Anda di halaman 1dari 203

ORANGUTAN BATANG TORU

Wanda Kuswanda

FORDA PRESS
2014
ORANGUTAN BATANG TORU: KRITIS DI AMBANG PUNAH
Penulis:
Wanda Kuswanda
Editor:
M. Bismark, Agus P. Kartono, dan Pujo Setio
Desain Sampul:
Wendra S. Manik
Tata Letak:
FORDA PRESS
Copyright © 2014 Penulis
Cetakan Pertama, Desember 2014
xvi + 188 halaman; 148 x 210 mm
ISBN: 978-602-71770-4-8
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610
Telp./Fax. +62251 7520093
Email: fordapress@yahoo.co.id
Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI
Jl. Raya Parapat Km. 10,5 Sibaganding, Simalungun,
Sumatra Utara 21174
Telp./Fax. +62622 5891963
Email: bpk.aeknauli@gmail.com
Website: http://bpk-aeknauli.litbang.dephut.go.id/ atau
http://balithut-aeknauli.org/

Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan

KUSWANDA, Wanda
Orangutan Batang Toru: Kritis di Ambang Punah / Wanda Kuswanda.
-- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014
xvi, 188 hlm. : ill. ; 21 cm.

ISBN: 978-602-71770-4-8

1. Orangutan – Batang Toru, Sumatra Utara – Konservasi


I. Kuswanda, Wanda II. Judul
KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama penulis panjatkan puji syukur


kehadirat Allah SWT, atas berkah dan karuniaNya sehingga
Buku ”Orangutan Batang Toru: KRITIS di ambang PUNAH”
telah selesai disusun. Penyusunan buku ini merupakan
bentuk tanggung jawab penulis sebagai peneliti dalam upaya
menyebarluaskan informasi hasil penelitian. Isi buku ini
merupakan rangkaian dari berbagai publikasi dan hasil
penelitian penulis yang telah dilakukan mulai tahun 2003–
2011, serta telaahan hasil penelitian dari para pakar lainnya.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan, menjadi acuan penyusunan kebijakan dan
panduan para pihak terkait lainnya dalam pelaksanaan
konservasi satwa liar, khususnya orangutan Sumatra.
Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat
dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunannya. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada para
narasumber, pejabat struktural dan peneliti di Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, penelaah ilmiah
(Prof. Dr. M. Bismark, Dr. Agus P. Kartono dan Drh. Pujo Setio,
M.Si), kontributor data, rekan kerja di Balai Penelitian
Kehutanan Aek Nauli, petugas dan pendamping lapangan
(khususnya petugas Seksi Wilayah Pengelolaan Sipirok, Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara dan Bang
Nasir “ParMawas” Siregar), Sumatra Rainforest Institute (SRI),

v
serta para pihak lainnya yang telah membantu dalam
penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT dapat
membalas kebaikan semuanya.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih belum
sempurna sehingga kritikan dan saran yang membangun
sangat diharapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak untuk
mewujudkan pengelolaan hutan dan konservasi satwa liar,
khususnya orangutan; yang efektif, efisien, dan partisipatif.
Akhirnya, penulis berharap kehadiran buku ini dapat menjadi
pemicu keikutsertaan para pihak dalam melestarikan
orangutan sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia yang
populasinya kritis dan sudah berada di ambang kepunahan.

Aek Nauli, Desember 2014


Penulis

vi
SAMBUTAN
KEPALA BALAI PENELITIAN
KEHUTANAN AEK NAULI

Orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) merupakan


satwa endemik yang sebaran alaminya hanya tersisa di
Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, dengan status konservasi
sebagai satwa yang kritis terancam punah. Salah satu
habitatnya yang masih cukup baik adalah di Hutan Batang
Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Keberadaan orangutan
Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah menarik
perhatian banyak pihak karena diduga memiliki pola
kehidupan yang berbeda dengan orangutan di Aceh (sebelah
Utara Danau Toba).
Kualitas dan luas habitat orangutan Batang Toru saat ini
diduga terus menurun karena masih maraknya aktivitas
konversi hutan menjadi areal perkebunan, pertanian dan
pemukiman masyarakat. Sebagian besar penduduk sekitarnya
bermata pencaharian sebagai petani. Untuk itu, upaya
konservasinya menjadi sangat penting karena sebaran
populasinya terus terfragmentasi pada luasan habitat yang
sempit, seperti pada kawasan konservasi. Segala upaya
sebaiknya terus ditempuh untuk melestarikan orangutan
melalui tindakan yang nyata, bijaksana, dan rasional.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi bagian
solusi bagi para pihak untuk mewujudkan upaya konservasi
tersebut. Buku ini menyajikan secara lengkap informasi

vii
tentang bioekologi dan perilaku orangutan, kondisi
masyarakat, kelembagaan, sampai strategi konservasi
orangutan Batang Toru. Penyusunan buku ini berdasarkan
hasil penelitian dan review publikasi penulis selama bekerja
di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Buku ini tentunya
akan sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan referensi
bagi para pihak yang terkait dalam upaya konservasi
orangutan Sumatra.
Penghargaan dan terima kasih, kami sampaikan kepada
penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan buku ini. Besar harapan terpublikasinya buku ini
dapat bernilai guna bagi para pihak yang membutuhkannya.

Aek Nauli, Desember 2014


Kepala Balai,

Ir. Iton Bambang Partono B. D.


NIP. 19581115 198703 1 004

viii
SAMBUTAN
KEPALA PUSAT LITBANG
KONSERVASI DAN REHABILITASI

Hutan tropis di Pulau Sumatra merupakan habitat


beragam jenis satwa langka dan dilindungi oleh undang-
undang, seperti orangutan (Pongo abelii Lesson). Degradasi
kawasan hutan di Sumatra telah mengakibatkan habitat
orangutan berkurang dan terus terfragmentasi sehingga
populasi orangutan juga semakin menurun, termasuk di
sekitar kawasan Hutan Batang Toru, Sumatra Utara. Saat ini,
orangutan Sumatra telah menjadi satwa prioritas untuk
dilakukan upaya konservasi oleh Kementerian Kehutanan.
Walaupun menjadi maskot pelestarian hutan di Indonesia,
prioritas konservasi didasarkan pada statusnya yang sudah
termasuk sebagai satwa kritis terancam punah.
Hasil penelitian tentang orangutan Sumatra di Hutan
Batang Toru belum banyak dipublikasikan dibandingkan
dengan orangutan yang berada di Provinsi Aceh. Hal ini
tentunya masih menyulitkan bagi para pengambil kebijakan
dan praktisi lapangan dalam merumuskan strategi dan aksi
konservasi orangutan yang komprehensif di Hutan Batang
Toru. Padahal, pelaksanaan konservasi tersebut harus segera
diimplementasikan karena sangat rawan akan terjadi
kepunahan orangutan Sumatra secara lokal.
Isi buku ini mengulas secara lengkap tentang bioekologi
orangutan Sumatra berdasarkan hasil kajian ilmiah dan pada
bagian akhir dipaparkan berbagai strategi dan teknik untuk

ix
pelaksanaan konservasinya. Untuk itu, buku ini diharapkan
dapat menjadi salah satu referensi dan sekaligus solusi bagi
para pihak (pemerintah, peneliti, akademisi, dan lembaga
swadaya masyarakat) dalam mengembangkan penelitian dan
program aksi konservasi orangutan, khususnya di Hutan
Batang Toru.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada penulis,
kontributor dan penelaah ilmiah, serta semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan dan penerbitan buku ini.
Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat memberikan
manfaat untuk mengembangkan upaya pelestarian orangutan
dan kawasan hutan pada umumnya.

Bogor, Desember 2014


Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc


NIP. 19571221 198203 1 002

x
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN
AEK NAULI vii
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN
REHABILITASI ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR x
I. PENDAHULUAN 1
A. Ambang Kepunahan Orangutan 1
B. Kerusakan Hutan Tropis Habitat Orangutan 4
C. Perkembangan Penelitian Orangutan Sumatra 6
D. Perkembangan Paradigma Pelaksanaan Konservasi 7
II. GAMBARAN HUTAN BATANG TORU 11
A. Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali 19
B. Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok 21
III. SEJARAH, TAKSONOMI DAN SEBARAN 27
A. Sejarah 27
B. Taksonomi dan Morfologi 28
C. Sebaran 29
IV. HABITAT 33
A. Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan 34
B. Tumbuhan Pakan Orangutan 39
C. Daya Dukung Habitat 45
D. Pemilihan Tipe Habitat 49
E. Seleksi Sumber Daya Habitat 52

xi
V. SARANG DAN POPULASI 61
A. Karakteristik Sarang 61
B. Pendugaan Populasi 67
C. Parameter Demografi 71
VI. PERILAKU 75
A. Jenis Perilaku Orangutan 75
B. Aktivitas Harian 79
C. Adaptasi Terhadap Perubahan Habitat 88
VII. ANCAMAN KELESTARIAN 91
A. Kerusakan Habitat 91
B. Perburuan 97
VIII. MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA 99
A. Karakteristik Sosial Ekonomi 100
B. Lahan Olahan Masyarakat 103
IX. PERSEPSI DAN PERANAN PARA PIHAK 109
A. Persepsi Para Pihak 109
B. Peranan Kelembagaan 117
X. STRATEGI KONSERVASI 125
A. Perlindungan Habitat pada Hutan Konservasi 128
B. Pengelolaan Habitat di Luar Hutan Konservasi 137
C. Restorasi Habitat 146
D. Pembangunan Koridor 147
E. Monitoring dan Pengembangan Penelitian 149
F. Pemberdayaan Kelembagaan Terkait 151
G. Translokasi dan Reintroduksi 155
H. Penggalangan Dana Konservasi 162
DAFTAR PUSTAKA 171

xii
DAFTAR TABEL

Tabel
1. Perubahan penutupan lahan hutan primer habitat
orangutan Sumatra (2002–2009) 5
2. Komposisi luasan Blok Hutan Batang Toru pada setiap
kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara 12
3. Lokasi dan perkiraan luas habitat dan populasi
orangutan Sumatra 30
4. Nilai Chi-square analisis pemilihan tipe habitat oleh
orangutan 51
5. Variable in the Equation dari regresi logistik 57
6. Kriteria umur sarang orangutan 63
7. Klasifikasi posisi sarang orangutan 65
8. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok
Sibual-buali 68
9. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok
Sipirok 70

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar
1. Peta Kawasan Blok Hutan Batang Toru 13
2. Ekosistem hutan alam Blok Hutan Batang Toru 14
3. Habitat orangutan di kawasan Hutan Batang Toru 17
4. Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali 18
5. Tanaman budi daya masyarakat di sekitar CA Sibual-
buali 21
6. Peta kawasan dan ketinggian CA Dolok Sipirok 23
7. Satwa liar primata yang terdapat di CA Dolok Sipirok: 1)
siamang (Hylobates syndactylus) dan 2) ungko
(Hylobathes agilis) 24
8. Peta sebaran habitat orangutan Sumatra 31
9. Habitat orangutan dataran tinggi CA Dolok Sibual-buali 35
10. Komposisi tumbuhan pada berbagai tipe habitat di CA
Dolok Sipirok 36
11. Kerapatan tumbuhan pada ketinggian 900–1.200 m dpl
di CA Dolok Sipirok 37
12. Beringin adalah jenis tumbuhan yang dikonsumsi daun
dan buahnya 39
13. Motung, salah satu jenis tumbuhan pakan yang disukai
orangutan 40
14. Penelitian serasah daun pada pohon pakan orangutan 43
15. Buah asam hing yang banyak dikonsumsi orangutan 44
16. Komposisi tumbuhan pada ketinggian 600–900 m dpl 53
17. Kerapatan tumbuhan pada hutan sekunder di CA Dolok
Sipirok 54
18. Sarang orangutan pada tingkat tiang 59

xiv
19. Sarang khas orangutan; terdapat dua sarang dalam satu
pohon 61
20. Deskripsi sarang pada berbagai kelas umur 64
21. Orangutan Batang Toru (betina dewasa dan bayinya) 73
22. Perilaku makan orangutan Batang Toru 75
23. Perilaku berjalan di batang pohon 76
24. Orangutan beristirahat siang di atas sarang 79
25. Durasi aktivitas orangutan pada pagi hari berdasarkan
kelas umur 80
26. Aktivitas makan orangutan pada pagi hari 81
27. Durasi aktivitas orangutan pada siang hari berdasarkan
kelas umur 83
28. Durasi aktivitas orangutan pada sore hari berdasarkan
kelas umur 84
29. Penebangan liar di sekitar CA Dolok Sipirok 92
30. Perambahan hutan konservasi untuk lahan perkebunan 93
31. Jaringan jalan yang membelah Hutan Batang Toru 95
32. Orangutan sitaan dari peliharaan masyarakat 97
33. Perkampungan masyarakat penyangga di Desa Hopong,
Sipirok 101
34. Lahan pertanian sawah yang berbatasan langsung
dengan hutan cagar alam 102
35. Hutan rakyat dengan tanaman kayu manis 105
36. Perkebunan karet campur tanaman aren pada lahan
masyarakat 106
37. Diskusi dan pengisian kuisioner bersama masyarakat
dan aparat desa 111
38. Pengisian kuisioner oleh pegawai Pemerintah Daerah
Kabupaten Tapanuli Selatan 120
39. Habitat orangutan di hutan produksi yang masih primer 143

xv
I. PENDAHULUAN

A. Ambang Kepunahan Orangutan

Orangutan adalah satu-satunya primata jenis kera


besar Asia yang penyebarannya hanya tersisa di Indonesia
dan terbatas di Pulau Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan
Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus). Orangutan
merupakan jenis satwa liar yang menarik sehingga banyak
diburu dan dijadikan satwa peliharaan. Orangutan telah
termasuk sebagai jenis satwa liar yang dilindungi
berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menurut International Union for Conservation of Nature
(IUCN), orangutan Sumatra (Pongo abelii) dikategorikan
sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global
(critically endangered) dalam the IUCN Red List of Threatened
Species sejak tahun 2000 (Singleton et al., 2008).
Populasi orangutan dalam 30 tahun terakhir terus
mengalami penyusutan. Populasi orangutan Sumatra pada
tahun 2004 diperkirakan sekitar 7.500 individu (Population
and Habitat Viability Assessment/PHVA, 2004) dan diduga
berkurang menjadi 6.667 individu pada tahun 2007
(Departemen Kehutanan, 2007). Penyusutan populasi ini
terjadi karena masih kurang efektif upaya untuk

1
menghentikan laju kerusakan hutan sebagai habitat
orangutan. Selain itu, ancaman bagi kelangsungan hidup
orangutan dan habitatnya masih terjadi akibat perburuan liar
untuk kebutuhan subsisten atau religius, perdagangan satwa
liar; dan konversi hutan untuk kepentingan di luar kegiatan
kehutanan, seperti perkebunan, pertanian, dan industri
(Kuswanda, 2007a; Wich et al., 2011a).
Orangutan pada saat ini sudah berada di ambang
kepunahan akibat degradasi dan fragmentasi habitat. Laju
degradasi dan fragmentasi hutan sebagai habitat orangutan
tersebut masih sulit untuk dihentikan (FAO, 2010). Selain itu,
perlindungan habitat orangutan di dalam dan di luar kawasan
konservasi masih sangat rendah. Secara umum, pengusahaan
hutan atau kegiatan logging belum memenuhi standar
pengelolaan hutan lestari. Program Reduce Impact Logging
(RIL), High Conservation Value Forest (HCVF), ataupun
Restoring Logged Over Land (RLOL) belum sepenuhnya
diterapkan dalam pengusahaan hutan (Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006). Apabila
degradasi hutan terus berlanjut seperti saat ini, orangutan
Sumatra mungkin menjadi kera besar pertama yang akan
punah dari alam liar (Wich et al., 2008). Kondisi tersebut
dapat terjadi walaupun sudah ada arahan strategi konservasi
orangutan (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-
IV/2007).
Permasalahan konservasi orangutan masih mengalami
hambatan dalam penerapan kebijakan, program dan kegiatan
oleh berbagai pihak. Peran serta para pihak (stakeholders)
dalam konservasi orangutan hingga saat ini dianggap kurang
optimal dan belum terintegrasi. Kebijakan dan program yang
dilaksanakan stakeholders masih tumpang tindih sehingga

2
sering mengalami kegagalan dalam implementasi di lapangan
(Kuswanda & Bismark, 2007a). Kesadaran dan keikutsertaan
masyarakat lokal dalam konservasi juga masih sangat
terbatas akibat kurangnya pengetahuan untuk mendukung
program pelestarian orangutan. Pelaksanaan konservasi yang
bersifat kolaboratif dan partisipatif belum banyak
diimplementasikan dengan baik. Peraturan dan hukum untuk
melindungi keragaman hayati, termasuk orangutan yang telah
dirancang dan disahkan oleh pemerintah juga belum
dilaksanakan secara konsisten karena tidak adanya
koordinasi secara terpadu antar kelembagaan terkait
(Meijaard et al., 2001; Wich et al., 2011a). Apabila
permasalahan terus berlanjut, fenomena ini akan semakin
meningkatkan ambang kepunahan orangutan.
Orangutan Sumatra, sebagai kera terbesar yang masih
tersisa di Indonesia, memiliki keeksotisan atau daya tarik
tersendiri dibandingkan jenis primata lainnya. Satwa liar ini
sudah dikenal semua orang dan membuat kagum dunia.
Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan orangutan
sebagai maskot pelestarian hutan Indonesia untuk menarik
perhatian internasional dalam membantu upaya
konservasinya. Sayangnya, walapun satwa ini bersifat eksotis
dan menjadi maskot pelestarian hutan, pada kenyataannya
sedang berada dalam kondisi kritis terancam punah. Oleh
sebab itu, strategi konservasi orangutan harus terus
dikembangkan agar cerita dan keeksotisannya tidak hanya
menjadi sejarah belaka. Apalagi, salah satu kelompok
populasi orangutan yang hidup di Hutan Batang Toru
(kawasan hutan yang terletak di sebelah Selatan Danau Toba,
Sumatra Utara)–selanjutnya disebut sebagai ”Orangutan
Batang Toru”–kini juga mulai terancam kelestariannya. Saat

3
ini, kondisinya berada di bawah ukuran populasi yang ideal
untuk bisa tetap lestari dalam jangka panjang. yaitu kurang
dari 500 individu (PHVA, 2004).

B. Kerusakan Hutan Tropis Habitat Orangutan


Hutan tropis ibarat lumbung harta karun dari beragam
jenis keragaman hayati; mulai tingkat genetik, spesies, hingga
ekosistem. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki
hutan tropis terluas di dunia (Ewusie, 1990). Ribuan variasi
flora dan fauna dapat hidup dan berkembangbiak di
dalamnya, termasuk orangutan. Orangutan menempati hutan
hujan tropis terutama hutan dataran rendah sebagai
habitatnya. Menurut Rijksen (1978) dan Sugardjito (1986),
orangutan hanya mampu bertahan hidup dan
berkembangbiak pada habitat tropis yang masih primer,
seperti yang masih tersisa di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Ekosistem hutan tropis meliputi makhluk hidup dengan
komunitas biotik dan lingkungan abiotiknya. Masing-masing
komponen saling memengaruhi sifat-sifatnya sehingga
interaksinya menjadi penting dalam memelihara kehidupan.
Interaksi yang terjadi tersebut menghasilkan keseimbangan,
keselarasan, dan keserasian alam (Irwan, 2007). Terjadinya
kerusakan dan kehilangan keragaman hayati pada hutan
tropis dapat mengurangi produktivitas dan ketahanan spesies
beserta ekosistemnya secara menyeluruh (Naeem et al,
2009). Penurunan kualitas hutan primer menjadi hutan
sekunder pada habitat orangutan Sumatra di Provinsi Aceh
dan Sumatra Utara dapat dilihat pada Tabel 1.

4
Tabel 1. Perubahan penutupan lahan hutan primer habitat
orangutan Sumatra (2002–2009)
Pengurangan Luas
Provinsi Perubahan Hutan
ha %
Aceh Hutan primer menjadi 2.262,98 2,24
rawa sekunder
Hutan primer menjadi 70.868,89 70,02
hutan sekunder
Hutan primer menjadi HTI 24.147,14 23,86
Hutan primer menjadi 3.930,21 3,88
lahan pertanian
Sumatra Hutan primer menjadi 31.347,83 14,60
Utara rawa sekunder
Hutan primer menjadi 171.560,79 77,88
hutan sekunder
Hutan primer menjadi HTI 291,53 0,13
Hutan primer menjadi 3.646,56 1,68
lahan pertanian
Hutan primer menjadi 7.639,46 3,51
semak
Hutan rawa primer 588,01 0,27
menjadi hutan rawa
sekunder
Hutan rawa primer 10,01 0,00
menjadi semak

Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011

Pemanfaatan kawasan hutan tropis di Sumatra (juga di


Kalimantan) yang tidak memerhatikan prinsip keseimbangan
ekosistem tentunya akan berdampak sangat buruk bagi
kehidupan orangutan. Penyusutan dan kerusakan kawasan

5
hutan tropis di Sumatra telah menurunkan luas habitat
orangutan sebesar 1–1,5% per tahun sehingga populasinya
semakin terancam punah (Departemen Kehutanan, 2007).
FAO (2010) menyatakan bahwa kerusakan hutan tropis di
Sumatra sangat mengkhawatirkan, baik di dalam maupun di
luar kawasan lindung, yang mencapai 43,4% selama periode
1985–2007.

C. Perkembangan Penelitian Orangutan Sumatra


Penelitian tentang orangutan Sumatra telah banyak
dilakukan, namun sebagian besar masih terfokus pada hutan
dataran rendah. Padahal, orangutan Sumatra (Pongo abelii)
banyak menempati habitat dataran tinggi (lebih dari 800
meter di atas permukaan laut/m dpl). Lokus penelitian
orangutan Sumatra juga sebagian besar dilakukan di Provinsi
Aceh (sebelumnya bernama Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam) sebagai habitat orangutan di sebelah Utara
Danau Toba, seperti yang dilaporkan oleh Rijksen (1978);
Sugardjito (1986), van Schaik et al. (1995); dan Singleton &
van Schaik (2001). Sementara itu, penelitian orangutan di
Sumatra Utara, terutama di sebelah Selatan Danau Toba,
masih sangat sedikit dan baru dimulai sekitar awal tahun
2000-an. Padahal, orangutan di sebelah Selatan Danau Toba
diduga memiliki varian genetik yang berbeda dengan
orangutan di sebelah Utara Danau Toba (Wich et al., 2011b).
Habitat orangutan di sebelah Selatan Danau Toba
sebagian besar berada pada dataran dataran tinggi (lebih dari
800 m dpl). Habitat tersebut berada di kawasan Hutan
Batang Toru, seperti di kawasan konservasi Cagar Alam (CA)
Sibual-buali dan CA Sipirok (Kuswanda, 2006b; Djojoasmoro
et al., 2004). Penelitian orangutan di sebelah Selatan Danau

6
Toba (seperti di Hutan Batang Toru) masih sangat terbatas
dan tentunya perlu ditingkatkan, terutama untuk
mengembangkan teknik konservasi di hutan dataran tinggi.
Apalagi, laju kepunahan orangutan di Hutan Batang Toru
diduga akan lebih cepat karena sebaran yang terbatas, tingkat
kepadatan yang lebih rendah dibandingkan orangutan di
habitat dataran rendah, dan terdapatnya ancaman kerusakan
habitat yang terus meningkat (Kuswanda & Sugiarti, 2005a).
Penelitian orangutan pada habitat dataran tinggi di Hutan
Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah dimulai oleh
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan sejak tahun 2003 dan
hasilnya diuraikan dalam buku ini.

D. Perkembangan Paradigma Pelaksanaan Konservasi


Konservasi di masa lalu, bahkan sampai saat ini, masih
menggunakan pendekatan pengelolaan berbasis kawasan.
Model pendekatan ini sering menimbulkan konflik antara
pemangku kawasan dengan masyarakat. Begitu pula,
penyusunan program konservasi satwa liar, termasuk pada
orangutan, sebagian besar masih berlandaskan pertimbangan
kondisi ekologis (habitat dan populasi). Program konservasi
ini belum dipaduserasikan dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya dan peranan para pihak (Kuswanda &
Bismark, 2007a). Masyarakat sekitar habitat orangutan
seringkali hanya menjadi penonton dan bukan bagian dari
pelaksanaan konservasi. Dampaknya, pelaksanaan program
konservasi orangutan seringkali mengalami kegagalan karena
rendahnya respons dan peran serta masyarakat (van Schaik,
2006) .

7
Pendekatan pengelolaan hutan konservasi dengan
sistem kawasan dianggap masih belum optimal seperti taman
nasional (TN), cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM).
Sistem pengelolaan kawasan hutan konservasi belum dapat
memenuhi seluruh kebutuhan habitat yang diperlukan bagi
kelangsungan hidup beragam jenis satwa liar, seperti
orangutan yang membutuhkan wilayah jelajah yang sangat
luas. Risiko pemusnahan orangutan di alam pun secara cepat
dapat terjadi karena pembangunan infrastruktur akibat
pertumbuhan populasi manusia dan upaya pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Hutan konservasi yang salah satunya
diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan satwa liar
hanya merupakan ”pulau-pulau” habitat (habitas islands)
akibat terfragmentasi dan terisolasi oleh kawasan budi daya
manusia seperti areal perkebunan, industri, pemukiman,
pertanian, atau kawasan hutan produksi yang terdegradasi
(Marsono, 2009).
Saat ini; perspektif pemikiran, perencanaan dan
pengelolaan kawasan konservasi (termasuk dalam
melindungi keragaman hayati di dalamnya) mulai bergeser
dari paradigma “species and habitat protection” menuju
paradigma ”beyond boundary management” dalam skala
ekosistem/bioregion/lansekap. Pengelolaan individual
kawasan terbukti kurang efektif di lapangan. Hal ini terjadi
karena sistem pengelolaan dilakukan layaknya sebuah pulau
yang terisolasi dari konteks masalah sosial ekonomi, sosial
politik dan sosial budaya. Evolusi konsep dalam konservasi
orangutan pun mengalami perkembangan; yang sebelumnya
hanya memasukkan pendekatan pengelolaan habitat dan
populasi, kini bertambah dengan memasukkan konteks sosial
ekonomi dan budaya masyarakat dalam tataran ekosistem

8
atau lansekap. Hal ini diharapkan akan lebih menjamin
efektivitas konservasi orangutan di habitat alam dalam jangka
panjang yang menghendaki pemeliharaan proses dan
dinamika interaksi dalam tingkat jenis, antar jenis, dan antara
jenis dengan lingkungan abiotik mereka (Perbatakusuma et
al., 2006).
Kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi,
termasuk konservasi orangutan juga telah mengalami
pergeseran dengan tipe pengurusan yang lebih bervariasi.
Pengelolaan tidak semata-mata dilakukan oleh pihak
pemerintah pusat tetapi juga melibatkan pemerintah daerah,
swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat
setempat, atau kelembagaan kolaboratif yang dikelola
bersama-sama para pihak yang berkepentingan.
Kecenderungan global semakin muncul bahwa usaha
konservasi akan berlanjut ketika para pihak terkait mengakui
adanya manfaat yang besar dari investasi yang dikeluarkan
untuk kegiatan konservasi, termasuk dalam mengembangkan
konservasi satwa liar langka seperti orangutan.
Kegiatan konservasi orangutan perlu dilakukan melalui
pendekatan bio ekologi, kelembagaan, sosial ekonomi dan
budaya masyarakat setempat, khususnya di kawasan Hutan
Batang Toru, Provinsi Sumatra Utara. Oleh sebab itu, Buku ini
memberikan informasi tentang kondisi bio ekologi (habitat,
populasi dan perilaku), sosial ekonomi masyarakat, persepsi
dan peranan para pihak, dan rekomendasi strategi untuk
pengembangan konservasi orangutan di dataran tinggi
kawasan Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Usulan
rekomendasi strategi dan teknik untuk konservasi orangutan
tersebut selanjutnya disajikan pada bagian akhir buku ini.
Selain itu, buku ini juga sebagai review hasil penelitian dan

9
publikasi penulis dari tahun 2004 hingga tahun 2011, serta
referensi lainnya yang terkait dengan konservasi orangutan
Sumatra.

10
II. GAMBARAN HUTAN
BATANG TORU

Luas kawasan hutan di Provinsi Sumatra Utara saat ini


±3.055.795 ha; yang terdiri atas hutan konservasi seluas
±427.008 ha, hutan lindung (HL) seluas ±1.206.881 ha, hutan
produksi terbatas (HPT) seluas ±641.769 ha, hutan produksi
tetap (HP) seluas ±709.452 ha, dan hutan produksi dapat
dikonversi (HPK) seluas ±75.684 ha (Keputusan Menteri
Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014). Salah satu kawasan
hutan di Sumatra Utara yang menjadi habitat orangutan
Sumatra di sebelah Selatan Danau Toba adalah Blok Hutan
Batang Toru.
Berdasarkan pembagian status fungsi kawasan hutan,
Blok Hutan Batang Toru menurut Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah I Medan (2006) sekitar 105.808 ha;
yang terdiri atas kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan
pelestarian alam (KPA) seluas 15.020 ha, HL seluas 17.737 ha,
HPT seluas 1.483 ha, HP seluas 57.171 ha, dan areal
penggunaan lain (APL) seluas ± 14.397 ha. Data luas kawasan
hutan pada Blok Hutan Batang Toru tersebut berbeda dengan
data menurut Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatra
Utara No. 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi Sumatra Utara Tahun 2003–2018. Menurut
Perda tersebut, Blok Hutan Batang Toru terdiri atas KSA
seluas 12.994,7 ha, HL seluas 17.382,7 ha, HPT seluas 2.951,1
ha, dan HP seluas 115.241,6 ha. Sementara itu, sumber lain

11
menyebutkan bahwa luas Blok Hutan Batang Toru sekitar
102.667 ha (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-
dasar, 2012).
Blok Hutan Batang Toru memiliki tutupan hutan alam
primer sekitar 90.000–140.000 ha (Conservation
International, 2004 dalam http://pongoabelii.wordpress.
com/dokumen-dasar, 2012). Kawasan hutan tersebut secara
geografis berada pada koordinat 98˚50’49,9”–99˚17’46,3”
Bujur Timur (BT) dan 1˚26’17,7”–1˚55’42,7” Lintang Utara
(LU) (Perbatakusuma et al., 2006). Secara administratif,
Hutan Batang Toru berada pada tiga kabupaten dan dua kota
di Provinsi Sumatra Utara dengan sebaran luasan seperti
pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi luasan Blok Hutan Batang Toru pada setiap


kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara

Persentase
Kabupaten/Kota Luas (ha)
(%)
Tapanuli Selatan 38.570,4 37,6
Tapanuli Tengah 16.932,1 16,5
Tapanuli Utara 46.192,9 45,0
Kota Sibolga 432,2 0,4
Kota Padang Sidempuan 539,4 0,5
Luas Keseluruhan 102.667,0 100,0
Sumber: (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012)

Hutan konservasi yang terdapat di kawasan Hutan


Batang Toru adalah CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok Sipirok,
dan Suaka Alam (SA) Lubuk Raya (Gambar 1). Pada blok ini

12
terdapat pula hutan lindung yaitu HL Batang Toru II, HL
Sipirok dan HL Sibolga.

CA Dolok
Sipirok

CA Dolok
Sibual-buali

SA Lubuk Raya

Sumber peta: Conservation International-Indonesia (2006)

Gambar 1. Peta Kawasan Blok Hutan Batang Toru

13
Secara umum, kawasan hutan alam di DAS Batang Toru
merupakan ekosistem yang masih asli dan relatif utuh sebagai
perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan
perbukitan (300 m dpl), hutan batuan gamping (limestone),
hutan pegunungan rendah, hingga hutan pegunungan tinggi
(Gambar 2). Kawasan hutan alam memiliki ketinggian mulai
dari 50 m dpl (daerah Sungai Sipan Sihaporas, dekat Kota
Sibolga) hingga 1.875 m dpl (puncak Gunung Lubuk Raya).
Topografi kawasan memiliki kelerengan antara 16% hingga
lebih dari 60% yang didominasi oleh areal berbukit dan
bergunung (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-
dasar, 2012). Kawasan hutan juga memiliki keunikan
fenomena geologi berupa sumber-sumber air panas dan
geotermal, serta terdapat potensi mineral emas dan perak
(Perbatakusuma et al., 2006; Kuswanda, 2006a).

Gambar 2. Ekosistem hutan alam Blok Hutan Batang Toru

14
Kawasan hutan alam Batang Toru mempunyai tingkat
keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati, serta
ekosistem yang tinggi. Dengan demikian, kawasan hutan
tersebut bernilai HCVF dan dapat dinyatakan sebagai
kawasan yang penting bagi pelestarian keanekaragaman
hayati (key biodiversity area) di Provinsi Sumatra Utara.
Keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan Batang Toru
yang telah teridentifikasi adalah 67 spesies mamalia (dari 21
famili), 287 spesies burung, 110 spesies herpetofauna (19
spesies amphibia dari 6 famili dan 49 spesies reptilia dari 12
famili). Selain itu, kekayaan keanekaragaman flora juga
sangat tinggi, yaitu sekitar 688 spesies tumbuhan dari 137
famili (Perbatakusuma et al., 2006).
Beberapa spesies satwa liar yang menjadi kekayaan
keanekaragaman hayati di kawasan Hutan Batang Toru
merupakan spesies yang dilindungi sesuai PP Nomor 7 Tahun
1999, statusnya terancam punah sesuai kategori IUCN dan
peredarannya dibatasi sesuai kategori CITES (Convention
International of Trade of Endagered Species). Secara terinci,
status konservasi untuk taksa mamalia tercatat sebanyak 20
spesies (jenis) yang dilindungi, 12 spesies termasuk dalam
kategori terancam punah dan 14 spesies termasuk dalam
daftar Appendix CITES. Satwa liar mamalia yang terancam
bahaya kepunahan dan dilindungi, antara lain orangutan
Sumatra (Pongo abelii), harimau Sumatra (Panthera tigris
Sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), kukang
(Nycticebus coucang), kambing hutan Sumatra (Naemorhedus
sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), dan kucing emas
(Pardofelis marmomata). Taksa herpetofauna yang terancam
bahaya kepunahan dan dilindungi diantaranya terdapat 4
spesies bersifat endemik, 5 spesies terancam punah secara

15
global, dan 7 spesies digolongkan ke dalam daftar Appendix
CITES. Sementara itu, status konservasi satwa burung
tercatat sebanyak 51 spesies yang dilindungi, 61 spesies
termasuk dalam kategori terancam punah dan 8 spesies
termasuk dalam daftar Appendix CITES. Khusus untuk satwa
burung; terdapat 21 spesies migran, 8 spesies endemik dan 4
spesies yang berkontribusi dalam pembentukan kawasan
Endemic Bird Area (Perbatakusuma et al., 2006).
Selain kekayaan satwa liar, Hutan Batang Toru juga
memiliki kekayaan tumbuhan (flora) yang cukup tinggi. Dari
sekitar 688 spesies flora yang diketahui, 138 spesies
diantaranya diketahui dapat menjadi sumber pakan
orangutan Sumatra dan 9 spesies flora merupakan jenis baru.
Selain itu, terdapat 8 spesies flora yang terancam bahaya
kepunahan, 3 spesies merupakan endemik Sumatra, dan 4
spesies dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999, seperti
Rafflesia gadutensis Meijer dan Nepenthes Sumatrana (Miq.)
Becc. Kawasan ini juga menyimpan populasi flora yang
memiliki bunga raksasa, yaitu Amorphaphalus baccari dan
Amorphophalus gigas (Perbatakususma et al., 2006).
Kawasan Hutan Batang Toru tidak semuanya
merupakan habitat orangutan. Orangutan hanya terdapat di
sebagian wilayah kawasan, terutama di bagian Barat, yaitu
pada habitat dataran tinggi (sub pegunungan sampai
pegunungan) dengan ketinggian >800 m dpl (Kuswanda,
2006b; Simorangkir, 2009). Sementara itu, habitat orangutan
di daerah dataran rendah sudah banyak berubah menjadi
perkebunan sawit dan karet. Habitat orangutan Batang Toru
tersebut tersebar pada berbagai status fungsi hutan (Gambar
3), mulai dari hutan produksi (HPT, HP, dan HPK), HL, hutan
konservasi (CA dan SM), dan hutan rakyat (APL).

16
Sumber peta: Conservation International-Indonesia (2006)

Gambar 3. Habitat orangutan di kawasan Hutan Batang Toru

17
Penelitian orangutan Batang Toru–sebagai fokus
bahasan pada buku ini–telah dilakukan oleh penulis pada
kawasan hutan konservasi CA Alam Dolok Sibual-buali dan CA
Dolok Sipirok, serta kawasan hutan dan lahan masyarakat
sekitarnya. Lokasi ini adalah contoh kawasan konservasi
yang penting untuk mengungkap bio ekologi orangutan pada
habitat dataran tinggi di sebelah Selatan Danau Toba yang
sebelumnya sedikit sekali informasi penelitiannya. Selain itu,
orangutan Batang Toru diperkirakan lebih rentan terhadap
ancaman kepunahan lokal karena jumlah populasinya sangat
rendah (dibahas pada bab-bab berikutnya). Selanjutnya,
gambaran umum lokasi penelitian pada dua hutan konservasi
tersebut adalah sebagai berikut.

Sumber: Peta RBI skala 1 : 50.000; Peta Register Skala 1 : 20.000 dan
Kuswanda (2005a)

Gambar 4. Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali

18
A. Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali
CA Dolok Sibual-buali merupakan bagian dari kawasan
Hutan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan yang masih
merupakan habitat alami orangutan Sumatra. Hutan Sibual-
buali ditetapkan sebagai kawasan cagar alam pada tanggal 8
April 1982 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 215/Kpts/Um/14/1982 dengan luas keseluruhan
±5.000 Ha. Secara administratif, kawasan CA Dolok Sibual-
buali meliputi Kecamatan Marancar, Sipirok, Batang Toru dan
Padang Sidempuan Timur. Kawasan CA Dolok Sibual-buali
dapat dicapai menggunakan kendaraan darat melalui rute
Medan–Tarutung dan Sipirok dengan jarak ±350 km atau
waktu tempuh sekitar 7 jam. Selain itu, kawasan hutan dapat
ditempuh melalui rute Medan–Rantau Parapat–Gunung Tua–
Sipirok dengan jarak tempuh sekitar 400 km (Balai KSDA
Sumut II, 2002).
Kawasan CA Dolok Sibual-buali termasuk dalam
kelompok tipe hutan pegunungan dengan ketinggian antara
800–1.319 m dpl. Pegunungan di CA Dolok Sibual-buali
memiliki lereng agak curam sampai curam yang didominasi
oleh lereng >40%. Kondisi topografi sebagian besar kawasan
merupakan perbukitan dan pegunungan dan terletak di
daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang agak labil.
Kawasan CA Dolok Sibual-buali sebagian besar berada dalam
DAS Batang Toru. Pola aliran sungai di Hutan Batang Toru
umumnya mengikuti pola paralel, artinya pola aliran sungai
bentuknya memanjang ke satu arah dengan cabang-cabang
sungai kecil yang datangnya dari arah lereng-lereng bukit,
kemudian menyatu di sungai utama yang mengalir di
lembahnya. Pola aliran seperti ini mempunyai risiko bencana
banjir dan longsor yang tinggi apabila terjadi pembalakan

19
kayu, konversi hutan alam, atau pembuatan jalan memotong
punggung bukit di daerah bagian hulu.
Kondisi vegetasi di CA Dolok Sibual-buali masih relatif
baik dan banyak dijumpai pohon-pohon yang berdiameter
besar. Flora yang mendominasi kawasan CA Dolok Sibual-
buali adalah Famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Anacardiaceae,
Moraceae, Dipterocarpaceae, dan sebagian yang lain. Jenis
tumbuhan yang mendominasi adalah medang nangka
(Eleaocarpus obtusus), hau dolok (Syzygium sp.), hoteng
(Quercus gemelliflora Bl), dan Hoteng batu (Quercus maingayi
Bakh). Pada strata dua, banyak dijumpai anakan pohon dan
perdu yang rapat, serta tumbuhan berbunga dan anggrek
hutan. Pada kawasan ini dapat ditemukan juga bunga langka
(Rafflesia sp.).
Selain orangutan, CA Dolok Sibual-buali–yang juga
merupakan daerah transisi–memiliki kekayaan dan
keanekaragaman jenis satwa langka, endemik, dan dilindungi
lainnya seperti siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821),
ungko (Hylobathes agilis Cuvier, 1821), tapir (Tapirus indicus),
dan harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae). Selain itu,
kawasan CA Dolok Sibual-buali merupakan habitat beragam
jenis burung yang dilindungi, seperti poksai jambul putih
(Garrulax leucophus), rangkong, enggang, dan elang.
Masyarakat yang tinggal di sekitar CA Dolok Sibual-
buali pada umumnya adalah suku Batak dan hanya sebagian
yang berasal dari keturunan suku Jawa dan daerah lainnya.
Mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani,
peladang, dan pembuat gula aren. Jenis tanaman yang
dibudidayakan masyarakat antara lain padi, kayu manis
(Cinammomum burmanii Nees & Th. Nees), kopi (Coffea
arabica L.), karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg), salak

20
(Salacca edulis Reinw), dan cokelat (Theobroma cacao L).
Sarana dan prasarana kehidupan masyarakatnya relatif masih
rendah, jalan transportasi yang masih sulit, dan umumnya
tergolong katagori masyarakat desa miskin.

Gambar 5. Tanaman budi daya masyarakat di sekitar CA Sibual-


buali

B. Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok


Kawasan CA Dolok Sipirok ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
226/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982 dengan luas
keseluruhan mencapai 6.970 ha. Lokasi CA Dolok Sipirok
dapat dicapai menggunakan kendaraan darat melalui rute

21
Medan–Tarutung dan Sipirok dengan jarak ±350 km atau
waktu tempuh sekitar 7–8 jam. Selain itu, lokasi dapat
ditempuh melalui rute Medan–Rantau Parapat–Gunung Tua–
Sipirok dengan jarak tempuh ±400 km (Balai Konservasi
Sumber daya Alam Sumut II, 2002).
Kawasan CA Dolok Sipirok berada pada ketinggian
antara 600–1.200 m dpl. Topografi kawasan hutan tersebut
secara umum memiliki lereng agak curam sampai curam
dengan kelerengan >40%, relatif sama dengan CA Dolok
Sibual-buali. Kondisi topografi sebagian besar berupa
perbukitan dan pegunungan yang terletak di daerah vulkanis
aktif dengan kondisi geologis yang relatif labil.
Hidrologi CA Dolok Sipirok sebagian besar termasuk
dalam DAS Batang Toru, seperti halnya CA Dolok Sibual-buali,
dengan pola aliran sungai mengikuti pola paralel. Jenis tanah
di CA Sipirok terdiri atas dua tipe: Ma.2.2.4 di bagian Barat
dan Utara, dan Vd.1.4.4. di bagian Timur (Gambar 6). Tanah
tipe Ma.2.2.4 mencirikan sebagai bagian dari pegunungan,
intermediate tuffs (debu), kemiringan (slope) dengan curam
sampai sangat curam (25–75%), dan terbelah-belah
(dissected) ekstrem. Berdasarkan klasifikasi United States
Department of Agriculture (USDA), jenis tanah termasuk
kategori humitropepts, halupdults, dan haplohumults. Tekstur
tanah lapisan atas (top soil) tergolong bagus (fine) dan sub soil
cukup bagus (moderately fine). Kondisi mineral tanah
termasuk sangat dalam dan drainase cukup bagus. Tanah tipe
Vd.1.4.4. merupakan bagian dari stratovulcanoes, tuff masam,
vulcano dengan slope rendah (<16%), dan terbelah-belah
ekstrem. Berdasarkan klasifikasi USDA, jenis termasuk dalam
kategori dystropepts dan humitropepts dengan tekstur top soil
bagus (fine) dan sub soil juga bagus. Mineral tanah termasuk

22
dalam sampai sangat dalam dan drainase cukup baik
(Kuswanda, 2011).

Gambar 6. Peta kawasan dan ketinggian CA Dolok Sipirok

Kekayaan flora dan fauna di CA Dolok Sipirok juga


beragam. Flora yang mendominasi diantaranya Famili
Dipterocarpaceae, Fagaceae, Moraceae, Myrtaceae,
Anacardiaceae dan Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan yang
mendominasi adalah hau dolok (Syzygium sp.), hoteng
(Quercus sp.) dan mayang (Palaquium sp.). Pada strata dua

23
banyak dijumpai anakan pohon dan perdu yang rapat, serta
tumbuhan berbunga dan anggrek hutan (Balai KSDA Sumatra
Utara II, 2002; Perbatakusuma et al., 2006). Sementara itu,
jenis-jenis satwa langka, endemik, dan dilindungi (selain
orangutan Sumatra) adalah beruang madu (Helarctos
malayanus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates
syndactylus), ungko (Hylobathes agilis), beruk (Macaca
nemestrina), kambing hutan Sumatra (Naemorhedus
sumatrensis sumatrensis), dan harimau Sumatra (Panthera
tigris Sumatrae).

Gambar 7. Satwa liar primata yang terdapat di CA Dolok Sipirok:


1) siamang (Hylobates syndactylus) dan 2) ungko
(Hylobathes agilis)

Mata pencaharian masyarakat di CA Dolok Sipirok


hampir sama dengan masyarakat yang ada di sekitar CA

24
Dolok Sibual-buali yaitu sebagai petani, peladang, dan
pembuat gula aren. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara
lain salak (Salacca edulis Reinw), kayu manis (Cinammomum
burmanii), dan karet (Hevea brasiliensis). Sarana kesehatan
dan ekonomi seperti pasar masih minim sehingga masyarakat
harus membawa ke pekan atau pasar mingguan di pusat Kota
Sipirok untuk menjual hasil pertaniannya.

25
III. SEJARAH, TAKSONOMI DAN
SEBARAN

A. Sejarah

Orangutan diperkirakan berasal dari daratan Asia di


sepanjang Pegunungan Himalaya. Orangutan diperkirakan
bermigrasi sejauh 3.000 km ke Daratan Sunda yang luas
selama masa Pleistosen (2 juta–22 ribu tahun yang lalu).
Pola migrasi orangutan mungkin terpusat di sepanjang
sungai-sungai dan kaki gunung karena orangutan tidak bisa
berenang. Orangutan menyeberangi sungai diperkirakan
pada kedua tepi sungainya yang terhubung dengan tajuk
pohon, batang yang rubuh, dan/atau bebatuan besar sebagai
tempat loncatan (Meijaard et al., 2001).
Populasi orangutan di sebagian dataran Asia
diperkirakan punah sekitar abad ke-16 dan populasi yang
tersisa hingga kini adalah populasi orangutan di Sumatra dan
Kalimantan. Penemuan mengenai keberadaan orangutan
Sumatra di wilayah Aceh mulai dipublikasikan oleh B. Hagen
dari Jerman pada tahun 1890. Pada tahun 1905, Gustav
Schneider menemukan bahwa orangutan terlihat di
pedalaman Sibolga dan sekitar Sungai Batang Toru. Pada
awal tahun 1970-an, rimbawan Indonesia, K.S. Depari,
melaporkan kembali bahwa orangutan masih terdapat di
hutan sepanjang Sungai Batang Toru (Meijaard et al., 2001).
Keberadaan orangutan masih ditemukan di kawasan hutan

27
Batang Toru diperkuat dengan adanya laporan para peneliti
yang menemukan orangutan terutama pada awal abad ke-21
(awal tahun 2000-an).

B. Taksonomi dan Morfologi


Orangutan merupakan salah satu anggota suku
Pongidae yang mencakup pula tiga spesies kera lainnya, yaitu
bonobo Afrika (Pan panicus Schwarz), simpangse (Pan
troglodytes Blumenbach), dan gorila (Gorilla gorilla Savage).
Menurut Groves (1999), Muir et al., (2000), Zhang (2001), dan
Fischer (2006); orangutan di Pulau Sumatra dan Kalimantan
telah diidentifikasi sebagai spesies yang berbeda, yaitu
orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus Linneus). Orangutan
Kalimantan terbagi lagi menjadi tiga sub spesies yaitu Pongo
pygmaeus pygmaeus (bagian Utara dan Barat Pulau
Kalimantan), Pongo pygmaeus wurmbii (bagian Tengah Pulau
Kalimantan), dan Pongo pygmaeus morio (bagian Utara dan
Timur Pulau Kalimantan). Taksonomi orangutan Sumatra–
yang dikenal dengan nama lokal mawas atau orangutan dan
nama internasional orangutan–secara lengkap adalah sebagai
berikut:
Super famili : Hominoidea
Famili : Pongidae
Genus : Pongo
Spesies : Pongo abelii Lesson

Secara morfologi, orangutan Sumatra dan orangutan


Kalimantan sangat serupa, kecuali sedikit terdapat perbedaan
yang dapat dilihat dari warna bulunya. Orangutan Kalimantan

28
setelah dewasa berwarna cokelat kemerah-merahan atau
lebih gelap, sedangkan orangutan Sumatra berwarna lebih
merah dan cerah, serta kadang-kadang terdapat warna putih
pada bagian muka. Perbedaan morfologis orangutan dapat
lebih dikenali dari perawakannya, khususnya struktur
rambut. Pongo pygmaeus memiliki rambut pipih dengan
kolom pigmen hitam yang tebal di tengah; sedangkan Pongo
abelii berambut lebih tipis, membulat, memiliki kolom
pigmen yang halus dan sering patah di bagian tengahnya.
Orangutan Kalimantan jantan dewasa memiliki cheek pad
yang lebar, kantung suara yang besar, dan wajah berbentuk
segi empat. Sementara itu, orangutan Sumatra jantan dewasa
memiliki cheek pad dan kantung suara yang kecil, warna
janggut agak kekuningan, dan wajah berbentuk berlian
(Napier & Napier, 1967; Sinaga, 1992; van Schaik, 2006).
Berat badan kedua spesies tersebut tidak berbeda nyata;
orangutan betina berkisar 35–55 kg, sedangkan yang jantan
berkisar 85–110 kg (Sudirman & Shapiro, 2007)

C. Sebaran
Pola sebaran satwa liar di alam bebas dapat berbentuk
acak, berkelompok, atau sistematik. Bentuk sebaran satwa
primata pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh
penyebaran sumber pakan, terutama buah dan daun
(Alikodra, 1990). Menurut van Schaik et al. (1995), sebaran
orangutan semakin sedikit dengan bertambahnya ketinggian
tempat karena ketersediaan buah-buahan sebagai makanan
pokoknya semakin menurun tajam bersamaan dengan
bertambah tingginya suatu tempat. Blouch (1997), Singleton
& van Schaik (2001), dan Meijaard et al. (2001) menyatakan
bahwa penyebaran orangutan sangat dipengaruhi oleh

29
ketersediaan pakan, kualitas habitat, dan kondisi cuaca
terutama suhu di malam hari. Lokasi penyebaran orangutan
Sumatra yang masih tersisa disajikan pada Tabel 3 dan
Gambar 8.

Tabel 3. Lokasi dan perkiraan luas habitat dan populasi


orangutan Sumatra
Perkiraan
Luas habitat
No. Lokasi populasi
(km2)
(individu)
1. Aceh (Utara–Timur) 1,679 654
2. Aceh (Utara–Barat) 282 180
3. Seulawah 85 43
4. Aceh Tengah 826 440
5. Leuser bagian Barat 2,547 2,508
6. Sidiangkat 186 134
7. Leuser bagian Timur 1,467 1,052
8. Rawa Tripa 140 280
9. Tromon–Singkil 725 1,500
10. Rawa Singkil Timur 80 160
11. Batang Toru Barat 600 400
12. Serulla Timur 375 150
Jumlah 8,992 7,501
Sumber: Population and Habitat Viability Assessment (2004) dan Wich et al.
(2003).

Orangutan cenderung menempati hutan dataran rendah


karena pohon-pohonnya menyediakan sumber pakan buah
sebagai makanan utamanya. Namun, banyak pula orangutan
Sumatra yang hidup dan menempati habitat dataran tinggi
(>1.000 m dpl) seperti di kawasan Hutan Batang Toru
(Djojoasmoro et al., 2004; Kuswanda, 2006b; Sitaparasti,

30
2007; Perbatakusuma et al., 2006). Pada habitat alaminya,
orangutan merupakan satwa liar tipe pengumpul atau pencari
makanan yang oportunis (memakan apa saja yang dapat
diperolehnya). Distribusi jumlah dan kualitas makanan,
terutama buah-buahan sebagai makanan pokok orangutan,
sangat memengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan
populasi dan organisasi sosialnya (Meijaard et al., 2001).

Sumber: Wich et al. (2008)

Gambar 8. Peta sebaran habitat orangutan Sumatra

31
Menurut Kuswanda (2008a), selain sebarannya di
Selatan Danau Toba, orangutan ditemukan pula di hutan SM
Barumun, Kabupaten Padang Lawas Utara (lebih Selatan dari
Hutan Batang Toru). Hal ini diketahui berdasarkan hasil
identifikasi terhadap penemuan sarang yang diduga
merupakan sarang orangutan. Informasi keberadaan sarang
orangutan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti melalui survei
oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA)
Sumatra Utara pada tahun 2009 dan melaporkan bahwa
petugas di lapangan telah menemukan orangutan secara
langsung. Penemuan ini sangat penting karena menjadi
informasi baru yang sebelumnya dinyatakan oleh para ahli
bahwa sebaran orangutan Sumatra paling Selatan Danau Toba
adalah di Hutan Batang Toru (Population and Habitat Viability
Assessment, 2004).

32
IV. HABITAT

Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau


satwa dapat hidup dan berkembang secara alami
(Departemen Kehutanan, 1990). Habitat merupakan
keseluruhan resources (sumber daya), baik biotik maupun
fisik, pada suatu area yang digunakan/dimanfaatkan oleh
suatu spesies satwa liar untuk bertahan hidup (survival) dan
bereproduksi. Habitat dapat diartikan pula sebagai suatu
kawasan atau ruang yang dapat memenuhi semua kebutuhan
dasar dari suatu populasi spesies tertentu. Ruang tersebut
dapat berfungsi sebagai tempat kawin, tidur atau istirahat,
bertelur, dan tempat lainnya dimana suatu organisme
melakukan segala aktivitas kehidupannya yang tercermin
dalam suatu daerah jelajahnya (Bailey, 1984; Alikodra, 1990).
Habitat dapat menghubungkan kehadiran spesies, populasi,
atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan
fisik dan karakteristik biologi (Morrison, 2002).
Habitat orangutan cukup menyebar, mulai dari hutan
dataran rendah sampai pada hutan pegunungan. Habitat yang
optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe
lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang
berdekatan. Tepi sungai dapat berupa dataran banjir, rawa,
atau lembah aluvial; sedangkan dataran tinggi kering
biasanya adalah kaki bukit. Habitat orangutan secara umum
banyak ditemukan di daerah dataran rendah pada ketinggian

33
200–400 m dpl (Meijaard et al., 2001). Secara keseluruhan
habitat orangutan Sumatra diperkirakan hanya tersisa 8,992
km2 (Wich et al., 2003; PHPA, 2004). Selanjutnya, kondisi
habitat orangutan Batang Toru, khususnya di CA Dolok
Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok diuraikan sebagai berikut.

A. Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan


Hasil penelitian pada habitat orangutan di CA Dolok
Sibual-buali yang diklasifikasikan berdasarkan pembagian
wilayah telah mengindentifikasi spesies tumbuhan yang ada
yaitu wilayah bagian Barat sedikitnya teridentifikasi 53
spesies, bagian Timur 39 spesies, dan bagian Utara 58
spesies. Keragaman tumbuhan yang ditemukan di bagian
Utara memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bagian Barat dan Timur. Hal ini karena bagian Utara
umumnya masih merupakan hutan primer. Spesies tumbuhan
yang mendominasi antara lain adalah hau dolok (Syzygium
sp.), randuk hambing (Alstonis macrophylla), medang nangka
(Eleaocarpus obtusus), hau dolok jambu (Choriophyllum
malayanum), dan hoteng (Quercus maingayi).
Keanekaragaman jenis tumbuhan (H’) berdasarkan
hasil perhitungan indeks Shannon untuk setiap tingkat
pertumbuhan sangat bervariasi antara 2,46–3,28.
Berdasarkan batasan Barbour et al., (1987) dan Samingan
(1997), nilai ini menunjukkan bahwa kawasan hutan CA
Dolok Sibual-buali masih bisa lestari apabila dilakukan
pengamanan terhadap gangguan yang datang dari luar
terutama akibat aktivitas manusia seperti perambahan,
pengambilan air nira, dan penebangan liar. Berdasarkan
analisis indeks kesamaan komunitas Sorensen, kondisi
vegetasi di setiap bagian (Barat, Timur, dan Utara) ternyata

34
berbeda nyata untuk setiap tingkat pertumbuhan vegetasi
dengan persentase kemiripan <50%. Menurut Meijaard et al.
(2001), kekayaan dan komposisi jenis pada suatu kawasan
sangat dipengaruhi oleh lokasi tersebut yang berkaitan
dengan kondisi tanah dan iklim wilayah tersebut.

Gambar 9. Habitat orangutan dataran tinggi CA Dolok Sibual-buali

Habitat orangutan di CA Dolok Sipirok sedikitnya dapat


dibagi menjadi empat tipe ekosistem (Kuswanda, 2011), yaitu
sebagai berikut.
1. Hutan primer pada ketinggian di atas 900–1.200 meter dpl
yang mewakili tipe vegetasi habitat Montana bagian bawah
dengan luas sekitar 5.335 ha.

35
2. Hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl yang
mewakili tipe vegetasi habitat Sub Montana dengan luas
sekitar 845 ha.
3. Hutan sekunder yang mewakili tipe vegetasi yang telah
mengalami gangguan terutama akibat penebangan liar
dengan luas sekitar 420 ha.
4. Lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-
semak belukar yang memberikan gambaran tipe vegetasi
pada habitat yang sudah terdegradasi (lahan kritis) dengan
luas sekitar 395 ha.

Gambar 10. Komposisi tumbuhan pada berbagai tipe habitat di CA


Dolok Sipirok

Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) terhadap


tumbuhan pada keempat tipe ekosistem adalah sekitar 2,41–
3,86 dengan nilai indeks tertinggi ditemukan pada tipe

36
habitat hutan primer ketinggian 600–900 m dpl. Nilai
keanekaragaman jenis pada tiga tipe habitat (hutan primer
pada ketinggian >900–1.200 m dpl, hutan primer pada
ketinggian 600–900 m dpl, dan hutan sekunder) termasuk
kategori tinggi, sedangkan pada tipe ekosistem lahan kering
bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar
tergolong rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi
habitat orangutan di CA Dolok Sipirok secara umum masih
stabil, kecuali pada ekosistem lahan kering bekas area
pertanian-kebun campuran-semak belukar. Menurut Ives
(2007) dan Begon et al. (2006), spesies yang beragam di
dalam komunitas akan membentuk suatu hubungan asosiasi
yang kompleks satu sama lain. Hubungan yang kompleks ini
mengakibatkan suatu komunitas akan lebih tahan terhadap
gangguan dibandingkan dengan komunitas dengan hubungan
yang sederhana. Oleh karena
itu, semakin tinggi keaneka-
ragaman spesies akan
meningkatkan kestabilan
suatu komunitas.
Nilai kelimpahan jenis
tumbuhan tertinggi berada
pada tipe habitat hutan
primer pada ketinggian
>900–1.200 m dpl. Kelim-
pahan jenis tumbuhan pada
hutan primer dan sekunder
di CA Dolok Sipirok cukup
Gambar 11.
tinggi apabila dibandingkan Kerapatan tumbuhan pada
dengan kawasan konservasi ketinggian 900–1.200 m dpl di CA
di sekitarnya, seperti CA Dolok Sipirok

37
Dolok Sibual-buali. Nilai kelimpahan tumbuhan di CA Dolok
Sipirok adalah 34,45–73,98, sedangkan di CA Dolok Sibual-
buali hanya 29,26–32,45. Kelimpahan jenis yang tinggi
menunjukkan bahwa penyebaran setiap jenis pohon hampir
merata sehingga membuat kawasan tersebut cukup stabil dan
mempunyai daya dukung tinggi untuk pemenuhan sumber
pakan dan pohon tidur orangutan.
Hasil analisis indeks kesamaan komunitas Sorensen
menunjukkan terdapat perbedaan komposisi vegetasi pada
berbagai tipe habitat, baik pada tingkat pohon maupun tiang.
Tipe hutan sekunder memiliki kesamaan jenis sebesar
51,78% (tingkat pohon) dan 39,08% (tingkat tiang) dengan
tipe habitat hutan primer di atas ketinggian 900–1.200 m dpl,
dan kesamaan jenis sebesar 48,00% (tingkat pohon) dan
48,72% (tingkat tiang) dengan tipe habitat hutan primer pada
ketinggian 600–900 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa
ketiga tipe habitat tersebut memiliki perbedaan komposisi
jenis vegetasi penyusun komunitasnya rata-rata lebih dari
50%.
Rata-rata nilai variabel tumbuhan yang berbeda pada
ketiga tipe habitat ini antara lain kerapatan jenis dan jumlah
jenis tumbuhan pakan, baik tingkat pohon maupun tiang;
rata-rata jarak antar pohon; dan persen penutupan tajuk
pohon. Hasil ini menunjukkan pula bahwa perbedaan
ketinggian tempat (selang 300 m dpl) dan tipe penutupan
lahan di CA Sipirok telah memengaruhi komposisi dan
struktur vegetasi di dalam komunitasnya sehingga dapat
dikategorikan sebagai tipe habitat yang berbeda.

38
B. Tumbuhan Pakan Orangutan
1. Proporsi Jenis dan Jumlah Pohon Pakan
Tumbuhan yang
menjadi sumber pakan
orangutan di CA Dolok
Sibual-buali telah teriden-
tifikasi sebanyak 33 spe-
sies di bagian Barat, 19
spesies di bagian Timur,
dan 28 spesies di bagian
Utara. Spesies tumbuhan
pakan hampir ditemukan
pada setiap tingkat
pertumbuhan, baik pada
tingkat tiang maupun po-
hon, atau pada tempat Gambar 12.
Beringin adalah jenis tumbuhan
dimana orangutan mencari yang dikonsumsi daun dan
makan maupun bersarang. buahnya
Jenis tumbuhan pakan
yang banyak dijumpai adalah hau dolok merah (Syzygium sp.),
gala-gala (Ficus racemosa) dan medang nangka (Elaeocarpus
obtusus), beringin (Ficus benjamina), dan hoteng (Quercus
maingayi). Persentase tertinggi bagian tumbuhan yang
dimakan oleh orangutan adalah buah (55%), daun dan pucuk
(14%), umbut (6%), dan sisanya dalam bentuk kombinasi
buah-daun-pucuk-umbut.
Sebagai pemakan buah-buahan, orangutan hidup
secara nomadis yaitu berpindah dari suatu tempat ke tempat
yang lain. Namun demikian, orangutan akan tetap tinggal di
suatu daerah selama ketersediaan makanan cukup melimpah.
Orangutan sangat menyukai buah-buahan yang berdaging

39
lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tunggal dan buah beri
seperti jenis Ficus sp. Namun demikian, orangutan tercatat
pula sebagai pemakan telur burung, vertebrata kecil seperti
tupai, tokek dan kukang, serta menyukai madu (Meijaard et
al., 2001).
Pada kawasan CA Dolok Sipirok, sedikitnya
teridentifikasi sekitar 55 spesies tumbuhan pakan seperti
terep (Artocarpus elasticus), motung (Ficus toxicaria), asam
hing (Dracontomelon dao), dan dongdong (Ficus fistulosa).
Proporsi jenis dan jumlah pohon pakan orangutan
dibandingkan dengan jenis tumbuhan secara keseluruhan
yang tertinggi ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada
ketinggian 600–900 m dpl dan yang terendah pada tipe
habitat lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-
semak belukar. Pada tingkat pohon, proporsi tertinggi jenis
pohon pakan ditemukan pada tipe habitat hutan sekunder,
sedangkan proporsi tertinggi jumlah pohon pakan ditemukan
pada tipe habitat hutan
primer pada ketinggian
600–900 m dpl. Pada
tingkat tiang, proporsi
tertinggi jenis dan jum-
lah pohon pakan dite-
mukan pada tipe habitat
hutan primer pada
ketinggian 600–900 m
dpl.

Gambar 13.
Motung, salah satu jenis tumbuhan
pakan yang disukai orangutan

40
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tipe habitat
hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl memiliki
kecenderungan sebagai habitat yang paling cocok dan
berpeluang paling tinggi untuk ditempati orangutan
dibandingkan tipe habitat lainnya. Menurut Meijaard et al.
(2001); distribusi jenis, jumlah, dan kualitas makanan
terutama buah-buahan akan memengaruhi perilaku
pergerakan, kepadatan populasi, dan organisasi sosial
orangutan.
Selanjutnya, tipe habitat hutan sekunder memiliki
proporsi tumbuhan pakan yang lebih tinggi dibandingkan
hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl. Hal ini
disebabkan sebagian besar jenis tumbuhan yang ditebang
adalah bukan merupakan pakan orangutan. Pada hutan
sekunder banyak ditemukan jenis yang merupakan sumber
makanan utama orangutan dan tidak ditemukan pada hutan
primer, terutama di atas ketinggian 1.000 m dpl, seperti
durian (Durio zibethinus) dan motung (Ficus toxicaria).

2. Produktivitas Pohon Pakan


Penyebaran suatu komunitas orangutan dipengaruhi
oleh keberadaan dan produktivitas pohon pakan, terutama
yang menghasilkan buah. Produktivitas pohon penghasil
buah akan menentukan kemampuan suatu habitat untuk
mendukung kehidupan orangutan. Singleton & van Schaik
(2001) menyatakan bahwa jumlah dan mutu buah sangat
dipengaruhi oleh kepadatan pohon-pohon penghasil buah,
kesuburan tanah, dan musim. Hasil analisis produktivitas
pohon pakan orangutan di CA Dolok Sibual-buali adalah
sebagai berikut.

41
a. Produktivitas Daun
Pendugaan produktivitas daun dilakukan melalui
pengukuran serasah daun dengan menggunakan
penampung serasah (litter trap). Menurut Corbeels
(2001), produktivitas daun pada hutan primer/stabil
dapat didekati dari nilai jatuhan/produktivitas serasahnya.
Secara total, produktivitas serasah pada tingkat
pertumbuhan tiang dan pohon yaitu sebesar 3,9 gram/m2
per hari berat basah atau setara dengan 1,5 gram/m2 per
hari berat kering. Persamaan penduga nilai produktivitas
daun berdasarkan nilai diameter setinggi dada (Dbh) dan
tinggi tajuk pohon (Dtj) sebagai berikut:
1) Tingkat Tiang
a) Berat Basah
Pr = 0,697 + 0,0664 Dbh + 0,0086 Dtj
[S = 0,06097; R-Sq = 95,5%; R-Sq(adj) = 92,5%]
b) Berat Kering
Pr = 0,541 + 0,00626 Dbh + 0,0109 Dtj
[S = 0,02367; R-Sq = 75,4%; R-Sq(adj) = 59,0%]
2) Tingkat Pohon
a) Berat Basah
Pr = 1,63 – 0,0897 Dbh + 0,422 Dtj
[S = 0,2017; R-Sq = 89,3%; R-Sq(adj) = 82,1%]
b) Berat kering
Pr = - 0,061 + 0,0189 Dbh + 0,0106 Dtj
[S = 0,1933; R-Sq = 70,0%; R-Sq(adj) = 50,0%]
Keterangan:
Pr = produktivitas daun dan buah (kg/m2 per hari)
Dbh = diameter pohon pada 1,30 m dari permukaan tanah (cm)
Dtj = rata-rata diameter tajuk (m)

42
Berdasarkan persamaan
tersebut, nilai dugaan
produktivitas daun dari
tingkat tiang dan pohon
diketahui sebesar 40,66
kg/ha per hari berat
basah atau setara dengan
14,74 kg/ha per hari
berat kering. Persentase
kandungan air dari daun
tumbuhan pakan orang-
utan relatif kecil yaitu Gambar 14.
sekitar 36,3%. Penelitian serasah daun pada
pohon pakan orangutan
b. Produktivitas buah
Pendugaan produktivitas buah dilakukan melalui
pendekatan nilai potensi/biomassa buah pada beberapa
pohon pakan yang sedang berbuah di petak contoh
penelitian. Rata-rata biomassa buah pada tingkat tiang
dan pohon yaitu sebesar 1.308,1 kg/ha berat basah atau
setara dengan 556,8 kg/ha berat kering. Periode berbuah
pohon pakan orangutan umumnya mempunyai ritme
masing-masing dan dapat menghasilkan buah dalam dua
musim atau lebih dalam satu tahun, serta sangat jarang
pohon pakan yang menghasilkan buah sepanjang tahun.
Kebanyakan jenis tumbuhan pada kanopi atas
menunjukkan pola pematangan buah yang tidak teratur
sehingga tidak terdapat kemungkinan untuk dikonsumsi
dalam satu hari.

43
Hasil pengamatan dan
wawancara dengan
masyarakat setempat
menunjukkan bahwa
lama waktu keterse-
diaan buah matang dan
siap dikonsumsi orang-
utan pada beberapa
jenis pohon pakan
berkisar 3–4 minggu.
Rata-rata lama waktu
ketersediaan buah ma-
tang ±30 hari untuk
Gambar 15. satu musim berbuah.
Buah asam hing yang banyak Berdasarkan informasi
dikonsumsi orangutan tersebut, produktivitas
buah dari pohon pakan
orangutan (berdasarkan contoh penelitian) adalah 43,6
kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 18,6 kg/ha
per hari berat kering). Persamaan untuk menduga nilai
produktivitas buah adalah sebagai berikut.

1) Tingkat Tiang
a) Berat Basah
Pr = - 3016 + 280 Dbh + 0.2 Dtj
[S = 177,4; R-Sq = 96,9%; R-Sq(adj) = 95,3%]
b) Berat Kering
Pr = - 986 + 102 Dbh - 6.8 Dtj
[S = 84,24; R-Sq = 94,7%; R-Sq(adj) = 92,0%]

44
2) Tingkat Pohon
a) Berat Basah
Pr = 784 + 135 Dbh - 21 Dtj
[S = 2449; R-Sq = 60,7%; R-Sq(adj) = 45,0%]
b) Berat Kering
Pr = - 1017 + 98 Dbh - 32 Dtj
[S = 1190; R-Sq = 76,4%; R-Sq(adj) = 67,0%]

Berdasarkan persamaan tersebut, nilai dugaan


produktivitas buah dari tingkat pertumbuhan tiang dan
pohon diketahui sebesar 43,6 kg/ha per hari berat basah
atau setara dengan 18,5 kg/ha per hari berat kering. Nilai
ini diasumsikan bila semua jenis pohon pakan berbuah
sepanjang tahun (tidak mengenal musim berbuah).
Menurut Sugardjito (1986), persentase jenis tumbuhan
pakan buah yang berbuah rata-rata hanya berkisar 5–30%
dalam setiap bulannya. Apabila mempertimbangkan nilai
tersebut dan musim berbuah, nilai produktivitas buah
berkisar 2,18–13,07 kg/ha per hari (rata-rata 7,63 kg/ha
per hari) berat basah atau setara dengan 0,92–5,55 kg/ha
per hari (rata-rata 3,23 kg/ha per hari) berat kering.

C. Daya Dukung Habitat


Pendugaan nilai daya dukung habitat dilakukan
berdasarkan nilai produktivitas tumbuhan pakan (dalam
satuan kg/ha per hari) dibagi nilai konsumsi orangutan
(dalam satuan kg/hari per individu) dan dikalikan dengan
luasan areal potensial sebagai habitat (ha). Penentuan nilai
konsumsi pakan orangutan pada penelitian ini didekati dari
nilai berat tubuhnya dengan asumsi setiap jenis satwa liar

45
diperkirakan membutuhkan makanan sekitar 10–20% dari
berat tubuhnya setiap hari (Santosa, 1993). Hal ini karena
pengukuran nilai konsumsi pakan orangutan di habitat
alaminya secara kuantitatif sulit dilakukan dengan waktu
penelitian yang terbatas. Selain itu, pengukuran nilai
konsumsi satwa di alam bebas banyak mengalami kesulitan
karena tidak mudah menangkap sejumlah satwa liar untuk
dijadikan contoh penelitian dalam pengukuran ransum
makanan.
Berat badan orangutan bervariasi sesuai dengan
struktur umur dan jenis kelaminnya. Rata-rata berat badan
orangutan untuk kelas umur anak berkisar 5–20 kg, remaja
20–30 kg, pradewasa 30–50 kg, dan dewasa 50–120 kg
(Galdikas, 1978 dan Meijaard et al., 2001). Berdasarkan
informasi tersebut, rata-rata berat tubuh orangutan pada
suatu populasi yang memiliki struktur umur lengkap
diketahui sekitar 40,6 kg. Dengan demikian, nilai konsumsi
pakan orangutan diduga sekitar 4,1–8,2 kg/hari per individu
atau rata-rata sebesar 6,2 kg/hari per individu.
Nilai dugaan daya dukung habitat yang lebih teliti
diperoleh dengan mengalikan kembali hasil tersebut dengan
berbagai faktor koreksi, yaitu sebagai berikut (Meijaard et al.,
2001).
1. Luas kawasan CA Dolok Sibual-buali yang potensial
sebagai habitat orangutan (hanya sekitar 1.500 ha).
2. Persentase luas habitat yang dimanfaatkan oleh orangutan
di CA Dolok Sibual-buali (sekitar 0,36).
3. Persentase jumlah setiap bagian makanan yang
dikonsumsi oleh orangutan (sekitar 0,556 untuk buah dan
0,353 untuk daun [Sinaga, 1992]). Pada waktu musim

46
berbuah, orangutan akan lebih banyak mengonsumsi buah
dibandingkan daun.
4. Persentase waktu yang digunakan orangutan untuk
mengonsumsi setiap jenis makanannya (sekitar 0,6 untuk
buah dan 0,25 untuk daun).
5. Faktor koreksi terhadap jenis makanan dari individu
tumbuhan pakan yang kurang disukai, jatuh, dan sebab
lainnya (sekitar 0,5 [Takandjandji, 1993]).

Berdasarkan analisis data dengan memperhitungkan


faktor koreksi diperoleh nilai dugaan daya dukung CA Dolok
Sibual-buali bagi populasi orangutan sebagai berikut.
1. Berdasarkan nilai produktivitas daun diperoleh dugaan
daya dukung sebesar 56 individu.
2. Berdasarkan nilai produktivitas buah diperoleh dugaan
daya dukung sebesar 47 individu.

Nilai dugaan daya dukung habitat berdasarkan nilai


produktivitas daun lebih besar dibandingkan menurut
produktivitas buah. Hal ini karena sumber pakan daun di
habitatnya tersedia sepanjang tahun, sedangkan buah hanya
tersedia pada musim berbuah. Berdasarkan nilai
produktivitas daun dan buah, daya dukung habitat di CA
Dolok Sibual-buali diduga sekitar 47–56 individu orangutan.
Hasil ini berarti, apabila kawasan CA Dolok Sibual-buali dapat
dilindungi dari berbagai ancaman fragmentasi habitat maka
populasi orangutan akan terus berkembang–dari populasi
sekarang sekitar 27 individu–sampai mencapai ukuran daya
dukungnya (Kuswanda & Bismark, 2007b).

47
Nilai dugaan daya dukung orangutan Sumatra mungkin
cenderung over estimate. Hal ini dapat disebabkan nilai
pendugaan tersebut belum memerhatikan aspek persaingan
dalam memperebutkan sumber makanan dalam hutan.
Kenyataannya, pada habitat orangutan di CA Dolok Sibual-
buali terdapat pula satwa primata lainnya yang mengonsumsi
buah dan daun dari jenis tumbuhan pakan yang sama dengan
orangutan, seperti owa (Hylobates agilis F. Cuvier), siamang
(Hylobates syndactylus Raffles), dan beruk (Macaca
nemestrina Linn.). Namun, hasil penelitian ini setidaknya
telah menginformasikan gambaran bahwa kawasan CA Dolok
Sibual-buali sebenarnya masih dapat mendukung
perkembangan populasi orangutan. Dengan demikian, jumlah
populasi orangutan sekitar 27 individu (Kuswanda & Sugiarti,
2005a) dapat lebih meningkat bila keadaan kawasan dapat
dilindungi lebih optimal.
Angka reproduksi dan perkembangan populasi
orangutan yang rendah dapat pula disebabkan faktor lainnya.
Faktor yang berasal dari kemampuan reproduksi diketahui
bahwa orangutan melahirkan anak hanya sekitar 6–8 tahun
sekali. Sementara itu, faktor yang mungkin lebih banyak
berpengaruh lainnya adalah gangguan terhadap habitat. Pada
lokasi penelitian diketahui terdapat aktivitas masyarakat
yang sering memasuki habitat orangutan, seperti
pengambilan kayu, air nira, dan perambahan lahan. Populasi
orangutan pada habitat alam yang relatif terjaga
keamanannya pernah diestimasi oleh Bismark (2005)
terhadap orangutan Kalimantan, yaitu sekitar 350 individu
pada areal eks Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) seluas 12.000 ha di Kalimantan.

48
D. Pemilihan Tipe Habitat
Tipe habitat tidak sama dengan habitat. Istilah tipe
habitat tidak dapat dijadikan landasan dalam mempelajari
hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Tipe habitat
merupakan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau
potensi vegetasi yang mencapai tingkat klimaks; sedangkan
habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan bervegetasi, tetapi
merupakan jumlah kebutuhan sumber daya khusus suatu
spesies. Bailey (1984) menyatakan bahwa tipe habitat
dicirikan dengan terdapatnya vegetasi utama yang
merupakan faktor kesejahteraan bagi satwa liar, contoh hutan
primer, hutan pinus, hutan Dipterocarpaceae, dan yang
lainnya. Suatu jenis satwa liar dikatakan memiliki sifat
selektif (memilih) apabila menggunakan habitat secara tidak
proporsional dengan ketersediaannya.
Menurut Morris (1987), sebagian besar satwa liar tidak
menggunakan seluruh kawasan hutan menjadi habitatnya,
tetapi hanya menempati beberapa bagian tertentu. Pemilihan
habitat merupakan suatu hal yang sangat penting karena
mereka dapat bergerak secara mudah untuk mendapatkan
makanan, air, tempat reproduksi, atau menempati tempat
baru yang lebih menguntungkan. Menurut berbagai hasil
penelitian sebelumnya (Galdikas, 1978; Sinaga, 1992; van
Schaik et al., 1995), ketersediaan pakan pada habitat tertentu
sangat memengaruhi sebaran dan populasi orangutan.
Analisis untuk mengidentifikasi pemilihan dan tingkat
kesukaan terhadap tipe habitat (habitat type preference)
dilakukan melalui penghitungan nilai indeks seleksi (selection
index) dan indeks seleksi terstandar (standardized index).
Berbagai analisis untuk menghitung nilai indeks seleksi dan
indeks seleksi terstandar telah dinyatakan, seperti oleh Manly

49
et al. (1993), Babaasa (2000), dan Hemami et al. (2004). Nilai
rasio seleksi kehadiran orangutan (berdasarkan used plot)
terhadap tipe habitat dapat diketahui dengan melakukan
pengujian menggunakan metode Neu (indeks preferensi).
Menurut Manly et al. (2002), nilai-nilai tersebut dapat
menunjukkan tingkat seleksi suatu tipe habitat oleh satwa
liar. Metode Neu merupakan cara analisis yang sering
digunakan dalam penghitungan indeks preferensi dan
standardized index (indeks preferensi yang distandarkan)
pada satwa liar (Neu et al., 1974). Kriteria uji metode Neu
menurut Hemami et al. (2004) yaitu apabila indeks seleksi
lebih dari 1 (wi ≥1) maka habitat tersebut disukai, sebaliknya
apabila kurang dari 1 (wi <1) maka habitat tersebut akan
dihindari (tidak disukai).
Pemilihan dan kesukaan terhadap suatu areal oleh
orangutan dapat diindikasikan dengan adanya penemuan
individu dan jumlah sarang. Analisis untuk menentukan tipe
habitat yang dipilih orangutan menggunakan asumsi bahwa
semakin besar penggunaan suatu habitat oleh orangutan
maka semakin disukai habitat tersebut. Hal ini karena
proporsi penggunaannya (used) lebih besar dibandingkan
dengan proporsi ketersediaannya (availability). Menurut
Harvey dan Head (2006), nilai availability setiap tipe habitat
ditentukan berdasarkan persentase terhadap luas seluruh
tipe habitat. Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan pada
habitat CA Dolok Sipirok dengan menggunakan uji Chi-square
menyimpulkan bahwa terdapat pemilihan tipe habitat
tertentu oleh orangutan (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa
orangutan tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang
ada sebagai habitatnya, tetapi hanya menempati beberapa
bagian habitat secara selektif.

50
51
Analisis terhadap pemilihan empat tipe habitat yang
dilakukan orangutan di kawasan CA Dolok Sipirok
menunjukkan bahwa nilai rasio seleksi (wi) dan indeks
standar seleksi (Bi) tertinggi diperoleh pada tipe habitat
hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl (wi= 2,210; Bi=
0,402), kemudian tipe habitat hutan sekunder (wi= 2,052; Bi=
0,373). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tipe habitat hutan
primer pada ketinggian 600–900 m dpl dan hutan sekunder di
CA Dolok Sipirok adalah habitat yang berpeluang paling tinggi
untuk dipilih oleh orangutan sebagai habitat yang disukai.
Hal ini juga sangat terkait dengan kondisi di lapangan bahwa
kecenderungan perubahan hutan primer menjadi hutan
sekunder dalam 10 tahun terakhir di Sumatra Utara adalah
77,88% (Kementerian Kehutanan, 2011).
Ketersediaan sumber pakan yang lebih banyak pada
tipe habitat hutan primer ketinggian 600-900 m dpl menjadi
faktor utama mengapa habitat tersebut paling disukai
orangutan. Ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik
vegetasi yang menjamin keamanan dan kenyamanan satwa
juga menjadi faktor utama untuk pemilihan lokasi bersarang
orangutan (Dierenfeld , 1997; Kuswanda & Sukmana, 2005).
Sebaliknya, tipe habitat lainnya yang kurang atau tidak
tersedia sumber daya khusus cenderung dihindari oleh
orangutan (tidak disukai), seperti hutan primer pada
ketinggian di atas 900–1.200 m dpl dan lahan kering
bercampur semak belukar.

E. Seleksi Sumber Daya Habitat


Menurut Morrison (2002), sumber daya merupakan
faktor komponen biotik dan fisik yang digunakan langsung
oleh suatu satwa liar. Sumber daya merupakan semua faktor

52
lingkungan yang memiliki
korelasi dengan distribusi,
kelimpahan, dan daya
reproduksi suatu spesies.
Nilai sumber daya dapat
dilihat dari kelimpahan,
ketersediaan, dan penggu-
naannya. Pemilihan bebe-
rapa tipe habitat oleh
satwa liar berhubungan
erat dengan ketersediaan
sumber daya di dalamnya.
Gambar 16. Pemilihan terhadap sum-
Komposisi tumbuhan pada
ber daya pada berbagai
ketinggian 600–900 m dpl
tipe habitat dapat dijelas-
kan dengan menggunakan fungsi pemilihan habitat
(Resources Selection Function/RSF). Fungsi pemilihan habitat
dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu kategorisasi
habitat (habitat categorizing) dan kategorisasi lokasi (site
categorizing) (van den Berg et al., 2001; Manly et al., 2002;
Purnomo, 2009).
Penelitian untuk mengetahui seleksi sumber daya
habitat oleh orangutan telah dilakukan di CA Dolok Sipirok
menggunakan beberapa variabel. Variabel sumber daya
habitat (biotik, fisik, dan faktor spasial) yang diamati dan
diduga memengaruhi kehidupan orangutan–yang selanjutnya
digunakan sebagai variabel bebas (X) terhadap penempatan
sarang (Y)–meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pohon (X1) dan
tingkat tiang (X2). Menurut Rijksen (1978), orangutan
merupakan satwa liar arboreal yang menempati tajuk-

53
tajuk pohon, terutama
pada tingkat tiang dan
pohon. Selain itu,
orangutan cenderung
menempati habitat yang
memiliki variasi jenis
dan komposisi tumbuh-
an yang beragam kare-
na membutuhkan varia-
si dan jenis makanan
yang sangat banyak
(Meijaard et al., 2001).
2. Luas total bidang dasar
pada tingkat pohon (X3)
dan tingkat tiang (X4).
Orangutan cenderung Gambar 17.
Kerapatan tumbuhan pada
memilih pohon dengan
hutan sekunder di CA Dolok
ukuran tertentu untuk Sipirok
beraktivitas, terutama
pada tingkat tiang dan pohon (diameter 10–30 cm); seperti
untuk makan, membuat sarang, bergerak, dan aktivitas
sosial lainnya (Sinaga, 1992; Kuswanda & Sukmana, 2005).
3. Kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon (X5) dan tingkat
tiang (X6). Orangutan sebagian besar hidup pada habitat
yang masih baik atau hutan primer dengan kerapatan
tumbuhan yang tinggi (Meijaard et al., 2001).
4. Rata-rata jarak tumbuhan pada tingkat pohon (X7). Jarak
antar pohon dapat memengaruhi pertumbuhan dan
regenerasi tumbuhan secara alami (Hadiwinoto, 2008),
termasuk pada jenis-jenis tumbuhan sumber pakan dan
pohon sarang orangutan. Selain itu, orangutan cenderung

54
memilih ranting-ranting yang berdekatan untuk
memudahkan dalam pergerakannya (Sinaga, 1992).
5. Luas penutupan tajuk pohon (X8). Menurut Sugardjito
(1986) dan Meijaard et al. (2001), pergerakan orangutan
dalam mencari makanan dan aktivitas lainnya banyak
dilakukan pada pohon-pohon strata atas yang tajuknya
saling terhubung. Kuswanda dan Sukmana (2005)
menyatakan bahwa luas penutupan tajuk memengaruhi
perilaku orangutan dalam menempatkan sarangnya.
6. Jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X9) dan tingkat
tiang (X10). Menurut Alikodra (2002), satwa liar yang
makanannya beranekaragam akan lebih mudah
beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa pergerakan dan distribusi
orangutan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber
pakan pada habitatnya, terutama penghasil buah (Rijksen,
1978; Sugardjito, 1986; Sinaga, 1992; Singleton & van
Schaik, 2001; PHPA, 2004). Variasi jenis dan kerapatan
tumbuhan pakan berpengaruh terhadap reproduksi dan
pertumbuhan orangutan. Tumbuhan yang menjadi sumber
pakan dan sering dikonsumsi oleh orangutan termasuk
klasifikasi tingkat pohon dan tiang.
7. Suhu (X11) dan kelembaban udara (X12). Suhu dan
kelembaban udara merupakan faktor yang penting karena
memengaruhi segala bentuk kehidupan. Jenis dan
komposisi tumbuhan, perilaku, dan sebaran satwa liar
sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban di
sekitarnya (Whitmore, 1986; Alikodra, 2002;
Tarumingkeng, 1994; van Schaik et al., 1995).
8. Jarak dari gangguan, seperti pemukiman, perkebunan/
ladang, dan/atau jalan (X13). Aktivitas manusia

55
merupakan salah satu ancaman utama bagi orangutan, dan
orangutan cenderung menjauh dari habitat yang sudah
terganggu oleh manusia (Departemen Kehutanan, 2007;
Kuswanda, 2007a).

Fungsi seleksi sumber daya (RSF) oleh orangutan


diketahui dengan menggunakan analisis regresi logistik
(Manly et al., 2002). Dalam penyusunan model, variabel yang
memiliki korelasi >40% dikeluarkan untuk menghasilkan
model yang baik (Ludwig & Reynolds, 1988). Variabel yang
dikeluarkan adalah kelembaban udara (X12) dan suhu (X11)
yang dapat diwakili/dijelaskan oleh variabel penutupan tajuk.
Hal ini karena penutupan tajuk pohon dapat memengaruhi
kelembaban dan suhu udara pada lantai hutan (Whitmore,
1986). Selanjutnya, model regresi logistik disusun
menggunakan bantuan program SPSS 17 yang dilakukan
dengan metode backward stepwise tanpa memasukan variabel
kelembaban udara, suhu udara, kerapatan tingkat tiang dan
tingkat pohon.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Cox & Snell R
Square diperoleh sebesar 0,556 dan nilai Nagelkerke R Square
sebesar 0,751. Hal ini berarti variabilitas variabel
dependen/terikat yang dapat dijelaskan oleh variabilitas
variabel bebas sebesar 75,1% atau hanya 24,9%
kemungkinan dijelaskan oleh faktor yang lain. Hasil step
terakhir dari backward stepwise (Tabel 5) menunjukkan
terdapat tiga variabel bebas yang signifikan (nilai Sig <0,05),
yaitu jumlah jenis tumbuhan pada tingkat tiang (X2), jenis
tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X9), dan jenis
tumbuhan pakan pada tingkat tiang (X10). Sementara itu,
satu variabel bebas yang tidak signifikan, yaitu luas bidang

56
dasar pada tingkat pohon (X3). Variabel yang tidak signifikan
dikeluarkan dalam penyusunan model karena pengaruhnya
akan sangat kecil terhadap perubahan variabel terikat/
kehadiran orangutan (Y). Artinya, pengaruh terhadap variabel
terikat cenderung sama (tidak signifikan) dengan atau tanpa
memasukan variabel tersebut.

Tabel 5. Variable in the Equation dari regresi logistik


95% C.I.for
EXP(β)
Step Variable β S.E. Wald df Sig. Exp(β)
Lower Upper

Step X2 -1.383 .421 10.770 1 .001 .251 .110 .573


9a
X3 -2.141 1.216 3.099 1 .078 .117 .011 1.275
X9 1.457 .292 24.914 1 .000 4.294 2.423 7.611
X10 2.682 .455 34.720 1 .000 14.618 5.990 35.674
Constant -5.472 1.446 14.315 1 .000 .004

Pada tiga variabel bebas (X) terpilih berdasarkan uji


korelasi peringkat Spearman secara umum memiliki nilai
korelasi di bawah 50%. Artinya, kekuatan hubungan antar
variabel masih di bawah 50% dan dapat dikatakan bahwa
antar variabel X terpilih memiliki sifat saling memengaruhi
cukup kecil (saling independen/bebas). Hasil analisis nilai
korelasi antar variabel X dengan Y yang tinggi (di atas 50%)
hanya pada X9 dan X10, sedangkan dengan X2 hanya 17,5%.
Variabel X2 selanjutnya tidak dimasukkan dalam penyusunan
model karena nilai pengaruhnya terhadap Y cukup rendah
dan dapat dijelaskan oleh variabel X10. Menurut Meijaard et
al. (2001) dan Purwadi (2010), jenis tumbuhan pakan

57
merupakan faktor yang sangat memengaruhi distribusi
orangutan.
Berdasarkan tahapan analisis di atas, model RSF yang
terbentuk dari persamaan regresi logistik adalah:

Keterangan:
= peluang kehadiran orangutan
X9 = jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon
X10 = jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat tiang

Hasil analisis model RSF menunjukkan bahwa


penggunaan habitat oleh orangutan dipengaruhi oleh variabel
pakan. Hasil ini sama dengan yang dinyatakan oleh Purwadi
(2010) terhadap orangutan di Kalimantan, yaitu faktor yang
menentukan frekuensi kehadiran orangutan pada suatu
habitat terpilih adalah jumlah jenis dan kerapatan pohon
pakan. Tumbuhan pakan merupakan salah satu komponen
biotik dari habitat orangutan yang sangat penting untuk
menunjang kelangsungan hidup sebagaimana satwa
herbivora lainnya. Pakan merupakan faktor pembatas bagi
pertumbuhan populasi suatu jenis satwa liar. Pada kualitas
habitat yang baik antara 57–80%, waktu aktivitas satwa
digunakan untuk mencari, memproses, dan memakan
makanan (Meijaard et al., 2001). Bahkan, pada habitat yang
memiliki ketersediaan sumber pakan melimpah sepanjang
tahun, terutama buah-buahan, orangutan cenderung akan
menetap di kawasan tersebut.

58
Berdasarkan tingkatan struktur vegetasi, tumbuhan
pakan pada tingkat tiang memiliki nilai pengaruh yang lebih
tinggi dibandingkan tingkat pohon terhadap peluang
kemungkinan kehadiran orangutan (nilai Exp [β] tingkat tiang
sebesar 14,618, sedangkan tingkat pohon sebesar 4,294).
Oleh karena itu, kemungkinan besar aktivitas orangutan di CA
Sipirok lebih banyak dilakukan pada tumbuhan tingkat tiang,
terutama jika proporsi tumbuhan pakannya tinggi. Tumbuhan
yang lebih berdekatan pada tingkat tiang, terutama di hutan
sekunder, kemungkinan lebih banyak dipilih untuk
memudahkan pergerakan atau perpindahan dari pohon ke
pohon dengan cara berayun.
Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa ting-
kat tiang memiliki peranan
yang lebih besar untuk
kehidupan orangutan di-
bandingkan tingkat pohon,
terutama berfungsi untuk
memudahkan pergerakan
dalam berpindah dan
mencari makan. Menurut
Perbatakusuma et al.
(2006), orangutan Suma-
tra–terutama di kawasan
Hutan Batang Toru–lebih
banyak beraktivitas (ma-
kan, bergerak, dan mem-
Gambar 18.
Sarang orangutan pada tingkat
buat sarang) pada strata
tiang pohon lapisan B (kanopi
tengah) dengan ketinggian

59
pohon mencapai 20 cm (umumnya termasuk kategori tingkat
tiang dengan diameter 10–20 cm, seperti hau dolok [Syzigium
sp.]). Menurut Sinaga (1992) dan Meijaard et al. (2001),
pergerakan orangutan dari suatu pohon ke pohon yang lain
sering dilakukan dengan cara berayun dengan menggunakan
cabang-cabang pohon yang berdekatan dan dilaluinya dengan
cara perlahah-lahan. Menurut Suzuki (1989), ketika
ketersediaan makanan menurun, orangutan cenderung
menggunakan energi secara efisien untuk pindah atau
bermigrasi mengikuti gelombang musim berbuah guna
menghindari risiko kompetisi makanan, terutama bagi
individu yang posisi status sosialnya rendah.
Hasil simulasi model RSF menunjukkan bahwa
kehadiran orangutan akan berpeluang besar pada habitat
yang memiliki jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat
pohon (X9) minimal satu jenis dengan jumlah jenis tumbuhan
pakan pada tingkat tiang (X10) minimal dua jenis dalam
satuan unit luasan plot penelitian (0,04 ha). Sebagai contoh
hasil simulasi, pada area yang memiliki X9 sebanyak 1
jenis/400 m2 dengan jumlah X10 sebanyak 1 jenis/100 m2
memberikan peluang kehadiran orangutan sebesar 98%.
Peluang kehadiran orangutan menjadi 100% jika pada plot
pengamatan terdapat 2 jenis X10. Dari model RSF tersebut
dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan jumlah jenis
tumbuhan pakan akan meningkatkan peluang kehadiran
orangutan. Oleh sebab itu, ketersediaan tumbuhan pakan
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama
penetapan tree species matching dalam penyusunan program
restorasi habitat orangutan.

60
V. SARANG DAN POPULASI

A. Karakteristik Sarang

Orangutan selalu membuat sarang di atas pohon setiap


harinya, baik untuk istirahat di siang hari maupun tidur.
Penelitian untuk menduga populasi orangutan sebagian besar
dilakukan dengan metode tidak langsung, seperti
berdasarkan penemuan
sarang. Hal ini karena
pendugaan jumlah popu-
lasi orangutan secara
langsung dengan waktu
penelitian yang terbatas
cukup sulit dilakukan.
Menurut Meijaard et al.
(2001), penelitian kepa-
datan orangutan secara
langsung harus dilakukan
dalam waktu yang panjang
dan dilaksanakan pada
populasi orangutan yang
sudah diketahui lokasi dan
penyebarannya. Meskipun
keberadaan orangutan liar
Gambar 19.
Sarang khas orangutan; terdapat sulit dideteksi dan ditemu-
dua sarang dalam satu pohon kan secara langsung, ke-

61
hadirannya mudah dipastikan dengan mencari sarang-sarang
khas yang dibangun setiap hari oleh orangutan. Menurut van
Schaik et al. (1995), sarang orangutan tetap dapat dilihat
relatif lama sehingga bisa menjadi dasar dalam menduga
jumlah orangutan yang berada di kawasan tertentu.
Keberadaan sarang sering dijadikan oleh para peneliti
sebagai dasar untuk menduga ukuran populasi orangutan
pada suatu kawasan hutan. Orangutan minimal membangun
sarang satu kali setiap hari untuk beristirahat dan tidur pada
malam hari (van Schaik et al., 1995; Singleton & van Schaik,
2001; Ancrenaz, 2004). Hasil penelitian karakteristik sarang
orangutan pada habitat alam di kawasan Hutan Batang Toru,
yaitu di CA Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok dapat
diuraikan sebagai berikut.

1. Jenis Pohon dan Ukuran Sarang


Jenis pohon sarang yang digunakan orangutan cukup
bervariasi. Jenis-jenis pohon yang sering digunakan sebagai
pohon sarang, antara lain talun (Styrax serrulatus Roxb.),
mayang (Palaquium gutta Burch), hoteng (Quercus sp.),
meranti (Shorea sp.) medang nangka (Eleaocarpus obtusus),
beringin (F. benjamina), dan durian hutan (Durio zibethinus).
Jenis-jenis pohon sarang umumnya menyebar pada daerah
lintasan orangutan.
Sarang yang dibangun orangutan juga memiliki ukuran
yang sangat bervariasi dengan panjang sarang berkisar 60–
150 cm. Namun, ukuran sarang ini tidak dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kelas umur orangutan. Menurut
Galdikas (1978) dan Kabangga (2010), variasi ukuran sarang
tidak berbeda nyata antara semua kelas umur, namun hanya

62
berbeda untuk kelas umur anak dan jantan dewasa;
sedangkan untuk kelas umur anak, muda, dan betina dewasa
tidak berbeda. Perbedaan ukuran sarang pada setiap kelas
umur sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan ukuran
tubuh. Ketinggian sarang orangutan juga sangat bervariasi,
meskipun lebih banyak ditemukan pada ketinggian 8–17 m
dari permukaan tanah.

2. Umur Sarang
Kriteria umur sarang orangutan dapat diklasifikasikan
(Ancrenaz, 2004), seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria umur sarang orangutan

Umur
Kriteria
sarang
A Baru, segar, semua daun berwarna hijau.
B Belum lama, semua daun masih ada, warna daun
mulai kecokelatan.
C Lama (tua), sebagian daun sudah hilang, sarang
masih terlihat kokoh dan utuh.
D Sangat lama, ada lubang-lubang di bangunan
sarang.
E Nyaris hilang, tinggal beberapa ranting dan cabang
kayu, bentuk asli sarang sudah hilang.

Merujuk pada kriteria di atas, sarang orangutan yang


ditemukan pada saat penelitian di kawasan Hutan Batang
Toru umumnya sudah berumur relatif lama. Sebagai contoh,
umur sarang yang ditemukan pada kawasan CA Dolok Sipirok
paling banyak sudah termasuk kelas C (sebesar 41,98%) dan
kelas D (30,86%). Sarang baru, yang termasuk kelas A, hanya

63
Gambar 20. Deskripsi sarang pada berbagai kelas umur

ditemukan sekitar 6,17%. Sarang baru banyak ditemukan,


terutama pada tipe habitat hutan primer ketinggian 600–900
m dpl. Penemuan sarang kelas C dan kelas D, terutama pada
tipe habitat dengan ketinggian lokasi 900–1.200 m dpl,
mengindikasikan jumlah tumbuhan pakan di lokasi tersebut
sedikit sehingga orangutan kemungkinan memiliki wilayah
jelajah yang lebih luas untuk mendapatkan makanan yang
berkualitas. Menurut Meijaard et al. (2001), panjang jarak

64
pergerakan harian dan luas daerah jelajah orangutan dewasa
sangat dipengaruhi oleh sebaran tumbuhan pakan. Wilayah
jelajah orangutan jantan dewasa dapat mencapai 2.500 ha dan
betina dewasa sekitar 850 ha (Galdikas, 1978).

3. Posisi Sarang
Kriteria untuk menentukan posisi sarang orangutan
dalam penelitian ini merujuk pada Ancrenaz (2004), sebagai
berikut.

Tabel 7. Klasifikasi posisi sarang orangutan

Posisi
Kriteria
sarang
1 Letak sarang pada bagian atas tajuk pohon
2 Letak sarang pada percabangan utama pohon
3 Letak sarang pada percabangan pohon (anak
cabang)
4 Letak sarang pada lebih dari satu pohon

Penelitian di CA Dolok Sipirok menunjukkan bahwa


letak sarang yang paling banyak ditemukan adalah pada
posisi 2 (percabangan utama pohon), yaitu 40,47%; kemudian
posisi 1 (bagian atas tajuk pohon), yaitu 35,80%; dan yang
sedikit pada posisi 4, yaitu 3,70%. Hasil pengamatan di CA
Dolok Sibual-buali juga menunjukkan bahwa sekitar 46,7%
orangutan membuat sarang pada bagian atas tajuk pohon dan
20,0% pada ujung cabang (Kuswanda & Sukmana, 2005).
Orangutan lebih banyak memilih bagian tajuk pohon karena
pada puncak pohon dan ujung cabang memiliki bahan sarang

65
yang cukup. Cabang dan ranting pohon yang mengelompok
secara vertikal dan horizontal pada bagian ini memudahkan
pembentukan lingkaran sarang, mangkuk sarang, dan
penyangganya yang mampu menopang berat tubuh
orangutan.
Hasil uji Chi Square di kedua lokasi penelitian
menunjukkan adanya pemilihan bagian tertentu pohon
sarang yang akan dijadikan tempat bersarang oleh orangutan.
Prasetyo et al. (2009) menyatakan juga bahwa posisi pohon
memainkan peran utama dalam membangun sarang. Posisi
sarang dibuat agar memungkinkan orangutan mendapatkan
arah pandang yang baik dan jelas ke sekitar hutan, seperti
pada bagian atas tajuk pohon. Sambil berisitirahat di atas
sarang, aktivitas lain yang dilakukan oleh orangutan adalah
mengamati lingkungan sekitarnya, terutama untuk
bersembunyi dan menghindar dari predator (Meijaard et al.,
2001).

4. Diameter dan Tinggi Pohon Sarang


Hasil penelitian di kawasan Hutan Batang Toru
menunjukkan bahwa orangutan umumnya menyukai pohon
dengan diameter 16–35 cm. Kelompok pohon ini memiliki
cabang dan ranting yang kuat dan berdaun lebat sehingga
dapat menambah kenyamanan tidur bagi orangutan.
Orangutan tidak memilih pohon sarang pada ketinggian
tertentu untuk dijadikan lokasi bersarang, meskipun terdapat
kecenderungan orangutan menyukai pohon sarang dengan
ketinggian bebas cabang di bawah 10 m dari permukaan
tanah. Orangutan lebih memilih posisi sarang pada pohon
yang memiliki ujung-ujung cabang relatif kecil (Simorangkir,
2009). Hal ini penting sebagai strategi untuk memudahkan

66
mendeteksi kehadiran predator karena ujung cabang yang
lebih kecil akan lebih elastis dan mudah bergoyang.

B. Pendugaan Populasi
Pendugaan populasi orangutan berdasarkan temuan
sarang perlu memperhitungkan berbagai parameter perilaku
orangutan yang memengaruhi proses analisis data. Hal ini
dimaksudkan untuk menghasilkan nilai dugaan dengan bias
yang kecil atau lebih teliti. Data yang digunakan untuk
mendapatkan parameter tersebut dilakukan melalui studi
literatur hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dilaksanakan
dalam waktu yang lama dan kontinu. Parameter tersebut
adalah rata-rata jumlah sarang (r), umur sarang (t), dan
proporsi pembuat sarang (p).
Nilai r merupakan rata-rata jumlah sarang/hari per
individu yang dibuat oleh orangutan pada suatu populasi di
suatu kawasan tertentu. Menurut beberapa hasil penelitian,
nilai r di Ketambe diperoleh sebesar 1,8 (Rijksen, 1978);
sedangkan di Suaq Belimbing, TN Gunung Leuser, sebesar 1,6
(Rijksen, 1978) dan 1,7 (van Schaik et al., 1995). Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, nilai rata-rata r yang digunakan
untuk menduga populasi orangutan, yaitu sebesar 1,7
sarang/hari per individu.
Nilai t adalah lamanya waktu sarang orangutan masih
terlihat secara jelas (visibility). Faktor yang memengaruhi
lamanya umur sarang, yaitu tipe dan struktur hutan, jenis
pohon berkayu, suhu, dan kelembaban. Semakin tinggi suatu
tempat dari permukaan laut maka sarang akan terlihat lebih
lama atau nilai t akan lebih besar. Nilai t pada tipe hutan sub
Montana menurut van Schaik et al. (1995) adalah 170 hari,

67
sedangkan menurut Lubis et al. (2001) adalah 219 hari.
Selanjutnya, nilai t yang digunakan dalam penelitian ini
adalah nilai t rata-rata dari hasil kedua penelitian tersebut,
yaitu 194,5 hari.
Nilai p merupakan proporsi pembuat sarang dalam
suatu populasi orangutan. Nilai p yang digunakan adalah
sebesar 90% atau 0,9 (van Schaik et al., 1995; Buij et al.,
2002). Hasil penelitian di Ketambe dan di Suaq Belimbing
diketahui bahwa sebanyak 90% dari populasi orangutan
membuat sarang setiap hari, sedangkan sisanya (10%)
merupakan individu bayi yang masih dalam asuhan induknya
yang tidak membuat sarang.
Pendugaan ukuran populasi di lokasi penelitian seperti
pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok


Sibual-buali
Nilai Dugaan
Jumlah Rata-rata
No. dugaan populasi
Lokasi sarang lebar jalur
Jalur kepadatan
per penelitian
(individu/ Habitat Total
jalur (m)
km2)
1 9 19,22 0,788 11,82 39,4
Wilayah
2 7 20,57 0,572 8,58 28,6
Barat
3 13 21,54 1,014 15,21 50,7
1 2 20,50 0,164 2,46 8,2
Wilayah
2 5 21,80 0,385 5,78 19,3
Timur
3 3 19,00 0,265 3,98 13,2
Total
dugaan rata- 6,5 20,42 0,531 8 27
rata

68
Populasi orangutan di CA Sibual-buali berdasarkan
Tabel 8 diketahui memiliki rata-rata kepadatan 0,8
individu/km2 (di wilayah Barat) dan 0,3 individu/km2 (di
wilayah Timur), sehingga rata-rata kepadatan di seluruh
wilayah sebanyak 0,53 individu/km2. Apabila luas kawasan
CA Sibual-buali secara keseluruhan 50 km2, nilai dugaan rata-
rata populasi orangutan tersebut sebanyak 27 individu.
Menurut Meijaard et al. (2001), persentase kawasan yang
digunakan sebagai habitat orangutan hanya sekitar 36% atau
15 km2. Namun, pada kawasan cagar alam ini, orangutan
dapat menggunakan habitat yang berbatasan dengan kebun
atau hutan sekunder sehingga habitat yang ditempati
orangutan cukup luas. Dengan demikian, dugaan populasi
orangutan di CA Dolok Sibual-buali adalah sebanyak 8–27
individu.
Rata-rata kepadatan populasi orangutan di kawasan CA
Dolok Sipirok diperkirakan sebanyak 0,47 individu/km2
dengan dugaan populasi sebanyak 22–40 individu (Tabel 9).
Kepadatan tertinggi dari populasi tersebut ditemukan pada
hutan primer ketinggian 600–900 m dpl (1,02 individu/km2).
Penelitian Perbatakusuma et al. (2006) menunjukkan bahwa
kepadatan orangutan pada setiap kawasan hutan di bagian
Barat Batang Toru berkisar 0,3–1,2 individu/km2. Sementara
itu; penelitian LIPI, Newmont Horas Nauli dan Hartfield
(2005) dalam Perbatakusuma et al. (2006) memperkirakan
bahwa kepadatan populasi orangutan di kawasan hutan alam
di lokasi Prospek Martabe, hutan lindung dan konsesi PT.
Teluk Nauli di Tapanuli Selatan berkisar 0,1–1,0
individu/km2.

69
Tabel 9. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok
Sipirok

Rata-rata Rata-rata Kepadatan


Jumlah Dugaan
Lokasi sarang lebar populasi
jalur populasi
per jalur jalur (individu/
(individu)
(km) (m) km2)
Hutan primer 20 2,6 25,8 0,36 19
di atas 900–
1.200 m dpl
Hutan primer 4 5,0 16,5 1,02 9
600–900 m
dpl
Hutan 3 3,0 33,2 0,43 2
Sekunder
Pertanian 2 0,5 10,0 0,08 1
lahan kering,
semak dan
kebun campur

Total 29 2,8 21,4 0,47 31± 9

Kepadatan populasi orangutan di CA Dolok Sibual-buali


dan CA Dolok Sipirok tergolong rendah apabila dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Menurut van Schaik et al. (1995),
kepadatan orangutan di Ketambe dan Mamas (TN Gunung
Leuser) pada Zona Sub Montana masing-masing sebanyak 1,2
individu/km2 dan 0,7 individu/km2. Sugardjito (1986)
menyatakan bahwa kepadatan populasi orangutan di Sumatra
Utara menurun secara bertahap dengan bertambahnya
ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude). Pada
daerah dataran rendah diperkirakan ±5 individu/km2 dan
menurun pada daerah pegunungan menjadi 2 individu/km2.
Kemudian, kepadatan menurun lagi pada ketinggian 1.000–

70
1.500 m dpl menjadi 0,5 individu/km2 dan di atas 1.500 m dpl
tidak terdapat orangutan. Ketersediaan jenis makanan utama
yang bervariasi pada setiap ketinggian tempat diduga
memengaruhi sebaran populasi orangutan. Pada hutan
primer dataran rendah masih banyak ditemukan beragam
jenis tumbuhan pakan, terutama penghasil buah-buahan, di
antaranya dari Famili Moraceae.
Secara keseluruhan, dugaan populasi orangutan di
Hutan Batang Toru sekitar 170 individu (Kuswanda, 2006b).
Hasil ini tidak berbeda jauh dengan survey yang difasilitasi
oleh Conservation International yang dilakukan pada tahun
2006 (Conservation International-Indonesia, 2006). Dugaan
kepadatan orangutan di DAS Batang Toru dikemukakan juga
oleh Simorangkir (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan
tertinggi diperkirakan sekitar 0,30–0,71 individu/km2.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran
orangutan di Hutan Batang Toru lebih banyak pada hutan
lindung, hutan produksi, dan lahan masyarakat dibandingkan
pada hutan konservasi. Populasi orangutan di hutan
konservasi diperkirakan hanya 30–40% dari seluruh
orangutan yang masih hidup di Hutan Batang Toru. Oleh
sebab itu, pengembangan strategi konservasi di luar kawasan
konservasi sangat penting dan akan diuraikan pada Bab
terakhir dalam buku ini.

C. Parameter Demografi
Karakteristik populasi yang dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam merumuskan rencana pengelolaan
satwa liar, baik untuk tujuan pelestarian maupun
pemanfaatan adalah parameter demografinya. Menurut
Tarumingking (1994), beberapa parameter demografi satwa

71
liar yang penting adalah gambaran struktur umur, rasio seks,
angka kelahiran, dan angka kematian. Dalam perkembangan
hidupnya, orangutan dapat digolongkan berdasarkan umur
dan jenis kelamin dalam 4–5 tahap (Rijksen, 1978; Galdikas,
1978), sebagai berikut.
1. Bayi (infant), umur 0–4 tahun. Warna rambut jauh lebih
pucat dan bercak putih meliputi seluruh tubuh. Bayi selalu
berpegangan pada induknya, kecuali pada waktu makan di
pohon atau saat menyusui.
2. Anak (juvenile), umur 4–7 tahun. Wajah lebih pucat
dibandingkan dewasa, tetapi lebih gelap dari bayi; bercak
putih di badan sudah tidak jelas. Anak berpindah bersama
induk, tetapi sudah terlepas dari pegangan induknya, dan
masih menyusui.
3. Remaja (adolescent), umur 7–15 tahun (pada jantan) dan
7–12 tahun (pada betina). Tahap umur ini sudah lepas
dari induknya, warna mulai terlihat gelap, dan bantalan
pipih pada jantan sudah terbentuk.
4. Dewasa (adult), umur 15–35 tahun (pada jantan) dan 12–
35 tahun (pada betina). Jantan dewasa memiliki ukuran
tubuh sangat besar, sudah ada bantalan pipih, berkantong
suara, wajah berjanggut, dan sering mengeluarkan suara
panjang (long call). Tahap dewasa hidup secara soliter dan
hanya berpasangan pada musim kawin. Betina dewasa
telah beranak dan sering diikuti anaknya, kadang-kadang
berpindah bersama betina lainnya.
5. Tua, berumur di atas 35 tahun. Rambut sudah mulai tipis
dan jarang, tidak lagi di ikuti bayi atau remaja, dan
gerakannya sudah mulai lamban.

72
Hasil penelitian di Ketambe, Provinsi Aceh, diperoleh
informasi bahwa orangutan betina pertama kali melahirkan
setelah berumur 14,7 tahun dan terakhir kali melahirkan
diperkirakan setelah berumur 43–50 tahun. Umur reproduksi
pertama pada jantan diperkirakan setelah berumur 25 tahun.
Jarak kelahiran pada orangutan berkisar 8–10 tahun atau
rata-rata 9 tahun. Perbandingan rasio seks anak yang lahir
dari 28 kasus kelahiran, yaitu 55% jantan dan 45% betina.
Kematian bayi (umur 0–1 tahun) sekitar 6,9% dan setelah
berumur di atas 15 tahun sekitar 1,75% pada jantan dan
1,25% pada betina. Lama hidup orangutan Sumatra
diperkirakan 53 tahun untuk betina dan 53–58 tahun untuk
jantan (Wich et al., 2003).

Gambar 21. Orangutan Batang Toru (betina dewasa dan bayinya)

73
VI. PERILAKU

A. Jenis Perilaku Orangutan

Perilaku orangutan diartikan sebagai semua aktivitas


yang dilakukan mulai keluar dari sarangnya pada pagi hari
dan berakhir ketika kembali ke sarangnya pada sore hari.
Perilaku orangutan secara umum meliputi aktivitas makan,
bergerak, istirahat, sosial, dan membuat sarang. Uraian
ringkas tentang peri-
laku orangutan berda-
sarkan telaah terha-
dap hasil penelitian
dan sumber lainnya
(Rijksen, 1978; Galdi-
kas, 1978; Meijaard et
al., 2001), sebagai
berikut.

1. Perilaku Makan
Orangutan adalah
satwa liar diurnal (ak-
tif siang hari) yang
hidup dan mencari
makan pada tajuk
Gambar 22.
pohon (arboreal). Perilaku makan orangutan Batang
Toru

75
Orangutan Sumatra sangat jarang atau mungkin tidak pernah
ditemukan mencari makan di atas permukaan tanah.
Aktivitas makan merupakan aktivitas yang dimulai ketika
orangutan mencari, mengunyah makanan sampai ketika
berhenti makan; termasuk pergerakan saat melakukan
makan. Orangutan umumnya mencari makan pada pohon
yang terdapat di daerah lintasan atau wilayah jelajahnya.
Orangutan mencari makan sendiri dan tidak pernah terlihat
membentuk kelompok kecil atau sub kelompok. Aktivitas
orangutan saat mengambil makanan lebih sering
menggunakan satu tangan dibandingkan menggunakan kedua
tangannya. Secara umum, terdapat beberapa teknik
mengambil dan makan orangutan, yaitu bergelantung dengan
tangan kanan, sedangkan tangan kiri mengambil dan
memasukan makanannya; bergelantung dengan bantuan
kedua kaki yang bertumpu pada satu cabang atau ranting
yang tegak lurus; dan duduk pada cabang atau ranting dengan
kedua tangan mengambil makanan.

2. Perilaku
Berpindah
Berpindah meru-
pakan semua aktivitas
pergerakan orangutan
dari suatu tempat/
pohon ke tempat/
pohon yang lain. Per-
gerakan orangutan se-
ring dilakukan dengan
berjalan quadra pedal Gambar 23.
(menggunakan tangan Perilaku berjalan di batang pohon

76
dan kaki) di percabangan kanopi pohon atau berayun dengan
menggunakan cabang-cabang pohon yang kuat untuk
menyangga tubuhnya. Orangutan terlebih dahulu menguji
kekuatan cabang atau ranting yang akan dilaluinya dengan
cara bergerak perlahah-lahan. Menurut Meijaard et al.
(2001), sistem pergerakan orangutan dalam kegiatan jelajah
hariannya sedikitnya terbagi menjadi tiga, yaitu (1) penetap,
orangutan yang selama beberapa tahun berada di suatu
daerah tertentu; (2), penglaju, orangutan yang secara teratur
selama beberapa minggu atau bulan setiap tahun hidup
nomadis; (3) pengembara, orangutan yang tidak pernah atau
sangat jarang kembali ke tempat semula dalam waktu paling
sedikit tiga tahun. Orangutan penetap sangat jarang, terutama
pada habitat yang luas. orangutan penetap biasanya
menempati habitat yang sempit, tetapi dengan makanan
berkualitas baik.

3. Perilaku Istirahat dan Sosial


Istirahat sering diartikan sebagai semua aktivitas
orangutan yang meliputi posisi diam, tidur, duduk, atau
bersembunyi di kanopi pohon. Istirahat adalah salah satu
aktivitas yang umum dilakukan orangutan. Orangutan
umumnya beristirahat sambil duduk di atas cabang pohon
atau bergelantung pada cabang atau ranting menggunakan
tangannya.
Perilaku sosial merupakan aktivitas orangutan yang
meliputi kegiatan bersuara, menggaruk badan, mengamati
lingkungan sekitar, kencing dan buang kotoran. Orangutan
biasanya mempunyai arena sosial dalam sistem
perkawinannya. Arena sosial merupakan suatu lokasi
peragaan beberapa jantan yang berada dalam satu wilayah

77
jelajah yang tumpang tindih yang digunakan untuk menarik
perhatian orangutan betina. Pada arena sosial ini, betina yang
lebih muda akan dikawini oleh jantan yang berstatus lebih
tinggi. Arena sosial biasanya terdapat pada habitat yang
keanekaragaman dan jumlah makanan pokoknya tertinggi,
yaitu distribusi buah-buahan tersedia selama satu tahun.
Untuk mendapatkan betina yang akan dikawini, orangutan
jantan harus aktif dan bersaing dengan individu lainnya.
Pemerkosaan sering terjadi pada betina pradewasa dan
dewasa muda yang baru bertemu atau bertemu lagi setelah
lama berpisah dengan jantan remaja atau dewasa.
Perilaku sosial yang sering dilakukan, terutama pada
individu dewasa, yaitu bersuara. Bersuara merupakan cara
komunikasi pada orangutan, terutama bila merasa terganggu
oleh hadirnya satwa lain ataupun manusia. Saat merasa
terganggu, orangutan membuat bunyi kecupan dan dengusan,
serta reaksi lain seperti “kiss hoot” dan “kiss squek” sambil
mematah-matahkan ranting/dahan yang ditujukan kepada
manusia. Selain itu, orangutan mempunyai kebiasaan
membuang kotoran dan kencing ketika mengawali aktivitas
hariannya (baru keluar dari sarang), sebelum bergerak untuk
mencari makan. Cara kencing orangutan biasanya sambil
bergantung dengan kedua tangan memegang dahan.

4. Perilaku Membuat Sarang


Membuat sarang merupakan aktivitas orangutan mulai
dari membuat sarang sampai selesai sebelum tidur atau
istirahat. Orangutan minimal sekali dalam sehari membuat
sarang untuk tidur. Orangutan membuat sarang dari ranting-
ranting yang daunnya masih segar dan berukuran sedang.
Ukuran sarang disesuaiakan dengan ukuran tubuhnya dengan

78
luasan sarang dapat
menutupi tubuh
orangutan sehingga
tidak terlihat dari
permukaan tanah.

Gambar 24.
Orangutan beristirahat siang
di atas sarang

B. Aktivitas Harian
Aktivitas harian orangutan merupakan semua perilaku
orangutan yang dimulai dari bangun tidur pada pagi hari
sampai kembali ke sarangnya untuk tidur pada malam hari.
Pengamatan aktivitas harian orangutan biasanya dimulai
pukul 06.00 WIB (saat orangutan masih dalam sarangnya
atau sudah mulai beraktivitas) sampai pukul 18.00 WIB
(ketika orangutan memasuki sarang tidur dan/atau masih
beraktivitas). Secara umum, aktivitas harian orangutan yang
diamati, antara lain makan, bergerak, istirahat, sosial, dan
membuat sarang (Galdikas, 1978). Informasi aktivitas harian
orangutan Batang Toru yang dibedakan menurut kelas umur
pada setiap periode pengamatan (pagi, siang, dan sore hari) di
CA Dolok Sibual-buali, sebagai berikut (Kuswanda & Sugiarti,
2005b).

79
1. Alokasi Penggunaan Waktu Harian
a. Aktivitas Periode Pagi Hari (Pukul 06.00–10.00 WIB)
Orangutan mulai beraktivitas pada pagi hari ketika
keluar dari sarang tidurnya. Aktivitas makan pada pagi hari
mempunyai alokasi waktu yang paling banyak, yaitu sebesar
34,31%, kemudian berturut-turut aktivitas bergerak 31,39%,
sosial 23,61%, dan istirahat 10,69%. Aktivitas makan betina
dewasa memiliki alokasi yang paling besar, yaitu 43,75%
(Gambar 25). Betina dewasa memiliki ukuran tubuh yang
paling besar dibandingkan individu lainnya sehingga
membutuhkan makanan untuk menghasilkan energi yang
lebih banyak. Pada aktivitas makan, alokasi waktu untuk
mencari dan makan buah-buahan memiliki persentase paling
besar. Persentase lamanya waktu untuk mengonsumsi buah
sebesar 58%, daun sebesar 25%, dan sisanya untuk
mengonsumsi bunga, kulit pohon, dan serangga.
43.75

Jantan Dew asa


40.42

50.0 (Adult Male)


37.92
36.25

33.75

Betina Dew asa


(Adult Female)
28.75

40.0
Durasi (%)

Jantan Remaja
(Sub Adult Male)
20.00
18.75

30.0
11.67
10.83

20.0
9.58

8.33

0.00
0.00
0.00

10.0

0.0
Makan (Feeding) Bergerak(Moving) Istirahat (Resting) Sosial (Social) Membuat sarang
(Nesting)

Jenis Aktivitas Orang Utan

Gambar 25. Durasi aktivitas orangutan pada pagi hari berdasarkan


kelas umur

80
Alokasi waktu
total untuk aktivitas
bergerak (berjalan di
antara tajuk pohon)
pada pagi hari adalah
31,39%. Jantan remaja
memiliki alokasi waktu
bergerak paling tinggi,
yaitu sebesar 37,92%.
Menurut Sinaga (1992),
aktivitas bergerak me-
rupakan kegiatan per-
pindahan dari satu
pohon ke pohon yang
lain untuk mencari
makan, mencari indivi-
du lainnya, dan/atau
mengelilingi wilayah
Gambar 26.
jelajahnya. Lebih lanjut
Aktivitas makan orangutan pada
disebutkan, jantan pra- pagi hari
dewasa (remaja) memi-
liki waktu bergerak cukup tinggi, yaitu sebesar 26,3% dari
total waktu aktivitas hariannya. Sementara itu,
Djojosudharmo (1978) dalam Sinaga (1992) melaporkan
bahwa orangutan mulai bergerak sejak matahari terbit
sampai terbenam dan selalu berpindah-pindah dengan radius
harian rata-rata 500 meter. Berdasarkan hasil penelitian
pada periode pagi hari jantan remaja memiliki jarak
pergerakan paling jauh 218 m, kemudian jantan dewasa
sejauh 178 m, dan yang terpendek adalah betina dewasa
sejauh 157 m.

81
Aktivitas istirahat pada betina dewasa memiliki alokasi
waktu yang paling tinggi, yaitu 11,67%, disusul jantan dewasa
10,83%, dan yang terendah jantan remaja sebesar 9,58%.
Jantan remaja memiliki alokasi waktu istirahat lebih sedikit
karena waktunya lebih banyak digunakan untuk bergerak.
Alokasi waktu untuk aktivitas sosial pada pagi hari sebesar
23,61%. Jantan remaja memiliki waktu aktivitas sosial yang
paling tinggi sebesar 33,75%. Aktivitas sosial jantan remaja
yang sering tercatat adalah bersuara, terutama saat bertemu
dengan kelompok primata lainnya, seperti beruk (Macaca
nemestrina) yang sedang mencari makan di areal teritorial
orangutan, dan juga dengan kehadiran manusia.
Frekuensi tertinggi aktivitas orangutan pada pagi hari
untuk makan frekuensi terdapat pada betina dewasa sebesar
37,50%, sedangkan frekuensi tertinggi pada aktivitas
bergerak ditemukan pada jantan remaja sebesar 54,54%.
Aktivitas istirahat dan sosial terbanyak dilakukan oleh jantan
dewasa masing-masing sebesar 18,52% dan 22,23%. Selama
periode pagi hari, setiap individu orangutan tidak melakukan
aktivitas membuat sarang.

b. Aktivitas Periode Siang Hari (Pukul 10.00–14.00 WIB)


Alokasi waktu dalam aktivitas orangutan pada periode
siang hari lebih banyak digunakan untuk aktivitas sosial, yaitu
sebesar 42,36%. Alokasi waktu tersebut termasuk pula waktu
tidur karena aktivitas ini dimasukan pada aktivitas sosial.
Alokasi waktu makan pada siang hari lebih sedikit
dibandingkan periode pagi hari, yaitu untuk jantan dewasa
hanya 13,75% dan betina dewasa 28,75%, sedangkan jantan
remaja sebesar 19,58% (Gambar 27). Hal ini disebabkan
pada siang hari terjadi kenaikan suhu udara sehingga

82
orangutan lebih banyak melakukan aktivitas sosial, termasuk
tidur. Aktivitas istirahat orangutan pada siang hari sangat
sedikit karena setelah bangun tidur siang, orangutan
cenderung melakukan aktivitas makan, bergerak, dan sosial
lainnya.

52.92
60

47.92
Jantan Dew asa
(Adult Male)
50

37.50
Betina Dew asa
(Adult Female)
Durasi (%)

28.75

40 Jantan Remaja

26.25
(Sub Adult Male)
19.58

30
17.08
15.00
13.75

12.50

12.08
3.33
20

5.00

4.58
3.75
10

0
Makan (Feeding) Bergerak(Moving) Istirahat (Resting) Sosial (Social) Membuat sarang
(Nesting)

Jenis Aktivitas Orangutan

Gambar 27. Durasi aktivitas orangutan pada siang hari berdasar-


kan kelas umur

Pada siang hari, orangutan membuat sarang untuk tidur


siang dengan alokasi waktu sebesar 4,45%. Sedikitnya sekali
dalam sehari, orangutan membuat sarang yang dibuat dari
ranting-ranting dan daun-daun segar. Pembuatan sarang
relatif cepat berkisar 9–12 menit. Jantan dewasa membuat
sarang paling cepat, yaitu dalam waktu 9 menit. Hal ini
kemungkinan disebabkan jantan dewasa dan jantan remaja
mempunyai gerakan yang lebih cepat dan lincah. Pada
umumnya, penempatan sarang berada pada pohon yang
tajuknya tidak berhubungan dengan pohon lain dan selalu
pada ujung-ujung cabang yang relatif kecil sehingga bila ada
gangguan segera dapat diketahui dari goyangan ranting
ataupun dahannya. Pembuatan sarang untuk tidur siang

83
umumnya sederhana dan dibuat relatif lebih tinggi
dibandingkan untuk sarang tidur malam (Kuswanda &
Sukmana, 2005). Selain untuk keamanan, cara ini juga terkait
dengan iklim mikro setempat.
Pada aktivitas makan, bergerak, dan istirahat; frekuensi
tertinggi terdapat pada jantan remaja masing-masing sebesar
28,00%, 44,00%, dan 20,00%. Pada aktivitas sosial, frekuensi
tertinggi ditemukan pada betina dewasa sebesar 25,00%.
Sementara itu, pada aktivitas membuat sarang, masing-
masing individu mempunyai frekuensi satu kali. Walaupun
mempunyai alokasi waktu yang paling besar, aktivitas tidur–
yang dimasukkan dalam aktivitas sosial–ternyata mempunyai
alokasi waktu yang cukup lama dibandingkan dengan alokasi
untuk aktivitas sosial lain. Tidur siang hari tersebut hanya
dilakukan satu kali, namun bisa berlangsung 90–120 menit.
50 Jantan Dew asa
36.25

(Adult Male)
34.58

34.17
32.92

Betina Dew asa


31.67

40
(Adult Female)
24.17

Jantan Remaja
23.75
Durasi (%)

30 (Sub Adult Male)


19.58
17.50
15.83

11.25

20
8.75

5.00
4.58

10
0.00

0
Makan (Feeding) Bergerak(Moving) Istirahat (Resting) Sosial (Social) Membuat sarang
(Nesting)
Jenis Aktivitas Orangutan

Gambar 28. Durasi aktivitas orangutan pada sore hari berdasarkan


kelas umur

c. Aktivitas Periode Sore Hari ( Pukul 14.00–18.50 WIB)


Pada periode sore hari, aktivitas bergerak mempunyai
alokasi waktu yang paling tinggi, yaitu 34,03% dibandingkan

84
dengan aktivitas lainnya. Jantan remaja tetap mempunyai
alokasi waktu bergerak yang paling tinggi (36,15%) dengan
jarak tempuh 223 m, disusul jantan dewasa (34,17%) dengan
jarak tempuh 198 m dan betina dewasa (31,67%) dengan
jarak tempuh 130 m. Aktivitas makan kembali meningkat
pada periode sore hari dengan total alokasi waktu sebesar
30,42%. Betina dewasa menggunakan alokasi waktunya
paling banyak untuk makan, yaitu sebesar 34,56% (Gambar
28). Lamanya aktivitas makan orangutan pada sore hari
digunakan untuk mengembalikan energinya setelah
beraktivitas pada siang hari dan untuk persiapan sebelum
tidur malam.
Aktivitas istirahat meningkat pula pada sore hari
dengan total alokasi waktu sebesar 17,64%. Jantan dewasa
mempunyai waktu untuk istirahat paling banyak sebesar
19,58%. Aktivitas istirahat pada sore hari yang sering
dilakukan adalah duduk, diam, dan melihat lingkungan
sekelilingnya. Aktivitas sosial agak menurun pada sore hari
dengan total alokasi waktu hanya sebesar 14,72%. Jantan
remaja mempunyai alokasi waktu yang paling tinggi untuk
aktivitas sosial sebesar 24,17%, yaitu terkait dengan aktivitas
bermain dan belajar dengan individu lainnya. Sedikitnya
waktu sosial selama periode sore hari karena saat
pengamatan tidak ditemukan aktivitas tidur.
Alokasi penggunaan waktu untuk membuat sarang pada
sore hari untuk tidur malam agak menurun, yaitu hanya
sebesar 3,19%. Pada waktu pengamatan, hanya jantan
dewasa dan betina dewasa yang sudah membuat sarang tidur,
sedangkan jantan remaja masih beraktivitas sampai akhir
waktu pengamatan dan tercatat baru membuat sarang sekitar
pukul 18.24 WIB. Oleh sebab itu, durasi total aktivitas

85
membuat sarang pada periode sore hari lebih kecil
dibandingkan siang hari. Jantan dewasa lebih cepat membuat
sarang tidur dibandingkan dengan betina dewasa.
Frekuensi paling tinggi untuk aktivitas makan,
bergerak, istirahat, dan sosial adalah sebagai berikut. Pada
aktivitas makan, frekuensi yang paling tinggi terdapat pada
betina dewasa sebesar 30,77%. Pada aktivitas bergerak,
frekuensi tertinggi pada jantan remaja sebesar 41,67%. Pada
aktivitas istirahat, frekuensi tertinggi terdapat pada jantan
remaja dan jantan dewasa, masing-masing 20,83% dan
22,73%. Pada aktivitas sosial, frekuensi tertinggi ditemukan
pada betina dewasa sebesar 23,08%. Pada aktivitas
pembuatan sarang, masing-masing individu mempunyai
frekuensi satu kali, kecuali jantan remaja. Selanjutnya pada
sore hari, aktivitas bergerak mempunyai frekuensi yang
paling tinggi, yaitu sebesar 31,94% untuk mencari makan,
menjelajah, dan mencari pohon sarang untuk tidur pada
malam hari.

2. Hubungan Kelas Umur dengan Aktivitas Harian


Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Uji
Chi-Square (X2) terhadap alokasi penggunaan waktu individu
orangutan dalam beraktivitas menunjukkan bahwa nilai
hitung X2 > X2 tab pada setiap periode pengamatan. Hal ini
berarti bahwa alokasi penggunaan waktu pada aktivitas
harian orangutan berbeda sesuai dengan kelas umurnya.
Perbedaan alokasi penggunaan waktu pada setiap kelas umur
orangutan dimungkinkan karena adanya perbedaan
kepentingan memenuhi kebutuhan pakan dan aktivitas sosial
atau individu. Jantan remaja lebih banyak waktunya untuk
bergerak (berjalan di antara tajuk pohon) dibandingkan

86
betina dan jantan dewasa karena adanya kepentingan untuk
mencari pasangan. Selain itu, jantan remaja memiliki bentuk
tubuh dan berat badan yang relatif lebih kecil sehingga
membutuhkan kalori yang lebih kecil pula dibandingkan
individu dewasa. Menurut Meijaard et al. (2001), alokasi
penggunaan waktu orangutan untuk beraktivitas dapat
dipengaruhi oleh ketersediaan dan/atau kualitas
makanannya, variasi/tipe habitat, dan status sosial dalam
komunitas lokal.
Frekuensi aktivitas harian menunjukkan bahwa nilai X2
hitung < X2 tab pada setiap periode waktu pengamatan. Hal
ini berarti bahwa frekuensi aktivitas harian tidak
berhubungan dengan kelas umur orangutan. Berdasarkan
pengamatan, banyaknya frekuensi aktivitas orangutan
bervariasi pada setiap kelas umur. Frekuensi aktivitas
tertinggi periode pagi hari ditemukan pada jantan dewasa
sebanyak 27 kali, siang hari pada jantan remaja sebanyak 25
kali, dan sore hari pada betina dewasa sebanyak 26 kali.
Banyaknya pengulangan setiap aktivitas orangutan
mungkin lebih dipengaruhi oleh kondisi habitat dan gangguan
yang dijumpainya. Sebagai contoh, apabila orangutan
menemukan jenis pohon pakan yang sedang berbuah dan
disukai, orangutan akan terus berada di pohon tersebut
sambil makan dalam waktu yang relatif lama. Orangutan
tersebut baru makan lagi dalam selang waktu yang lama pula
sehingga frekuensi aktivitas makan hanya terhitung beberapa
kali. Menurut Suzuki (1989), ketersediaan dan kualitas
makanan pada habitatnya akan memengaruhi frekuensi dan
jarak pergerakan orangutan. Pada suatu komunitas lokal
orangutan yang di areal teritorinya mengalami penurunan
ketersediaan makanan, mereka cenderung menggunakan

87
energi secara efisien untuk pindah atau migrasi mengikuti
gelombang musim berbuah guna menghindari risiko
kompetisi makanan, terutama bagi individu yang posisi status
sosialnya rendah.

C. Adaptasi Terhadap Perubahan Habitat


Kerusakan hutan di Sumatra telah mengakibatkan
berkurangnya kualitas dan luasan habitat orangutan. Habitat
hutan primer yang merupakan tempat tinggal utama
orangutan telah banyak berubah menjadi area permukiman,
perkebunan, dan prasarana lainnya. Namun, hal yang
menakjubkan ternyata orangutan masih berhasil bertahan
hidup meskipun tersebar pada habitat yang telah
terfragmentasi dengan populasi yang rendah. Menurut Wich
et al. (2011b), sebagian besar orangutan Sumatra, termasuk
di Hutan Batang Toru, hidup pada habitat yang tidak sesuai,
seperti hutan sekunder dan kebun masyarakat.
Sejarah kehidupan orangutan yang sangat panjang
(puluhan ribu tahun yang lalu [Bab 3]) dan masih bisa
bertahan hingga sekarang menunjukkan bahwa jenis primata
ini telah melakukan proses adaptasi terhadap perubahan
lingkungannya. Orangutan telah menemukan cara yang unik
untuk tetap bertahan hidup pada kondisi habitat yang
terbatas, meskipun populasi terus menurun (van Schaik,
2006). Hasil penelitian Lovell (1990) menyatakan bahwa
orangutan liar mampu menjaga kesehatan dan lebih kuat
(tidak mudah terserang penyakit) bila dibandingkan dengan
gorila atau simpanse. Pola hidup orangutan Sumatra yang
tetap bertahan sebagai satwa arboreal (hidup di atas pohon
dan menjauhi lantai hutan) diduga sebagai salah satu bukti
proses adaptasi untuk menghindari sasaran parasit, termasuk

88
cacing usus, dan protozoa. Proses adaptasi dilakukan pula
dengan strategi orangutan membuat sarang minimal satu
sarang setiap harinya dan tidak ditempati lagi pada hari
berikutnya.
Salah satu proses adaptasi lain yang dilakukan oleh
orangutan adalah menjaga badannya tetap kering, meskipun
saat hujan sehingga tidak mudah terserang penyakit, seperti
infeksi saluran pernapasan atau flu. Jika hujan, orangutan
akan memayungi/menutupi kepalanya dengan daun besar
atau dengan pucuk-pucuk daun. Apabila sedang berada di
sarang, orangutan akan membuat atap yang rapat dan kedap
air dengan cara menumpuk dedaunan di atas sarangnya.
Orangutan akan keluar sarang untuk mencari makan dan
berpindah setelah hujan sehingga tubuhnya tetap kering.
Penemuan sarang orangutan Batang Toru di kebun dan
pinggiran lahan pertanian juga menunjukkan bahwa
orangutan melakukan proses adaptasi agar tetap bisa mencari
makan dan tinggal pada kawasan hutan yang telah dibuka dan
dan dikelola manusia. Hal ini dibuktikan pula pada waktu
penelitian dengan ditemukan secara langsung orangutan yang
menggunakan habitat pada hutan campuran (sebagian telah
ditanami kayu manis oleh masyarakat), seperti di sekitar CA
Dolok Sibual-buali. Beberapa individu orangutan diduga telah
mampu hidup berdampingan dengan manusia, meskipun
pada akhirnya sering menjadi sumber konflik, terutama
ketika musim buah durian.
Perubahan atau adaptasi perilaku telah terjadi pula,
terutama pada orangutan yang tinggal atau memiliki wilayah
jelajah di sekitar lahan budi daya masyarakat. Orangutan
mengunjungi tempat tersebut pada sore hari atau menjelang
malam, terutama untuk membuat sarang tidur. Hal ini

89
kemungkinan untuk menghindari terdeteksi langsung oleh
masyarakat/pemburu. Orangutan tersebut meninggalkan
sarang tidur pada pagi hari (sebelum pukul 06.00 WIB) dan
kembali ke dalam hutan untuk melakukan aktivitas makan
dan sosial lainnya. Hal ini terbukti dari orangutan yang
diamati, yaitu jantan remaja yang membuat sarang setelah
pukul 18.00 WIB karena sering tinggal di pinggiran hutan
yang berbatasan langsung dengan lahan olahan masyarakat.
Masyarakat sekitar Hutan Batang Toru secara umum bekerja
di ladang/sawah pada pukul 08.00–17.00 WIB.

90
VII. ANCAMAN KELESTARIAN

A. Kerusakan Habitat

Ancaman yang mengakibatkan degradasi hutan masih


sulit untuk dihentikan. Hal tersebut berdampak pula pada
terjadinya kerusakan habitat satwa liar, termasuk habitat
orangutan Batang Toru, yang semakin lama semakin meluas.
Kerusakan habitat secara langsung akan mengurangi daya
dukung dan kemampuan orangutan untuk melakukan
reproduksi. Berbagai bentuk ancaman yang dapat
mengakibatkan kerusakan habitat orangutan di dalam dan di
sekitar Hutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut.

1. Penebangan Hutan
Penebangan hutan berdampak secara langsung
terhadap penurunan kualitas habitat satwa liar, baik jangka
pendek maupun panjang. Kegiatan eksploitasi kayu, baik
secara legal maupun ilegal, telah merusak habitat orangutan
antara 50% sampai kerusakan total. Hilangnya hutan akibat
penebangan di Sumatra Utara dari tahun 2000–2009
mencapai 2,3% (Wich et al., 2011a). Akibatnya, komunitas
orangutan telah terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil
dan sulit untuk bertahan hidup sehingga dapat terjadi
kepunahan lokal.

91
Aktivitas penebangan kayu secara liar di sekitar hutan
konservasi di Batang Toru masih terjadi, meskipun dalam
skala yang kecil. Kayu yang ditebang merupakan jenis yang
memiliki harga komersial yang tinggi dan banyak digunakan
sebagai bahan konstruksi rumah, walaupun jenis tersebut
merupakan pohon sumber pakan bagi orangutan. Pohon yang
ditebang rata-rata berdiameter 70–100 cm (Kuswanda,
2007a). Aktivitas penebangan–meskipun skala kecil–telah
menurunkan produktivitas makanan satwa liar, mengganggu
siklus hara, dan keseimbangan ekosistem. Menurut van Schaik
et al. (2001), penebangan hutan, seperti di sekitar TN Gunung
Leuser, telah mengakibatkan kepadatan orangutan menurun
hingga 90%. Sebagai contoh, setelah terjadi penebangan
hutan di lokasi penelitian Soraya, kepadatan orangutan
berkurang secara dramatis dari 4,2 individu/km2 menjadi 0,4
individu/km2.

Gambar 29. Penebangan liar di sekitar CA Dolok Sipirok

92
2. Perambahan
Pertumbuhan penduduk telah mendorong perkem-
bangan infra struktur sehingga lahan menjadi langka. Salah
satu lahan yang mudah direbut adalah hutan negara, yang
menurut sebagian masyarakat merupakan tanah terbuka;
baik pada hutan yang berfungsi konservasi, lindung, maupun
produksi. Peningkatan jumlah penduduk yang relatif cepat di
sekitar hutan konservasi, seperti cagar alam atau suaka marga
satwa sering memberikan implikasi adanya perambahan
lahan terutama oleh masyarakat pendatang karena tidak
mempunyai lahan olahan. Aktivitas tersebut terjadi juga di
sekitar Hutan Batang Toru.
Penduduk di
Kabupaten Tapanuli
Selatan sekitar 80%
masih bermata penca-
harian pada sektor
pertanian (BPS Suma-
tra Utara, 2012).
Bertani merupakan
aktivitas sebagian be-
sar masyarakat yang
telah terjadi secara Gambar 30.
Perambahan hutan konservasi
turun-temurun. Seba-
untuk lahan perkebunan
gian besar masyarakat
tersebut membuka hutan dengan cara tebas bakar kemudian
baru dibersihkan menggunakan parang babat dan cangkul.
Berdasarkan hasil pengamatan, lahan yang dibuka umumnya
pada areal datar sampai kemiringan 20% dengan luas lahan
yang dibuka sangat bervariasi antara 500–2.000 m2 per
keluarga (Kuswanda, 2007b). Aktivitas ini secara nyata telah

93
mengakibatkan hilang, rusak, dan terfragmentasi habitat
orangutan. Berkurangnya kawasan hutan untuk berbagai
kebutuhan manusia, seperti lahan pertanian, perkebunan, dan
pertambangan terbuka akan menyebabkan kepunahan
orangutan karena regenerasi hutan secaraa alami sulit terjadi
kembali.

3. Pendirian Gubuk Liar


Gubuk liar dibangun oleh masyarakat di hutan Batang
Toru sebagai tempat peristirahatan, menunggu ladang, dan
memproduksi gula aren. Luas gubuk yang dibangun sangat
bervariasi antara 10–25 m2 dengan tinggi gubuk rata-rata 3,5
meter. Penghuni gubuk hampir setiap hari memasuki habitat
orangutan untuk ”maragat” atau mengambil air nira dan kayu
bakar untuk memproduksi gula aren. Di sekitar gubuk,
mereka membuka areal pekarangan yang dimanfaatkan
untuk menanam berbagai jenis tanaman, baik tanaman
palawija maupun perkebunan, dengan luas 30–200 m2
(Kuswanda, 2007b). Jenis-jenis tanaman yang dipelihara oleh
masyarakat, antara lain singkong, cabe, talas, sayuran, dan
tomat dengan tanaman batas/pinggir berupa aren, kayu
manis, kopi, dan tembakau. Keberadaan gubuk semakin
bertambah dan telah menjadi pemutus lintasan jelajah
orangutan.

4. Perluasan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari
proses pembangunan, seperti pembangunan pemukiman dan
perluasan jaringan jalan. Pengembangan infrastruktur, seperti
jalan merupakan salah satu alternatif untuk membuka akses

94
masyarakat lokal ke desa atau kota sehingga memudahkan
menjual hasil panen yang dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (Saroso, 2010). Pembangunan jalan akan
menimbulkan permasalahan ketika melintas hutan
konservasi yang menjadi habitat satwa langka. Pembukaan
jalan memfasilitasi pergerakan manusia ke daerah baru yang
secara langsung akan mengakibatkan kegiatan merusak,
seperti pembukaan lahan perkebunan. Sebagai contoh,
terbukanya jalan dari Kota Sipirok menembus Kota Batang
Toru melalui Daerah Aek Nabara telah memicu masyarakat
luar datang dan membuka hutan untuk dijadikan areal
perkebunan karet, kopi, dan sawit yang luas dengan
pengelolaan secara intensif.

Gambar 31. Jaringan jalan yang membelah Hutan Batang Toru

Dampak negatif perluasan jaringan jalan dapat


dikurangi apabila terdapat perencanaan penataan dan

95
pemanfaatan ruang secara cermat dan terpadu. Pembukaan
jalan di Hutan Batang Toru sebaiknya tidak memotong habitat
orangutan atau diupayakan membangun koridor-koridor
karena sebagian habitat termasuk lahan masyarakat. Begitu
pula, pembangunan infrastruktur desa di sekitar hutan
konservasi tetap memerhatikan kepentingan konservasi,
bukan hanya sekedar untuk peningkatan sarana ekonomi.
Pola pengembangan dan pengelolaan desa konservasi perlu
dikenalkan dan diterapkan di daerah penyangga atau desa
sepanjang sarana jalan.

5. Aktivitas Lainnya
Berbagai aktivitas, baik yang dilakukan oleh perusaha-
an maupun masyarakat, yang dapat mengancam kelestarian
habitat orangutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut.
a. Pembalakan kayu legal yang dilakukan oleh perusahaan
konsesi IUPHHK PT Teluk Nauli, terutama di Blok Anggoli
seluas 30.000 ha. Penebangan pada kawasan ini sudah
dilakukan sejak 1999–2001 dan saat ini tidak dilanjutkan
karena masih menunggu izin perpanjangan dari
Kementerian Kehutanan.
b. Aktivitas perusahaan pertambangan emas PT Dharma
Persada Bhakti yang berpotensi akan merusak kawasan
hutan dengan adanya kegiatan penggalian dan
penimbunan area eksploitasi tambang. Intensitas
pengeboran akan memengaruhi penurunan kepadatan
orangutan karena tingginya aktivitas manusia di area
tersebut yang dapat memengaruhi penurunan kesempatan
untuk melakukan aktivitas kawin. Orangutan sangat
sensitif dan cenderung akan menghindar dari manusia.

96
c. Pengambilalihan hutan atau okupasi kawasan untuk
pertanian dan perkebunan, terutama setelah kehadiran
pengungsi Nias yang membuka hutan untuk perladangan
dan pemukiman baru.
d. Berbagai aktivitas masyarakat lainnya, seperti mengambil
kayu bakar, bahan obat-obatan tradisional, dan
pembakaran lahan yang dilakukan di habitat orangutan.

B. Perburuan
Perburuan orangutan untuk kepentingan subsistensi,
religius, koleksi ilmiah, maupun komersial masih terus
berlangsung sampai sekarang. Sebagai contoh, Ketua Suku
Batak Toba dan Karo sering menggunakan hiasan rambut
orangutan pada tongkat tua atau tongkat malehat (Meijaard
et al., 2001). Bahkan, beberapa kelompok masyarakat dan
oknum pejabat masih mengambil orangutan untuk dijual atau
dijadikan hewan peliharaan, terutama dari Provinsi Aceh
(Wich et al., 2003). Walaupun perburuan orangutan di sekitar
Hutan Batang Toru
sudah menurun,
apabila perburuan
di daerah lain masih
terus dibiarkan, hal
tersebut tetap akan
menjadi ancaman
serius terhadap
penurunan populasi.

Gambar 32.
Orangutan sitaan dari peliharaan
masyarakat

97
Pemburuan orangutan masih terjadi terutama ketika
orangutan memasuki area pertanian dan perkebunan di
pinggiran hutan, serta ketika musim buah durian. Orangutan
dewasa ditembak dan dibunuh, sedangkan bayinya ditangkap
untuk diperjualbelikan sebagai binatang peliharaan (Nijman,
2009). Orangutan yang bernasib baik hanya diusir sehingga
masih ada peluang hidup bagi mereka. Masyarakat sering
mengusir orangutan menggunakan api atau membakar kayu
ketika sedang mencari makan di sekitar ladang mereka.
Terjadinya konflik kepentingan antara manusia dan
orangutan tentunya akan mengakibatkan orangutan tersisih
karena–bagaimanapun–konflik tersebut akan dimenangkan
oleh manusia. Kenyataannya, kebutuhan lahan dan makanan
bagi manusia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan,
sedangkan bagi orangutan adalah pilihan untuk bertahan
hidup atau mati (Kuswanda, 2007a).

98
VIII. MASYARAKAT DAERAH
PENYANGGA

Masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru tercatat


jumlahnya sebanyak 38.622 jiwa dengan 10.316 kepala
keluarga. Masyarakat ini tersebar di 53 desa dalam 10
kecamatan dan tiga kabupaten. Secara administratif,
sebanyak 21 desa masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Tapanuli Selatan, 28 desa di Kabupaten Tapanuli Utara, dan 4
desa di Kabupaten Tapanuli Tengah. Penduduk yang
mendiami kawasan di sekitar hutan Batang Toru umumnya
berasal dari kawasan dataran tinggi sekitar Danau Toba dan
wilayah Tapanuli Selatan, serta pendatang dari Pulau Nias
(Perbatakusuma et al., 2006). Sebagian besar penduduk
tinggal dan menggantungkan kehidupannya di sekitar hutan
konservasi, seperti CA Dolok Sipirok dan CA Dolok Sibual-
buali. Akibatnya, aktivitas mereka akan menjadi salah satu
penentu keberhasilan konservasi orangutan di Hutan Batang
Toru (Kuswanda, 2007c).
Keberadaan masyarakat di daerah penyangga hutan
konservasi sangat penting untuk mendukung keberhasilan
pengelolaan hutan konservasi dan pelestarian jenis, seperti
orangutan (Kuswanda & Mukhtar, 2006a). Pengelolaan
daerah penyangga yang tepat diharapkan dapat mengurangi
tekanan penduduk terhadap hutan konservasi, sekaligus
memberikan kegiatan ekonomi kepada masyarakat dan
kawasan yang memungkinkan adanya interaksi manfaat

99
secara berkelanjutan bagi masyarakat (MacKinnon et al.,
1993). Karakteristik masyarakat di daerah penyangga sekitar
hutan konservasi di Kawasan Batang Toru adalah sebagai
berikut.

A. Karakteristik Sosial Ekonomi


Masyarakat di daerah penyangga umumnya beragama
Islam yang merupakan agama mayoritas yang dianut
masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru bagian Barat.
Komposisi umur sebagian besar kepala rumah tangga yang
menjadi responden termasuk dalam golongan produktif (15–
64 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat
bekerja secara optimum dalam mencari nafkah hidup untuk
keluarga. Jumlah anggota keluarga termasuk kategori besar,
yaitu 5–7 orang (memiliki anak sebanyak 3–5 orang). Kondisi
ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat desa
belum mengikuti program Keluarga Berencana (Kuswanda,
2007d).
Masyarakat yang menjadi responden penelitian
sebagaian besar (>60%) hanya berpendidikan sampai sekolah
dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SLTP).
Masyarakat yang berpendidikan sampai perguruan
tinggi/akademi masih jarang. Sarana pendidikan masih
sangat kurang, sebagai contoh di Desa Hopong hanya
terdapat sarana SD. Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat
SLTP, anak-anak harus rela berjalan kaki ke kota kecamatan;
seperti di Daerah Marancar, Sipirok, dan Arse. Keadaan ini
mengakibatkan pendidikan sulit untuk berkembang dan
sebagian anak-anak menjadi malas untuk melanjutkan
sekolah dan lebih memilih mengikuti orangtuanya ke sawah
atau kebun.

100
Gambar 33. Perkampungan masyarakat penyangga di Desa
Hopong, Sipirok

Selain bertani di sawah atau berkebun, mata


pencaharian masyarakat lainnya adalah membuat gula aren.
Sebelum pergi ke ladang atau sawah, masyarakat biasanya
memasang garung (tempat mengambil air nira yang terbuat
dari bambu) pada pagi hari dan baru diambil kembali pada
sore hari. Pendapatan rata-rata masyarakat yang tinggal di
sekitar Hutan Batang Toru masih tergolong rendah, rata-rata
Rp1.000.000–Rp2.000.000 per bulan. Hanya sedikit
masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp2.000.000 per
bulan. Rendahnya pendapatan masyarakat ini mengakibatkan
ketergantungan terhadap sumber daya hutan masih cukup
tinggi. Sebagai contoh, masyarakat umumnya masih memasak
menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu. Kayu

101
tersebut mereka ambil dari kawasan hutan yang juga
merupakan habitat orangutan (Kuswanda, 2007d).

Gambar 34. Lahan pertanian sawah yang berbatasan langsung


dengan hutan cagar alam

Masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru juga telah


memanfaatkan satwa liar secara turun-temurun. Mereka
menangkap satwa liar dari habitat alaminya sehingga
sebagian populasi satwa menjadi terancam, seperti rusa dan
kambing hutan. Untuk memenuhi kebutuhan protein dengan
keterbatasan biaya, mereka terpaksa menangkap satwa liar,
baik yang ditemukan secara sengaja (ketika menginap di
dalam hutan) maupun dengan sengaja dan terencana
memasuki kawasan hutan untuk berburu satwa liar.
Masyarakat sebenarnya berminat untuk mengembangkan

102
penangkaran satwa liar, seperti rusa dengan alasan untuk
mendapatkan hasil tambahan dan memenuhi kebutuhan
protein keluarga.

B. Lahan Olahan Masyarakat


Informasi karakteristik lahan adalah salah satu aspek
yang dibutuhkan dalam perencanaan pengelolaan lahan,
terutama pada lahan olahan yang berbatasan langsung
dengan hutan konservasi. Hal ini sebagai salah satu cara
untuk mengembangkan konservasi tanah yang sangat
strategis karena selain berfungsi ekologis juga berfungsi
ekonomi. Lahan olahan masyarakat secara umum termasuk
klasifikasi datar sampai bergelombang, meskipun saat ini
lahan yang kemiringan tinggi pun di buka untuk area
perkebunan. Areal datar dimanfaatkan untuk lahan
pertanian/sawah dan ladang, sedangkan pada areal
bergelombang dimanfaatkan untuk perkebunan dan hutan
rakyat. Masyarakat lebih banyak memanfaatkan areal datar
agar lebih mudah dalam pengelolaan dan pemeliharaan
tanaman. Masyarakat belum menerapkan teknik konservasi
tanah, seperti pembuatan guludan atau terasering pada lahan
olahan yang agak terjal.
Hasil pengamatan secara deskriptif menunjukkan
bahwa sebagian besar lahan yang dikelola oleh masyarakat
terletak pada kelas kemiringan 0–25%. Lahan pertanian
umumnya dibuat pada kemiringan 0–8%, lahan perkebunan
0–15%, dan areal hutan rakyat 8–25%. Habitat orangutan
pada lahan masyarakat sebagian besar ditemukan pada areal
kemiringan 8–25% (hutan rakyat) yang tanamannya masih
merupakan campuran antara pohon yang tumbuh secara
alami dan yang ditanam oleh masyarakat, seperti kayu manis

103
(Cinnamomum. burmannii), karet (Hevea brasiliensis), dan
durian. Orangutan masih sering mengunjungi hutan rakyat
terutama ketika musim buah durian (Kuswanda, 2007b).
Luas lahan yang dimiliki masyarakat cukup bervariasi,
namun umumnya kurang dari 2,5 ha per kepala keluarga.
Jenis-jenis lahan yang dimiliki oleh masyarakat juga cukup
bervariasi, sangat sedikit masyarakat yang memiliki satu
tipe/jenis lahan. Asal usul kepemilikan lahan masyarakat
berasal dari membuka hutan, warisan orang tua, dan/atau
membeli dari orang lain. Namun demikian, kegiatan membuka
hutan saat ini jarang dilakukan kembali oleh masyarakat desa
karena mereka sudah mengetahui bahwa hutan yang terdapat
di sekitar lahan yang dikelolanya merupakan kawasan yang
dilindungi. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa sebagian
kawasan hutan harus dijaga dan dilindungi karena
merupakan sumber air bagi lahan pertanian dan habitat
beragam satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang,
seperti orangutan. Pembukaan lahan justru banyak dilakukan
oleh masyarakat pendatang, terutama yang memiliki modal
yang besar.
Hasil panen dari lahan olahan sebagian besar untuk
dikonsumsi dan sisanya dijual, khususnya hasil perkebunan.
Hanya sedikit masyarakat yang tidak menjual hasil panennya
(untuk dikonsumsi), terutama masyarakat yang hanya
mengelola sawah. Pendapatan yang diperoleh dari menjual
hasil panennya berbeda-beda, namun rata-rata lebih dari
Rp1.000.000 per bulan. Untuk menambah penghasilan
keluarga, mereka biasanya membuat gula aren dan menjadi
buruh atau kuli angkut pada masyarakat lain yang memiliki
perkebunan cukup luas.

104
Tipe-tipe lahan olahan masyarakat di sekitar Hutan
Batang Toru secara umum dapat dikelompokkan sebagai
berikut (Kuswanda, 2007b).

1. Hutan Rakyat
Hutan rakyat me-
rupakan lahan masya-
rakat berupa hutan
yang tumbuhannya
adalah campuran po-
hon alami dengan ta-
naman budi daya ma-
syarakat. Areal hutan
rakyat sebagian besar
berbatasan langsung
dengan kawasan hutan
konservasi. Tumbuhan
yang mendominasi pa-
da lahan hutan rakyat
adalah jenis tumbuhan
hasil hutan non kayu
yang ditanam oleh
masyarakat, seperti ka-
yu manis, aren, dan Gambar 35.
karet. Hasil ini telah Hutan rakyat dengan tanaman kayu
membuktikan bahwa manis
pohon penghasil kayu sudah banyak ditebang oleh
masyarakat dan hanya meninggalkan beberapa jenis kayu
yang bermanfaat sebagai bahan perumahan, seperti hoteng
(Quercus gemelliflora Bl.) dan hau dolok (Syzygium sp.).

105
2. Lahan Perkebunan
Masyarakat di Hu-
tan Batang Toru telah
mengelola tanaman per-
kebunan secara turun-
temurun. Jenis tanaman
yang dibudidayakan oleh
masyarakat pada lahan
perkebunan cukup bera-
gam dan ditanam dengan
cara kombinasi/campur-
an. Sistem penanaman
oleh masyarakat sudah
menerapkan pola agro-
forestry (campuran ta-
naman semusim dan
tahunan) dengan tujuan Gambar 36.
agar mendapatkan peng- Perkebunan karet campur tanaman
hasilan harian, bulanan, aren pada lahan masyarakat
dan tahunan.
Selain tanaman kayu manis, jenis tanaman perkebunan
yang cukup banyak dibudidayakan oleh masyarakat adalah
karet, salak (Salacca edulis), dan kopi (C. arabica). Namun,
masyarakat pada beberapa daerah sudah mulai membudi-
dayakan tanaman cokelat (Theobroma cacao) dan cengkeh
(Eugenia aromatica).

3. Areal Perladangan
Selain kebun, sebagian masyarakat membuka lahan
untuk areal perladangan. Pada areal ladang secara umum

106
ditanam tanaman palawija atau semusim dengan pola tanam
campuran. Sangat jarang ditemukan tanaman yang sejenis
pada ladang masyarakat. Tanaman yang banyak dikelola
masyarakat adalah tomat (Solanum lycopersicum ), cabai
(Capsicum annum), ubi jalar (Ipomoea batatas), bayam
(Amaranthus blitum), kunyit (Curcuma domestica), pisang (M.
brachycarpa) , kacang-kacangan (Arachis sp.), dan umbi-
umbian.

4. Areal Pertanian Sawah


Areal sawah banyak ditemukan di sekitar hutan
konservasi dan posisinya ada di sekitar pemukiman. Varietas
padi yang banyak ditanam masyarakat adalah jenis Sipulo
pandan dan Pulau manggis. Hasil pertanian dipanen oleh
masyarakat rata-rata dua kali dalam setahun. Padi dari sawah
dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi dan sebagian untuk
dijual.

5. Areal Pemukiman
Penggunaan lahan lainnya oleh masyarakat adalah
untuk perumahan, pekarangan, jalan, sarana, dan prasarana.
Secara umum, penggunaan lahan perumahan dengan
pekarangan tersebut diolah untuk menghasilkan bahan
tambahan untuk kebutuhan sehari-hari yang mendatangkan
nilai ekonomi. Luas lahan yang dibuka semakin meluas
seiring dengan pertambahan penduduk sehingga di sebagian
wilayah sudah memasuki kawasan konservasi yang menjadi
bagian habitat orangutan.
Masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru, seperti CA
Dolok Sibual-buali memiliki tingkat persepsi yang berbeda-

107
beda dalam rencana pengembangan daerahnya. Namun, lebih
dari 65% responden memiliki tingkat persepsi yang tinggi
dan setuju apabila kawasan desa mereka dikategorikan
sebagai daerah penyangga. Persepsi responden yang kurang
setuju akan pembangunan daerah penyangga karena masih
memiliki asumsi bahwa pembentukan daerah penyangga
hanya akan membatasi ruang gerak dan mata pencaharian
mereka dalam memanfaatkan sumber daya hutan.
Masyarakat akan menanggapi secara positif apabila
pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat dan mereka
dilibatkan sebagai pelaku, bukan obyek pelaksanaan program
kegiatan.
Masyarakat sangat mengharapkan adanya bantuan
ekonomi untuk meningkatkan kehidupannya. Responden
mengakui bahwa sebagian besar dari mereka memiliki
pendidikan formal yang rendah (hanya sampai SD/SLTP)
sehingga hanya mampu untuk mengelola lahan yang telah
dilakukan secara turun-temurun dengan tata kelola yang
masih tradisional. Masyarakat berharap adanya bantuan
modal usaha untuk mengembangkan sektor pertanian dan
perkebunan, baik dari instansi pemerintah maupun lembaga
lainnya. Dengan demikian, lahan mereka dapat dikelola
dengan intensif dan mengurangi laju ekstensifikasi
pembukaan lahan yang mengokupasi kawasan hutan. Begitu
pula, keberadaannya dapat menjadi bagian dalam
melaksanakan program konservasi orangutan yang selama ini
hanya menjadi penonton, bukan pelaku, sehingga peranserta
terhadap program sangat rendah. Hal tersebut terjadi karena
ketidaktahuan, bukan akibat ketidakpedulian untuk
melindungi konservasi satwa liar, seperti orangutan.

108
IX. PERSEPSI DAN PERANAN
PARA PIHAK

A. Persepsi Para Pihak

Persepsi para pihak (stakeholder) sangat penting


diketahui untuk merencanakan penyusunan teknik
konservasi orangutan secara terpadu. Informasi persepsi
para pihak dapat menjadi bahan acuan dalam penyusunan
rencana strategi untuk mengurangi laju kerusakan habitat
dan penurunan populasi orangutan. Hasil penelitian tingkat
persepsi dari stakeholder atau lembaga yang diidentifikasi
terkait dalam konservasi orangutan Batang Toru, antara lain
sebagai berikut.

1. Masyarakat Desa
Masyarakat di sekitar hutan sering mengalami posisi
yang dilematis. Mereka kerap menjadi sorotan sebagai salah
satu penyebab kerusakan hutan dan kepunahan beragam
spesies. Di sisi lain, mereka pun dituntut untuk menjadi ujung
tombak program pelestarian hutan beserta keanekaragaman
hayati di dalamnya (van Schaik, 2006). Sorotan tersebut
dialami juga oleh masyarakat di kawasan Hutan Batang Toru
yang sebagian besar sumber kehidupannya masih bergantung
pada sumber daya hutan yang merupakan habitat bagi
orangutan.

109
Persepsi masyarakat yang menjadi responden
sebenarnya bersifat positif dan menganggap penting
orangutan untuk dilindungi. Masyarakat telah mengetahui
status dan keberadaan orangutan sebagai satwa yang
dilindungi (Kuswanda, 2007d). Masyarakat berharap bahwa
kawasan hutan di daerahnya tetap lestari, namun
penghidupan mereka juga dapat meningkat. Sebagian
masyarakat telah menyadari keberadaan hutan harus dijaga
untuk mencegah bencana alam, menjaga sumber air dan kayu
bakar, serta pemandangan yang menarik. Begitu pula, adanya
orangutan di daerahnya telah menarik perhatian berbagai
instansi/peneliti untuk mengunjungi desanya. Masyarakat
secara tidak langsung mendapatkan penghasilan tambahan
sebagai pemandu (guide), porter, dan bantuan lainnya dalam
program pemberdayaan masyarakat sekitar habitat
orangutan, seperti di Desa Aek Nabara, Tapanuli Selatan.
Masyarakat di Kawasan Hutan Batang Toru pada
dasarnya mengetahui bahwa kondisi hutan akan
memengaruhi keberadaan orangutan karena umumnya
mereka menemukan orangutan pada hutan yang masih
baik/primer. Namun, ketakutan mereka dengan keterbatasan
pemanfaatan lahan di sekitar desa, terutama pada lahan yang
telah dibuka dan diolah sebagai areal pertanian, sering kali
mengurangi respon mereka terhadap kegiatan konservasi
hutan dan orangutan. Kegelisahan ini sangat wajar karena
masyarakat desa umumnya tidak memiliki sertifikat hak milik
lahan dan hanya mewarisi lahan olahan dari orangtua atau
membeli dari tetangganya. Apalagi, tata batas kawasan
konservasi dan hutan lindung yang tidak jelas sering
membingungkan masyarakat untuk melakukan pengelolaan
lahan karena mereka khawatir jika sewaktu-waktu ada

110
pengambilalihan lahan olahan yang secara hukum termasuk
hutan negara, seperti hutan konservasi.

Gambar 37. Diskusi dan pengisian kuisioner bersama masyarakat


dan aparat desa

Menurut masyarakat, pelaksanaan program konservasi


orangutan–bagaimanapun–harus melibatkan masyarakat
lokal. Sekitar 72% responden menyatakan bahwa sangat
penting masyarakat diikutsertakan dalam konservasi
orangutan. Program yang ada selama ini hanya menyentuh
kepentingan orangutan, sedangkan keberadaan dan
kepentingan perekonomian masyarakat kurang diperhatikan
sehingga seringkali mereka kurang mendukungnya. Menurut
mereka pengambilan sumber daya hutan, seperti kayu bakar,
buah-buahan, dan air nira karena tidak ada lagi mata
pencaharian lain yang dapat meningkatkan penghasilannya.

111
Keterbatasan penghasilan dari mengelola lahannya sering
mendorong mereka untuk memanfaatkan sumber daya hutan,
termasuk dari hutan konservasi. Kondisi ini merupakan
alternatif yang paling memungkinkan dan mudah dilakukan
oleh masyarakat sekitar hutan, selain kegiatan pertanian dan
jasa lainnya.
Menurut masyarakat, pemerintah sangat berkepen-
tingan untuk melindungi orangutan. Habitat orangutan yang
sebagian besar berada pada kawasan hutan konservasi
merupakan hak dan tanggung jawab pemerintah untuk
mengelolanya. Masyarakat akan mendukung program
konservasi orangutan di daerahnya, baik itu oleh pemerintah
maupun lembaga lainnya, dengan catatan terlebih dahulu
dilakukan sosialisasi maupun penyuluhan. Hal ini agar tidak
menimbulkan salah pengertian dan masyarakat dapat
mengetahui kegiatan yang akan dilaksanakan di desanya.
Bahkan, lebih dari 90,0% responden menyatakan akan
merasa dirugikan apabila orangutan punah atau hilang dari
daerah mereka. Namun, catatan dari responden juga
menyatakan bahwa mereka pun dapat dibantu untuk
mengembangkan sumber pendapatan lain sehingga
ketergantungan terhadap sumber daya hutan dapat
berkurang.

2. Pemerintah Daerah
Pegawai pemerintah daerah (Pemda), seperti di
Kabupaten Tapanuli Selatan, memiliki tingkat persepsi yang
positif atau tinggi terhadap program pelestarian orangutan
Sumatra. Mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk
melakukan pelestarian hutan dan orangutan di Kabupaten
Tapanuli Selatan. Dari responden yang terpilih, secara

112
keseluruhan tidak ada yang memiliki persepsi rendah.
Mereka telah mengetahui bahwa orangutan merupakan satwa
yang dilindungi oleh undang-undang sehingga pemburu atau
orang yang menangkap, bahkan yang memelihara orangutan
tanpa izin harus dikenakan sangsi sesuai ketentuan hukum
yang berlaku (Kuswanda, 2007d).
Pemerintah Daerah, seperti di Kabupaten Tapanuli
Selatan secara prinsip sangat mendukung untuk melakukan
kegiatan pelestarian hutan, termasuk habitat orangutan. Saat
ini, program perlindungan hutan sebagai habitat satwa liar
langka telah menjadi salah satu prioritas visi Kabupaten
Tapanuli Selatan. Responden juga menganggap bahwa
masyarakat setempat perlu dilibatkan dalam program
konservasi orangutan karena keberadaan masyarakat
dianggap penting sebagai sarana untuk menyukseskan
program tersebut.
Pemerintah Daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan juga
mengharapkan program pelestarian orangutan perlu
dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai
instansi terkait. Mereka menyadari untuk melaksanakan
program konservasi pada daerah yang masyarakatnya
berpendidikan dan perekonomiannya relatif rendah
membutuhkan kerjasama dengan stakeholder lain. Pemda
Kabupaten Tapanuli Selatan akan terbuka dan bersedia
berkoordinasi dengan pihak lain untuk mengimplemen-
tasikan program konservasi orangutan, khususnya di sekitar
Hutan Batang Toru dan mengatasi permasalahan-
permasalahan yang muncul sesuai dengan kedudukan dan
kewenangan masing-masing instansi. Apalagi, sebagian besar
habitat orangutan berada di kawasan konservasi yang

113
pengelolaannya merupakan tanggung jawab Pemerintah
Pusat (Kementerian Kehutanan).

3. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA)


Sumatra Utara
BBKSDA Sumatra Utara mempunyai tugas untuk
melaksanakan pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar
alam, taman wisata alam dan taman buru, serta konservasi
tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan
tersebut. Responden pada BBKSDA Sumatra Utara
menyatakan bahwa habitat orangutan harus dilindungi
karena kualitas hutan akan memengaruhi perkembangan
orangutan. Program untuk menggalakkan upaya konservasi
orangutan sangat penting ditengah perubahan sosial
kehidupan manusia dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industrialis dan konsumtif. Untuk itu, penetapan
dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan salah satu
cara terpenting untuk menjamin sumber daya alam dapat
dilestarikan sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia
sekarang dan di masa mendatang.
Saat ini, pandangan sebagian masyarakat yang masih
menganggap bahwa pelestarian alam dan keanekaragaman
hayati adalah usaha perlindungan yang menutup peluang
pemanfaatan sumber daya alam perlu segera diluruskan
karena akan menjadi kendala dalam pelaksanaan konservasi.
Fungsi kawasan konservasi tidak hanya untuk memelihara
stabilitas lingkungan, tanah, dan iklim, serta tetap menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem. Akan
tetapi, kawasan konservasi juga menyediakan kesempatan
bagi kegiatan penelitian dan pemantauan spesies yang terkait
dengan kebutuhan manusia, menyediakan kesempatan bagi

114
terlaksananya pembangunan pedesaan yang kondusif dan
terhindar dari kemungkinan bencana alam, serta
menyediakan lokasi bagi pengembangan rekreasi dan wisata.
BBKSDA Sumatra Utara secara prinsip sangat
mendukung apabila terdapat instansi lain yang tertarik untuk
turut serta dalam program pelestarian keanekaragaman
hayati, termasuk orangutan. Mereka sering mengalami
kesulitan untuk memantau kawasannya yang mencapai
161.477,05 ha dengan personil polisi hutan dan anggaran
yang terbatas (Balai Besar KSDA Sumatra Utara, 2010).
BBKSDA telah memberikan izin dan bantuan tenaga untuk
mendukung beberapa lembaga swadaya masyarakat yang
saat ini telah menunjukan dedikasinya untuk melakukan
penelitian, sosialisasi, dan pemantauan tentang orangutan di
wilayah kerjanya.

4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


Persepsi tentang pelestarian orangután dari beberapa
LSM, antara lain Conservation International-Indonesia (CI-I)
dan Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP)
sangat positif dan mendukung upaya program konservasi
orangutan. Populasi orangutan Sumatra, yang hanya sekitar
6.500 individu, bila dibiarkan seperti kondisi sekarang akan
mengalami kepunahan dalam beberapa tahun ke depan.
Padahal, orangutan merupakan spesies “payung” (umbrella
spsies) bagi jenis satwa liar lainnya sehingga perlindungannya
akan mencakup komunitas alam di kawasan Hutan Batang
Toru.
Menurut beberapa LSM tersebut, meskipun sebagai
negara yang memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan dan

115
satwa yang tinggi, Indonesia tetap akan mengalami kerugian
apabila orangutan sampai punah. Orangutan telah menjadi
maskot yang sangat menarik untuk memperoleh perhatian
publik dan paling memikat untuk mencari dukungan dana
internasional, seperti World Bank. Berbagai dukungan
internasional untuk konservasi satwa liar selama ini hampir
tidak berarti karena bantuan tidak terpadu dan tidak dikelola
secara profesional. Responden berpendapat pula bahwa
pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati bukan hanya
merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dapat
meminta dukungan dan membagi tanggung jawabnya dengan
lembaga nasional maupun internasional sehingga masa depan
orangutan akan penuh harapan. Kebijakan untuk menjalin
kemitraan yang efektif dari pemerintah sangat diperlukan
untuk meningkatkan peranan berbagai lembaga yang
bergerak dalam bidang konservasi dalam menjalankan
aktivitasnya dan diikuti kontrol, serta pengawasan yang ketat.
Responden juga menyatakan bahwa perusahaan,
seperti perusahaan pertambangan dan air minum di sekitar
Hutan Batang Toru, harus diberi tanggung jawab untuk
melindungi habitat orangutan. Pembebanan biaya untuk
pelaksanaan konservasi orangutan dapat dijadikan sebagai
bagian biaya tambahan operasional perusahaan yang dapat
diatur melalui peraturan daerah. Perusahaan juga diharuskan
untuk membantu meningkatkan perekonomian masyarakat
lokal melalui perekrutan tenaga kerja dan sumbangan
pembangunan desa agar aktivitas masyarakat mengokupasi
hábitat orangután menurun.

116
B. Peranan Kelembagaan
Berbagai perundang-undangan yang mengatur
konservasi keanekaragaman hayati telah diberlakukan,
seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun demikian,
implemetasi peraturan tersebut masih sulit dilakukan karena
peranan dan tanggung jawab antar lembaga terkait belum
terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Perbedaan
kewenangan dalam pengelolaan suatu kawasan habitat yang
terdiri dari berbagai status hutan, juga sering menyulitkan
upaya konservasi satwa dan habitatnya. Sebagai contoh, HL
merupakan kewenangan pemerintah daerah, CA dan SM
merupakan kewenangan pemerintah pusat, dan HP
merupakan kewenangan pemerintah pusat yang
pengelolaannya diserahkan kepada pemegang IUPHHK.
Tumpang tindih kebijakan dan program antar lembaga sering
terjadi sehingga konservasi satwa kurang efektif dan berujung
pada kegagalan.
Informasi peranan para pihak yang terkait dengan
pengelolaan hutan di kawasan Hutan Batang Toru
berdasarkan hasil penelitian, antara lain sebagai berikut
(Kuswanda & Bismark, 2007b).

1. Lembaga Masyarakat
Peranan lembaga masyarakat merupakan posisi sentral
dalam mendukung konservasi orangutan Sumatra. Lembaga
masyarakat secara langsung bersentuhan dengan masyarakat
yang beraktivitas dan memanfaatkan sumber daya hutan dan

117
lahan. Kelembagaan masyarakat yang terdapat di sekitar
Hutan Batang Toru, seperti di Desa Aek Nabara dan Desa Bulu
Mario, yaitu 1) lembaga formal, lembaga ini terdiri atas
Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa (BPD); dan 2)
lembaga informal, seperti lembaga adat yang dipimpin oleh
ketua adat dan lembaga agama. Pengambilan keputusan yang
terkait dengan pembangunan desa, seperti pembangunan
jalan dan tempat ibadah biasanya dilakukan secara
musyawarah antara kepala desa dan ketua adat, serta tokoh
masyarakat
Peranan lembaga masyarakat, baik formal maupun
informal, dalam mendukung pengelolaan hutan dan
konservasi orangutan yang terdapat pada kedua desa
tersebut masih rendah. Menurut responden, belum ada tata
aturan, kebijakan, ataupun peranan lembaga desa dalam
mengatur pengambilan kayu dan satwa, pengelolaan lahan,
dan perlindungan hutan. Desa-desa di sekitar Hutan Batang
Toru secara umum belum memiliki peraturan desa (Perdes)
untuk menjadi pedoman dalam pemanfaatan dan konservasi
sumber daya hutan di desanya. Menurut Kepala Desa Aek
Nabara dinyatakan bahwa di desanya pernah melakukan
musyawarah untuk membuat aturan tersebut, namun tidak
ada kesepakatan bersama karena sebagian masyarakat
merasa ketakutan akan dibatasinya pengambilan sumber
daya hutan yang secara signifikan memengaruhi sumber
kehidupannya. Begitu pula halnya dalam pemanfaatan
sumber daya lahan beserta hasil-hasilnya, termasuk untuk
mencegah kekuatan-kekuatan merusak yang berasal dari luar.
Lembaga desa umumnya belum memiliki kekuatan dan
kebijakan dalam pemanfaatan lahan sehingga lahan begitu

118
mudah beralih tangan kepada masyarakat pendatang atau
pemodal dari luar.

2. Pemerintah Daerah
Secara umum, peranan Pemda Kabupaten Tapanuli
Selatan, khususnya dalam konservasi orangutan masih
rendah. Program Pemda saat ini masih berorientasi pada
pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Program
konservasi hutan, termasuk pada hutan lindung masih belum
mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan daerah.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan, saat ini
lembaganya sedang menyusun rencana strategis program
pelestarian hutan yang di dalamnya tercantum program
untuk melestarikan satwa langka. Beberapa program yang
sudah dilaksanakan antara lain:
a. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat
tentang pemanfaatan hutan secara lestari;
b. Mengawasi peredaran kayu secara ketat dan menangkap
oknum yang terlibat dalam pembalakan dan perambahan
hutan secara liar;
c. Memberikan izin kepada pengusaha atau masyarakat dari
kawasan hutan yang status dan pengelolaan sudah jelas;
d. memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan
memberikan sumbangan bibit melalui Program GERHAN;
e. Memberikan izin dan terlibat kerjasama dengan beberapa
LSM yang menjalankan programnya di sekitar Hutan
Batang Toru, seperti dengan Sumatran Orangutan
Conservation Programme.

119
Untuk mendukung pelestarian hutan, Pemerintah
Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2006 mengusulkan
empat calon taman nasional kepada Kementerian Kehutanan
yang meliputi TN Batang Toru-Sipirok seluas ±148.000 ha, TN
Siondop-Angkola seluas ±195.000 ha, TN Saipar Dolok Hole
seluas ±99.800 ha, dan TN Barumun Rokan seluas ±352.000
ha (Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan, 2007). Namun
demikian, usulan tersebut tidak ditindaklanjuti setelah terjadi
pemekaran wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi tiga
kabupaten–termasuk kabupaten induk sendiri–yaitu,
Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Padang
Lawas.

Gambar 38. Pengisian kuisioner oleh pegawai Pemerintah Daerah


Kabupaten Tapanuli Selatan

Peranan Pemda yang masih rendah harus mendapat


perhatian serius karena–bagaimanapun–tanpa dukungan
Pemda, konservasi orangutan di era otonomi daerah ini akan

120
sulit berhasil. Apalagi, kondisi saat ini semakin kuat
gelombang sosial ekonomi untuk mengokupasi hutan dan
lahan basah. Selain itu, landasan hukum bagi konservasi
masih belum jelas, khususnya dalam hal kepemilikan lahan
dan perlindungan hutan di luar kawasan konservasi dan lahan
masyarakat. Keterbatasan pendidikan masyarakat subsisten
dan persepsi yang rendah dalam menilai jasa lingkungan dan
nilai ekologi hutan seringkali menjadi kendala dalam
pengembangan konservasi. Hutan masih dianggap sebagai
sumber daya dengan akses terbuka yang dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan produksi.

3. BBKSDA Sumatra Utara


Perlindungan terhadap satwa liar di Indonesia telah di
mulai sejak zaman kolonial Belanda dengan adanya Peraturan
Perlindungan Binatang Liar pada tahun 1931, yaitu dengan
menetapkan aturan pelarangan untuk memburu, menangkap,
dan memperdagangkan 36 jenis binatang liar, baik hidup
maupun mati. Selanjutnya, Pemerintah Republik Indonesia
telah mendeklarasikan strategi konservasi melalui UU No. 5
Tahun 1990, yaitu perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam dan ekosistemnya.
Sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Kementerian
Kehutanan, peranan BBKSDA dalam pelestarian hutan dan
orangutan cukup tinggi. Beberapa wilayah kerja BBKSDA
Sumatra Utara di Tapanuli yang merupakan habitat
orangutan adalah, CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok Sipirok, SA
Lubuk Raya, dan SM Barumun. Berbagai peranan BBKSDA
Sumut sesuai tugas pokok oraganisasi (tupoksi) dalam

121
beberapa tahun terakhir untuk mendukung pelestarian
orangutan adalah:
a. Menyusun rencana dan program perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati;
b. Melakukan inventarisasi potensi tumbuhan, satwa liar, dan
ekosistemnya pada kawasan konservasi di Sumatra Utara;
c. Melakukan pengelolaan kawasan konservasi;
d. Melakukan pengawasan pemanfaatan dan peredaran
tumbuhan dan satwa liar;
e. Memberikan izin dan bantuan tenaga pada lembaga lain
untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya;
f. Melakukan kerjasama dengan lembaga lain untuk
melakukan pemantauan dan monitoring kawasan
konservasi di Sumatra Utara;
g. Melakukan program pemberdayaan ekonomi masyarakat
sekitar kawasan konservasi, seperti pemberian bibit dan
pelatihan pengembangan ekowisata.

4. LSM
Peranan LSM yang menjadi responden penelitian dalam
mendukung perlestarian orangutan cukup tinggi. LSM yang
fokus dan telah berperan aktif untuk turut serta dalam
melestarikan orangutan di sekitar Hutan Batang Toru adalah
CI-I, SOCP, Sumatra Rainforest Institute (SRI), ICRAF,
Perkumpulan Pengembangan Partisipasi Rakyat (PETRA), dan
Yayasan Pekat Indonesia. Program yang dikembangkan oleh
LSM tersebut dalam mendukung konservasi orangutan
sampai tahun 2013, antara lain:
a. Melakukan kajian bioekologi dan perlindungan habitat
orangutan di DAS Batang Toru;

122
b. Melakukan pemantauan menyeluruh terhadap penyebaran
geografi populasi orangutan Sumatra di kawasan
ekosistem Hutan Batang Toru;
c. Melakukan kampanye, sosialisasi, dan penyuluhan kepada
masyarakat sekitar hutan mengenai penyelamatan
orangutan dan habitatnya di Sumatra Utara;
d. Melakukan rehabilitasi hutan bersama masyarakat,
terutama pada lahan masyarakat yang berada di sekitar
habitat orangutan;
e. Melakukan penguatan masyarakat dalam menyelaraskan
upaya konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat;
f. Melakukan investigasi dan monitoring kegiatan-kegiatan
perusakan hutan dan perdagangan satwa;
g. Mengembangkan karantina dan reintroduksi orangutan
Sumatra hasil sitaan bersama BBKSDA Sumatra Utara.

Strategi pengembangan kelembagaan terkait, seperti


terhadap lembaga masyarakat dan pemerintah daerah yang
masih rendah dalam upaya mendukung konservasi orangutan
perlu mendapat perhatian serius. Kegagalan program
konservasi yang sering terjadi merupakan akibat dari
kekurangpedulian lembaga terkait terhadap perlindungan
hutan dan keanekaragaman hayati, kesalahpahaman dalam
menilai jasa lingkungan, dan pandangan yang mementingkan
kepentingan ekonomi sesaat (Meijaard et al., 2001). Strategi
peningkatan peranan lembaga terkait untuk mengembangkan
kegiatan konservasi orangutan Batang Toru akan diulas
dalam Bab terakhir dari buku ini.

123
X. STRATEGI KONSERVASI

Konservasi sumber daya alam hayati adalah


pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya (Undang-Undang No 5.
Tahun 1990 [Departemen Kehutanan, 1990]). Konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan 1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2)
pengawetan keanekaragaman jenis dan satwa beserta
ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati besarta ekosistemnya. Dengan kata lain,
konservasi merupakan pengelolaaan kehidupan alam oleh
manusia untuk memperoleh manfaat dan memelihara
potensinya secara berkelanjutan guna menjamin kebutuhan
generasi yang akan datang.
Sumber daya alam hayati merupakan unsur-unsur
hayati yang terdiri atas tumbuhan dan satwa, bersama unsur
nonhayati yang secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Untuk menjamin sumber daya alam hayati dapat dilestarikan
dan bermanfaat secara berkelanjutan, Pemerintah Indonesia
telah menetapkan sebagian wilayah hutannya sebagai hutan
konservasi, baik sebagai Kawasan Suaka Alam (KSA) maupun
Kawasan Perlindungan Alam (KPA). Status hutan konservasi
dapat berupa CA dan SM (KSA); TN, Tahura, dan TWA (KPA),

125
dan taman buru (TB). Pengelolaan KSA, KPA dan TB
dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen
Kehutanan [kini Kementerian Kehutanan] (Departemen
Kehutanan, 1999).
Salah satu sumber daya alam hayati yang saat ini telah
terancam punah dan terus dilindungi adalah orangutan
Sumatra. Orangutan Sumatra telah ditetapkan sebagai
spesies prioritas karena merupakan satwa endemik, kritis
terancam punah, dan tingkat ancaman yang tinggi akibat
kerusakan habitat. Arahan strategis konservasi prioritas
secara nasional telah disusun Kementerian Kehutanan
melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor
57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi
Spesies Nasional. Begitu pula, Departemen Kehutanan (2007)
telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK)
Orangutan Indonesia 2007–2017 yang dapat menjadi acuan
pelaksanaan konservasi secara nasional.
Arahan strategis sebagaimana Permenhut Nomor
57/Menhut-II/2008 dan SRAK Orangutan Indonesia 2007-
2017 masih bersifat nasional dan menyeluruh sehingga perlu
disusun arahan teknis dalam pelaksanaan strategi tersebut.
Arahan strategi dan teknik konservasi harus disusun lebih
spesifik sesuai dengan karakteristik spesies, habitat, populasi,
sosial ekonomi, dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Hal ini untuk lebih memudahkan para pengambil kebijakan,
terutama di tingkal lokal/daerah dalam merumuskan strategi
konservasi yang tepat dan lebih terarah. Sebagai contoh,
orangutan Batang Toru sebagian besar tersebar pada habitat
sub pegunungan dan pegunungan (ketinggian >600 m dpl);
jenis ini memiliki kekhasan genetik dan perilaku sosial yang

126
berbeda dengan orangutan di wilayah lainnya (sebelah Utara
Danau Toba), seperti di TN Gunung Leuser, Provinsi Aceh.
Strategi dan teknik konservasi orangutan Batang Toru
sampai saat ini belum ada, padahal, ancaman kepunahan lokal
sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan
pada Bab sebelumnya teridentifikasi bahwa populasi
orangutan Batang Toru pada setiap area hutan konservasi,
seperti CA Dolok Sipirok dan CA Dolok Sibual-buali di bawah
50 individu (Kuswanda, 2005 dan 2011). Tingkat ancaman
perubahan habitat oleh aktivitas konversi hutan dan
penebangan kayu sangat tinggi, serta peran serta
kelembagaan lokal dalam upaya konservasi satwa masih
rendah. Untuk mengantisipasi kepunahan orangutan Batang
Toru, rekomendasi strategi dan teknik konservasi yang
spesifik perlu segera disusun dan seyogyanya dituangkan
dalam peraturan daerah. Selain itu, penjabaran Permenhut
terkait strategi konservasi orangutan perlu dibuat, antara lain
melalui surat keputusan Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA).
Strategi terbaik jangka panjang dalam mengupayakan
konservasi orangutan adalah mengembangkan kegiatan
konservasi secara in situ, baik di dalam kawasan konservasi
maupun di luar kawasan konservasi, seperti hutan rakyat
atau hutan produksi (Primarck et al., 1998; PHPA, 2004;
Ditjen PHKA, 2006). Untuk itu, Bab terakhir dalam buku ini
akan menjabarkan usulan strategi dan teknik konservasi
orangutan di kawasan Hutan Batang Toru dan habitat dataran
tinggi pada umumnya. Hasilnya diharapkan menjadi bahan
pertimbangan dalam menyusun kebijakan bagi Kementerian
Kehutanan (BBKSDA Sumatra Utara), Pemerintah Daerah
lingkup Provinsi Sumatra Utara, LSM, dan lembaga terkait

127
lainnya dalam upaya menyukseskan program konservasi
sumber daya alam hayati di Indonesia, khususnya orangutan
Sumatra.
Merujuk hasil penelitian dan paparan dari Bab
sebelumnya, rekomendasi strategi dan teknik konservasi
orangutan Batang Toru adalah sebagai berikut.

A. Perlindungan Habitat pada Hutan Konservasi


Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri
khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya.
Penetapan hutan konservasi bertujuan untuk mengelola
sumber daya alam hayati secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Upaya konservasi pada hutan konservasi bertujuan
untuk memelihara proses ekosistem hutan secara alami yang
menunjang kelangsungan kehidupan orangutan secara alami.
Hutan konservasi di Kawasan Batang Toru yang merupakan
habitat orangutan adalah CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok
Sipirok, dan SA Lubuk Raya. Namun, menurut Departemen
Kehutanan (1999), pada kawasan suaka alam tidak
diperbolehkan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi,
pemeliharaan, dan pengayaan tanaman. Untuk itu, strategi
konservasi terutama pada kawasan CA yang paling tepat
adalah meningkatkan perlindungan terhadap habitatnya.
Perlindungan habitat bertujuan untuk melindungi,
memelihara, mempertahankan, dan mengamankan habitat
orangutan sehingga daya dukung kawasan meningkat dan
populasinya berkembang secara alami. Habitat ideal bagi

128
orangutan berupa hutan primer dengan ketersediaan pohon
pakan yang cukup dan terbebas dari berbagai ancaman
manusia.
Hasil analisis pendugaan daya dukung habitat, seperti
di CA Dolok Sibual-buali dapat mendukung populasi
orangutan sekitar 47–56 individu (Kuswanda & Bismark,
2007b), sedangkan populasinya masih di bawah 30 individu
(Kuswanda & Sugiarti, 2005a). Kondisi ini menunjukkan
bahwa jumlah populasi yang ada saat ini dapat lebih
meningkat bila keadaan kawasan dapat dilindungi lebih
optimal. Rendahnya reproduksi dan perkembangan populasi
orangutan mungkin lebih banyak disebabkan karena faktor
gangguan terhadap habitatnya, terutama dari aktivitas
masyarakat yang sering memasuki habitat orangutan, seperti
pengambilan kayu bakar, air nira, dan perambahan lahan.
Teknik untuk mengembangkan strategi perlindungan
habitat orangutan pada kawasan konservasi, terutama di
kawasan Hutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut.

1. Penataan dan Pemeliharaan Batas Kawasan


Polemik dalam pengelolaan hutan di Indonesia,
khususnya pada hutan konservasi adalah masih belum
jelasnya tata batas kawasan terutama yang berbatasan
langsung dengan lahan masyarakat. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan banyak areal yang belum ditata batas
secara permanen dan temu gelang, seperti di sekitar kawasan
Aek Nabara, CA Dolok Sibual-buali. Kondisi ini sering
mengakibatkan masyarakat memasuki dan membuka hutan
yang sebenarnya sudah termasuk hutan konservasi.
Sosialisasi di tingkat masyarakat dan multi stakeholder guna

129
menata ulang batas kawasan harus menjadi prioritas
pengelola kawasan konservasi agar tidak menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan petugas (Polisi
Hutan/Polhut) apabila akan ada penertiban perusakan lahan
pada kawasan konservasi.
Rekonstruksi batas kawasan juga diperlukan karena
beberapa tanda/pal batas telah rusak/hilang, tergeser atau
dipindahkan, seperti di bagian Utara CA Dolok Sibual-buali
dan bagian Selatan CA Dolok Sipirok. Rekonstruksi tata batas
dapat dilaksanakan minimal lima tahun sekali guna
memberikan jaminan mengenai kejelasan posisi dan tanda
batas dari hutan konservasi. Program selanjutnya yang harus
terus dikembangkan adalah pemeliharaan pal batas untuk
mempertegas batas serta meningkatkan pengawasan dan
pengamanan kawasan. Kegiatan pemeliharaan dilaksanakan
paling tidak 2–3 tahun sekali untuk mengganti pal yang rusak
atau hilang dan memperjelas identitas pal yang sudah pudar.
Pada areal yang belum ada pal batas dan belum temu gelang,
pemeliharaan dapat berupa pembersihan jalur rintis batas
kawasan selebar 1–2 meter. Adanya tata batas yang jelas
diharapkan dapat meminimalisasi kesalahpahaman masyara-
kat sehingga dapat mengurangi ancaman perambahan lahan
dan aktivitas lainnya di hutan konservasi.

2. Penguatan Kelembagaan dan Kapasitas SDM


Sumber daya manusia (SDM) yang memahami makna,
tujuan, dan manfaat pengelolaan hutan konservasi sampai
saat ini belum mencukupi, terutama petugas di daerah dan
lapangan yang bersentuhan langsung dengan hutan
konservasi. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa
petugas lapangan untuk memantau dan melindungi CA Dolok

130
Sibual-buali (±5.000 ha) dan CA Dolok Sipirok (±6.900 ha)
hanya terdapat satu sampai dua orang petugas dari BBKSDA
Sumatra Utara. Padahal, permasalahan dan tanggung jawab
untuk pengamanan kawasan sangat besar. Pada masa
mendatang, penguatan kelembagaan perlu disinkronkan
dengan program/pola pengelolaan hutan berbasis Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang mencakup keseluruhan
kawasan Hutan Batang Toru. Bentuk kelembagaan ini sebagai
KPH Konservasi (KPHK) model yang mencakup pengelolaan
fungsi produksi, lindung, dan konservasi.
Pengembangan SDM, baik dari lembaga pemerintah
(pusat dan daerah) maupun masyarakat, di bidang konservasi
sangat penting seiring meningkatnya tantangan dan ancaman
terhadap upaya konservasi keanekaragaman hayati.
Peningkatan pengetahuan melalui pelatihan dan pendidikan
harus dilakukan secara kontinu. Penyuluhan dan
penyadartahuan terhadap masyarakat lokal yang kurang
memahami dengan baik tentang konservasi, peningkatan
keterampilan masyarakat, dan bantuan modal finansial perlu
menjadi program berbagai lembaga terkait dalam
meningkatkan peranan kelembagaan di bidang pelestarian
hutan.
Pemerintah daerah dan perusahaan setempat juga
dapat menciptakan program-program yang tepat guna, tepat
sasaran, dan berkelanjutan dalam mengembangkan SDM
maupun ekonomi, khususnya bagi masyarakat. Program
tersebut dapat membantu keterbatasan anggaran,
ketersediaan petugas, ataupun prasarana lapangan dari
pemerintah pusat dalam menjaga keutuhan hutan konservasi.
Untuk meningkatkan kapasitas SDM pengelola hutan
konservasi, Kementerian Kehutanan dapat menambah

131
pegawai dan mengarahkan tenaga fungsional Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH) membentuk beberapa specialist
group, seperti spesialis flora, fauna, dan pemberdayaan
masyarakat. Mereka sebaiknya ditempatkan di kantor resor,
sebagai unit pengelolaan terkecil dengan manajemen berbasis
resor, sehingga lebih dekat untuk melakukan pengamanan,
sosialaisasi, dan penyuluhan kepada masyarakat. Kehadiran
petugas di kantor resor akan memudahkan menanggulangi
berbagai ancaman yang dapat terjadi sewaktu-waktu, seperti
kebakaran hutan dan pencurian kayu.

3. Pengamanan kawasan
Pengamanan di dalam dan sekitar hutan konservasi
untuk menjaga keutuhan hutan konservasi harus dilakukan
secara periodik. Namun harus disadari, terdapatnya
keterbatasan SDM dan dana operasional sering berakibat
pengamanan kawasan sulit dilakukan secara berkesinam-
bungan. Di sisi lain, aktivitas pelanggaran dan ancaman
terhadap keutuhan kawasan semakin hari semakin meningkat
sehingga banyak hutan konservasi yang telah terdegradasi.
Strategi pengamanan hutan konservasi sebaiknya tidak
perlu langsung dilakukan secara represif apabila masih
memungkinkan pendekatan secara preventif dan persuasif.
Berbagai teknik pengamanan yang dapat dilakukan untuk
melindungi habitat orangutan Batang Toru di hutan
konservasi, antara lain sebagai berikut.
a. Pemasangan papan nama/petunjuk dan papan larangan,
terutama di daerah-daerah yang rawan terhadap aktivitas
pelanggaran.

132
b. Pembangunan menara pengawas dan pondok jaga pada
kawasan yang sangat rawan terhadap pencurian kayu.
c. Penggunaan material edukasi dan penyadartahuan untuk
perbaikan dan penguatan pengelolaan hutan di tingkat
komunitas.
d. Pengembangan sistem pelaporan perusakan hutan dan
perburuan liar oleh para petugas lapangan.
e. Pengembangan sistem informasi respon cepat pada media
untuk mengangkat isu kegiatan ilegal yang berdampak
terhadap orangutan dan habitatnya.
f. Penguatan koordinasi dengan lembaga penegak hukum
untuk menyamakan persepsi dan tindakan dalam
menangani pelanggar, seperti pencuri kayu.

Petugas lapangan (Polhut) harus mampu mendorong


masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan perlindungan
dan pengamanan hutan secara mandiri sehingga dapat
mengefektifkan program pengamanan kawasan hutan.
Pembentukan sebuah lembaga pengamanan masyarakat yang
dikenal dengan Pengamanan Hutan Swakarsa (Pamhut
Swakarsa) perlu lebih dioptimalkan di desa-desa sekitar
hutan konservasi. Untuk meningkatkan keterampilan
masyarakat yang tergabung dalam Pamhut Swakarsa,
pelatihan tentang perlindungan dan pengamanan hutan, serta
pendampingan yang dapat bekerjasama dengan LSM perlu
difasilitasi. Pamhut Swakarsa dapat dilibatkan dalam
pengawasan dan menjadi informan lapangan untuk
melaporkan aktivitas ancaman apabila saat itu tidak ada
petugas yang sedang berpatroli di lapangan. Alokasi anggaran

133
untuk petugas Pamhut Swakarsa juga perlu ditingkatkan, baik
oleh Kementerian Kehutanan maupun pemerintah daerah.

4. Sosialisasi Peraturan dan Penegakan Hukum


Kerangka hukum untuk melindungi orangutan di
Indonesia antara lain tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun
1999, UU Nomor 5 Tahun 1990, dan PP Nomor 7 Tahun 1999.
Namun menurut Meijaard et al. (2001), lemahnya kualitas
pengawasan dan kontrol dari lembaga terkait sering
berakibat implementasi undang-undang tersebut tidak
konsisten dan akhirnya masyarakat tetap tidak memahami,
apalagi berperan serta dalam perlindungan satwa liar.
Persepsi masyarakat yang masih rendah, bahkan salah
mengartikan penetapan hutan konservasi dan program
pelestarian satwa liar, seringkali menyebabkan aktivitas
konservasi hanya sebatas pada pelaksanaan keproyekan saja.
Sosialisasi peraturan dan penegakan hukum dalam
perlindungan hutan konservasi akan berhasil apabila
didukung oleh semua lapisan/lembaga terkait karena pada
dasarnya penetapan hutan konservasi untuk kepentingan
masyarakat dalam jangka panjang. Manfaat jangka panjang
dari kawasan konservasi, seperti menjaga stabilitas
lingkungan dan keseimbangan O2 dan CO2, habitat bagi
beragam tumbuhan dan satwa langka, serta pengendali
bencana erosi dan kekeringan harus disosialisasikan secara
benar terhadap masyarakat sehingga dapat merubah persepsi
dalam menilai keberadaan hutan konservasi, termasuk CA.
Kawasan CA sangat penting bagi suatu bangsa agar dapat
menjamin terpeliharanya contoh hutan alami, terjaganya
keanekaragaman biotik dan fisik, dan kelestarian
keanekaragaman hayati di dalamnya, seperti orangutan.

134
Peranan pemerintah pusat dan daerah dalam
melakukan sosialisasi dan koordinasi melalui petugas di
lapangan, terutama kepada masyarakat sekitar hutan
konservasi perlu ditingkatkan. Ketidaktahuan masyarakat
sering menjadi awal penyebab aktivitas pelanggaran terhadap
hutan konservasi. Sebagai contoh, masyarakat di sekitar CA
Dolok Sipirok sering mengambil kayu bakar, daun-daunan, air
nira, bahkan sampai mendirikan gubuk untuk memproduksi
gula aren karena menganggap sumber daya hutan di sekitar
desanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Mereka hanya mencontoh aktivitas di sekitar
desanya, seperti perusahaan yang mengambil kayu tanpa
adanya larangan dari petugas, padahal aktivitas tersebut
terjadi di hutan produksi dan sudah memiliki izin
pemanfaatan hasil hutan. Untuk itu, penilaian ekonomi
sumber daya yang dimanfaatkan perlu dilakukan agar nilai
kawasan dapat dipahami masyarakat. Selain itu, perusahaan
setempat dilibatkan dalam pembinaan dan membantu
peningkatan sistem perekonomian masyarakat sekitar,
sekaligus aktif dalam membantu upaya konservasi yang
melindungi habitat dan populasi orangutan.
Berbagai aktivitas menjarah pada hutan konservasi
masih terjadi juga akibat penegakan hukum yang masih
lemah. Kurangnya jumlah personil Polhut dan masih
minimnya kerjasama dengan instansi penegak hukum
mengakibatkan pelanggar tidak mendapatkan efek jera,
terutama yang memiliki modal besar untuk membangun
perkebunan. Peningkatan upaya penegakan hukum dapat
dikembangkan, seperti melalui penyusunan mekanisme
pelaporan kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh oknum
pelaku sehingga dapat segera diproses secara hukum. Selain

135
itu, upaya peningkatan penegakan hukum dapat dilakukan
melalui penyelenggaraan pelatihan bagi petugas dan anggota
komunitas masyarakat (Pamhut Swakarsa), pelengkapan
prasarana pengamanan bagi petugas dan masyarakat, dan
peningkatan pengetahuan aparat penegak hukum tentang
identifikasi satwa dilindungi dan aturan hukum yang
mengaturnya. Pihak LSM maupun Lembaga Adat juga dapat
lebih meningkatkan pengawasan dan membantu pemantauan
hutan konservasi. Perlindungan hutan konservasi hendaknya
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah karena
tanpa partisipasi masyarakat lokal dan lembaga lainnya,
upaya ini akan sulit untuk dicapai.

5. Pembinaan Habitat
Pembinaan habitat melalui campur tangan manusia
dapat dilakukan pada berbagai hutan konservasi, kecuali pada
area zona inti taman nasional dan cagar alam (Departemen
Kehutanan, 2009). Pembinaan habitat pada hutan konservasi
di Hutan Batang Toru dapat dilakukan pada kawasan SA
Lubuk Raya. Populasi orangutan pada kawasan ini diduga
kurang dari 15 individu yang tersebar pada habitat yang
sangat sempit (Kuswanda, 2006b).
Kawasan SA Lubuk Raya ditunjuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005
seluas 3.050 ha (Balai Besar KSDA Sumatra Utara, 2010).
Kawasan ini berada pada ketinggian 1.060–1.862 m dpl
dengan kelerengan 10–60%. Sebagian besar kawasan SA
Lubuk Raya sudah mengalami kerusakan sehingga populasi
orangutan hanya tersebar pada habitat yang sempit di daerah
yang berlereng terjal. Kaki bukit SA Lubuk Raya sebagian
besar telah berubah menjadi areal perkebunan cokelat, salak,

136
dan karet. Areal yang tidak dikelola masyarakat juga telah
berubah menjadi semak belukar dan lahan kritis.
Pembinaan habitat di kawasan SA Lubuk Raya dapat
dilakukan untuk memulihkan kembali habitat terdegradasi
melalui kegiatan rehabilitasi dan pengayaan tanaman,
termasuk pada lahan yang sudah dikelola oleh masyarakat.
Pelaksanaan program pembinaan habitat pada kawasan yang
kritis diharapkan dapat menjadi habitat baru yang mampu
mendukung pertumbuhan populasi orangutan dan
memperbaiki proses dan fungsi ekosistem. Pemilihan jenis
dapat dilakukan melalui survei potensi tanaman dan
karakteristik lahan sehingga diperoleh jenis tanaman yang
cocok untuk dibudidayakan, baik tanaman kehutanan
maupun tanaman pertanian/perkebunan. Jenis tanaman yang
berfungsi sebagai sumber pakan orangutan dapat menjadi
prioritas dalam pemilihan jenis tanaman untuk mempercepat
peningkatan daya hukung habitat bagi orangutan (Kuswanda,
2006c). Pembinaan habitat dan restorasi habitat orangutan di
CA dapat dilakukan dalam konteks penelitian yang dilakukan
dalam plot yang cukup luas untuk memacu pertumbuhan
suksesi alam di areal sekitarnya (Bismark, komunikasi
pribadi).

B. Pengelolaan Habitat di Luar Hutan Konservasi


Populasi orangutan di kawasan Hutan Batang Toru juga
tersebar pada berbagai status hutan di luar hutan konservasi.
Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar
sebaran orangutan Batang Toru berada di luar hutan
konservasi (Kuswanda, 2006b; van Schaik, 2001;
http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012).
Kawasan hutan di luar hutan konservasi tersebut meliputi HL,

137
HP/HPT dan APL (lahan budidaya masyarakat). Berdasarkan
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Sumatra Utara, sekitar
14% (±14.410 ha) kawasan Hutan Batang Toru merupakan
APL. Selain itu, terdapat juga beberapa permasalahan
tumpang-tindih penataan kawasan, seperti kawasan yang
ditetapkan sebagai HL seluas 7.800 ha ternyata bertumpang-
tindih dengan kawasan eksplorasi pertambangan emas dan
perak, serta kawasan HL yang bertumpang-tindih dengan
kawasan eksplorasi/eksploitasi geothermal, yang rencananya
akan dibangun menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar,
2012).
Terlepas dari status, peruntukan, dan pemanfaatan
hutan dan lahan yang masih tumpang-tindih; upaya
konservasi orangutan pada habitatnya di luar hutan
konservasi di Batang Toru tetap harus menjadi prioritas
berbagai kelembagaan yang diberi kewenangan untuk
mengelola hutan, seperti pola KPH. Padahal, orangutan tidak
mengenal batas dan status kawasan dalam kehidupannya dan
kenyataannya sekarang mereka sudah berada di ambang
kepunahan. Upaya pengembangan konservasi orangutan pada
habitat di luar hutan konservasi harus menjadi tanggung
jawab semua pihak karena kondisi ancaman kepunahan yang
diduga lebih tinggi dibandingkan pada hutan konservasi.
Perubahan areal hutan di luar hutan konservasi di Batang
Toru lebih cepat dan terus meningkat seiring berkembangnya
aksesibilitas jalan dan pertumbuhan penduduk.
Strategi pengelolaan habitat pada habitat yang masih
tersisa merupakan salah satu solusi yang tepat untuk
mempertahankan populasi orangutan di luar hutan
konservasi (Departemen Kehutanan, 2007). Menurut

138
Alikodra (1990), pengelolaan habitat merupakan kegiatan
untuk mengatur kombinasi faktor habitat dan lingkungannya,
termasuk manusia di dalamnya, sehingga dicapai
perkembangan populasi yang optimal. Permasalahannya
adalah bagaimana teknik konservasi yang tepat dalam
mengembangkan strategi pengelolaan habitat sesuai
karakteristik kawasan dan orangutan di Batang Toru. Untuk
itu, pada Bab ini penulis mengusulkan konsep pemikiran dan
rekomendasi teknik pengelolaan habitat di luar hutan
konservasi, sebagai berikut.

1. Pembentukan Forum Pengelolaan Hutan Berbasis


Multipihak
Status kawasan hutan di Batang Toru sangat beragam
sehingga kewenangan pengelolaannya berada pada instansi
yang berbeda-beda. Untuk itu, pengembangan strategi dan
rencana pengelolaan multipihak dengan melibatkan berbagai
kelembagaan; mulai dari pemerintah, swasta, dan
masyarakat; harus dilakukan untuk meminimalisasi konflik
kepentingan pemanfaatan hutan. Permenhut Nomor
P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolabaratif dapat
menjadi landasan hukum dan acuan pelaksanaan untuk
mengembangkan pengelolaan hutan secara kolaboratif
(Departemen Kehutanan, 2004). Pembentukan organisasi
multipihak dimaksudkan untuk memaduserasikan aspirasi,
peranan, tugas, dan tangungjawab antar lembaga dalam
menciptakan kesepakatan program bersama dalam
mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara kolaboratif.
Pada akhirnya, sistem manajemen pengelolaan secara
terpadu (collaborative management) dapat terbangun,

139
terutama dalam mengurangi beban pembiayaan pengelolaan
kawasan konservasi, yang semula hanya ditanggung oleh
pemerintah.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
membentuk Forum Bersama untuk pengelolaan hutan Batang
Toru. Pembentukan Forum Bersama Pengelolaan Hutan
Batang Toru dapat diprakarsai oleh BBKSDA Sumatra Utara
dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara karena
kawasan ini meliputi beberapa wilayah kabupaten/kota
(lintas kabupaten/kota). Untuk menjalankan kelembagaan ini,
setiap lembaga yang terlibat diwajibkan untuk
mengalokasikan anggaran dalam menjalankan rencana dan
program yang telah disepakati dalam Forum Bersama dan
disesuaikan dengan tupoksi masing-masing lembaga.

2. Peningkatan Pengamanan pada Hutan Lindung


Hutan lindung (HL) adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan dan memelihara kesuburan tanah
(Departemen Kehutanan, 1999). Pengelolaan HL berada di
bawah kewenangan Pemerintah Daerah di tingkat Kabupaten.
Kondisi HL saat ini sebagian besar telah terdegradasi dan
banyak berubah menjadi areal perkebunan dan pemukiman.
Kawasan HL yang masih baik (primer dan sekunder)
merupakan benteng terakhir bagi satwa liar untuk
mempertahankan hidupnya, termasuk orangutan di Batang
Toru.
Tata batas HL yang belum jelas telah menyebabkan
penyerobotan lahan, terutama oleh perambah yang datang
dari luar/pendatang. Pengelolaan HL yang masih dianggap

140
“anak tiri” juga menyebabkan perhatian untuk melestarikan-
nya menjadi kurang serius (Marsono, 2009), termasuk di
wilayah Hutan Batang Toru. Sebagian besar HL tidak lagi
berfungsi sebagai pemelihara kesuburan tanah atau sumber
air karena unsur haranya hilang akibat ekosistemnya sudah
rusak atau terdegradasi berat, akibatnya areal tersebut harus
diberi pupuk agar tanahnya tetap subur.
Untuk mengembalikan fungsi HL, langkah awal yang
harus dilakukan adalah melakukan penataan batas kawasan
tersebut. Pemerintah Daerah dapat mengusulkan pelaksanaan
penataan batas kepada Kementerian Kehutanan. Apapun
pengelolaan yang akan dilakukan, tentunya sulit berhasil
apabila tata batas kawasan tidak jelas. Langkah selanjutnya
yang penting adalah mengintensifkan kegiatan pengamanan
kawasan. Program pengamanan kawasan harus mendapat
prioritas dalam pengusulan rencana kerja di Dinas Kehutanan
Kabupaten. Pengadaan personil Polhut dan anggaran untuk
pengamanan perlu ditingkatkan dan seyogyanya menjadi
bagian dari APBD. Untuk jangka panjang, membentuk dan
memberdayakan Pamhut Swakarsa dari masyarakat
merupakan alternatif yang bisa dilakukan, seperti untuk
pengamanan hutan konservasi. Program pengamanan dapat
difokuskan untuk menanggulangi perambahan, pembakaran
lahan, dan illegal logging. Minimal pada masa mendatang, HL
yang masih baik tidak bertambah rusak dan bisa menjadi
perluasan habitat orangutan, serta menjadi penyangga
kehidupan masyarakat sekitarnya.

3. Mempertahankan Habitat pada Hutan Produksi


Hutan produksi tetap (HPT dan HP) merupakan
kawasan hutan yang berfungsi untuk memproduksi hasil

141
hutan, terutama kayu (Departemen Kehutanan, 1999).
Namun, lebih dari 70% areal hutan produksi menjadi rusak
karena sistem pengelolaan oleh pemegang IUPHHK tidak
berjalan semestinya. Banyak kawasan yang dilindungi, seperti
sumber mata air, sempadan sungai, dan areal dengan
kelerengan >40% mengalami penebangan dan terdegradasi.
Adanya hutan yang masih utuh pada areal IUPHHK biasanya
karena ada tuntutan dari masyarakat untuk tidak merusak
hutan karena dianggap sebagai sumber air atau tempat
budaya masyarakat.
Menurut Meijaard et al. (2001), sedikitnya terdapat 28
perusahaan IUPHHK yang wilayahnya hampir tumpang-tindih
dengan areal distribusi orangutan dan sebagian besar telah
terfragmentasi. Salah satu perusahaan IUPHHK yang memiliki
izin pengelolaan kawasan hutan di Hutan Batang Toru adalah
PT Teluk Nauli. Perusahaan ini mendapat izin pengelolaan
hutan sejak tahun 1979 sesuai SK HPH Nomor
161/Kpts/Um/3/1979 dan selanjutnya Perusahaan ini
mendapatkan perpanjangan IUPHHK pada hutan alam
berdasarkan SK Nomor 414/Kpts-II/2004 tertanggal 19
Oktober 2004 dengan areal operasi seluas 83.000 hektar,
yang meliputi wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli
Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Nias Selatan.
Namun hingga saat ini, PT Teluk Nauli belum melakukan
ekstraksi kembali karena masih menunggu persetujuan
rencana kerja umum (RKU)/redesain dari Kementerian
Kehutanan, yang selanjutnya harus pula diikuti dengan
rencana kerja tahunan (RKT) dari Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatra Utara (Butarbutar, 2007). Untuk pelestarian
orangutan, kawasan ini perlu diusulkan sebagai IUPHHK
Restorasi Ekosistem (RE) pada masa mendatang.

142
Gambar 39. Habitat orangutan di hutan produksi yang masih
primer

Areal hutan produksi yang masuk dalam wilayah kerja


PT Teluk Nauli, tetapi kondisi hutannya masih utuh dan
merupakan habitat orangutan, antara lain terdapat di sekitar
CA Dolok Sipirok dan Blok Hutan Anggoli. Kawasan hutan
produksi yang masih primer–walaupun areal konsesi
IUPHHK–seyogyanya diusulkan untuk menjadi areal plasma
nutfah atau areal pelestarian sebagai koridor satwa atau areal
perluasan cagar alam. Kementerian Kehutanan melalui
Pemerintah Daerah merekomendasikan tidak mengeluarkan
izin penebangan hutan (RKT) pada areal hutan produksi yang
merupakan habitat orangutan.

143
4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Masyarakat
Menurut PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional dinyatakan bahwa perencanaan
ruang/lahan pada prinsipnya adalah bagaimana menetapkan
dan menata kawasan lindung dan kawasan budidaya secara
tepat. Penataan kawasan lindung berfungsi untuk melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam, sumber daya binaan, nilai sejarah, dan budaya bangsa
untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
Sementara itu, penataan kawasan budidaya adalah untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya binaan, dan sumber daya manusia.
Kawasan hutan yang berada di lahan masyarakat (APL),
seperti di sekitar CA Dolok Sipirok belum tertata dan
termanfaatkan secara optimal. Kebiasaan masyarakat untuk
membuka hutan dan kerakusan perambah yang memiliki
modal melakukan aktivitas perambahan hutan menyulitkan
untuk menata peruntukan lahan. Padahal, lahan-lahan yang
hanya ditumbuhi semak belukar dan alang-alang (tidak
dikelola) masih luas sehingga akan semakin banyak lahan
yang tidak bernilai guna secara ekonomi ataupun untuk
fungsi lindung (ekologi).
Menurut Groves (1999), penataan kawasan lahan pada
areal budi daya dengan menyediakan sedikit areal untuk
tetap menjadi kawasan hutan sangat penting, terutama bagi
satwa liar maupun rintangan fisik bagi manusia. Beberapa
kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk membangun fungsi
lindung pada APL, antara lain 1) kawasan yang berbatasan
langsung dengan cagar alam; 2) kawasan yang merupakan
daerah resapan air, sumber mata air, sempadan sungai,
sempadan pantai, dan kawasan sekitar danau; 3) kawasan

144
yang mempunyai kelerengan >40%; 4) kawasan rawan
bencana alam, seperti gerakan tanah, longsoran, dan banjir
bandang.
Penyuluhan intensif kepada masyarakat untuk
meningkatkan nilai manfaat lahan di APL perlu dilakukan
dengan melibatkan BBKSDA, Dinas Kehutanan dan Dinas
Pertanian setempat. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian besar masyarakat memanfaatkan lahan
masih bersifat tradisional dan hasil panennya tidak optimal
(Kuswanda, 2007b). Kebijakan untuk memanfaatkan secara
optimal pada lahan yang kritis secara ekonomi sangat
penting, baik pada lahan yang dimiliki oleh masyarakat
setempat maupun yang dikelola perantau. Pemerintah daerah
diharapkan dapat membuat regulasi terkait optimalisasi
pemanfaatan lahan pada areal budi daya dan melarang
pemanfaatan intensif pada daerah yang mempunyai fungsi
lindung. Pengembangan model alternatif penambahan
pendapatan lainnya, seperti peternakan dan perikanan juga
dapat menjadi solusi bagi pemerintah daerah untuk
meningkatan perekonomian masyarakat. Masyarakat pada
akhirnya tidak hanya menggantungkan pendapatan dari hasil
perkebunan–yang tentunya membutuhkan lahan yang luas–
dan pembukaan hutan dapat berkurang.
Pengaturan pemanfaatan lahan dan larangan membuka
hutan pada areal dengan fungsi lindung di sekitar habitat
orangutan diharapkan dapat mengurangi konflik manusia dan
orangutan, mengurangi gangguan terhadap daya reproduksi,
dan peningkatan daya dukung habitat. Orangutan yang masih
menempati sebagian habitat di APL dapat tumbuh dengan
normal dan tidak melakukan migrasi pada areal hutan
konservasi yang sempit yang dapat meningkatkan persaingan,

145
baik dengan orangutan maupun dengan satwa lainnya.
Masyarakat yang mempertahankan sebagian lahannya untuk
habitat orangutan dijadikan prioritas untuk mendapatkan
bantuan atau biaya kompensasi dari pemerintah.

C. Restorasi Habitat
Restorasi habitat dimaksudkan untuk membantu
mencegah dan membatasi kerusakan kawasan, mengurangi
pemungutan hasil hutan dari dalam kawasan, mencegah
kebakaran, meningkatkan pemulihan hutan yang kritis atau
tidak produktif untuk perlindungan dan konservasi, dan
mengembalikan fungsi ekosistem hutan sebagai habitat satwa
(Kuswanda, 2009). Restorasi habitat orangutan pada berbagai
status kawasan hutan sangat diperlukan karena sebagian
besar habitat telah mengalami kerusakan, terutama pada
areal hutan produksi dan lahan masyarakat (APL).
Pengembangan program restorasi sangat penting karena
membiarkan suksesi secara alami membutuhkan waktu yang
sangat panjang. Marsono (2009) menyatakan bahwa
program restorasi merupakan upaya untuk pemulihan
struktur dan fungsi ekosistem dan menjaga eksistensi
peranan hutan sebagai penyangga kehidupan.
Restorasi habitat dapat dilakukan pada berbagai status
hutan di luar hutan konservasi, terutama hutan lindung dan
areal hutan produksi yang sudah ditinggalkan oleh pemegang
izin usahanya. Hutan lindung di kawasan Batang Toru telah
banyak yang berubah fungsi menjadi areal perkebunan dan
lahan olahan lainnya. Perambahan pada hutan lindung sangat
tinggi karena dijadikan perkebunan karet dan sawit
(Kuswanda, 2010). Kegiatan restorasi pada tahap pertama
dapat dilakukan di sekitar kawasan hutan yang masih utuh

146
dan mempunyai fungsi lindung. Tujuannya adalah untuk
menyediakan habitat tambahan yang dapat dijangkau dan
dimanfaatkan oleh orangutan dalam jangka waktu pendek.
Jenis tumbuhan yang direkomendasikan dalam
restorasi habitat orangutan adalah tanaman asli atau endemik
untuk menghindari kemungkinan invasi jenis tumbuhan baru.
Kriteria pemilihan jenis tumbuhan yang dapat digunakan
adalah sebagai sumber pakan, pohon sarang bagi orangutan,
dan bernilai ekonomi bagi masyarakat. Kuswanda dan
Sukmana (2009) menyatakan bahwa jenis tumbuhan yang
cocok untuk pengayaan habitat pada hutan lindung dan sisa
hutan produksi, antara lain durian hutan (Durio zibethinus),
hoteng (Quercus sp.), aren (Arenga pinnata Merr), dan
meranti (Shorea sp.). Pada daerah penyangga yang statusnya
sebagai lahan masyarakat, kgiatan pengayaan dapat
ditumpangsarikan dengan jenis tanaman yang merupakan
sumber perekonomian, seperti karet (Hevea brasiliensis),
cokelat (Theobroma cacao), petai (Parkia speciosa), kopi
(Coffea arabica ), ataupun kayu manis (Cinammomum
burmanii).

D. Pembangunan Koridor
Koridor merupakan daerah penghubung satwa antara
satu habitat dengan habitat yang lain, ataupun antara satu
patch terhadap patch yang lain maupun antara matriks satu
dengan matriks yang lain. Patch adalah kawasan yang
permukaannya tidak linear, memiliki perbedaan tumbuhan
dan lansekapnya dibandingkan dengan sekitarnya. Patch juga
merupakan unit-unit lahan atau habitat-habitat yang memiliki
perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan keseluruhan
kawasan. Patch dalam konteks ini adalah areal yang dapat

147
menjadi habitat pilihan dan koridor bagi orangutan
(Pudyatmoko, 2009).
Pembangunan koridor dapat memfasilitasi terjadinya
pergerakan satwa yang mempunyai daerah jelajah yang luas,
penyebaran tumbuhan, dan pertukaran genetik, serta
populasi dapat bergerak untuk merespons terjadinya
perubahan lingkungan dan bencana alam dan populasi yang
terancam punah dapat terpulihkan di kawasan lain
(Perbatakusuma et al., 2006). Koridor biodiversitas atau
koridor konservasi–dalam konteks konservasi hidupan liar
telah dibuktikan para peneliti–sangat bermanfaat dalam
meningkatkan populasi jenis secara lokal dan regional,
khususnya populasi yang kecil dan terisolasi dengan
terlanjutkannya hubungan individu suatu jenis ketika
fragmen-fragmen populasi dapat terkoneksi kembali (Gilbert
& Sezt, 2001). Selain itu, pergerakan individu antar sub-
populasi dapat mengurangi laju pemusnahan jenis regional
melalui beberapa mekanisme, yaitu berkurangnya inkonsis-
tensi laju kelahiran dan kematian, meningkatnya laju
rekolonisasi suatu jenis, berkurangnya depresi perkembang-
biakan dengan meningkatnya aliran gen, meningkatkan
variasi adaptasi genetik untuk pemeliharaan kesehatan
populasi, dan meningkatkan proses penyerbukan dan
pemencaran biji tumbuhan.
Pembangunan koridor pada lansekap Hutan Batang
Toru adalah salah satu strategi dalam konservasi orangutan.
Koridor dapat dibangun untuk menghubungkan antar hutan
konservasi maupun antar status hutan lainnya yang telah
terpisahkan oleh berbagai lahan olahan dan pemukiman
masyarakat, seperti antara CA Dolok Sibual-buali dan SA
Lubuk Raya. Untuk kepentingan jangka panjang,

148
pembangunan koridor sebaiknya dipilih pada hutan negara
atau lahan yang tidak dibebani hak. Hal ini untuk menghindari
kemungkinan adanya pengambilalihan lahan oleh masyara-
kat.
Pada tahap pertama, koridor dapat dibangun pada
lahan yang penutupan hutannya masih merupakan hutan
sekunder atau hutan campuran (sebagian areal sudah
ditanami tanaman budi daya masyarakat). Hal ini untuk
mempersingkat terbentuknya koridor dalam jangka pendek
yang dapat dimanfaatkan oleh orangutan. Pembangunan
koridor juga dapat menjadi bagian dalam kegiatan pengayaan
habitat, terutama di sisa areal hutan produksi. Pada proses
penyusunan desain, perencanaan dan pelaksanaan dapat
melibatkan pemerintah desa dan masyarakat lokal untuk
menjaga ancaman dan meningkatkan peran serta masyarakat
(Depertemen Kehutanan, 2007).
Untuk mendukung keberhasilan pembangunan koridor
orangutan di Hutan Batang Toru, kelembagaan lainnya perlu
pula dilibatkan, terutama dari sektor perkebunan dan
pertambangan. Kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan
koridor kepada unit manajemen perkebunan dan
pertambangan sangat penting karena koridor antar habitat
orangutan kemungkinan besar akan berada di daerah hak
guna usaha (HGU) perusahaan, seperti PT Agincourt
Resources Limited dan perusahaan perkebunan sawit yang
wilayah kerjanya bersentuhan dengan hábitat orangutan.

E. Monitoring dan Pengembangan Penelitian


Monitoring merupakan suatu cara yang efektif untuk
mengetahui reaksi suatu populasi terhadap perubahan

149
lingkungannya. Hasil monitoring secara berkala dalam jangka
panjang dapat mengetahui perubahan pola-pola populasi
yang mungkin disebabkan oleh gangguan manusia ataupun
perubahan cuaca dan peristiwa alami yang terjadi tiba-tiba
(Alikodra, 2002). Hasil monitoring dapat dijadikan dasar
identifikasi permasalahan yang dapat menjadi acuan untuk
pengembangan penelitian dalam mengevaluasi teknik
konservasi orangutan yang sedang dijalankan oleh berbagai
kelembagaan.
Program monitoring, seperti pemantauan terhadap
populasi orangutan dan aktivitas perusakan habitat meliputi
inventarisasi atau sensus untuk mengetahui perubahan
kepadatan dan perilaku orangutan, pengkajian mengenai
potensi ancaman terhadap populasi orangutan yang ada saat
ini, dan memastikan populasi minimum orangutan yang
mampu bertahan hidup untuk menjamin keberadaan
orangutan dalam jangka panjang. Program tersebut dapat
dilaksanakan secara rutin maupun insidental. Kegiatan rutin
dapat dilakukan 4–5 tahun sekali untuk satu jenis kegiatan
yang sama, sedangkan kegiatan insidental dapat dilakukan
sewaktu-waktu apabila muncul perubahan dramatis terhadap
kondisi alami kawasan yang diakibatkan oleh bencana alam
dan adanya kebijakan atau aktivitas yang dapat merusak
habitat orangutan secara luas.
Pelaksanaan program monitoring konservasi orangutan
dapat menjadi bagian dalam pengembangan penelitian untuk
mendapatkan informasi yang lengkap, akurat, dan
proporsional. Penelitian ekologi di lapangan dalam jangka
panjang terbukti berpengaruh kuat terhadap konservasi.
Berbagai penelitian dapat memberikan data dan informasi
terbaru, memberikan kontribusi pengawasan, dan

150
memberikan kesan adanya pihak yang berkepentingan
sehingga dapat mengurangi aktivitas ancaman terhadap
kawasan. Pelaksanaan penelitian dapat dilakukan melalui
kerjasama dengan berbagai lembaga penelitian; baik dari
pemerintah pusat, daerah, maupun lembaga swadaya
masyarakat nasional dan internasional.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh berbagai
kelembagaan, secara singkat maupun jangka panjang,
termasuk data dan hasil penelitiannya harus dikelola dengan
baik dan dibuat data base yang dapat dikelola oleh BBKSDA
Sumatra Utara sebagai dasar pelaksanaan monitoring.
Membangun dan memperbaiki fasilitas/prasarana penelitian
orangutan yang sangat terbatas di Hutan Batang Toru juga
harus segera diimplementasikan untuk lebih memudahkan
para peneliti melaksanakan kegiatan penelitiannya.
Penelitian orangutan yang masih sedikit pada habitat di luar
hutan konservasi perlu disebarluaskan kepada berbagai
lembaga riset, terutama perguruan tinggi untuk mendorong
para mahasiswa, baik untuk Strata 1 maupun S2, agar tertarik
untuk melakukan penelitian orangutan.

F. Pemberdayaan Kelembagaan Terkait


Pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati,
termasuk orangutan pada kawasan konservasi di masa
mendatang seyogyanya dilakukan secara terpadu sesuai
Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan
Kolaboratif, baik pada hutan konservasi maupun di luar hutan
konservasi. Koordinasi dan konsolidasi antar lembaga terkait
perlu ditingkatkan untuk menyusun program dan peranan
yang terintegrasi. Hasil penelitian di sekitar kawasan CA
Dolok Sibual-buali terhadap peran berbagai lembaga terkait,

151
seperti BBKSDA Sumatra Utara, Pemda Kabupaten Tapanuli
Selatan, LSM CI-I, IUPHHK PT Teluk Nauli, dan perusahaan
pertambangan PT Agincourt Resources Limited menunjukkan
bahwa lembaga-lembaga tersebut masih cenderung
menjalankan program dan kewenangannya masing-masing
akibat koordinasi antar lembaga belum optimal (Kuswanda &
Bismark, 2007b).
Pemberdayaan kelembagaan di bidang pelestarian
keanekaragam hayati, termasuk dalam konservasi orangutan
cenderung masih mengalami berbagai kendala. Kendala
tersebut disebabkan beberapa hal, sebagai berikut.
a. Landasan hukum untuk pengelolaan lingkungan dan
konservasi jenis, terutama pada lahan hak milik belum
jelas.
b. Koordinasi antar lembaga terkait masih lemah.
c. Penyuluhan dan sosialisasi, serta mekanisme umpan balik
dalam pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum
masih kurang.
d. Konflik kepentingan antara kegiatan konservasi dan
pembangunan dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan
lahan masih terjadi.
e. Peningkatan pendidikan, pelatihan, dan disiplin petugas
konservasi masih kecil dan tidak kontinu.
f. Pengetahuan yang terbatas dan masih sedikit staf terlatih
dalam menangani pelestarian keanekaragaman hayati
yang permasalahannya sangat beragam.

Padahal, partisipasi dari berbagai lembaga terkait


dalam pelaksanaan konservasi orangutan sangat diperlukan,

152
yang selama ini masih rendah dan tidak terkoordinasi. Tanpa
dukungan dan peranan yang nyata dari berbagai
kelembagaan terkait, program konservasi orangutan sulit
untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, upaya memberdayakan
berbagai peranan kelembagaan dapat direkomendasikan
berbagai program, sebagai berikut.

1. Pembinaan Lembaga Masyarakat


Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan,
termasuk di kawasan konservasi merupakan aktor utama
terhadap keberhasilan atau kegagalan program konservasi.
Namun, secara umum lembaga masyarakat belum memiliki
kebijakan ataupun peraturan desa untuk mengatur
pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan di sekitar
kawasan konservasi. Saat ini, peran lembaga masyarakat
dalam mendukung konservasi masih relatif rendah
(Kuswanda & Bismark, 2007a).
Teknik pembinaan lembaga masyarakat lokal dapat
dimulai dari pengembangan program sosialisasi dan
penyuluhan oleh pemerintah daerah dan pusat untuk
menyelaraskan pemanfaatan ruang dan rencana
pembangunan daerah dengan kondisi dan harapan
masyarakat. Menurut Kuswanda dan Mukhtar (2006b),
strategi yang paling penting dalam mengembangkan lembaga
masyarakat yang masyarakatnya memiliki ketergantungan
terhadap sumber daya hutan dari kawasan konservasi adalah
menciptakan kemandirian dan kesempatan usaha dalam
memanfaatkan sumber daya hutan ataupun lahan. Dalam hal
ini, Pemerintah dapat berperan untuk membuat peraturan
tentang akses dan mekanisme pemanfaatan sumber daya
hutan secara adil dan berkelanjutan, menciptakan usaha

153
alternatif, atau mengembangkan hutan rakyat dan hutan
kemasyarakatan. Lembaga lokal sudah selayaknya diberi
kesempatan untuk merencanakan, mengelola, dan mengatur
pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan sehingga mereka
dapat berpartisipasi dalam mendukung pengelolaan kawasan
konservasi.

2. Pengembangan SDM dan Prasarana Konservasi


Sumber daya manusia yang memahami makna, tujuan,
dan manfaat pengelolaan kawasan konservasi sampai saat ini
belum mencukupi, terutama petugas di daerah dan lapangan
yang bersentuhan langsung dengan kawasan konservasi.
Petugas lapangan yang bertugas memantau dan melindungi
hutan konservasi pada umumnya masih berpendidikan
setingkat SLTA. Pengembangan jumlah, pengetahuan,
maupun keterampilan petugas lapangan, terutama pada
instansi Pemda dan masyarakat perlu lebih ditingkatkan.
Begitu pula, pengadaan sarana pendukung yang memadai
untuk mendukung pengelolaan hutan harus menjadi prioritas
program lembaga terkait. Program pengembangan SDM dapat
dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan, penyuluhan,
atau kampanye penyadartahuan tentang konservasi secara
berkesinambungan.

3. Pembentukan Kader Konservasi Orangutan


Tim Kader Konservasi Orangutan (KKO) dapat dibentuk
dengan memadukan dan melibatkan berbagai institusi atau
kelembagaan, mulai Polisi Hutan, pemimpin adat, ataupun
masyarakat lokal. Tim KKO dapat difungsikan untuk
memantau orangutan, sekaligus melakukan patroli kawasan,

154
monitoring aktivitas illegal logging, kegiatan pengawasan,
sosialisasi, penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat.
Tim KKO dapat menjadi mitra kerja Pamhut Swakarsa di
setiap desa.

G. Translokasi dan Reintroduksi


Strategi translokasi (pemindahan) orangutan Batang
Toru merupakan solusi terakhir untuk diterapkan apabila
masih bisa dikembangkan strategi konservasi lainnya, seperti
telah disebutkan pada bahasan terdahulu. Menurut Alikodra
(2002), program translokasi harus dihindari apabila masih
memungkinkan adanya strategi yang lain dalam upaya
penyelamatan satwa liar. Program translokasi harus
mempertimbangkan berbagai hal, antara lain apabila
perkembangan penggunaan lahan akan menghancurkan
habitat satwa liar, suatu populasi liar tidak mampu untuk
hidup dan berkembang biak secara normal, dan pengelola
ingin meningkatkan jumlah populasi dengan tujuan untuk
mengurangi risiko kepunahan seluruh populasi. Untuk saat
ini, translokasi orangutan Batang Toru belum tepat untuk
dikembangkan karena kawasan hutan di dalamnya masih
memungkinkan untuk dijaga dan dikelola secara tepat dan
habitat masih mampu mendukung pertumbuhan populasi
orangutan.
Strategi kegiatan melepasliarkan kembali orangutan
atau dikenal dengan reintroduksi sebenarnya sudah banyak
dilakukan, baik oleh pemerintah maupun LSM yang peduli
terhadap pelestarian orangutan. Sebelum dilepasliarkan,
orangutan hasil sitaan dari peliharaan masyarakat, perburuan
ilegal, dan perdagangan satwa liar, harus direhabilitasi
terlebih dahulu. Kegiatan rehabilitasi orangutan sudah

155
banyak dilakukan, seperti di TN Gunung Leuser, Provinsi NAD
dan Pusat Rehabilitasi Nyarumenteng, Kalimantan Tengah.
Program rehabilitasi merupakan tahap awal untuk
menyiapkan orangutan untuk diliarkan kembali ke alam
bebas.
Permasalahan seringkali dihadapi setelah orangutan
siap untuk diliarkan, yaitu kendala dalam mencari dan
menetapkan habitat yang cocok sebagai lokasi pelepasliaran
orangutan. Hal tersebut karena belum adanya panduan dan
kriteria yang komprehensif sebagai acuan untuk menetapkan
habitat yang tepat dan layak dalam mendukung
perkembangbiakan orangutan dalam jangka panjang.
Akibatnya, program pelepasliaran orangutan sering
mengalami kegagalan karena masih terbatas kerangka acuan
dan kekurangtepatan dalam pemilihan habitat yang layak bagi
orangutan. Kuswanda et al. (2008) memberikan alternatif
rekomendasi penetapan kriteria pemilihan habitat untuk
reintroduksi atau sebagai lokasi translokasi orangutan Batang
Toru, sebagai berikut.

1. Prioritas Status Kawasan Merupakan Hutan yang


Dilindungi
Pertimbangan pertama yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan lokasi pelepasliaran orangutan adalah status dan
fungsi kawasan hutan. Hal ini akan memudahkan dalam
penyusunan rencana dan sistem pengelolaan lebih lanjut,
serta meminimalkan kemungkinan adanya konflik atau
gugatan fungsi kawasan pada waktu mendatang. Kawasan
yang dapat menjadi prioritas sebagai lokasi pelepasliaran
orangutan adalah hutan negara yang berfungsi sebagai
kawasan lindung atau konservasi. Bukan tidak mungkin,

156
pelepasliaran orangutan dilakukan pada lahan yang dibebani
hak atau hutan milik (APL). Namun, hal ini tentunya
memerlukan adanya komitmen bersama dengan pemilik
lahan dalam jangka panjang dan hal tersebut sulit untuk
diimplemetasikan seiring kebutuhan terhadap lahan olahan
semakin meningkat. Status kawasan prioritas di hutan negara
dapat berupa TN, SM, HL, TWA, atau areal lindung di hutan
produksi, seperti sempadan sungai, kawasan pelestarian
plasma nutfah (KPPN), dan daerah kantong satwa.

2. Lokasi Habitat Merupakan Habitat Baru Bagi


Orangutan
Habitat yang ideal untuk pelepasliaran orangutan
adalah habitat yang baru (bukan habitat orangutan). Hal ini
untuk menghindari adanya persaingan dengan orangutan liar
di dalamnya, seperti persaingan ruang/wilayah jelajah, pakan,
ataupun aktivitas sosial lainnya dalam memperoleh pasangan.
Peluang orangutan hasil rehabilitasi untuk memenangkan
persaingan dengan orangutan liar sangat kecil. Orangutan
rehabilitasi kemungkinan masih terbiasa dengan perlakuan
atau bantuan ”pengasuh” dalam memperoleh makanan
sehingga memerlukan waktu adaptasi dalam kehidupan liar di
alam bebas, termasuk dalam hal ini orangutan translokasi.
Selain itu, pelepasliaran dikhawatirkan akan menimbulkan
penularan penyakit yang masih terbawa oleh orangutan
rehabilitasi kepada orangutan liar.

3. Penutupan Lahan Masih Berhutan


Kualitas hutan sangat memengaruhi daya reproduksi
dan perkembangan orangutan (Meijaard et al., 2001).

157
Komposisi tumbuhan pada hutan primer atau sekunder tua
eks IUPHHK yang tidak terganggu akan memberikan peluang
lebih cepat dalam membantu proses adaptasi dan
meningkatkan daya reproduksi orangutan. Selain itu,
sebagian besar orangutan yang masih tersisa dan hidup
secara liar sebagian besar berada di hutan primer.

4. Ekosistem Berupa Hutan Dataran Rendah sampai


Pegunungan
Lokasi habitat untuk pelepasliaran orangutan dapat
berupa hutan dataran rendah sampai pegunungan, terutama
bagi orangutan Sumatra. Namun demikian, lokasi
pelepasliaran orangutan Batang Toru bila memungkinkan
diprioritaskan pada ekosistem dengan ketinggian yang sama
seperti habitat asalnya. Hal ini akan lebih mendekati habitat
alami yang paling disukai karena kemungkinan jenis
pepohonannya tidak jauh berbeda, terutama pohon-pohon
penghasil buah yang merupakan makanan utama bagi
orangutan. Distribusi jumlah dan kualitas makanan yang
melimpah, terutama buah-buahan akan memudahkan
orangutan untuk memperoleh dan mendapatkan makanan
seperti ketika dalam tahap rehabilitasi.

5. Luasan Habitat yang Cukup Ideal


Habitat ideal untuk kelangsungan hidup orangutan
adalah hutan primer atau memiliki ketersediaan pohon pakan
yang cukup dan terbebas dari berbagai gangguan. Pada
kondisi habitat yang ideal, satu individu orangutan
diperkirakan membutuhkan luas teritori sekitar 100 ha atau 1
km2 (PHVA, 2004). Namun demikian, pertimbangan luas

158
habitat dapat dikaji ulang melalui studi pendugaan daya
dukung habitat, yang salah satunya dapat dilakukan melalui
pendekatan nilai produktivitas tumbuhan pakan (daun dan
buah) dan ketersediaan jumlah pakan lainnya. Hal ini
mengingat pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup
dengan normal antara 5–6 individu pada habitat seluas 1 km2,
contohnya di Ketambe (TN Gunung Leuser) yang mencapai
kepadatan 5,5 individu/km2.
Secara teoritis, semakin luas habitat dan berupa
hamparan hutan yang kompak (tidak terpisah) tentunya
memberikan peluang lebih cepat bagi orangutan untuk
berkembangbiak. Namun, lokasi seperti itu tentunya akan
sulit ditemukan, apalagi kebutuhan terhadap lahan budi daya
terus meningkat. Dalam hal ini, apabila masih memungkinkan,
luas habitat diharapkan minimal sekitar 350–400 km2 dan
berupa kawasan hutan yang masih utuh dan tidak
terfragmentasi. Hal ini memungkinkan karena luas areal
hutan produksi (IUPHHK) seperti PT Teluk Nauli mempunyai
luas 830 km2. Selain itu, jumlah populasi orangutan yang
dianggap mampu bertahan dalam jangka panjang dalam satu
unit habitat, yaitu minimal 500–600 individu (PHVA, 2004).
Pertimbangan lain yang cukup penting pula adalah jumlah
orangutan yang akan diliarkan dalam satu unit habitat tidak
melebihi 40–50% kapasitas atau daya dukung habitat. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari persaingan pakan, terutama
dengan jenis satwa lainnya yang sudah hidup secara alami di
kawasan tersebut.

6. Kerapatan Vegetasi yang Tinggi


Komposisi vegetasi pada habitat alami orangutan
secara umum termasuk kategori rapat dan stabil. Hasil

159
penelitian Kuswanda dan Sugiarti (2005a) di Sekitar Hutan
DAS Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, menunjukkan
bahwa kerapatan vegetasi pada habitat alami orangutan
mencapai 350–550 pohon/ha. Indeks keragaman maksimal
(H maks.) berdasarkan batasan Samingan (1997) pada setiap
tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon)
berada pada selang 2,5 ≤ H maks. ≤ 3,5 sehingga kondisi
hutannya masih tergolong sebagai habitat tidak terkendala/
stabil.

7. Persentase Pohon Sumber Pakan Orangutan


Habitat yang akan dipilih untuk pelepasliaran
orangutan sebaiknya habitat yang jenis pohonnya (diameter
pohon >10 cm) telah teridentifikasi minimal 60–80% sebagai
sumber pakan orangutan. Sekitar 80–90% jenis pohon
sumber pakan tersebut sebaiknya merupakan jenis penghasil
buah-buahan dan sekitar 30–40% di antaranya adalah jenis
pohon penghasil buah dengan musim berbuah yang berbeda
dan/atau jenis-jenis pohon yang berbuah sepanjang tahun.
Jumlah, mutu, dan musim berbuah pohon sumber pakan yang
tersedia secara merata sepanjang tahun dapat mengurangi
kemungkinan migrasi orangutan ke tempat lain.

8. Sebaran Pohon Sarang yang Cukup


Karakteritik pohon sarang yang sangat disukai oleh
orangutan adalah berdiameter sekitar 22,4–32,2 cm, luas
penutupan tajuk sekitar 8,56–37,00 m2, dan ketinggian tajuk
sekitar 2,8–7,1 m (Kuswanda & Sukmana, 2005). Pada habitat
untuk lokasi pelepasliaran orangutan, sebaran pohon yang
memiliki karakteristik tersebut sebaiknya terdapat sedikitnya

160
40–50% dari seluruh jumlah pohon di dalam kawasan.
Keberadaan pohon sarang sangat penting karena orangutan
merupakan satwa yang membuat sarang setiap hari, baik
untuk istirahat/tidur siang maupun tidur malam.

9. Tingkat Ancaman Terhadap Perubahan Habitat yang


Rendah
Lokasi pelepasliaran orangutan yang diutamakan
adalah kawasan yang memiliki tingkat ancaman terhadap
perubahan fungsi lahan yang rendah. Apabila memungkinkan,
pada habitat terdapat batas/rintangan alam yang sulit untuk
dijangkau oleh manusia, seperti sungai yang lebar atau tebing
yang curam. Hal ini mengingat orangutan merupakan salah
satu satwa yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia.

10. Habitat Terdapat Tumbuhan Obat bagi Orangutan


Orangutan rehabilitasi kemungkinan masih mengidap
berbagai penyakit menular. Penyakit tersebut dapat menular
secara alami ke individu orangutan atau jenis satwa liar
lainnya sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem. Untuk itu, pada lokasi pelepasliaran
orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit 30–
40% dari jenis tumbuhan pakan yang berfungsi pula sebagai
sumber obat alami bagi orangutan. Jenis tumbuhan yang
diduga sebagai obat bagi orangutan adalah teureup
(Artocarpus elasticus Reinw.) dan ropas para (tumbuhan
liana).

161
Untuk mendapatkan habitat ideal bagi pelepasliaran
orangutan tentunya sangat sulit di tengah perkembangan
pembangunan yang membutuhkan banyak lahan, seperti
perkebunan dan pertanian. Untuk itu, penelitian yang
konprehensif perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum
memutuskan atau menetapkan suatu kawasan sebagai tempat
pelepasliaran orangutan. Syarat minimum yang seyogyanya
dapat dipenuhi adalah kondisi hutan yang memenuhi minimal
70% dari seluruh kriteria di atas. Hal ini untuk memudahkan
dalam program pembinaan habitat, pengelolaan populasi, dan
membantu mempercepat perkembangbiakan orangutan.

H. Penggalangan Dana Konservasi


Strategi penting lain dalam pengembangan konservasi
orangutan adalah ketersediaan anggaran/dana. Pelaksanaan
konservasi orangutan membutuhkan pendanaan yang besar
yang harus tersedia secara berkesinambungan dan dalam
jangka panjang. Menurut Indrawan et al. (2007), pendanaan
untuk konservasi selama ini sebagian besar masih bersumber
dari dana pemerintah, baik APBN maupun APBD; dana
perimbangan maupun dari pinjaman luar negeri; dan hibah.
Selama ini, dana hibah untuk kegiatan konservasi terbanyak
berasal dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat
(USAID), Jepang (JICA), Norwegia dan Masyarakat Uni Eropa
lainnya. Perkembangan lain dalam pendanaan konservasi
adalah pinjaman dari beberapa bank, seperti World Bank dan
Bank Pembangunan Asia (ADB). Beberapa organisasi
internasional lainnya juga membentuk konsorsium untuk
penggalangan dana konservasi, seperti World Wildlife Fund
(WWF), Biodiversity Support Program (BSP), dan The Nature
Conservancy (TNC).

162
Untuk waktu mendatang, ketersediaan dana konservasi
tidak bisa hanya mengandalkan dari pemerintah yang
anggarannya semakin terbatas maupun hibah dari luar
negeri. Penggalangan dana konservasi harus terus
dikembangkan karena tantangan pelaksanaan konservasi
akan semakain berkembang seiring masih rendahnya
kesadaran manusia dalam menjaga kelestarian hutan dan
lemahnya kebijakan yang mendukung konservasi satwa liar.
Sumber dana konservasi pada masa depan harus dilakukan
melalui penjualan produk berupa jasa yang dihasilkan dari
manfaat aktivitas konservasi itu sendiri (ekonomi kreatif).
Untuk itu, solusi alternatif sumber dana bagi pelaksanaan
konservasi di masa mendatang dapat dilakukan, antara lain
sebagi nerikut.

1. Penerapan Pembayaran Hutan Sebagai Jasa


Lingkungan (Payment for Environmental
Services/PES)
Penilaian jasa lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan
konservasi hutan sangat penting karena–seperti hasil hutan
lainnya–secara bersama-sama dapat memberikan manfaat
bagi kesejahteraan masyarakat, bahkan memberikan
kontribusi bagi sumber pendapatan daerah dan nasional.
Beragam jenis jasa lingkungan yang dihasilkan oleh
keberadaan hutan yang lestari dapat digunakan sebagai dasar
perhitungan manfaat hutan yang lebih realistis untuk
mendapat dukungan pentingnya aktivitas konservasi. Hasil
hutan nonkayu dan jasa lingkungan lainnya harus divaluasi
secara ekonomi sehingga siapa pun yang memanfaatkannya
harus membayar sebagai biaya kompensasi atas keberadaan
hutan.

163
Habitat orangutan pada dasarnya memiliki manfaat jasa
lingkungan yang secara tidak langsung bernilai guna untuk
mendukung kebutuhan dan kehidupan manusia. Menjaga
habitat orangutan berarti turut serta melindungi hutan yang
memiliki beragam manfaat yang dapat dijadikan sebagai
sumber dana bagi kegiatan konservasi. Pembayaran untuk
jasa lingkungan yang dihasilkan (Payment for Environmental
Services/PES) dari hutan harus dikembangkan dan hasilnya
dikembalikan untuk kegiatan konservasi. Model PES bukan
hanya diberlakukan untuk menilai hutan sebagai sumber air
saja, tetapi untuk semua sektor usaha yang keberlanjutan
operasional usahanya sangat bergantung dari kelestarian
hutan, seperti perlindungan keragaman hayati, penyimpan
karbon, dan ekowisata.
Menurut Winrock International (2004) dalam
(http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012)
dinyatakan bahwa lima komponen penting yang harus ada
dalam sebuah model PES, yaitu 1) penilaian pembayaran dan
royalti yang didefinisikan dengan jelas, 2) dana peruntukan
dengan prosedur dan proses yang transparan untuk
pembayaran, 3) sebuah komite multipihak harus dibentuk
secara partisipatif dan membuka konsultasi bagi para pihak,
4) mekanisme dan prioritas ditentukan secara lokal, dan 5)
perencanaan yang partisipatif dan memiliki sistem
pengawasan kinerja. Untuk mendukung PES di Indonesia,
pemahaman menyangkut aturan PES diperlukan bagi pihak
pemerintah, legislatif, dan masyarakat. Dengan demikian,
sinergisme aturan perundangan dapat dilakukan untuk
mengindari tumpang-tindih kebijakan dan membangun
regulasi nasional ataupun lokal yang lebih fleksibel.

164
2. Pembayaran Jasa Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Isu perdagangan karbon yang dihasilkan dari hutan
muncul sejak ditandatanganinya Protokol Kyoto pada tahun
1997. Pengurangan dampak perubahan iklim telah disepakati
bersama negara-negara di dunia untuk ditangani secara
serius melalui kerangka mitigasi dan adaptasi emisi gas
rumah kaca (Angelsen et al., 2010). Emisi gas rumah kaca
sebagai dampak dari perkembangan industri merupakan
sumber kerusakan utama dengan terbentuknya karbon di
atmosfir yang menyebabkan pemanasan global (Venter,
2009). Upaya untuk mengurangi pemanasan global yang
dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan
karbon dengan mempertahankan atau merehabilitasi
kawasan hutan dan menurunkan emisi karbon (Lasco et al.,
2004).
Kementerian Kehutanan, selaku pemegang kewenangan
dalam pengelolaan hutan, telah mengeluarkan Permenhut
Nomor P.20/Menhut-II/2012 sebagai payung hukum yang
menjadi pedoman mekanisme semua kegiatan terkait
penurunan emisi karbon hutan. Mekanisme ini diharapkan
dapat mendukung dan mempermudah pelaksanaan proyek-
proyek REDD+. Peraturan tersebut mengatur mengenai
pelaksanaan kegiatan pengelolaan karbon hutan di wilayah
hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan
rakyat. REDD+ adalah skema mitigasi perubahan iklim yang
memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang
untuk mempertahankan keberadaan hutan. Negara Indonesia
telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebanyak 26%
dari tingkat business-as-usual pada tahun 2020. Keberadaan
hutan alam yang masih sangat luas tentunya memiliki
prospek yang besar untuk mendapatkan tambahan anggaran

165
dari perdagangan karbon yang hasilnya dapat dikembalikan
untuk pelaksanaan konservasi hutan dan satwa liar di
dalamnya.

3. Penggalangan Dana dari Perlindungan Keindahan


Lansekap
Perlindungan lansekap merupakan bentuk PES yang
paling banyak dilakukan saat ini di Indonesia. Beberapa kasus
di Indonesia telah menerapkan model pembayaran untuk
keindahan lansekap yang dinilai berhasil, seperti di TN
Komodo, TN Gunung Halimun-Salak, serta Pengembangan
Ekowisata di Pulau Togean dan Pulau Gili. Pemerintah
mengeluarkan perizinan untuk layanan lingkungan selama
kurun waktu lebih dari 10 tahun untuk kawasan hutan di atas
1.000 ha. Mekanisme untuk pembayaran layanannya berupa
bea masuk dan bea pemakai (http://pongoabelii.wordpress.
com/dokumen-dasar, 2012).
Ekosistem Hutan Batang Toru juga memiliki keindahan
lansekap yang lengkap; mulai dari perwakilan ekosistem
hutan hujan dataran rendah dan perbukitan, hutan batuan
gamping (limestone), hutan pegunungan rendah sampai hutan
pegunungan tinggi. Beragam satwa langka dan endemik, yang
hidup didalamnya, seperti orangutan dan harimau Sumatra
tentunya menarik sebagai peluang yang dapat dijadikan
untuk menggalang dana konservasi. Selanjutnya, tergantung
bagaimana Pemerintah dan lembaga terkait lainnya dapat
terus menyosialisasikan dan mempromosikan keindahan
hutan Batang Toru sehingga menjadi perhatian dunia dan
menarik negara dan masyarakat internasional memberikan
dananya bagi upaya kelestarian Hutan Batang Toru sebagai
warisan dunia.

166
4. Pengembangan Ekowisata
Prospek pengembangan ekowisata setiap tahun terus
meningkat di Indonesia. Fenomena alam yang sangat
berkualitas dan menarik masih cukup banyak, seperti
keunikan dan kelangkaan atraksi satwa liar (Fandeli, 2002).
Pengembangan ekowisata pada kawasan hutan, seperti di
hutan konservasi sangat penting sebagai bagian pemanfaatan
kawasan hutan secara lestari dan bernilai guna bagi
masyarakat sesuai amanah UU No. 41 Tahun 1999
(Departemen Kehutanan, 1999). Kondisi alam yang alami,
indah, dan langka, serta keunikan satwa liar sering menjadi
tujuan utama wisatawan, yang semuanya dapat dinikmati di
Hutan Batang Toru.
Pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi
tentunya memerlukan pendekatan yang sedikit berbeda
dengan pengembangan konsep pada kawasan wisata massal,
seperti hutan kota, kebun raya ataupun kebun binatang. Pada
hutan konservasi, potensi yang dapat di jual dalam aktivitas
wisata adalah jasa lingkungannya, seperti antraksi beragam
jenis satwa liar langka. Kuswanda (2008b) memberikan
rekomendasi strategi untuk pengembangan ekowisata di
dalam dan sekitar hutan konservasi, antara lain sebagai
berikut.
a. Pengembangan kegiatan yang melindungi keutuhan hutan
sebagai habitat satwa liar.
b. Pemetaan sebaran satwa liar karena merupakan obyek
ekowisata yang selalu bergerak.
c. Penetapan spesies satwa unggulan sebagai obyek
ekowisata. Penetapan spesies unggulan dapat dijadikan
dasar dan fokus dalam dalam rencana pengelolaan

167
kawasan konservasi secara menyeluruh. Kriteria yang
digunakan dalam penetapan spesies unggulan sebagai
obyek ekowisata, antara lain endemisitas, status
konservasi satwa (dilindungi dan langka), keunikan dan
keindahan morfologi dan perilaku; seperti orangutan.
d. Peningkatan promosi dan sosialisasi obyek dan destinasi
sebagai bagian dari strategi pemasaran melalui media
massa (cetak dan elektronik) dan di tempat-tempat umum
atau kegiatan massal, seperti bandara dan lokasi pameran
(expo).
e. Pengembangan pola kemitraan dengan melibatkan pihak
swasta untuk berinvestasi dalam kegiatan ekowisata.
f. Pengembangan aksesibilitas menuju destinasi ekowisata
karena keberadaan kawasan habitat satwa liar sering kali
sulit untuk dijangkau, bahkan harus ditempuh dengan
berjalan kaki.
g. Pengembangan obyek dan sarana pendukung ekowisata,
seperti keindahan bentang alam, gejala dan fenomena
alam, sistem pengelolaan hutan, mata air, sungai dan air
terjun, sosial dan budaya masyarakat sekitar hutan, serta
aktivitas kearifan lokal masyarakat. Sarana pendukung
ekowisata yang dapat dikembangkan, antara lain base
camp, shelter (tempat peristirahatan), pondok wisata,
rumah jaga, dan penginapan di rumah penduduk.
h. Pengoptimalan pemanfaatan obyek dan hasil ekowisata
bagi kesejahteraan masyarakat dengan membuka
kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi pelaku
ekonomi kegiatan ekowisata sehingga mereka dapat
berperan dalam upaya konservasi yang lebih luas.

168
5. Pemanfaatan Dana Tanggung Jawab Sosial (Corporate
Social Responsibility/CSR) Perusahaan untuk
Konservasi Hutan
Pengertian CSR adalah suatu tindakan atau konsep yang
dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan
tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap sosial atau
lingkungan sekitar di mana perusahaan tersebut berada. Dana
CSR dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemeliharaan fasilitas
umum, sumbangan untuk desa, dan pengembangan ekonomi
masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar
perusahaan tersebut berada. Perusahaan di sekitar hutan
Batang Toru, seperti perusahaan pertambangan dan air
minum harus diwajibkan untuk menyalurkan dana CSR untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan dan alam yang
diakibatkan aktivitas perusahaannya. Kehilangan habitat
akibat aktivitas pertambangan harus diperbaiki dan menjadi
kewajiban perusahaan, atau dapat pula perusahaan
membantu menghijaukan kembali hutan di luar wilayah
kerjanya.
Dana CSR perusahan sebaiknya dipergunakan untuk
melakukan rehabilitasi dan kegiatan konservasi lainnya yang
secara langsung dapat menjaga fungsi kawasan Hutan Batang
Toru, menyediakan pendanaan bagi kegiatan penelitian,
pengembangan masyarakat di sekitar kawasan, atau
membantu pengamanan keragaman hayati yang ada di dalam
kawasan hutan, termasuk untuk program konservasi
orangutan. Dalam hal ini, pemerintah daerah diharapkan
dapat menyusun regulasi untuk menjamin kepastian hukum
dan ketertiban sosial, serta mengawasi penggunaan dana CSR
sehingga tepat sasaran. Pemerintah dapat berperan pula

169
untuk memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan
pada pengusaha yang mau terlibat dalam upaya konservasi
hutan.

170
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwliar Jilid I. Pusat Antar


Universitas Ilmu Hayati IPB. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Bogor.
Alikodra, H.S. 2002. Teknik Pengelolaan Satwa Liar: dalam
rangka mempertahankan keanekaragaman hayati
Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ancrenaz, M. 2004. Orangutan nesting behavior in disturbed
forest of Sabah, Malaysia: Implications for nest sensus.
Journal Primatol, 25(5): 983–1000.
Angelsen, A. dan S. Atmadja [eds.]. 2010. Melangkah Maju
dengan REDD: Isu, Pilihan dan Implikasi. CIFOR.
Bogor.
Babaasa, D. 2000. Habitat selection by elephants in Bwindi
Impenetrable National Park, south-western Uganda.
Journal Ecology, 38: 116–122.
Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John
Wiley & Sons. Network.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara.
2010. Buku Informasi Kawasan Konservasi. Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara.
Kementerian Kehutanan. Medan.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Sumatra Utara. 2002.
Buku Informasi Kawasan Konservasi di Sumatra
Utara. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam. Departemen Kehutanan. Medan.

171
Balai Pemetaan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan.
2006. Status Terkini Penggunaan Kawasan Hutan dan
Implikasi terhadap Konservasi Habitat Orangutan di
Kawasan Hutan Sebagian DAS Batang Toru. Makalah
pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan
Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru,
17–18 Januari 2006. Sibolga.
Barbour, G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant
Ecology. The Benyamin/Cummings Publishing Inc,
New York.
Begon, M., C.R. Townsend and J.L. Harper. 2006. Ecology from
Individual to Ecosystem. Fourth edition. Malden:
Blackwell Publishing.
Bismark, M. 2005. Estimasi populasi orangutan dan model
perlindungan di komplek hutan Muara Lesan, Brau,
Kalimantan Timur. Buletin Plasma Nutfah, 11(2): 74–
80.
Blouch, R.A. 1997. Distribution and abundance of orangutans
(Pongo pygmaeus) and other primates in the Lanjak
Entimau Wildlife Sanctuary, Sarawak, Malaysia.
Tropical Biodiversity, 4: 259–274.
BPS (Balai Pusat Statistik) Sumatra Utara. 2012. Provinsi
Sumatra Utara Dalam Angka 2012. BPS Kantor
Sumatra Utara. Medan.
Buij, R., S.A Wich, A.H. Lubis and E.H.M. Sterck. 2002. Seasonal
movement in the Sumatran Orangutan (Pongo
pygmaeus abelii) and Consequences Biological for
Conservation. Biological Conservation, 107: 83–87.
Butarbutar, M. 2007. Pelaksanaan Tanggung jawab Sosial
HPH. PT. Teluk Nauli dalam Melindungi Habitat
Orangutan. Makalah pada Lokakarya “Membangun
Kolaborasi Para Pihak dalam Strategi Konservasi
Habitat Orangutan Sumatra di Daerah Aliran Sungai

172
Batang Toru. Kerjasama Dishut Provinsi Sumatra
Utara, Departemen Kehutanan, Conservation
International Indonesia, USAID Indonesia dan ICRAF.
Medan.
Conservation International-Indonesia. 2006. Memadukan
Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kawasan
Konservasi Alam di Kawasan Hutan DAS Batang Toru.
Makalah pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan
Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru,
17–18 Januari 2006. Sibolga.
Corbeels, M. 2001. Plant Litter and Decomposition: General
Concepts and Model Approach. NEE Workshop
Proceeding, 18–20 April 2001.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, tanggal 10 Agustus 1990.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor
68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
pelestarian Alam, tanggal 19 Agustus 1998.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, tanggal 30
September 1999.
Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan
Kolabaratif. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2005. Lampiran Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut–II/2005 dan
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Wilayah
Provinsi Sumatra Utara, tanggal 16 Pebruari 2005.
Departemen Kehutanan. Jakarta.

173
Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Orangutan Indonesia 2007–2017.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Dierenfeld, E.S. 1997. Orangutan Nutrition. In: Orangutan SSP
Husbandry Manual. C. Sodaro [Ed]. Orangutan SSP
and Brookfield Zoo. Brookfield, Illinois.
Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Selatan. 2007.
Kawasan Taman Nasional Untuk Kehidupan Lebih
Baik Bagi Semua. Makalah pada Lokakarya
“Membangun Kolaborasi Para Pihak dalam Strategi
Konservasi Habitat Orangutan Sumatra di Daerah
Aliran Sungai Batang Toru”. Kerjasama Dishut
Provinsi Sumatra Utara, Departemen Kehutanan,
Conservation International Indonesia, USAID
Indonesia dan ICRAF. Medan.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
2006. Kebijakan dan strategi pemerintah dalam
konservasi in situ orangutan Sumatra. Makalah pada
Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan Pembangunan
di Kawasan Hutan DAS Batang Toru”, 17–18 Januari
2006. Sibolga.
Djojoasmoro, R., C.N. Simanjuntak, B.M.F. Galdikas and T.
Wibowo. 2004. Orangutan Distribution in North
Sumatra. Jurnal Primatologi Indonesia, 4(1): 2–6.
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika: Membicarakan
alam ekologi tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia
Baru. Terjemahan Usman Tabuwidjaja. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
FAO. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010.

174
Galdikas, B.M. 1978. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung
Putting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia
Press. Jakarta
Gilbert, K.A. dan E.Z.F. Sezt. 2001. Primates in a fragmented
landscape: Six species in Central Amazonian. Yale
University Press, New Haven. USA.
Groves, C.P. 1999. The taxonomy of orangutans. In. C. Yeager
(Ed). Orangutan Action Plan. Direktorat Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta, WWF Indonesia
and Center for Environmental Research and
Conservation (CERC) Colombia University. New York.
Hadiwinoto, S. 2008. Bahan Ajar Mata Kuliah Silvikultur
Hutan Tropika. Pascasarjana Fakultas Kehutanan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Harvey, D.S. and P.J.W. Head. 2006. A test of the hierarchical
model of habitat selection using eastern massasauga
rattlesnakes (Sistrurus c. catenatus). Biological
Conservation, 130: 206–216.
Hemami, M.R., A.R. Watkinson, P.M. Dolman. 2004. Habitat
selection by sympatric muntjac (Muntiacus reevesi)
and roe deer (Capreolus capreolus) in a lowland
commercial pine forest. Forest Ecology and
Management, 194: 49–60.
http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar. 2012.
Orangutan Sumatra di Batang Toru. Diakses tanggal
13 Juli 2013.
Indrawan, M. B., R. Primarck, J. Supriatna dan P.
Kramadibrata. 2007. Biologi Konservasi Edisi ke II.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Irwan, Z.D. 2007. Prinsip-prinsip Ekologi: Ekosistem,
Lingkungan dan Pelestariannya. Penerbit Bumi
Aksara. Jakarta.

175
IUCN. 2002. IUCN Red List of Threatened Species.
http://www.redlist.org/. Diakses tanggal 15 Pebruari
2005.
Ives, A.R. 2007. Diversity and Stability in Ecological
Communities. In: R.M. May and A.R. McLean [Eds].
Theoretical Ecology. Oxford: Oxford.
Kabangga, Y. 2010. Pendugaan Umur dan Laju Pembuatan
Sarang Orangutan Pongo pygmaeus morio, Grove
2001 di Stasiun Penelitian Frefab dan Mentoko,
Taman Nasional Gunung Putting. Thesis Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kementerian Kehutanan. 2011. Laporan Kajian Perubahan
Kondisi Hutan Primer Sumatra. Kementerian
Kehutanan-UGM. Jakarta.
Kementerian Kehutanan. 2014. Lampiran Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014 tentang
Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 24
Juli 2014. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Kuswanda, W. 2005. Strategi Perlindungan Orangutan Liar di
Cagar Alam Dolok Sibual-buali. INOVASI Media
Litbang Provinsi Sumatra Utara Vol. 2 No. 3. Medan.
Kuswanda, W. 2006a. Kajian Potensi Keanekaragaman Hayati
di Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatra Utara.
INOVASI Media Litbang Provinsi Sumatra Utara Vol. 3
No. 4. Medan.
Kuswanda, W. 2006b. Status Terkini Populasi dan Ancaman
Fragmentasi Habitat Orangutan (Pongo abelii lesson
1827) di Kawasan Hutan Batang Toru. Proseding Hasil
Lokakarya Para Pihak “Masa Depan Habitat
Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan
Daerah Aliran Sungai Batang Toru”, tanggal 17–18
Januari 2006.

176
Kuswanda, W. 2006c. Strategi Rehabilitasi Lahan di Sekitar
Kawasan Konservasi (Studi kasus: Cagar Alam Dolok
Sibual-buali, Sumatra Utara). Proseding Ekspose
Hasil-hasil Penelitian “Optimalisasi Program GERHAN
dan Hasil-hasil Penelitian dalam Upaya Mendukung
Kelestarian Hutan dan Lahan”. Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam. Parapat.
Kuswanda, W. 2007a. Ancaman Terhadap Kelangsungan
Hidup Orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 4.
Departemen Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. 2007b. Karakteristik dan Penggunaan Lahan
Sekitar Habitat Orangutan (Pongo abelii Lesson),
Cagar Alam Dolok Sibual-Buali. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 3. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. 2007c. Teknik Konservasi Orangutan Sumatra
(Pongo abelii Lesson) pada Kawasan Konservasi:
Kasus Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Tapanuli
Selatan. Proseding Ekspose hasil-hasil Penelitian
“Peran Litbang Kehutanan dalam Mendukung
Rehabilitasi dan Kawasan Konservasi di Sumbagut”.
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Medan.
Kuswanda, W. 2007d. Persepsi berbagai stakeholder
terhadap Pelestarian Orangutan. Info Hutan Vol. IV
No. 4. Departemen Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. 2008a. Kajian Populasi dan Habitat Satwa
Langka di Suaka Margasatwa Barumun. Laporan
Akhir Penelitian Tahun 2008. Balai Penelitian
Kehutanan Aek Nauli. Departemen Kehutanan.
Pematangsiantar.
Kuswanda, W. 2008b. Potensi dan Strategi Pengembangan
Ekowisata Satwa liar pada Hutan Konservasi: Suaka
Margasatwa Barumun, Sumatra Utara. Prosiding

177
Ekspose Hasil-hasil Penelitian ”Peran Penelitian
dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Potensi Sumber
Daya Hutan di SumBagUt”. Balai Penelitian Kehutanan
Aek Nauli. Medan
Kuswanda, W. 2009. Strategi Pemulihan Kawasan Yang
Dilindungi Dalam Mendukung Pelestarian Satwa liar
Langka di DTA Danau Toba. 2009. Proseding
Workshop Seri Laporan No. 21 Kerjasama ITTO,
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatra Utara.
Kuswanda, W. 2011. Pemilihan Habitat oleh Orangutan
Sumatra Orangutan (Pongo abelii Lesson) di Cagar
Alam Sipirok, Sumatra Utara. Thesis Program
Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kuswanda, W. dan A. Sukmana. 2005. Karakteristik Pohon
Sarang Orangutan Liar: Kasus di Cagar Alam Dolok
Sibual-buali, Sumatra Utara. Konifera No. 1/Tahun
XX/Desember 2005. Balai Penelitian Kehutanan Aek
Nauli. Pematangsiantar.
Kuswanda, W. dan A. Sukmana. 2009. Kesesuaian Jenis Untuk
Pengkayaan Habitat Orangutan Terdegradasi di
Daerah Penyangga Cagar Alam Dolok Sibual-Buali.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VI
No. 2. Departemen Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. dan A. S. Mukhtar. 2006a. Potensi Masyarakat
dan Peranan Kelembagaan di Zona Penyangga Taman
Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Vol. III No. 4. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. dan A.S. Mukhtar. 2006b. Strategi
Pengembangan Kelembagaan Zona Penyangga Taman
Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam Vol. III No. 5. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

178
Kuswanda, W. dan M. Bismark. 2007a. Pengembangan
Strategi Konservasi dan Peran Kelembagaan dalam
Pelestarian Orangutan Sumatra. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 6. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. dan M. Bismark. 2007b. Daya Dukung Habitat
Orangutan (Pongo abelii Lesson), Di Cagar Alam Dolok
Sibual-Buali, Sumatra Utara. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam Vol. IV No. 1. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. dan Sugiarti. 2005a. Potensi Habitat dan
Pendugaan Populasi Orangutan (Pongo abelii, Lesson
1827) di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. II No. 6.
Departemen Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W. dan Sugiarti. 2005b. Aktivitas Harian
Orangutan Liar (Pongo abelii Lesson 1827) di Cagar
Alam Dolok Sibual-buali. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Vol. II No. 6. Departemen
Kehutanan. Bogor.
Kuswanda, W., M. Bismark dan S. Iskandar. 2008. Analisis
Habitat Lokasi Pelepasliaran Orangutan (Pongo sp.).
Proseding Ekspose Hasil-hasil Penelitian ”Peran
Penelitian dalam Pelestarian dan Pemanfaatan
Potensi Sumber daya Hutan di Sumbagut”. Puslitbang
Hutan dan Konservasi Alam. Medan.
Lasco, RD., FB. Pulhin, JM Roshetko, MRN. Banaticla. 2004.
LULUCF Climate Change Mitigation Project in the
Philippines: a Primer. World Agroforestry Centre.
Southeast Asia Regional Research Programme.
Lovell, N.C. 1990. Patterns of Injury and Illness in Great Apes.
Smithsonian Institution Press. Washington, DC.

179
Lubis, A. H., S. A. Wich, E. H. M. Sterck, and R. Buij. 2001.
Population Estimates and Seaseonal Movement in
Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii).
Proseding Seminar Primatologi Indonesia 2000.
Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A
primer on method and computing. A Wiley - Inter
science Publication. John Wiley and Sons, Inc. New
York.
MacKinnon, K., J. MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1993.
Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah
Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Manly, B.F.J, L.L McDonald and D. L. Thomas. 1993. Resource
selection by animals: statistical design and analysis
for field studies. Chapman and Hall, London, United
Kingdom. 175 pp.
Manly, B.F.J., L.L McDonald, D.L. Thomas, T.L. McDonald and
W.P. Erickson. 2002. Resource Selection by Animal
Statistical Design and Analysis for Field Studies. 2nd
Edition. Dordrecht, Boston, London: Kluwer Academic
Publishers.
Marsono, J. 2009. Bahan Mata Kuliah Ekologi Vegetasi.
Program Pascasarjana, Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Morris, D.W. 1987. Test of density-dependent habitat
selection in a patchy environment. Ecological
Monographs, 57(4): 269–281.
Morrison, M.L. 2002. Wildlife Restoration : Technique for
Habitat Analysis and Animal Monitoring. Island Press.
Washington DC.

180
Muir, C.C., B.M. Galdikas and A.T. Beckenbach. 2000. mtDNA
sequence diversity of orangutans from the islands of
Borneo and Sumatra. J. Mol. Evol., 51: 471–480.
Naeem, S., D.E. Bunker, A. Hector, M. Loreau and C. Perrings.
2009. Introduction: social implications of changing
the ecological and biodiversity. Oxford University
Press, Oxford. Pp: 3–13.
Napier, J.R and P.H. Napier. 1967. A handbook of Living
Primates: Morfology, Ecology and Behaviour of Non-
Human Primates. Academic Press. London.
Neu, C.W., C. R. Byers and J.M. Peek. 1974. A Technique for
Analysis of Utilization-Availability Data. The Journal of
Wildlife Management, 38(3): 541–545.
Nijman, V. 2009. An assessment of trade in gibbons and
orangutans in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast
Asia, Petaling Jaya, Malaysia.
Perbatakusuma, E.A, J. Supriatna, R.S.E. Siregar, D. Wurjanto,
L. Sihombing dan D. Sitaparasti. 2006.
Mengarustamakan Kebijakan Konservasi Biodiver-
sitas dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan
Hutan Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatra
Utara. Laporan Teknik Program Konservasi
Orangutan Batang Toru. Conservation International
Indonesia- Departemen Kehutanan. Pandan.
Population and Habitat Viability Assessment (PHVA). 2004.
Orangutan. Laporan Akhir Workshop tanggal 15–18
Januari 2004. Jakarta.
Prasetyo, D., M. Ancrenaz, C. Helen, Morrogh-Bernard, S.S.U.
Atmoko, S.A. Wich and C.P. van Schaik. 2009. Nest
building in Orangutan dalam Orangutans Geographic
Variation in Behavioral Ecology and Conservation.
Oxford University Press. New York.

181
Primarck, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P.
Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Pudyatmoko, S. 2009. Bahan Mata Kuliah Desain Riset
Konservasi Sumber daya Hutan. Program
Pascasarjana-Fakultas Kehutanan Universitas Gajdah
Mada. Yogyakarta.
Purnomo, D.W. 2009. Seleksi Habitat oleh Rusa Timur (Rusa
timorensis) di Hutan Wanagama I. Tesis Program
Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Purwadi. 2010. Karakteristik Habitat Preferensial Orangutan
Pongo pymaeus wurmbii di Taman Nasional Sebangau.
Thesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Rijksen, H.D. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutans
(Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1872): Ecology,
Behavior and Conservation. H. Veenman & Zonen,
Wegeningen.
Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu
Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) di Hutan
Produksi. Laboratorium Ekologi Fakultas MIPA-IPB.
Bogor.
Santosa, Y. 1993. Strategi kuantitatif untuk pendugaan
beberapa parameter demografi dan kuota pemanenan
populasi satwa liar berdasarkan pendekatan ekologi
perilaku: Studi kasus terhadap populasi kera individu
panjang (Macaca fascicularis). Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Saroso, O. 2010. Governors Want Speedy Sumatra
Development. http://www.thejakartapost.com/news/
2010/07/24.
Simorangkir, R. A. 2009. Kajian Habitat dan Estimasi Populasi
Orangutan (Pongo abelii Lesson) di Kawasan Hutan

182
Batang Toru, Sumatra Utara. Tesis Program
Pascasarjana. Institit Pertanian Bogor. Bogor.
Sinaga, T. 1992. Studi Habitat dan Perilaku Orangutan (Pongo
abelii) di Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser.
Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Tidak dipublikasikan
Singleton, I. and C. van Schaik. 2001. Orangutan home range
size and its determinants in a Sumatran swamp forest.
International Journal of Primatology, 22: 877–911.
Singleton, I., S.A. Wich & M. Griffiths. 2008. Pongo abelii. The
IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3.
<www.iucnredlist.org>. Downloaded on 24 November
2014.
Sitaparasti, D. 2007. Status Terkini Habitat dan Populasi
Orangutan di DAS Batang Toru. Makalah pada
Lokakarya “Membangun Kolaborasi Para Pihak dalam
Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatra dan
Pembangunan Ekonomi Masyarakat Berkelanjutan di
Daerah Aliran Sungai Batang Toru”. Hasil Kerjasama
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara, Dirjen
PHKA-Departemen Kehutanan, Conservation
International Indonesia, USAID Indonesia dan ICRAF.
Medan.
Sugardjito, J. 1986. Ecological Constrains on the Behaviour of
Sumatran Orangutan in the Gunung Leuser National
Park, Indonesia. Thesis Utrecht.
Suzuki, M. 1989. Socio-ecological studies of orangutans and
primates in Kutai national Park, East Kalimantan in
1988-89. Overseas Res. Rep. of studies on Asian Non-
Human Primates, 7: 1–42.
Takandjandji, M. 1993. Pengaruh perbedaan manajemen
terhadap pertumbuhan rusa timor (Cervus timorensis)
di Oilsonbai dan Camplong, Nusa Tenggara Timur.

183
Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Santalum 12.
Kupang.
van den Berg, L.J.L., J.M. Bullock, R.T. Clarke, R.H.W. Langston
and R.J. Rose. 2001. Territory selection by the
Dartford warbler (Sylvia undata) in Dorset, England:
the role of vegetation type, habitat fragmentation and
population size. Biological Conservation, 101: 217-
228.
van Schaik, C.P. 2001. Dramatic decline in orangutan numbers
in the Leuser Ecosystem, Northern Sumatra. Oryx,
35(1): 14–25.
van Schaik, C.P. 2006. Diantara Orangutan: Kera merah dan
bangkitnya kebudayaan manusia. Yayasan
Penyelamatan Orangutan Kalimantan (BOS). Jakarta.
van Schaik, C.P., A. Priatna and D. Priatna. 1995. Population
Estimates and Habitat Preferences of Orangutans
Based on Line Transects of Nest. Plenum Press. New
York and London.
Whitmore, T.C. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. 2nd
ed. Oxford Universities Press, London.
Wich, S.A., E. Meijaard, A.J. Marshall, S. Husson, M. Ancrenaz,
R.C. Lacy, C.P. van Schaik, J. Sugardjito,T. Simorangkir,
K.T. Holzer, M. Doughty, J. Supriatna, R. Dennis, M.
Gumal, C.D. Knott and Ian Singleton. 2008. Review:
Distribution and conservation status of the orang-utan
(Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: how many
remain? Oryx, 42(3): 329–339.
Wich, S.A., I. Singeleton, S.S.A. Utami, M.L. Geurts, H.D. Rijksen
and C.P. van Schaik. 2003. The Status of the Sumatran
Orangutan (Pongo abelii): An update. Oryx, 37(1): 49–
54.
Wich, S., Riswan, J. Jonsen, J, Refisch dan C. Nellemann
(Editor). 2011a. Orangutan dan Ekonomi Pengelolaan

184
Hutan Lestari di Indonesia. Alih Bahasa : Gunung Gea.
UNEP. Penerbit Barragraphia. Hal: 1–83.
Wich, S.A., S.S.A. Utami, T.M. Setia and C.P. van Schaick.
2011b. Orangutans: Geographic variation in
behavioural ecology and conservation. Oxford
University Press, New York. Pp: 1–440.
www.forestgama.blogspot.com. 2009. Habitat. Diakses
tanggal 4 Agustus 2009.
Zhang, Y.W. 2001. Genetic divergence of orangutan species.
Molecular Evolution, 52: 516–526.

185
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
RIWAYAT HIDUP PENULIS
WANDA KUSWANDA; lahir di
Subang-Jawa Barat pada
tanggal 06 Agustus 1977 dari
pasangan Dahri Rukmana
(ayah) dan Cahti (ibu). Penulis
menikah dengan Eulis Susanti
pada tahun 2004 dan telah
dikarunia dua orang putri:
Sylvi Amalisti Kuswandani
dan Salvia Raihanah
Kuswandani.

Anak pertama dari dua


bersaudara ini menyelesaikan
pendidikan SD (1989) dan SMP
(1992) di Kabupaten Subang,
serta SMA (1995) di Kabupaten Sumedang. Meraih gelar Sarjana di
Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor (2000) pada Jurusan
Konservasi Sumber Daya Hutan. Pada April 2011 mendapatkan
gelar Master of Science (M.Sc) dengan predikat sebagai lulusan
terbaik dari Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan-
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pria ini mulai berkarir sebagai Peneliti pada Yayasan Mitra Rhino,
sebuah lembaga yang bergerak di bidang konservasi badak di
Indonesia (1999–2002). Perjalanan karir selanjutnya adalah sebagai
Pegawai Negeri Sipil di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan (2002–sekarang).
Jabatan sebagai Peneliti Madya bidang Konservasi Sumber Daya
Hutan didapat pada tahun 2010 dengan masa kerja sekitar delapan
tahun. Prestasi sebagai salah satu Peneliti Terbaik lingkup
Kementerian Kehutanan juga telah diperolehnya pada tahun 2011.

Selama berkarir sebagai peneliti, penulis sedikitnya telah


mempublikasikan 30 karya tulis ilmiah pada berbagai jurnal
terakreditasi dan 35 karya tulis pada media publikasi lainnya
(proseding dan majalah populer). Penelitian yang banyak dilakukan
adalah bidang ekologi dan konservasi satwa liar, jasa lingkungan,
dan pengelolaan kawasan konservasi. Selain meneliti, pria yang hobi
menjelajahi hutan ini juga sering diminta sebagai narasumber dan
pembimbing mahasiswa. Penulis aktif juga pada berbagai
organisasi, antara lain sebagai Anggota Dewan Kehutanan Daerah
Provinsi Sumatra Utara, Pengurus Forum Komunikasi Orangutan
Sumatra-Provinsi Sumatra Utara, dan Anggota Asosiasi Pemerhati
dan Ahli Primata Indonesia.

Siapa pun dapat berkomunikasi dengannya melalui email:


wkuswan@yahoo.com atau wkuswan@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai