Indonesia sudah mendapat masalah gerakan separatis. Bahkan masalah separatis ini sudah
muncul sejak negara kita tercinta ini terbilang masih cukup muda. Tentara negara ini
memiliki banyak pengalaman untuk menyelesaikan banyak masalah separatis. Contohnya
seperti pemberontakan Republik Maluku Selatan, Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan
Aceh Merdeka.
GAM berdiri karena rakyat Aceh merasa kecewa pada pemerintah RI. Kekecewaan ini terjadi
karena beberapa faktor. Faktor pertama yaitu masalah agama. Pemerintah menolak
keinginan keinginan rakyat Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Maksud Aceh tidak ingin
memisahkan diri Republik Indonesia tapi hanya diberi ijin untuk menerapkan syariat Islam
spesial hanya di wilayahnya. Sebenarnya Aceh memang lekat dengan Islam karena secara
historis merupakan wilayah dari Kesultanan Samudra Pasai yang menerapkan syariat Islam
di pemerintahannya. Kemudian adanya kebijakan fusi partai dan semua aspirasi rakyat Aceh
harus masuk ke Partai Persatuan Pembangunan.
Faktor kedua yaitu tidak adilnya pemerintah RI pada masyarakat Aceh atas bagi hasil
pengolahan sumber daya alam yang diambil dari Aceh. Eksplorasi Sumber daya alam di Aceh
memang memberikan keuntungan yang sangat banyak. Pada tahun 1969 ditemukan ladang
gas baru di daerah Arun. Ladang gas ini diperkirakan bisa diolah selama tiga puluh tahun.
Nilai produksi pertahun pun cukup besar yaitu rata-rata US$ 31 miliar per tahun. Berarti jika
tiga puluh tahun maka bisa mendapatkan US$ 93 miliar. Bahkan Hasan di Tiro menganggap
para orang Jawa neokolonialis karena sudah mengeksploitasi kekayaan alam di Aceh tanpa
mempedulikan penduduk asli Aceh.
Membicarakan peperangan antara RI dan GAM rasanya seperti membuka luka lama yang
telah mengering. Luka historis yang terjadi karena konflik yang kejam dan berlangsung
selama hampir tiga puluh tahun. Jika kita cari hubungannya hingga ke belakang, munculnya
peperangan tersebut disebabkan oleh kecewanya rakyat Aceh atas kebijakan tidak adil yang
dilakukan oleh pemerintah pusat RI. Berikut adalah beberapa penyebab peristiwa
pelanggaran Hak Azasi Manusia di tanah Aceh pada 1990.
Selain gas, di Aceh masih ada banyak manufaktur yang sangat berprospek. Contohnya
seperti PT Aceh Asean Fertilizer, PT. Pupuk Iskandar Muda, PT dan PT Kraft Aceh. Selain
pupuk, produksi hutan Aceh juga sangat banyak dan menguntungkan. Pada tahun 1997
pendapatan mencapai Rp. 1 triliun pertahun. Sayangnya, melimpahnya sumber daya alam di
tanah Aceh tidak memberikan manfaat ke tanah dan masyarakat Aceh sendiri. Kondisi yang
tidak adil ini semakin parah karena munculnya berbagai macam siksaan psikis dan fisik yang
dilakukan oleh militer kepada rakyat Aceh.
Demikian informasi tentang penyebab peristiwa Aceh 1990. Penyebab peristiwa Aceh 1990
perlu diketahui agar pembaca bisa memahami banyak faktor yang menjadi penyebab
gerakan separatisme bisa terbentuk dan menjaga persatuan dan kesatuan NKRI agar bisa
mencegah agar Indonesia ini tidak hancur berkeping-keping. Mari kita rawat negara ini
dengan benar supaya Indonesia. Sebelum GAM, salah satu kasus yang ditangani pemerintah
tentang separatis adalah upaya pemerintah dalam menghadapi pemberontakan Andi Azis.
Selain GAM, Aceh juga memiliki warna-warni sejarah yang hebat. Seperti penyebab perang
Aceh, sejarah Partai Aceh, bangunan bersejarah Aceh, sejarah perang Aceh melawan
Belanda, sejarah museum tsunami Aceh dan peninggalan kerajaan Aceh.
Konflik Aceh - Setelah Perang Dingin kita banyak menyaksikan berbagai konflik yang terjadi
di dalam sebuah Negara, seperti halnya pada Yugolslavia, Kroasia, Macedonia, Bosnia dan
Indonesia. Konflik yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah konflik Aceh dimana dalam
konflik tersebut telah memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban materi.
Konflik atau Pemberontakan di Aceh antara tahun 1976 hingga tahun 2005 dikobarkan oleh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hal tersebut untuk mendapatkan kemerdekaan dari
Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan GAM, merupakan
organisasi separatisme yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan didirikannya
GAM adalah untuk mengupayakan Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan membuat negara kesatuan sendiri. Gerakan ini juga dikenal dengan nama
Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).
Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa kecewa
atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di
bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini berpendapat bahwa telah terjadi
kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam tanah Aceh. Untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan di
Tiro kemudian membuat gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan Hasan Tiro ini semakin
memuncak setelah pemerintah orde baru meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak
bumi di Aceh Utara pada awal 1970an.
Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh dukungan
yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum terselesaikan secara tuntas
di zaman orde lama. beberapaTokoh DI/TII yang gagal melakukan pemberontakan di Aceh,
merasa bahwa dengan memberikan dukungan terhadap GAM, nantinya Aceh dapat
memperoleh kemerdekaannya.
Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang
merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun NGL adalah operator ladang gas
Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada saat itu jumlah pasukan yang
dimobilisasi oleh GAM sangatlah terbatas. Meskipun sudah ada ketidakpuasan cukup besar
di Aceh namun hal tersebut tidak mengundang partisipasi aktif massa untuk mendukung
GAM. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, pada awalnya hanya 70 orang yang
bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari
desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga Hasan di Tiro,
sementara sisanya bergabung karena faktor kekecewaan pada pemerintah pusat.
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah memukul
telak GAM, para komandan GAM banyak yang berakhir di dibunuh, pengasingan, atau
dipenjara. pengikut GAM lantas tercerai berai, bersembunyi dan melarikan diri. Para
pemimpinnya seperti Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM), Malik Mahmud
(menteri luar negeri GAM) dan Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM) sudah
kabur ke luar negeri dan kabinet GAM tang resmi tidak lagi menjalankan fungsinya.
Meskipun tidak mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih
agresif ini membuat pemerintah Indonesia bertindak represif. Periode antara tahun 1989-
1998 kemudian dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer
Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah Pemberlakuan
DOM di Aceh ini meskipun secara taktik sukses menghancurkan kekuatan gerilya GAM,
namun telah menyebabkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh dan rakyat Aceh
merasa terasing dari Republik Indonesia.
Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk
sipil Aceh kemudian mendukung dan membantu GAM membangun kembali organisasinya
saat militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden B.J.
Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto, saat itu Jakarta dilanda kerusuhan
dan terjadi ketidak stabilan pemerintahan dan politik di indonesia.
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde baru.
Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh
presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie sampai dengan presiden
Megawati telah mengupayakan berbagai kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan
tersebut tidak berjalan secara efektif.
Pada tahun 1999 saat terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif hal
tersebut memberikan kesempatan bagi GAM untuk melancarkan pemberontakan kembali di
Aceh, namun kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Sebenarnya pada
tahun 1999 diumumkan penarikan pasukan, namun karena situasi keamanan yang
memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang tentara dalam jumlah yang
besar ke Aceh. pada pertengahan 2002 GAM dikatakan telah menguasai 70 persen
pedesaan di penjuru Aceh.
Konflik ini sebenarnya masih berlangsung pada akhir 2004, namu saat itu tiba-tiba bencana
Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan memporakporandakan segala infrastruktur di
provinsi Aceh, sehingga secara tidak langsung bencana alam terbesar dalam sejarah
Indonesia tersebut berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh.
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003
menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. International Crisis
Group (ICG) melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM
terganggu secara serius.
GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan
hilang sepenuhnya. Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua
komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik)
dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai
izin komandan wilayah. Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe (subdistrik)
memiliki otonomi komando yang besar sehingga mampu melancarkan aksi militer dengan
kemauannya sendiri.
Menurut Komandan Jenderal ABRI saat itu (Endriartono Sutarto), pasukan keamanan
Indonesia telah mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang. Meski banyak yang
meragukan keakuratan jumlah tersebut, namun mayoritas pemantau sepakat bahwa
tekanan militer yang baru terhadap GAM pasca penerapan darurat militer telah
memberikan pukulan telak dan kerugian besar bagi GAM.
Posisi pemerintah sangat jelas disini. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, beberapa hari setelah
tsunami dengan jelas mengumumkan bahwa perdamaian harus segera dilakukan. Bagi Jusuf
Kalla, sangat mustahil membangun puing-puing reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan
GAM masih bersebrangan. bencana Tsunami yang dahsyat juga menelan ratusan ribu
korban jiwa dari kedua belah pihak sehingga gencatan senjata dan perjanjian damai
merupakan kebutuhan bersama untuk membangun Aceh.
Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004, dan Keseriusan nya dalam Resolusi Damai
Kemenangan pemilu presiden 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla
mendorong kebijakan pemerintah untuk melakukan negosiasi untuk mencapai
perdamaian. Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan
Kalla tahun 2004 sebagai prakarsa upaya damai konflik Aceh yang berakhir dengan
perjanjian resmi.
Sejak dari akhir Januari hingga Juli 2005, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla sangat serius melakukan Perjanjian damai dan mulai melakukan beberapa babak
pembicaraan informal dengan pihak GAM untuk melakukan perundingan sebagai cara
damai guna menyelesaikan konflik di Aceh. Pembicaaan informal ini difasilitasi oleh CMI
yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari (mantan pesiden Finlandia). Dimana pembicaraan /
perjanjian damai tersebut dikemudian hari dikenal dengan nama perjanjian Helsinki.