontalo, Sulawesi, Indonesia dan dunia yang tidak ternilai harganya. Masyarakat,
pemerintah, mahasiswa dan akademisi di Gorontalo dan Sulawesi Utara hendaknya bahu-
membahu mempertahankan keberadaan dan keutuhan ekosistem SM Nantu-Boliyohuto.
Banyak pihak yang telah terlibat dalam memperjuangkan Hutan Nantu dan Hutan Gunung
Boliyohuto agar tetap lestari, namum tidak bisa dipungkiri bahwa Miss Lynn adalah inisiator
dan tokoh sentralnya. Dialah yang memiliki hati yang tulus, upaya serta kerja keras yang ingin
melihat babirusa, anoa, yaki, tarsius, rangkong, dan ekosistem Hutan Nantu lestari. Dialah
orang yang akan melakukan apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang manusia dalam rangka
menyelamatkan Hutan Nantu. Sejak awal pembentukannya, Suaka Margasatwa Nantu dijaga
oleh Miss Lynn dan beberapa personil setianya. Sehingga apabila dihitung, sejak tahun 1989,
ketika dia memulai penelitan babirusa sampai dengan tahun ini, 2019, berarti sudah tiga puluh
tahun Miss Lynn mencurahkan waktu dan hidupnya untuk menjaga Hutan Nantu, babirusa
dan seluruh sumberdaya hayati di dalamnya. Meskipun ada staf BKSDA Sulawesi Utara, Seksi
Gorontalo yang bertugas di Nantu, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Miss Lynn
dan seluruh asisten yang setia membantunya adalah tulang punggung pelestarian Hutan Nantu.
Mereka melakukan patroli rutin dan menjaga ekosistem hutan dari tangan-tangan yang ingin
merusak, terlebih dalam periode dua puluh tahun pertama dari 1989 s/d 2009, masa yang
paling sulit dihadapi dalam menjaga ekosistem Hutan Nantu.

196
Gambar 8.4 Dr. Lynn Marion Clayton, pejuang konservasi dan pelestari babirusa dan satwa
endemik Sulawesi serta ekosistem Hutan Nantu-Boliyohuto (Foto Lynn Marion
Clayton)

Sejak tahun 1997 sudah agak jarang saya berkunjung ke Hutan Nantu, hanya sesekali
apabila ada kegiatan workshop atau seminar di Gorontalo, dan kadang mengantar teman-teman
peneliti yang ingin melihat kehidupan babirusa di habitat aslinya. Persahabatan dengan Miss
Lynn terjalin karena kami memiliki kesamaan pandangan dan upaya dalam memperjuangkan
pelestarian hutan dan satwa endemik Sulawesi. Saya lebih fokus pada studi ekologi dan upaya
konservasi anoa dan satwa endemik Sulawesi serta keanekaragaman hayati di wilayah Sulawesi
bagian tenggara, selatan, barat, tengah dan Buton. Sementara Miss Lynn tetap bertahan di
Hutan Nantu.

Amolengo
Pada Agustus 1994, dari desa kecil dan terpencil inilah saya memulai penelitian anoa,
yang kemudian berkembang ke kawasan lain di seluruh Sulawesi. Berbagai topik penelitian
mencakup karakteristik habitat, jenis tumbuhan dan kandungan nutrisi tumbuhan makanan
anoa, populasi, ekologi, perilaku serta penyebaran anoa. Dari lokasi ini pula untuk pertama
kalinya saya melihat anoa langsung di habitat aslinya. Pada awalnya saya tidak mengenal daerah
yang namanya Amolengo. Rencananya, penelitian mengenai anoa akan saya lakukan di Cagar
Alam Tangkoko Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara. Nama Tangkoko Batuangus saya ketahui
dari literatur di salah satu perpustakaan di George-August University, Gottingen, Jerman saat
menempuh pendidikan Master of Science, periode 1993–1995. Ketika itu saya membaca
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

literatur lama mengenai alam Sulawesi, terlebih setelah membaca mengenai keberadaan
anoa, babirusa, dan banyak satwa endemik Sulawesi dari buku lama yang ditulis oleh seorang
naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace yang berjudul ‘The Malay Achipelago’ yang diterbitkan
pada tahun 1869. Buku tersebut sangat menginspirasi, berkisah mengenai perjalanan Alfred
Russel Wallace berkeliling nusantara yang waktu itu masih disebut ‘Malay Archipelago’ untuk
mengumpulkan spesimen berbagai jenis satwa untuk disimpan di salah satu natural history
museum di Inggris. Salah satu bagian yang sangat menarik adalah pada bab mengenai alam
sulawesi, kekayaan hayatinya, serta keunikan dan keramahan penduduk aslinya. Dari buku itu
diketahui bahwa Alfred Russel Wallace pernah berkunjung ke Tangkoko Batuangus. Untuk
mengabadikan nama dan jasa penelitiannya dalam hal keanekaragaman hayati, patung Alfred
Russel Wallace dibangun di Desa batu Putih,Tangkoko-Bitung, yang peresmiannya dilakukan
pada 22 Februari 2019, sekaligus menandai 100 tahun Cagar Alam Tangkoko.
Salah satu warisan ilmiah Alfred Russel Wallace yaitu dalam pembagian wilayah barat
dan timur Indonesia berdasarkan karakteristik fauna dan flora yang dikenal dengan nama
Garis Wallacea (Wallace Line). Jenis fauna di bagian barat Indonesia yang meliputi Sumatera,
Kalimantan, Jawa dan Bali yang dikenal dengan nama Sub Zoogeografi Sundaic memiliki
kedekatan dengan fauna yang ada di Zoogeografi Oriental. Sementara jenis fauna di Papua
yang disebut Sub Zoogeografi Papuan, lebih dekat dengan Zoogeografi Australia. Jenis fauna
di Sulawesi, Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara menunjukkan perpaduan antara fauna
Oriental dan fauna Asutralia, yang disebut Sub Zoogeografi Wallacea.
Buku ‘The Malay Achipelago’ sangat menarik khususnya bagi yang gemar berpetualang
dan meneliti alam bebas. Karena itu saya berulangkali membacanya dan menamatkannya
beberapa kali. Buku kedua yang menginspirasi adalah yang ditulis oleh Hamilton Smith pada
tahun 1827, yang berjudul ‘The animal kingdom, arranged in conformity with its organization,
by the Baron Cuvier, with additional description by Edward Griffith and others’ di mana pada salah
satu halaman buku tersebut tertulis mengenai anoa, yang waktu itu masih ditulis dengan nama
ilmiah Antilope depressicornis. Pada buku itulah untuk pertama kalinya anoa dideskripsikan
morfologinya dan diberi nama ilmiah untuk pertama kalinya, di mana Hamilton Smith (1827)
mengira anoa masih merupakan satu genus dengan antelop yang hidup di benua Afrika.
Setelah berada beberapa hari di CA Tangkoko-Batuangus, saya menyadari bahwa anoa
di kawasan konservasi tersebut sudah tidak ada lagi atau mengalami kepunahan lokal. Hal ini
diperkuat oleh kesaksian dan informasi yang diberikan oleh para petugas setempat. Karena
itu saya berdiskusi dengan kepala BKSDA Sulawesi Utara, Ir. Ramon Palete, yang kemudian
menyarankan saya untuk meneliti anoa di wilayah BKSDA Sulawesi Tenggara, tepatnya
di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo. Kepala BKSDA Sulawesi Tenggara pada waktu itu,
Ir. Dominggus, pernah memotret anoa secara langsung di suaka margasatwa tersebut dan foto

198
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

itu dibagikan kepada kolega di kalangan BKSDA. Pada waktu itu keberadaan anoa di kawasan
konservasi di Sulawesi belum banyak diungkap dan didokumentasikan sehingga sulit mencari
informasi mengenai anoa.
Tidak ingin membuang waktu, dari Tangkoko Batuangus di ujung utara Sulawesi Utara
saya memutar haluan ke ujung tenggara daratan Sulawesi, yaitu ke Tanjung Amolengo untuk
mencari keberadaan anoa dan habitatnya. Setelah mengurus perijinan dan administrasi di
BKSDA Sulawesi Tenggara dan berdiskusi dengan beberapa staf di kantor balai tersebut dan
atas penerimaan baik seluruh pegawai dan kepala BKSDA untuk penelitian anoa, saya mencari
jalan ke Desa Amolengo. Di desa inilah terletak Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo,
habitat asli anoa, letaknya di ujung selatan Sulawesi Tenggara. Di sekitar desa tersebut ternyata
terdapat beberapa kawasan konservasi di mana terdapat anoa yaitu Suaka Margasatwa Tanjung
Amolengo (605 ha), Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (38.937 ha), Suaka Margasatwa
Tanjung Batikolo (4.016 ha) serta Suaka Margasatwa Tanjung Polewali, yang kesemuanya
terdapat anoa. Seluruh kawasan konservasi tersebut saya kunjungi untuk melihat keberadaan
anoa serta kondisi habitatnya. Bahkan tidak jauh di seberang selatan, terdapat Pulau Buton yang
juga merupakan habitat penting anoa. Namun demikian, untuk keperluan tesis yang fokusnya
pada karakteristik habitat, populasi dan perilaku anoa saya lebih banyak mencurahkan waktu
penelitian di Tanjung Amolengo. Studi mengenai penyebaran, habitat dan populasi anoa di
beberapa kawasan konservasi lainnya saya lakukan pada periode dan kesempatan berikutnya.
Pada awalnya ketika memulai penelitian di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo saya
tinggal di kantor resort yang juga ditinggali kepala resort Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo,
Pak La Ondu (alm) dan keluarganya. Beliau sangat banyak membantu saya di saat awal
penelitian dan sering menemani di hutan Tanjung Amolengo. Untuk itu saya mengucapkan
banyak terima kasih kepada Pak La Ondu dan keluarganya. Sekitar satu bulan tinggal di kantor
resort, saya pindah ke kampung Peosoa menempati pondok sendiri berbahan kayu, panggung,
berlantai bambu, beratap daun sagu, yang bahannya saya beli dari penduduk lokal. Ketika itu
Peosoa masih termasuk wilayah Desa Amolengo, namun setelah pemekaran, Peosoa masuk
wilayah Desa Ampera.
Desa Amolengo terletak sekitar 130 km arah selatan kota Kendari, merupakan ujung
selatan dari daratan utama Sulawesi, letaknya di sisi selatan timur Teluk Kolono dan Selat
Buton. Dari desa ini perjalanan dapat dilanjutkan ke Desa Labuan di Buton Utara yang berjarak
8 mil (sekitar 12,8 kilometer) menggunakan perahu kayu, namun sejak 2016 tersedia kapal
penumpang Ro-Ro. Pertama kali penulis menginjakkan kaki di desa ini pada Agustus 1994.
Pada waktu itu hanya ada satu kendaraan roda empat yang melayani rute Kendari-Amolengo,
itupun hanya pada saat musim kemarau, ketika jalan tanah cukup kering. Pada musim hujan,
rute ke Amolengo sangat sulit ditempuh karena jalan berlumpur dan di beberapa ruas jalan
sama sekali tidak bisa dilewati kendaraan roda empat, sehingga harus berjalan kaki beberapa

199
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

kilometer. Pada saat itu juga belum ada penerangan listrik, setiap rumah hanya mengandalkan
lampu teplok berbahan bakar minyak tanah. Pada tahun 2015 desa ini baru dialiri listrik PLN.
Demikian pula dengan jalan desa, pengaspalan dilakukan pada tahun 2015. Kondisi jalan saat
ini sudah sangat bagus, apalagi setelah dibangunnya pelabuhan feri di ujung selatan jalan di
Desa Langgapulu yang bertetangga dengan Desa Amolengo, akses ke desa ini berlangsung
24 jam. Desa Langgapulu dihuni oleh Suku Bajo yang membangun rumah-rumah panggung
bertiang kayu di pantai di atas air laut.

Gambar 8.5 Potret kehidupan Suku Tolaki, Muna dan Bajo di Desa Amolengo dan sekitarnya;
La Tie berada di tengah sedang memegang tanduk anoa di rumahnya (Foto
Abdul Haris Mustari)

Desa Amolengo pada awalnya hanyalah sebuah kampung kecil yang dihuni oleh beberapa
keluarga dari Suku Tolaki. Suku Tolaki adalah penduduk asli daratan utama (mainland)
Sulawesi Tenggara. Pada awalnya kampung Amolengo masih berupa hutan lebat. Ketika itu
belum terbentuk kawasan konservasi Tanjung Amolengo dan Tanjung Peropa. Karena vegetasi
di kedua kawasan tersebut masih merupakan satu kesatuan dan terhubung dengan baik maka
populasi jenis-jenis satwa dari kedua kawasan tersebut saling terkoneksi, termasuk anoa. Kawasan
hutan di Amolengo mulai dibuka oleh satu keluarga dari Suku Tolaki yang datang dari wilayah

200
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

utara, sekitar Konawe Utara dan Kendari pada tahun 1931. Hutan di Tanjung Amolengo dan
sekitarnya dipandang keramat karena itu tidak sembarang orang dapat membukanya untuk
dijadikan lahan kebun atau kampung, harus penduduk asli, yaitu Tolaki. Pada waktu itu ada
kepercayaan bahwa untuk membuka hutan harus ‘dibeli’ terlebih dahulu dari ‘pemilik dan
penghuni’ hutan, yaitu dari para mahluk ghaib. Untuk tujuan tersebut, berbagai sesajin dan
darah binatang dipersembahkan, dalam hal ini adalah darah anak anjing.
Dalam periode 1940–1950 ada beberapa keluarga Suku Muna, Suku Buton dan Suku
Wawonii yang datang ke Tanjung Amolengo untuk berkebun. Pada waktu itu mereka belum
menetap, kadang datang dan pulang lagi ke kampung asalnya. Sejak tahun 1950-an beberapa
keluarga dari suku tersebut mulai menetap. Dalam perioe 1950–1960-an wilayah Amolengo
dan sekitarnya tidak aman karena masih terjadinya pergolakan DII/TII Kahar Muzakkar, dan
hutan Tanjung Amolengo dan sekitarnya termasuk salah satu wilayah para gerilyawan. Sampai
dengan tahun 1968, penduduk Amolengo dan sekitarnya masih tinggal di pondok kebun, jauh
dari jalan utama kampung yang ada saat ini. Setelah itu aparat setempat menghimbau agar
penduduk bermukim dan membangun rumah di kiri kanan jalan kampung tersebut. Kampung
kecil itu kemudian berkembang menjadi sebuah desa, dengan nama Desa Amolengo pada
akhir 1960 an. Kemudian desa ini dimekarkan menjadi beberapa desa seperti Desa Rumba
Rumba, Desa Langgpulu, Desa Ampera dan Desa Molinese. Seluruh desa tersebut termasuk
dalam wilayah Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan. Letak Desa Amolengo dan
seluruh desa-desa hasil pemekaran diapit oleh dua kawasan konservasi, yaitu Suaka Margasatwa
Tanjung Amolengo di sebelah selatan dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di sebelah utara.
Jarak kedua kawasan konservasi itu 1–4 km, di mana jarak terdekat keduanya terdapat di Desa
Molinese dan Desa Langgapulu, hanya sekitar 1 km. Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa terletak di sebelah timur Teluk Kolono. Di sebelah barat
Teluk Kolono, terdapat Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo dan Suaka Margasatwa Tanjung
Polewali. Dari ukuran luas wilayah, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa adalahn yang terluas
dan yang paling banyak jenis satwa maupun tumbuhannya.
Keempat kawasan konservasi tersebut yang lokasinya cukup berdekatan adalah habitat
penting berbagai jenis satwa endemik Sulawesi. Jenis-jenis satwa di kawasan tersebut di
antaranya anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), babi hutan sulawesi (Sus celebensis),
monyet hitam Sulawesi (Macaca ochreata), kuskus beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil
atau kuskus tembung (Strigocuscus celebensis), bubut sulawesi (Centropus celebensis), cabai
panggul kuning (Dicaeum aureolimbatun), cabai panggul kelabu (Dicaeum celebicum), pelatuk
besi (Mulleripicus fulvus), celepuk sulawesi (Otus manadensis), kangkareng sulawesi (Penelopides
exarhatus), rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), jalak tunggir merah (Scissirostrum dubium),
elang ular sulawesi (Spilornis rufipectus), bilbong pendeta (Streptoccita albicollis), planduk
Sulawesi (Trichastoma celebensis). Di Tanjung Peropa, selain jenis-jenis satwa tersebut di

201
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

atas juga terdapat babirusa (Babyrousa celebensis), jenis yang masih sangat sedikit dipelajari
kehidupannya di alam. Jenis tumbuhan di antaranya gito-gito (Diospyros pilosanthera), bayur
sulawesi (Pterospermusa celebicum), sisio (Cratoxylum formasum), eha (Castanopsis buruana),
pololi (Lithocarpus celebica), ponto (Litsea firma), kayu besi yang biasa desbut lara atau nona
(Metrosideros petiolata), holea (Clestanthus sumatrana), tembeuwa (Kjellbergiodendron celebicum),
tawamokora (Litsea sp), tongke (Bruguiera gymnorrhiza), bakau (Rhizophora apiculata), tangir
(Bruguiera caryophylloides). Di Tanjung Amolengo, selain tumbuhan tersebut juga terdapat agel
(Corypha utan).
Desa Amolengo dan beberapa desa tetangganya mengalami kemajuan pesat terutama
setelah pembangunan prasarana jalan dan penerangan listrik. Masyarakat di desa-desa tersebut
mengenal satwa-satwa endemik Sulawesi, termasuk anoa karena mereka cukup sering melihat
anoa, baik di hutan maupun ketika satwa tersebut masuk kebun di pinggir hutan. Bahkan
dalam banyak kejadian, ketika jalan belum diaspal dan penerangan listrik belum dibangun,
anoa sering melintasi jalan desa, yaitu anoa saling bertukar individu dari Tanjung Amolengo
ke Tanjung Peropa, dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena sampai dengan tahun 1980 an dan
awal 1990-an, jumlah penduduk masih sedikit, dan bentang alam kedua kawasan konservasi
tersebut merupakan satu kesatuan. Pada periode tersebut anoa kadang masuk areal perkebunan
dan permukiman. Anoa ketika itu cukup mudah dijumpai. Akan tetapi dengan pertambahan
jumlah penduduk serta semakin tingginya arus lalu lintas di jalan yang memisahkan kedua
kawasan konservasi itu. Bahkan dalam beberapa kejadian, anoa melintasi jalan desa, terutama
pada malam hari.
Dari jalan raya, tidak lebih setengah kilometer ke arah selatan, merupakan kawasan SM
Tanjung Amolengo. Di suaka margasatwa ini terdapat areal terbuka berupa padang rumput
alami dengan luas sekitar 1 ha (Pera 1) dan 0,5 ha (Pera 2). Sampai dengan tahun 1990an, anoa
kadang dijumpai berendam atau minum di padang rumput terbuka tersebut. Selain di kedua
areal tersebut, anoa juga dapat dijumpai di blok hutan Baturempe, blok hutan Garam yang
terletak di sebelah barat kawasan. Bahkan anoa kadang masuk kebun jambu mete (Anacardium
occidentale) serta kebun cokelat (Theobroma cacao) yang berada di sekitar permukiman.
Di Desa Amolengo terdapat seorang pemburu anoa yang cukup disegani karena
keberaniannya, yang telah berburu sejak tahun 1950-an, namanya Pak Taebu, biasa disapa
bapaknya Beddu Karim. Pada tahun 2019, usianya mendekati 90 tahun. Menurut pengakuannya
sudah ratusan ekor anoa yang ditangkapnya. Masyarakat Amolengo dan sekitarnya membenarkan
pengakuannya, bahwa ratusan ekor anoa pernah ditangkap orang tua tersebut. Anoa ditangkap
menggunakan tombak, parang dan anjing. Pemburu lain yaitu La Koraka, Hasimura, Ambo
Sopu, dan Muhamad. Pemburu juga kadang memasang jerat kaki, dengan target buruan anoa
dan rusa. Para pemburu tersebut saat ini sudah berusia lanjut, tidak sering lagi berburu, hanya
sesekali memasang jerat kaki.

202
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Ketika menempuh pendidikan Master of Science di George-August University, Gottingen,


Jerman, pada Divisi Tropical Forestry, dengan beasiswa dari GTZ (periode 1993-1995), saya
memilih topik penelitian ekologi dan konservasi anoa di Sulawesi untuk thesis. Pembimbing
pertama untuk tesis tersebut adalah Professor H.J. Weidelt dan pembimbing kedua
Dr. Schneider. Professor H.J. Weidelt pada mulanya tidak menyetujui proposal thesis saya
mengenai anoa, dan menyarankan untuk mengambil topik lain. Beliau banyak menghabiskan
waktu meneliti ekologi hutan tropis dan mengetahui bahwa sangat sulit menemukan anoa di
habitat aslinya. Beliau khawatir saya tidak akan dapat menyelesaikan tugas akhir dari penulisan
thesis tersebut. Saya hanya memiliki waktu delapan bulan untuk menyelesaikan penelitian
dan pengumpulan data di lapangan. Beliau mengatakan “Haris bila kamu meneliti anoa
paling kamu akan memberikan data magic ke saya, karena sangat sulit menemukan anoa di
habitatnya, kamu akan mengalami banyak kesulitan di lapangan dan kemungkinan kamu tidak
dapat menyelesaikan program Master Science di universitas ini karena penelitianmu tidak akan
selesai dalam waktu delapan bulan”. “Ambil saja penelitian lain misalnya mengenai ekologi
bekantan (Nasalis larvatus) di Kalimantan, karena kamu sudah pernah meneliti spesies tersebut
selama tiga tahun, jadi kamu sudah punya pengalaman”. Justru kalimat-kalimat beliau itulah,
saya semakin bersemangat untuk mengambil topik penelitian mengenai ekologi, perilaku dan
konservasi anoa di habitat aslinya di Sulawesi. Pembimbing kedua, Dr. Eberhard Schneider
sempat mengunjungi lokasi penelitian saya di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, dan
syukur Alhamdulillah beliau dapat melihat secara langsung anoa di habitat aslinya, sehingga
keraguan Professor H.J. Weidelt dapat terjawab, bahwa anoa dapat dijumpai di lokasi penelitian
yang saya pilih. Saya dapat mengumpulkan data habitat, populasi dan perilaku anoa dengan
baik, walau harus bekerja keras dalam waktu delapan bulan penuh di lapangan. Alhamdulillah,
saya dapat menyelesaikan studi dan lulus tepat waktu, dua tahun, sesuai jatah beasiswa yang
diberikan.
Ketika melanjutkan pendidikan tingkat doktoral di Australian National University (ANU)
di Canberra, Australia, saya dihadapkan hal yang sama ketika waktunya untuk memilih topik
penelitian. Saya mendapat beasiswa dari AusAID untuk waktu empat tahun (periode 1999-2003).
Pembimbing utama saya adalah seorang ahli ekologi dan konservasi kelelawar (Chiroptera),
Dr. C.R.Tidemann. Beliau menyarankan untuk meneliti ekologi kelelawar di Australia, namun
saya tetap memilih penelitian mengenai ekologi dan konservasi anoa untuk disertasi Doctor of
Philosophy (PhD). Saya pikir untuk disertasi, saya harus melanjutkan penelitian thesis Master
of Science (MSc.), tentunya dengan kajian penelitian yang lebih dalam dan luas. Karena sulit
menemukan pembimbing yang sesuai dengan topik penelitian tersebut, setelah berada tiga
bulan di ANU, akhirnya saya pindah ke University of New England (UNE) yang terletak
di kota Armidale, New South Wales atas ijin dari pihak AusAID. Di UNE tidak ada ahli anoa,
dan saya yakin universitas manapun yang saya pilih di seluruh dunia pasti belum ada ahli
mengenai ekologi dan konservasi anoa. Di UNE akhirnya saya bertemu dengan Professor Peter

203
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Jarman di Division of Natural Resources Management, ahli mamalia yang punya reputasi
meneliti ekologi mamalia besar di Afrika serta banyak meneliti mengenai ekologi dan konservasi
kanguru (Marsupialia) di Australia. Setelah berdiskusi akhirnya beliau bersedia menjadi
pembimbing saya di universitas tersebut.
Tidak lama kemudian saya pulang ke Indonesia dan segera ke hutan di Sulawesi untuk
memulai penelitian. Untuk disertasi, areal penelitian saya perluas mencakup Suaka Margasatwa
Tanjung Peropa, Tanjung Amolengo dan Tanjung Batikolo. Saya menghabiskan waktu selama
dua tahun di hutan dan di beberapa desa sekitarnya dan sangat menikmati pengalaman
meneliti anoa di habitat aslinya. Selama dua tahun saya tinggal di blok hutan Kalobo, Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa, lokasinya di tepi sebuah sungai berair jernih, Sungai Amolengo.
Disebut Sungai Amolengo karena sungai tersebut bermuara ke Desa Amolengo. Meskipun
disebut Sungai Amolengo, tetapi bagian hulu dan mata airnya berada di kawasan hutan Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa bagian selatan. Sungai Amolengo berair sepanjang tahun walau
musim kemarau yang sangat panjang. Tiang pondok adalah batang kayu bulat sebesar betis
orang dewasa, lantainya dari bambu bulat, beratap daun sagu, berupa panggung dengan tinggi
lantai 1,5 meter dari tanah, dan luas lantai 3 m x 4 m. Pondok dibangun tidak menggunakan
paku, melainkan digunakan rotan untuk mengikat.
Di sepanjang aliran sungai banyak tumbuh bambu dari berbagai jenis, pohon aren (Arenga
pinnata), sukun hutan ataun toho (Artocarpus sp.), pangi (Pangium edule), dan berbagai jenis
beringin (Ficus spp.). Beberapa kali asisten lapang menyadap air nira dari pohon aren yang
tumbuh dekat pondok. Satu kali seminggu saya keluar dari hutan berbelanja keperluan logistik
seperti beras, sayuran, ikan kering, gula, kopi dan teh di pasar tradisional terdekat yang memang
ada hanya satu kali dalam satu minggu, hari Kamis di kampung Bajo, Langgapulu. La Tie,
asisten lapang juga kadang mengambil pucuk-pucuk tumbuhan paku atau umbut rotan untuk
dibuat sayur, yang memang enak rasanya. Di tepi sungai itu, di dekat pondok, beberapa kali
saya melihat langsung ular python yang memang menyukai lingkungan air dan hutan riparian.
Saya mendirikan pondok di blok hutan Kalobo, Tanjung Peropa karena dari kawasan hutan
ini memungkinkan untuk mengaskses kawasan lain yaitu Tanjung Amolengo dan Tanjung
Batikolo. Untuk kawasan Tanjung Peropa, selain di blok hutan Kalobo (bagian selatan),
penelitian karakteristik habitat, populasi dan jenis tumbuhan makanan anoa juga dilakukan di
blok hutan Awiu dan Roda (bagian tengah), Tambeanga dan Tanjung Gomo (bagian utara).
Selama penelitian saya dibantu penduduk asli Tolaki dan Muna sebagai asisten lapang dan
pemandu di hutan di wilayah Amolengo dan Tanjung Peropa bagian selatan yaitu La Tie, Pak
La Uno, La Engu, Hamrin, Pak Jubair, Pak La Mane, Pak Ndiyasa dan Antu dan pak Saleh
(di Tambeanga dan Tanjung Gomo, yang merupakan bagian Tanjung Peropa bagian utara).
Asisten lapang tersebut bergantian, kadang satu atau dua orang. Tetapi asisten tetap yaitu
asisten serba bisa, kompas hidup dan kamus berjalan yang menguasai nama-nama tumbuhan

204
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

dan satwa di hutan, Suku Tolaki asli yaitu La Tie. Selain menguasai medan di hutan, dia juga
dikenal ‘orang pandai atau dukun’ dalam mengobati penyakit tertentu terutama yang bersifat
non medis, penyakit yang dipercaya oleh orang di kampung disebabkan karena gangguan
dari mahluk halus, santet atau teluh. Karena itu La Tie sering didatangi orang di kampung
Amolengo untuk dimintai bantuan dalam pengobatan. Seringkali saya lihat orang yang datang
dan setelah mengobrol dengan La Tie, orang yang sakit atau keluarga pasien diberi ramuan dari
tumbuhan tertentu atau dengan sebotol air yang sebelumnya telah dibacakan jampi-jampi atau
mantra. La Tie memahami jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat, dia adalah narasumber yang
mumpuni untuk studi ethnobotany.
La Tie lahir dan besar di Amolengo, tetapi masa mudanya banyak dihabiskan di peratauan
terutama di pulau-pulau dan perairan lepas. Selain berpengalaman di darat, La Tie adalah
seorang pelaut, menjadi ABK perahu kayu penangkap ikan yang sering memasang bagan untuk
menangkap jenis-jenis ikan teri, selama lebih sepuluh tahun menjelajahi perairan Indonesia
Timur, mulai dari Sulawesi, Buton, Wanci, Wakatobi, Pulau Buru, Maluku, Papua, dan Kep
Nusa Tenggara. Karena itu dia memiliki keahlian lain, navigasi di laut, dapat membaca posisi
benda-benda astronomi untuk menentukan arah di laut lepas. Juga pandai membaca tanda-
tanda alam seperti musim barat dan timur, termasuk kapan musim bercocok tanam yang baik.
Ketika mendirikan pondok di tengah hutan belantara yang dianggap sangat keramat oleh
penduduk setempat terutama di dekat mata air dan di hulu Sungai Amolengo, La Tie bilang
kepada saya ‘jangan takut di sini banyak teman kita, banyak yang menjaga kita’. Padahal secara
kasat mata di sekeliling pondok tempat tinggal selama penelitian hanya terdapat pepohonan
hutan belantara, hutan primer Sulawesi. Bagi La Tie, mahluk halus di hutan dapat menjadi
teman yang baik. Menurut dia hutan tidak ada bedanya dengan sebuah perkampungan, ada
masyarakat yang menghuninya, ada tatanan sosial, lengkap dengan sarana dan prasarana, ada
jalan, sekolah, fasilitas umum, ada kendaraan, ada kepala kampung dan anggota masyarakat.
Namun hanya dia yang dapat melihat atau berkomunikasi dengan para ‘penghuni hutan’ itu.
Dari situ saya baru menyadari arti kata ‘jangan takut di sini banyak teman yang menjaga kita’,
maksudnya adalah para mahluk halus dapat menjadi teman bagi La Tie. Dari segi sikap, La Tie
adalah orang yang sangat sabar, santun, rendah hati dan tulus ketika dimintai bantuan. Dia
seorang yang rendah hati, dan selalu mengatakan bahwa dirinya orang bodoh, tidak tau apa-
apa, tidak pandai bicara panjang lebar. tidak bicara bila tidak ditanya. Kepada orang lain, dia
selalu mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang tidak punya, padahal yang saya ketahui
dia memiliki puluhan hektar kebun yang ditanami kelapa, jambu mete, pala, pisang dan hasil
kebun lainnya. Dia adalah pekerja keras, memiliki ilmu, namun selalu rendah hati.
Suatu ketika La Tie masuk hutan di Amolengo bersama dengan Hamrin, asisten lainnya
pada pagi hari sekitar pukul 09.00. Mereka berangkat duluan, dan saya akan menyusul karena
masih ada yang harus dikerjakan di pondok. Berselang 45 menit kemudian, Hamrin datang

205
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

tergopoh gopoh setengah berlari, dan meminta saya segera menyusul dan melihat apa yang
sedang terjadi di pinggir sebuah rawa terbuka Pera 1 Amolengo, lokasinya sekitar 1,3 km ke
arah selatan dari jalan desa. Ternyata La Tie menemukan seekor ular python raksasa (Python
molurus). Kata La Tie python itu sedang dalam posisi menghadang mangsa karena berada
di sisi lintasan yang biasa dilalui satwa seperti babi hutan sulawesi dan anoa. Badan python
membentuk lilitan bertumpuk di tanah lantai hutan yang dipenuhi serasah di dekat sebatang
pohon beringin raksasa (Ficus drupacea), kepalanya menyembul di antara lilitan badannya.
Dari mulut python itu keluar lendir berupa benang halus warna putih, yang sebenarnya sulit
terlihat karena sangat halus seperti tali senar putih. Air liur berupa benang halus itu ujungnya
dilekatkan pada sebatang pohon kecil di seberang lintasan atau koridor yang biasa dilewati
satwa menuju ke rawa itu. Jarak bentangan air liur sekitar 50 cm dimulai dari mulut python ke
batang pohon kecil, dan tinggi sekitar 15 cm. Sesungguhnya air liur berupa benang halus itu
adalah sensor bagi python, karena satwa apa saja yang melintas dan menyentuh ‘benang halus’
itu secara tidak sengaja maka python akan segera mengetahui bahwa ada mangsa yang lewat.
Sehingga ketika sedang menghadang atau menunggu mangsa, python cukup istirahat atau
bahkan mungkin sambil tidur dan rileks, dan menyergap dengan lilitannya yang mematikan
ketika mangsa menyentuh sensor ‘benang halus’ itu.
Ketika menemukan python itu, La Tie segera ‘mengikatnya’ agar tidak berbahaya dan
saya dapat melihat bahkan memegangnya. Kata ‘mengikat’ di sini bukan secara fisik bahwa
python itu diikat dengan tali atau rotan, melainkan diikat dengan mantra-mantra atau baca-
baca tertentu. Ilmu itu didapatkannya dari orang tuanya serta dari leluhurnya, Suku Tolaki.
Ikatan itu tidak kasat mata, suatu ilmu untuk ‘menjinakkan’ ular. Setelah python ‘diikat’ oleh
La Tie, saya dimintanya untuk memegang atau mengukur panjangnya. Selama ‘diikat’, python
raksasa itu tidak bisa bergerak sama sekali, diam dan menurut. Menurut kepercayaan Tolaki
dan Muna, ular yang sedang ‘diikat’ oleh ilmu atau mantra akan seperti ular yang mati buku
(mati tulang), lemas dan tidak bertenaga sama sekali. Awalnya saya ragu, karena secara kasat
mata ular itu tidak diikat dan pasti sangat berbahaya. Tapi saya percaya La Tie, dan untuk
pertama kalinya saya memegang ular python liar di hutan belantara di Sulawesi. Setelah puas
mengamati, ular itu kemudian dilepaskan ‘ikatannya’ oleh La Tie. Melepaskan ‘ikatan’ berarti
membacakan mantra penawar, sehingga python akan merasa terlepas dari ‘ikatan’ dan dapat
bergerak kembali. Panjang python tersebut 6,5 meter. Setelah itu, python bergerak, awalnya
pelan kemudian bergerak cepat menuju rawa dan kemudian masuk dan berenang di air rawa
yang dalamnya sekitar satu meter, dan kemudian menghilang di rimbunnya vegetasi rawa
berupa rumput dan semak.
Pada kesempatan lain, saya bertemu dengan python yang bertarung dengan sekelompok
babi hutan sulawesi di lahan kebun jambu mete di utara Tanjung Amolengo, yang hanya
berjarak sekitar 100 meter dari jalan desa, dekat permukiman. Pada waktu itu subuh dini hari

206
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

sekitar pukul 05.00. Babi hutan mengeroyok ular nahas itu. Pada awalnya pertarungan masih
berimbang ketika satu lawan satu. Tetapi babi hutan hidup berkelompok 3–5 individu per
kelompok, dan apabila salah satu anggota kelompok dalam posisi bahaya, maka alarm call
akan segera dikeluarkan dan seluruh anggota kelompok akan menyadari bahaya tersebut dan
siap membantu. Rupanya babi hutan sulawesi mengetahui di mana kelemahan seekor ular,
yaitu pada bagian ekornya. Bagian tulang belakang ekor python digigit sekuat tenaga oleh babi
hutan sulawesi, sehingga tulang tersebut rusak atau patah. Apabila tulang belakang rusak maka
seekor ular python tidak memiliki kekuatan untuk melilit mangsanya karena sarafnya lumpuh.
Senjata utama python adalah lilitannya yang mematikan. Bagian kepala python itu utuh, tidak
ada kerusakan atau tanda-tanda gigitan dari babi hutan. Akhirnya python muda berukuran
panjang 3,8 meter itu kalah. Sisa-sisa tenaga dipergunakan untuk berusaha melarikan di ke
hutan Tanjung Amoloengo, tetapi tidak jauh dari arena pertarungan, python itu mati. Vegetasi
tumbuhan bawah dan semak di arena pertarungan antara python dan babi hutan sulawesi di
tengah kebun jambu mete itu bersih pada areal garis tengah 3 meter karena rebah akibat dari
pertarungan yang sengit, mangsa dan pemangsa.
Suatu ketika saya dan asisten lapang menemukan seekor rangkong sulawesi (Rhyticeros
cassidix) yang jatuh ke lantai hutan akibat terluka serius sehabis bertarung dengan sesama
rangkong di dekat pondok tempat tinggal di tepi sungai di Kalobo, Tanjung Peropa. Tidak
lama berselang, rangkong itu mati, dan saya berinisiatif membuat ofsetan kering dengan
terlebih dahulu menjemurnya di ujung tiang belakang pondok. Setelah dua hari bau busuk
dari tubuh rangkong itu mulai menyengat. Rupanya bau itu memancing python mendekat
ke pondok, apalagi lokasinya di tepi sungai. Subuh dini hari, La Tie bangun dan berniat ke
air di sungai, dan tanpa disangka dua python sedang mengendus rangkong yang diletakkan
pada tiang di belakang pondok, tertarik bau menyengat. Pengalaman berharga, jangan pernah
menaruh bangkai satwa di dekat pondok penginapan di tengah hutan, apalagi lokasinya dekat
sungai, karena python akan datang mendekat. Sebaliknya apabila ingin memancing python,
yang paling mudah adalah membakar ayam atau burung utuh, sehingga aroma khas bulu yang
terbakar akan cepat memancing python.
Karena demikian lama dan asyik meneliti anoa, waktu dua tahun meneliti anoa untuk
tingkat doktoral di hutan Tanjung Peropa dan sekitarnya terasa sangat singkat, dan hampir lupa
bahwa saya harus kembali ke UNE untuk mengolah dan menganalisis data serta menulis draft
disertasi. Pada waktu itu komunikasi via email masih sangat terbatas, hanya bisa dilakukan di
kota kendari, itupun sangat lambat jaringannya. Saya ‘terpaksa’ kembali ke kampus UNE di
kota Armidale karena diancam akan di drop out dan diputuskan beasiswa apabila tidak segera
kembali untuk membuat laporan kemajuan studi dan menulis draft disertasi. Pihak AusAID
dan pembimbing sangat khawatir studi saya terbengkalai. Alhamdulillah tepat empat tahun,
sesuai jatah beasiswa, saya dapat menyelesaikan studi doktoral di UNE dengan baik.

207
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Bermula di Tanjung Amolengo, Peropa dan Batikolo pada Agustus 1994, saya kemudian
melanjutkan penelitian anoa dan beberapa satwa endemik Sulawesi ke wilayah lain. Karena itu
saya merasa bahwa Amolengo dan beberapa kawasan konservasi di Sulawesi Tenggara sangat
berjasa dalam menempa diri saya dalam meneliti anoa. Demikian pula dengan seluruh staf di
BKSDA Sulawesi Tenggara serta penduduk di beberapa desa sekitar hutan, semuanya sahabat
saya, dan banyak membantu di lapangan. Dalam periode berikutnya saya berkesempatan
mengunjungi beberapa kawasan konservasi di mana terdapat anoa di antaranya Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai, Tahura Tanjung Nipa-Nipa, Taman Wisata Alam Mangolo
serta Pegunungan Mekongga di Kolaka Sulawesi Tenggara. Berikutnya adalah melakukan studi
intensif mengenai habitat dan populasi anoa di kawasan hutan Danau Matano, Danau Mahalona
dan Danau Towuti di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Penelitian kemudian berlanjut ke wilayah
Suaka Margasatwa Nantu di hulu Sungai Paguyaman, Gorontalo. Di Sulawesi Tengah, saya
berkesempatan mengikuti Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi, sebagai tenaga ahli dalam bidang
kehutanan dan flora fauna sekaligus sebagai peserta ekspedisi. Ekspedisi itu bertema ‘Peduli
dan Lestarikan Alam Indonesia’ dan di antara kajiannya terdapat bidang keanekaragaman flora
dan fauna serta bidang kehutanan. Ekspedisi dilakukan selama 4 bulan di lapangan termasuk
dua minggu pembekalan materi ekspedisi dan persiapan fisik di Pusdik Kopassus Batujajar
dan Situ Lembang. Ekspedisi diikuti personel gabungan dari seluruh matra TNI (Kopassus,
Kostrad, Raider, Marinir, Paskhas) dan Polri (Brimob), dan mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi. Di Sulawesi saya memilih Korwil Sigi, Sulawesi Tengah, dengan harapan saya dapat
melihat langsung kondisi hutan dan keunikan alam Sulawesi Tengah, menggali potensi
keanekaragaman hayatinya, termasuk anoa, serta sosial budaya masyarakatnya. Dari Sigi saya
banyak mengunjungi kantong-kantong habitat penting anoa dan satwa endemik Sulawesi
lainnya, seperti gambut dan air panas di Dusun Lompio, Sidondo, Sigi Biromaru, hutan di
Kulawi, Mataue, kampung adat Ngata Toro, Taman Nasional Lore Lindu, Danau Lindu dan
hutan serta pegunungan di sekitarnya, Napu, Poso Selatan, Lembah Bada, Lore, Tuare, Moa,
Gimpu, Pipikoro, Siwongi, Desa Banggaiba, dan habitat di sepanjang DAS Sungai Lariang dari
Lore di Poso Selatan sampai Towiora di Donggala dan Pasang Kayu. Pada kesempatan lain saya
mengunjungi Cagar Alam Morowali di Sulawesi Tengah bagian timur. Saya juga mengunjungi
Suaka Margasatwa Lambusango di Pulau Buton. Kemudian dalam kesempatan berikutnya
saya mengunjungi beberapa kampung dan desa di sepanjang DAS Sungai Saddang dan Sungai
Mamasa, kawasan yang dahulunya terdapat anoa. Namun sayang di kedua lokasi terakhir ini
anoa sudah tidak dapat ditemukan, mengalami kepunahan lokal. Kesempatan berikutnya adalah
mendaki Gunung Gandang Dewata dan hutan di sekitar Gunung Mambulilling di Mamasa,
Sulawesi Barat untuk melihat kondisi habitat anoa gunung di kawasan hutan pegunungan yang
jarang didatangi peneliti tersebut serta menggali informasi dari para pemburu anoa di kawasan
itu.

208
Bab 8
LEGENDA DAN MITOS

Gambar 8.6 Profil masyarakat di Banggaiba dan kondisi hutan DAS Sungai Lariang, serta
bentang alam di Lembah Bada, dan patung megalit peradaban berusia ribuan
tahun (Foto Abdul Haris Mustari)

Banyak hal menarik selama penelitian anoa dan keramahan penduduk desa-desa di sekitar
hutan. Melihat langsung kehidupan satwa langka seperti anoa di habitat aslinya adalah suatu
keistimewaan bagi saya. Alhamdulillah, selama dua puluh lima tahun menjelajahi hutan Sulawesi
sejak tahun 1994 sampai saat ini, sudah lebih dari 50 kali saya melihat langsung anoa di habitat
aslinya. Termasuk beberapa kali berjumpa dengan ular python raksasa (Python reticulatus dan
P. molurus). Juga melihat langsung beberapa jenis monyet hitam sulawesi (Macaca ochreata,
M. brunnescens, M. maura, M. tonkeana, M. hecki, M. nigra), tarsius (Tarsius tarsier, T. lariang,
T. dentatus), kuskus beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil sulawesi (Strigocuscus celebensis),
rangkong sulawesi (Rhyticeros cassidix), kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), mandar
dengkur (Aramidopsis plateni), katak raksasa (Limnonectes grunniens), soa-soa (Hydrosaurus
amboinensis). Demikian pula dengan jenis tumbuhan seperti eboni (Diospyros celebica), leda
(Eucalyptus deglupta), dan uru (Elmerillia ovalis) berukuran raksasa di hutan-hutan primer
Sulawesi serta pengalaman berharga mendaki Gunung Gandang Dewata di Mamasa Sulawesi
Barat dan menyusuri Sungai Lariang, Banggaiba dan Lembah Bada di Sulawesi Tengah, dan
berjumpa dengan penduduk asli. Suatu pengalaman yang akan melekat seumur hidup.

209
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

PETA TANJUNG AMOLENGO, TANJUNG PEROPA


DAN TANJUNG BATIKOLO

Tu
m
bu
Ja
ya

Rum
ba-
Rum
ba
Amolengo

P. Buton

Gambar 8.7 Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa, dan Tanjung Batikolo

210
BAB 9
SURVEI DAN INVENTARISASI
POPULASI
Sebelum melakukan survei dan inventarisasi populasi serta aktivitas penelitian
terkait anoa maka terlebih dahulu harus dipenuhi beberapa syarat, salah satunya adalah
izin penelitian. Habitat anoa mencakup kawasan hutan konservasi (kawasan hutan
pelestarian alam yang mencakup taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya
dan taman buru serta kawasan hutan suaka alam yang terdiri dari cagar alam dan suaka
margasatwa), hutan lindung dan hutan produksi di Sulawesi. Anoa sebagai satwa yang
dilindungi, diperlukan izin penelitian dari pihak berwenang (management authority),
baik di dalam maunpun di luar kawasan konservasi. Di tingkat pusat, pihak berwenang
adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang membawahi
Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE),
yang selanjutnya terdapat Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Direktorat
KKH). Di daerah terdapat Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA/BBKSDA) dan
Balai Taman Nasional (BTN) yang merupakan perpanjangan tangan pusat. Selain izin
penelitian, juga diperlukan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) apabila
habitat anoa termasuk kawasan hutan konservasi.
Data mengenai ukuran populasi, kepadatan populasi, struktur umur, nisbah
kelamin, penyebaran dan penggunaan habitat anoa sangat diperlukan. Data ini adalah
dasar dalam melakukan pengelolaan populasi dan habitat anoa di alam. Karena itu perlu
diketahui metode survei untuk menghitung populasi, mengidentifikasi karakteristik
dan kondisi habitat, serta pola penyebaran anoa. Anoa aktif pada siang hari dan malam
hari. Survei dan monitoring populasi dapat dilakukan ketika satwa tersebut sedang aktif
yaitu ketika mencari makan, minum, berendam, istirahat dan berlindung serta interaksi
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

sosial pada siang hari. Pada malam hari banyak kendala dalam melakukan pengamatan,
terutama jarak pandang dan mobilitas yang terbatas di dalam hutan serta kemampuan yang
terbatas dalam menjelajah hutan. Namun demikian apabila diperlukan maka dapat dilakukan
pengamatan anoa pada malam hari untuk menambah informasi keberadaan anoa di habitat
tersebut. Apabila digunakan kamera atau video trap serta metode patch occupancy, survei dan
monitoring populasi anoa dapat dilakukan pada siang dan malam hari.
Pengamatan dapat dilakukan pada musim kemarau (Agustus–Oktober) dan musim
hujan (Januari–Maret). Pengamatan dilakukan pada pagi (05.30–09.00) dan sore hari
(16.00–18.00), yaitu waktu aktif satwa mencari makan. Pada siang hari, satwa cenderung
mengurangi aktivitasnya, lebih banyak istirahat, berkubang, dan berendam. Tempat istirahat
anoa adalah di bawah pohon rindam, di kaki tebing, dan di pinggir sungai sambil memamah
biak. Pada malam hari, anoa aktif pada awal malam (18.00–21.00) dan menjelang subuh
(04.00–06.00), terutama pada areal hutan di mana terdapat aktivitas manusia yang tinggi.
Hal yang sama apabila hutan habitat anoa berdekatan dengan areal pertanian, perkebunan,
permukiman, dan kawasan hutan yang sering dimasuki manusia.
Apabila diketahui bahwa di tempat tertentu yang sering didatangi anoa seperti tempat
minum dan mengasin, padang rumput alami, rawa atau tempat berendam dan berkubang, maka
pengamatan dapat dilakukan di sekitar tempat itu dengan cara membuat tempat pengintaian.
Tempat pengintaian sebaiknya terkamuflase dengan kondisi habitat, misalnya dengan membuat
pengintaian dari atas pohon (nyanggong) di sekitar lokasi yang sering didatangi satwa target.
Tempat pengintaian berada di bawah angin, agar pengamat tidak tercium anoa. Selain itu,
pengamat datang terlebih dahulu ke tempat di mana akan dilakukan pengintaian untuk
mengurangi gangguan terhadap satwa. Karena apabila anoa sudah ada di tempat itu lebih
dahulu kemudian pengamat datang maka dipastikan anao akan menghindar.

Gambar 9.1 Membedakan organ kelamin luar anoa jantan (kiri dan tengah) dan anoa betina
(kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)

212
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Mengenali Keberadaan Anoa di Habitat Aslinya


Anoa memiliki penciuman (olfactory system) yang sangat tajam. Karena itu kemungkinan
menemukan anoa secara langsung di habitat aslinya sangat kecil. Tetapi seseorang yang telah
mengetahui perilaku serta tipe-tipe habitat yang disukai anoa, pengamatan dapat dilakukan
secara langsung. Komponen habitat seperti tempat mencari makanan, air, dan tempat
berlindung akan menjadi fokus perhatian. Aroma asap rokok dan aroma lain yang mencolok,
seperti parfum, dan sisa-sisa makanan yang dibawa ke hutan dapat mengganggu keberadaan
anoa. Selain itu, ketika melakukan pengamatan sebaiknya tidak terlalu banyak orang, maksimal
3 orang ( satu atau dua orang lebih baik). Apabila jumlah personilnya cukup banyak, maka areal
pengamatan dapat dibagi sehingga cakupan areal survei menjadi lebih luas.
Seseorang yang masuk hutan lebih sering menjumpai jejak anoa dibanding dengan
anoa itu sendiri. Karena itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan untuk mengenal dan
mengidentifikasi jejak-jejak satwa termasuk kemampuan membedakan jejak anoa dengan jejak
satwa ungulata lainnya yang sering hidup pada habitat yang sama (sympathric), anoa, babirusa,
babi hutan Sulawesi, dan kemungkinan jejak rusa timor.
Jejak (tracks) adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh satwaliar di alam. Jejak terdiri
atas jejak kaki (foot prints), kotoran (feses), bekas makan (feeding signs), bekas menggosok tanduk
bagi anoa (horn-scouring trees), bekas berkubang, dan bau khas yang ditinggalkan oleh satwa.
Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait keberadaan anoa pada suatu habitat:

Jejak kaki
· Perlu diperhatikan jumlah individu (ukuran jejak: dewasa, muda, anak)
· Ukur panjang dan lebar jejak (cm)
· Perhatikan, di sepanjang lintasan atau koridor satwa di hutan
· Anoa memiliki kebiasaan menggaruk tanah dengan kaki atau kuku pada tempat
tertentu di sepanjang lintasan pergerakannya di hutan.
· Anoa juga memiliki kebiasaan menggaruk tanah di sekitar feses, bahkan ada feses
tertentu yang sengaja ditimbun tanah dengan garukan kakinya.
· Apabila ragu mengenai jejak kaki satwa yang ditemukan maka dibuat cetakan jejak
menggunakan gypsum.

213
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Anoa Babirusa Babi Hutan Sulawesi

Gambar 9.2 Perbandingan morfologi tengkorak, kuku, jejak kaki dan feses mamalia ungulata
Sulawesi: anoa, babirusa dan babi hutan (Foto Abdul Haris Mustari)

214
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Gambar 9.3 Ilustrasi bentuk kuku atau tapak satwa ungulata Sulawesi (Foto Abdul Haris
Mustari)

215
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Pada jejak kaki babirusa dan babi hutan Sulawesi, apabila substrat tanah berlumpur tebal
atau lembek sehingga jejak kaki satwa tercetak cukup dalam, jejak dua kuku belakang (dew
claw) juga akan tercetak jelas. Sedangkan pada jejak kaki anoa, kedua kuku belakang (dew claw)
umumnya tidak tercetak/menyentuh tanah karena posisi dew claw pada anoa lebih lebih tinggi
dibanding posisi dew claw pada babirusa dan babi hutan Sulawesi.

Gambar 9.4 Kuku belakang anoa (dew claw) berada pada posisi yang lebih tinggi (kiri)
dibanding dengan kuku belakang babirusa dan babi hutan Sulawesi (kanan)
(Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 9.5 Rusa timor di Sulawesi (Foto Abdul Haris Mustari)

Jejak kaki anoa dan jejak babi hutan Sulawesi dapat dibedakan, baik bentuk maupun
ukurannya. Pada individu dewasa, jejak anoa umumnya lebih besar daripada jejak babi hutan
Sulawesi dan jejak babirusa. Pada cetakan jejak kaki di tanah, ujung depan kuku babi hutan
Sulawesi (dan babi hutan umumnya) lebih runcing dibanding dengan ujung depan kuku
babirusa.

216
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Gambar 9.6 Jejak kaki depan dan jejak kaki belakang anoa; ketika anoa sedang berjalan
biasa (normal, tidak sedang berlari), posisi jejak kaki belakang hanya berjarak
beberapa centimeter di belakang jejak kaki depan. Sementara bila berlari, posisi
kaki depan dengan kaki belakang agak berjauhan, di mana cetakan kaki belakang
dapat berada di depan cetakan kaki depan karena jarak langkahnya yang panjang
(Foto Abdul Haris Mustari)

Ukuran jejak kaki anoa dikumpulkan dari dua kawasan yaitu Suaka Margasatwa Tanjung
Peropa (0–900 mdpl) dan kawasan hutan di sekitar Danau Matano (450 mdpl). Kedua kawasan
tersebut merupakan habitat penting anoa dataran rendah. Panjang jejak kaki anoa, berdasarkan
jejak kuku 4,36–9,73 cm (n = 67, = 6,74 cm) dan lebar 4,14–8,50 cm (n = 67, = 6,98 cm).
Ukuran tersebut merupakan ukuran jejak kaki anoa dewasa, dan hanya beberapa individu yang
diduga jejak anoa muda. Anoa dewasa (umur > 4 tahun) secara umum memiliki ukuran panjang
dan lebar jejak kaki ≥ 6 cm. Sementara anoa muda (2–4 tahun) memiliki jejak kaki dengan
panjang dan lebar berkisar 5–6 cm. Pada anak anoa (0–2 tahun), panjang dan lebar jejak kaki
kurang dari 5 cm. Anak anoa yang berumur 0–3 bulan panjang kuku sekitar 3–4 cm. Ukuran
satu belah kuku kaki anoa dewasa, lebarnya berkisar 3,61–1,96 cm (n = 168, = 2,72 cm).

217
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 9.7 Anak anoa berumur 1,5–2 bulan di Tanjung Amolengo Sulawesi Tenggara (Foto
Abdul Haris Mustari)

Gambar 9.7 di atas adalah anak anoa yang ditangkap oleh seorang nelayan di hutan mangrove
Tanjung Amolengo pada tahun 1995. Ketika ditangkap, anak anoa tersebut diserahkan kepada
polhut setempat. Penulis kemudian mengukur morfometrisnya dan didapatkan bahwa berat
badan 10 kg, tinggi badan 48 cm, panjang badan 66 cm, panjang ekor 14 cm, panjang dan
lebar kuku kaki depan dan kaki belakang sama, yaitu masing-masing 4 cm dan 1,5 cm (sebelah
kuku). Panjang kaki depan 15 cm dan kaki belakang 18 cm. Sebagai catatan bahwa anak anoa
yang baru lahir beratnya berkisar 3–4 kg, dan panjang 50–60 cm. Dalam beberapa kejadian,
bayi anoa bisa mencapai bobot 6 kg.

Feses
Feses anoa yang ditemukan di lapangan perlu diketahui usianya, sudah berapa lama feses
saat ditemukan. Hal ini penting untuk memperkirakan berapa hari atau berapa minggu yang lalu
anoa melewati daerah ini. Setelah enam jam berlalu, biasanya feses anoa dikerumuni serangga
pengurai feses, yang paling sering adalah dung beettle, salah satu jenis serangga pengurai dan
pemakan feses anoa. Ada beberapa jenis dung beettle, ada yang ukurannya kecil, sedang dan
besar. Berdasarkan analisis feses, penulis pernah menemukan lebih 800 individu dung beettle
kecil hanya pada satu feses anoa.
Dung beettle menggulung atau membawa feses anoa dengan cara membentuknya terlebih
dahulu menjadi bola-bola kecil seukuran kelereng atau sebesar buah lengkeng. Feses yang sudah
berbentuk bulat lalu didorong ke tempat tertentu untuk disimpan dan dimakan kemudian.

218
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Feses dibawa menjauh dari tumpukan feses utama dengan menggunakan kaki belakang. Karena
itu posisi badan dung beettle ketika mendorong bola feses adalah dalam keadaan terbalik, kepala
dan kaki depan berada di bawah. Ketika mendorong feses ke kempat yang diinginkannya, dung
beettle dapat melakukannya sendiri atau berdua.
Selain dung beettle pengurai feses anoa adalah ayam hutan merah (Gallus gallus). Ayam hutan
merah mengurai feses anoa dengan cara menggaruk berulangkali untuk mencari serangga seperti
dung beettle dan serangga lain yang terdapat dalam feses anoa. Ayam hutan juga menggaruk dan
mengurai feses untuk mencari berbagai biji tumbuhan yang kemungkinan terdapat dalam feses
seperti biji buah huhubi (Artocarpus dasyphyllus), salah satu makanan kesukaan ayam hutan
merah.

Gambar 9.8 Dekomposer feses anoa dung beettle berusaha mendorong dan menggulung feses
yang telah dibentuknya menjadi bola-bola kecil untuk dibawa ke sarang (Foto
Abdul Haris Mustari)

Feses anoa mudah dikenali karena bentuknya bersatu, menumpuk berupa compokan
seperti feses kerbau air atau sapi. Feses babirusa dan babi hutan sangat mirip ketika ditemukan
di hutan, sulit dibedakan. Karena kedua jenis ungulata tersebut tidak memamah biak
(ruminate), fesesnya memiliki tekstur kasar, bahkan fragment sisa-sisa makanan seperti rumput
dan buah kemungkinan masih dapat dikenali dengan baik pada feses itu. Selain rumput dan
buah, babirusa dan babi hutan menyukai bagian tumbuhan yang banyak mengandung air yang
terdapat di dalam tanah seperti akar dan umbi-umbian (succulent). Kadang dijumpai tumpukan
feses babi hutan di perbatasan hutan dan kebun yang berdekatan dengan hutan.

219
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Gambar 9.9 Feses anoa yang baru berumur 1 hari (kiri) dan feses yang sudah berumur sekitar
3–4 hari (kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)

Gambar 9.10 Feses babi hutan Sulawesi yang masih baru (kiri) dan yang sudah mengering
(kanan) (Foto Abdul Haris Mustari)

Tempat berkubang atau mandi (wallowing site)


Bentuk tempat berkubang atau berendam, babi hutan dan babirusa umumnya persegi,
oval atau bundar. Apabila menemukan tempat berkubang perlu dicatat ukurannya yaitu
mengukur panjang, lebar dan dalam tempat berkubang. Juga perlu dicatat apakah airnya ada
sepanjang tahun atau hanya pada musim hujan. Jejak-jejak kaki dan feses satwa di sekitar
tempat berkubang dapat menjadi petunjuk jenis satwa yang menggunakan tempat tersebut.
Di sekitar tempat berkubang sering terdapat batang pohon tertentu yang dipakai menggosok
badan (rubbing trees). Satwa, terutama babirusa dan babi hutan menggosok badan setelah

220
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

berkubang untuk mengurangi ketebalan lapisan tanah atau lumpur yang melekat di tubuhnya.
Satwa berendam untuk menghindari gigitan serangga, demikian juga dengan lapisan lumpur
maka gigitan serangga pada tubuhnya dapat dihindari atau dikurangi.

Gambar 9.11 Tempat berkubang atau berendam anoa atau babi hutan (Foto Abdul Haris
Mustari)

Gambar 9.12 Pohon tempat menggosok badan babi hutan setelah berendam atau berkubang
(Foto Abdul Haris Mustari)

Jenis satwa yang menggunakan tempat berkubang dapat diketahui dari jejak apakah anoa,
babi hutan atau babirusa. Karena itu pengenalan dan kemampuan identifikasi satwa melalui
jejak kaki, feses dan jejak lain sangat diperlukan.

221
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Bekas-bekas makan atau merumput


(feeding and browsing signs)
Tumbuhan makanan satwa berupa rumput, bambu, liana, perdu, semak, atau buah. Ketika
musim berbuah tumbuhan hutan tiba, pada bulan Januari–Maret dan bulan Juli–Agustus,
banyak jejak kaki dan feses anoa dijumpai di sekitar pohon berbuah, terutama di bawah
pohon beringin (Ficus spp.), konduri (Parkia roxburghii), dongi (Dillenia serrata, D. ochreata,
D.celebica), rao (Dracontomelon dao dan D. mangiferum), pangi (Pangium edule), sukun hutan
(Artocarpus sp.). Anoa, babi hutan Sulawesi dan babirusa menyukai jenis-jenis buah tersebut.
Salah satu makanan kesukaan babirusa adalah buah pangi, sehingga sering ditemukan satwa ini
baik langsung maupun jejak-jejaknya di bawah pohon pangi yang sedang berbuah.

Tempat istirahat
Tempat tidur atau istirahat anoa dapat berupa gua horizontal dangkal, sekitar mulut gua,
tebing batu, tebing tanah, akar banir, dan lubang besar pohon tumbang. Tempat istirahat anoa
juga sering dijumpai di puncak-puncak bukit yang agak datar di bawah pohon atau di sekitar
akar banir. Pada musim hujan anoa mencari tempat istirahat di hutan yang tanahnya relatif
bersih dan kering, dan ini biasanya terdapat di puncak bukit, lokasi yang aman dari gangguan
manusia. Demikian pula dengan tempat istirahat babirusa dan babi hutan, yaitu berupa tebing,
di bawah pohon berbanir, di bawah pohon palem atau rotan di mana lantai hutan relatif bersih
dari tumbuhan bawah.
Setiap akan melahirkan, induk babi hutan dan babirusa membangun sarang. Bahan sarang
adalah ranting, dahan, daun, tumbuhan bawah, seedling, rumput dan pelepah rotan muda atau
jenis palem lain. Induk babi hutan dan babirusa menggigit semua bahan-bahan sarang tersebut
dan mengumpulkannya di suatu tempat yang aman. Tumpukan material sarang berbentuk
bulat atau oval dengan diameter 1,5–2 m, dan tebal atau tinggi sekitar 40 cm. Sarang yang
masih aktif dipakai oleh babi hutan atau babirusa dapat dikenali dari bahan sarang yang masih
segar, potongan-potongan ranting juga terlihat masih baru, dan bagian tengah sarang agak
kempes atau tertekan ke bawah. Sarang yang terlihat kempes di bagian tengah pertanda bahwa
di sarang itu sedang ada bayi babi hutan atau babirusa di dalamnya, terlindung dan tertimbun
material sarang. Beban badan bayi babi hutan dan babirusa menyebabkan tumpukan material
sarang terlihat kempes atau cekung di bagian tengah.

222
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Tempat mengasin (salt-lick)


Anoa membutuhkan garam mineral untuk metabolisme tubuhnya. Karena itu anoa sering
mengunjungi tempat tertentu di hutan yang mengandung kadar garam tinggi, seperti mata
air yang mengandung garam, serta batuan tertentu yang mengandung garam (rock salt). Selain
itu, anoa memenuhi kebutuhan mineralnya dengan cara menjilat tanah mangrove, kerang dan
berbagai jenis rumput laut. Anoa sering mengunjungi hutan mangrove ketika air laut surut
mencari makan tumbuhan mangrove seperti daun dan buah pedada (Sonneratia spp.), buah
bakau (Rhizophora spp.) dan buah api-api (Avicennia spp.). Anoa gunung pun kadang dijumpai
turun ke pantai untuk mendapatkan garam mineral. Hal ini terjadi apabila hutan pegunungan
habitat anoa masih terkoneksi dengan hutan pantai dan sulit sumber garam mineral yang
mungkin hanya sedikit di hutan pegunungan. Setelah mendapatkan garam mineral, anoa
gunung akan kembali ke habitat aslinya pada habitat yang lebih tinggi, jauh dari pantai.
Sama halnya dengan anoa, babi hutan sering dijumpai di hutan pantai dan hutan mangrove,
makan atu menjilat kerang, udang dan kepiting serta rumput laut. Contoh anoa, babirusa dan
babi hutan sering mendatangi tempat yang memiliki kadar garam dan belerang tinggi dan air
hangat alami di habitatnya, seperti yang terdapat di Suaka Margasatwa Nantu, di hulu Sungai
Paguyaman, Gorontalo serta di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara.

Metode Survei
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan pengamatan anoa atau satwa lain
di habitat aslinya:
1. Lokasi pengamatan, kondisi umum vegetasi dan tipe habitat (hutan mangrove, hutan
pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas,
hutan primer, hutan sekunder, tepi hutan dan kebun (forest edges), tepi sungai atau
riparian (riverine forest), hutan dengan tegakan dari jenis tumbuhan tertentu misalnya
tegakan dominan bambu (Lithocarpus spp). dan sebagainya.
2. Jumlah satwa yang terlihat (ekor).
3. Jenis kelamin (jantan, betina).
4. Struktur umur (anak, muda, dewasa).
5. Aktivitas dan perilaku satwa ketika dijumpai (makan, istirahat, berkubang, minum,
bergerak/berpindah, kegiatan sosial (interaksi jantan dan betina, interaksi induk
dengan anak).

223
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

6. Jejak satwa berupa jejak kaki, feses, bekas makan (feeding and browsing signs), bekas
berkubang atau berendam (wallowing sites), tempat berlindung, batang pohon
menggosok tanduk (horn-scouring trees), bekas garukan kaki di tanah dekat feses atau
urin (soil-scratchings).
7. Pengamatan jejak kaki dan feses satwa dapat dilakukan di sepanjang koridor satwa,
di sekitar sumber air, tempat mengasin, dan di sepanjang hutan riparian serta di hutan
mangrove dan hutan pantai saat air laut surut.

Bahan dan alat


Bahan: Kegunaan
1. Ethanol (alkohol 70%) Mengawetkan feses, jenis tumbuhan dan
untuk spesimen herbarium
2. Gips (gypsum), kaleng, dan pengaduk Mencetak jejak kaki satwa
3. Botol kecil (vials) Koleksi contoh feses

Alat:
1. Binokuler Mengamati satwa dari dekat
2. Kamera Digital (outdoor) Dokumentasi penelitian
3. Peralatan lapangan dan personal use Camping dan travelling di hutan
4. Buku panduan lapang, buku catatan Dokumentasi dan pencatatan di lapangan
lapang, tally sheet, dan alat tulis menulis
5. GPS/kompas Menentukan koordinat dan posisi satwa
6. Camera trap atau video trap Dokumentasi
7. Pita Tagging Menandai posisi
8. Peta lapangan/peta kerja Merencanakan dan menentukan lokasi
9. Meteran untuk plot analisis vegetasi Mengukur dan membuat plot transek analisis
vegetasi
10. Peralatan komunikasi Komunikasi

Jumlah Anggota
Setiap tim survei terdiri atas 1 ketua tim dan 2 anggota tim. Berikut ini beberapa metode
yang dapat digunakan untuk menghitung populasi dan okupansi habitat oleh anoa dan satwa
lain termasuk babirusa dan babi hutan Sulawesi:

224
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Metode Jalur (transect)


Metode jalur terbagi atas dua yaitu metode jalur dengan lebar yang tidak ditentukan (line
transect) dan metode jalur dengan lebar yang ditentukan terlebih dahulu (strip transect). Kedua
metode ini dapat digunakan untuk menghitung populasi anoa.

Metode transek garis (line transect)


Metode ini dapat digunakan dalam pengumpulan data kepadatan populasi dan ukuran
populasi. Lebar jalur belum ditentukan, pengamat hanya menentukan panjang jalur sebelum
pengamatan kemudian mencatat anoa yang dijumpai. Data yang dikumpulkan berdasarkan
pada perjumpaan. Panjang jalur 1–5 km, dan jarak antar jalur 200–500 m, tergantung kondisi
hutan dan intensitas sampling yang diinginkan.

Keterangan: To = titik awal jalur pengamatan, Ta = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, r = jarak antara
pengamat dengan tempat terdeteksinya satwa, S = posisi satwa, θ = sudut antara posisi satwa dengan
arah garis transek, y = r.sin θ, yaitu jarak tegak lurus satwa terhadap jalur/As jalur.

Gambar 9.13 Desain plot metode Line Transect

Pengamatan pada satu transek dilakukan dua kali dalam sehari yakni pagi hari pukul
06.00–09.00 dan sore hari pukul 16.00–18.00. Pengamatan dilakukan dengan berjalan kaki
dengan langka dan kecepatan yang relatif konstan.

Teknik Kegiatan
1) Tentukan kawasan hutan yang berdasarkan studi pendahuluan merupakan habitat
anoa serta informasi dari penduduk lokal yang pernah melihat anoa di habitatnya.
Tanda-tanda kehadiran anoa perlu dikenali dengan baik jejak kaki, feses, tempat
berendam.

225
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

2) Tentukan letak dan penyebaran jalur di areal survei.


3) Arah jalur ditentukan terlebih dahulu.
4) Buat jalur dengan 1–2 km atau lebih, tergantung kondisi habitat.
5) Dibuat minimal 3 jalur, dengan jarak antar jalur 250–500 m.
6) Jalur sebaiknya melewati beberapa tipe habitat dan/atau memotong garis kontur,
dimulai dari sisi sungai atau danau.
7) Jalur ditempatkan agak jauh dari camp karena bau dan aroma kehadiran manusia
dapat mengganggu anoa
8) Jalur yang dibuat sekedar bisa dilewati, hindari menebas tumbuhan yang tidak
mengganggu di sepanjang jalur, karena tebasan akan merusak hutan dan menganggu
anoa.
9) Pasang pita survei (surveying tape/pita tagging) pada setiap jarak 50 atau 100 m agar
pengamat dapat mengetahui posisi ketika sedang melakukan pengamatan.
10) Pada metode Line Transect, tidak dibatasi lebar kiri dan kanan jalur (tidak ada lebar
jalur yang fix).
11) Pencatat berjalan di sepanjang jalur dengan mencatat jenis satwa, jumlah satwa, jarak
tegak lurus satwa (m) terhadap jalur atau jarak radial (m) satwa serta sudut pandang
satwa dengan jalur .
12) Dilakukan ulangan setiap hari pada pukul (pukul 6:00–10:00), selama minimal
7 hari, sehingga total panjang jalur (L) yang dilewati yaitu 1 km x 3 jalur x 7 ulangan
km = 21 km (apabila panjang jalur 1 km).
13) Posisi satwa dari pencatat dicatat (sudut kontak θ, jarak radial/Direct Distance satwa
dengan pencatat r), dan jarak tegak lurus/Perpendicular Distance posisi satwa dengan
garis transek d ( d = r sin θ).
14) Waktu dimulai dan berakhirnya pengamatan dicatat, demikian pula kondisi cuaca
pada waktu pengamatan dicatat.

Metode transek lajur (strip transect)


Metode ini merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam pengumpulan data
jenis dan ukuran populasi. Panjang dan lebar jalur yang digunakan disesuaikan dengan kondisi
topografi dan kerapatan tegakan pada lokasi pengamatan. Semakin rapat vegetasi semakin
sempit jalur yang dibuat karena jarak pandang terbatas. Di hutan tropis seperti di Sulawesi,

226
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

jalur dapat dibuat selebar 25 m sebelah kiri dan 25 m sebelah kanan jalur lintasan survei (As
jalur), sehingga lebar jalur adalah 50 m. Panjang jalur dapat dibuat 1–5 km, tergantung kondisi
lapang dan waktu survei yang tersedia. Karena panjang dan lebar jalur diketahui, maka luas
jalur juga dapat diketahui. Penempatan jalur juga mempertimbangkan keterwakilan habitat
di mana sedapat mungkin mencakup beberapa tipe habitat seperti hutan mangrove, pantai,
dataran rendah, hutan riparian, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas dan
seterusnya. Semua satwa yang dijumpai di dalam jalur dicatat, sedangkan yang terdapat di luar
jalur diabaikan sehingga data yang diperoleh yaitu jumlah satwa yang terdapat di dalam jalur.

Keterangan: To = titik awal jalur pengamatan, T = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, S = posisi
satwa

Gambar 9.14 Desain plot metode Strip Transect

Pengamatan pada satu jalur dapat dilakukan dua kali dalam satu hari, yaitu pada pagi
hari pukul 06.00–09.00 dan sore hari pukul 16.00–18.00. Apabila tenaga tidak mencukupi,
pengamatan pada pagi hari lebih baik. Pengamatan dilakukan dengan berjalan kaki dengan
kecepatan yang konstan sekitar 1,3 km/jam. Kepadatan satwa menggunakan metode lajur
didasarkan beberapa asumsi:
1. Harus dapat ditentukan apakah satwa berada di dalam atau di luar lajur, dan
semua satwa yang berada di dalam lajur harus dapat dilihat, dihitung dan dicatat
keberadaannya.
2. Perjumpaan-perjumpaan dengan satwa merupakan kejadian yang bebas satu
dengan lainnya, dan satwa tidak berpindah jauh sebelum terdeteksi pengamat yang
memungkinkan terjadinya penghitungan dan pencatatan double.

227
228
Tally Sheet Pencatatan Data Lapang ANOA

Hari/Tanggal : ………………… Lokasi/Blok Hutan : …………………


Arah/Azimuth : ………………… Waktu dimulai : ………………… Waktu berakhir :
Nama pencatat : …………………
Jarak Tegak Lurus Estimasi Umur
Kontak Jumlah Anoa Jarak Radial (r)
Sudut Kontak (θ) Anoa Terhadap (anak, muda, Jenis Kelamin Keterangan
ke- (individu) (meter)
Jalur (d) (meter) dewasa)
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

10

dst
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Untuk metode line transects, kepadatan populasi anoa di wilayah studi dapat dihitung
dengan menggunakan program DISTANCE 6.2 atau versi yang lebih baru. Selain secara
kuantitatif, analisis data juga dapat dilakukan secara kualitatif yaitu laju perjumpaan atau
encounter rate (Buckland et al. 2005). Laju perjumpaan anoa yaitu jumlah individu anoa yang
dijumpai per kilometer panjang jalur. Terdapat hubungan yang erat antara ukuran populasi
dengan laju perjumpaan. Semakin tinggi laju perjumpaan semakin tinggi populasi dan
sebaliknya. Berdasarkan data laju perjumpaan, secara kualitatif dapat menunjukkan apakah
ukuran populasi anoa tetap, bertambah, atau berkurang.

Metode Konsentrasi (concentration count)


Metode konsentrasi disebut juga metode titik (point count) yaitu menghitung populasi satwa
pada titik-titik tertentu yang sering didatangi satwa atau pada tapak-tapak yang merupakan
tempat terkonsentrasinya satwa seperti padang rumput (feeding ground), tempat minum atau
mandi dan berendam, dan tempat mengasin (salt-lick). Caranya, pengamat diam di tempat
tersebut, mengintai atau memanjat pohon (nyanggong), dan menunggu datangnya anoa atau
satwa lain yang menjadi target. Parameter yang dicatat yaitu lama waktu pengamatan, jenis
satwa, jumlah satwa, jenis kelamin, struktur umur dan perilaku satwa. Pengamatan dilakukan
pada pagi hari pukul 06.00–09.00 dan sore hari pukul 16.00–18.00. Pengamatan juga dapat
dilakukan pada malam hari apabila memungkinkan, terutama saat terang bulan dan satwa
tersebut aktif juga pada malam hari dan berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa
satwa tersebut sering mengunjungi tapak-tapak tersebut di atas, khususnya tempat minum dan
mengasin. Penulis pernah melakukan pengamatan pada siang dan malam hari ketika mengamati
populasi babirusa di salt-lick Adudu di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto, Gorontalo.

Kamera dan video jebakan (camera and video traps)


Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan kamera jebakan semakin banyak
digunakan baik untuk menentukan ukuran populasi maupun untuk memastikan keberadaan
spesies langka yang sangat sulit dijumpai secara langsung di habitat aslinya.

Jumlah Anggota
Dalam satu tim pelaksana berjumlah 3–4 orang/tim

229
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Peralatan
1. Perlengkapan, peralatan, dan perbekalan, standar untuk kegiatan di lapangan
(camping)
2. Peralatan standar navigasi (kompas dan GPS)
3. Lembar data lapangan
4. Kamera jebakan dan kartu memori
5. Baterai dengan jenis dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis kamera dan lamanya
kamera akan diaktifkan di lapangan
6. Kamera digital 1 buah per tim
7. Rantai pelindung dan gembok camera trap sebanyak 6 buah
8. Tali bungee sebanyak 6 buah per tim
9. Alat komunikasi HT 1 buah per tim
10. Peta lapangan/kerja 1 lembar per tim
11. Lembar isian data (secukupnya)

Waktu Kegiatan
Pemasangan kamera jebakan dapat dilakukan pada musim penghujan atau musim kemarau
tergantung sumberdaya yang dimiliki. Tetapi secara umum pemasangan kamera jebakan
minimal selama 3 bulan atau setidaknya diperoleh 1000 hari rekam (trap days) pada usaha
pendataan (sampling efforts) yang dilakukan. Dapat dilakukan pengulangan setiap tahun untuk
memantau perkembangan populasi dan penyebaran satwa.

Persiapan
1. Mempersiapkan peta kerja yang telah dibuat sistem grid cell ukuran 1 km x 1 km atau
2 x 2 km sebagai sampling area.
2. Mempersiapkan perencanaan kerja (tim pelaksana dan waktu yang dibutuhkan).
Dalam pengoperasian 6 unit kamera jebakan, setidaknya membutuhkan satu tim (2–3
orang) dan membutuhkan waktu 3 hari untuk setiap 30 hari (asumsi 2 hari dibutuhkan
untuk menempatkan/pengecekan sebanyak 2 kamera jebakan di lapangan). Namun
hal ini tentunya tergantung dari kondisi di lapangan.
3. Mempersiapkan logistik dan peralatan yang dibutuhkan, serta membiasakan dengan
peralatan yang akan digunakan.

230
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Penempatan kamera jebakan


Kamera jebakan ditempatkan di lokasi yang berpeluang terdeteksinya anoa seperti di dekat
sumber air atau tempat berkubang anoa, hutan di sepanjang aliran sungai, habitat di sekitar
padang rumput alami di hutan, di sekitar pohon yang menghasilkan buah yang menjadi sumber
pakan anoa seperti berbagai jenis pohon beringin (Ficus spp.), konduri (Parkia roxburghii), di
sepanjang lintasan koridor anoa, di punggung bukit dan sebagainya. Mendeteksi keberadaan
anoa tidak terlalu sulit karena dapat dilihat dari jejak kaki dan feses. Setiap unit kamera jebakan
ditempatkan dalam satu grid cell, dengan jarak antar kamera jebakan 1–2 km. Selain itu
penggunaan kamera jebakan dapat digunakan untuk foto maupun video. Jika berpasangan,
keduanya dapat dioperasikan untuk pengambilan foto atau salah satunya untuk foto dan
satunya lagi untuk video.

Pengoperasian kamera jebakan


Dalam setiap pengoperasian kamera jebakan, setiap unit dipastikan telah di set untuk waktu
(jam, tanggal, bulan, dan tahun). Juga set time delay (disarankan 1 menit) antar jepretan kamera
jebakan. Setiap jenis camera trap memiliki sistem yang berbeda namun prinsip kerjanya sama.
Pengecekan kamera jebakan dilakukan setiap bulan (30 hari) untuk mendapatkan perolehan
gambar, mengganti memory card dan mengganti baterai. Hasil perolehan data dalam memory
card untuk setiap kamera jebakan dipindahkan dalam database.

Tally sheet
ID ID Tgl Tgl Jumlah
Jantan Betina Muda Anak Keterangan
Kamera Memori Pasang Perekaman total

231
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Analisis Data
Indeks Kelimpahan Relatif/Relative Abundance Index (RAI) per 100 hari rekam yaitu jumlah
foto dibagi total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pengali 100 hari untuk menyamakan
waktu satuan usaha yang digunakan (O’Brien et al. 2003). RAI disebut juga Encounter Rate atau
laju perjumpaan.
Σf
RAI = x 100
Σd
Keterangan :
RAI = Relative Abundance Index/Indeks Kelimpahan Relatif (indeks kelimpahan relatif
gambar/foto yang tertangkap camera trap)
Σf = Jumlah total foto independen yang diperoleh
Σd = Jumlah total hari operasi kamera/trap nights

Data dapat dianalisis menggunakan software capture


Asumsi yang digunakan untuk identifikasi individu menggunakan foto independent
(O’Brien et al. 2003) yaitu:
1. Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu
nomor film.
2. Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor
film dengan rentang waktu lebih dari 30 menit atau foto berurutan atau sekuel dari
individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas.
3. Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor
film.

Menghitung populasi berdasarkan jejak


Jejak (tracks) adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh satwaliar sebagai penanda
kehadiran satwaliar pada habitat tertentu. Jejak tersebut dapat berupa jejak kaki, kotoran
(feses), bekas makan (feeding signs), bekas-bekas cakaran (umumnya berbagai jenis kucing) pada
batang kayu, rambut yang tertinggal pada batang kayu, tulang-belulang, bekas berkubang, dan
bau yang ditinggalkan oleh satwa. Menghitung populasi satwaliar berdasarkan jejak termasuk
metode inventarisasi tidak langsung, karena pengamat tidak melihat langsung satwanya.

232
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Jejak kaki (foot print)


Metode jejak kaki biasa dipakai untuk jenis-jenis mamalia besar yang sulit dijumpai secara
langsung karena populasinya yang rendah dan sensitif akan kehadiran manusia, misalnya badak
Jawa, badak Sumatra, Tapir, Banteng dan Anoa. Jejak kaki satwaliar mengindikasikan selain
populasi juga kondisi penyebaran dan kesukaan terhadap habitat tertentu. Jejak kaki satwa
biasanya tercetak jelas di lantai hutan yang memiliki substrat tanah yang lembek misalnya tanah
liat, tanah berpasir di sepanjang hutan riparian, di sekitar mata air, sekitar kubangan, rawa,
danau dan cerukan-cerukan air. Pada musim kemarau, jejak-jejak kaki satwa dapat dijumpai di
sekitar sumber air dan di sepanjang sungai. Daerah lintasan satwa di hutan juga menjadi tempat
yang baik untuk mendapatkan jejak yang baik.
Jejak kaki satwaliar dapat diidentifikasi berdasarkan hasil cetakan menggunakan gips atau
digambar pada kertas milimeter. Jejak kaki dibedakan atas jejak kaki depan, belakang, kiri
dan kanan. Untuk berbagai jenis mamalia ungulata, pengalaman penulis menunjukkan bahwa
cetakan kaki depan lebih jelas daripada kaki belakang, hal ini berhubungan dengan beban kaki
depan yang lebih berat karena harus menyangga bagian tubuh, leher dan kepala. Kuku satwa
tertanam lebih dalam sehingga meninggalkan cetakan kaki yang lebih jelas. Oleh karena itu,
pengukuran hendaknya dilakukan konsisten. Apabila pengukuran dilakukan tidak konsisten,
maka individu satwa yang sebenarnya adalah sama dapat dianggap sebagai individu yang
berbeda ketika suatu ketika mengukur kaki depan dan di lain waktu mengukur kaki belakang.
Perlu diperhatikan beberapa kelemahan dalam menentukan ukuran populasi menggunakan
metode jejak:
1. Kondisi jejak sangat tergantung pada substrat, di mana pada tanah liat atau berpasir
jejak dapat tercetak jelas. Namun pada tanah keras, berbatu, sulit dijumpai jejak yang
tercetak dengan baik di tanah lantai hutan.
2. Ada kemungkinan ukuran jejak pada satwa yang sama berubah, misalnya pada
saat satwa berjalan secara normal ukuran jejaknya berbeda pada saat satwa berlari.
Demikian pula ukuran jejak berbeda pada saat satwa ketika turun atau menanjak,
karena adanya ‘sliding effect’. Pada saat satwa berlari, cetakan kaki cenderung lebih
besar daripada berjalan normal. Demikian pula pada saat satwa berjalan turun atau
mendaki, jejak satwa akan berbeda ketika berjalan pada tanah datar.
3. Metode jejak sulit dugunakan untuk satwa yang hidupnya berkelompok, lebih sesuai
untuk satwa soliter.
4. Ada kemungkinan penghitungan ulang satwa.
5. Pada lantai hutan yang berumput atau terdapat serasah tebal, sulit menemukan atau
mencetak jejak.

233
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Okupansi habitat berdasarkan kepadatan feses


Beberapa spesies satwaliar sulit dijumpai secara langsung karena kondisi habitatnya serta
perilakunya yang pemalu. Untuk jenis-jenis satwa seperti ini, jejak kaki dan feses lebih sering
dijumpai daripada satwanya itu sendiri. Untuk itu, satwa yang termasuk dalam kategori ini
dalam menghitung populasinya dapat dilakukan pendekatan inventarisasi tidak langsung yaitu
melalui feses. Penghitungan feses dilakukan menggunakan metode quadrat atau metode transek.
Jangka waktu lamanya feses berada atau bertahan di habitat asli satwa berbeda tergantung
kondisi habitat, kondisi cuaca (hujan, kemarau), laju dekomposisi feses, kandungan serat pada
feses dan aktivitas serta jumlah serangga pengurai khususnya dung beetles.
Untuk mengatasi hal ini maka dapat dilakukan beberapa cara:
1. Bersihkan kotoran atau serasah di sekitar feses anoa.
2. Tandai feses anoa yang masih baru, misalnya dengan memasang surveying tape atau
ranting kayu di dekat feses.
Laju dekomposisi feses anoa menunjukkan bahwa pada musim kemarau feses dapat
bertahan lebih lama daripada feses ketika musim hujan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
1. Pada musim kemarau sinar matahari dapat mengenai langsung feses anoa di lantai
hutan dan kelembapan relatif yang lebih rendah sehingga feses lebih awet dan
cenderung mengeras.
2. Pada musim kemarau kandungan air feses lebih rendah.
3. Pada musim kemarau lebih sedikit dung beetles di lantai hutan.
4. Pada musim hujan, banyak pohon menghasilkan buah, dan anoa banyak mengonsumsi
buah-buahan yang jatuh ke lantai hutan (fallen fruits) sehingga berpengaruh terhadap
kandungan air feses serta kecepatan dekomposisi feses.
5. Pada musim hujan, tetesan air hujan dapat mengenai langsung feses yang mempercepat
dekomposisi feses.
6. Aliran permukaan air hujan di lantai hutan dapat menggerus atau menghancurkan
feses lebih cepat sehingga lebih cepat hilang dan tidak terdeteksi adanya feses anoa di
tempat itu.
Okupansi habitat (habitat occupancy) menggambarkan sejauh mana suatu spesies
mengokupasi atau menempati tipe habitat tertentu. Okupansi habitat dapat ditentukan
berdasarkan data kepadatan feses, laju defekasi, serta lamanya feses terakumulasi pada suatu
tipe habitat (hari). Kepadatan feses (jumlah feses/km2) dihitung menggunakan metode line
transect, strip transect, atau metode kuadrat atau metode lain di mana kepadatan feses satwa
dapat diketahui.

234
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Laju defekasi yaitu frekuensi satwa membuang feses setiap hari (feses/hari, dalam waktu 24
jam). Data ini dapat diperoleh melalui pendekatan satwa yang ada di dalam kandang dengan
catatan bahwa jenis makanan yang diberikan selama pengamatan adalah sama atau mendekati
jenis makanan satwa tersebut di alam. Untuk anoa dapat diberikan berbagai macan daun
seperti daun beringin (Ficus spp.), daun nangka (Artocarpus integra), daun pedada (Sonneratia
caseolaris, S. alba), daun balandete (Merremia peltata), daun takulendahi (Garuga floribunda),
serta jenis rumput yang biasa dimakan anoa (Cyperus spp.) serta berbagai jenis tumbuhan
yang berdasarkan studi sebelumnya diketahui menjadi tumbuhan makanan anoa. Selain itu
dapat diberikan tambahan buah yang biasa dikonsumsi anoa di alam seperti buah berbagai
jenis beringin (Ficus spp.). Pengamatan dilakukan selama beberapa hari atau minggu untuk
mendapatkan data rata-rata defekasi anoa per hari. Mustari (2003) melakukan penelitian
mengenai frekuensi membuang feses anoa (defekasi) masing-masing selama 14 hari di Sulawesi
Tenggara di Taman Margasatwa Ragunan.
Jumlah feses anoa yang dijumpai selama periode pengamatan serta lama waktu atau periode
pengamatan dicatat untuk mendapatkan data lama akumulasi feses (hari). Untuk data lama
akumulasi feses, hanya feses baru yang baru yang dicatat. Semua feses anoa yang sudah ada
sebelum pengamatan dilakukan tidak dihitung (harus dieliminir) karena feses tersebut tidak
diketahui sudah berapa lama (hari) terdapat di habitat atau di jalur tersebut.
Berdasarkan kepadatan feses (jumlah feses/km2), laju defekasi atau frekuensi membuang
kotoran (jumlah feses/hari) dan lama akumulasi feses (hari), maka okupansi habitat satwa
(satwa-hari/km2) dapat diketahui berdasarkan rumus:
Kepadatan feses (jumlah feses/km2)
Okupansi habitat (anoa hari/km2) =
Laju defekasi (jumlah feses/hari) x lama akumulasi feses (hari)
Semakin tinggi nilai okupansi habitat semakin sering habitat tersebut dipergunakan
oleh anoa, baik untuk mencari makan, minum maupun berlindung. Okupansi habitat juga
menggambarkan preferensi anoa pada tipe habitat tertentu. Karena itu beberapa tipe habitat
dapat diukur tingkat okupansinya dan dibandingkan satu dengan yang lain.
Okupansi habitat tidak menunjukkan secara mutlak jumlah individu satwa pada habitat
tertentu. Namun demikian okupansi habitat dapat menunjukkan kelimpahan relatif satwa
atau intensitas penggunaan habitat. Okupansi habitat dapat dianalogikan dengan satuan Hari
Orang Kerja (HOK). Seseorang yang bekerja selama sepuluh hari misalnya, akan memiliki nilai
HOK yang sama dengan sepuluh orang yang bekerja secara bersamaan dalam waktu satu hari.
Demikian pula dengan anoa, satu individu anoa yang menempati suatu habitat selama sepuluh
hari berturut-turut, di mana laju defekasi adalah delapan (8 feses/hari) misalnya, nilai okupansi
habitatnya (anoa-hari/km2) sama dengan nilai okupansi habitat oleh sepuluh individu anoa yang
secara bersamaan menempati habitat yang sama dalam satu hari. Dengan asumsi bahwa laju

235
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

defekasi (jumlah feses/hari) setiap individu anoa sama atau relatif sama. Laju defekasi dengan
angka 8 feses/hari adalah hasil penelitian Mustari (2003). Apabila dilakukan penelitian terhadap
anoa yang lain, di tempat yang lain, serta jenis pakan yang berbeda mungkin menghasilkan
angka yang berbeda.
Berikut ini adalah metode survei dan monitoring populasi anoa yang terdapat dalam
‘Pedoman (Roadmap) Peningkatan Populasi Dua Puluh Lima Satwa Terancam Punah Prioritas
Periode 2015–2019’ (Ditjen KSDAE KemenLHK 2018). Metode ini juga dikembangkan
oleh WCS-IP dalam kegiatan survei dan monitoring populasi anoa dan babirusa di beberapa
kawasan konservasi di Sulawesi, khususnya di TN Bogani Nani Wartabone. Penulis mengutip
sepenuhnya metode yang tercantum dalam roadmap tersebut. Metode yang digunakan yaitu
Occupancy (Okupansi) dan Spatially Explicit Capture Recapture (SECR). Untuk mendeteksi
kehadiran satwa digunakan kamera dan video jebak. Juga digunakan beberapa tanda kehadiran
satwa seperti feses dan jejak kaki. Pada metode SECR, selain foto juga DNA dari feses sebagai
penanda untuk identifikasi individu. Hal ini dilakukan karena anoa tidak memiliki penanda
sebagai pembeda individu (individual markings). Sampel DNA dianalisis menggunakan metode
genotyping.
Metode ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada metode Okupansi
didapatkan proporsi (%) habitat yang ditempati atau diokupansi anoa atau satwa target
(Proportion of Area Occupied/PAO) dalam satuan persen. Dengan menggunakan metode
ini maka didapatkan luas atau prosentasi habitat yang ditempati anoa serta penyebarannya
berdasarkan grid atau cel di mana ditemukan anoa secara langsung, berdasarkan foto, jejak kaki
dan feses. Dengan metode ini ukuran populasi (population size) satwa tidak dapat ditentukan
karena yang diperoleh adalah proporsi atau luas kawasan yang ditempati (occupied) anoa. Dari
proporsi luas areal yang ditempati anoa dapat dianalisis apakah penyebaran dan penggunaaan
habitat tetap, meningkat atau menurun dari waktu ke waktu. Sementara pada metode SECR
baik melalui foto maupun dengan DNA feses, kelebihannya yaitu dapat diketahui keberadaan
satwa tanpa melihat atau bertemu langsung melalui kamera jebak dan DNA yang terkandung
dalam feses.
Namun beberapa hal yang perlu dipertimbangkan bahwa untuk melakukan analisis
diperlukan training untuk meningkatkan kemampuan staf UPT BKSDA dan TN, serta para
Polhut agar mereka dapat memahami proses yang dilakukan di lapangan. Pengumpulan dan
analisis data hendaknya tidak hanya dipahami oleh para peneliti karena diharapkan setelah suatu
proyek selesai maka para staf UPT mampu melakukannya secara mandiri dan berkesinambungan.
Karena itu diperlukan kesiapan SDM yang memadai. Selain itu penggunaan kamera dan video
jebak masih terbatas. Untuk kamera dan video jebak selain biaya pengadaan alat juga biaya
dalam pengoperasiannya cukup tinggi, yang mungkin hanya bisa dicukupi melalui kegiatan

236
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

proyek tertentu yang sifatnya insidentil. Karena itu keberlanjutan kegiatan perlu dipikirkan.
Kamera dan video jebak memerlukan jumlah baterai yang cukup banyak serta personil untuk
memasang dan memantau di lapangan juga banyak. Satu unit kamera jebak membutuhkan
8–12 buah baterai. Apabila dipasang 100 unit kamera misalnya, maka minimal diperlukan
800–1200 buah baterai untuk jangka waktu tertentu, suatu jumlah yang sangat banyak.
Baterai bekas termasuk limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang mengandung zat-zat
berbahaya bagi lingkungan seperti merkuri (Hg), mangan (Mn), timbal (Pb), nikel (Ni), lithium
(Li) dan cadmium (Cd). Hal ini patut dipertimbangkan dalam kegiatan yang mestinya ramah
lingkungan. Dalam banyak kasus, penanganan limbah baterai tidak/belum dilakukan dengan
baik. Demikian pula dengan tenaga, diperlukan cukup banyak personil untuk memantau dan
menangani sekian banyak unit kamera dan video jebak yang dipasang dalam wilayah yang
sangat luas dengan topografi berat pada bentang alam pegunungan di Sulawesi. Selain itu anoa
dan babirusa termasuk satwa yang sensitif. Seringnya personil memasuki kawasan hutan yang
menjadi habitat utama anoa, babirusa dan satwa lain untuk memasang dan memantau kamera
jebak serta frekuensi lalu lalang manusia di dalam hutan niscaya mengganggu jenis-jenis satwa
tersebut. Satwa yang memiliki penciuman tajam seperti anoa dan babirusa akan terganggu
dengan banyaknya kegiatan di dalam hutan, termasuk bau manusia dan sisa-sisa logistik (plastik,
kantung plastik, botol plastik, tali plastik dan kaleng) yang kemungkinan ditinggalkan serta bau
asap rokok oleh beberapa personil ketika berada di hutan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak
dari mereka masih memiliki kebiasaan merokok di dalam hutan di kawasan yang dihuni satwa
sensitf seperti anoa dan babirusa.
Dana yang tersedia masih sangat terbatas dan jumlah personil di lapangan juga masih
sangat kurang. Sementara bagi UPT BKSDA/BBKSDA dan BTN/BBTN hal paling serius
yang dihadapi di lapangan yaitu bagaimana mengatasi perburuan liar, deforestasi dan
degradasi habitat, dan upaya menjaga dan mempertahankan keutuhan ekosistem. Perburuan
liar, perambahan hutan, penebangan liar dan alih fungsi hutan habitat anoa masih terus
berlangsung sampai saat ini. Selain itu bagi UPT tersebut di atas perlu menjalin koordinasi
dengan pemerintah serta masyarakat lokal untuk membangun kemitraan dan program yang
bersinergi. Hal terpenting dilakukan yaitu mengatasi perburuan liar, mencegah perambahan
dan penebangan liar, mencegah alih fungsi hutan yang sangat marak serta menjaga keutuhan
ekosistem habitat anoa dan satwa lain yang tergolong langka dan dilindungi.
Berikut ini adalah metode yang digunakan dalam Pedoman (Roadmap) Peningkatan
Populasi Dua Puluh Lima Satwa Terancam Punah:

237
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Permodelan Okupansi
MacKenzie et al. (2002) pertama kali membuat model untuk menggabungkan pendeteksian
ke dalam metode yang dapat dilakukan di lapangan untuk mengestimasi proporsi kawasan yang
dihuni oleh spesies berdasarkan survei tanda keberadaan (sign survey). Probabilitas okupansi
yang dihasilkan dapat digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif, karena memiliki relasi
monotonik dengan kelimpahan nyata. Kemudian, MacKenzie and Royle (2005) merancang
protokol lapangan yang dapat mengukur pendeteksian dan memperhitungkan kovariat (faktor
penentu) lingkungan dari kawasan yang dapat mempengaruhi estimasi okupansi.

Pengumpulan Data
Replikasi merupakan hal yang esensial dalam survei okupansi karena replikasi digunakan
untuk menghitung probabilitas deteksi yang tanpanya okupansi spesies menjadi bias. Terdapat
dua pendekatan untuk memperoleh replikasi pada survei okupansi: replikasi temporal dan
spasial. Replikasi spasial dapat diperoleh dari survei okupansi tanda keberadaan satwa, sedangkan
replikasi temporal diperoleh dari rekaman foto dari survei kamera jebak, profil DNA dari survei
DNA feses, atau satwa yang diidentifikasi melalui penanda PIT.

Replikasi Spasial dengan Survei Tanda


Jika survei okupansi dimaksudkan untuk mengestimasi proporsi suatu kawasan yang
ditempati oleh spesies, unit sampel harus berukuran sekitar perkiraan terbesar ruang jelajah
satwa. Setiap unit sampel dengan identitas unik disurvei dengan berjalan kaki untuk mencari
tanda keberadaan satwa target. Survei pada umumnya dilakukan oleh tim yang terdiri dari
empat orang, masing-masing mencari dan mencatat tanda keberadaan satwa pada interval
100 m. Jika lebih dari satu tanda dideteksi dalam interval 100 m, hanya tanda pertama yang
dicatat. Replikasi spasial terdapat dalam segmen 100 m, tetapi dapat dikombinasikan ke dalam
sampel 1–5 km untuk mengurangi risiko autokorelasi spasial.
Merancang survei tanda secara detail:
• Dibuat sebuah petak sebagai unit sampel dengan dimensi yang sedikit lebih besar
dari ukuran ruang jelajah satwa (jika mengestimasi okupansi). Jika hal tersebut tidak
diketahui maka digunakan ukuran ruang jelajah spesies yang serupa. Sebagai contoh,
dengan mengasumsikan ukuran rerata ruang jelajah seekor babirusa mirip dengan
rerata untuk babi hutan (Sus scrofa 2-4 km2) (Jetz et al. 2004; Gaston et al. 2011)
dan anoa sekitar ~ 1–2 km2 (Tucker et al.2014). Digunakan ukuran petak sebesar
2 x 2 km2 sebagai unit sampel. Ukuran kisi yang sama untuk anoa dan babirusa akan
digunakan sehingga satu survei dapat digunakan untuk kedua spesies.

238
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

• Untuk mengestimasi probabilitas deteksi dan memasukkan probabilitas tersebut ke


dalam estimasi okupansi, setiap sel petak perlu disurvei untuk mencari tanda-tanda
keberadaan spesies target (contohnya tapak kaki dan kotoran) atau perjumpaan
langsung (seperti monyet hitam sulawesi) di lebih dari satu replikasi (sampling
occasion). Jadi, setiap segmen 1 km yang ditelusuri sepanjang jalur sampel akan
diperlakukan sebagai satu ‘replikasi spasial’ atau ‘occasion’.
• Setiap tim akan mencari dan bergerak sepanjang jalur yang baik yang dapat
meningkatkan deteksi tanda keberadaan spesies. Rute pencarian harus sama jaraknya
di antara tim sesuai dengan proposi luasan habitat di dalam petak. Jumlah minimal
replikasi di setiap petak harus dipertahankan sebanyak 5 x 1 km2.
• Setiap tim mencatat setiap tanda yang ditinggalkan oleh spesies target. Untuk suara
yang terdengar, jejak kaki, kotoran, kita hanya merekam pertemuan pertama setiap
bukti keberadaan spesies dalam setiap 100 meter replikasi. Setiap tim juga merekam
tanda tanda keberadaan manusia. Rekaman keberadaan manusia akan menjadi
kovariat.
• Pengukuran didasarkan perjalanan 1 km dengan kombinasi pembacaan GPS dan
pengukuran panjang 3D berdasarkan DEM kawasan dengan software SIG.
• Untuk mempertahankan konsistensi pengambilan data, setiap tim akan diperlengkapi
dengan lembar data yang terstandarisasi.

Replikasi Temporal Menggunakan


Survei Kamera Jebak
Metode pengumpulan data sama dengan survei kamera jebak menggunakan pendekatan
SECR.

Manajemen dan Persiapan Data


Saat ini, tersedia banyak alat untuk mengelola data survei ekologis, terutama kamera
jebak. Beberapa contoh adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh James Sanderson
yang didasarkan pada sistem pengarsipan, ‘Trapper’ sebuah aplikasi open source berbasis web
(Bubnicki et al. 2016), ‘camtrapR’ sebuah R package untuk mengelola data kamera jebak secara
efisien (Niedballa et al. 2016), dan yang terbaru ‘Camelot’, perangkat lunak yang dikembangkan
oleh WWF. Alat-alat tersebut menawarkan cara yang lebih baik dan efisien untuk menangani
data kamera jebak dengan fitur otomatis untuk menghasilkan data input untuk analisis model
okupansi. Akan diberikan deskripsi rinci mengenai bagaimana menggunakan camtrapR di
bagian selanjutnya (Manajemen Data SECR).

239
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Sebelum menggunakan alat-alat tersebut, informasi mentah dari survei perlu dikumpulkan
dalam format yang standar. Cara paling umum dan mudah untuk melakukan hal ini adalah
dengan menggunakan Excel spreadsheet untuk merekam informasi deteksi satwa. Hal ini dapat
dilakukan jika data tidak terlalu besar sehingga butuh database yang lebih canggih seperti
Microsoft Access atau SQL database. Data spasial disimpan dalam folder khusus. Data spasial
dari survei mencakup waypoints dari semua deteksi dan track log dari rute yang ditelusuri dari
awal hingga akhir. Terdapat tiga data yang dihasilkan dari survei ini: data spasial, rekaman tanda
satwa, dan deteksi perambahan.

1. Matriks Deteksi (Respon)


Deteksi dan nondeteksi tanda keberadaan spesies target di setiap petak sampel digunakan
untuk menghasilkan matriks deteksi. Setiap baris mewakili satu petak sampel dan setiap kolom
mewakili replikasi spasial atau temporal. Sebagai contoh, jika terdapat 100 petak sampel di
kawasan Bogani Nani Wartabone, maka akan ada total 100 baris yang mewakili 100 unit
sampel. Jika setiap petak disurvei sejauh 5 km dan segmen 1 km digunakan sebagai replikasi
sampel, maka akan ada 5 replikasi (occasion) di setiap petak. Saat melaksanakan survei, hip chain,
pedometer, penghitung langkah, atau alat pengukur jarak lainnya dapat digunakan. Idealnya,
alat pengukur harus dapat menyediakan informasi jarak nyata yang ditelusuri selama survei
lapangan. Namun, ketika bekerja di medan yang tidak rata, pengamat akan menghadapi situasi
yang tidak terprediksi atau rintangan yang dapat menyebabkan kekeliruan dalam pengukuran
jarak. Untuk membuat jarak yang ditelusuri di lapangan lebih representatif, data track log dari
GPS dan waypoint deteksi harus diproses di ArcGIS seperti berikut:
• Dilakukan digitasi on screen setiap track log dan simpan sebagai shapefile baru (survey
polyline).
• Dengan polyline baru yang telah didigitasi, bagi garis berdasarkan lokasi deteksi (point)
menggunakan ET Geo Wizards (www.ian-ko.com).
• Dihitung jarak 3D dari setiap jalur survei menggunakan data elevasi digital. Proses
ini akan menghitung panjang 3D setiap segmen deteksi. Pada model yang sama,
tambahkan field untuk memasukkan deteksi/nondeteksi (Gambar 1). Tambahkan field
bernama BUD, sebagai kode untuk Bubalus depressicornis dan BAB untuk Babyrousa
babyrussa.
• Secara manual, dipilih segmen yang telah dibagi dengan informasi tanda keberadaan
spesies target: ‘1’ untuk deteksi dan ‘0’ untuk nondeteksi, menggunakan field
calculator.
• Di Excel, dibuat pengelompokan untuk setiap segmen sepanjang 1 km. Setiap segmen
yang dipisahkan akan memiliki jarak 3D sendiri untuk replikasi spasial.

240
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

2. Kovariat (Prediktor)
Digunakan ‘Euclidean Distance’ dan ‘Zonal Statistics as Table’ dari ArcToolbox untuk
mengekstrak informasi kovariat. Digunakan Kernel density daripada Euclidean distance untuk
kegiatan karena Kernel lebih baik dalam mewakili nilai setiap kovariat. Kemudian, digunakan
Kernel density, ekstrak kovariat hingga tingkat survei (setiap replikasi/segmen sampel) sebagai
tambahan dari kovariat tingkat situs (site).

3. Analisis Data
Parameter probabilitas okupansi, deteksi, dan kolonisasi/kepunahan (jika survei berulang
dari musim yang berbeda dilakukan) diestimasi menggunakan teknik berbasis maximum
likelihood yang dikembangkan oleh Mackenzie et al. (2002). Hal ini memungkinkan esimasi
pengaruh kovariat kawasan dan sampel menggunakan fungsi logit-link. Variabel respon adalah
matriks deteksi dan kovariatnya terbagi menjadi: i) efek manusia untuk mengevaluasi pengaruh
manusia terhadap probabilitas keberadaan spesies,dan ii) efek geografis untuk mengevaluasi
pengaruh karakteristik lingkungan terhadap probabilitas keberadaan spesies.
Analisis data pada umumnya dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik R dengan
package Unmarked (Fiske & Chandler 2011) atau wiqid (Meredith 2015), tetapi membutuhkan
pemahaman dasar menggunakan R dan menulis skrip. Cara lain untuk analisis data adalah
menggunakan program computer PRESENCE (Hines 2006). PRESENCE memiliki Graphical
User Interface yang mudah, tetapi penjalanan beberapa model secara bersamaan lebih sulit
dibandingkan dengan menganalisis data dengan R.
Sejumlah model dapat dijalankan untuk data observasi dan diurutkan berdasarkan nilai
Akaike Information Criterion (AIC) untuk menentukan model yang paling parsimonious
(‘terbaik’) (Burnham & Anderson, 2002). Model dengan nilai AIC terendah dan jumlah
parameter paling sedikit biasanya dianggap sebagai model paling parsimonious yang paling baik
mendeskripsikan data. Jika terdapat banyak model potensial dengan nilai AIC yang serupa,
teknik pererataan model (model averaging) akan digunakan untuk mengetahui pengaruh
kovariat dan menentukan estimasi parameter.

Spatially Explicit Capture Recapture (SECR)


SECR merupakan perkembangan dari metode capture-recapture klasik yang di mana
keterbatasan dalam memperhitungkan area sampel efektif telah terpecahkan. SECR secara
eksplisit menggunakan informasi data spasial dalam analisis (Efford et al. 2009). Dalam analisis
data SECR, terdapat dua tipe data yang dibutuhkan, yaitu ‘traps’ yang berisi informasi lokasi
dan ‘capture’ yang berisi informasi rekaman individu satwa. Data trap (lokasi sampel) dapat

241
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

memuat lokasi penempatan kamera, lokasi DNA (dari feses atau rambut) dikoleksi, atau lokasi
pembaca sensor RFID (Radio Frequency Identification) yang dapat mengidentifikasi penanda
PIT dari satwa yang telah ditandai. Data capture mencakup individu yang telah teridentifikasi
dan ditandai, baik melalui foto, DNA, atau penanda PIT.

Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data Menggunakan Kamera Jebak
Kamera jebak merupakan alat survei yang umum digunakan dalam konservasi. Kamera
jebak yang digunakan untuk ilmu konservasi dikembangkan oleh Karanth (1995) yang
menstandarisasi penggunaan untuk mengetahui kelimpahan harimau dalam kerangka
kerja capture-recapture. Menggunakan kamera jebak yang mampu merekam video dapat
meningkatkan kemampuan untuk membedakan individu dari spesies yang sama, dibandingkan
dengan alat yang hanya bisa menangkap gambar diam. Capture adalah kejadian pertama saat
individu yang dapat diidentifikasi terekam, dan recapture adalah individu sama yang terekam
setelahnya, baik ada lokasi yang sama atau pun berbeda.

2. Alat
• Kamera jebak yang dapat merekam video. Merek yang tersedia di pasar antara lain
Bushnell, Reconyx, dan Cuddeback.
• Peralatan lapangan: tenda, tas punggung, dan pertolongan pertama (P3K).
• Peralatan navigasi: peta, kompas, dan GPS.

3. Pengumpulan Data
Kawasan survei dibagi menjadi sel-sel petak berukuran 2 x 2 km2, berpola papan catur
dengan kamera jebak dipasang berseling. Lokasi kamera pada setiap petak survei dioptimasi
dengan menempatkan kamera di area yang menunjukkan penggunaan yang sering oleh spesies
target (misalnya jalur dengan tapak kaki dan kotoran). Untuk anoa dan babirusa, kamera dapat
dipasang setinggi 60 cm. Idealnya, survei pendahuluan sebaiknya dilakukan sebelum survei
terpisah dilakukan untuk memasang kamera jebak. Untuk setiap stasiun (lokasi) kamera, empat
survei terpisah berikut harus dilakukan berurutan: survei pendahuluan –survei pemasangan
kamera –survei pengecekan (cek baterai dan unduh data)– survey akhir untuk pengambilan
kamera. Durasi kamera beroperasi di lapangan untuk mamalia besar adalah sekitar 90 hari
dengan durasi di antara kamera pertama dipasang dengan kamera terakhir diambil tidak lebih
dari tiga bulan. Hal ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa asumsi populasi tertutup
secara temporal tidak dilanggar.

242
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

Manajemen dan Persiapan Data


1. Data dari Lapangan
Terdapat tiga tipe lembar data untuk diisi di lapangan: lembar data pemasangan,
pengecekan, dan pengambilan kamera jebak. Lembar data kamera jebak digunakan untuk
merekam informasi mengenai tanggal mulai dan berakhirnya survei serta lokasi. Lokasi dicatat
pada lembar data menggunakan sistem koordiant geografi dan tanggal dicatat dengan format
ISO YYYY-MM-DD.

2. Penyimpanan dan Pengaturan Data Mentah


Data yang diperoleh/diunduh dari kamera jebak harus digandakan dan dibuat cadangannya
menggunakan sistem folder yang terstruktur dengan kesepakatan penamaan folder yang logis,
misalnya: i) Spatial (lokasi kamera dan track log rute survei); ii) Spreadsheet dan lembar data
lapangan dijelaskan di bagian ‘Data dari lapangan’; dan iii) Image (foto mentah yang diunduh
dari kamera dan foto ID untuk spesies).
Seperti yang dijelaskan pada bagian ‘Manajemen dan persiapan data’ untuk survei
okupansi, banyak alat telah dikembangkan untuk menangani data survei kamera jebak. Satu
alat yang telah kami telaah adalah CamTrapR. Package CamTrapR (Niedballa et al. 2016)
bermanfaat untuk memberikan struktur penamaan berkas yang tepat. Package CamTrapR
memungkinkan manajemen dan ekstraksi data dari foto kamera jebak untuk studi satwa liar.
Package ini menyediakan alur kerja untuk penyimpanan dan penyusunan foto kamera jebak,
menghitung rekaman database, dan menghasilkan matriks deteksi/nondeteksi untuk analisis
okupansi dan spatial capture-recapture. Selain itu, package tersebut juga menyediakan fungsi
pemetaan sederhana (jumlah spesies, jumlah deteksi spesies independen terhadap lokasi) dan
dapat membuat visualisasi data aktivitas.
Terdapat dua tipe data untuk mekakukan analisis SECR, yaitu trap input dan capture
input. Lihat Lampiran 4 untuk contoh rinci tentang trap dan capture. Trap input menyediakan
informasi mengenai lokasi jebakan, durasi jebakan (kamera) aktif (diindikasikan oleh 1) dan
nonaktif (diindikasikan oleh 0). Capture input menyediakan informasi mengenai tangkapan
dan tangkapan kembali individu yang teridentifikasi. Capture merupakan individu unik yang
teridentiifkasi dari foto dan recapture adalah individu yang sama yang terekam kembali pada
waktu dan/atau lokasi yang berbeda. Data capture dapat juga ditambahkan dengan kovariat
seperti jenis kelamin dan usia individu.

243
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Pengumpulan Data Menggunakan Sampel DNA


Perkembangan metode non invasif melalui sampel DNA telah memfasilitasi estimasi
okupansi, ukuran populasi, dan parameter lainnya melalui pengumpulan sampel (seperti rambut
atau feses) tanpa perlu melihat atau mengganggu satwa tersebut (Mills et al. 2000; Waits 2004;
Schwartz et al. 2007). Peralatan yang diperlukan untuk survei lapangan cukup sederhana, tetapi
pelatihan untuk memastikan penanganan sampel yang hati-hati dan pencegahan kontaminasi
merupakan hal yang penting. Pemilihan waktu survei DNA menggunakan sampel kotoran
harus dijadwalkan pada periode terkering di setiap tahun karena hujan deras akan mendegradasi
sampel feses dengan cepat sehingga berisiko DNA tidak bisa diekstrak dari sampel.

1. Alat
• Tabung sampel steril (falcon centrifuge tube) yang berisi larutan penyangga dan
spatula steril, atau swab sampling kit 2 ml larutan penyangga yang mengandung
500 ul penyeka stabil dan isoheliks. Label adhesif, lembar data, dan kantung plastik
self-sealing.
• Peralatan lapangan: tenda, tas punggung, dan pertolongan pertama (P3K).
• Peralatan navigasi: peta, kompas, dan GPS.

2. Pengumpulan Data
Rancangan survei untuk DNA serupa dengan rancangan untuk survei video-kamera
jebak SECR. Satu-satunya perbedaan adalah dengan survei DNA feses, kita bertujuan untuk
memaksimalkan peluang untuk mengumpulkan DNA (survei konsentrasi feses). Oleh karena
itu, penting untuk pertama-tama mengindentifikasi kawasan untuk melaksanakan studi
capture-recapture. Tahap pertama adalah membagi kawasan menjadi blok-blok yang kemudian
ditelusuri oleh tim lapangan untuk menemukan kawasan dengan kotoran terbanyak (‘hotspots’).
Tahap kedua adalah mengumpulkan sampel dari kawasan tersebut. Berikut ini adalah langkah-
langkah untuk mengumpulkan DNA dari sampel feses seperti yang dipaparkan oleh Hedges
(2012).

3. Survei Pendahuluan: Mengevaluasi


kawasan hotspot potensial
a. Sebelum memulai mengumpulkan sampel DNA, survei pendahuluan harus dilakukan
sebagai dasar untuk survei konsentrasi feses.

244
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

b. Survei konsentrasi feses akan dilakukan di area hotspot spesies. Untuk memperoleh
informasi tersebut, pemodelan okupansi standar berdasarkan survei tanda harus
dilakukan.
c. Survei pendahuluan dapat dilaksanakan menggunakan sel petak 2 x 2 km yang
mencakup seluruh kawasan survei.
d. Salah satu tujuan adalah untuk mengetahui apakah kawasan memiliki jumlah kotoran
segar dan cukup segar yang memadai di hotspot potensial.
e. Setiap koordinat lokasi kotoran yang ditemukan dicatat di lembar data standar.

4. Survei Konsentrasi Feses dalam


Kerangka Kerja Capture-Recapture
a. Direkomendasikan untuk memusatkan pengambilan sampel hanya di area hotspot
yang teridentifikasi melalui survei pendahuluan. Hotspot dapat dibagi menjadi petak
pencarian untuk membuat survei teknis dan manajemen data lebih efisien.
b. Setiap periode pengambilan sampel memiliki durasi pencarian ~2 minggu (Hedges
2012), dan terhitung sebagai satu occasion. Proses pencarian dan pengumpulan harus
diulang di lokasi yang sama minimal tiga occasion (tetapi lima lebih baik) yang terpisah
oleh interval waktu 5–10 hari.
c. Setiap occasion pengambilan sampel harus dilakukan dalam durasi yang sama tanpa
jeda yang panjang (>10 hari) di antaranya dengan tujuan untuk memenuhi asumsi
populasi tertutup.
d. Hanya kumpulkan sampel DNA dari kotoran yang segar dan cukup segar. Kriteria
kotoran: 1) Segar: lembap dan berat dengan permukaan berlendir dan licin. Biasanya
dikelilingi oleh lalat/serangga. ii) Cukup segar: lebih dari setengah kotoran masih
utuh. Kotoran belum terdegradasi dan tidak menunjukkan tanda pertumbuhan fungi
atau ditempati oleh serangga.

Pengumpulan dan Preservasi Sampel DNA Feses


a. Hanya satu sampel yang dikoleksi dari permukaan luar setiap tumpukan kotoran
dengan memilih bagian yang paling utuh dan segar. Ambil beberapa sampel (2–3) per
ruang jelajah satwa.
b. Setelah pengoleksian sampel, hancurkan tumpukan kotoran yang tersisa untuk
mencegah pengulangan pengambilan sampel secara tidak sengaja pada periode
berikutnya.

245
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

c. Masukkan sampel ke dalam falcon tube, tutup, dan labeli dengan nomor sampel dan
koordinat geografis, tempatkan tabung sampel ke dalam kantung plastik self-sealing
dan labeli dengan nomor sampel.
d. Sampel rambut, jika ditemukan, harus diletakkan di dalam amplop kering dan bersih,
dilabeli, dan dijaga kekeringannya.
e. Sampel harus disimpan dalam freezer hingga siap untuk dikirimkan ke laboratorium
DNA.
f. Catat sampel DNA pada lembar data standar.

Manajemen dan Persiapan Data


1. Data dari Lapangan
Terdapat dua tipe lembar data untuk dilengkapi di lapangan: lembar data survei hotspot
dan lembar data pengumpulan sampel. Serupa dengan lembar data survei kamera jebak, lokasi
dicatat pada lembar data dalam proyeksi geografis dan tanggal dicatat menggunakan format
ISO YYYY-MM-DD.

2. Penyimpanan dan Pengaturan Data Mentah


Data input untuk analisis SECR menggunakan dua tipe data: trap input dan capture
input. Lihat Lampiran 4 untuk contoh rinci mengenai berkas trap dan capture. Berkas input
trap menyediakan informasi mengenai lokasi jebakan dan durasi saat jebakan (kamera) aktif
(diindikasikan oleh 1) dan nonaktif (diindikasikan oleh 0). Berkas input capture menyediakan
informasi mengenai individu teridentifikasi yang tertangkap dan tertangkap kembali. Berkas
capture juga dapat ditambahkan kovariat, seperti jenis kelamin dan usia individu satwa.

Analisis Data
1. Data dari Tipe Survei yang Berbeda
Terdapat banyak skema pengambilan sampel yang dapat menghasilkan tipe data
capture-recapture untuk analisis. Contoh klasiknya adalah dengan menangkap satwa secara
fisik, kemudian memberikan penanda fisik (seperti klip rambut atau lubang). Hal ini tidak
direkomendasikan untuk sebagian besar spesies terancam punah, memiliki kepadatan rendah,
dan sulit ditemukan/dilihat yang ada di kawasan tropis. Sebagai gantinya, pengumpulan data
‘menangkap’ melalui foto dan DNA dilakukan untuk memberikan individu sebuah penanda
identifikasi. Dari data kamera jebak, satwa dengan penanda fisik seperti pola loreng atau bintik di

246
Bab 9
SURVEI DAN INVENTARISASI POPULASI

tubuhnya dapat diidentifikasi. Untuk satwa yang tidak memiliki ciri tersebut, DNA merupakan
pendekatan alternatif. Sampel DNA dianalisis menggunakan metode genotyping standar yang
melibatkan amplifikasi DNA melalui polymerase chain reactions (PCR) dan sequencing untuk
mengidentifikasi individu yang secara genetis berbeda. Ketika sampel sudah diidentifikasi,
individu dapat diberikan kode unik dan riwayat tangkapan, kemudian waktu pengumpulan
sampel dimasukkan ke dalam tabel menggunakan prosedur yang mirip untuk data kamera
jebak SECR.
Terdapat tiga tipe data input yang dibutuhkan untuk analisis data di SECR, terlepas dari
skema pengumpulan sampel yang dilakukan: trap, capture, dan mask. Data trap menyediakan
infomasi mengenai lokasi penjebak dan periode pengumpulan sampel. Data capture berisi
informasi mengenai riwayat capture dan recapture individu satwa dan informasi terkait lainnya
seperti jenis kelamin atau kovariat situs yang dicatat dan dipertimbangkan dalam analisis. Data
mask menyediakan informasi mengenai area habitat atau nonhabitat dalam jarak tertentu dari
area pengumpulan data.

2. Kerangka Kerja Analisis


Analisis dapat dilakukan melalui kerangka kerja statistik frekuentis atau Bayesian. Dalam
kerangka kerja frekuentis, umumnya digunakan R package ‘secr’ (Efford 2015) dengan
perangkat lunak statistik R yang mencakup semua fungsi yang terdapat pada program komputer
DENSITY (Efford et al. 2004). Untuk kerangka kerja Bayesian, package R ‘SPACECAPE’
(Jathanna et al. 2013) dapat digunakan melalui GUI (Graphical User Interface) yang mudah
bagi pengguna. Untuk analisis yang lebih kompleks, pengguna perlu menggunakan pemodelan
Bayesian melalui R package ‘rjags’ (Plummer et al. 2016).

247
BAB 10
IN-SITU VS EX-SITU
Di habitat alam anoa memiliki wilayah jelajah yang luas, tersedia berbagai jenis
tumbuhan pakan, air tersedia untuk berendam dan berkubang, tempat berlindung
alami serta interaksi sosial yang juga berlangsung alami. Kemampuan bertahan hidup
anoa di alam terbentuk sejak dini, sejak lahir. Sesaat setelah lahir sampai masa sapih,
induk anoa mengajar anaknya bermacam keterampilan dan kemampuan untuk bertahan
hidup di alam. Kemampuan itu termasuk kemampuan mencari makan, minum dan
berlindung serta menghindar dari predator. Di alam anak anoa yang mulai tumbuh
menjadi anoa muda melakukan bermacam perilaku, bermain, menanduk dan berlari
bebas di habitatnya.
Dalam interaksi anak dengan induk anoa, interaksi dalam populasi sesungguhnya
terselip pelajaran dan keterampilan untuk bertahan hidup (survive) di alam liar. Sejak dini
anak anoa belajar memilih dan membedakan jenis tumbuhan mana yang dapat dimakan
dengan melatih penciuman, lidah, indera perasa, dan penglihatannya. Demikian pula
dengan kebutuhan air dan tempat berlindung termasuk bagaimana mempertahankan
diri, bertarung, dan berintekasi dengan individu lain. Anak anoa juga belajar dan
mengasah ketajaman inderanya bagaimana menghindar dari predator, termasuk belajar
mengenali suara dan peringatan dari anoa lain atau bahkan satwa lain di habitatnya
bila ada bahaya, alarm call. Induk anoa adalah yang pertama mengajarkan anaknya
untuk bertahan hidup. Anak bersama dengan induknya selama 1–2 tahun, setelah itu
baru disapih. Selama waktu itu anak belajar dan induk mengajari dengan perilaku dan
naluriah alami (parenting behaviours).
Anak anoa belajar bertahan hidup dengan meniru perilaku induknya. Anoa dewasa
sering berlatih menanduk batang pohon dan mengasah tanduknya. Perilaku ini ditiru
anak anoa menanduk batang atau pangkal pohon yang dimulai dari pohon kecil.
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Kadang ditemukan bekas-bekas tandukan anoa pada batang tumbuhan banbangan yang dalam
bahasa Tolaki disebut onena (Donax cunnaeformis) dan tumbuhan lain. Onena sejenis herba,
batangnya tidak berkayu namun cukup keras, bulat, berdiamater 1–2 cm. Selain menanduk
bagian batang, anoa juga berlatih menanduk buah onena yang berbentuk bulat kecil, kulit
licin, seukuran kelereng. Anoa berlatih menanduk buah atau batang onena, melatih ketepatan,
kecepatan dan ketajaman menanduk, melatih keterampilan dan kemampuan yang diperlukan
untuk bertahan hidup. Apabila seekor anoa muda dapat membelah buah buah onena yang
kecil dan keras itu dengan tanduknya, pertanda bahwa anoa itu sudah memiliki kemampuan
dan keterampilan yang cukup untuk mempertahankan diri. Kemampuan ini diperlukan anoa
dalam perjalanan panjang hidupnya di alam yang penuh persaingan.
Di alam, anak anoa jantan lebih lama bersama dengan induknya, atau disapih lebih
lambat. Hal ini terkait dengan perilaku induk dalam mengajari anak berbagai keterampilan dan
perilaku. Anoa jantan lebih banyak menghadapi persaingan terutama dalam menjelajahi wilayah
jelajahnya (home range), mendapatkan makanan, minum, tempat berlindung, meloloskan diri
dari pemangsa serta bertarung sesama jantan dewasa memperebutkan betina saat musim kawin.
Anoa betina juga memiliki tanduk yang sama dengan anoa jantan, dan sering dipergunakan
dalam pertarungan dan mempertahankan diri dari predator. Bahkan ketika musim kawin, anoa
jantan dan betina kadang saling menanduk.
Hal-hal semacam ini, yaitu perilaku di alam bebas hendaknya menjadi pertimbangan
dalam hal pemeliharaan anoa di kandang, keterampilan alam yang dimiliki anoa in-situ tidak
dimiliki anoa ex-situ. Terutama kemampuan bertahan hidup dan membela diri. Wilayah jelajah
yang luas, induk membawa dan mengajar anak bertahan hidup, tidak didapatkan pada anoa
ex-situ. Sehingga dapat dipastikan survival anoa hasil penangkaran atau yang lahir di captive
pasti lebih rendah, bahkan tidak memilikinya sama sekali. Apabila anoa ex-situ ditujukan untuk
release atau restocking ke habitat alam, akan sulit berhasil sebagaimana yang diharapkan. Anoa
hasil penangkaran dapat ditangkap dengan mudah bahkan tanpa usaha oleh pemburu atau
predator (terutama ular python). Anoa hasil penangkaran sudah terbiasa dengan manusia,
sehingga naluri menghindar atau meloloskan diri tidak terasah.
Selain kemampuan alam yang luar biasa, anoa in-situ juga mendapatkan berbagai macam
makanan di hutan berupa daun, buah, bunga, sehingga asupan nutrisi lebih lengkap, yang
bersifat saling melengkapi (complementary effect). Karena itu populasi anoa in-situ lebih sehat.
Anoa yang lahir di habitat aslinya tumbuh menjadi anoa dewasa yang memiliki otot dan
kemampuan jelajah yang kuat. Di alam anoa mencari kebutuhan hidup di habitatnya yang luas
yang terdiri dari hutan dataran rendah, pegunungan, pantai, rawa, danau, sungai. Kemampuan
ini dimiliki oleh oleh anoa yang lahir dan besar di alam. Sementara anoa di kandang tidak
memiliki kemampuan alami seperti ini.

250
Bab 10
IN-SITU VS EX-SITU

Anoa di alam dipastikan memiliki tubuh yang lebih sehat, daya bertahan yang lebih kuat,
keterampilan mencari pakan alami lebih tinggi, dan daya adaptasi yang lebih baik dibanding
dengan anoa yang dari kecil dipelihara di lingkungan manusia. Karena itu populasi anoa
di alam memiliki segala kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh satwaliar. Sifat dan karakter
liar harus tetap terjaga dengan baik karena itulah yang membedakannya dengan populasi satwa
ex-situ atau satwa captive yang tumbuh dan besar di lingkungan habitat buatan manusia. Untuk
selanjutnya dalam tulisan ini anoa ex-situ akan disebut anoa captive.
Anoa ex-situ dapat digunakan sebagai satwa penelitian terutama yang terkait reproduksi,
siklus birahi, periode kehamilan, aspek kesehatan yang memerlukan observasi dari dekat.
Demikian pula yang terkait pendidikan dan pengenalan satwa dari jarak dekat untuk masyarakat
umum dan siswa sekolah. Anoa ex-situ dapat dilihat secara langsung karena itu anoa ex-situ
dapat menjadi show window untuk mengenalkan anoa kepada masyarakat luas.
Anoa ex-situ tidak memiliki kemampuan alami memilih pakan yang ada di hutan, mencari
minum, dan berlindung. Di alam satwa tidak hanya perlu makan dan minum tetapi juga perlu
kemampuan melakukan interaksi sosial, baik sesama jenis, intraspecific, mapun yang berbeda
jenis, interspecific.
Ada sebagian yang berpendapat bahwa sebelum dilakukan pelepasliaran atau restocking
maka dilakukan habituasi di alam karena itu perlahan anoa ex-situ dapat beradaptasi. Proses
adaptasi tidak akan berlangsung hanya dalam waktu 1–2 tahun, tetapi sejak awal kelahiran
sampai dewasa, anoa dan satwaliar lain belajar beradaptasi. Suatu hal yang tidak didapatkan
oleh anoa ex-situ yaitu anak belajar dari induk dan induk mengajari anaknya di habitat alam
secara langsung bertahan di alam seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam beberapa
perilaku (epimeletik, et-epimeletik, agonistik, ingestif, shelter seeking, anti-predator, alarm call).
Anak anoa tidak hanya belajar dari induknya tetapi belajar dari individu anoa lain (intra-spesies)
di habitatnya, dan juga dari spesies lain yang simpatrik (inter-spesies).
Saat memasuki usia dewasa kelamin, anoa akan mulai memilih pasangan, baik jantan
mapun betina. Anoa ex-situ akan kalah bersaing dengan anoa liar dalam memilih pasangan,
karena kemampuan alam yang memang sudah dimiliki dan diasah dari kecil oleh individu-
individu anoa alam. Anoa di alam memiliki kemampuan bertarung yang dilatih sejak dini,
mengasah tanduk, dan menghindar dari predator. Saat musim kawin, pada masa estrus, anoa
akan bersaing, terutama jantan dalam memilih pasangan. Persaingan dalam mendapatkan
pasangan didahului pertarungan yang dapat mengakibatkan luka serius bahkan tidak jarang
berujung pada kematian anoa. Dalam kondisi seperti itu anoa yang lahir dan besar di alam liar
lebih unggul karena memiliki keterampilan dan kemampuan alam yang diperlukan dibanding
dengan anoa ex-situ.

251
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Pada dasarnya satwa yang berada di kandang akan stres karena ditempatkan pada habitat
yang sangat berbeda dengan habitat alaminya yaitu hutan tropis yang kaya akan sumberdaya
yang dibutuhkan satwa. Ketika satwa ‘ditawan’ oleh manusia dan di tempatkan di kandang,
maka habitat, wilayah jelajah dan makanan alami tidak tersedia karena kandang membatasi
segalanya.
Hal lain yaitu dalam biaya pengelolaan. Populasi anoa ex-situ membutuhkan biaya yang
jauh lebih besar dibanding dengan pengelolaan populasi anoa in-situ. Dalam pengelolaan
populasi berbasis perlindungan ekosistem, maka seluruh populasi dari bermacam spesies akan
terlindungi, baik satwa maupun tumbuhan dari ratusan bahkan ribuan spesies. Selain itu jasa
lingkungan, sumber air berupa sungai, danau, rawa, mata air, air terjun dan udara yang sehat
dengan sendirinya terlindungi. Masyarakat di sekitar hutan juga dapat merasakan manfaat
adanya hutan yang sehat. Sumberdaya hayati dari hutan tetap dapat dinikmati, termasuk kayu
dan non kayu serta tumbuhan berkhasiat obat. Demikian pula dengan masyarakat umumnya,
dengan adanya hutan yang terlindungi, maka daerahnya akan terbebas dari bencana banjir
dan kekeringan. Keuntungan selanjutnya yaitu dengan adanya hutan alam yang terjaga maka
aliran sungai dan DAS terjaga dengan baik. Karena itu bendungan yang dibangun dengan biaya
mahal dapat dimanfaatkan dalam dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dibangun
sistem irigasi yang baik untuk mengairi areal pertanian yang luas untuk meningkatkan
ekonomi masayarkat. Demikian pula dengan PLTA dapat dibangun dan dipakai untuk jangka
panjang karena adanya ekosistem hutan yang sehat. Pendangkalan akibat sedimentasi karena
penggundulan hutan dan berkurangnya tutupan di kawasan hulu dan di sepanjang aliran
sungai adalah masalah serius yang dihadapi banyak bendungan saat ini. Akibat sedimentasi,
umur pakai bendungan berkurang, tidak sesuai dengan umur teknis yang direncanakan ketika
awal dibangun.
Dengan ekosistem yang sehat, hutan yang terjaga dengan baik, jasa lingkungan air dan
udara yang dapat dinikmati, sesungguhnya masyarakatnya juga sehat. Dengan masyarakat yang
sehat, produktivitas akan meningkat, dan anggaran negara tidak banyak dialokasikan untuk
mensubsidi kesehatan. Anggaran negara dapat dipakai untuk hal lain yang lebih dibutuhkan.
Dengan pendekatan pengelolaan kawasan hutan berbasis pelestarian ekosistem, in-situ, akan
muncul efek guna yang lain, multiplier effect.
Anoa, babirusa, babi hutan dan satwa lain adalah bagian penting dari ekosistem hutan
di Sulawesi yang menjaga regenerasi tumbuhan, keseimbangan dan kestabilan ekosistem.
Keindahan lingkungan (estetika) dan kewajiban moral manusia untuk menjaga sumberdaya
hayati (etika) berjalan seiring. Oleh karena itu, perlindungan populasi in-situ adalah yang
terbaik.

252
BAB 11
KONSERVASI ANOA
Anoa sudah lama dilindungi undang-undang bahkan sebelum negeri ini merdeka,
Pemerintah Hindia Belanda melindungi satwa ini berdasarkan Peraturan Perlindungan
Binatang Liar Tahun 1931. Berdasarkan IUCN Red List anoa termasuk dalam kategori
endangered species, yaitu spesies yang akan punah dalam waktu dekat apabila tidak
segera dilakukan tindakan konservasi. Anoa terdaftar dalam Appendix I CITES, yaitu
satwa yang tidak boleh ditangkap, dibunuh dan diperdagangkan, baik dalam keadaan
utuh maupun bagian-bagiannya tanpa izin dari pihak berwenang.
Perburuan liar merupakan hal yang paling serius dalam hal pelestarian anoa.
Satwa khas Sulawesi ini diburu untuk dikonsumsi dagingnya serta tanduknya
dijadikan trofi. Berbeda halnya dengan babirusa dan babi hutan Sulawesi yang
diburu dan dikonsumsi oleh golongan tertentu, daging anoa dikonsumsi semua
golongan etnis dan dari berbagai latar belakang agama, sehingga lebih rentan
akan perburuan liar.
Anoa diburu dengan berbagai cara, yang paling sering adalah penggunaan jerat kaki
yang disebut dudeso. Jerat ini dipasang di sekitar kebun yang berbatasan dengan hutan
serta di kawasan hutan yang cukup jauh lokasinya dari kampung, baik hutan lindung
maupun hutan konservasi. Penggunaan dudeso dapat dijumpai di seluruh Sulawesi,
terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Target utama jenis jerat ini adalah
mamalia besar seperti babi hutan, babirusa, anoa. Dudeso tidak selektif, satwa apa
saja yang lewat akan terkena, termasuk satwa langka dan dilindungi seperti anoa dan
babirusa. Biasanya jerat dipasang di sepanjang lintasan satwa, di sekitar mata air yang
biasa dikunjungi satwa, di sekitar tempat berkubang anoa, di bawah pohon yang sedang
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

berbuah terutama berbagai jenis beringin (Ficus spp.), dongi (Dillenia serrata, D.ochreata,
D.celebica), rao (Dracontomelon dao, D. mangiferum), toho (Artocarpus sp.) dan berbagai jenis
tumbuhan yang buahnya dimakan anoa dan sering didatangi anoa.
Dudeso dipakai oleh pemburu baik yang profesional maupun berburu yang sifatnya
sampingan. Pemburu profesional adalah mereka yang pekerjaan utamanya adalah berburu
untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pemburu sampingan adalah mereka yang memiliki
pekerjaan utama bukan berburu, umumnya adalah petani yang memiliki kebun berdekatan
dengan hutan atau berbatasan langsung dengan hutan. Mamalia besar seperti anoa, babi hutan
sering keluar hutan ke areal perkebunan mencari makan. Dalam kondisi seperti itu, jerat kaki
sering dipasang di sepanjang batas kebun dan hutan, atau pada lintasan satwa yang mudah
dikenali dari jejak kaki dan fesesnya.
Berburu dengan bantuan anjing serta alat berupa tombak dan parang juga biasa dilakukan
oleh penduduk sekitar hutan seperti yang terjadi di sekitar Gunung Mambulilling dan Gunung
Gandang Dewata di Mamasa Sulawesi Barat. Satu kelompok pemburu dalam satu kali berburu
dengan waktu sekitar 10–14 hari, dapat menangkap sekitar 2–3 ekor anoa atau babi hutan.
Ketika populasi anoa masih cukup banyak serta kawasan hutan habitat anoa masih cukup
baik sekitar 1970-an dan 1980-an, bahkan satu kelompok pemburu dapat menangkap belasan
ekor anoa sekali berburu. Hasil buruan sebagian besar dijual ke tetangga terdekat dan sebagian
dikonsumsi sendiri.
Di Desa Tinukari, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara tercatat sekitar sepuluh
kelompok pemburu yang jumlah anggotanya 3–7 orang setiap kelompok. Mereka berburu anoa,
yang habitatnya adalah hutan lindung pegunungan Mekongga. Musim berburu berlangsung
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan atau pada musim kemarau. Dipilihnya musim
kemarau untuk berburu karena pada periode itu sumber air di hutan terbatas, hanya terdapat
di sungai atau mata air. Pemburu memanfaatkan kebiasaan anoa mengunjungi sumber air
untuk minum, di sekitar sungai. Para pemburu membuat tenda atau pondok di pinggir sungai.
Mereka tinggal disitu selama sekitar 9–10 hari.
Pemburu menggunakan tombak, parang dan anjing. Anoa yang kehausan akan mendekati
air. Anjing yang terlatih dapat dengan mudah mendeteksi kehadiran anoa dengan bau yang
khas. Segera setelah anoa terdeteksi oleh penciuman tajam anjing pemburu, anoa diburu oleh
beberapa ekor anjing. Anjing pemburu akan terus mengejar sampai anoa kehabisan tenaga,
lemah dan akhirnya akan terpojok pada lokasi tertentu. Pada saat itu anjing masih terus
menghampiri dan bahkan menggigit bagian tubuh anoa sampai anoa akan kehabisan seluruh
daya. Setelah itu, para pemburu mulai menghampiri anoa yang sudah tidak berdaya. Pemburu
menangkap anoa dengan tangan kosong, memegang kedua bilah tanduknya, dan secepat kilat
memotong bagian leher dan anoa mati seketika.

254
Bab 11
KONSERVASI ANOA

Satu kelompok pemburu dapat menangkap 3–7 ekor anoa, sehingga apabila terdapat
sepuluh kelompok pemburu maka akan tertangkap sebanyak 30–70 ekor anoa, suatu jumlah
yang sangat banyak. Angka itu hanya untuk satu desa itu, desa Tinukari. Anoa yang tertangkap
lalu dipotong. Setelah itu, tubuh anoa dipotong beberapa bagian, kaki, paha, leher, kepala,
badan, dan bagian isi atau jeroan, semuanya diambil. Potongan potongan tubuh anoa kemudian
diasap dan dipanggang di atas bara api agar daging awet. Setelah jumlah anoa buruan telah
mencukupi, para pemburu pulang ke desa, potongan tubuh dan daging anoa yang telah diasap
dimasukkan ke dalam karung dan dipikul untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Di desa ini, daging anoa hasil buruan melengkapi acara keagamaan, Hari Raya Idul Fitri.
Daging anoa disajikan dalam acara tersebut, sebagai sumber protein hewani untuk keluarga
pemburu. Daging anoa juga sebagian dijual kepada tetangga.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa sebanyak 742 ton per tahun diperoleh pemburu
ilegal di seluruh Sulawesi. Dari jumlah tersebut 90% adalah babi hutan Sulawesi, diikuti anoa
sebanyak 4% (284 individu), rusa timor (3,7%), dan babirusa (1%), dan monyet hitam Sulawesi
sebanyak 0,5% (Rejeki 2018). Meskipun hanya 4% dari total satwaliar yang diburu di Sulawesi,
tetapi jumlah ini termasuk sangat tinggi yaitu 284 ekor anoa ditangkap setiap tahun di seluruh
Sulawesi. Jumlah satwa yang diburu sebenarnya masih lebih tinggi karena masih banyak lokasi
yang belum terdata, terutama di Gunung Gandang Dewata dan Mambulilling di Mamasa
Sulawesi Barat. Pengakuan dari seorang pemburu senior di kaki Gandang Dewata bahwa
sejak dia aktif berburu pada tahun 1960-an sampai sekitar tahun 2005, dia sudah menangkap
ratusan bahkan menurut pengakuannya sudah ribuan ekor anoa yang ditangkapnya bersama
dengan kelompok pemburu di kawan itu. Demikian pula dengan pengakuan seorang pemburu
senior di Tanjung Amolengo dan Tanjung Peropa, yang sudah ratusan ekor anoa yang pernah
ditangkap sejak tahun 1950-an.
Di Pulau Buton, koleksi tanduk anoa yang ada di masyarakat cukup tinggi, termasuk
tengkorak dan tanduk yang diukur morfometrisnya oleh Kurniawan (2010) di mana sebanyak
17 kepala dan tanduk anoa yang terdapat di masyarak di desa kecil dekat Lambusango Buton.
Penulis berkesempatan mengunjungi Morowali yang terletak di bagian timur Sulawesi Tengah
tahun 2016. Hasil wawancara dan bukti tengkorak anoa hasil buruan menunjukkan jumlah
yang signifikan. Perburuan anoa masih berlangsung sampai hari ini. Di suatu desa kecil di
ujung selatan Sulawesi Tenggara, Amolengo, penulis mencatat sebanyak 16 ekor anoa yang
tertangkap masyarakat berdasarkan tengkorak yang ada pada 1995 serta 6 ekor anoa tertangkap
dalam periode 2003–2005 dari kawasan Tanjung Peropa. Angka itu lebih rendah dari yang
sebenarnya karena masih banyak aktivitas perburuan yang tidak terdeteksi.

255
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Di kecamatan Pinogu yang merupakan enclave Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,
Sulawesi Utara, pemburuan anoa cukup tinggi sebagaimana yang dilaporkan oleh Rahman
(2001) yang mencatat 10 tengkorak dan tanduk anoa yang diukur morfometrisnya di daerah ini.
Dalam banyak kasus, penggunaan senjata api oleh oknum juga masih terjadi, bahkan cenderung
meningkat akhir-akhir ini. Mereka berburu pada malam hari menggunakan kendaraan dan
lampu sorot. Berburu di sepanjang jalan desa atau kampung yang berada di sekitar hutan.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 11.1 Perburuan anoa masih terus terjadi: (a) kaki anoa yang luka akibat jerat,
(b) fetus anoa dari induk yang tertangkap kemudian dibunuh oleh penduduk
sekitar hutan, (c) kepala anoa yang tertangkap di Teluk Kolono ketika sedang
berenang (Foto Abdul Haris Mustari), dan (d) perburuan anoa di Sulawesi
Tengah (Foto M. Basri)

256
Bab 11
KONSERVASI ANOA

Gambar 11.2 Perburuan dan perdagangan ilegal satwaliar di Sulawesi Utara (Foto Lynn Marion
Clayton)

Selain perburuan, deforestasi dan degradasi habitat mengancam kelestarian anoa. Habitat
anoa berupa hutan primer dikonversi untuk berbagai alasan dan keperluan seperti perkebunan,
pertambangan, pemukiman serta pembuatan jaringan. Kehidupan anoa sangat bergantung pada
hutan primer, sehingga hilangnya hutan primer menyebabkan menurunnya populasi anoa.
Anoa dan beberapa satwa endemik Sulawesi telah lama menjadi duta yang memperkenalkan
pulau yang kaya keanekaragaman hayati ini di tingkat nasional dan internasional. Hanya
dengan melihat anoa baik itu di kebun binatang atau di taman safari, atau mungkin hanya
dengan mendengar nama anoa, maka ingatan seseorang akan langsung tertuju pada suatu pulau
di kawasan timur Indonesia, yaitu Sulawesi. Seseorang bahkan mungkin tidak mengenal nama-
nama pejabat penting di Sulawesi, tetapi orang pasti mengenal dan tahu bahwa habitat asli anoa
adalah di Sulawesi. Dengan demikian sebenarnya anoa telah menjadi duta yang sukses untuk
mengenalkan pulau di kawasn timur nusantara ini. Perhatian internasional banyak tertuju ke
Sulawesi karena kekayaan hayatinya, termasuk anoa di dalamnya.
Namun demikian kesadaran untuk melindungi anoa masih rendah. Diperlukan upaya
yang sungguh-sungguh untuk melindungi anoa dari kepunahan. Anoa menjadi satwa kunci
(key species) dan satwa payung (umbrella species) untuk konservasi di Sulawesi. Dengan

257
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

melindungi anoa maka pada hakekatnya melindungi seluruh kekayaan hayati Sulawesi. Anoa
memiliki wilayah jelajah yang luas, menghuni hutan primer dan sangat peka akan kehadiran
manusia, maka keberadaan anoa pada suatu kawasan hutan dapat dijadikan indikasi bahwa
hutan tersebut tergolong sehat. Dengan melindungi anoa di habitat aslinya, in-situ, maka pada
dasarnya melindungi banyak spesies asli Sulawesi. Karena itu biaya konservasi lebih murah.
Anoa memiliki sejarah evolusi yang sangat panjang, satwa ini telah menghuni hutan-hutan
di Sulawesi jutaan tahun lamanya, jauh sebelum manusia pertama menginjakkan kakinya
di pulau ini. Anoa telah menjadi duta dan maskot Sulawesi dan pulau ini dikenal karena
kekayaan hayatinya, keunikan dan satwa dan tumbuhannya. Banyak pelancong ingin melihat
kekhasan alam Sulawesi termasuk keunikan satwanya dan anoa menjadi daya tarik yang
sangat tinggi. Karena itulah kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk melindunginya dari
kepunahan. Biarkan anoa hidup dan melanjutkan proses evolusinya, melanjutkan generasinya,
sebagai mahluk ciptaan Tuhan, sama halnya dengan manusia. Secara moral manusia tidak
berhak mengganggu kehidupan anoa apalagi menyebabkannya punah.
Anoa berperan penting dalam regenerasi hutan. Makanan anoa adalah berbagai jenis
tumbuhan termasuk berbagai jenis buah yang jatuh ke lantai hutan. Buah yang dimakan,
bizinya akan keluar bersama kotorannya, kemudian biji berkecambah dan tumbuh kemudian
dewasa dan pada gilirannya akan menghasilkan pohon buah kembali. Demikian seterusnya,
di sinilah siklus kehidupan terjadi dan regenerasi hutan berlangsung. Biji yang keluar bersama
kotoran anoa memiliki daya kecambah yang tinggi. Demikian pula dengan buah dan biji yang
dimakan terlebih dahulu oleh satwa seperti burung, kuskus, musang, monyet hitam, babi hutan
dan babirusa. Manfaat yang tidak kalah pentingnya yaitu anoa sebagai kerabat dekat kerbau
dan sapi berpotensi sebagai ‘gene pool’ satwa ternak.

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi


Seluruh kawasan hutan yang menjadi habitat anoa seperti tersebut di atas penting dilindungi
untuk menjaga kelangsungan populasi anoa yang sehat. Semua kawasan di mana terdapat anoa
dikelola dengan baik. Akan tetapi dalam rangka melakukan pengelolaan yang efektif maka
ditetapkan kawasan prioritas dalam pengelolaan habitat dan populasi anoa serta keterlibatan
para pihak dalam upaya pelestarian anoa. Kawasan prioritas dipilih berdasarkan pertimbangan
keterwakilan variasi genetik populasi dan sub populasi, ketersambungan tutupan hutan, dan
keberadaan pengelola kawasan. Terdapat 14 kawasan prioritas (PerMenhut Nomor P.54 2013)
pada berbagai propinsi atau wilayah di Sulawesi. Ke-14 kawasan prioritas tersebut sebagaimana
tercantum pada Tabel 11.1 berikut.

258
Bab 11
KONSERVASI ANOA

Tabel 11.1 Kawasan prioritas pengelolaan habitat dan populasi anoa di Sulawesi
Region/Provinsi Nama dan status kawasan hutan
Sulawesi Bagian Utara 1. TN Bogani Nani Wartabone dan kawasan hutan di sekitarnya
dan Gorontalo (Bogani Nani Wartabone connected area)
2. SM Nantu-Boliyohuto, Cagar A Pegunungan Sojol,
CA Gn. Dako (Nantu-Boliyohuto-Sojol-Gn. Dako connected area)
Sulawesi Bagian Tengah 3. TN Lore Lindu
dan Timur 4. CA Morowali
5. CA Bakiriang
6. SM Lombuyan dan hutan Pangimanan (Lombuyan-Pangimanan
connected area)
Sulawesi Barat dan 7. Kawasan HLPegunungan Latimojong dan Rantemario
Sulawesi Selatan bagian 8. TN Gunung Gandang Dewata dan Gunung Mambulilling
utara dan kawasan HL Pegunungan Takolekaju (Gandang Dewata-
Mambulilling-Takolekaju connected area)
Sulawesi Bagian 9. SM Tanjung Peropa
Tenggara 10. HL Pegunungan Mekongga dan Pegunungan Matarombea
(Mekongga-Matarombea connected area)
11. CA Faruhumpenai dan HL Pegunungan Verbek
12. TN Rawa Aopa Watumohai
Pulau Buton 13. SM Lambusango
14. CA Buton Utara

Untuk mengoptimalkan upaya konservasi anoa maka disusun Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Anoa (SRAK Anoa) sebagaiman yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.54/Menhut-II/2013 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus
depressicornis dan Bubalus quarlesi). Meskipun pelaksanaan SRAK Anoa memiliki periode
waktu tertentu, namun sesungguhnya program dan kegiatan yang tercantum di dalamnya
dapat dilakukan untuk jangka waktu yang panjang dan berkesinambungan dan menjadi
pedoman dalam upaya konservasi anoa. Kerangka logis (logical framework/logframe) SRAK
Anoa sebagaimana tercantum pada Tabel 11.2 mencakup program, sasaran, kegiatan, indikator
kinerja, tata waktu, dan penanggungjawab/pelaksana. SRAK Anoa terdiri dari delapan program
yaitu:

259
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

1. Program pengendalian perburuan


dan perdagangan illegal
Sasaran dari program ini yaitu terkendalinya perburuan dan perdagangan ilegal di dalam
dan di luar kawasan konservasi. Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu:
1) Meningkatkan sadar hukum publik melalui pendidikan lingkungan
2) Mengidentifikasi kelompok masyarakat dan simpul- simpul aktivitas perburuan dan
perdagangan anoa
3) Melakukan patroli reguler yang terstandar dengan melibatkan para pihak sebagai
tindakan pengawasan terhadap kegiatan perburuan dan perdagangan anoa.

2. Program pengelolaan populasi di alam


Sasaran dari program ini yaitu terwujudnya populasi anoa yang stabil. Untuk itu perlu
dilakukan:
1) Survei dan monitoring populasi dan sebaran anoa dengan menggunakan pedoman
yang terstandar
2) Pemetaan genetik dan struktur populasi serta kajian parameter populasi (natalitas,
mortalitas, sex rasio, serta struktur umur).
3) Kajian untuk pelepasliaran atau translokasi anoa yang mengalami konflik atau
anoa yang hidup pada kawasan yang terfragmentasi yang tidak viable dalam jangka
panjang
4) Menyusun Best management practices (BMP) bagi pengelolaan anoa di luar kawasan
konservasi (seperti di kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan areal penggunaan
lain)

3. Program pengelolaan habitat


Sasaran dari program ini yaitu tersedianya habitat yang sesuai bagi anoa, yaitu tersedianya
ruang, makanan, air dan tempat berlindung melalui kegiatan patrol dan monitoring. Untuk
mencapai sasaran tersebut maka dilakukan:
1) Pengamanan habitat anoa melalui kegiatan patroli, monitoring, dan penegakan hukum
dan keterlibatan masyarakat lokal
2) Pembinaan habitat melalui rehabilitasi atau restorasi
3) Pembinaan habitat berbasis lansekap

260
Bab 11
KONSERVASI ANOA

4. Program peningkatan peran lembaga konservasi


Sasaran dari program ini yaitu lembaga konservasi berperan dalam upaya konservasi anoa.
Kegiatan yang dilakukan yaitu:
1) Menetapkan studbook keeper anoa
2) Training studbook, managemen populasi, husbandry bagi staf setiap lembaga konservasi
yang memiliki anoa sebagai salah satu spesies koleksinya
3) Skreditasi lembaga konservasi
4) Standardisasi pengelolaan anoa eksitu, dan melakukan optimalisasi fungsi Pusat
Rehabilitasi Satwa (PRS) anoa di kawasan sub populasi untuk merehabilitasi anoa
hasil sitaan dan/atau hasil pengembalian oleh masyarakat

5. Program pembangunan sistem pangkalan data


Sasaran dari program ini yaitu tersedianya data yang kuat sebagai dasar untuk mendukung
keputusan pada semua tingkat manajemen dan diperbaharui secara regular. Kegiatan untuk
mencapai sasaran tersebut yaitu:
1) Menyusun dan menyediakan perangkat lunak (software) dan perangkat keras
(hardware)
2) Mengumpulkan data dari hasil survai lapangan dan studi terkait anoa
3) Meningkatkan kapasitas SDM terkait database sistem, website, dan penyajian
informasi melalui training, ataupun studi banding
4) Updating data dan informasi terkait konservasi anoa secara reguler baik di pusat dan
daerah

6. Program pendidikan dan pelatihan staf pelaksana


Sasaran dari program ini yaitu terlaksananya pendidikan dan pelatihan staf pelaksana dari
pemerintah, LSM dan masyarakat lokal, dan untuk itu diperlukan:
1) Penyusunan rencana dan pelaksanaan diklat terkait survai dan monitoring populasi
dan habitat, pengamanan dan penegakan hukum, pengelolaan data dan pelaporan
2) Training yang mendukung konservasi anoa, di antaranya fasilitator, ekowisata,
pendidikan lingkungan, patroli, pemandu wisata, interpreter, penyuluhan, dan lain-
lain

261
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

7. Program kerjasama dan kemitraan


Sasaran dari program ini yaitu terlaksananya kerjasama/kemitraan dengan instansi/ lembaga
terkait. Adapun kegiatannya yaitu:
1) Pembangunan jejaring kerja konservasi anoa
2) Penyiapan MoU dengan mitra/stakeholders terkait untuk mencapai program yang
telah ditetapkan dan pelaksanaan kerjasama/kemitraan
3) Fasilitasi aktif pertemuan forum konservasi anoa

8. Program pendanaan yang berkelanjutan


Sasaran dari program ini yaitu tersedianya dukungan dana konservasi yang berkelanjutan.
Untuk itu diperlukan:
1) Mobilisasi dana dari berbagai sumber di dalam dan luar negeri baik pemerintah
(pusat, provinsi dan kabupaten/kota) maupun non pemerintah (badan usaha, lembaga
masyarakat, lembaga donor dan perorangan)
2) Mengembangkan mekanisme pembiayaan melalui program di antaranya jasa
lingkungan seperti pemanfaatan air atau panas bumi, ekowisata, dan lain-lain.
Dalam pelaksanaan dan penerapan SRAK Anoa para pihak yang terlibat yaitu Kementerian
Kehutanan (Ditjen KSDAE, BKSDA/BBKSDA, BTN/BBTN), pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota , perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, lembaga
konservasi, pusat pendidikan dan latihan, pusat penyuluhan, Persatuan Kebun Binatang
Seluruh Indonesia (PKBSI), World Association of Zoos and Aquariums (WAZA), dan Southeast
Asian Zoos Association (SEAZA), badan usaha/swasta, lembaga penelitian, masyarakat lokal.
Kerangka logis lengkap Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa dapat dilihat pada Tabel
berikut.

262
KERANGKA LOGIS (LOGICAL FRAMEWORK)
STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI ANOA (PerMenhut RI
Nomor P.54/Menhut-II/2013)
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
(TAHUN) PELAKSANA
1 Pengendalian Terkendalinya perburuan - Meningkatkan sadar hukum Meningkatnya sadar hukum KSDA/TN,Pemerintah
perburuan dan dan perdagangan ilegal publik di antaranya melalui masyarakat yang berada sekitar 14 Provinsi dan Kabupaten/Kota,
perdagangan di dalam dan di luar pendidikan lingkungan kawasan prioritas: masyarakat lokal. LSM, PT
ilegal kawasan konservasi a. 4 kawasan prioritas 2013–2015
b. 3 kawasan prioritas 2013–2018
c. 7 kawasan prioritas 2013–2022
- Mengidentifikasi kelompok - Teridentifikasinya masyarakat/ 2013–2022 TN/KSDA, Pemerintah
masyarakat dan simpul- simpul kelompok masyarakat/ oknum Provinsi dan Kabupaten/Kota,
aktivitas perburuan dan pemburu dan pedagang anoa LSM, PT, masyarakat
perdagangan anoa. - Penegakan hukum terkait 2013–2022
aktivitas perburuan dan
perdagangan anoa
- Melakukan patroli reguler yang - Data dan informasi perburuan KSDA/TN, Pemerintah
terstandar dengan melibatkan dan perdagangan anoa Provinsi dan Kabupaten/Kota,
para pihak sebagai tindakan diperbarui secara reguler LSM, PT, masyarakat
pengawasan terhadap kegiatan minimal setiap 6 bulan.
perburuan dan perdagangan anoa a) 4 kawasan prioritas 2013–2015
b) 3 kawasan prioritas 2016-2018
c) 7 kawasan prioritas 2019-2022
- Menurunnya jumlah perburuan 2013-2022
dan perdagangan ilegal anoa
sebanyak 80% pada tahun 2021
- Masyarakat terlibat aktif dalam 2013-2022
pengendalian perburuan dan
perdagangan serta kegiatan
illegal lainnya.

263
KONSERVASI ANOA
Bab 11
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa (lanjutan)

264
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
ANOA
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
(TAHUN) PELAKSANA
2 Pengelolaan Terwujudnya populasi - Survai dan moitoring populasi - Tersedianya pedoman survai 2013 PHKA, KSDA/TN, PT,
populasi di anoa yang stabil pada dan sebaran anoa di kawasan dan monitoring yang baku dan LIPI, dan lembaga penelitian
alam 14 kawasan prioritas prioritas dengan menggunakan standar lainnya, LSM
sebagaimana pada pedoman yang terstandar - Tersedianya data populasi dan
Gambar 3. sebaran anoa:
a) yang ter-update setiap 5 2013-2015
tahun untuk 7 kawasan
prioritas
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

b) updated 7 kawasan prioritas 2016-2019


lainnya
- Di luar kawasan prioritas yang 2016-2022
diduga menjadi habitat anoa
dilakukan survei minimal satu
kali.
- Pemetaan genetik dan struktur - Tersedianya peta genetik (genetic 2013-2015 PHKA, KSDA/TN, PT,
populasi serta kajian parameter mapping) anoa. LIPI, dan lembaga penelitian
populasi (natalitas, mortalitas, sex - Dapat dipertahankannya variasi 2015-2022 lainnya, LSM
ratio, serta struktur umur). genetik pada masing-masing
populasi/ sub populasi anoa
- Diketahuinya parameter 2013-2015
demografi anoa dalam rangka
menunjang pengelolaan
populasi/ sub populasi anoa
yang viable di seluruh areal
prioritas
- Dilakukannya diseminasi 2016
laporan ilmiah/ hasil assesment
kepada semua stakeholders
terkait sebagai bahan masukan
untuk pengelolaan konservasi
anoa yang lebih baik
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa (lanjutan)
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
(TAHUN) PELAKSANA
- Kajian untuk pelepasliaran,atau - Terselamatkannya anoa yang 2016 PHKA, KSDA/ TN, PT,
translokasi anoa yang mengalami mengalami konflik, dan atau LIPI, dan lembaga penelitian
konflik, atau anoa yang anoa yang hidup pada kawasan lainnya, LSM
hidup pada kawasan yang yang terfragmentasi yang tidak
terfragmentasi yang tidak viable viable dalam jangka panjang
dalam jangka panjang
- Menyusun best management - Tersusunnya panduan BMP 2013 PHKA, KSDA/TN,
practices (BMP) bagi pengelolaan anoa di luar kawasan konservasi Pemerintah Provinsi dan
anoa di luar kawasan konservasi Kabupaten/Kota , badan
(seperti di kawasan hutan usaha/swasta, LSM, PT,
lindung, hutan produksi, dan lembaga penelitian.
areal penggunaan lain).
3 Pengelolaan Tersedianya habitat - Pengamanan habitat anoa - Menurunnya tingkat 2013–2022 KSDA/TN, Pemerintah
habitat yang sesuai untuk anoa pada areal prioritas melalui perambahan dan kegiatan illegal Provinsi dan Kabupaten/Kota,
(ketersediaan ruang, kegiatan patroli, monitoring, lainnya yang dapat menurunkan LSM,
pakan, air dan tempat dan penegakan hukum dan kualitas dan kuantitas habitat
berlindung) keterlibatan masyarakat lokal anoa.
- Pembinaan habitat melalui - Habitat yang rusak akibat 2013–2022 KSDA/TN, Pemerintah
rehabilitasi atau restorasi perambahan dan kegiatan illegal Provinsi dan Kabupaten/Kota,
lainnya dapat direhabilitasi dan LSM,
direstorasi
- Daya dukung habitat 2013–2022
(ketersediaan pakan, air dan
tempat berlindung) dapat
dipertahankan dan atau
ditingkatkan
- Pembinaan habitat berbasis - Terjaminnya konektivitas dan 2013-2022 KSDA/TN, Pemerintah
lansekap keutuhan habitat anoa Provinsi dan Kabupaten/Kota,
LSM,

265
KONSERVASI ANOA
Bab 11
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa (lanjutan)

266
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
ANOA
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
(TAHUN) PELAKSANA
4 Peningkatan Lembaga Konservasi - Menetapkan studbook keeper - Ditunjuk dan ditetapkannya 2013 PHKA, KSDA LK, PKBSI
peran Lembaga berperan sebagai back-up anoa. studbook keeper anoa secara
Konservasi populasi in-situ (in-situ formal oleh PHKA bersama
and ex-situ, ex-situ ex-situ dengan PKBSI
link) - Anoa yang terdapat di Lembaga 2013–2022
Konservasi di Indonesia
merupakan bagian dari
studbook anoa internasional
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

- Training studbook, managemen - Terlaksananya training dan 2013, 2016, 2020 PHKA, KSDA LK, PKBSI,
populasi, husbandry bagi staf dikelolanya anoa di ex-situ WAZA, SEAZA
setiap Lembaga Konservasi yang (LK) sesuai kaidah yang telah
memiliki anoa sebagai salah satu ditetapkan dan terintegrasi
spesies koleksinya. kedalam studbook nasional dan
internasional
- Meningkatnya kapasitas staf 2013–2022
lembaga konservasi dalam
hal pengelolaan studbook ,
husbandry, dan lain-lain
- Akreditasi Lembaga Konservasi - Terakreditasinya semua Lembaga 2013–2014 PHKA, KSDA LK, PKBSI
Konservasi terutama yang
memiliki koleksi anoa
- Standardisasi pengelolaan anoa - Pedoman konservasi anoa ex-situ 2014 PHKA, KSDA LK, PKBSI
ex-situ untuk tujuan founder tersusun
- Terstandarnya pengelolaan anoa 2014
yang dituangkan dalam suatu
studbook yang dikelola dan
di-update secara reguler dan
dilaporkan kepada Management
Authority.
- Identifikasi founder di LK - Teridentifikasinya founder anoa 2014 PHKA, KSDA LK, PKBSI
tingkat nasional di LK di Indonesia
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa (lanjutan)
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
(TAHUN) PELAKSANA
- Pertukaran individu anoa antar - Dilakukannya pertukaran/ 2013-2022 PHKA, KSDA LK, PKBSI
Lembaga Konservasi berdasarkan peminjaman anoa untuk
pedoman pengelolaan anoa kepentingan breeding antar
ex-situex- situex-situ, untuk Lembaga Konservasi dalam
menghindari penurunan kualitas rangka menghindari inbreeding/
genetik akibat tekanan silang outbreeding
dalam (inbreeding), dan/ atau - Terhindarnya inbreeding dan/ 2013–2022
tekanan silang luar (outbreeding) atau outbreeding pada populasi
anoa ex-situ

- Peningkatan pengembangbiakan - Lembaga konservasi Indonesia 2014-2022 PHKA, KSDA LK, PKBSI
anoa di tingkat LK nasional turut berparsitisipasi dalam
pengelolaan populasi
internasional, sesuai standar
international (World Zoo
Strategy).
- Mengoptimalkan fungsi Pusat - Pusat Rehabilitasi Satwa anoa 2014-2022 PHKA, KSDA LK, PKBSI,
Rehabilitasi Satwa anoa di di kawasan sub populasi untuk Pemerintah Provinsi dan
kawasan sub populasi untuk merehabilitasi anoa hasil sitaan Kabupaten/Kota , LSM
merehabilitasi anoa hasil sitaan dan/ atau hasil pengembalian
dan/ atau hasil pengembalian oleh masyarakat berjalan
oleh masyarakat optimal sesuai standar kriteria
yang ditetapkan secara nasional/
internasional
- Pengembangan paket informasi - Tersedianya paket-paket 2013-2014 PHKA, LK, PKBSI,
dan pendidikan konservasi terkait informasi dan edukasi terkait Pemerintah Provinsi dan
anoa di LK baik dalam maupun konservasi anoa Kabupaten/Kota , LSM
luar negeri

5 Pembangunan Tersedianya sistem data - Menyusun dan menyediakan - Pengambilan kebijakan lebih 2013 KSDA/TN/ PHKA, LSM, LK
sistem dasar dan pendukung perangkat lunak (software) dan cepat dan akurat
pangkalan keputusan pada semua perangkat keras (hardware) - Meningkatnya layanan publik 2013
data dan tingkat manajemen dan terhadap keperluan data dan
pendukung di- update secara reguler informasi
keputusan

267
KONSERVASI ANOA
Bab 11
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa (lanjutan)

268
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
ANOA
(TAHUN) PELAKSANA
- Mengumpulkan data dari hasil - Kebijakan konservasi berbasis 2013 KSDA/TN/ PHKA, LSM,
survai lapangan dan studi terkait sistem informasi manajemen LK, PT
anoa di setiap wilayah kerja masing-
masing
- Meningkatkan kapasitas SDM - Kemampuan staf dalam 2013-2022 KSDA/TN/ PHKA, LSM,
terkait database sistem, website, pembangunan, updating LK, PT
dan penyajian informasi melalui database termasuk dalam
training, ataupun studi banding penyajian informasi
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi

- Updating data and informasi - Terupdatenya data dan 2013-2022 KSDA/TN/ PHKA, LSM,
terkait konservasi anoa secara informasi terkait konservasi anoa LK, PT
reguler di pusat dan daerah dalam suatu database secara
reguler
6 Pendidikan dan Terlaksananya - Penyusunan rencana dan - Adanya rencana diklat pada 2013-2022 PHKA, KSDA/TN, PT, dan
pelatihan staf pendidikan dan pelaksanaan diklat terkait masing-masing instansi terkait Pusdiklat, LSM
pelaksana dari pelatihan staf pelaksana survai dan monitoring populasi - Meningkatnya jumlah dan 2013–2022
pemerintah, dari pemerintah, LSM dan habitat, pengamanan dan kapasitas staf pelaksana
LSM, dan masyarakat lokal, penegakan hukum, pengelolaan konservasi anoa di lapangan
masyarakat dan lainnya data, serta pelaporan - Meningkatnya kemampuan 2013–2022
lokal, dan pelaksana termasuk LSM dan
lainnya masyarakat lokal, serta lainnya
dalam melaksanakan survai,
monitoring, pengamanan dan
penegakan hukum, pengelolaan
data sesuai pedoman yang telah
disepakati/ ditetapkan.
- Melaksanakan training yang - Peningkatan kapasitas pelaksana 2013-2022 PHKA, BKSDA, TN, PT, LK,
mendukung konservasi anoa, di dalam melakukan tugas fasilitasi, LSM, Pusdiklat, Pusluh,
antaranya fasilitator, ekowisata, interpretasi, pendidikan
pendidikan lingkungan, patroli, lingkungan, dan ekowisata,
pemandu wisata, interpreter, pemandu wisata, patroli,
penyuluhan, dll. penyuluhan, dll.
Tabel 11.2 Kerangka logis strategi dan rencana aksi konservasi anoa (lanjutan)
TATA WAKTU PENANGGUNG JAWAB/
No PROGRAM SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA
(TAHUN) PELAKSANA
7 Kerjasama dan Terlaksananya kerjasama/ - Pembangunan jejaring kerja - Meningkatnya jejaring kerja 2013–2022 PHKA, KSDA/TN,
kemitraan kemitra an dengan konservasi anoa antar instansi/ lembaga terkait Pemerintah Provinsi dan
instansi/ lembaga terkait berkenaan dengan konservasi Kabupaten/Kota , PT, LK,
anoa melalui Forum Konservasi LSM, LK, masyarakat, swasta
Anoa
- Penyiapan MoU dengan mitra/ - Bertambahnya stakeholders 2013-2022 PHKA, KSDA/TN,
stakeholders terkait untuk yang peduli terhadap konservasi Pemerintah Provinsi dan
mencapai program yang telah anoa dan meningkatnya kinerja Kabupaten/Kota , PT, LK,
ditetapkan dan pelaksanaan instansi terkait LSM, LK, swasta
kerjasama / kemitraan terutama
di 14 kawasan prioritas.
- Fasilitasi aktif pertemuan forum - Adanya forum yang aktif 2013-2022 PHKA, KSDA/TN,
konservasi anoa ditandai dengan adanya Pemerintah Provinsi dan
komunikasi para pihak Kabupaten/Kota , PT, LSM,
menggunakan format online LK, masyarakat, swasta
dan/atau pertemuan minimal
setiap 2 tahun
Pendanaan Tersedianya dukungan - Mobilisasi dana dari berbagai - Meningkatnya alokasi dana 2013-2022 PHKA, KSDA/TN,
8 yang dana konservasi yang sumber di dalam dan luar negeri untuk konservasi di Sulawesi Pemerintah Provinsi dan
berkelanjutan berkelanjutan baik pemerintah (pusat, provinsi sampai dengan 10 juta USD Kabupaten/Kota , PT, LSM,
dan kabupaten/kota) maupun - Meningkatnya pemanfaatan 2013–2022 LK, Swasta
non pemerintah (badan usaha, dana untuk konservasi anoa
lembaga masyarakat, lembaga
donor dan perorangan)
- Mengembangkan mekanisme - Penggunaan dana dari jasa 2015-2022 PHKA, KSDA/TN,
pembiayaan melalui program di lingkungan pada setidaknya satu Pemerintah Provinsi dan
antaranya jasa lingkungan seperti area prioritas/tahun. Kabupaten/Kota , PT, LSM,
REDD+, pemanfaatan air atau - Adanya dana yang tersedia 2015–2022 Swasta
panas bumi, ekowisata, dll. minimal untuk 14 kawasan
prioritas sampai tahun 2021

269
KONSERVASI ANOA
Bab 11
DAFTAR PUSTAKA

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna.
2003. Bubalus sp. [diunduh 2018 feb 16]. Tersedia pada: http://www.cites.org/.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Recources. 2013. Bubalus
sp. [diunduh 2018 feb 16]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org/.
[PerMenhut] Peraturan Menteri Kehutanan. 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.54/Menhut-II/2013 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi) Tahun 2013-2022. Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia.
[PerMenLHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/Menlhk/Setjen/
Kum.1/12/2018 [diunduh 2019 Jan 2]. Tersedia pada: http://ksdae.menlhk.go.id/assets/
news/peraturan/P.20_Jenis_TSL_.pdf
Alvarez JB Jr. 1970. Philippine tamarau: here to stay. IUCN Publ N.S. 18:46-51.
Anoa Breeding Centre Manado. 2019. Data silsilah anoa di Anoa Breeding Centre. Unpiblished
Report.
Arini DID, Wahyuni NI. 2016. Kelimpahan tumbuhan pakan anoa (Bubalus sp.) di Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone. Penelitian Kehutanan Wallacea. 5(1): 91–102.
Audley-Charles MG. 1981. Geological history of the region of Wallace’s Line. In Wallace’s
Line and Plate Tectonics (ed. TC Whitmore) pp 24–35. Oxford (US). Oxford University
Press.
Bibi F. 2009. Evolution, systematics, and paleoecology of Bovinae (Mammalia: Artiodactyla)
from the Late Miocene to the Recent. PhD Thesis, Yale University.
Bohlken H. 1958. Vergleichende untersuchungen an wildrindern (Tribus Bovini Simpson,
1945). Zoologische Jahrbucher 68: 113–202.
Burton J, Hedges S, Riley J, Mustari AH. 2005. The anoa (Bubalus depressicornis & B. quarlesi):
taxonomic status, distribution and conservation needs. Mammal Review 35(1): 25–50
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Clayton LM. 1996. Conservation biology of the babirusa Babyrousa babyrussa in Sulawesi,
Indonesia [PhD. Diisertation]. University of Oxford.
Corbet GB, and Hill JE. 1992. The mammals of the Indomalayan Region: a systematic review.
Natural History Museum Publications & Oxford University Press, Oxford.
Demetrius L. 2000. Directionality theory and the evolution of body size. The Royal Society. 267:
2385–2391.
Foead N. 1992. Studi habitat dan pakan anoa gunung (Bubalus [Anoa] quarlesi, Ouwen) di
Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Universitas
Gadjah Mada.
Foster JB. 1964. The evolution of mammals on islands. Nature 202 (4929): 234–235.
Fowler J, Cohen L, Jarvis P. 1998. Practical statistics for field bilogy (2nd ed.). New York (US):
John Wiley & Sons.
Fradrich H. 1973. Einige Bemerkungen Uber den Anoa. Zeitschrift des Kolner Zoo 16 (3):
101–105.
Frantz LAF. 2013 Genome sequencing reveals fine scale diversification and reticulation history
during speciation in Sus. Genome Biol. 14, R107. (doi:10.1186/gb-2013-14-9-r107).
Frantz LAF, Anna Rudzinski A, Nugraha AMS et al. 2018. Synchronous diversification of
Sulawesi’s iconic artiodactyls driven by recent geological events. Proc. R. Soc. B 285:
20172566. http://dx.doi.org/10.1098/rspb.2017.2566.
Gentry A, Clutton-Brock J & Groves CP. 2004. The naming of wild animal species and their
domestic derivatives. Journal of Archaeological Science 31:645-651.
Geraads D. 1992. Phylogenetic analysis of the tribe Bovini (Mammalia, Artiodactyla). Zoological
Journal of the Linnean Society 104: 193–207.
Gongora J et al. 2011 Rethinking the evolution of extant sub-Saharan African suids (Suidae,
Artiodactyla). Zool. Scr. 40, 327–335. (doi:10.1111/j.1463-6409.2011.00480.x)
Groves CP. 1969. Systematics of the anoa (Mammalia, Bovidae). Beaufortia 17: 1–12.
Groves CP. 1976. The origin of the mammalian fauna of Sulawesi (Celebes). Z Saugetierkunde
41(4): 201–256.
Groves CP. 1981. Systematic relationships in the Bovini (Artiodactyla, Bovidae). Zeitschrift fur
Zoologische Systematik und Evolutionsforschung 19: 264–278.

272
DAFTAR PUSTAKA

Groves CP. 2001. Mammals in Sulawesi: Where did they come from and when, and what
happened to them when they got there? In: Metcalfe I., Smith migration and evolution
in SE Asia-Australasia”. AA Balkema JMB, Morwood M, and Davidson I. (eds.). 2001.
“Faunal and floral Publishers, Lisse, Netherlands. Pp 333-342.
Grubb P. 2005. Order Artiodactyla. In Mammal Species of the World. A Taxonomic and Geographic
Reference, pp. 637-722. 3rd edition. Eds. Wilson DE and Reeder DM. Baltimore, MD.
John Hopkins University Press.
Harper F. 1945. Extinct and vanishing mammals of the Old World. New York. Amer. Comm.
Int. Wildl. Protection. Spec. Publ. 12: 550–554.
Hassanin A. 2014. Systematic and evolution of Bovini. In Melletti M and Burton J (eds).
2014. Ecology, evolution and behaviour of wild cattle: implications for conservation.
Cambridge University Press.
Honacki JH, Kinman KE, Koeppl JE. (eds). 1982. Mammal species of the world: a taxonomic and
geographic reference. Lawrence: Allen Press and Association of Systematics Collection.
Hooijer 1948a. Pleistocene vertebrates from Celebes. 3. Anoa depressicornis Smith subs. and
Bayrousa babirussa buruensis nov. Subs. Proc. Kon. Ned. Akad. Wet. 51: 1322–1330.
Hooijer 1950. Man and other mammals from Toalian site in south western Celebes. Verh. Kon.
Ned. Akad. Wet. 46:1–165.
Hooijer 1982. The extinct giant land tortoise and the pygmy stegodon of Indonesia. Mod.
Quat. Res. S.E. Asia 7: 171–176.
Indriyani S . 2019. Perilaku harian dan jenis pakan anoa (Bubalus sp.) di Taman Margasatwa
Ragunan. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Iskandar T, Santoso N. 1983. Studi kelayakan pembudidayaan satwaliar di Kebun Binatang
Surabaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Unpublished Report.
Ismul M. 2019. Karakteristik habitat dan jenis tumbuhan pakan anoa di Taman Nasional
Gunung Gandang Dewata. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata IPB.
Jahidin. 2003. Populasi dan perilaku anoa pegunungan (Bubalus (Anoa) quarlesi Ouwens) di
Taman Nasional Lore Lindu. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kakoi H, Namikawa T, Takenaka O, Takenaka A, Amano T, Martojo H. 1994. Divergence
between the anoas of Sulawesi and the Asiatic water buffaloes, inferred from their complete
amino acid sequences of hemoglobin beta chains. Z. Zool. Syst .Evol. Forsh. 32(1): 1–10.

273
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Katili JA. 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics 45:
289–322.
Kebun Binatang Ragunan. 1994. Divisi mamalia Kebun Binatang Ragunan, Jakarta.
Unpublished Report.
Kuehn DW. 1986. Population and social characteristics of the tamarao (Bubalus mindorensis).
Biotropica 18(3): 263-266.
Kurniawan I. 2010. Keragaman morfometris tengkorak anoa (Bubalus spp.) dari berbagai region
di Sulawesi. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.
Lenstra JA, Felius M, Theunissen B. 2014. Domestic cattle and buffaloes. In Melletti M and
Burton J (eds). 2014. Ecology, evolution and behaviour of wild cattle: implications for
conservation. Cambridge University Press.
Lomolino MV. 2005. Body size evolution in insular vertebrate:generality of the island rule.
Journal of Biogeography 32:1683-1699.
Manuel CG. 1957. Status of tamaraw, Anoa mindorensis (Heude). Proceedings of the eighth
Pacific Science Congress of the Pacific Science Association. National Research Council
of the Philippines.
Martinez-Navarro B, Perez-Claros JA, Palombo MR, Lorenzo R & Palmqvist P. 2007. The
olduvai buffalo Pelorovis and the originof Bos. Quaternary Research 68:220-226.
Musser GG. 1984. Identities of subfossil rats from caves in south western Sulawesi. Mod. Quat.
Res. S.E. Asia 8: 61–94.
Mustari AH, Masy’ud B, Kusrini MD, Jamaludin M, Kurnia I, Fitri A, Ansar M, Ikhsan
M, Samudra R, 2007. Habitat, Populasi dan Penyebaran anoa (Bubalus spp.) serta
keanekaragaman hayati di areal kontrak karya PT Inco Sorowako Kabupaten Luwu
Timur. Unpublished Report.
Mustari AH, Masy’ud B. 1997. Kebutuhan Nutrisi Anoa (Bubalus spp.) di Kebun Binatang
Ragunan Jakarta. Unpublished Report.
Mustari AH, Masy’ud B. 2001. Kebutuhan nutrisi anoa (Bubalus spp.). Media Konservasi.
7(2):75-80.
Mustari AH, Prilianti AU, Masyud B. 2016. Pakan dan perilaku makan anoa (Bubalus sp) di
Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Media Konservasi. 20(3):261-268.

274
DAFTAR PUSTAKA

Mustari AH. 1997. Illegal hunting of anoa (Bubalus spp.) in Southeast Sulawesi. Paper presented
at the second International Conference on Eastern Indo-Australian Vertebrate Fauna,
Lombok, Indonesia (December 10-13,1996).
Mustari AH. 2002. Ekologi makan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. In: Sugir N, Suwelo IS, Wiryawan KG,
Prawiradilaga DM, Syam, A, Farida WR, (Eds). Prosiding Seminar Nasional Biologi dan
Konservasi Ungulata; Bogor, 5 Februari 2002. Bogor: PSIH IPB, Puslit Biologi LIPI,
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Dephut.
Mustari AH. 1995. Population and behaviour of lowland anoa (Bubalus depressicornis Smith)
in Tanjung Amolengu Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi, Indonesia [MSc. Thesis].
University of George-August, Germany.
Mustari AH. 1996. Population and behaviour of lowland (Bubalus depressicornis) in Tanjung
Amolengo Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi, Indonesia. Media Konservasi. 5(1):1-3.
Mustari AH. 2003. Ecology and conservation of lowland anoa (Bubalus depressicornis) in
Sulawesi, Indonesia [PhD Dissertation]. Australia (AU) : University of New England.
Mustari AH. 2009. Population density of Sulawesi’s forest ungulates in Tanjung Peropa and
Tanjung Amolengo Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi. Media Konservasi. 14(2): 89-
94.
Mustari AH. 2011. Nutritional analysis of anoa (Bubalus depressicornis) and (Bubalus quarlesi)
food plants in Tanjung Peropa Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi. Media Konservasi.
16(2): 92-94.
Mustari AH dan Ismul M. In press. 2019. Jenis tumbuhan dan kandungan nutrisi pakan anoa
di Taman Nasional Gunung Gandang Dewata.
Indriyani S. 2019. Perilaku harian dan pakan anoa (Bubalus sp.) di Taman Margasatwa
Ragunan. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.
Neff DJ. 1968. The pellet-group count for big game trend, census, and distribution: a review. J
Wildl Mgmt 32(3): 597-614.
Nowak RM. 1991. Walker’s Mammals of the World. Fifth Ed., Vol. II. Baltimore: The Johns
Hopkins Univ Press.
Nugraha AMS, Hall R. 2016. Late Cenozoic palaeogeography of Sulawesi, Indonesia. Palaeogeogr.
Palaeoclimatol. Palaeoecol. 490, 191–209. (doi:10.1016/j.palaeo.2017.10.033).

275
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Pilgrim GE. 1939. The fossil Bovidae of India. Palaeontologia Indica NS 26:1-356.
Pranadewi V. 1998. Analisis kromosom pada kelompok anoa (Anoa Smith 1827) di Kebun
Binatang Ragunan Jakarta. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Jurusan Biologi, Universitas Indonesia.
Priyono DS, Solihin DD, Farajallah A, Arini DID. 2018. Anoa, dwarf buffalo from Sulawesi,
Indonesia: Identification based on DNA barcode. Biodiversitas (19): 2085–4722.
Pujaningsih RI, Sutrisno CI, Supriondho Y, Malik A, Djuwantoko, Pudyatmoko S, Amir MA,
Aryanto S. 2009. Diet composition of Anoa (Buballus sp.) studied using direct observation
and dung analysis method in their habitat. J. Ind.Trop Anim. Agric. 34: 223-228
Rahman AM, Mustari AH. 2002. Studi karakteristik habitat anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis Smith) di Pinogu, Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone. Prosiding
Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.
Rejeki IS, 2018. Wildlife conservation strategy: an assessment of wildlife hunting activities in
Sulawesi. [PhD Dissertation]. Bogor Agricultural University.
Rifai A, Soehyar MB. 1977. Metode perbaikan habitat anoa (Bubalus spp.) di Tanjung Amolengo,
Tanjung Batikolo, Sulawesi Tenggara. Direktorat Jenderal Kehutanan. Unpublished
report.
Rozzi R. 2017 A new extinct dwarfed buffalo from Sulawesi and the evolution of the subgenus
Anoa: an interdisciplinary perspective. Quat. Sci. Rev. 157, 188–205. doi:10.1016/j.
quascirev.2016.12.011).
Sartono S. 1979. Th age of the vertebrate fossils and artefacts from Cabenge in South Sulawesi,
Indonesia. Mod. Quat. Res. S.E. Asia 5: 45–81.
Schaller GB, Rabinowitz A. 1995. The saola or spindlehorn bovid Pseudoryx nghetinhensis in
Laos. Oryx 29(2):107-114.
Schreiber A, Seibold I, Notzold G, Wink M. 1999. Cytochrome b gene haplotypes characterize
chromosomal lineage of anoa, the Sulawesi dwarf buffalo (Bovidae:Bubalus sp.). J.Heredity
90(1):165-176.
Scott JP. 1956. The analysis of social organization in animal. Ecology. 37(2):213-221.
Simpson GG. 1945. The principles of classifications and a classification of mammals. Bull.,
Amer. Mus. Nat. His. 85:1-350.
Sinusi MZ. 2016. Gambaran profil darah dan kondisi fisiologis anoa (Bubalus spp.) di Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado.
[Skripsi]. Universitas Hasanuddin.

276
DAFTAR PUSTAKA

Smith CH. 1827. The animal kingdom, arranged in conformity with its organization by the
Baron Cuvier, with additional description by Edward Griffith and others, Vol 4:293-
294.
Stelbrink B, Albrecht C, Hall R, von Rintelen T. 2012. The biogeography of Sulawesi revisited:
is there evidence for a vicariant origin of taxa on Wallace’s ‘Anomalous Island’? Evolution
66, 2252–2271. (doi:10.1111/j.1558-5646.2012.01588.x).
Sugiharta A. 1994. Abundance and habitat characterization of mountain anoas in Besoa, Lore
Lindu National Park, Indonesia [MSc. Thesis]. University of New Mexico State.
Sugiri N, Hidayat N. 1996. The diversity and hematology of anoa from Sulawesi. Paper presented
at the workshop of PHVA on Anoa and Babirusa at Taman Safari, 22-26 of July 1996.
Syam A. 1997. Studi habitat dan populasi anoa datarn rendah (Anoa depressicornis H. Smith) di
Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Sulawesi Utara. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Tanaka K, Solis CD, Masangkai JS, Maeda KI, Kawamoto Y, Namikawa T. 1996. Phylogenetic
relationship among all living species of the genus bubalus based on DNA sequences of the
cytochrome b gene. Biochem. Gen. 34(11-12):443-452.
Tikupadang T, Gunawan H, Sila M. 1996. Studi habitat dan populasi anoa dataran tinggi
(Bubalus quarlesi) di Hutan Lindung Kambuno Katena, Kabupaten Luwu, Sulawesi
Selatan. Bull. Penelit. Kehut. 1(1):24-44.
van den Bergh GD, de Vos J, Sondaar PY. 2001 The Late Quaternary palaeogeography of
mammal evolution in the Indonesian Archipelago. Palaeogeogr. Palaeoclimatol. Palaeoecol.
171, 385–408. (doi:10.1016/S0031-0182(01)00255-3)
Weise 1979. Untersuchungen zur innerartlichen variabilitat beim anoa (Anoa depressicornis).
Staatsexamenarbeit,Mathematisch-Naturwissenshaftlische Fakultat der Christian-
Albrechts-Universitat.
Wheeler P. 2004. Estimating anoa abundance. In Monitoring Forest Degradation and Animal
Population in the Forest of Central Buton: Preliminary Results from the Pilot Study, pp.
15–20. Ed Seymour A. Old Bolingbroke: Operation Wallcea.
Whitten AJ, Mustafa M, Henderson GS. 1987. The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah
Mada Univ Press.
Wilson DE, Reeder DM. 2005. Mammal Species of the World. Baltimore, MD. John Hopkins
University Press.
Witting L. 1997. A General Theory of Evolution. Peregrine Publisher Arhus. Denmark.

277
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. 2018. Pedoman (Roadmap)
Peningkatan Populasi Dua Puluh Lima Satwa Terancam Punah Prioritas Periode 2015–
2019. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Bubnicki JW, Churski M and Kuijper DPJ. 2016. TRAPPER: an open source web-based
application to manage camera trapping projects. Methods in Ecology and Evolution,
1–8.
Burnham KP, Anderson DR. 2002. Model Selection and Multimodel Inference. A Practical
Information-Theoretic Appraoch.Second Edi. Springer-Verlag, New York.
Efford MG, Dawson DK, and Robbins CS. 2004. DENSITY : software for analysing capture–
recapture data from passive detector arrays. Animal Biodiversity and Conservation, 27,
217–228.
Efford MG, Borchers DL and Byrom AE. 2009. Density estimation by spatially explicit capture-
recapture: likelihood-based methods. In Modeling demographic processes in marked
populations (eds D.L. Thomson, E. Cooch & M.J. Conroy), pp. 255–269, 3rd edition.
Springer Science+Business Media.
Efford M. 2015. secr 2.10 - spatially explicit capture–recapture in R.
Fiske IJ, Chandler RB. 2011. unmarked : An R Package for Fitting Hierarchical Models of
Wildlife Occurrence and Abundance, 43.
Gaston W, Armstrong J, Arjo W. and Stribling H. 2011. Home Range and Habitat Use of Feral
Hogs (Sus scrofa) on Lowndes County WMA, Alabama. 2008 .National Conference on
Feral Hogs, 1–18.
Hedges S. 2012. Monitoring Elephant Populations and Assessing Threats. In Monitoring
elephant populations and assessing threats. Universities Press (India) Private Limited,
Hyderabad.
Hines JE. 2006. PRESENCE. GEN, Software to estimate patch occupancy and related
parameters. USGS-PWRC., http://www.mbr-pwrc.usgs.gov/software/presence.shtml.
Jathanna D. Kumar NS. and Karanth KU. 2013. Package‘ SPACECAP ’,1–12.
Jetz W, Carbone C, Fulford J, and Brown JH. 2004. The scaling of animal space use. Science
(New York, N.Y.), 306, 266–268.
Karanth KU. 1995. Estimating Tiger Panthera tigris Populations from Camera-Trap Data
Using Capture Recapture Models. Biological Conservation, 71, 333–338. JOUR.

278
DAFTAR PUSTAKA

Mackenzie DI, Nichols JD, Lachman GB, Droege S, Royle JA, and Langtimm CA. .2002.
Estimating site occupancy rates when detection probabilities are less than one. Ecology,
83, 2248–2255.
MacKenzie DI, Royle JA. 2005. Designing occupancy studies: general advice and allocating
survey effort. Journal of Applied Ecology, 42, 1105–1114.
Meredith M. 2015. Package Wiqid: Quick and Dirty Estimates forWildlife Populations Version.
CRAN. Http://www.mikemeredith.net/Software/wiqid_overview.html [accessed 10 May
2016].
Mills LS, Citta JJ, Lair KP, Schwartz MK, and Tallmon DA. 2000. Estimating animal abundance
using noninvasive DNA sampling: Promise and pitfalls. Ecological Applications, 10,
283–294.
Niedballa J, Sollmann R, Courtiol A, and Wiltin A. 2016. camtrapR: an R package for
efficient camera trap data management. Methods in Ecology and Evolution.
Ouwens PA. 1910. Contribution a’ la connaissance des mammiferes de Celebes. Bull Dept Agr
Ind Nederland 38 (Zool.,6): 1-7.
Plummer M, Stukalov A. and Denwood M. 2016. Package ‘ rjags ’. Bayesian Graphical Models
using MCMC. CRAN. Http://mcmc-jags. sourceforge.net.
Schwartz MK., Luikart G. and Waples RS. 2007. Genetic monitoring as a promising tool for
conservation and management. Trends in Ecology and Evolution, 22, 25–33.
Smith CH. 1827. The animal kingdom, arranged in conformity with its organization , by the
Baron Cuvier, with additional description by Edward Griffith and others, 4:293-294.
Tucker MA, Ord TJ, and Rogers TL. 2014. Evolutionary predictors of mammalian home range
size : Body mass , diet and the environment home range size : body mass , diet and the
environment. Global Ecology and Biogeography, 23, 1105– 1114.
Waits LP. 2004. Using noninvasive genetic sampling to detect and estimate abundance of rare
wildlife species. In Sampling Rare or Elusive Species: Concepts, Designs, and Techniques
for Estimating Population Parameters (ed W.L. Thompson), pp. 211–228. Island Press,
Washington, D.C.–New York.
Wallace AR. 1869. The Malay Archipelago. London: Macmillan and Co.

279
GLOSARIUM

BBKSDA
Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam
BKSDA
Balai Konservasi Sumberdaya Alam
Browzer
Satwa yang sebagian besar pakannya berupa daun dari berbagai jenis tumbuhan mencakup
herba, semak, liana, dan tumbuhan tingkat tinggi
Cagar Alam (CA)
Cagar Alam, yaitu kawasan hutan suaka alam yang berfungsi untuk pengawetan keragaman
tumbuhan, satwa dan ekosistem tertentu. Cagar alam dibentuk untuk melindungi gejala
alam atau ekosistem tertentu, misalnya ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem hutan
pegunungan, hutan pantai, dan gejala alam unik seperti suksesi pada letusan gunung berapi.
Cagar alam dikelola dengan sistem blok.
CITES
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
DAS
Daerah Aliran Sungai
Endangered Species
Spesies terancam punah
EPASS
Enhancing the Protected Area Sytem in Sulawesi
Konservasi Ex-situ
Konservasi spesies di luar habitat aslinya
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

Frugivora
Satwa yang sebagian besar pakannya berupa buah berbagai jenis tumbuhan
Foliavora
Satwa yang sebagian besar pakannya berupa daun berbagai jenis tumbuhan
Grazer
Satwa yang sebagian besar pakannya berupa berbagai jenis rumput
Hutan Konservasi
Hutan dengan ciri khas tertentu yang berfungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya. Terdiri atas Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa) dan Hutan Pelestarian Alam (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan
raya, taman buru).
Hutan Lindung
Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok melindungi tata air, mencegah banjir dan erosi
dan menjaga kesuburan tanah.
Hutan Produksi
Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan
IUCN
International Union for Conservation of Nature
KB
Kebun Binatang
KLHK
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Konservasi In-situ
Konservasi spesies di habitat aslinya
KSDAE
Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem
LK
Lembaga Konservasi
Omnivora
Satwa yangt jenis makanannya terdiri dari berbagai jenis baik tumbuhan maupun satwaya
berupa buah berbagai jenis tumbuhan

282
DAFTAR PUSTAKA

PHKA
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PKBSI
Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia
SEAZA
Southeast Asian Zoos and Aquariums Association
Suaka Margasatwa (SM)
Suaka Margasatwa, yaitu kawasan suaka alam yang berfungsi untuk perlindungan dan
pengawetan jenis satwa tertentu, serta untuk penyangga kehidupan. Suaka margasatwa dibentuk
untuk melindungi jenis satwa tertentu, misalnya anoa, babirusa, harimau, badak jawa, dan lain-
lain. Suaka margasatwa dikelola dengan sistem blok.
Taman Nasional (TN)
Taman Nasional, yaitu kawasan hutan pelestarian alam baik di darat maupun di laut yang
di dalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam yang utuh. Di dalamnya terdapat jenis
tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya,rekreasi dan pariwisata, panorama
alam yang menonjol. Taman nasioanl dikelola dengan sistem zonasi.
TM
Taman Margasatwa
TWA
Taman Wisata Alam, yaitu kawasan hutan pelestarian alam yang berfungsi untuk tujuan wisata,
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta penyangga kehidupan. Taman wisata
alam dikelola dengan sistem blok.
Vulnerable Species
Spesies rentan punah
WAZA
World Association of Zoos and Aquariums

283
INDEKS

A
Acrosticum aureum 59, 88, 90, 96, 105, 107, 115, 118, 177
Activity budget 141, 147, 167, 171
Agonistik 140, 162, 217
Allelomimetik 14, 162
Anoa 1, 2, 6, 8, 10, 14, 15, 16, 17, 19, 24, 26, 27, 28, 30, 32, 35, 37, 39, 48,
49, 50, 51, 52, 57, 58, 61, 65, 66, 68, 70, 71, 73, 79, 80, 81, 85, 88,
89, 91, 98, 108, 110, 112, 115, 119, 127, 130, 133, 134, 135, 136, 137,
139, 140, 141, 142, 146, 147, 148, 150, 152, 153, 155, 156, 157, 158,
162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 175, 176, 177, 178, 180,
181, 183, 186, 189, 191, 192, 195, 200, 201, 206, 211, 216, 217, 218,
219, 220, 221, 223, 224
Anoa dataran rendah 19, 24, 26, 27, 71, 80, 181
Anoa gunung 19, 24, 27, 70, 80, 81, 201

B
Babi hutan Sulawesi 1, 9, 10, 13, 68, 71, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82
Babirusa 1, 2, 9, 10, 11, 13, 68, 74, 75, 77, 80, 81, 142, 146, 192

C
Contactual 140, 154, 169

D
Dillenia serrata 47, 75, 79, 88, 92, 96, 98, 104, 105, 108, 112, 114, 116, 123, 124, 130,
132, 154, 158, 200, 220
Ekologi, Perilaku, dan Konservasi
ANOA

E
Eliminatif 140, 155, 156
Epimeletik 140, 159, 161
Et epimeletik 161

I
Ingestif 140, 154, 155, 217
Investigatif 140, 164, 165, 169

M
Merremia peltata 88, 95, 104, 105, 107, 113, 114, 116, 213

R
Relung ekologi 76, 79

S
Seksual 140, 156, 157, 158, 164
Simpatrik 73, 74, 79, 141, 145, 217

286
TENTANG PENULIS

Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc., lahir di Bone,


Sulawesi Selatan. Sekolah lanjutan atas ditempuh di SMPP
Negeri 30 Watampone, lulus Sarjana Kehutanan (Ir.) dari
Institut Pertanian Bogor; Master of Science (MSc.) dari
George-August University, Gottingen, Germany, dengan
Thesis berjudul ‘Population and behaviour of lowland anoa
(Bubalus depressicornis Smith) in Tanjung Amolengu
Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi, Indonesia’, dan
Doctor of Philosophy (PhD) dari University of New England, Australia, dalam bidang ilmu
Natural Resources Conservation, Tropical Forestry, dan Wildlife Ecology, dengan Disertasi
berjudul ‘Ecology and conservation of lowland anoa (Bubalus depressicornis) in Sulawesi,
Indonesia’. Semenjak tahun 1994 penulis melakukan penelitian mengenai keanekaragaman
hayati di bio-region Wallacea, serta tenaga ahli dan peserta aktif pada berbagai ekspedisi ilmiah
di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua baik yang
dilakukan secara mandiri, bersama mahasiswa IPB maupun dengan TNI dan Kopassus. Penulis
mengajar mata kuliah Ekologi Satwaliar, Inventarisasi dan Pemantauan Satwaliar, dan Ekologi
dan Konservasi Satwaliar pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Buku yang telah ditulis di antaranya: (1) Manual
Identifikasi Beberapa Spesies Kunci di Sulawesi, (2) Buku Panduan Lapang Mamalia Kampus
IPB Dramaga, (3) Buku Panduan Lapang Burung Kampus IPB Dramaga, (4) Mengenal Amfibi
dan Reptil Kampus IPB Dramaga, (5) Biodiversitas Kupu-Kupu di Wilayah Kampus IPB
Dramaga, (6) Checklist Jenis-jenis Tumbuhan di Sulawesi Tenggara dalam bahasa daerah Tolaki,
(7) Flora dan Fauna Cagar Alam Leuweung Sancang, dan (8) Biodiversitas Kampus IPB
Dramaga, Bogor: mamalia, burung, amfibi, reptil, kupu kupu, dan tumbuhan. Penulis adalah
anggota Asian Wild Cattle Specialist Group (AWCSG) IUCN. Email: haris.anoa@yahoo.com.

Anda mungkin juga menyukai