Anda di halaman 1dari 20

TUGAS INDIVIDU PKN

KASUS PELANGGARAN HAM

GURU MAPEL : Drs. Carolus Dunur


NAMA : Mike Yana
KELAS : XI MIA I

TAHUN AJARAN 2019 - 2020


PERISTIWA ACEH (1990)
1. Latar Belakang

Membincangkan konflik RI-GAM seolah-olah membuka luka lama. Luka sejarah yang
diakibatkan oleh konflik yang berdarah-darah dan berlangsung lama. Jika kita runut ke belakang,
timbulnya konflik tersebut dilatarbelakangi oleh kekecewaan rakyat Aceh atas ketidakadilan
pemerintah pusat RI. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua hal, pertama, penolakan pemerintah
RI terhadap keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Kedua, ketidakadilan
pemerintah RI terhadap masyarakat Aceh dalam hal bagi hasil atas pengolaan sumber daya alam
di Aceh. Tidak bisa dipungkiri, beberapa eksplorasi SDA di Aceh memberikan keuntungan
yang berlimpah.Pada 1969 di Arun ditemukan ladang gas yang depositnya diperkirakan dapat
dieksplorasi selama 30 tahun. Dengan nilai produksi rata-rata pertahun US$ 31 miliar. Selain itu
masih terdapat berbagai industri seperti PT. Pupuk Iskandar Muda, PT Aceh Asean Fertilizer,
dan PT Kraft Aceh. Tak kalah besarnya, produksi hutan Aceh juga melimpah. Pada tahun 1997
mencapai Rp. 1 triliun pertahun. Namun, sekali lagi melimpahnya kekayaan di atas tidak
memberi manfaat secara langsung kepada masyarakat Aceh. Kondisi tersebut diperparah oleh
berbagai macam teror, siksaan fisik dan psikis yang dilakukan oleh aparat militer terhadap
masyarakat Aceh.
Puncak kekecewaan masyarakat Aceh ditandai oleh munculnya gerakan ideo-nasionalisme Aceh
Merdeka pada 4 Desember 1976. Gerakan yang dipimpin oleh Teungku Hasan Muhammad di
Tiro ini menuntut pemisahan diri dari RI dengan mendirikan Negara/Kerajaan Aceh Sumatera.
Arus utama ideologi yang dipakai merujuk pada perspektif historis bahw aAceh tidak tidak
pernah dijajah Belanda. Oleh karena itu, wilayah Aceh tidak termasuk dalam penyerahan
kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. Mereka menegaskan bahwa yang mereka perjuangkan
adalah “seccessor state”, meneruskan negara yang pernah dibangun oleh paraendatu (nenek
moyang).
Sejak itulah konflik antara RI-GAM berlangsung dari tahun ke tahun, mengalami pasang surut
seiring dengan tingkat kebencian masyarakat terhadap perilaku pemerintah RI. Beberapa
tindakan pemerintah yang turut meninggikan eskalasi konflik adalah penutupan pelabuhan bebas
Sang yang berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat Aceh, penghapusan tunjangan
pensiunan berdasarkan surat keterangan bekas tentara (SKBT) kepada para pejuang revolusi
awal kemerdekaan. Namun perilaku curang pemerintah dalam setiap penyelenggaraan Pemilu
menjadi penyebab penting semakin menggumpalnya kebencian masyarakat Aceh. Seperti dikutip
Hamid, Otto Syamsudin menyimpulkan bahw pelanggaran HAM (di Aceh) dimulai dengan
kekerasan politik pada Pemilu 1987. Pelanggaran ini berbentuk represi yang menggiring
preferensi rakyat Aceh untuk memilih Golkar. Usaha mempertahankan kemenangan Golkar
dalam pemilu merupakan agenda tersembunyi dari tekanan politik dan militer melalui
pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).

DOM adalah Operasi Jaring Merah yang mulai digelar pada 1989 untuk menumpas GAM.
Operasi ini di bawah kendali Kodam I/ Bukit Barisan di Medan dengan dua korem yang berada
di Aceh, yaitu korem 011/Liliwangsa di Lhokseumawe dan Korem 012/Teuku Umar di Banda
Aceh. Pada tahun 1990, dikerahkan 6.000 pasukan tambahan. Jumlah yang sangat besar untuk
menumpas anggota GAM yang hanya berjumlah 203 pada waktu itu.
Dampak yang ditimbulkan DOM-yang berakhir pada tanggal 17 agustus 1998–memang luar
biasa buruk.Bukan saja mengakibatkan rusaknya tatanan sosial masyarakat Aceh namun juga
menimbulkan banyaknya korban fisik. Dari laporan Tim Komnas HAM untuk kasus Aceh
tanggal 24 Agustus 1998 menyatakan, selama DOM diberlakukan, sebanyak 781 orang
meninggal dunia akibat tindak kekerasan, 368 orang dianiaya, 163 orang hilang, 3.000 wanita
menjadi janda karena suaminya dibunuh atau dihilangkan secara paksa. 15.000-20.000 anak
menjadi yatim, 102 bangunan dibakar dan terjadi 102 kasus perkosaan.
1. Jalan Menuju Kedamaian
Treatment yang dilakukan oleh pemerintahan pasca Orde Baru  pada dasarnya menawarkan
perubahan dalam hal penyelesaian konflik di Aceh menjadi lebih manusiawi, namun berbagai
kepentingan dalam tubuh pemerintah nampaknya membuat berbagai niat tersebut kandas.

Dalam pemerintahan transisi, Presiden BJ. Habibie dalam pidato kenegaraan di depan rapat
paripurna DPR tanggal 16 Agustus 1998 secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas
tindak kekerasanyang dilakukan oleh oknum ABRI dan berjanji menyelidiki kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh sekaligus berjanji menarik secara bertahap 4.000
pasukan non-organik dari Aceh.

Namun nyatanya, janji presiden hanya sekedar janji. Berbagai data dan fakta yang diungkapkan
oleh berbagai tim pencari fakta mengenai korban DOM tidak kunjung ditanggapi oleh
pemerintah, terutama ABRI, dengan langkah nyata. Tuntutam masyarakat untuk melakukan
refrendum juga dianggap angin lalu. Maka yang terjadi adalah kembalinya security
approach dan kekerasan, bukannya social and prosperity approach seperti yang dijanjikan. Di
sisi lain, dengan timbulnya berbagai insiden kerusuhan, aparat pemerintah Aceh seperti
kehilangan kepercayaan dirinya dalam berhadapan dengan rakyat. Aceh menjadi daerah tanpa
hukum.
Perjuangan yang dilakukan GAM kemudian mengalami perubahan, yang semula menggunakan
cara perlawanan militer berubah menjadi perjuangan melalui diplomasi melalui lembaga-
lembaga yang dibentuk semisal Central Information for Referendum Aceh (CIRA) yang
didukung oleh Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Pemerintah kemudian menyikapinya
dengan pemberian Otonomi yang seluas-luasnya kepada Aceh, yang tertuang dalam UU Nomor
44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid desakan referendum semakin besar. Bukan hanya dari
kalangan GAM dan mahasiswa saja, namun HUDA dan masyarakat umum menyatakan
dukungannya. Dukungan juga diberikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR
Amin Rais. Namun, nampaknya perbedaan suara terdapat dalam tubuh pemerintah sendiri.
Menko Polkam Wiranto, Menteri Dalam Negeri Soerjadi Sudirja, Menteri Hukum dan
Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendr, dan Kapuspen TNI Mayjen Sudrajad berpendapat
bahwa masalah Aceh harus diselesaikan dalam kerangka NKRI, yaitu dengan pemberian
otonomi khusus bukan dengan pemberian referendum. Akhirnya, dalam rapat konsultasi dengan
Pimpinan DPR tanggal 8 Desember 1999 Presiden menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan
Aceh lapas dari Indonesia.
masyarakat Aceh, politisi lokal dan politisi nasional secara intensif. Pemerintah juga membuka
pintu keterlibatan bagi mediator asing yaitu Henry Dunant Center (HDC) dalam proses dialog
dua pihak. Hasil positif yang diperoleh yaitu terjadinya penghentian permusuhan yang disebut
“Jeda Kemanusiaan” walaupun tidak berlangsung lama karena kekerasan kembali terjadi. Hal ini
mengakibatkan pemerintah kembali menggunakan pendekatan militer yang atas persetujuan DPR
dan DPA pemerintah membuat keputusan pemberlakuan Operasi Milter Terbatas dan melalui
Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehensif  Dalam Rangka
Penyelesaian Masalah Aceh untuk masa berlaku selama enam bulan.

Selanjutnya, pelunakan sikap pemerintah kembali terlihat dalam era pemerintahan Megawati
Soekarnoputri yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai suatu tawaran
GAM. Tawaran ini diterima GAM dengan kesediaannya menghentikan perlawanan terhadap
pemerintah RI, namun tidak dalam kontek sedang berdamai. Ada empat aspek utama dalam UU
tersebut, yaitu aspek kultural dengan mengadopsinya dalam sistem pemerintahan; aspek
keagamaan dengan mengakui pengaruh Islam yang kuat dalam masyarakat Aceh;  aspek politik
dan pemerintahan yang memberi hak membentuk Qanun yang dapat mengesampingkan UU lain
yang lebih umum; dan aspek keuangan dengan memberikan porsi 70 % bagi untuk aceh dari
penerimaan gas dan minyak bumi.

Dengan melibatkan pihak asing, pada 9 Desember 2002 dilahirkan CoHA (Cessation of
Hostilities Framework Agreement) yaitu perjanjian penghentian permusuhan yang memberikan
kerangka kerja untuk negosiasi lebih lanjut  penyelesaian konflik Aceh. Namun tidak berarti
tanpa penolakan dalam internal pemerintah. KSAD Jendral Ryamizard Ryacudu termasuk
kelompok yang enggan menggunakan cara dialog.

Namun GAM mengingkari penyerahan senjata yang menjadi bagian isi CoHA. Sebagai
reaksinya, pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati menerbitkan Keputusan Presiden  Nomor 28
Tahun 2003 Tentang Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkat Keadaan Darurat Militer di
Provinsi Nanggroe Aceh (NAD)  Darussalam, dan berlaku efektif  pada hari berikutnya dengan
cakupan seluruh wilayah NAD dengan masa berlaku selama enam bulan. Perbedaan sikap terjadi
dalam DPR. Ketua DPR, F-PDIP, F-PG, F-PPP, F-PKB, F-TNI, dan F-KKI menyatakan
dukungannya. Sedangkan F-Reformasi, F-PBB dan F-PDU menyarankan pencegahan terhadap
pemberlakuan darurat militer atau sipil di Aceh.

Status ini kemudian diturunkan melalui Keputusan presiden Nomor 43  Tahun 2004, Tentang
Pernyataan Perubahan Status Keadaan Bahaya yaitu dari Tingkatan Keadaan darurat milter
menjadi Keadaan bahaya dengan Tingkat Keadaan Darurat Sipil di Provinsi NAD.  Keputusan
penurunan status darurat ini berlaku untuk enam bulan tanpa dikuti penghentian operasi terpadu
dan pengurangan pasukan TNI dan Polri di Provinsi NAD.  Kemudian pada tanggal 1 Juni 2004
presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan  Operasi
Terpadu dalam Keadaan Bahaya dengan Tingkat Keadaan Darurat Sipil di Provinsi NAD.
Di masa Pemerintahan SBY-JK terjadi perubahan pendekatan yang mendasar dalam
menyelesaikan masalah konflik di Aceh  dengan menggiatkan kembali dialog antara dua pihak.
Wakil Presiden Yusuf Kalla menjadi aktor penting dalam proses ini. Dalam perundingan ini
pemerintah menawarkan proposal otonomi khusus. Namun dari semula, GAMM hanya hanya
mempunyai dua sasaran, yaitu tercapainya genjatan senjata dan pengamanan program bantuan
kemanusiaan internasional dan rekonstruksi aceh pasca tsunami.

Sedangkan di pihak pemerintah, kubu “garis keras” yang diwakili Panglima TNI Jenderal
Endiartono Sutarto meminta pemerintah untuk tidak pernah ragu mengambil tindakan tegas
terhadap GAM jika upaya mencapai solusi damai melalui perundingan gagal.Melalui proses
yang panjang yang mencapai lima putaran dengan difasilitasi oleh LSM Internasional Crissis
Management Inititive (MCI), pada pada tanggal 15 Agustus 2005
ditandatanganilahMemorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan
GAM. Menkumham Hamid Awaluddin menyatakan bahwa MoU terdiri daru dua garis besar,
yaitu masalah prinsip dan masalah substansi. Prinsip pertama, MoU adalah penyelesaian masalah
Aceh secara damai, menyeluruh dan bermartabat. Prinsip kedua, perundingan dan penyelesaian
masalah Aceh dilakukan secara jujur dan demokratis dalam kerangka NKRI dan konstitusi.
Prinsip ketiga, penyelesaian damai ini dilakukan untuk mempermudah pembangunan kembali
Aceh pasca tsunami.
Dari perjalanan melelahkan menemukan jalan damai di Aceh di atas dapat kita beri beberapa
catatan pentingnya. Pertama, adanya perubahan strategi yang berulang. Kadang  menggunakan
negosiasi, namun jika menemui kebuntuan, cara coersive masih seting menjadi pilihan. Namun
faktanya strategi coersive melalu operasi militer tidak pernah mampu menyelesaikan
masalah. Kedua, terlihat bahwa di masing-masing pihak terutama di pihak RI terdapat beberapa
kubu yang berbeda sikap dalam penyelesaian konflik Aceh. Pihak yang lebih mengedepankan
dialog yang diwakili oleh Deplu dan Dephan di satu pihak dan di pihak lain terdapat TNI yang
memilih jalur penyelesaian militer.
Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12


September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas
dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil
merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.
[1][2]
 Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan
aparat.[3]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]


Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu,[4] seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba
di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir
Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.[5] Biki menolak permintaan
ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan memasuki area
sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid).[5][6]
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan
Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara
dengan petugas lain.[5][6] Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus
lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor.[5][6][7]

Insiden[sunting | sunting sumber]
Dua hari pasca penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah khotbah
menentang asas tunggal Pancasila di masjid As Saadah.[6] Setelah itu, Biki memimpin sebuah
demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat tahanan tersebut ditahan.[8][6] Seiring
waktu, massa kelompok tersebut meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500 sampai
beberapa ribu orang.[8][6]Selama kerusuhan tersebut, sembilan anggota keluarga Muslim Tionghoa
Indonesia yang dipimpin oleh Tan Kioe Liem dibunuh oleh para pemrotes dan ruko-ruko hangus
dibakar.[9][10]
Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan tahanan tersebut.[8] Sekitar pukul 11
malam waktu setempat, para pemrotes mengepung komando militer.[6] Personel militer dari Batalyon
Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para pemrotes.[8][11] Sekitar tengah malam, saksi mata
melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani yang
mengawasi pemindahan korban; mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam truk militer dan dikuburkan
di kuburan yang tidak bertanda, sementara yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot
Soebroto.[8]

Akibat[sunting | sunting sumber]
Setelah kerusuhan tersebut, militer melaporkan bahwa mereka dipicu oleh seorang pria berpakaian
militer palsu yang membagikan selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12 komplotannya;
dilaporkan dari orang yang ditahan.[12] Jenderal Hartono Rekso Dharsono ditangkap karena diduga
menghasut kerusuhan tersebut.[13] Setelah menjalani persidangan empat bulan, dia divonis
bersalah; dia akhirnya dibebaskan pada bulan September 1990, setelah menjalani hukuman penjara
lima tahun.[13]
Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan beberapa
dilaporkan disiksa.[14] Para pemimpin ditangkap dan diadili karena tuduhan subversif, kemudian
diberi hukuman panjang.[6] Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk di antara mereka yang
terbunuh.[8]
Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas.[12] Catatan resmi saat ini memberikan total 24 korban
tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan lebih dari seratus
orang tewas.[15] Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang,
sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban.[8][11]

Investigasi[sunting | sunting sumber]
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998, beberapa
kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12 September 1984,
Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk Korban Insiden
Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra Beni).[8] Kelompok-kelompok ini
mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut tragedi
tersebut; di DPR, perwakilan A.W. Fatwa dan Abdul Qodir Jaelani, yang pernah ditangkap setelah
tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih lanjut.[8] Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat
untuk menyelidiki insiden tersebut, membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran
HAM di Tanjung Priok (KP3T).[8]
KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa agung Djoko
Sugianto.[8] Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000, menemukan bahwa tidak ada
pembantaian sistematis dalam insiden tersebut.[8] Ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat
umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300 anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang
markas Komnas HAM saat mengenakan pakaian Islami dan syal hijau.[9] Mereka memecahkan
jendela dengan batu dan batang rotan, melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan.[9] FPI
marah atas laporan tersebut dan beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan
alasan bahwa tindakan tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM
dihapuskan.[9] Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis
bahwa Komnas HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut; dia
mengatakan bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih
memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999.[8] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad
Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum Muslim di mana-mana. [8]
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa 23
orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta
pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.[8] Presiden Abdurrahman Wahid juga
meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer
membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung
pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah pertama
meliputi 86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi
pada islah kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah tersebut,
beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa
tuntutan harus dijatuhkan.[8] Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.[16]
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang hak
asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan
terhadap kemanusiaan;[15][17] persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.[16] Mereka yang
dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung, pemimpin Peleton II Batalyon Artileri
Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.[17] Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk
komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan
dari tuntutan, seperti mantan Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[17]
[18]
 Penuntutan dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwabertugas sebagai
saksi penuntutan.[14][19] Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan
Pranowo dibebaskan.[6] Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan
Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.[15] Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah
Agung RI.

Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa
pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat
mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin
Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam
kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail
dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie Dwi Widowati dalam karyanya berjudul
Langit Merah Jakarta.[1][2][3]

Latar belakang dan kejadian[sunting | sunting sumber]


Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial
Asia sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung
Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30.
Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa
mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat
keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa
panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti. Namun aparat
keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah Sakit
Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon
Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri
202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan
tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam
keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam,
hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru
tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Rentang waktu[sunting | sunting sumber]
 10.30 -10.45
o Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan
gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti
yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan.
Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
 10.45-11.00
o Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang
diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas,
kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap
kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
 11.00-12.25
o Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
 12.25-12.30
o Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan
tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke
jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa
menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
 12.30-12.40
o Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan
mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib
pada saat turun ke jalan.
 12.40-12.50
o Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung
MPR/DPR melewati kampus Untar.
 12.50-13.00
o Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta
Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua
lapis barisan.
 13.00-13.20
o Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat
(Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara
negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa
yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari
jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
 13.20-13.30
o Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat
menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut
merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak pada saat yang
hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4
truk.
 13.30-14.00
o Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa
berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan
antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan
bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat
dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
 14.00-16.45
o Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari
terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan
diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa
tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit
demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
o Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
 16.45-16.55
o Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik
aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tetapi setelah dibujuk
oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau
bergerak mundur.
 16.55-17.00
o Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke
dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut
agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar
memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena
mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan
dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
o Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba
seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak
tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini
memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota
aparat yang menyamar.
 17.00-17.05
o Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke
barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa
mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti
menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk
tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta
Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama
mundur.
 17.05-18.30
o Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat
ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada
mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang
mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat
diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
o Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa
dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan
berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan
penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan,
pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan
seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat
dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
o Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang
bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik
ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa
mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu
membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi
penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan
gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan
tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
o Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan
membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah
mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia
seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang
dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas
orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
o Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam
kampus.
 18.30-19.00
o Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu
mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju
RS.
 19.00-19.30
o Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di
sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih
dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa
ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera
memadamkan lampu untuk sembunyi.
 19.30-20.00
o Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan.
Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah
masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang
hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara
sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
 20.00-23.25
o Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban,
mahasiswa berangsur-angsur pulang.
o Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan
universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
 01.30
o Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir
dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen
(Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota
Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.
Kerugian[sunting | sunting sumber]

Banguna
Kendaraan Fasilitas Umum Korban Jiwa Sumber
n

1966 794 9 47 TGPF

5723 1948 516 288 PEMDA DKI

3811 2693 51 463 KODAM

8123 2054 43 495 Tabloid Adil

Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada 2 kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan
agenda Sidang Istimewa MPRyang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal
dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah
transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya
seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-
luka.

Tragedi I[sunting | sunting sumber]


Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk
menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf
Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak
untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde
Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa
setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia
internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang
Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh
mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena
mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Garis waktu[sunting | sunting sumber]

 Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan


Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
 Pada tanggal 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju
ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil
menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang
pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia
meninggal dunia.
 Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan
mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di
kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak
malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang
laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua
arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja[1].
Deskripsi[sunting | sunting sumber]
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar
jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat
melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa
mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani
Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama pada
hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-
kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan,
yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi
Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang
terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai
pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi
dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang
meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin
bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya
peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang
meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus
Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana,
Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang
terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2
orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang
anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-
luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka
ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari
berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun,
terkena peluru nyasar di kepala[3][4].
Tragedi II[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat
memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan
militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama
menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di
depan Universitas Atma Jaya.
Daerah lain[sunting | sunting sumber]
Selain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan
Palembang. Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas
Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton.
Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas karena
tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.

Film dokumenter[sunting | sunting sumber]


 Student Movement in Indonesia, produksi Jakarta Media Syndication, 1999 (Youtube)
Film dokumenter tentang gerakan mahasiswa Indonesia selama tahun 1998. Versi aslinya dengan
narasi dan teks berbahasa Inggris. Diputar di bioskop-bioskop di Indonesia dengan judul Tragedi
Jakarta 1998.

 Perjuangan Tanpa Akhir, produksi Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRa), 2005


Film dokumenter berdurasi 28 menit ini bercerita tentang perjuangan orang tua korban Tragedi
Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan II (1999) dalam upaya mereka meraih keadilan.

 Indonesian Student Revolt. Don’t Follow Leaders, produksi Offstream [1], 2001


Film dokumenter tentang perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia dari 1966-1998.

Peringatan[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 14 November 2005, para mahasiswa menaburkan bunga di Jl. Sudirman tepat di
depan kampus Universitas Atma Jaya untuk memperingati tujuh tahun Tragedi Semanggi I. Sehari
sebelumnya, peringatan Tujuh Tahun Tragedi Semanggi I diadakan di Sekretariat Jaringan
Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran HAM (JSKK), Jalan Binong 1A, samping kompleks Tugu
Proklamasi. Dimulai dengan konferensi pers, diskusi, dan ditutup dengan pemutaran film
dokumenter Perjuangan Tanpa Akhir karya AKKRa (Aliansi Korban Kekerasan Negara). [5][6]

Pengusutan[sunting | sunting sumber]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan
Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat
serta pertanggungjawaban mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada
masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di
lapangan. (Kompas, 16 November 1998).
Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit
yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa.
Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa
dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).[7]
Pengadilan HAM ad hoc[sunting | sunting sumber]
Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad
hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan
Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan
tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat
paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus
telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus. Hasil
rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul yang merupakan
rekomendasi Komisi III itu tak dibahas lagi.
Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat itu enam dari sepuluh fraksi
menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP,
Fraksi PKS, Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang
secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI Perjuangan,
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.[8]
Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir putusan Komisi III-yang menyarankan
pimpinan DPR berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk
Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan
Semanggi semakin tidak jelas.
Pada periode sebelumnya 1999-2005, DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan
Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. Tanggal 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI
mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan tersebut:

 F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur
pelanggaran HAM Berat.
 Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi)
menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS
Munir Said Thalib
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam
pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September2004 pada umur 38 tahun) adalah seorang
aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif
Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat
Dewan Kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang
diculik pada masa itu. Saat itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim
Mawar dari Kopassus. [1].
Munir lahir di Malang, 8 Desember 1965, seorang aktivis muslim yang kemudian beralih menjadi
seorang Munir yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti
kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktik-praktik otoritarian serta militeristik.
Ia adalah seorang aktivis yang sangat aktif memperjuangkan hak-hak orang tertindas. Selama
hidupnya, ia selalu berkomitmen untuk selalu membela siapa saja yang haknya terzalimi. Tidak gila
harta, pangkat, jabatan, dan juga fasilitas. Ia membuktikannya dengan perbuatan. Ketika ia
mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah sebagai penerima "The Right Livelihood Award". Ia tidak
menikmatinya sendiri, melainkan membagi dua dengan Kontras, dan sebagian lagi diserahkan
kepada ibunda tercintanya. Di tengah maraknya pejabat berebut fasilitas, Munir malah tidak tergoda.
Ia tetap menggunakan sepeda motor sebagai teman kerjanya. Seorang tokoh kelas dunia yang
sangat bersahaja.[2]

Masa muda[sunting | sunting sumber]


Munir Said Thalib lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia merupakan anak keenam dari tujuh
bersaudara Said Thalib dan Jamilah.[3] Munir sempat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya dan mendapat gelar sarjananya. Selama menjadi mahasiswa, Munir dikenal sebagai
aktivis kampus yang sangat gesit. Ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1998, Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum
Indonesia pada tahun 1989, anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan
Berpikir Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Al-Irsyad cabang Malang pada 1988, dan
menjadi anggota Himpunan Mahsiswa Islam (HMI).

Aktivitas[sunting | sunting sumber]
Munir mewujudkan keseriusannya dalam bidang hukum dengan cara melakukan pembelaan-
pembelaan terhadap sejumlah kasus, terutama pembelaannya terhadap kaum tertindas. Ia juga
mendirikan dan bergabung dengan berbagai organisasi, bahkan juga membantu pemerintah dalam
tim investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).[1]
Beberapa kasus yang pernah ia tangani yaitu pada kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak
melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor timur dari Indonesia
pada 1992, kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994,
menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus pembunuhan petani-petani oleh
militer pada tahun 1993, menjadi penasehat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam
kasus kerusuhan di PT.Chief Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan pada tahun 1995,
Penasehat hukum Muhadi (sopir) yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang polisi di
Madura, Jawa Timur pada 1994, penasehat hukum para korban dan keluarga Korban Penghilangan
Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997 hingga 1998,
penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung
Priok 1984 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di
Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator advokasi kasus-
kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui Kontras. Termasuk beberapa kasus di
wilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari kebijakan operasi Militer. Munir juga aktif di beberapa
kegiatan advokasi dalam bidang perburuhan, pertanahan, Lingkungan, Gender dan sejumlah kasus
pelanggaran hak sipil dan politik.Pada Tahun 2003, Munir bersikeras untuk ikut dengan sejumlah
aktivis senior dan aktivis pro demokrasi mendatangi DPR paska penyerangan dan kekerasan yang
terjadi di kantor Tempo, padahal ia masih diharuskan beristirahat oleh dokter. [4]
Pada tahun 2004, Munir juga bergabung dengan Tim advokasi SMPN 56 yang digusur oleh Pemda.
Selain itu, ia juga seorang yang aktif menulis di berbagai media cetak dan elektronik yang berkaitan
dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan kepolisian, Politik dan perburuhan. Munir
adalah sosok pemberani dan tangguh dalam meneriakkan kebenaran. Ia adalah seorang pengabdi
yang teladan, jujur, dan konsisten. Berkat pengabdiannya itulah, ia mendapatkan pengakuan yang
berupa penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri, ia dinobatkan sebagai Man
Of The Year 1998 versi majalah UMMAT, penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan UNIBRAW yang
sukses, sebagai salah seorang tokoh terkenal Indonesia pada abad XX, Majalah Forum Keadilan.
Sementara di luar negeri, ia dinobatkan menjadi As Leader for the Millennium dari Asia Week pada
tahun 2000, The Right Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol
sipil atas militer, Stockholm pada Desember 2000, dan An Honourable Mention of the
2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha- usahanya dalam mempromosikan toleransi dan
Anti Kekerasan, Paris, November 2000.[5]

Kematian[sunting | sunting sumber]
Kronologi Pembunuhan Munir[sunting | sunting sumber]
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi
Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi
dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan menuju Amsterdam
menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu
Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.[2]
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda)
menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi
Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa
oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior,
tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi
independen,[6] namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.[1][5]
Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri
bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005,
tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela
HAM Indonesia.[2][7]
Proses pengadilan bagi pihak terlibat[sunting | sunting sumber]
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior,
tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi
independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa
dia adalah otak pembunuhan Munir[8]. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah
padanya[9].Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial
dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.[4]
[7][10]
.

Film dokumenter[sunting | sunting sumber]


Untuk memperingati satu tahun kepergian Munir, diluncurkan film dokumenter karya Ratrikala Bhre
Aditya dengan judul Bunga Dibakar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, 8 September 2005. Film ini
menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai seorang suami, ayah, dan teman. Munir digambarkan
sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang
suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan.
Munir dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia
yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.[4]
Sebuah film dokumenter lain juga telah dibuat, berjudul Garuda's Deadly Upgrade hasil kerja sama
antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Productions.
Pada peringatan tahun kedua, 7 September 2006, di Tugu Proklamasi diluncurkan film dokumenter
berjudul "His Strory". Film ini bercerita tentang proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang
terungkap di pengadilan.[2][5]

Karier[sunting | sunting sumber]
 Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
 Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (2001)
 Koordinator Badan Pekerja KONTRAS (16 April 1998-2001)[11]
 Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
 Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
 Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
 Direktur LBH Semarang (1996)
 Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
 Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
 Ketua LBH Surabaya Pos Malang
 Relawan LBH Surabaya (1989)
 Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 1988.
 Koordinator IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia 1989.
 Anggota Forum Studi Mahasiswa untuk pengembangan berpikir, Unbraw 1988.
 Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unbraw 1988.
 Sekretaris Al Irsyad cabang Malang 1988.
 Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
 Penasihat hukum warga Nipah, Madura dalam kasus pembunuhan petani oleh militer 1993.
 Penasihat hukum sebelas buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Sidoarjo teman Marsinah yang
diberhentikan secara paksa kepada perusahaan dan pihak Kodim melalui hukum perdata.
 Penasihat hukum keluarga Marsinah yang dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh.
 Penasihat hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus kriminalisasi
dengan tuduhan subversi dan gugatan tata usaha negara atas perkara pemecatan Sri Bintang
Pamungkas sebagai dosen di Universita Indonesia (1997).
 Penasihat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus PT Chief Samsung, dengan
tuduhan sebagai otak kerusuhan (1995).
 Penasihat hukum Muhadi supir yang dituduh melakukan penembakan terhadap petugas polisi di
Madura, Jawa Timur (1994).
 Kasus penghilangan secara paksa 24 korban aktivis korban dan mahasiswa 1997 dan 1998.
 Penasihat korban dan keluarga korban kasus Tanjung Priok 1984, hingga 1998.
 Penasihat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998)
dan Semanggi II (1999).
 Penasihat hukum dan koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh,
Lampung, dan Papua (ribuan kasus yang terrjadi akibat operasi militer).
 Anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor timur tahun 1999.
 Membongkar kasus penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar yang berujung diadilinya
personel Tim Mawar.
 Suardi Tasrif Award tahun 1998 dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) untuk kategori
organisasi yang mengembangkan hak-hak informasi kepada masyarakat atas pelanggaran
HAM.
 Serdadu Award (1998) dari organisasi para seniman dan pemusik jalanan Jakarata, atas
upayanya dalam mempromosikan penegakan HAM.
 Yap Thiam Hien Award tahun 1998 sebuah penganugrahan paling bergengsi di bidang HAM di
Indonesia.
 KontraS menjadi anggota dan partisipan AFAD, sebuah jaringan kerja organisasi yang
mengadvokasi kasus orang hilang se Asia – Pacific
 Sebagai Leaders for the Millenium pilihan Asia Week tahun 2000
 Man of The Year dari Majalah Ummat tahun 1998.
 Seratus tokoh Indonesia Abad XX dari majalah Forum Keadilan.
 Penganugerahan peniti emas sebagai alumni berprestasi dari Universitas Brawijaya tahun 1999.
 The Right Livelihood Award (alternative nobel prizes) dari Swedia untuk pengembangan kontrol
sipil atas militer dan promosi HAM.
 An Honourable Mention of the 2000 Unesco Madanjeet Singh Prize atas usahanya
mempromosikan toleransi dan anti kekerasan, Paris, November 2000

Organisasi[sunting | sunting sumber]
 Sekretaris BPM FH Unibraw (1988)
 Ketua Senat Mahasiswa FH Unibraw (1989)
 Anggota HMI Komisariat Hukum Unibraw
 Ketua Umum Komisariat Hkukum Unibraw HMI Cabang Malang
 Sekretaris Al Irsyad Kabupaten Malang (1988)
 Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
 Sekretarsi Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
 Right Livelihood Award 2000, Penghargaan pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil
terhadap militer (Swedia, 8 Desember 2000)
 Mandanjeet Singh Prize, UNESCO, untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan Anti-
Kekerasan (2000)
 Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (Majalah Asiaweek, Oktober 1999)
 Man of The Year versi majalah Ummat (1998).
 Suardi Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas nama Kontras
 Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
 Yap Thiam Hien Award (1998)
 Satu dari seratus tokoh Indonesia abad XX, majalah Forum Keadilan

Kasus-kasus penting yang pernah ditangani[sunting | sunting sumber]


 Penasihat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus Fernando Araujo, dkk, di Denpasar yang
dituduh merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam untuk
memisahkan Timor-Timur dari Indonesia; 1992
 Penasihat Hukum Kasus Jose Antonio De Jesus Das Neves (Samalarua) di Malang, dengan
tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia; 1994
 Penasihat Hukum Kasus Marsinah dan para buruh PT. CPS melawan KODAM V Brawijaya atas
tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktivis buruh; 1994
 Penasihat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban
militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
 Penasihat Hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus subversi dan
perkara hukum Administrative Court (PTUN) untuk pemecatannya sebagai dosen, Jakarta; 1997
 Penasihat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus subversi, Jakarta; 1997
 Penasihat Hukum Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, Sholeh (Ketua PPBI dan anggota PRD)
dalam kasus subversi, Surabaya;1996
 Penasihat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus perburuhan PT. Chief
Samsung; 1995
 Penasihat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo, Jawa
Timur; 1993
 Penasihat Hukum DR. George Junus Aditjondro (Dosen Universitas Kristen Satyawacana,
Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap pemerintah, Yogyakarta; 1994
 Penasihat hukum Muhadi (seorang sopir yang dituduh telah menembak polisi ketika terjadi
bentrokan antara polisi dengan anggota TNI AU) di Madura, Jawa Timur; 1994
 Penasihat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
 Penasihat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil
di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
 Penasihat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan II;
1998-1999
 Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
 Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku
 Penasihat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua
(bersama KontraS)

Anda mungkin juga menyukai