Anda di halaman 1dari 10

Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami hampir semua negara,

terutama negara-negara yang usianya masih relatif muda, termasuk Indonesia. Hal ini
disebabkan karena mendirikan negara berarti menyatukan orang-orang dengan segala
perbedaan yang ada menjadi satu entitas kebangsaan yang baru menyertai berdirinya negara
tersebut. Begitu juga negara Indonesia yang usianya masih relatif muda. Sejak proklamasi
kemerdekaan sampai sekarang negara Indonesia masih menghadapi persoalan bagaimana
menyatukan penduduk Indonesia yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam suku,
memeluk agama yang berbeda-beda, berbahasa dengan bahasa daerah yang beranekaragam,
serta memiliki kebudayaan daerah yang berbeda satu sama lain, untuk menjadi satu entitas
baru yang dinamakan bangsa Indonesia.
Dalam skala nasional, kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM) merupakan konflik yang bersifat vertikal dengan target untuk memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)


GAM merupakan bentuk perlawanan dari rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia
untuk memperoleh kemerdekaannya dari NKRI. Pemerintah Indonesia menyikapinya sebagai
gerakan pengacau stabilitas keamanan atau pemberontak dan dilabeli sebagai Gerakan
Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPLK) atau Gerakan Pengacau Liar
Hasan Tiro (GPLHT). GAM muncul karena adanya perasaan sakit hati terhadap pemerintah
Indonesia yang dianggap mengkhianati identitas masyarakat Aceh yang sebelumnya pernah
dituntut pada era DI/TII serta penguasaan terhadap sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah
Indonesia dan pendistribusiannya kepada daerah Aceh dilakukan secara tidak adil.

Konflik kekerasan di Aceh yang semakin berlarut-larut dimana bentuk pelanggaran


HAM yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia yang terjadi di Aceh cukup beragam
seperti pembunuhan, penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik atau mental,
penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, pemerkosaan dan kekerasan seksual,
penghilangan paksa dan pembakaran rumahrumah penduduk dan fasilitas umum. Pola ini
dinilai tidak sekedar merupakan pelanggaran HAM biasa melainkan telah menjadi suatu
tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Bahkan lebih jauh lagi
adanya tindakan kejahatan berupa pembunuhan secara besar-besaran.

Di tengah upaya-upaya penyelesaian konflik Aceh yang tidak kunjung menemukan titik
terang, tiba-tiba terjadi bencana alam yang dahsyat. Bencana tsunami yang telah membawa
perubahan signifikan terhadap dinamika konflik Aceh, antara GAM dengan Pemerintah
Pusat. Hal tersebut merupakan salah satu yang dapat meredakan konflik, karena dapat
mengetuk hati nurani semua pihak untuk berdamai dan melahirkan MoU Helsinki tanggal 15
Agustus 2005.

Pasca tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, Pemerintah Indonesia dan GAM
menyetujui perjanjian damai di Helsinki dan membawa perubahan konflik di Aceh antara
GAM dengan Pemerintah Pusat yang tidak lagi ditandai dengan kekerasan, namun lebih
menunjukkan pada konflik non kekerasan. Proses pembangunan di Aceh kembali berlanjut
melalui rekonstruksi, rehabilitasi serta rekonsiliasi ke arah perdamaian positif dan
mendapatkan dukungan dari dunia internasional.

 Tujuan
GAM adalah gerakan separatisme bersenjata yang bertujuan agar Aceh terlepas
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI

 Penyebab
Pada masa Orde Baru kebijakan pemerintah ditekankan pada pembangunan
dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset-aset
sumber daya alam di Aceh di eksploitasi dalam konteks pembangunan ini.
Dalam bidang ekonomi, masalah ekspolitasi ekonomi menjadi akar konflik yang
patut dicermati. Aceh yang kaya akan sumber daya alam namun amat di sayangkan
masyarakat Aceh tidak di libatkan dalam proses perencanaan, pengolahan, dan
distribusi hasil dan potensi sumber daya alam daerah mereka.
Secara struktural, sebagai contoh pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru,
pada tahun 1971, tepatnya di Lhoksumawe, ibukota Aceh Utara di temukan cadangan
gas alam dalam jumlah yang cukup besar dan tahun 1974 mulai di bangun pabrik
Liquefied Natural Gas (LNG). Kemudian sejak tahun 1977 sudah di pasarkan secara
komersial dan menjadikan Aceh sebagai kawasan industri yang strategis. Namun
kondisi fisik daerah yang ada di sekitar kawasan industri cenderung tidak berubah,
dan keadaannya masih seperti daerah ini belum menjadi kawasan industry.
Pada tahun 1982 hingga tahun 1985 di bangun pula PT Pupuk Iskandar Muda
(PIM) serta pabrik kertas PT. Kertas Kraft Aceh (KAA) serta sebuah MNC, yakni
Mobil Oil. Sejak itu Aceh mulai berkenalan dengan industri-industri besar. Wilayah
Aceh Utara kemudian di kemas dalam satu wilayah industri yang di namakan Zona
Industri Lhokseumawe (ZILS).
Ekonomi Aceh Mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Namun amat di
sayangkan, tingkat pertumbuhan yang cukup fantastik itu tidak memberikan pengaruh
yang positif bagi kesejahteraan penduduk setempat bahkan kehidupan masyarakat
yang hidup di kawasan industri menunjukan ketidakberdayaan penduduk setempat
dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berubah begitu cepat.
Industrialisasi ini, memberikan denyut kekayaan ekonomi yang luar biasa
terutama dari migas, pada 1984. Namun demikian, hadirnya wilayah industri ini,
bukanlah tanpa meninggalkan masalah seperti :
1. Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah yang di gunakan dalam membangun
industry
2. Sebagian masyarakat di takut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah dan
menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik maupun
nonfisik
3. Penduduk asli Aceh yang sudah tergusur tanahnya di tempatkan di lokasi-lokasi
penampungan yang jauh dari desa asal mereka dan jauh dari mata pencaharian
mereka semula
4. Eksploitasi Pusat dan Daerah, salah satu masalah lainnya pemicu keinginan rakyat
Aceh ingin merdeka adalah adanya indikasi eksploitasi pemerintahan pusat atas
kekayaan alam Aceh yang terlalu besar
5. Fakta bahwa suku bangsa Aceh menempati 2/3 wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam hampir menyeluruh di kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie,
Kabupaten Aceh Utara, sebagian Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat.
Faktor ekonomi inilah yang berwujud adanya ketidakadilan dan ketimpangan
ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru
menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Karena Sistem
sentarlistik Orde Baru telah membuat posisi tawarmenawar yang lemah bagi daerah
dan memberikan alokasi sumber-sumber kekuasaan yang terlalu besar ke pusat dan
tidak menempatkan daerah dalam posisi yang sejajar dalam sistem politik. Aceh
hanya menjadi subordinat dari pusat yang melayani kepentingan pusat saja, dan
akibatnya menimbulkan eksploitasi secara sistemik, yaitu eksploitasi politik dan
ekonomi. Aceh tidak diberikan tempat yang seharusnya, apalagi dalam penerapan
keistimewaan itu tidak di berikan oleh pemerintah pusat.
 Dampak
Konflik kekerasan yang berkepanjangan selama hampir tiga puluh tahun ini telah
menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh. Yang mengakibatkan
puluhan ribu orang menjadi korban kekerasan, hancurnya dunia pendidikan,
hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak berjalan dan rakyat hidup
di bawah garis kemiskinan.

Dampak langsung yang dapat disaksikan pada ratusan bahkan ribuan korban
konflik terutama bagi anak-anak, perempuan, dan para janda yang berada di
barakbarak pengungsian yang menderita fisik maupun psikis. Muncul ironi, Musibah
tsunami mendatangkan rahmat bagi orang rakyat Aceh. Program rehabilitasi Aceh
sekarang tampaknya tidak sungguh-sungguh diarahkan untuk menjamin bahwa para
korban tersebut memperoleh prioriotas pemberdayaan dari proyek-proyek rehabilitasi.
Banyak kontraktor yang tidak mau memakai sumber daya lokal dengan alasan di
samping harus bayar mahal, juga alasan kualitas kerjanya kurang bagus.

Munculnya NGO atau LSM internasional pasca tsunami telah ikut membawa
kompleksitas tersendiri bagi proses-proses pembangunan perdamaian berkelanjutan di
Aceh. Masyarakat korban konflik ataupun korban tsunami makin terbiasa dengan
bantuan dan Charity. Akibatnya, tawaran-tawaran pemberdayaan yang tidak
menyertakan bantuan material cenderung diabaikan. Namun, kurangnya konsolidasi
antara LSM pendampingan korban pengungsi terhadap konstruk mental ini akan
menjadi kendala tersendiri untuk membangun kemandirian korban pengungsi untuk
kembali hidup normal di tengah-tengah masyarakat.

 Solusi
a. Dalam kerangka penyelesaian masalah Aceh, pemerintah pusat seringkali
melakukan kebijakan militeristik yang represif, ini membuat rakyat Aceh sangat
menderita, mereka hidup dalam kemiskinan, kebingungan, ketakutan, merasa
tertekan dalam berbagai aspek, namun pemerintah pusat kembali menggelar
operasioperasi militer setelah dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM)
pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yaitu pada tanggal 8 Agustus 1998
b. Pada awal 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencoba melakukan pendekatan
baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba
membuka dialog damai dengan GAM
c. Pada tanggal 30 Januari 2000 Presiden Abdurrahman Wahid meminta kesediaan
Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) untuk berperan sebagai penengah
dalam proses perundingan atau untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna
menyelesaikan konflik Aceh. Ketika berpidato di HDC pada tanggal 30 Januari
2000, Abdurrahman Wahid menekankan pada peran dialog kemanusiaan dalam
mengubah situasi konflik yang pada umumnya didasarkan pada ideologi.
Permintaan ini kemudian ditanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang
dilakukan HDC adalah membawa RI- GAM secara bersama-sama ke meja
perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian disusul dengan serangkaian
dialog yang dihadiri kedua belah pihak.
d. Pemerintah kemudian mengambil beberapa kebijakan yang bersifat persuasif
kepada rakyat Aceh, maka di keluarkanlah beberapa Inpres , pada 11 April 2001,
diumumkannya Instruksi Presiden No. 4 tahun 2001 mengenai langkah-langkah
komprehensif penyelesaian konflik Aceh yang mencakup enam bidang yaitu :
Politik, ekonomi, sosial, hukum, ketertiban manusia, keamanan, pendidikan, dan
media informasi dan komunikasi.
e. Pada 23 Juli 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri yang menggantikan
Abdurrahman Wahid sudah diberlakukan undang-undang No. 18 tahun 2001
mengenai Status Otonomi Khusus. Dengan berlakunya undang-undang tersebut
Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Status Otonomi Khusus ini memberikan beberapa implikasi yang cukup
penting, di antaranya penetapan undang-undang tersebut merefleksikan pergeseran
inisiatif legislatif dari birokrat pusat kepada parlemen dan provinsi sehingga
bukan saja pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, akan tetapi dari birokrat ke
parlemen. Implikasi dari keduanya adalah diambilnya strategi yang berbeda oleh
pemerintah pusat terhadap konflik di Aceh.
f. Untuk mengakhiri pemberontakan di tubuh orang Aceh hanya ada satu jalan,
yakni operasi terpadu. Berlakunya kesepakatan Penghentian Kekerasan Cessation
on Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani di Jenewa pada 9
Desember 2002. Namun lagi-lagi jalan buntu menghadang kedua belah pihak.
Sementara pemerintah tengah mengkaji tiga alternatif kebijakan yang akan di
terapkan di Nanggroe Aceh Darussalam, keluarlah Keputusan Presiden No.18
tahun 2003 yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk menerapkan status darurat
militer di Aceh.
g. Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26 December 2004
telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai dan
juga mempercepat dorongan bagi pemerintah RI guna mengakhiri derita fisik dan
psikis rakyat Aceh. Pada sisi lain Gerakan Aceh Merdeka sebagai gerakan yang
melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat, juga memiliki keinginan untuk
menyelesaikan konflik Aceh. Musibah tersebut menuntut Pemerintah dan GAM
untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan
bersenjata di Aceh. Mempertemukan keinginan Pemerintah RI dan GAM dalam
rangka menyelesaikan konflik Aceh tentu tidak semudah yang dibayangkan. Oleh
karenanya kearifan dan kerendahan hati para pemimpin sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Muhammad Jusuf Kalla menjadi penting dan menentukan bagi
terwujudnya proses perdamaian di Aceh.
h. Pada tanggal 15 Agustus 2005, akhirnya tercapai kesepakatan untuk
menghentikan konflik antara GAM dan Tentara Republik Indonesia (TNI) dibantu
Polisi Republik Indonesia (Polri) di Helsinki, Finlandia. Perundingan yang
dimediasi oleh Martti Ahtisaari mantan Presiden Finlandia dan Direktur Crisis
Management Initiative menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang dikenal
dengan nama Memorandum of Understanding (MoU). Ada tiga poin utama dari
MoU Helsinki tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu penerapan syarat Islam dan
Lembaga Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil
minyak bumi dan gas alam sebesar 70 persen. Sementara pihak GAM sendiri
bersedia untuk menanggalkan tuntutan merdeka dan bersedia membangun Aceh
ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Organisasi Papua Merdeka (OPM)


Organisasi Papua Merdeka atau yang lebih dikenal sebagai OPM adalah gerakan
separatisme yang terjadi sejak tahun 1963. Pada tanggal 26 Juli 1965, dibawah pimpinan
Permenas Ferry Awom, mantan anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwulinger
Corps), terjadi pemberontakan untuk pertama kalinya di Manokwari (Djopari, 1993). OPM
merupakan organisasi yang terdiri dari tiga elemen, yaitu: kelompok bersenjata, dengan
tiaptiap kelompok memegang kontrol wilayah yang berbeda; kelompok yang melakukan
demonstrasi dan melakukan protes; serta kelompok kecil pemimpin yang memiliki basis di
luar negeri (Institute for Policy of Conflict, 2015). Hampir semua anggota OPM yang
bersenjata bermarkas di Papua. Namun, terdapat sebagian orang berada di perbatasan dan
perdalaman Papua Nugini.
Bagi Pemerintah Indonesia, OPM merupakan sebutan bagi setiap organisasi atau fraksi
yang ada di Irian dan juga yang berbasis luar negeri yang memiliki tujuan yakni melepaskan
Irian Jaya (Papua Barat) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pimpinan pro-
Papua Barat (Ngatiyem, 2007). Sedangkan Viktor Kaisiepo berangapan bahwa OPM
merupakan fraksi yang lahir dari perjuangan di Irian Jaya dan Papua Barat. Merekalah yang
mengirim informasi kepada pimpinan Papua di Belanda untuk sama-sama berjuang demi
kemerdekaan Papua Barat. Dengan demikan, para pemimpin Papua di Belanda, seperti
Nicolaas Jouwe dan juga Marcus Kaiseiepo kemudian membentuk upaya perjuangan dari sisi
militer dan politik demi kemerdekaan Papua Barat dengan mengatasnamakan Organisasi
Papua Merdeka (OPM) sebagai bentuk kesatuan perjuangan Papua Barat (Djopari, 1993).

 Tujuan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan nasionalis yang bertujuan
untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia

 Penyebab
Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi
sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama:

1. Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik


papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara
nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan
papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik
penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya
PEPERA 1969 dan di terimanya  hasil penentuan tersebut  oleh majelis umum
sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969  itu
sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia,
kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua
berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
2. Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem
ini muncul  sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah  harga mati
dan gagasan memisahkan diri  merupakan tindakan melawan  hukum yang di
kemudian di identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan
dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri
perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak
asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM).
Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul
sebagai sosok yang berwajah sangar.
3. Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan
salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua  di karenahkan adanya
ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan
dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi
besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua  adalah beberapa
hal yang menjadikan  pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua.
Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan
di erah sebelum  dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah
dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli  dan
pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
4. Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan
otsus. Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat
jelas terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada
asprk demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di
identikan dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di
erah orde baru, orang  Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur

 Dampak
Dampak yang dapat ditimbulkan yang pertama dampak psikososial yaitu
memperkuat "stigmatisasi" negatif dan memperjelas diskriminasi yang berkelanjutan
bagi orang Papua yang tinggal di Papua maupun di luar Papua (perantauan). Kedua,
dampak destruktif yaitu siklus kekerasan akan bergejolak yang berpotensi pada
munculnya kekerasan masif yang mengakibatkan jumlah korban masyarakat (sipil)
semakin meningkat dan memperpanjang daftar pelanggaran HAM. Fakta menunjukan
bahwa dari awal 2010 sampai april 2021 terdapat 299 kasus kekerasan di Papua
dengan jumlah korban meninggal hingga 395 orang dan 1.579 orang terluka akibat
tembakan, terkena panah atau bacokan senjata tajam (Taher, 2021). Hal ini tentu saja
mencederai sipil dan membumkam rasa kemanusiaan dengan menghilangkan nyawa
manusia yang tidak berdosa.

 Solusi
Pendekatan keamanan dengan terminologi teroris yang melekat pada KKB tentu
saja menghambat prospek perdamaian yang terjadi di Tanah Papua. Upaya tersebut
tidak akan mencapai perdamaian dan justru berdampak pada eskalasi konflik secara
terus menerus. Perdamaian sebagaimana diartikan oleh Johan Galtung (1967) peace is
the absence/reduction of violence in all kinds mengisyaratkan perdamaian terjadi
tanpa adanya kekerasan dalam semua jenis. Namun, apa yang terjadi di Papua
menunjukkan bahwa pendekatan keamanan bukan solusi untuk upaya perdamaian di
Papua. Pendekatan nirkekerasan dapat dilakukan untuk mencapai damai di Papua
melalui strategi "dialong" yang tidak membunuh siapapun (Neles Tebay, 2011). Hal
ini semakin diperjelas bagaimana dialog juga sudah disebutkan sebagai media
perdamaian di Papua pada masa era Susilo Bambang Yudhono. Kemudian juga di era
pemerintah Jokowi pada 27 desember 2014 dalam pernyataanya 'semangat untuk
mendengar dan berdialog dengan hati, inilah yang ingin saya gunakan sebagai fondasi
untuk menatap masa depan Tanah Papua'. Untuk itulah mekanisme dialog untuk
penyelesaian perdamaian sangat dinantikan dan tentunya pentingnya kekonsistenan
antara stakeholder untuk mewujudkannya demi Tanah Papua yang damai.
DAPUS
Jayanti. K. KONFLIK VERTIKAL ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA DI ACEH
DENGAN PEMERINTAH PUSAT DI JAKARTA TAHUN 1976-2005. Jakarta
Sekar Wulan Febrianti. Ajeng Sekar Arum. Windy Dermawan. Akim. (2019).
Penyelesaian Konflik Internal antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan
Separatisme di Papua melalui Mekanisme Horse-Trading: Society, 7 (2), 90-
108
Shindyawati. (2019). DESENTRALISASI DALAM INTEGRASI NASIONAL Studi Kasus:
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Di Indonesia Dan Gerakan Pemberontak
Moro Di Filipina. Jawa Barat: Volume 1 (1). 32-40
Melpayanty Sinaga. Dampak Pelabelan Teroris OPM (Organisasi Papua Merdeka)
terhadap Prospek Perdamaian Papua
https://eprints.umm.ac.id/84751/3/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai