Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MATA KULIAH KONFLIK AGAMA

“KONFLIK SARA YANG TERJADI DI TANJUNG BALAI,


SUMATERA UTARA”

Dosen Pengampu: Djurban

Oleh:

Ahmad Navi - 1904036004

JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................5
1.3. Tujuan penulisan makalah.........................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1. Konflik SARA di Indonesia..........................................................................6
2.2. Latar Belakang Konflik Agama di Tanjung Balai........................................6
2.3. Penyebab dari perusakan dan pembakaran di Tanjung Balai, Sumatera
Utara.....................................................................................................................8
2.4. Pelanggaran hak asasi manusia.....................................................................9
2.5. Solusi Terhadap Konflik SARA Tanjung Balai..........................................10
BAB III..................................................................................................................12
PENUTUP..............................................................................................................12
3.1. Kesimpulan..................................................................................................12
3.2. Saran............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

KATA PENGANTAR

2
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan
berkontribusi dengan memberikan sumbangan materi maupun pikiran. Makalah
ini membahas tentang Konflik SARA yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera
Utara.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas akhir
pada mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca
maupun penulis sediri. Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan
contoh maupun pelajaran yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari

Penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, Untuk itu,
pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangung dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 16 Oktober 2021

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak suku
bangsa dan agama yang tersebar dari sabang hingga merauke. Indonesia
memiliki beragam suku dan mengakui adalanya enam agama yaitu islam,
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Keberagaman
budaya ini merupakan salah satu kebanggaan dan jati diri dari rakyat
indonesia sendiri. Keberagaman ini merupakan keunggulan yang sebenarnya
menjadi alat pemersatu diantara banyaknya perbedaan. Seperti semboyan
negara kita, Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun satu juga.
Ekspektasi yang diinginkan mungkin adalah persatuan diantara keberagaman
dan mencapai kedamaian di lingkungan masyarakat. Namun, realitanya
sendiri, konflik yang menyangkut tentang SARA masih sering terjadi. Konflik
ini dapat berupa terorisme, peledakan bom pada rumah ibadah ataupun
pembakaran rumah ibadah. Hal ini merupakan dampak negative dalam
keberadaan keberagaman di tengah masyarakat. Menurut Sutardi (2007:24),
dalam sejarah bangsa ini, hal-hal yang menyangkut sara merupakan hal yang
sangat sensitif untuk dibahas dan pemerintah mengharapkan agar penyelesaian
masalah tidak menyangkut tentang SARA.

Dalam masa ini, kita sering kali mendengar maupun menyaksikan konflik
yang membawa tentang suku, agama ataupun ras. Konflik dan kerusuhan yang
bersumber dari persoalan atau permasalahan tentang SARA telah memakan
banyak korban (Asgart, 2003). Konflik antara ras tidak hanya terjadi pada
masa ini, namun sudah sering terjadi pada masa lampau. Beberapa konflik
pada masa Orde Baru dapat menjelaskan bagaimana maraknya konflik atau
kekerasan yang membawa ras, suku atau agama. Kerusuhan pada Mei 1998
membawa berbagai luka dan dampak hingga saaat ini masih tetap dikenang
sebagai kerusuhan terburuk yang menyangkut SARA. Akibatnya, tidak ada

4
kedamaian dan kerukunan antar masyarakat. Keseimbangan antara masyarakat
mulai tergoyahkan dan mengalami krisis. Hal ini membuat penulis merasa
prihatin kemudian mengangkat salah satu konflik tentang agama di daerah
tempat tinggal penulis yaitu pada daerah Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Kejadian ini terjadi pada tanggal 30 Juli 2016 yang merupakan salah satu
bentuk konflik karena adanya penghinaan dan pelecehan terhadap salah satu
agama yaitu agama islam yang kemudian mengakibatkan pembakaran rumah
ibadah.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat
dirumuskan masalah yang mendasari makalah ini yaitu:

1.2.1. Apakah latar belakang dari terjadinya konflik SARA ini?


1.2.2. Apa penyebab dari terjadinya konflik yang menyangkut SARA ini?
1.2.3. Bagaimana cara penyelesaian konflik ini?

1.3. Tujuan penulisan makalah


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian
Tengah Semester dari mata kuliah Konflik Agama Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang. Selain itu, penulis juga ingin mengeksplor lebih tentang
konflik agama dan bagaimana penyelesaiannya baik dari sudut pandang
pemerintah maupun masyarakat setempat. Penulis juga berharap agar karya ini
dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan informasi.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konflik SARA di Indonesia


Konflik yang terjadi daerah Tanjung Balai merupakan konflik yang
berkaitan dengan agama. Konflik sosial yang bertemakan agama sudah sering kita
temui dalam sejarah indonesia. sebut saja konflik Ambon pada tahun 1999-2000
dan konflik Poso 1998-2000.ketidaksamaan agama membuat masyarakat
cenderung memiliki pemahaman dan pengertian yang berbeda. Hal ini
menyebabkan banyak kesalah-pahaman hingga menyebabkan suatu konflik.
Walaupun tidak sedikit konflik yang dilakukan secara sengaja melalui penistaan
maupun pencemoohan suatu agama tertentu kepada agama lainnya.

Kerusuhan di Indonesia yang mengangkat SARA sebagai konflik berdarah


yaitu konflik antara masyarakat yang Bergama Kristen dan Muslim di Maluku
Tengah pada tahun 1999 hingga 2002. Konflik tersebut dikarenakan kelompok
masyarakat yang beragama Kristen merasa tidak adanya keseimbangan dalam
pemerintahan. Hal ini menuai kontroversi dan menuai konflik antara pemimpin
Islam dan Kristen sehingga mereka saling menghujat dan mencemooh satu sama
lain. Kondisi saat itu diperparah dikarenakan adanya keterlibatan jurnalis dalam
konflik tersebut. Jurnalis yang beragama Kristen membela kepentingan mereka
dan Jurnalis yang beragama Islam memihak kepentingan kelompok yang
beragama Islam (Hanitzsch, 2004). Dalam kasus ini kita dapat melihat bahwa
keterlibatan jurnalis dalam konflik memberi porsi besar terhadap penyelesaian
kasus tersebut. Sebenarnya masih banyak kasus yang melibatkan SARA sebagai
masalah utama suatu konflik. Komunikasi dan keterlibatan pemerintah juga dapat
memperparah ataupun menyelesaikan kasus seperti ini.

2.2. Latar Belakang Konflik Agama di Tanjung Balai


Menurut Konferensi Pers Komnas HAM (2016) dalam keterangan pers
mengenai peristiwa penyerangan dan pembakaran rumah ibadah di kota Tanjung

6
Balai, Sumatera Utara bahwa kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai Provinsi
Sumatera Utara dimana kerusuhan itu didasari oleh SARA yang mengakibatkan
adanya penyerangan dan pembakaran terhadap tempat ibadah (Vihara dan
Klenteng). Pada awalnya, konflik ini dipicu oleh salah satu warga Tanjung Balai
yang mengeluh tentang suara Adzan dari sebuah masjid di depan rumah warga
tersebut. Keluhan ini menyebabkan kemarahan dari beberapa warga yang
kemudian menyebabkan kerusuhan seperti pembakaran dan kerusakan pada 15
rumah ibadah baik rumah warga. Kronologis dari kejadian ini yaitu pada sekitar 1
minggu sebelum tanggal kejadian kerusuhan (29 Juli 2016), dimana sdr. Meliana
yang berusia 41 Tahun warga Jalan Karya Keluruhan Tanjung Balai Selatan
berbelanja ke warung setempat. Sdri. Meliana menyurahkan perasaannya terhadap
suara Adzan kepada ibu yang menjaga warung tersebut. Ia merasakan bahwa
suara Adzan tersebut lebih keras dibanding waktu sebelumnya. Ia merasakan
keberatan dengan suara Adjan tersebut yang kemudian ia menyampaikan hal
tersebut kepada Nazir masjid setempat yang kemudia disampaikan kepada
Pengurus Mesjid setempat. Ketika keberatan ini disampaikan, pada tanggal 29 Juli
2016 pengurus dari Mesjid berkunjung pada rumah sdri. Meliani untuk
menyampaikan klarifikasi. Klarifikasi ini menuai sedikit perdebatan antara
pengurus dan sdri. Meliana yang membuat warga setempat penasaran dengan apa
yang terjadi yang kemudian disusul dengan permintaan maaf dari suami sdri.
Meliani. Kepala kampung setempat menyampaikan agar permasalahan ini
diselesaikan di kelurahan setempat yang kemudian disetujui oleh kedua pihak.
Kedua pihak berkumpul di kelurahan. Namun, rumor dan isu yang beredar bahwa
warga etnis Tionghoa yang melarang Adzan, mematikan speaker Mesjid, dll yang
mengakibatkan massa merasa marah yang kemudin berkumpul di sekitar rumah
sdri. Meliana. Keadaan di kelurahan juga mengalami penambahan massa namun
dilaksanakan mediasi untuk penyelesaian masalah ini. Nemun, sekitar pukul
23.00-03.00 melampiaskan kemarahan melalui pembakaran dan pengrusakan
bangunan ibadah, yayasan hingga rumah sdri. Meliana sendiri yang berjumlah
sekitar 15 bangunan.

7
2.3. Penyebab dari perusakan dan pembakaran di Tanjung Balai, Sumatera
Utara
Berbagai penyebab dapat menyebabkan masalah ini kian membesar yang
sedari awal hanya masalah antara kesalahpahaman antar kedua belah pihak,
namun dikarenakan adanya berbagai factor yang menyebabkan kejadian ini.
Beberapa penyebab (Hartana, 2016) itu adalah:

2.3.1. Ketegangan structural yang menyebabkan keadaan dimana salah


satu kelompok merasa dirugikan oleh kelompok lain dimana
penyelesaiannya tidak dapat berjalan dengan baik yang
menyebabkan kerusuhan oleh massa. Awal dari ketegangan ini
adalah sdri. Meliana yang merasakan bahwa suara Adzan yang
terlalu keras dan agak mengganggu. Namun, beberapa penduduk
yang merupakan mayoritas di daerah tersebut merasa tersinggung
dan menyebabkan ketegangan yang dikarenakan oleh perbedaan
nilai antara masyarakat yang beragama islam dan Buddha.
Masyarakat islam merasa suara adzan memang dinyalakan dengan
suara yang kuat untuk memanggil orang-orang agar segera ibadah
namun, dalam perspektif masyarakat yang beragama Buddha, suara
adzan itu cukup keras dan dianggap menganggu. Tindakan protes
ini dianggap sebagai pelecehan dan tidak toleransi terhadap
masyarakat yang beragama Islam sehingga menyebabkan
ketegangan structural diantara masyarakat yang kemudian
menyebabkan konflik.
2.3.2. Penyebarluasan kepercayaan yang secara implusif dan tanpa
sumber yang benar menyebabkan beberapa masyarakat yang
memahami secara mentah dan menyebarkan kembali paham ini
dapat menyebabkan permusuhan terhadap golongan tertentu.
Kepercayaan akan sesame kelompok ini dapat menyebabkan
perasaan kolektif dimana seluruh kelompok akan merasakan itu
adalah musuh bersama. Hal ini ditunjukkan pada kejadian
perusakan dan pembakaran bangunan di Tanjung Balai yang

8
disebabkan adanya distorsi informasi dan penyebaran secara massif
yang menyebabkan beberapa massa merasa marah dan akhirnya
membakar dan merusak bangunan tersebut. Hal ini disebabkan
oleh perasaan bersama dan menjadikan masyarakat Buddha
sebagai musuh bersama oleh kelompok yang beragama islam.
2.3.3. Mobilisasi massa oleh seorang pemimpin yang awalnya
menyarankan dan kemudian memulai dan mengarahkan kegiatan
tersebut sehingga bertindak secara kolektif yang dapat
menyebabkan percepatan pengumpulan massa. Secara umum, ini
dapat dikatakan sebagai provokator. Setelah informasi yang belum
tentu benar dipercayai oleh masyarakat maka mobilisasi massa
akan lebih cepat dan massa akan bersiap melaksakan apa yang
mereka inginkan yang mengedepankan emosi dan menghilangkan
logika mereka sehingga konflik merugikan terjadi.
2.3.4. Lemahnya control pemerintah dan apparat terhadap media yang
menyebabkan keraguan untuk penindakan hukum di lapangan.
Aparat pemerintah dinilai lamban dalam merespon kejadian ini
sehingga perusakan dan pembakaran ini terjadi. Apparat dinilai
tidak siap siaga dalam mengantisipasi kerusuhan yang beerbau
SARA. Apparat juga dinilai belum mampu mengorganisir kekuatan
internal apparat dan belum mampu mengendalikan lapangan.
Apparat keamanan juga dinilai lamban dalam mengantisipasi
massa dan apparat dinilai belum mampu melakukan deteksi dini
terhadap kerusuhan tersebut.

2.4. Pelanggaran hak asasi manusia


Menurut Konferensi Pers Komnas HAM (2016) dalam keterangan pers
mengenai peristiwa penyerangan dan pembakaran rumah ibadah di kota Tanjung
Balai, Sumatera Utara menyatakan bahwa ada setidaknya 3 bentuk perbuatan
yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yaitu sebagai berikut:

2.4.1. Kebencian atas dasar ras dan etnis

9
Kejadian perusakan dan pembakaran rumah ibadah di kota Tanjung
Balai dikarenakan adanya distorsi informasi dan adanya
penyebaran kebencian terhadap etnis Tionghoa. Penyebaran dan
distorsi informasi ini mengakibatkan beberapa masyarakat yang
bahkan tidak mengetahui kejadian sebenarnya langsung
menghakimi dan ikut marah terhadap ras tersebut sehingga
melaksanakan kegiatan implusif yang dinilai sangat merugikan.
Perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini dapat dijerat pasal 2,3,
dan 4 UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis.
2.4.2. Hak atas kepemilikan
Kerugian atas pembakaran dan perusakan terhadap 15 bangunan
yang merupakan rumah ibadah dan bangunan pribadi oleh
beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan
kerugian yang tidak hanya berbentuk materi. Perbuatan ini juga
dapat dijerat pasa; 36 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi
manusia sebagaimana hak milik juga mendapat perlindungan.
2.4.3. Hak atas rasa aman
Perusakan dan pembakaran bangunan akan mengakibatkan rasa
khawatir bagi penduduk Tionghoa yang bertempat tinggal disekitar
tempat kejadian yang khawatir bahwa bangunan mereka juga akan
diserang. Tidak hanya menyebabkan hilangnya rasa aman, tetapi
masyarakat disekitar mungkin akan terpengaruh oleh perbuatan
yang tidak bertanggung jawab ini. Hal ini akan menyebabkan
permusuhan dan ketakutan antara ras yang menyebabkan
ketidakseimbangan dalam masyarakat.

2.5. Solusi Terhadap Konflik SARA Tanjung Balai


Konflik yang terjadi di Tanjung Balai merupakan konflik yang berbau
SARA yang menandakan rendahnya toleransi di antara masyarakat. Solusi yang

10
dapat ditekankan agar dapat menyelesaikan masalah ini dan mencegah terjadinya
kejadian seperti ini di masa depan adalah:

2.5.1. Mengimplementasikan secara efektif FKUB (Forum Kerukunan


Umat Beragama) sedari awal, forum ini dibentuk masyarakat untuk
mencegah konflik dalam umat beragama dan meningkatkan
kerukunan di dalam masyarakat. Namun, forum ini belum digunakan
secara efektif dalam konflik ini maka dari itu, untuk kedepannya
dalam mengatasi konflik ini, FKUB dapat digunakan secara efektif
untuk menyelesaikan konflik ini(Hartana, 2016).
2.5.2. Perlunya peningkatan kinerja dari apparat keamanan untuk
mengantisipasi ataupun menyelesaikan konflik ini. Apparat
keamanan sebaiknya dapat mendeteksi secara dini akan potensi
konflik-konflik yang akan segera terjadi (Hartana, 2016).
2.5.3. Perlu dibuatkan aturan HTCK(Hubugan Tata Cara Kerja) antara
polres Tanjung Balai dan Polres di daerah sekitar agar lebih
siapsiaga dan siap menghadapi konflik ini.
2.5.4. Membuat perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat agar
setiap pihak yang berkonflik tidak merasa kerugian dan ketidak
amanan (Hartana, 2016).
2.5.6. Perlunya satgas media sosial di Polres agar dapat mengklarifikasi
isu-isu yang mungkin kebenarannya belum terjamin sekaligus
memberikan edukasi untuk saling bertoleransi. (Hartana, 2016)
2.5.7. Perlunya edukasi dan toleransi diantara umat beragama sehingga
tidak adanya kebencian antara kelompok masyarakat.

11
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Di indonesia sendiri konflik yang menyangkut tentang SARA sangat
lumrah ditemukan. Hal ini disebabkan oleh kondisi masyarakat indonesia sendiri
yang bersifat majemuk yang mempunyai beragam agama dan suku. Perbedaan
persepsi dapat menyebabkan ketidak lancaran komunikasi yang kemudian dapat
menyebabkan konflik maupun kekerasan. Fenomena ini sebenarnya merupakan
kelebihan dari Indonesia sendiri. Namun, seiring dengan perkembangan zaman
masyarakat mulai melupakan adanya toleransi dan saling menghargai seperti yang
terdapat pada semboyan negara kita “Bhinekka Tunggal Ika” yang berarti
berbeda-beda namun satu juga. Masyarakat pada era ini mulai mengesampingkan
kenyataan bahwa masyarakat indonesia sendiri merupakan masyarakat majemuk.
Mungkin hal ini dikarenakan pengaruh globalisasi dan kemajuan pengetahuan.
Konflik agama yang terjadi di Tanjung Balai merupakan salah satu dari sekian
konflik yang berlandaskan SARA. Kerusakan dan pembakaran rumah ibadah dan
bangunan merupakan salah satu perbuataan yang tidak benar. Awalnya, konflik
ini hanya berlandaskan pemberitahuan seorang warga non-muslim terkait dengan
suara adzan yang lebih besar daripada biasanya. Distorsi informasi akhirnya
menyebabkan konflik ini merambat ke arah yang lebih fatal dan besar. Massa
yang terlanjur merasa marah tanpa melihat kembali kebenaran langsung membabi
buta dengan melaksanakan pengrusakan dan pembakaran. Apparat keamanan juga
dinilai belum efektif dalam mengatasi masalah ini. Hal ini yang menyebabkan
konflik ini dapat menjadi sesuatu yang lebih besar lagi jika tidak diselesaikan
dengan benar. Terkadang, konflik agama maupun ras hanya berlandaskan
kesalahpahaman tetapi karena adanya distorsi informasi menyebabkan suatu
konflik itu semakin parah.

12
Sebagai masyarakat majemuk, sudah seharusnya kita saling menghormati
dan menghargai agama dan ras masing-masing. Alangkah indahnya jika kita
hidup bersampingan dengan damai. Masyarakat sudah seharusnya mempelajari
suatu konflik dengan baik agar kejadian ini tidak terjadi lagi di masa depan.
Instasi terkait dengan keamanan pun sudah selayaknya menjadi lebih peduli dan
sigap dalam mengatasi konflik. Baik masyarakat, apparat keamanan dan
pemerintah sudah selayaknya bekerja sama untuk menjaga keamanan dan
kenyamanan bersama. Hal ini hanya dapat diwujudkan ketika semuanya bekerja
sama dan saling berkomitmen untuk menanggulangi konflik baik sebelum, terjadi
dan sesudahnya konflik tersebut. Kesadaran bersama merupakan kunci dari
kesuksesan penanggulangan konflik ini.

3.2. Saran
Konflik yang berkaitan dengan SARA sudah sangat lumrah di Indonesia.
hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran bersama. Seperti yang kita ketahui,
konflik-konflik ini hanya akan dapat diminimalisir melalui kesadaran bersama.
Selain itu, sebagai masyarakat yang bijak sudah seharusnya kita mengonfirmasi
kebenaran dari suatu informasi yang kita terima. Hal ini dilakukan agar tidak
adanya distorsi informasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal
ini juga dapat mencegah terjadinya perusakan dan pembakaran rumah ibadah
seperti yang terjadi di Tanjung Balai 2016 lalu. Distorsi informasi menyebabkan
masalah tersebut lebih parah. Sebagai masyarakat majemuk kita sudah seharusnya
menjadi lebih paham dan peduli dengan keadaan sekitar. Hal ini merupakan salah
satu langkah kecil dalam membantu meminimalisir konflik yang berkaitan dengan
SARA. Selain itu, baik apparat pemerintah dan pemerintah sendiri bekerja sama
dengan masyarakat agar kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi kelak di masa
mendatang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asgart, Sofian Munawar. (2003). Politisasi SARA: Dari Masa ORBA ke Masa
Transisi Demokrasi. Jakarta : ISAI

Dokumen Press Release Polres Tanjung Balai tahun 2016 mengenai Tindak
pidana penghasutan melalui akun Facebook yang dapat Analisis Konflik dan
Solusi Pemolisian dalam Konflik Antar Agama di Tanjung Balai Sumatera
Utara Tahun 2016 TEMA UTAMA Jurnal Ilmu Kepolisian | Edisi 088|
Januari - April 2017 63 menimbulkan ancaman terkait suku, agama, ras dan
golongan (SARA) oleh Ahmad Taufik.

Hanitzsch, Thomas. (2004). Journalists as peacekeeping force? Peace journalism


and masscommunication theory. Journalism Studies, 5:4, 483-495. England :
Routledge

Hartana, I Made Redi. 2017. “Analisis Konflik dan SOlusi Pemolisian dalam
Konflik Antar Agama di Tanjung Balai Sumatera Utara Tahun 2016” Jurnal
Ilmu Kepolisian. Edisi 088:55-62

Komnas HAM. 2016. Konferensi Pers: Peristiwa Penyerangan dan Pembakaran


Rumah Ibadah di Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara.Nomor:
026/Humas-KH/VIIII/2016. Jakarta.

Sutardi, Tedi. 2007. Antropologi; Mengungkap Keberagamn Budaya. Bandung;


PT Setia Purna Inves. 24

14

Anda mungkin juga menyukai