Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONFLIK SOSIAL DI ACEH

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Virza Tri Yuwantana 04221022
Rasendriya Fadla Ayyadana 04221058
Muhammad Arif Agustia Sandra 12221019
Pasadiwa Sahasraya 12221024
Bela Emira Saskia 12221064

INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN


BALIKPAPAN
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis yang berjudul "Konflik Sosial di Aceh".

Tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas dari Ibu. Karya tulis ini
diharapkan dapat menjadi penambah wawasan bagi pembaca serta bagi penulis
sendiri. Dalam makalah ini, kami membahas tentang Konflik Sosial Di Aceh,
kronologis terjadinya konflik tersebut, faktor penyebab konflik tersebut, dan
bagaimana solusi penanganan konflik dari pemerintah dan pihak yang berkonflik.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah berbagi
pengetahuannya kepada penulis, sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan tepat
waktu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi
bahan referensi yang berguna.

Tidak ada gading yang tak retak, penulis menyadari jika makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
demi kesempurnaan dari makalah ini.

Balikpapan, 11 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH KONFLIK SOSIAL DI ACEH........................................................i


KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1. Latar Belakang........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................6
1.3. Tujuan Penelitian....................................................................................6
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................7
2.1 Kronologi Konflik Sosial Aceh...............................................................7
2.1.1 Awal Mula Gerakan Aceh Merdeka (GAM).....................................7
2.1.2 Tahap Awal Pemberontakan (1977-1979).........................................8
2.1.3 Tahap Kedua Pemberontakan (1989-1999).......................................9
2.1.4 Tahap Ketiga Pemberontakan (1998-2005).....................................10
2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Konflik sosial Aceh.............................11
2.2.1 Faktor Ekonomi................................................................................11
2.2.2 Faktor Budaya..................................................................................12
2.2.3 Faktor Kekecewaan Yang Dialami Rakyat Aceh............................13
2.1 Solusi Penanganan Konflik Dari Pemerintah.....................................13
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................16
3.1 Kesimpulan............................................................................................16
3.2 Saran.......................................................................................................16

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara majemuk dilihat dari banyaknya perbedaan
yang dimiliki seperti keberagaman bahasa, etnis, suku bangsa dan keyakinan
beragama. Hal ini merupakan modal kekayaan yang dimiliki Indonesia.
Namun di samping itu kemajemukan atau keanekaragaman juga dapat
mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat memunculkan kepentingan
antar kelompok yang berbeda-beda tersebut sehingga menimbulkan
perpecahan. Rahardjo (2005:1). Dalam Christiany Juditha (2016) mengatakan
bahwa pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya
konflik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Meski jika
diperhatikan lebih mendalam sebenarnya faktor-faktor penyebab dari
pertikaian tersebut kebanyakan berawal dari persoalan-persoalan
ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik.

Indonesia telah mengalami beberapa konflik internal, beberapa


konflik horizontal dan ada juga konflik vertikal salah satu konflik yang terjadi
di Indonesia adalah konflik Aceh. Konflik di Aceh merupakan konflik
vertikal yang cukup panjang yang terjadi selama bertahun-tahun karena
adanya kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aceh merupakan
provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatra dan paling barat kepulauan
nusantara. Aceh yang dikenal dengan nama lain Serambi Mekkah adalah
wilayah yang unik dari segi budaya dan kultur. Aceh bukanlah wilayah yang
homogen, tetapi heterogen.

Konflik Aceh yang berlangsung selama 29 tahun, yaitu dari pertama


diproklamasikannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 yang
pada akhirnya dapat diselesaikan dengan cara damai dan bermartabat.
Ditandai dengan adanya perjanjian Memorandum of Understanding (MoU)

4
Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) (Fahmi, 2013). Pada tahun 1953-1962 terjadi
pemberontakan yang pertama di Aceh yakni pemberontakan Darul Islam/
Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Teungku Daud
Beure’uh. Pemberontakan ini terjadi akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap
pemerintah Indonesia karena Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan
syariat Islam seperti yang telah dijanjikan Presiden Soekarno, tetapi justru
kemudian dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Selain itu
kekecewaan rakyat Aceh semakin diperburuk dengan disingkirkannya
Teungku Daud Beure’uh oleh pemerintah pusat. (Hermawan, 2007).

Pada masa Soeharto, GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar,


sehingga harus dibasmi, karena itu tidak ada referensi pada masa pemerintah
Soeharto untuk melakukan upaya integrasi politik bagi kelompok ini yang
kemudian menempuh pendekatan militer. Dalam memahami konflik Aceh
perlu diketahui bahwa konflik Aceh adalah konflik yang multidimensional.
Tidaklah mungkin untuk menyebutkan satu faktor yang menjadi akar konflik.
Berbagai hal saling terkait dalam kompleksitas konflik tersebut. Faktor sosial,
ekonomi, dan politik secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap
konflik yang akhirnya melahirkan sebuah gerakan separatisme untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat Aceh.

Hal itu kemudian mendapat respon dari pemerintah pusat Indonesia


bahwa apa yang terjadi di Aceh bisa mengganggu ketentraman NKRI yang
dapat memicu gerakan separatis di daerah lain sehingga pemerintah
mengambil keputusan untuk memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi
Militer pada tahun 1989- 1998.

5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kronologis terjadinya konflik sosial di Aceh (GAM)?


2. Apa faktor penyebab terjadinya konflik sosial tersebut?
3. Bagaimana dan apa saja solusi penanganan konflik sosial di Aceh dari
pemerintah?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kronologis dan sebab akibat terjadinya konflik sosial di Aceh


2. Mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya konflik sosial
tersebut
3. Mengetahui tindakan pemerintah dalam menangani konflik sosial yang
terjadi di Aceh.

6
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Kronologi Konflik Sosial Aceh
Aceh merupakan daerah yang dilanda konflik berkepanjangan
dimulai sejak tahun 1953 yang dipelopori oleh Teungku Daud Beureueh
dengan memproklamirkan gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia
DI TII. Munculnya gerakan itu akibat adanya kebijakan Pemerintah Pusat
yang ingin melebur Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Penggabungan dua provinsi ini membawa konsekuensi dihapusnya hak
istimewa bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam dalam
kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Konflik ini akhirnya dapat reda
dengan diberikannya status istimewa bagi Aceh dengan otonomi luas
dalam bidang agama adat dan pendidikan pada tahun 1959.

Konflik Aceh muncul kembali pada akhir 1976 ketika Hasan Tiro
memproklamirkan kemerdekaan Aceh 4 Desember 1976. Konflik yang
terjadi antara Aceh/GAM dengan Pemerintah Pusat yang dilatarbelakangi
oleh ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap daerah Aceh baik secara
politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Adapun Ancaman utama yang
dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam
konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap
"neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke
provinsi Aceh. GAM merupakan organisasi pembebasan Aceh dari
Pemerintah Pusat.

2.1.1 Awal Mula Gerakan Aceh Merdeka (GAM)


Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah gerakan separatisme
bersenjata di Aceh yang lahir dari rasa kecewa kepada pemerintah.
Gerakan Aceh Merdeka pada mulanya merupakan sebuah gerakan

7
yang tumbuh di sekitar lokasi industri, tepatnya di bukit Chokan
pidie, yang di pelopori oleh seorang intelektual aceh yang lama
tinggal di amerika serikat, yaitu Muhammad Hasan Tiro. Pada
tanggal 4 Desember 1976 bertempat di bukit Chokan, Hasan tiro
memproklamasikan kemerdekaan aceh dari indonesia, yang dikenal
sebagai hari lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Munculnya
GAM adalah akibat kebijakan pemerintah pusat dengan ABRI/TNI
sebagai penopang utama yang dianggap tidak adil terhadap rakyat
aceh dan gerakan ini dapat dipandang sebagai representasi
kekecewaan dan kemarahan masyarakat aceh terhadap Indonesia
pada masa orde baru. GAM sering disebut juga dengan Aceh
Sumatra National Liberation Front (ASNLF).

2.1.2 Tahap Awal Pemberontakan (1977-1979)


Pada awal kemunculannya, gerakan ini hanya mendapat
dukungan kecil. Hasan Tiro, yang pada waktu itu adalah seorang
pebisnis lokal dan sebelumnya pernah menjadi wakil Darul Islam
di PBB, mendirikan GAM pada Oktober 1976. Dia mengecam
kekuasaan kolonial “Jawa” dan khususnya eksploitasi sumber-
sumber daya alam Aceh serta penggunaan kekuatan militer untuk
menjaga kontrol. Hanya dengan beberapa ratus pendukung,
gerakan itu mendeklarasikan kemerdekaan Aceh-Sumatera pada
1977, sesekali menyebarkan propaganda, dan mengibarkan bendera
GAM di berbagai lokasi, tetapi hanya sedikit melakukan tindakan
militer. Kelompok ini terutama terdiri dari para intelektual,
teknokrat dan pebisnis.

Perlawanan yang terjadi melalui teknik gerilya itu


menewaskan milisi GAM dan juga masyarakat sipil. Walau begitu,
gerakan milisi GAM berhasil digagalkan oleh pemerintah pusat
dan kondisi bisa di netralisir. Pada akhir tahun 1979, tindakan
penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan

8
GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan,
dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri
dan bersembunyi. Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini
Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar
negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan
GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang
asli berhenti berfungsi.

2.1.3 Tahap Kedua Pemberontakan (1989-1999)


GAM kembali melakukan aktivitas setelah mendapatkan
dukungan dari Libya dan Iran berupa peralatan militer. Sepanjang
tahap konflik kedua yang bermula sejak pertengahan 1980-an, para
pemimpin GAM di Malaysia merekrut ratusan orang Aceh yang
tinggal di Aceh dan Malaysia untuk menjalani pelatihan militer di
Libya. Setelah kembali ke Aceh pada 1989, mereka meluncurkan
serangkaian serangan gerilya. GAM muncul lagi, dan dipersenjatai
lebih baik dan melancarkan serangan yang lebih gencar meski tetap
relatif kecil, dengan anggota inti beberapa ratus pejuang aktif.
Tahap kedua, pemimpin yang bergabung selama fase ini adalah
Sofyan Dawood (komandan GAM di Pasee, Aceh Utara) dan Ishak
Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).

Namun, gerakan gerilya ini kembali berhasil dilumpuhkan


oleh militer dan Aceh pun dinyatakan sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM) pada 1992. Pembakaran desa-desa yang diduga
menampung anggota GAM dibakar, dan militer Indonesia
menculik dan menyiksa anggota tersangka tanpa proses hukum
yang jelas. Diyakini terjadi setidaknya 7.000 pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) selama pemberlakuan DOM di Aceh.
Kebijakan operasi militer yang terus berlanjut hingga 1998 ini
berdampak pada pelanggaran HAM berat, sehingga kebencian
rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia semakin dalam.

9
2.1.4 Tahap Ketiga Pemberontakan (1998-2005)
Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya
Presiden Soeharto dari jabatan presiden memberi peluang bagi
GAM membangun kembali kelompok mereka. Presiden BJ
Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan
memutuskan menarik pasukan dari Aceh yang justru memberi
ruang bagi GAM untuk mempersiapkan serangan berikutnya.

TNI menyadari kekosongan operasi militer telah


dimanfaatkan oleh GAM untuk merekrut dan mereorganisasi
gerakannya. Bentrokan terus terjadi dan kesatuan-kesatuan polisi
dan militer melakukan operasi pembersihan ke desa-desa yang
mencurigai menjadi sarang GAM. Pada 2002 kekuatan militer dan
polisi di aceh semakin berkembang dengan jumlah pasukan
menjadi sekitar 30.000 personil bersamaan dengan itu, terjadi juga
berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM yang
mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa. Pada akhirnya perang
pecah kembali dan tidak dapat dihindari..

Abdurrahman Wahid mendekati GAM dan mencapai suatu


kesepakatan mengenai “jeda kemanusiaan”. Dibawah mediasi
Henry Dunant Centre di Swiss, kesepakatan itu ditandatangani
pada 12 Mei 2000 dalam suatu pertemuan yang dihadiri Hasan
Tiro, pemimpin GAM di pengasingan. “Jeda kemanusiaan” semula
dilihat sebagai kemenangan gemilang Abdurrahman Wahid karena
dilakukan hanya tiga bulan setelah ia menjadi presiden.

Masyarakat Aceh akan mengingat kejadian di tanggal 19


Mei 2003 di mana Aceh dinyatakan sebagai daerah dengan status
darurat militer. Hal ini dilakukan setelah Presiden Megawati
Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun

10
2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang berlaku mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00
WIB. Adapun usaha pemerintah yang ditempuh melalui kekuatan
militer di Aceh juga mulai terlihat hasilnya pada tahun 2003.

Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia


kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi
ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang
mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan
di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika
tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004
memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik
yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah
Indonesia tersebut.

Pada masa SBY, Pemerintah Indonesia meminta CMI


(Crisis Management Initiative) pimpinan Marthi Atiisari untuk
menjadi mediator negosiasi damai. Negosiasi meja pun mulai
berjalan melalui good office CMI. Proses negosiasi berjalan alot
namun produktif. Karena masing masing pihak berkomitmen
menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat.

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Konflik sosial Aceh

2.2.1 Faktor Ekonomi


Dari sisi ekonomi, masalah eksploitasi ekonomi menjadi
akar konflik yang patut dicermati. Aceh adalah daerah yang kaya
akan sumber daya alam. Hal tersebut terbukti dengan
ditemukannya ladang gas alam Arun. Beroperasinya kilang gas
Arun tahun 1977 di Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara,
menjadikan Aceh sebagai kawasan industri strategis. Arti strategis
bertambah dengan berdirinya pabrik pupuk Iskandar Muda dan

11
Pabrik Pupuk Asean, serta pabrik kertas PT. Kraft. Kekayaan alam
yang terus digali dan beroperasinya perusahaan perusahaan
nasional.

Membuat Aceh mampu menyumbangkan devisa negara


yang tidak sedikit. Sebagai gambaran pada tahun 1993 dari 6,644
triliun penghasilan bersih negara dari sektor migas, hanya 453,9
miliar yang kembali ke Aceh. Kekayaan daerah tersebut terserap ke
pemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk
keperluan pembangunan sehingga Aceh mengalami ketertinggalan
dari provinsi provinsi lain.

2.2.2 Faktor Budaya


Aceh sejak dahulu merupakan wilayah yang istimewa dan
berbeda dibandingkan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Selain
memegang teguh prinsip dan syariat Islam dalam kehidupan sehari-
sehari, Aceh merupakan kesultanan yang merdeka sebelum
datangnya kolonial Belanda pada tahun 1873, ditambah lagi Aceh
juga memiliki identitas regional, etnis dan nasionalisme yang kuat.

Keinginan Aceh yang begitu kuat untuk melaksanakan


syariat Islam mendapat tantangan keras dari pemerintah Pusat.
Pemerintah pusat tidak ingin Indonesia yang baru merdeka menjadi
terpecah karena penerapan negara Islam. Pikiran ini justru sangat
bertentangan bagi rakyat Aceh, yang menganggap justru
pemerintahan Soekarno tidak sesuai lagi dengan sila pertama
Pancasila yang menyebutkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Setiap usaha masyarakat Aceh untuk melestarikan


keistimewaan tersebut seperti telah dijelaskan diatas, dianggap
sebagai ancaman pada masa nation building di masa pemerintahan
Soekarno dan ideologi pembangunan yang sentralistik pada masa
pemerintahan Soeharto.

12
2.2.3 Faktor Kekecewaan Yang Dialami Rakyat Aceh
Presiden Soekarno menjanjikan diterapkannya syariat Islam
di Aceh setelah perjuangan kemerdekaan berakhir. Akan tetapi,
janji tersebut tidak pernah terpenuhi. Aceh tidak diberi otonomi
dengan penerapan syariat islam seperti yang telah dijanjikan, tetapi
Aceh justru dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Kekecewaan Kekecewaan ini menghasilkan pemberontakan Darul
Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) pada tahun 1953.

Selain itu, Sekalipun diberikan status Daerah Istimewa


Aceh, masyarakat Aceh sendiri sama sekali tidak merasakan
keistimewaan tersebut. Hal ini disebabkan karena pemerintah pusat
tidak memfasilitasinya dengan perangkat hukum, perundang-
undangan, dan peraturan maupun penyediaan anggaran yang
memadai untuk merealisasikan keistimewaan tersebut. Akibatnya
keistimewaan tersebut tidak lebih hanya merupakan simbol
kosong.

2.1 Solusi Penanganan Konflik Dari Pemerintah


Konsep dari Joseph Nye yang menunjukkan bahwa hard power
mengarah kepada penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan
konflik. Pola ini dipakai oleh Presiden Megawati saat menetapkan Darurat
Militer untuk Aceh. Sedangkan soft power merupakan penggunaan cara-
cara dialogis untuk menyelesaikan konflik. Pola ini pula yang dipakai oleh
Presiden SBY untuk menyelesaikan konflik Aceh hingga berakhir dengan
ditandatanganinya MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.

13
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwasannya setiap presiden yang
pernah memimpin di Indonesia memiliki cara mereka masing-masing
dalam mengatasi konflik yang ada di Aceh, baik itu dengan cara
kelembutan atau cara kekerasan. Namun, jika mengabaikan banyak aspek
seperti keamanan dan keselamatan, semuanya itu berdampak kepada
masyarakat.

Pihak pemerintah Indonesia dan GAM pada 27 Februari 2005


bersama-sama memulai langkah perundingan dengan melakukan
pertemuan di Finlandia. Dari pertemuan tersebutlah muncul beberapa
kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan GAM untuk mencapai
perdamaian. Kesepakatan tersebut terdiri dari enam bagian, yaitu:

● Menyangkut kesepakatan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di


Aceh.
● Tentang Hak Asasi Manusia.
● Tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat,
● Tentang Pengaturan Keamanan.
● Tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh.
● Tentang Penyelesaian Perselisihan.

14
Termuat pula 71 butir kesepakatan yang diantaranya menyebutkan:

● Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan pada semua sektor


publik
● Keamanan nasional
● Hal ikhwal moneter dan fiskal
● Kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama

Kesepakatan Helsinki tercapai dengan perundingan yang


berlangsung selama lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan
berakhir pada 15 Agustus 2005. Perdamaian ini kemudian ditandai dengan
ditandatanganinya nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dengan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia.

Pasca perjanjian damai, senjata GAM yang berjumlah 840


diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005, menyusul pembubaran
secara formal sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) pada 27
Desember 2005 sebagaimana dilaporkan oleh juru bicara militernya,
Sofyan Dawood. Menyusul hal tersebut, pemerintah Indonesia juga
mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) yang memberikan keleluasaan khusus bagi Aceh dalam
menjalankan pemerintahannya sendiri (otonomi khusus).

15
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik antara Aceh/GAM dengan Pemerintah Pusat terjadi pada
tahun 1976. GAM merupakan organisasi pembebasan Aceh dari
Pemerintah Pusat, Pemberontakan GAM di Aceh dilatarbelakangi oleh
ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap daerah Aceh baik secara politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Awal penghitungan dimulai saat
dideklarasikannya Aceh Merdeka (AM) oleh seorang pria bernama Hasan
Muhammad atau lebih dikenal sebagai Hasan Tiro di Gunung Halimun,
Pidie, 4 Desember 1976. Sejak itu, militer Republik Indonesia (RI) mulai
memfokuskan perburuan terhadap Hasan bersama pengikutnya yang
menginginkan Aceh menjadi wilayah independen (negara) yang terpisah
dari RI.

Penderitaan masyarakat Aceh berakhir pada tanggal 15 Agustus


2005 pihak GAM dan Pemerintah RI sepakat untuk berdamai setelah
berkonflik selama 30 tahun. Setelah kedua pihak menandatangani
perjanjian damai MoU Helsinki, organisasi GAM bertransformasi dari
perjuangan bersenjata kepada perjuangan politik. Berbagai harapan pun
muncul dari masyarakat Aceh kepada perjanjian damai yang telah
disepakati, dengan demikian pemerintah Indonesia membuat peraturan
khusus kepada provinsi Aceh (otonomi khusus).

3.2 Saran
Pemberontakan dapat terjadi karena adanya perbedaan pemikiran,
kepentingan, serta tujuan. Kekerasan juga tidak luput akibat dari
pemberontakan yang terjadi. Menyingkirkan keegoisan serta kepentingan
dapat menghentikan pemberontakan, dalam hal ini perjanjian perdamaian
dari kedua belah pihak menjadi kunci berakhirnya pemberontakan.
Perbedaan pendapat memang kerap kali kita temukan dalam kehidupan
sehari-hari, namun tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk

16
memperkecil perbedaan pendapat tersebut dengan menyepakati tujuan
serta kepentingan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Cut Maisarah & Efendi Hasan, TRANSFORMASI PERJUANGAN POLITIK
GERAKAN ACEH MERDEKA (Suatu Penelitian Terhadap Arah dan Strategi
Perjuangan Politik GAM Pasca 13 Tahun Perjanjian MoU Helsinki), Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FISIP Unsyiah, Volume 4, Nomor 2. 2019.
Kurnia Jayanti, KONFLIK VERTIKAAL ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA
DI ACEH DENGAN PEMERINTAH PUSAT DI JAKARTA TAHUN 1976-2005,
2013.
Murni Wahyuni, Isjoni, & Bedriati Ibrahim, THE HISTORY OF FREE ACEH
MOVEMENT’S REBELLION (GERAKAN ACEH MERDEKA, GAM) IN ACEH
YEAR 1976-2005, 2015.
Mallia Hartani & Soni Akhmad Nulhaqim, ANALISIS KONFLIK ANTAR UMAT
BERAGAMA DI ACEH SINGKIL. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, Vol. 2 No.
2. 2020.
Safriadi, DAYAH DAN RESOLUSI KONFLIK DI ACEH. Banda Aceh: IAIN
Lhokseumawe, 2022.
Usman, Akhyar, & Teuku M. Husni, TRANSFORMASI GERAKAN ACEH
MERDEKA (GAM) MENUJU MASYARAKAT CIVIL SOCIETY PASCA MOU
HELSINKI, 2017.
Yuandini Ariefka, Kartika Sari, & Nucke Yulandari, MEMAAFKAN PELAKU
PERKOSAAN DI MASA KONFLIK: PERJALANAN PANJANG KORBAN
KONFLIK DI ACEH, Jurnal Psikologi Unsyiah ISSN: 2614-6428, Vol 1, No. 2.
2018.
WEBSITE
http://eprints.uny.ac.id/21414/3/3.%20BAB%20I.pdf,
tanggal akses : 10-14 maret 2023
https://www.academia.edu/29923695/Gerakan_Aceh_Merdeka,
tanggal akses: 13-14 Maret 2023.
https://regional.kompas.com/read/2022/03/15/141817678/gerakan-aceh-merdeka-
penyebab-kronologi-konflik-dan-kesepakatan-helsinki?page=all,
tanggal akses : 12-14 Maret 2023.

17

Anda mungkin juga menyukai