Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PERISTIWA PASCA- DOM DI ACEH (1998-2000)

Bukhari*
Miftahul Azra
Dewi Oktaviani
Email: aribukhari754@gmail.com*

A. Aksi dan Reaksi Pencabutan Status Dom


Kelompok kritis gerakan mahasiswa dan akademisi mengadopsi situasi dan kondisi
dalam memperjuangkan kasus pelanggaran HAM di Aceh sebelumnya. Saat itu, organisasi
massa tumbuh bagai jamur musim hujan. Pertama kali muncul gerakan aksi setelah lahirnya
KARMA yang diinisiasi oleh Senat Mahasiswa IAIN Ar-Raniry dalam rangka membentuk
aliansi besar gerakan mahasiswa di Aceh. Prakarsa Senat Mahasiswa IAIN ini disambut oleh
Senat Mahasiswa PTS lainnya. Selanjutnya muncul SMUR pimpinan Aguswandi dari Unsyiah,
FARMIDIA pimpinan Radhi Darmansyah dari IAIN Ar-Ranirri dan aliansi dari 12 senat
mahasiswa swasta di Aceh yang ikut membentuk KARMA pada tanggal 1 Juni 1998 di
Universitas Iskandar Muda. LSM dan aktivis mahasiswa Aceh terus bekerja sama menggalang
dan mendukung pencabutan status DOM (Daerah Operasi Militer). LSM melakukan advokasi
terhadap korban DOM di Aceh dan mahasiswa menggalang aksi demontrasi di DPRD I dan II
sejak Mei 1998. Mereka menuntut pencabutan DOM, peninjauan kembali status
Napol/Tapol serta penyisihan 10% dari income (pendapatan) proyek vital Aceh untuk
membantu anggaran pendidikan Aceh.
Aktivis mahasiswa Aceh yang tergabung dalam KARMA dipimpin oleh Taufik Abda
berangkat ke Jakarta. Dalam perjalanan, di Medan mereka bertemu dengan Pangdam Bukit
Barisan untuk memohon pencabutan DOM di Aceh.
Sampai di Jakarta, mereka bertemu dengan anggota DPR dan beberapa instansi
terkait serta bekerja sama dengan aktivis pelajar dan mahasiswa Jakarta asal Aceh dengan
koordinator Fajran Zein dan Fadli Ali. Mereka menghadap perwakilan PBB di Indonesia dan
diterima oleh Anne Brigette Abretten. Selanjtnya mereka menghadap perwakilan ICRC
(International Cross Red Committe) atau PMI (Palang Merah Internasional) untuk
mengantisipasi tindakan kekerasan militer di Aceh.
DPR membentuk tim Pansus (Panitia Khusus) Aceh dan merekomendasikan
pengusutan HAM (Hak Azasi Manusia) di Aceh. Sebelum pengusutan dilakukan pemerintah
di Aceh, wakil ketua Pansus Nashiruddin Daud dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) DPR
diculik oleh OTK (Orang Tak Dikenal) dari penginapannya di Medan. Selang beberapa hari
kemudian, mayatnya ditemukan di Tanah Karo, Sumatera Utara. Sejak saat itu, rekomendasi
Pansus DPR mengalami stagnansi.
Masyarakat Aceh skeptis terhadap pemerintah pusat seperti yang ditunjukkan elite,
DPRD I dan II, ulama tradisional, maupun tokoh masyarakat Aceh. Hal ini mendorong
semakin tingginya sentimen masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat. Gubernur Aceh,
Syamsuddin Mahmud dan Ketua DPRD I Teuku Johan beserta 35 tokoh dan pejabat sipil
akhirnya menghadap Presiden B.J Habibie di Istana Negara Jakarta pada 8 Januari 1999.
Pada saat itu, Gubernur Syamsuddin Mahmud menyerahkan Pernyataan Rakyat Aceh
yang menginginkan diadakan pengusutan terhadap pelanggaran HAM dan menarik DOM di
Aceh. Saat itu, Presiden B.J Habibie berjanji dan meminta DPKSH (Dewan
PemantapanKeamanan dan Sistem Hukum) untuk melakukan pembahasan terkait usulan
tersebut.
Pada tanggal 7 Agustus 1998, atas perintah Presiden B.J Habibie pihak militer
akhirnya menarik status DOM dan tanggung jawab keamanan serta ketertiban sepenuhnya
dibebankan pada masyarakat, ulama dan pemerintah daerah termasuk satuan-satuan
TNI/Polri yang ada di Aceh. Pihak militer juga meminta maaf pada masyarakat atas segala
bentuk pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan mereka dan berjanji bila terbukti bersalah
akan diperiksa secara hukum.
Penarikan pasukan militer non-organik ke baraknya dijanjikan dalam rentang waktu
satu bulan kemudian. Petinggi militer menghimbau anggota GAM yang berada di luar Aceh
agar kembali ke kampung halaman untuk turut serta membangun Aceh.
Hal inilah yang mendorong munculnya perlawanan baru terhadap pemerintah dan
TNI/Polri pasca-DOM. Kelompok aksi mahasiswa yang tergabung dalam KARMA (Kesatuan
Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh) di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1998, mengeluarkan
pernyataan sikap ditujukan kepada presiden dan petinggi ABRI (TNI/Polri) serta instansi
terkait untuk menggelar pengadilan pelanggaran HAM serta ganti rugi kepada korban,
menanggung biaya hidup korban atau keluarganya, serta membebaskan tanpa syarat dan
merehabilitasi semua Tapol/Napol Aceh.12 Presiden B.J. Habibie pada pidato kenegaraan
tanggal 16 Agustus 1998, atas nama pemerintah memohon maaf terhadap perlakukan
TNI/Polri di seluruh Indonesia termasuk Aceh. Para Tapol/Napol Aceh yang keterlibatannya
dianggap kecil diberikan amnesti umum.
Pemerintah membentuk Komnas HAM dan Sekretaris Jenderal HAM melakukan
klarifikasi di Aceh pada 20-24 Agustus 1999. Hasilnya menyebutkan pelanggaran selama
DOM tahun 1989-1998 menemukan 781 meninggal karena kekerasan, 163 kasus orang
hilang, 368 kasus penganiayaan, 102 pemerkosaan, 102 pembakaran rumah penduduk.
Petinggi TNI/Polri saat itu mencemaskan pengumuman tim Komnas HAM tersebut dan
menyangsikan keakuratan data yang dikumpulkan serta meragukan keberadaan kuburan
massal di Aceh.
Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan di kalangan kelompok kritis mahasiswa
dan elite masyarakat Aceh. Tokoh Aceh Ghazali Abbas Adan mengatakan jika kasus ini tidak
ditindaklanjuti pemerintah maka akan dibawa ke komisi HAM PBB atau Mahkamah
Internasional. Petinggi TNI/Polri tidak menyetujui jika prajurit yang telah berjuang dianggap
melanggar HAM, Panglima ABRI (TNI) Jenderal Wiranto mengatakan hal itu pada rapat
Komisi di DPR.14 Hal ini turut membuat benturan antara TNI/Polri dengan masyarakat Aceh
yang pada saat itu sangat mendambakan terwujudnya keadilan.

B. Peristiwa Pasca-DOM di Aceh


Setelah peristiwa DOM, terjadi berbagai peristiwa dari tahun 1998 hingga tahun
2000-an, khususnya sejak turunnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan naiknya
Wakil Presiden BJ Habibie. Penunjukan BJ Habibie sebagai presiden membawa perubahan di
Aceh hingga Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999,
dengan segala perselisihan di pusat dan daerah hingga pemakzulan Gusdur yang kemudian
pada 23 Juli 2001 Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai presiden melalui Sidang
Umum MPR.
Kondisi ini tentu saja menyebabkan beberapa kebijakan dan perundang-undangan
yang dibuat oleh pemerintah pusat dan DPR. Perubahan-perubahan ini berdampak pada
kondisi politik, ekonomi, dan sosial Aceh, yang pada masa itu sedang terlibat dalam konflik
politik dengan Republik Indonesia. Beberapa peristiwa yang terjadi pasca-DOM antara tahun
1998 dan 2000 yaitu sebagai berikut:
a. Peristiwa Masa Peralihan Presiden Soeharto ke B.J Habibie (Sejak 21 Mei 1998)
1. Munculnya Intimidasi dan Provokasi
Beberapa tokoh Aceh pada saat itu memperkirakan bahwa TNI/Polri tidak akan
melepaskan operasinya dan tidak akan mau bertanggung jawab atas pelanggaran HAM
yang terjadi di Aceh. Setelah DOM dicabut, perlawanan GAM otomatis muncul. Media
massa terus melaporkan bahwa saksi kuburan massal yang diculik OTK diteror oleh
orang-orang bertopeng yang ingin tahu apakah mereka bekerja untuk LSM. Korban
perkosaan DOM juga diintimidasi oleh oknum Kopassus karena melaporkan apa yang
sudah terjadi pada mereka. Dua anggota Kopassus berusaha menculik istri korban
penculikan M. Yunus Ahmad, yang hilang sejak Maret 1998. Sebaliknya, disisi lain
bendera GAM masih dikibarkan di perkampungan.
Setelah wawancara dengan Burhanuddin Lopa di Rumoh Geudong, rumah yang
telah digunakan oleh Kopassus Pos Sattis Bili Aron Pidie sejak 1991, masyarakat menjadi
marah dan melakukan pembakaran massal. Namun, tidak ada satu pun orang yang
ditangkap karena pembakaran tersebut.
Di Aceh Utara juga, setelah penarikan 652 personel TNI/Polri dari kontingen
kedua organisasi non-organik pada tanggal 1 November 1998, massa mengikuti konvoi
dan mengejek tindakan TNI/Polri serta mendorong masyarakat lainnya untuk melakukan
tindakan anarkis dengan merusak dan membakar pos polisi, kantor pemerintah, dan
gedung sekolah. Selain itu, insiden tersebut menyebabkan kebakaran di beberapa toko
dan kios WNI keturunan, kantor DPD Golkar Aceh Utara, dan Lapas Lhokseumawe. Di
hari berikutnya, kerusuhan terus terjadi di beberapa kecamatan di Aceh Utara, sehingga
TNI dan Polri dari Bireuen dan Medan Sumatera Utara dikirim untuk menertibkan situasi.
Seorang anak kecil tewas tertembak oleh TNI/Polri saat menghentikan perusuh.Ini
menimbulkan perdebatan baru antara kelompok aktivis kritis dan TNI/Polri tentang siapa
yang bertanggung jawab atas kerusuhan. Sementara pihak militer menuduh GAM
melakukan aksi massa, kelompok kritis menuduh TNI/Polri merekayasa aksi massa untuk
mendapatkan kembali kekuasaan di "Kota Petro Dollar".

2. Munculnya Kelompok Ahmad Kandang


Sejak 2 November 1998, terjadi penaikan bendera GAM di Kandang yang
sangat dekat dengan lokasi LNG Aron dan Mobil Oil. Mereka berkonvoi dari Geudong
sampai ke Makam Malikussaleh. Selama perjalanan, Muhammad Rasyid, juga dikenal
sebagai Ahmad Kandang, menurunkan bendera RI bersama dengan tembakan dan yel-yel
GAM.
Ahmad Kandang seorang lulusan militer di Libya, kembali dari Malaysia. Ia
mengadakan peusijuek senjata di kompleks Makam Malikussaleh dan kemudian
melakukan razia. Dua perwira Korem Lilawangsa, Mayor CAJ S. Harahap dan istrinya,
ditangkap. Mereka tidak hanya melakukan kekerasan, mereka juga membakar mobilnya.
Lettu Suwarno diborgol oleh mereka. Meskipun tentara dan polisi terus mengejar
kelompok itu, Ahmad Kandang berhasil melarikan diri.
Kemudian Kelompok Ahmad Kandang dikejar oleh satuan Brimob Polri. Namun,
tetangganya yang mengepung rumahnya melindunginya. Aparat Brimob melepaskan
tembakan ke massa, menewaskan beberapa anggota Brimob dan seorang warga yang
diduga anggota GAM, dan luka-luka beberapa lainnya. Setelah peristiwa penyerbuan,
OTK membakar gedung RRI di depan rumah Ahmad Kandang. Akibatnya, 63 orang dari
masyarakat sekitar ditangkap dan diperiksa oleh Polri.
Pada 4 November 1998, Ismet Yuzairi, Pangdam I Bukit Barisan, menyatakan
bahwa dia tidak akan bertoleransi dengan sipil bersenjata yang mencoba mengancam
rakyat dan berpisah dengan NKRI. Jumlah imigran Malaysia yang diekstradisi yang tinggal
di Kandang telah melakukan aktivitas politik GAM tanpa terhalang oleh TNI/Polri.
Sebagian dari mereka tidak lagi dikenal oleh penduduk lokal. Sebagian orang Kandang
telah pindah untuk menghindari hal-hal buruk. Saat itu, masyarakat mencurigakan
keberhasilan Ahmad Kandang meloloskan diri dari sergapan militer. Ada kemungkinan
bahwa ini adalah provokasi atau rekayasa dari pihak tertentu untuk mengembalikan
status konflik dan menerapkan DOM kembali.

3. Penculikan dan Pembunuhan Anggota TNI/Polri


Ternyata, keberhasilan Ahmad Kandang meloloskan diri meningkatkan semangat
pengikutnya. Mereka menjadi lebih kuat setelah Daud A. Bakar bergabung, seorang
anggota GAM Wilayah Idi yang dihukum 20 tahun penjara pada tahun 1997. Pada 7
Oktober 1998, dia berhasil keluar dari Lapas Langsa.
Mereka melakukan razia di Lhok Nibong, yang terletak di perbatasan Aceh Utara
dan Aceh Timur. Mereka mengambil senjata Colt 38 dari Serma Pol. Warman, anggota
Polres Pidie. Selain itu, mereka menculik tujuh anggota Yonif 113/Jaya Sakti Bireuen yang
sedang melakukan perjalanan kembali ke Medan di dalam bus Kurnia. Semua ketujuh
tentara itu dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai Krueng Arakundo. Kelompok
Ahmad Kandang menculik dan membunuh Mayor Ediyanto Abbas (Dansatgas Marinir)
dan Serka Syarifuddin (Koramil Muara Dua) saat mereka melakukan inspeksi di Kandang.

4. Pembunuhan Pembantu Operasi Militer DOM


Kondisi di Aceh tidak aman karena ada pembunuhan terhadap informan sipil
atau "cuak", serta kehadiran ninja dan pembunuh profesional sebagai upaya balas
dendam pihak GAM. Militer mengklaim bahwa pihak GAM bertanggung jawab atas
pembunuhan aneh sebagai balas dendam terhadap informan sipil (pembantu operasi).
Meskipun fakta menunjukkan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh GAM dan Kopassus
untuk menghilangkan jejak para saksi dari tindakan mereka saat DOM.
Dari Desember 1998 hingga Juni 1999, telah terjadi 60 pembunuhan di Aceh.
Sebagian besar dari 65% orang yang tewas adalah kepala desa atau keuchik yang pernah
menjabat sebagai kepala desa selama masa DOM.

5. Operasi Wibawa 1999


 Peristiwa Pusong
Penculikan anggota militer membuat Pangdam Bukit Barisan A. Gaffar
Rahman memerintahkan penambahan dua belas SSK (Satuan Setingkat Kompi)
TNI untuk membantu mencari korban penculikan anggota militer dengan sandi
Operasi Wibawa. Operasi ini berlangsung sejak awal tahun 1999 dan dipimpin
langsung oleh Kolonel Juharnus Wiriadinata, yang juga bertindak sebagai
Kapolres Aceh Utara, Letkol Iskandar Hasan.
Di Blang Kandang dan Pusong, operasi militer untuk mencari Ahmad Kandang
dan pengikutnya membuat rakyat ketakutan, sehingga beberapa melakukan
eksodus untuk menghindari kekerasan. Sebanyak 227 KK dari desa Meunasah
Blang mengungsi, sehingga hanya 10 KK lagi yang tinggal di kampung.
Sedangkan Warga Pusong yang didakwa menculik Mayor Ediyanto Abbas
melakukan demonstrasi untuk meminta penjelasan. Mereka berbondong-
bondong menuju kantor Bupati Aceh Utara. Linud 100/PS Medan melakukan
penghadangan terhadap demonstrasi besar-besaran dari desa tersebut dan
melakukan tembakan membabi buta. Ini menyebabkan 11 warga desa meninggal
dunia dan 32 terluka akibat tembakan aparat. Pada saat itu, sebagian besar orang
yang tewas adalah anak-anak dan perempuan, karena mereka adalah yang paling
penting. Aksi penembakan juga terjadi di Paloh, Simpang Keuramat dan Buloh
Blang Ara. Setelah penembakan terjadi, beberapa gedung pemerintah dan kantor
polisi dibakar massa karena peristiwa tersebut. Aparat menangkap 170 orang
warga masyarakat yang diduga terlibat. Mereka yang dianggap tidak terlibat
kemudian dibebaskan secara bertahap dan yang terlibat ditahan di Gedung KNPI
Lhokseumawe.
 Peristiwa Gedung KNPI Lhokseumawe
Operasi Wibawa dimulai pada 9 Januari 1999 untuk mencari Ahmad Kandang.
Pada saat itu, ada 40 orang yang telah ditahan, 33 di antaranya telah ditahan di
Gedung KNPI Lhokseumawe sebelumnya, dan dua di antaranya harus dirawat di
fasilitas kesehatan. Saat itu, anggota militer ingin melakukan tindakan balas
dendam atas penculikan GAM terhadap mereka yang ditahan di Gedung KNPI
Lhokseumawe. Pada hari itu, Mayor Bayu Najib dari Danyon 113/Jaya Sakti
bersama anggota militernya memasuki Gedung KNPI Lhokseumawe dengan
paksa. Mereka menyiksa tiga puluh delapan orang yang ditahan di sana. Hasilnya
adalah empat tahanan tewas, dua koma, dan 23 lainnya mengalami luka-luka
parah sehingga dirawat di Rumah Sakit Umum Lhokseumawe. Hal ini
menyebabkan demonstrasi mahasiswa yang menuntut penundaan kekerasan
Operasi Wibawa. Pihak militer menanggapi dan menghukum Mayor Bayu Najib
dengan 7 tahun penjara dan dipecat, serta tiga prajuritnya, Amsir, Manolam
Situmorang, dan Effendi, yang juga diberi hukuman 7 tahun penjara dan dipecat
dari kelompoknya. TNI akan mengusut 28 tentara sebagai contoh untuk
pembinaan. Namun, saksi mata mengatakan bahwa lebih dari seratus tentara
menganiaya para tahanan di Gedung KNPI Lhokseumawe.
 Peristiwa Kekerasan di Idi Cut (Krueng Arakundo)
Pada tanggal 3 Februari 1999, terjadi kekerasan setelah pengajian umum yang
disebut TNI/Polri sebagai ceramah GAM bubar. 28 orang terbunuh, termasuk
anak-anak. Disungai Krueng Arakundo, dengan batu delapan korban
ditenggelamkan, dan lima lainnya mengalami luka tembak. Linud 100/PS
Sumatera Utara dari Kodam Bukit Barisan melakukan serangan dengan tembakan
membabi buta pada saat usai pengajian di Idi Cut.
 Peristiwa Kekerasan di Paloh Lada (Simpang KKA)
Kekerasan militer terjadi pada tanggal 3 Mei 1999 ketika beberapa kampong
di sekitar Paloh Lada melakukan protes terhadap represi militer, berkumpul di
Simpang KKA, Aceh Utara. Pasukan Arhanud 001 dan Batalyon 113 menerobos
dari belakang, membunuh banyak wanita dan anak-anak. Kameramen RCTI
sempat merekam peristiwa ini dan melaporkannya dalam liputan beritanya.
Dilaporkan bahwa 46 orang meninggal dunia, 156 mengalami luka tembak, dan
10 orang hilang.
 Peristiwa Kekerasan di Berbagai Daerah
Selama Operasi Wibawa, beberapa peristiwa lain terjadi. Salah satunya terjadi
di Peudada Aceh Utara pada tanggal 25 Mei 1999, ketika PPRM dan OTK terlibat
dalam pertempuran. Empat orang tewas dan 12 lainnya luka-luka dalam
tembakan. Setelah itu, pada saat penyisiran PPRM di Alue Nireh Aceh Timur,
terjadi lagi kekerasan yang menewaskan lima wanita dan anak-anak. Pasukan
PPRM terkejut dan melepaskan tembakan membabi buta pada warga di pinggir
jalan raya Banda Aceh-Medan saat truk aparat meletus saat melakukan patroli.
 Peristiwa Beutong Ateuh (Teungku Bantaqiah)
Penyerbuan dilakukan ke pesantren Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh,
yang sebenarnya berada dalam wilayah Korem Teuku Umar. Namun, pada tanggal
23 Juni 1999, penyerbuan dilakukan oleh Korem Lilawangsa, dipimpin oleh
Kasintel Sujono dan dibantu PPRM, saat Teungku Bantaqiah dan pengikutnya
sedang menyiapkan salat Jumat. Mereka tidak mengantisipasi serangan militer.
Serangan militer itu membunuh Teungku Bantaqiah dan 70 pengikutnya.
Sebagian dari korban yang selamat diangkut dengan truk untuk dirawat di
Lhokseumawe. Namun, beberapa di antara mereka hilang, dan yang lain
dieksekusi militer di tengah perjalanan.
 Perusakan dan Pembakaran Gedung Sekolah dan Gedung Pemerintah
Selama Operasi Wibawa 1999, banyak sekolah dirusak dan dibakar, diduga
oleh masyarakat dan GAM. TNI/Polri menuduh masyarakat dan GAM membakar
sekolah, tetapi GAM menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam
pembakaran sekolah dan hanya bertanggung jawab atas pembakaran gedung
pemerintah. Aktivitas pemerintahan daerah Aceh hampir berhenti menjelang
Pemilu 1999. Sebagian besar pegawai pemerintah kembali ke tempat kerja
mereka, sementara beberapa meninggalkan Aceh. GAM mengawasi beberapa
fungsi pemerintah, seperti urusan perkawinan dan pewarisan tanah. Pada saat
itu, mereka merujuk dan menunjuk pesantren di daerah tersebut untuk
mengelolanya.

6. Meluasnya Konflik Menjelang Pemilu 1999


 Operasi Sadar Rencong I (OSR I)
Akhirnya, pemerintah harus menambah kekuatan TNI dan Polri ke Aceh. Pada
tanggal 6 Mei 1999, 435 PPRM dikirim ke Aceh. Untuk mencegah kerusuhan
menjelang Pemilu 1999, Pangdam Bukit Barisan Mayjen A. Gaffar mengusulkan
penambahan kekuatan ke Aceh Barat dan Aceh Selatan, yang sebelumnya tidak
terpengaruh konflik. Sempat terjadi pertempuran selama penurunan pasukan ke
Aceh Barat dan Aceh Selatan. Di Gunung Malem, Aceh Jaya, tujuh prajurit
Yonzipur I Medan dan dua anggota polisi tewas. Untuk menyukseskan Pemilu
1999 di Aceh, Kolonel Juharnus Wiranata dari Korem Teuku Umar mengumumkan
Aceh Barat dalam kondisi Siaga I. Selain itu, 830 anggota TNI dan 480 anggota
Polri dari Brimob dan Gegana dikirim ke Aceh.
 Munculnya Barak Pengungsi dan Pengungsian
Pada era tersebut, masyarakat Aceh di pedalaman karena ketakutan di tengah
intimidasi banyak yang mengungsi ke daerah yang relatif aman. Orang-orang
dengan ekonomi menegah lebih suka mengungsi ke Medan Sumatera Utara atau
ke pulau Jawa, sementara orang-orang dengan ekonomi kelas bawah lebih suka
mengungsi ke mesjid, sekolah, dan kantor pemerintah. Mereka mengungsi untuk
menyelamatkan diri karena kebrutalan GAM dan TNI/polri, serta ketakutan akan
ditangkap setelah konflik terjadi.
Semakin dekat dengan Pemilu 1999, eskalasi kekerasan di Aceh meningkat.
Jumlah orang yang meninggalkan rumah mereka terus meningkat. Mereka
menghindari kekerasan militer yang mendorong partisipasi dalam pemilihan
nasional. Ada yang lari ke hutan dan bersembunyi di gunung. LSM yang
membangun pos-pos kemanusiaan atau PCC (People's Crisis Center) membantu
pengungsi. TNI/Polri dan GAM sering mengintimidasi aktivis PCC. Banyak
pengungsi dihalangi untuk kembali ke desanya karena faktor keamanan dan
kontak tembak antara GAM dan TNI/Polri. Akibatnya, beberapa anggota PCC
diculik dan dilatih menjadi anggota GAM jika mereka melakukan sesuatu yang
tidak menyenangkan pihaknya.
 Kelumpuhan Aktivitas Pemerintahan dan Perekonomian
Masyarakat: Pada pertengahan tahun 1999, dukungan masyarakat kepada
GAM meningkat karena tindakan TNI dan Polri yang lebih mengerikan terhadap
rakyat. Nasionalisme Aceh dan dukungan untuk GAM muncul karena represi
militer. GAM kemudian berkembang di seluruh Aceh. Namun, tidak lama
kemudian, dalam organisasi GAM terjadi perpecahan antara kubu Teungku Hasan
Tiro dan kubu Husaini Hasan. Kubu Teungku Hasan Tiro memiliki kekuatan
bersenjata, tetapi kubu Husaini Hasan tidak. Pada Mei 1998, Teungku Hasan Tiro
memecat Husaini Hasan, Yusuf Daud, Syahbuddin Abdurrauf, Idris Mahmud, dan
M.Daud Husen. Teungku Don Zulfahri, anggota GAM dari kubu Husaini Hasan di
Malaysia, tewas sebagai akibat dari konflik ini. Kemudian muncul pertengkaran
antara kelompok GAM ketika kelompok Teungku Hasan Tiro menolak untuk
mengalah dan meminta RI mengembalikan Aceh sebagai kesultanan dengan
Teungku Hasan Tiro sebagai sultan atau wali. Burhanuddin Lopa bertemu dengan
komandan GAM Abdullah Syafiie pada Juni 2000. Namun, tidak ada kesepakatan
damai yang dapat dicapai pada saat itu.

7. Operasi Sadar Rencong II (OSR II)


Saat Presiden B.J Habibie meninggalkan jabatan, pada tanggal 1 Agustus 1999,
dimulai operasi militer yang dikenal sebagai Operasi Sadar Rencong II. Operasi ini diawasi
oleh Polri dan dipimpin oleh Kapolda Aceh Bahrumsyah Kasman, dan tersebar di seluruh
Aceh, termasuk Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Meskipun pemerintah tidak mengumumkan bahwa Operasi Sadar Rencong II
adalah kelanjutan daripada Operasi Sadar Rencong I, operasi itu sendiri beroperasi dari
Mei hingga Desember 1999. Sejak 18 Agustus 1999, PPRM telah dikeluarkan dari Aceh
dan tidak dapat beroperasi di desa-desa. GAM telah berkembang dan mendapatkan
dukungan di seluruh Aceh sejak saat itu. Akhirnya, usul dari daerah konflik Aceh dan
Papua diterima pada Sidang Umum MPR di Jakarta. Menurut undang-undang, Aceh akan
ditetapkan sebagai Daerah Istimewa dengan otonomi khusus.

b. Peristiwa Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid


1. Penundaan Kodam Iskandar Muda
Sejak 20 Oktober 1999, Aceh mengalami perubahan signifikan selama
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Misalnya, dia menunjuk Hasballah M Saad dari
Aceh sebagai Menteri Negara Perberdayaan HAM dalam Kabinet Persatuan Nasional.
Dia berhasil membuat presiden menunda pembentukan kembali Kodam Iskandar
Muda tiga hari setelah menjabat pada 31 Oktober 2000. Akibatnya, setelah PPRM
ditarik dari Aceh ke Jakarta, Pangdam Bukit Barisan Mayjen A Gaffar Rahman
memerintahkan bawahannya untuk meregrouping Koramil.

2. Mobilisasi Massa Pawai Pendukung Referendum


Mobilisasi massa terbesar di Aceh sejak penarikan DOM terjadi di Mesjid Raya
Baiturrahman pada 8 November 1999. Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)
mengorganisir kehadiran, yang diperkirakan mencapai sekitar 200.000 orang. Mereka
menyampaikan petisi kepada presiden, DPR, dan MPR untuk menyetujui pelaksanaan
referendum demokratis di bawah pengawasan lembaga independen atau PBB.
Setelah SU-MPR di Banda Aceh, massa yang marah membobol Lapas (penjara) dan
merusak pos polisi. Saat itu, dorongan untuk mengadakan referendum semakin
meningkat di Aceh. Ini terbukti dengan Presiden Abdurrahman Wahid, yang dalam
tur ke luar negerinya di Kamboja, menyatakan bahwa, "Kalau Timor-Timur boleh,
kenapa Aceh tidak boleh?" TNI/Polri sangat marah atas pernyataan presiden yang
mengancam perpecahan negara, sehingga DPR membentuk Pansus untuk menangani
masalah ini.

3. Operasi Sadar Rencong III (OSR III)


Sejak Desember 1999, nama operasi Sadar Rencong II telah diubah menjadi
Nama Operasi Sadar Rencong III, yang dimulai pada tanggal 2 Februari 2000. Karena
ancaman disintegrasi bangsa yang semakin terasa di Aceh, pemerintah dan militer
sangat khawatir dengan meningkatnya semangat nasionalisme Aceh. Sejak 1 Januari
2000, Kepolisian Republik Indonesia telah mengumumkan operasi yang lebih represif.
Tujuan operasi ini adalah untuk menangkap 800 GAM dan pendukungnya. Setelah
Operasi Sadar Rencong II gagal, strategi defensif digunakan selama operasi, yang
membuatnya bersifat represif.
Sejak operasi ini dimulai, banyak korban relawan kemanusiaan, salah satunya
Sukardi, aktivis YRBI, yang meninggal dunia akibat luka tembak pada tanggal 31
Januari 2000. Sebelumnya, Fakhrurrazi, seorang aktivis Pemraka, diculik di pos PCC
Blang Mamplam Aceh Utara pada 6 Januari 2000, dan Munir, seorang aktivis Forum
Peduli HAM, yang hilang pada 26 Januari 2000.
M. Dahlan, seorang aktivis muslim, yang diculik dari rumahnya di Leubok Pidie,
ditembak di depan rumahnya pada 9 Januari 2000. Aparat menggerebek sejumlah
kantor aktivis muslim di Banda Aceh dan Aceh Besar karena dianggap sebagai
jaringan bawah GAM.
Agusri, yang bekerja di Kantor Dinas Pajak Aceh Selatan, mengalami korban dari
pegawai Pemerintah Daerah. Dia diculik saat mengobati anaknya di Medan pada 10
Januari 2000, dan mayatnya ditemukan di Deli Serdang, Sumatera Utara. Politisi juga
menjadi korban selama operasi ini. Aktivis HAM dari Aceh Selatan Nashiruddin Daud,
anggota DPR dari fraksi PPP, diculik dari penginapannya di Medan Sumatera Utara
pada 24 Januari 2000.
Salah satu korban petugas medis adalah Zulfan, yang diculik dari rumahnya di
Teupin Raya Pidie pada 21 Februari 2000. Mayatnya ditemukan di jalan raya tidak
jauh dari rumahnya.
Selain itu, korban dari peristiwa Operasi Sadar Rencong III, yaitu penangkapan
dua mahasiswa dari Firmidia dan pengemudi mobil yang ditumpangi mereka di PT.
Arun Lhokseumawe pada 6 Maret 2000. Militer memperlakukan mereka dengan
kejam, dan pada tanggal 8 Maret 2000, mereka baru dibebaskan.45. Beberapa
wilayah Aceh juga mengalami penggerebekan pos PCC. Selain itu, intimidasi terhadap
wartawan nasional, internasional, dan lokal seperti RCTI dan Associated Press Reuter.
Pembunuhan masyarakat sipil seperti anak-anak dan orang dewasa selama operasi
ini biasanya disebabkan oleh tembakan GAM dan aparat selama operasi yang
membabi buta.
4. Aktivis Aceh Minta Perlindungan HAM
Pada tanggal 4 Januari 2000, aktivis di Aceh melakukan mogok makan untuk
meminta perlindungan HAM. Pada tanggal 25 Januari 2000, gabungan mahasiswa
Aceh juga meminta gencatan senjata. Pada tanggal 26 Januari 2000, LSM lokal
berkolaborasi untuk melakukan tindakan ini.

5. Kongres Perempuan Aceh


Duek Pakat Inong Aceh, kongres perempuan Aceh, diadakan di Banda Aceh pada
tanggal 20-22 Februari 2000 dan dihadiri oleh 400 orang. Kongres menyetujui 22
usulan, termasuk gencatan senjata, penarikan pasukan non-organik, dan permintaan
30% wakil perempuan dalam proses keputusan politik lokal. Selama kongres
berlangsung, ada ancaman dari TNI/Polri dan GAM.47 Ada indikasi bahwa kongres
didanai oleh USAID. Hal ini telah menimbulkan konflik di kalangan masyarakat Aceh.

6. Perjanjian Jeda Kemanusiaan


Karena upaya konsolidasi pemerintah dengan GAM tidak berhasil untuk
mengatasi konflik, pemerintah terpaksa mengadakan Perjanjian Kesepakatan
Bersama Jeda Kemanusiaan untuk Aceh antara RI dan GAM pada 12 Mei 2000.
Pihak RI diwakili oleh Hasan Wirayuda, duta besar Indonesia untuk PBB, dan GAM
diwakili oleh Zaini Abdullah, menteri kesehatan GAM. Namun, kedua pihak sering
melanggar kesepakatan di lapangan, terutama dalam hal butir-butir kesepakatan
bersama. Bahkan sejumlah aktivis terbunuh dalam penembakan, seperti Teungku
Kamal di Aceh Selatan dan Jakfar Siddik di Sumatera Utara. Orang-orang Aceh
seperti Safwan Idris (Rektor IAIN Ar Ranirry) dan Dayan Dawood (Rektor
Universitas Syiah Kuala), serta Ketua DPRD I Aceh, Teuku Djohan, semuanya
ditembak OTK pada masa ini.

7. Operasi Militer Terbatas (OCM I)


Sampai akhir tahun 2000, konflik di Aceh terus berlanjut, menyebabkan
masyarakat Aceh tetap berada dalam kondisi sulit yang terperangkap dalam
konflik dan kekerasan. TNI/Polri dan GAM ingin mempertahankan ideologi
mereka. setelah RI dan GAM menandatangani perjanjian moratorium kekerasan
di Jenewa, Swiss, pada 6-9 Januari 2001, atas inisiatif Hendry Dunant Centre.
Perjanjian Jeda Kemanusiaan II, yang berlangsung hanya satu bulan pada 15
Januari 2001. Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Instruksi No.4/2001
tentang Operasi Militer Terbatas di Aceh setelah perjanjian ini gagal. Sejak saat
itu, sandi Operasi Cinta Meunasah I (OCM I) telah digunakan di Aceh. Operasi
militer di Aceh lebih mengutamakan pendekatan kultural.

C. Keadaan Masyarakat Aceh Pasca Dom


Konflik yang terjadi pada akhir 1990-an dan awal 2000-an di Aceh adalah hasil dari
perang antara Tentara Nasional Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan Aceh
Merdeka adalah kelompok yang memulai perang antara lain untuk menuntut pembagian
sumber daya yang lebih adil. Amnesty Internasional mengatakan bahwa jumlah warga sipil
yang terjebak dalam konflik dan meninggal selama tiga puluh tahun konflik, dari tahun 1976
hingga 2005, berkisar antara 10.000 dan 30.000. Salah satu dari sebelas penduduk desa yang
tinggal di sekitar kompleks ExxonMobil mengajukan gugatan di pengadilan Amerika Serikat
atas tuduhan menyiksa mereka oleh tentara yang disewa oleh ExxonMobil. Akhir Mei lalu,
sebelas anggota masyarakat tersebut menerima ganti rugi yang tidak disebutkan jumlahnya.
Menurut dokumen pengadilan di Washington DC yang menangani kasus Doe Vs.
ExxonMobil, pada Februari 2001, ada 5.000 tentara yang dikirim ke Aceh untuk melawan
GAM. Pernah disebut oleh para pemimpin industri minyak dan gas sebagai "permata di
mahkota perusahaan", sekitar 1.000 di antara mereka dikontrak oleh ExxonMobil untuk
menjalankan ladang gas.
Setelah GAM bangkit dengan kekuatan besar, ada tuntutan untuk tung bila kembali di
kalangan orang Aceh yang tertindas. Dalam hal politik dan ekonomi, pemerintah
menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989 hingga 1998.
Rakyat juga menjadi korban walaupun operasi ini berhasil. Berbagai pihak akhirnya
mencabut DOM. Pemerintah pusat mencabut DOM ini setelah banyak pertimbangan.
Semangat perjuangan pengorbanan dan kesetiaan Aceh kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah faktor yang meyakinkan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto untuk
mencbut status DOM Aceh. Keinginan pemerintah untuk mencabut status DOM ini adalah
untuk beralih dari keamanan militer ke kesejahteraan yang lebih manusiawi. Kamis 20
Agustus 1998, pasukan militer non-organik ditarik keluar setelah pencabutan status DOM.
Karena bangkitnya kembali GAM di Aceh dan banyaknya tuntutan dari berbagai kelompok
seperti Gerakan Mahasiswa/Taliban, LSM seperti SIRA (Sentral Informasi Rakyat Aceh) dan
lain-lain selama era reformasi, keadaan semakin parah. Berbagai anarkis muncul di mana-
mana, hukum tidak berjalan, pemerintahan lumpuh, kriminalitas merajalela, penculikan,
pembunuhan, perampokan, pembantaian, pembakaran rumah, toko, gedung perkantoran,
dan banyak lagi. Walaupun status DOM telah dicabut di Aceh, Presiden Menhankam/Pangab
telah meminta maaf, akan melakukan penyelidikan pelanggaran HAM, membayar ganti rugi
dan rehabilitasi para korban, dan berbagai janji pemerintah lainnya, namun keadaan yang
terjadi di Aceh seolah-olah dibiarkan begitu saja. Aceh seperti tanah tak bertuan, keamanan
terganggu, dan rakyatnya mengungsi dan melarikan diri.

D. Dampak Pasca DOM Terhadap Aceh


Operasi milter yang dilakukan pihak militer Indonesia dengan melakukan serangdi
perkampungan Aceh untuk menghacurkan gerakan sporadis yang dilakukan oleh pihak
Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) menyebabkan banyak dari kalangan masyarakat menjadi
Korban Hak Asasi Manusia,Daerah Operasi Militer yang dilakukan oleh TNI di wilayah ,Aceh
Timur,Aceh Utara.Terjadinya DOM membuat kehidupan malam masyarakat menjadi lumpuh
karena trauma mendegar detuman senjata api,Pada Masa DOM 1989-1998 elemen
masyarakat merasakan suatu tindak kekerasan dan pelanggaran HAM membuat
menderita,rakyat Aceh menjadi kaum pesimis yang tidak meraskan kenyaman,Keadilan,Hak
untuk kebebasan hidup tidak ada,Masyarakat Aceh mengalami penderitaan yang kejam yang
tidak manusiawi disiksa,diculik,dibunuh,pelecehanzseksual terhadapn kaum wanita
dilakukan,Penderitaan terhadap rakyat aceh merupakan suatu hal yang dilakukan oleh
oknum TNI secara durjana melakukan terhadap penduduk,Oknum TNI menunduh mereka
adalah bagian dari gerakan separatis GAM ,Penyiksaan yang dilakukan terhadap laki-laki
dengan secara brutal tiap hari tercatat korban jiwa,banyak korban yang menghilang
selamanya jasadnya tidak ditemukan.
Penindasan terhadap lelaki membuat janda di Aceh bertambah karena suaminya
sudah tidak ada,ABRI melakukan siksaan terhadap rakyat aceh dengan tujuan untuk
memberataskan gerakan separatis,Gerakan angkatan bersenjata indonesia membuat banyak
anak-anak yang menjadi yatim,Trauma juga dirasakan oleh anak-anak dibawah umur mereka
dipaksa merayao dan juga ditendang,Penindasan yang dilkaukan oeh ABRI merupakan
tuduhan-tuduhan Subversif yang menunduh masyrakaat termasuka dalam GAM nyatanya
mereka adalah bagian dari NKRI ,Oknum TNI Masa DOM merupakan sebuah manusia seperti
hewan yang tidak memiliki pikiran ,Meregut nyawa orang hanya hal biasa,Mereka selalu
berdalih itu merupakan tugas negara mereka lupa hakikat dirinya seorang manusia dan
sesama tanah air yaitu Indonesia.
Penindasan terhadap rakyat Aceh dilakukan pada periode tiga tahun pertama 1990-
1993,merupakan periode yang sangat mecekam rakyat aceh menerima penyelwangan HAM
yang sangat biadap,Ribuan masyarakat Aceh dibunuh tanpa meninggalkan jejak, penindasan
terhadap rakyat aceh merupakan kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang
tidak mengotrol pasukan ABRI yang melakukan penyelewengan terhadap rakyat Aceh,DOM
merupakan sebuah kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang kuranng bijak
dikarenakan masyarakat Aceh ditindas itu tidak ada kasus HAM yang dilakukan di Aceh
hingga sekarang,Supremasi Hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi
oknum-oknum, setelah DOM dicabut masyarakat Aceh menuntut juga ganti rugi
barangbarang yang dirampas oleh aparat tanah,kendaraan,uang,perhiasan dan
sebagainya,rehabilitasi ulang juga tidak disalurkan kepada para korban.
Pecabutan DOM pada tahun 1999, yang dilakukan oleh BJ Habibie membuat rakyat
Aceh makin menderita, pasca DOM masyarakat kehilangan pekerjaan, tanah, perhiasan,
kemiskin di Aceh merambat, Trauma pada masyarakat Aceh dirasakan sehingga membuat
masyarakat Aceh menjadi penduduk yang tidak memiliki gairah hidup, Rakyat Aceh
mealukkan pemeberontakan terhadap Indonesia tidak salah karena Aceh ini merupakan
daerah modal yang harus diperhatikan,Indonesia memiliki utang budi terhadap bangsa Aceh
tapu hari ini pemrintah melihat hanya sebuah provinsi yang ada dalam bagian NKRI tidak
lebih sebagai babu pemerintah hasil Alam diambi, Aceh tidak mengalami pertumbuhan
ekonomi yang baik

Daftar Pustaka
Antje Missbach. 2012. Politik Jarak Diaspora Aceh: Suatu Gambar Tentang Konflik Sparatis di
Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Muhammad Iqbal. Fenomena Kekerasan Politik di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki. Jurnal
Hubungan Internasional, tahun VII. No. 2, Juli-Desember 2014.
Bujono Bambang. (1999). Soal Hasan Tiro dan Gerakan Aceh Merdeka. D&R, 47– 51.
Chaidar, A. (1998). Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap penerapan Status Daerah Operasi
Militer (DOM) di Aceh 1989-1998. Pustaka Al-Kautsar
Sanusi Ismail, (2021) Peristiwa Pasca-Dom Di Aceh (1998-2000). BPNB Aceh, Banda Aceh.
ISBN 978-623-6107-09-6
Eka Auliana Pratiwi, 2019. Crisis Management Initiative Dalam Penyelesaian Konflik Antara
Gerakan Aceh Merdeka Dengan Pemerintah Indonesia 2005-2012 Universitas
Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai