PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultur
berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan
menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah dan
mengerjakan berbagai hal-hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu kebudayaan
sangat beragam. Hal ini seperti peryataan Kroeber dan kluckhohn (Alisjahbana, 1986:207-208)
dalam Endaswara, 2006:4) menyebutkan definisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi tujuh
hal, yaitu :
Kebudayaan sering menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan dan dihilangkan,
karena mempunyai nilai yang begitu tinggi dalam suatu kelompok. Seperti yang disebutkan
bahwa dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia.
1
Begitu juga kebudayaan masyarakat Gayo ditemukan oleh masyarakat Gayo dan
dijadikan sebagai kebudayaan. Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di
wilayah ini. Menurut Hakim, (1998:8) Adat istiadat sebagai salah satu unsur Kebudayaan Gayo
Menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedele (Kemulian karena Mufakat, Berani
Karena Bersama), Tirus lagu gelas belut lagu umut rempak lagu resi susun lagu belo (Bersatu
Teguh) Nyawa sara pelok ratep sara anguk (kontak batin) atau tekad yang melahirkan kesatuan
sikap dan perbuatan, banyak lagi kata-kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan
kekeluargaan serta keterpaduan. Pemerintah dan ulama saling harga menghargai serta
menunjang pelaksanaan agama.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kebudayaan Gayo sangat beragam mulai dari tarian, musik, dan teater. Tarian yang
terdapat pada masyarakat Gayo adalah tari Saman, tari guel, Tari bines, tari munalo
Didong,Tari Sining, Tari Turun Ku Aih Aunen, Tari Resam Berume, Tuak Kukur, Melengkan
dan Dabus. Unsur kebudayaan yang ada di Gayo sangat berkaitan erat dengan Al Qur`an dan
Hadist. Kehidupan masyarakat Gayo yang menjadi panutan ataupun pedoman adalah Al
Qur`an dan Hadist sehingga diterapkan didalam kebudayaan Gayo, adat istiadat maupun sistem
pemerintahannya.
Masyarakat Gayo sangat fanatik terhadap Agama Islam, sehingga semua bersifat
Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam), baik adat, budaya dan sistem pendidikan semua
berlandaskan Agama Islam. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:19), sebelum Agama Islam
masuk kedaerah Gayo, masyarakat setempat sebelumnya menganut animisme. Agama Islam
masuk ke Perlak Aceh pada abad ke-8 Masehi, suku Gayo yang bermukim disana secara
berangsur-angsur mulai memeluk Agama Islam.
Ajaran Islam didakwahkan ke kerajaan Lingga (Lingge) Gayo oleh ulama kerajaan
Perlak, pada tahun 181 atau 808 Masehi. Menurut Mahmud Ibrahim, 2007:19), Agama Islam
pertama kali dibawa oleh orang-orang Arab, Persia, Gujarat dan India, mereka berdakwah pada
masyarakat Gayo sehingga masyarakat Gayo menerima ajaran Agama yang dengan baik.
Setelah kedatangan Agama Islam ke daerah Lingga (Lingge). Raja Lingga (Reje
Lingge) beserta masyarakatnya menganut ajaran Islam dengan baik. Tidak lepas pula dalam
keluarga raja Lingga, raja Lingga mempunyai enam orang anak, yaitu Tertua seorang wanita
bernama Empu Beru atau Datu Beru, Sebayak Lingga, Meurah Johan/ Johansyah, Meurah Silu
/ Malikussaleh, Meurah Lingga, dam Meurah Mege (Ensiklopedia Aceh, 16 Juni 2009).
Kerajaan Lingga (di Buntul Linge, Tanah Gayo) lebih dulu mengenal Islam daripada
kerajaan-kerajaan di Aceh. Disebutkan juga Raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan
keturunan raja Lingga (Seuramoe Aceh, 24 Januari 2010).
Anak raja Lingga (Lingge) Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak
leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri disana dan dikenal dengan Raja Lingga
3
Sibayak. Sedangkan Meurah Lingga tinggal di Lingge Gayo, yang selanjutnya menjadi raja
Lingaa turun termurun.
Muerah Lingga menjabat menjadi raja Lingga ke-2, sampai dengan ke-8. Raja Lingga
ke-8 menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor
Baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga 8 diangkat
menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut.
Anak raja Lingga yang lain seperti Meurah Silu / Sultan Malikussaleh (dalam bahasa
Arab), dia merupakan orang Gayo yang menyatukan sejumlah kerajaan kecil di daerah
Peureulak, yang akhirnya menjadi Sultan Pertama di Kerajaan Pasai yang berada di daerah
Samudera Geudong, Aceh Utara.
Sedangkan Meurah Johan atau Johansyah yang kemudian menjadi Sultan Aceh Pertama
yang memimpin Kesultanan Kutereje / Kerajaan Aceh Darussalam (Seuramoe Aceh, 24 Januari
2010). Meurah Johan / Johansyah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dari tahun 1205
Masehi / 601 Hijriah sampai tahun 1234 Masehi.
Masyarakat Gayo menempuh kehidupan baru secara tertib dan tentram, karena diikat
oleh dasar agama dan adat istiadat secara terpadu. Prinsip itu dituangkan dalam 45 pasal adat
masyarakat kerajaan Lingga (Lingge) yang ditetapkan dalam musyawarah merah (reje), ulama,
pemimpin adat dan cerdik pandai.
Pada tahun 1115 M Setelah melalui proses panjang selama tiga setengah abad. Prinsip
dimaksud dapat dihayati dari ungkapan adat seperti (Agama urum edet, lagu zet urum sifet,
agama kin senuwen, edet ken peger) artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat,
agama sebagai tanaman, adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut jelas dan tegas, bahwa
keterpaduan di antara adat dan syaria`at Islam sangat erat dan saling menunjang. Fungsi adat
untuk menunjang pelaksanaan ajaran Agama Islam (Mahmud Ibrahim, 2005: 5).
Agama Islam dalam masyarakat Gayo adalah darah di kehidupan masyarakat sehingga
faktor budaya, pendidikan, dan kesenian selalu berkaitan dengan Agama dan norma yang ada.
Masyarakat Gayo sangat memperhatikan nilai norma dalam kehidupan sehari hari. Ini
4
dimaksudkan agar agama tetap teguh dan adat bisa berjalan dengan agama, karena ( kuet edet
muperala agama, rusak edet rusak agama) kuat adat semakin teguh agama, rusak adat rusak
agama dan semua sistem masyarakat.
Masyarakat Gayo tidak hanya mengenal sistem adat, nilai norma tetapi juga mengenal
sistem nilai budaya Gayo. Menurut C. Snock, 1996:XII), Sistem nilai ini yang selalu harus
dijaga dan direalisasikan dalam masyarakat. Karena faktor ini sangat berpengaruh pada sistem
baik secara individu maupun sistem bermasyarakat dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat
Gayo mempunyai skema sistem nilai budaya Gayo, yaitu :
Keterangan :
Tp : Tertip (Tertib)
St : Setie (Setia)
An : Amanah (Amanah)
Bs : Bersikemelen (Kompetitif)
Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi
menjadi sebuah nilai ”utama” yang disebut ”harga diri” (mukemel = M). Untuk mencapai harga
diri itu, seseorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut
nilai penunjang. Nilai-nilai penunjang itu adalah ”tertib” (Tp), ”setia”.
5
B. 7 (Tujuh) Unsur Kebudayaan Suku Gayo
Etnik Gayo merupakan satu suku tang terdapat didataran tinggi Gayo, yaitu berada di
jantung Provinsi Aceh. Masyarkat Gayo merupakan bagian dari melayu tua, menelusuri asal
usul orang Gayo, tidak banyak sumber atau artefak, yang ada hanya cerita atau yang dikenal
dengan istilah Kekeberen atau cerita turun temurun dari keturunan Raja Lingga (Reje Lingge).
Asal suku Gayo adalah dari negeri ROM (Romawi). Masyarakat Gayo istilah Romawi sangat
sulit disebut jadi disingkat dengan istilah ROM. Raja permata kerajaan Lingga adalah anak dari
raja Romawi kuno, bertempat dikota Istambul Turki. Begitu juga dengan asal kata Lingge yang
artinya adalah suara. Karena menurut pendapat masyarakat tersebut, Reje Lingge (Raja Lingga)
mendengar suara tetapi tidak ditemukan dari mana arah suara tersebut. Sehingga raja Lingga
(Reje Lingge) memberi nama kerajaannya dengan nama Lingge (suara). Raja Lingga (Reje
Lingge) bernama Adi Genali (Mahmud Ibrahim 2007:14).
1. Sistem kepercayaan
Latar belakang sejarah Gayo, semua suku Gayo yang ada sekarang berasal dari satu
kerajaan, yaitu kerajaan Lingga (Lingge) yang berpusat di Nenggeri Antara yaitu Lingga
(Lingge), sekarang berada di kecamatan Isak Takengon Aceh Tengah. Menurut Mahmud
Ibrahim (2007:12) Kerajaan Lingga (Lingge) dahulu menganut sistem kepercayaan yaitu
animisme, sedangkan raja (reje) menganut Agama Budha. Pada abad ke-8 Islam baru masuk
ke dataran tinggi Gayo yaitu dibawa oleh para pedagang melalui Perlak, sehingga sampai di
Kerajaan Lingga (Lingge). Agama Islam di bawa kekerajaan Lingga (Lingge) adalah Syech
Abdul Khadir dan pedagang lainnya. Islam berkembang pesat sampai sekarang di dataran
tinggi Gayo.
6
Dataran tinggi Gayo juga terkenal dengan hasil palawijanya yang mengisi semua sektor
pasar di provinsi Aceh, rata-rata hasil palawija yang dihasilkan dikirim ke ibukota provinsi
untuk menunjang kebutuhan masyarakat perkotaan.
Dataran tinggi Gayo memiliki berbagai potensi yang dikembangkan masyarakat, ini
tergantung pada tempat dan kondisinya, karena tidak semua lahan yang ada dataran tinggi Gayo
dapat ditanam perkebunan kopi, ada beberapa sektor yang dipakai sebagai tempat untuk
berternak, seperti daerah Isak, Lingge, dan Lumut di kecamatan Isak, mayoritas penduduk
disini mengembala ternak, seperti, kerbau, sapi, domba, biri-biri, dan kambing.
Sektor pariwisata, di dataran tinggi Gayo mempunyai danau laut tawar, pantai menye,
goa putri pukes, legenda loyang Datu, makam Reje Lingge, home industri, air terjun, pantan
terong, kuliner belum lagi di daerah kabupaten Bener Meriah, Gayo Lues dan lainnya. Objek
wisata ini juga merupakan penunjang mata pencaharian masyarakat sekitar (Wikipedia, 15
September 2010).
3. Bahasa
Suku yang mengunakan bahasa Gayo tergolong sebagai suku bangsa asal yang
mendiami dataran tinggi Gayo, yaitu wilayah bagian tengah provinsi Aceh. Wilayah
pemukiman mereka terbagi kedalam tiga kelompok. Pertama kabupaten Aceh Tengah dan
kabupaten Bener Meriah yang disebut Gayo Lut atau Gayo deret, kedua kabupaten Gayo Lues
atau Gayo Belang, dan yang ketiga adalah kabupaten Aceh Timur disebut dengan Gayo Kalul
atau Gayo Serbejadi.
Terjadinya pengelompokan ini karena letak geogerafisnya yang relatif jauh terpisah
serta tidak tersedianya sarana tranportasi penghubung antar ketiga kelompok tersebut pada
zaman dahulu. Keadaan ini menimbulkan anggapan seolah-olah etnik Gayo itu terpisah satu
sama lainnya. Sarana penghubung yang tidak tersedia dalam jangka waktu yang panjang telah
menyebabkan masing-masing kelompok tersebut mengembangkan variasi-variasi
kebudayaannya (Melalatoa : 1982). Variasi ini muncul sesuai dengan fisik dan lingkungan
sosial yang berbeda. Hal ini terlihat adanya perbedaan kecil antar ketiga kelompok tersebut,
misalnya dalam bentuk kesenian dan dialek lingguistik.
7
4. Kesenian
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah
kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang.
Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut
didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi
ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan
dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines,
Tari Guel, Tari munalu, sebuku (pepongoten), dan melengkan (seni berpidato berdasarkan
adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena orang Gayo kaya akan seni
budaya.
5. Adat Istiadat
Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunyai sistem adat, begitu juga di dataran
tinggi Gayo mempunyai adat sesuai dengan kepercayaan yang di anutnya. Menurut Mahmud
Ibrahim (2007:5) pada sekitar tahun 1115 M, raja (reje) Islam kerajaan Lingga yang oleh
penduduk Negeri Lingga (Negeri Lingge) disebut “petu Merhum Mahkota Alam” untuk
pertama kalinya merumuskan norma adat bersama para ulama dan pemimpin masyarakat
lainnya. Isi rumusan adat yang disusun di istana raja Lingga (reje Lingge) Umah Adat Pitu
Ruang Nenggeri Lingge oleh raja Petu Merhum Mahkota Alam. Semua adat terdiri dari 45
pasal berbahasa Gayo dan tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran aturan adat istiadat
dari zaman dahulu hingga sekarang tetap dilakasanakan pasal demi pasal dalam semua keadaan
mengenai keadatan.
Empat puluh lima pasal adat negeri Lingga (edet Nenggeri Lingge), munatur murip
sibueten sarak opat, kin penguet ni akhlak menegah buet, menyoki belide remet, melumpeti
junger, mubantah hakim, menumpang bele,, munyugang edet i engon ku bekase (tata krama
dalam sistem bermasyarakat, untuk menjaga ahlakulkarimah, tidak membuat kekerasan atau
pemerasan, tidak mengganggu masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan,
supaya adat berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).
Kata kiasan adat berbicara tidak mutlak-mutlakan, berjalan memakai tongkat, hakikat
sesuatu disimpan dengan baik, syariat dilaksanakan dengan tepat, karena hukum Islam
mengenal mana yang hak mana yang batil sementara adat membedakannya. Sesuatu yang wajib
8
harus dilaksanakan pada tempat dan waktunya, sebaliknya yang bukan wajib dapat dilakukan
kapan dan dimana saja.
Adat istiadat masyarakat Gayo semua unsur, mulai dari hal yang terkecil sampai yang
terbesar mempunyai aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Menurut Hakim, (1998:12-13)
fungsi dari adat dan makna adat adalah:
a. Adat berasal dari bahasa arab, dengan pengertian melakukan berbagai kebiasan-
kebiasaan. Adanya adat dikarenakan manusia hidup berkelompok-kelompok, lalu
membuat berbagai keputusan disebut peraturan, untuk mengatasi kepentingan mereka
dan dipandang sebagai undang-undang tanpa tertulis.
b. Adat Gayo bernilai spiritual dan beriorientasi kepada ahlakulkarimah, membentuk
pergaulan yang berlandaskan agama, adat melaksanakan amar makruf nahi mungkar
(salah bertegah benar berpapah). Adat Gayo, jelas menunjang agama (pengertian
agama). Perlu disimak adat adalah habluminannas.
c. Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial) masyarakat,
terikat dengan : “murip ikanung edet, mate ikanung bumi, murip benar matee suci”
(hidup selalu dikandung adat, mati dikandung bumi / tanah, hidup harus benar, mati
harus suci).
d. Adat adalah aturan ciri khas dari berbagi suku, tata kelakuan dan kebiasaan. Bagi suku
Gayo adat itu: “nge mucap ku atu mulabang ke papan” (sudah melembaga).
e. Adat adalah aturan yang berlaku di daerah tritorial masing-masing, berfungsi laksana
undang-undang.
f. Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam melaksanakan sesuatu perbuatan.
g. Adat Istiadat adalah kata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke
generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku
masyarakat.
Seperti kata pepatah, bahwa agama dengan adat seperti zat dengan sifat. Dalam bahasa
berbunyi sebagai berikut:
9
Edet menukum musifet ujud
Berselisih pendapat tentang adat kembalikan kepada empunya (yang membuatnya Reje,
petue, ulama dan masyarakat)
10
Dari pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa adat didalam masyarakat Gayo sangat kuat
dan harus direalisasikan, jika suatu adat menjadi keliru maka akan dikembalikan kepada Al
Qur`an dan yang membuat adat tersebut.
6. Sistem Kemasyarakatan
Sistem yang ada didataran tinggi Gayo dahulu dikenal dengan sistem kerajaan, yang
dikenal dengan dinasti Lingga. Sistem pemerintahan kerajaan / tradisional berupa unsur
kepemimpinan yang disebut sarak opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu), terdiri dari:
raja (Reje),Orang yang dituakan (Petue), Imam (Imem), dan rakyat (Rayat). Mahmud Ibrahim,
(2007:63) menyatakan adapun sarak opat tersebut adalah:
Reje (raja) dan Imem (ulama) memiliki fungsi dan berperan sangat penting dalam
pemerintahan, karena raja (Reje) melaksanakan prinsip : edet mu nukum bersifet wujud (adat
menjatuhkan hukuman karena ada bukti yang jelas). Imem (ulama) melaksanakan prinsip :
ukum mu nukum bersifet kalam (hukum Islam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah
dan Sunnah Rasulullah).
Keduanya harus serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan : Agama iberet empus,
edet ibarat peger (Agama seperti kebun / tanaman, edet seperti pagar tanaman. Menurut
Melalatoa dalam Zainal Abidin, (2002:27) masyarakat Gayo sebagai mana masyarakat Aceh
lainnya adalah masyarakat yang tergolong taat menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini
karena adanya pemahaman ditengah-tengah masyarakat bahwa sistem budaya mereka berasal
dari dua sumber, Pertama sumber leluhur yang bermuatan pengetahuan, keyakinan nilai,
norma-norma yang kesemuanya dinyatakan edet (adat) serta kebiasaan yang tidak mengikat
yang disebut resam, Kedua sumber Agama Islam berupa Akidah, sistem keyakinan, nilai-nilai
dan kiadah-kaidah agama disebut dengan hukum.
11
Di samping itu suku Gayo juga mengenal prinsip-prinsip adat yang mereka anut. Hal
ini untuk meluruskan prinsip-prinsip adat yang ada, Zainal Abidin (2002:28) menyatakan
bahwa prinsip-prinsip adat tersebut meliputi empat hal yaitu:
a. Dunie terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak atas wilayah
b. Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah.
c. Bela mutan adalah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang
disakiti atau di ganggu.
d. Malu tertawan adalah harga diri yang terusik karena kaum wanita atau
kelompoknya diganggu atau difitnah orang lain.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang
dipimpin oleh mukim.).
7. Ilmu pengetahuan
Sistem dalam masyakat Gayo dahulu mengenal beberapa teknologi yang manual,
seperti dalam bertani, masyarakat mengunakan tenaga kuda, kerbau dalam mengarap sawah.
Begitu juga dengan yang lain seperti kerajinan, yaitu seni arsitektur, seni ukir, sulaman,
anyaman, dan seni keramik. Dahulu masyarakat selalu mengunakan peralatan tradisonal.
Para petani yang dahulu mengunakan tenaga kuda / kerbau beralih mengunakan mesin
traktor untuk mengarap sawah, para pengrajin dari alat manual beralih ke alat modern.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat tidak pernah lepas dari lingkungan budaya, karena masyarakat Gayo selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Sistem dalam masyarakat Gayo mengenal sistem
pemerintahan, adat istiadat, teknologi, budaya, bahasa dan religiusitas. Semua itu merupakan
sistem yang ada di dataran tinggi Gayo.
Pemerintahan masyarakat Gayo zaman dahulu dikenal dengan Sarak Opat (empat unsur
dalam satu ikatan terpadu). Adapaun perangkatnya yaitu; raja, imam, petue dan masyarakat.
Lembaga ini yang selalu mengurus dan membina masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dataran tinggi Gayo.
Peralihan dari sistem kerajaan merupakan sebuah revolusi yang terjadi di dataran tinggi
Gayo, walaupun perubahan yang terjadi tetapi nilai adat dan nilai budaya tidak pernah lepas
dari kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo. Nilai adat, budaya selalu menjadi pedoman
dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber
yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari
makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka
makalah.
13