Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata Gayo mengacu pada nama dataran tinggi di Provinsi Aceh, nama
suku yang bermukim di dataran tinggi tersebut, dan nama bahasa yang digunakan
suku tersebut. Jadi, dapat dikatakan Dataran Tinggi Gayo ditempati Suku Gayo
yang berkomunikasi menggunakan bahasa Gayo. Dataran tinggi Gayo merupakan
bagian Bukit Barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Menurut
silsilah kekerabatan, bahasa Gayo termasuk subkelompok Bahasa Melayu
Polinesia Barat dalam rumpun Bahasa Austronesia (Bellwood, 2000:153).
Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga
dialek (Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo DialekGayo Lut dipakai oleh Suku Gayo
yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lues
dipergunakan di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo Dialek Serbejadi
dipergunakan di Kabupaten Aceh Timur. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut inilah
yang dijadikan sebagai objek kajian dalam penelitian ini, karena berada dalam
lingkungan Lut Tawar. Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah
juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan Budaya Gayo?
2. Bagaimana Objek Pemajuan Kebudayaan?
3. Sebutkan Tujuh Unsur Kebudayaan Gayo?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya Gayo


Budaya masyarakat Gayo merupakan suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh masyarakat Gayo dan diwariskan secara turun-temurun
dari generasi ke generasi. Budaya Gayo disebut juga tradisi, hukum adat,
kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat. Dalam praktiknya, istilah adat istiadat
mengandung arti luas, mencakup semua hal di mana suatu masyarakat atau
seseorang menjadi terbiasa untuk dapat melakukannya. Karena itu, adat istiadat
Gayo merupakan aturan yang bersendikan syariat Islam yang lazim dituruti,
dihormati, dimuliakan sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan hidup.
Kabupaten Aceh Tengah memiliki konsep dasar utama dalam pemajuan
kebudayaan yang khas, diantaranya: keramat mupakat, mukemel, alang tolung,
tertip bermajelis umet bermulie dan sumang 4 (opat). Secara garis besar di Gayo
terdapat tujuh ragam bentuk aturan dan pedoman dalam menjalankan roda
kehidupan, yakni ayat, hadis, ijma’, kiyes, atur, resam, dan inget, ketujuh ini
merupakan konsep adat – istiadat dalam kebudayaan Gayo yang tidak dimiliki
secara aturan hirargis di tempat lain di Indonesia.
Kabupaten Aceh Tengah memiliki ibu kota kabupaten yakni Takengon.
Kedudukan kota Takengon yang menjadi pusat kota dan pusat kesibukan
masyarakatmengakibatkan perpaduan budaya yang beragam. Perpaduan budaya
yang terdapat di pusat kota Takengon, meliputi seperti; China, Aceh, Batak, Jawa,
Sunda, Karo, dan Minang serta beberapa kebudayaan lainnya yang dapat
berpenguruh terhadap pemajuan kebudayaan Gayo. Keberagaman ini membuat
Gayo dan kabupaten Aceh Tengah semakin kaya dengan ornamen dan
kebudayaan lainnya yang saling bekerja sama antar satu dengan lainnya. Namun
dalam Proses akulturasi kebudayaan di kota Takengon kabupaten Aceh Tengah
membuat kabupaten Aceh Tengah semakin menguatkan tradisi aslinya, yakni adat
istiadat melalui budaya Gayo. Bentuk perpaduan budaya yang terdapat di
kabupaten Aceh Tengah adalah seperti dalam bidang seni, yakni penggunaan
rabana dari budaya Arab, berbalas pantun dari budaya Melayu.

2
2.2 Objek Pemajuan Kebudayaan
 Manuskrip
Manuskrip yang terdapat di Kabupaten Aceh diantaranya adalah
Kebudajaan Gajo, Atjeh, Gajo-En Alaslanden, Atjeh Als Land Voor Handel En
Bedrijf Door (Gajo), Indisghijdschrift (Gajo), Woordenboek (Kamus Gayo
Belanda), Resan I Gajo, Het Gajoland Enzijne, Bewoners, Saer Gayo 1, Saer
Gayo 2, Sejarah Daerah dan Suku Gayo, Die Gajolander, dan lain sebagainya.
 Tradisi Lisan
Tradisi lisan adat dan budaya Gayo di Kabupaten Aceh Tengah saat ini
diantaranya adalah Didong, Saer, Melngkan, Berijo-ijo, Bines, Kekeberan, Ure-
ure, Kenduri Ulu Ni Wih dan Peri Mestike.
 Adat Istiadat
Adat istiadat berkaitan dengan beberapa jenis budaya, yaitu; adat istiadat
tentang tata perilaku masyarakat, adat istiadat terkait perilaku terhadap agama,
perkawinan, gotong-royong, dan sebagainya. Namun sangat disayangkan karena
beberapa adat istiadat tersebut sudah mulai jarang dilaksanakan oleh masyarakat
suku Gayo sebagai pemilik murni adat istiadat tersebut.
 Ritus
Masyarakat Gayo memiliki berbagai banyak perayaan yang diwujudkan
dalam bentuk upacara atau ritual.
 Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan tradisional di Kabupaten Aceh Tengah diantaranya pada
peristiwa pernikahan diantaranya adalah Kerawang, yakni baju adat dan baju
upacara perkawinan,; makanan tradisional Gayo, dan lain sebagainya. Setiap ritus
yang dilaksanakan oleh masyarakat Gayo selalu ditilik dengan konsef-konsef
agama Islam. Jika ritual tersebut perlakuannya bertentangan dengan konsef
agama, maka ritual tersebut dikaji kembali, apakah ritual yang dikerjakan oleh
mereka benar dan baik atau tidak. Pada dasarnya konsep adat mereka tidak
terlepas dari konsep agama Islam, seperti basa edet mereka dikenal
dengan “edet orum ukum lagu zet orum sipet”, yakni agama dalam konteks ini
tidak saling terlepas satu sama lain.

3
 Teknologi Tradisional
Teknologi tradisional yang paling tinggi presentasi pembuat, pemelihara,
pembuat dan pemelihara serta penggunanya adalah; jala, segapa, dan wawu/ serue.
Teknologi tradisional masih relevan secara fungsional dalam mendukung
daya survive mayarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah, khususnya untuk sektor
pertanian dan mencari ikan di danau. Untuk teknologi produksi pertanian
khususnya di bidang berswah yang sudah tidak ada seperti mujik, ngoro, nengel,
mu-melah,munangin, munejes, nyerde, nyeras, mumelah danmudue. karena
teknologi tersebut selain tidak relevan dengan sistem irigasi dan proses produksi
juga tidak mendukung peningkatan capaian volume produksi. Untuk teknologi
yang masih bertahan seperti munoling, mubenuh, mumatal, nomang, ngona wih
atau mujeme, selain ramah lingkungan juga dapat digunakan sebagai alternatif
ketika teknologi modern mengalami masalah atau biaya operasionalnya cukup
tinggi. Begitu juga dengan teknologi tradisional di sektor kenelayanan, mereka
masih menggunakan teknologi tradisional sebagai alternatif dan juga sebagai
teknologi yang mendukung nuansa rekreatif bagi penikmat dunia kenelayanan di
kabupaten Aceh Tengah.
 Seni
Sebagai salah satu daerah beretnis Gayo, di Aceh Tengah, alat musik
tradisional sering juga ditampilkan saat ada upacara, pesta, dan ritual adat. Dan
beberapa jenis kesenian daerah ini sudah dikembangkan dalam bentuk yang lebih
populer bagi generasi muda saat ini. Salah satu kesenian khas di Kabupaten Aceh
Tengah diantaranya adalah Didong.
 Bahasa

Bahasa daerah yang terdapat di Kabupaten Aceh tengah adalah Bahasa


Gayo dengan empat bentuk dialek, yakni Bahasa Gayo Lut, Bahasa Gayo Deret,
Bahasa Gayo Toa, dan Bahasa Gayo Uken.

 Permainan Rakyat

Permainan Rakyat Gayo Kabupaten Aceh Tengah diantaranya adalah


Penter Kemili, Catur Kule, Gasing, Simang, Patok Lele, Kekulen Temuni,

4
Gegasak, Asin, Men jempung, Men Bebelen, Men Kasti Gayo, Eskot, Kekitiken,
Terbil dan Letep.

 Olahraga Tradisonal

Olahraga Tradisional Msyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah


diantaranya adalah Kasti, Kekulen, Asin, Rakit, Perau, melup atu Nyenum, Catur
Kule, Guel, Sining, Lumpet Tali dan Letep.

2.3 Tujuh Unsur Kebudayaan Gayo


Etnik Gayo merupakan satu suku tang terdapat didataran tinggi Gayo,
yaitu berada di jantung Provinsi Aceh. Masyarkat Gayo merupakan bagian dari
melayu tua, menelusuri asal usul orang Gayo, tidak banyak sumber atau artefak,
yang ada hanya cerita atau yang dikenal dengan istilah Kekeberen atau cerita
turun temurun dari keturunan Raja Lingga (Reje Lingge). Asal suku Gayo adalah
dari negeri ROM (Romawi). Masyarakat Gayo istilah Romawi sangat sulit disebut
jadi disingkat dengan istilah ROM. Raja permata kerajaan Lingga adalah anak
dari raja Romawi kuno, bertempat dikota Istambul Turki. Begitu juga dengan asal
kata Lingge yang artinya adalah suara. Karena menurut pendapat masyarakat
tersebut, Reje Lingge (Raja Lingga) mendengar suara tetapi tidak ditemukan dari
mana arah suara tersebut. Sehingga raja Lingga (Reje Lingge) memberi nama
kerajaannya dengan nama Lingge (suara). Raja Lingga (Reje Lingge) bernama
Adi Genali (Mahmud Ibrahim 2007:14). Tujuh Unsur Kebudayaan gayo adalah:
1. Sistem kepercayaan
Latar belakang sejarah Gayo, semua suku Gayo yang ada sekarang berasal
dari satu kerajaan, yaitu kerajaan Lingga (Lingge) yang berpusat di Nenggeri
Antara yaitu Lingga (Lingge), sekarang berada di kecamatan Isak Takengon Aceh
Tengah. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:12) Kerajaan Lingga (Lingge) dahulu
menganut sistem kepercayaan yaitu animisme, sedangkan raja (reje) menganut
Agama Budha. Pada abad ke-8 Islam baru masuk ke dataran tinggi Gayo yaitu
dibawa oleh para pedagang melalui Perlak, sehingga sampai di Kerajaan Lingga
(Lingge). Agama Islam di bawa kekerajaan Lingga (Lingge) adalah Syech Abdul
Khadir dan pedagang lainnya. Islam berkembang pesat sampai sekarang di dataran
tinggi Gayo.

5
2. Sistem mata pencaharian
Topografi alam yang berlembah lembah, berbukit-bukit dengan hamparan
kopi. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani kopi, peternak,
palawija, home industri, nelayan dan pedagang. Menurut Mahmud Ibrahim
(2007:60) Yang menonjol di dataran tinggi Gayo adalah perkebunan kopi yang
sangat bagus, juga didukung dengan tanah yang subur dan udara yang sejuk.
Dataran tinggi Gayo merupakan penghasil kopi terbesar diprovinsi Aceh, rata-rata
kopi yang dihasilkan diekspor keluar negeri seperti Jepang, Jerman, singapura,
Malaysia, Amerika, dan Belanda.
Dataran tinggi Gayo juga terkenal dengan hasil palawijanya yang mengisi
semua sektor pasar di provinsi Aceh, rata-rata hasil palawija yang dihasilkan
dikirim ke ibukota provinsi untuk menunjang kebutuhan masyarakat perkotaan.
Dataran tinggi Gayo memiliki berbagai potensi yang dikembangkan
masyarakat, ini tergantung pada tempat dan kondisinya, karena tidak semua lahan
yang ada dataran tinggi Gayo dapat ditanam perkebunan kopi, ada beberapa sektor
yang dipakai sebagai tempat untuk berternak, seperti daerah Isak, Lingge, dan
Lumut di kecamatan Isak, mayoritas penduduk disini mengembala ternak, seperti,
kerbau, sapi, domba, biri-biri, dan kambing.
Sektor pariwisata, di dataran tinggi Gayo mempunyai danau laut tawar,
pantai menye, goa putri pukes, legenda loyang Datu, makam Reje Lingge, home
industri, air terjun, pantan terong, kuliner belum lagi di daerah kabupaten Bener
Meriah, Gayo Lues dan lainnya. Objek wisata ini juga merupakan penunjang mata
pencaharian masyarakat sekitar (Wikipedia, 15 September 2010).
3. Bahasa
Suku yang mengunakan bahasa Gayo tergolong sebagai suku bangsa asal
yang mendiami dataran tinggi Gayo, yaitu wilayah bagian tengah provinsi Aceh.
Wilayah pemukiman mereka terbagi kedalam tiga kelompok. Pertama kabupaten
Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah yang disebut Gayo Lut atau Gayo
deret, kedua kabupaten Gayo Lues atau Gayo Belang, dan yang ketiga adalah
kabupaten Aceh Timur disebut dengan Gayo Kalul atau Gayo Serbejadi.
Terjadinya pengelompokan ini karena letak geogerafisnya yang relatif jauh
terpisah serta tidak tersedianya sarana tranportasi penghubung antar ketiga

6
kelompok tersebut pada zaman dahulu. Keadaan ini menimbulkan anggapan
seolah-olah etnik Gayo itu terpisah satu sama lainnya. Sarana penghubung yang
tidak tersedia dalam jangka waktu yang panjang telah menyebabkan masing-
masing kelompok tersebut mengembangkan variasi-variasi kebudayaannya
(Melalatoa : 1982). Variasi ini muncul sesuai dengan fisik dan lingkungan sosial
yang berbeda. Hal ini terlihat adanya perbedaan kecil antar ketiga kelompok
tersebut, misalnya dalam bentuk kesenian dan dialek lingguistik.
4. Kesenian

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo
adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan
cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari
saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi,
bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan,
sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari
Guel, Tari munalu, sebuku (pepongoten), dan melengkan (seni berpidato
berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena orang
Gayo kaya akan seni budaya.
5. Adat Istiadat
Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunyai sistem adat, begitu juga
di dataran tinggi Gayo mempunyai adat sesuai dengan kepercayaan yang di
anutnya. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:5) pada sekitar tahun 1115 M, raja
(reje) Islam kerajaan Lingga yang oleh penduduk Negeri Lingga (Negeri Lingge)
disebut “petu Merhum Mahkota Alam” untuk pertama kalinya merumuskan
norma adat bersama para ulama dan pemimpin masyarakat lainnya. Isi rumusan
adat yang disusun di istana raja Lingga (reje Lingge) Umah Adat Pitu Ruang
Nenggeri Lingge oleh raja Petu Merhum Mahkota Alam. Semua adat terdiri dari
45 pasal berbahasa Gayo dan tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran
aturan adat istiadat dari zaman dahulu hingga sekarang tetap dilakasanakan pasal
demi pasal dalam semua keadaan mengenai keadatan.

7
Empat puluh lima pasal adat negeri Lingga (edet Nenggeri Lingge),
munatur murip sibueten sarak opat, kin penguet ni akhlak menegah buet, menyoki
belide remet, melumpeti junger, mubantah hakim, menumpang bele,, munyugang
edet i engon ku bekase (tata krama dalam sistem bermasyarakat, untuk menjaga
ahlakulkarimah, tidak membuat kekerasan atau pemerasan, tidak mengganggu
masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan, supaya adat
berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).
Kata kiasan adat berbicara tidak mutlak-mutlakan, berjalan memakai
tongkat, hakikat sesuatu disimpan dengan baik, syariat dilaksanakan dengan tepat,
karena hukum Islam mengenal mana yang hak mana yang batil sementara adat
membedakannya. Sesuatu yang wajib harus dilaksanakan pada tempat dan
waktunya, sebaliknya yang bukan wajib dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
Adat istiadat masyarakat Gayo semua unsur, mulai dari hal yang terkecil
sampai yang terbesar mempunyai aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan.
Menurut Hakim, (1998:12-13) fungsi dari adat dan makna adat adalah:
1. Adat berasal dari bahasa arab, dengan pengertian melakukan berbagai
kebiasan-kebiasaan. Adanya adat dikarenakan manusia hidup
berkelompok-kelompok, lalu membuat berbagai keputusan disebut
peraturan, untuk mengatasi kepentingan mereka dan dipandang sebagai
undang-undang tanpa tertulis.
2. Adat Gayo bernilai spiritual dan beriorientasi kepada ahlakulkarimah,
membentuk pergaulan yang berlandaskan agama, adat melaksanakan amar
makruf nahi mungkar (salah bertegah benar berpapah). Adat Gayo, jelas
menunjang agama (pengertian agama). Perlu disimak adat adalah
habluminannas.
3. Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial)
masyarakat, terikat dengan : “murip ikanung edet, mate ikanung bumi,
murip benar matee suci” (hidup selalu dikandung adat, mati dikandung
bumi / tanah, hidup harus benar, mati harus suci).
4. Adat adalah aturan ciri khas dari berbagi suku, tata kelakuan dan
kebiasaan. Bagi suku Gayo adat itu: “nge mucap ku atu mulabang ke
papan” (sudah melembaga).

8
5. Adat adalah aturan yang berlaku di daerah tritorial masing-masing,
berfungsi laksana undang-undang.
6. Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam melaksanakan sesuatu
perbuatan.
7. Adat Istiadat adalah kata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari
generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan
pola-pola perilaku masyarakat.
6. Sistem kemasyarakatan
Sistem yang ada didataran tinggi Gayo dahulu dikenal dengan sistem
kerajaan, yang dikenal dengan dinasti Lingga. Sistem pemerintahan kerajaan /
tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat (empat unsur
dalam satu ikatan terpadu), terdiri dari: raja (Reje),Orang yang dituakan (Petue),
Imam (Imem), dan rakyat (Rayat). Mahmud Ibrahim, (2007:63) menyatakan
adapun sarak opat tersebut adalah:
1. Raja (Reje:kepala pemerintahan), musuket sifet (berfungsi memelihara
keadilan di kalangan rakyatnya).
2. Ulama (Imem), muperlu sunet (berkewajiban membimbing dan
melaksanakan ajaran Agama Islam terutama yang fardhu dan sunat yang
baik).
3. Petue (orang yang dituakan dan dipandang berilmu), musidik sasat
(meneliti dan mengevaluasi keadaan rakyat / masyarakat).
4. rakyat (Rakyat), genap mufakat (bermusyawarah dan mufakat bagi
kepentingan negeri atau seluruh masyarakat). Reje (raja) dan Imem
(ulama) memiliki fungsi dan berperan sangat penting dalam pemerintahan,
karena raja (Reje) melaksanakan prinsip: edet mu nukum bersifet wujud
(adat menjatuhkan hukuman karena ada bukti yang jelas). Imem (ulama)
melaksanakan prinsip : ukum mu nukum bersifet kalam (hukum Islam
menetapkan hukum berdasarkan firman Allah dan Sunnah Rasulullah).

Keduanya harus serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan : Agama


iberet empus, edet ibarat peger (Agama seperti kebun / tanaman, edet seperti
pagar tanaman. Menurut Melalatoa dalam Zainal Abidin, (2002:27) masyarakat
Gayo sebagai mana masyarakat Aceh lainnya adalah masyarakat yang tergolong

9
taat menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini karena adanya pemahaman
ditengah-tengah masyarakat bahwa sistem budaya mereka berasal dari dua
sumber, Pertama sumber leluhur yang bermuatan pengetahuan, keyakinan nilai,
norma-norma yang kesemuanya dinyatakan edet (adat) serta kebiasaan yang tidak
mengikat yang disebut resam, Kedua sumber Agama Islam berupa Akidah, sistem
keyakinan, nilai-nilai dan kiadah-kaidah agama disebut dengan hukum.
7. Ilmu pengetahuan
Sistem dalam masyakat Gayo dahulu mengenal beberapa teknologi yang
manual, seperti dalam bertani, masyarakat mengunakan tenaga kuda, kerbau
dalam mengarap sawah. Begitu juga dengan yang lain seperti kerajinan, yaitu seni
arsitektur, seni ukir, sulaman, anyaman, dan seni keramik. Dahulu masyarakat
selalu mengunakan peralatan tradisonal.
Perkembangan zaman yang semakin canggih tidak mengurangi keinginan
untuk mengikuti tantangan zaman. Yaitu masyarakat sudah beralih mengunakan
alat yang lebih modern untuk mengembangkan penghidupan dan kesejahteraan.
Para petani yang dahulu mengunakan tenaga kuda / kerbau beralih mengunakan
mesin traktor untuk mengarap sawah, para pengrajin dari alat manual beralih ke
alat modern.
Masyarakat tidak pernah lepas dari lingkungan budaya, karena masyarakat
Gayo selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Sistem dalam masyarakat
Gayo mengenal sistem pemerintahan, adat istiadat, teknologi, budaya, bahasa dan
religiusitas. Semua itu merupakan sistem yang ada di dataran tinggi Gayo.
Pemerintahan masyarakat Gayo zaman dahulu dikenal dengan Sarak Opat (empat
unsur dalam satu ikatan terpadu). Adapaun perangkatnya yaitu; raja, imam, petue
dan masyarakat. Lembaga ini yang selalu mengurus dan membina masyarakat
demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dataran tinggi Gayo. Peralihan dari
sistem kerajaan merupakan sebuah revolusi yang terjadi di dataran tinggi Gayo,
walaupun perubahan yang terjadi tetapi nilai adat dan nilai budaya tidak pernah
lepas dari kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo. Nilai adat, budaya selalu
menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

10
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Masyarakat Gayo merupakan bagian integral bangsa Indonesia. Mereka
memilikikarakter dan budaya yang spesifik sebagaimana masyarakat Indonesia
umumnya. Di antara sistem budaya yang telah berakar dalam masyarakat Gayo
sebagai pola dasar dan landasan hidup,baik dalam pergaulan, kekerabatan, sosial
kemasyarakatan, maupun pengetahuan, keyakinan, nilai, dan aturan yang menjadi
acuan tingkahlaku dalam kehidupan masyarakat. Budaya dapat menentukan
hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan untuk ditentukan baik
buruknya dan menghendaki terciptanya masyarakat berakhlak, 2 berkarakter,
beretika, aman, damai dan sejahtera lahiriah dan batiniah. Budaya menjadi ukuran
nilai apakah seseorang berperilaku tertib atau tidak dalam kehidupan sosial
masyarakat Gayo di Aceh.

3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,khususnya bagi
pemakalah. Dan dalam penulisan dan penyusanan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu pemakalah mengharapkan kritikan dan saran yang
bersifat membangun agar dalam pembuatan makalah yang berikutnya dapat
menjadi lebih baik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap
Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh.
Yogyakarta: Yayasan Nadia, 2004.
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Post Modernisme. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1995.
Abubakar, al-Yasa. Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqih
dalam NegaraBangsa. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam NAD, 2008.
Ali, Abdurrahim. “Peranan Islam Melalui Adat Gayo dalam Pembangunan
Mayarakat Gayo,” Makalah Seminar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan,
pada tanggal: 20-24Januari 2006 di Takengon.
Baihaqi, A.K. Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Pedagogis
Islam. Jakarta:Darul Ulum Press, 2003.
Bowen, John R. Muslim Trough Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society.
Princeton,New Jersey: University Press, 1991.
Bowen, John.R. Sumatran Politics and Poetics, Gayo History, 1900-1989. New
Haven andLondon: Yale University Press, 1991.
Harahap, Syahrin. “Guru di Tengah Restorasi Karakter Bangsa,” Makalah
Seminar NasionalTenaga Kependidikan dan Pembangunan Karakter
Bangsa STAI al-Hikmah Medan,4 April 2012.
Hawari, Dadang. Al-Qur’an, Ilmu Kedoktoren Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Himpunan Qanun Kabupaten Aceh Tengah. Takengon: Sekretariat Daerah
Kabupaten AcehTengah, 2002.
Hurgronje, C. Snouck. Gayo: Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke-20, terj.
Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

12
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan

Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan

penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk

maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun

isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang

saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca

untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan makalah ini.

Bireuen, 30 Juni 2019

ii
13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

BAB 1I PEMBAHASAN .................................................................................. 2


2.1 Pengertian Budaya Gayo ............................................................................... 2
2.2 Objek Pemajuan Kebudayaan ....................................................................... 3
2.3 Tujuh Unsur Kebudayaan Gayo .................................................................... 5

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 11


3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 11
3.2 Saran .............................................................................................................. 11
Daftar Pustaka

iii

14
BUDAYA GAYO

DISUSUN
OLEH

NAMA : MULYADIARIYA
NPM : 150410073
PRODI : ADM NEGARA
MK : PENGANTAR ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS ALMUSLIM
BIREUEN - ACEH
2019

15

Anda mungkin juga menyukai