Latar belakang kemunculan Gerakan Aceh Merdeka adalah konflik yang bersumber dari
perbedaan pandangan tentang hukum Islam, kekecewaan tentang distribusi sumber daya
alam di Aceh, dan peningkatan jumlah pendatang dari Jawa.
Pemerintah pusat saat itu disebut sentralistis yang memicu tumbuhnya rasa kekecewaan di
benak masyarakat Aceh.
Sayangnya, saat itu cara mengatasi Gerakan Aceh Merdeka yang diambil oleh pemerintah
pusat kurang tepat hingga muncul perlawanan yang kemudian dimanfaatkan kelompok
tersebut untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pada akhirnya konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini justru merugikan kedua belah
pihak dan telah menelan nyawa sebanyak hampir 15.000 jiwa.
Setelah pembentukan GAM mulai adanya perbedaan keinginan antara pemerintah RI dan
GAM, konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini telah menjatuhkan hampir 15.000 jiwa.
Organisasi tersebut membubarkan gerakan separatisnya setelah terjadi Perjanjian Damai
2005 dengan pemerintah Indonesia. GAM kemudian berganti nama menjadi Komite
Peralihan Aceh.
Jumlah pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang
adalah anggota kelas ekonomi atas dan menengah warga Aceh. Kabinet pertama GAM,
yang diwujudkan oleh di Tiro di Aceh selang tahun 1976 dan 1979, terdiri dari tokoh
pemberontakan Darul Islam berikut ini:
* Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Luhur
* Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
* Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan
Pada kesudahan tahun 1979, aksi penekanan yang dipertontonkan militer Indonesia
telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM hasilnya di pengasingan, dipenjara,
atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi. Para
pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud
(menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah
melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli selesai berfungsi.
Walaupun gagal mendapatkan dukungan yang lebar, aksi himpunan GAM yang semakin
sifat menyerang ini menciptakan pemerintah Indonesia untuk memberlakukan aksi represif.
Periode selang tahun 1989 dan 1998 kesudahan menjadi dikenal sebagai era Daerah
Operasi Militer (DOM) Aceh saat militer Indonesia meningkatkan operasi
kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini, walaupun secara taktik sukses menghancurkan
daya gerilya GAM, telah berakibat korban di kalangan masyarakat sipil lokal di Aceh. Sebab
merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, masyarakat sipil
Aceh kesudahan memberi dukungan dan menolong GAM mendirikan kembali organisasinya
saat militer Indonesia nyaris seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie
pada kesudahan era 1998 setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah entah
dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar),
ditangkap (Ligadinsyah Ibrahim) atau lari (Robert, Arjuna dan Daud Kandang)
Selama fase ini, berada dua periode penghentian konflik singkat: adalah "Hentian
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan
Penghentian Permusuhan") yang hanya berlanjut selang Desember 2002 saat
ditandatangani dan hasilnya pada Mei 2003 saat pemerintah Indonesia menyatakan "darurat
militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa akan menghancurkan GAM sekali dan untuk
selamanya.
2).Faktor budaya
Keinginan aceh yang begitu kuat untuk melaksanakan syariat islam mendapat tentangan
keras dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat tidak ingin Indonesia yang baru merdeka
menjadi terpecah karena penerapan negara islam.
● tidak adilnya pemerintah RI pada masyarakat Aceh atas bagi hasil pengolahan
sumber daya alam yang diambil dari Aceh
● pelanggaran hak asasi manusia
PENYELESAIAN
Untuk mencegah intervensi internasional terhadap konflik tersebut melalui isu yang
pelanggaran HAM, sebuah strategi diplomatik yang lebih luas kemudian digunakan
Pemerintah untuk dapat tetap mengerahkan kekuatan militer.
Hal ini juga dikarenakan Pemerintah menyadari pentingnya kekuatan militer di Aceh.
Konflik ini kemudian memasuki fase baru karena pihak Pemerintah memperoleh keunggulan
atas GAM dari pengerahan kekuatan militer dalam sebuah operasi militer besar. Dorongan
untuk mempertahankan kredibilitas negara membuat Pemerintah Indonesia melakukan
pendekatan baru melalui negosiasi, namun tetap mempertahankan kekuatan militer yang
koersif sebagai tekanan ke pihak GAM.
Terpojoknya posisi GAM membuat mereka tidak mempunyai lagi strategi keluar yang
menguntungkan selain menyetujui usulan negosiasi yang diberikan oleh pihak Pemerintah.
Strategi lebih lanjut dilakukan oleh Pemerintah dengan mempersiapkan jalan menuju
negosiasi yang dapat menguntungkan pihak mereka. Hal ini dimulai dengan
mempertahankan kekuatan militer untuk terus mendorong pihak GAM dan menghalangi
mereka dari bantuan pasca tsunami yang melanda pantai Aceh.
5 SUMBER NASIONAL
● Kompas.com
(https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/02/130000979/gerakan-aceh-merdeka-l
atar-belakang-perkembangan-dan-penyelesaian)
● Sindo News.com
(https://nasional.sindonews.com/read/851961/14/sejarah-pemberontakan-gam-dan-d
ugaan-keterlibatan-libya-1660118903)
● Unkris Jakarta
(https://p2k.unkris.ac.id/id3/3065-2962/Pemberontakan-Di-Aceh_42579_p2k-unkris.h
tml)
● Tribun News Wiki.com
(https://www.tribunnewswiki.com/2021/08/18/gerakan-aceh-merdeka-gam)
● Nasional Tempo Co
(https://nasional.tempo.co/read/74741/pelanggaran-ham-oleh-gam-tetap-diproses)
● Detik.com
(https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6251559/pemberontakan-ditii-di-aceh-dan-u
paya-penyelesaiannya)