Anda di halaman 1dari 116

HIMPUNAN

MAHASISWA ISLAM
Sejarah dan Perannya Dalam Menghadapi Kekuatan PKI
di Indonesia (1947-1965)

AGUS MULYANA

Penerbit
PAM
Putra Anugerah Media

i
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Sejarah dan Perannya Dalam Menghadapi Kekuatan PKI
di Indonesia (1947-1965)

Penulis :
AGUS MULYANA

Cetakan Kesatu, Februari 2022


vi + 108 halaman ; 16 X 24 cm

ISBN : 978-623-99068-5-6

Putra Anugerah Media


Jln. Sersan Surip No. 146A/169A RT/RW 004/004
Kel. Ledeng, Kec. Cidadap – Bandung
081321530656

ii
KATA PENGANTAR

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan salah satu


organisasi ekstra universiter di Indonesia yang memiliki peran
sejarah yang sangat panjang. Peran sejarah yang ditunjukkan oleh
HMI sesuai dengan usia kelahirannya yaitu 5 Februari 1947, dua
tahun setelah Indonesia merdeka. Berbagai peristiwa penting yang
telah membesarkan peran HMI dalam sejarah Indonesia. Salah satu
peristiwa yang sangat menentukan peran HMI dalam konteks
kebangsaan yaitu ketika menghadapi Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kehadiran HMI bagi PKI merupakan suatu hambatan dalam
mencapai tujuan politiknya karena pertama HMI memiliki ideologi
Islam kedua HMI memiliki basis di kampus yang anggota-
anggotanya para mahasiswa. Dalam sejarah Indonesia peran
mahasiswa memiliki peran yang sangat penting sebagai salah satu
tempat mencetak kader-kader pemimpin bangsa. Dengan demikian
ideologi dan kaderisasi kampus yang ada dalam HMI merupakan
tantangan berat bagi PKI.
Buku ini mencoba menguraikan sejarah bagaimana peran HMI
dalam menghadapi kekuatan PKI di Indonesia. Berbagai peristiwa
ditunjukkan bagaimana PKI berupaya meminta Bung Karno untuk
membubarkan HMI dan sebaliknya HMI pun melakukan perlawanan
beserta organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan
yang lain menuntut agar PKI dibubarkan. Tuntutan tersebut
kemudian terlaksana, PKI pada tahun 1966 dibubarkan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

Wassalam

Penulis

iii
iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA HMI 11


2.1. Situasi Organisasi Umat Islam Pada Masa Awal 11
Kemerdekaan
2.2. Situasi Perguruan Tinggi Dan Kemahasiswaan 18
Sebelum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Lahir
2.3. Gagasan Untuk Mendirikan HMI 20
2.4. Reaksi Terhadap Berdirinya HMI 23

BAB III SIKAP PKI TERHADAP HMI 29


3.1. Strategi PKI Dalam Mencapai Kekuasaan Politik 29
3.2. Penyusupan PKI Terhadap Organisasi 46
Kemahasiswaan
3.3. Aksi Pembubaran HMI oleh PKI 49
3.4. Pembelaan Dari Kalangan Non-HMI 57

BAB IV PERAN HMI DALAM MENGHADAPI KEKUATAN 65


PKI
4.1. Ideologi dan Misi HMI 65
4.2. Sikap HMI Terhadap Aksi PKI 75
4.3. Meletusnya Gerakan 30 September 1965 81
4.4. HMI Dalam Wadah KAMI Menuntut 84
Pembubaran PKI

Daftar Pustaka 105

v
vi
BAB I
PENDAHULUAN

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi


mahasiswa ekstra universiter yang sudah cukup tua usianya.
Organisasi ini dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947,
dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Dalam usianya yang
cukup tua ini, HMI masih tetap eksis dan termasuk salah satu
kekuatan yang diperhitungkan dalam proses perubahan politik di
Indonesia.
Masyarakat luar biasanya menilai HMI seperti organisasi
politik. Penilaian ini lahir disebabkan oleh peran yang dimainkan
oleh para alumninya (KAHMI) yang begitu banyak muncul dalam
kegiatan politik, apakah melalui partai politik atau birokrasi
pemerintahan. Padahal sejak awal berdirinya, secara organisatoris,
HMI hanya merupakan sebuah organisasi mahasiswa yang memiliki
kepeduliaan terhadap kehidupan umat (Islam) dan bangsa. Selain itu
pula, alumni HMI sesungguhnya tersebar dalam berbagai profesi,
baik yang ada di lembaga pemerintahan maupun di swasta. Tidak
semuanya alumni HMI berada di lembaga politik. Hanya sebagian
kecil sesungguhnya alumni HMI yang bergelut dalam kegiatan
politik.
Penilaian masyarakat sebagaimana disebutkan di atas, dapat
dilihat dari proses kelahirannya. Secara eksternal kondisi politik di
Indonesia memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap gerak
langkah HMI sejak dilahirkan. Sedangkan secara internal, status HMI

1
sebagai organisasi mahasiswa Islam merupakan organisasi yang
independen, artinya HMI secara struktural bukan suatu organisasi
yang merupakan bagian dari organisasi lain khususnya ormas Islam.
Status seperti inilah yang membuat HMI lebih bebas bergerak dalam
merespon setiap perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia.
HMI tidak mesti harus menunggu komando dari induknya.
Kekuatan lain secara internal adalah HMI merupakan
organisasi kader. Keanggotaan yang ada di HMI sejak masuk sampai
berakhirnya keanggotaan mengenal berbagai pola perkaderan yang
sudah disusun secara sistematis dan berjenjang, mulai dari tingkat
dasar sampai dengan tingkat “advance”. Selain pola perkaderan yang
demikian itu, berbagai kegiatan yang ada di HMI, dipahami sebagai
bagian dari pola perkaderan bagi anggota. Perkaderan lebih
merupakan suatu upaya untuk pemberian bekal bagi para
anggotanya yang kelak akan terjun ke masyarakat. Dengan pola
perkaderan seperti inilah yang kemudian timbul “sense of mission”
dalam diri kader-kader HMI ketika dia menjadi alumni.
Ada dua dimensi yang menjadi latar belakang lahirnya HMI,
yaitu dimensi keumatan dan dimensi kebangsaan. Dimensi keumatan
yaitu kondisi umat Islam ketika HMI didirikan (1947) masih
terbelakang terutama di perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang ada
pada saat itu merupakan warisan kolonial. Salah satu ciri pokok dari
pendidikan kolonial adalah bersifat “sekular” artinya nilai-nilai
keagamaan tidak menjadi bagian dalam kehidupan di kampus. Di
perguruan tinggi tidak ada mata kuliah agama. Kehidupan “kebarat-
baratan” mendominasi dalam kegiatan kemahasiswaan. Sedangkan
secara kwantitas pada saat itu para mahasiswanya sebagian besar
pemeluk Islam..
Bagi para pendiri HMI, pada waktu itu berpikir bahwa
perguruan tinggi merupakan lembaga yang strategis dalam
membangun umat dan bangsa di masa yang akan datang. Sebab dari
kampus inilah banyak dicetak para pemimpin bangsa. Para
pemimpin inilah yang kelak akan membawa ke arah mana bangsa ini

2
akan dibawa. Apabila para mahasiswanya dihinggapi oleh
kehidupan yang “sekular” maka akan melahirkan pemimpin-
pemimpin yang “sekular”.
Kehidupan “sekular” dalam dunia pendidikan pada awalnya
tidak lepas dari misi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial
mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan sebutan Politik Etis. Isi
kebijakan tersebut terdiri dari tiga hal yaitu pendidikan (edukasi),
transmiggrasi dan irigrasi. Salah satu kebijakan yang terpenting dan
memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial di Indonesia
adalah pendidikan.
Perubahan sosial yang terpenting terjadi akibat Politik Etis
adalah munculnya kelompok terpelajar atau disebut pula dengan
Elite Moderen.1 Pendidikan yang dilakukan oleh Belanda ternyata
menimbulkan kesadaran kebangsaan bagi sekelompok kaum
terpelajar Indonesia. Mereka sadar bahwa bangsanya terbelakang
dan dijajah. Gagasan-gagasan nasionalisme kemudian mereka
perjuangan melalui organisasi pergerakan sebagai wadah
perjuangan. Maka lahirlah di Indonesia organisasi-organisasi
pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Syarekat Islam, Partai
Nasional Indonesia, Indishe Partij, dan lain-lain. Dari kelompok
terpelajar inilah yang kemudian lahir para pemimpin bangsa ketika
Indonesia merdeka.
Melalui Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda kemudian
mendirikan sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai dengan
perguruan tinggi. Pendirian sekolah ini bertujuan untuk mencari
para pegawai yang akan dipekerjakan oleh pemerintah kolonial baik
di pemerintahan (birokrasi) maupun di sektor swasta. Kebutuhan

1 Niel, Robert van, (1984), Munculnya Elite Modern di Indonesia,: Jakarta : Pustaka
Jaya.

3
pegawai ini sangat mendesak karena perluasan penjajahan dan
pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat.2
Pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah memiliki misi
yaitu ingin membawa penduduk kaum pribumi (Indonesia) pada
kebudayaan Barat. Penanaman nilai-nilai kebudayaan Barat,
diharapkan dapat mengendalikan “fanatisme Islam” yang tumbuh
dalam diri kaum pribumi.3 Melalui pendidikan ini, pemerintah
kolonial Belanda melakukan modernisasi yang berakar dari
sekularisasi. Modernisasi diakukan terutama dalam hal sistem
pendidikan. Mata pelajaran yang diberikan pada sekolah-sekolah
kolonial adalah pengetahuan dan keterampilan duniawi.4 Sedangkan
pada saat itu kaum muslimin Indonesia belum memiliki suatu model
pendidikan yang moderen yaitu sistem persekolahan. Pendidikan
Islam masih tradisional dengan bercirikan sistem pendidikan
pesantren. Pendidikan pesantren lebih menekankan pada pendidikan
keagamaan dengan pemahaman yang tradisional.5 Dengan cara ini
diharapkan Islam secara kultural akan tersingkirkan dalam diri kaum
pribumi.
Secara kultural, Islam sudah lama tertanam dalam sistem nilai
kehidupan kaum pribumi. Nilai kultural Islam tertanam dalam diri
kaum pribumi disebabkan oleh proses islamisasi yang dilakukan oleh
para penyebar Islam di Nusantara yang menggunakan dengan
pendekatan budaya. Islam ditampilkan dengan “wajah” Indonesia
atau dilakukan melalui pribumisasi. Dengan proses seperti ini, maka

2 Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat pada awal abad ke-20 terjadi terutama
setelah pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1870 yang
memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya
terutama di sektor perkebunan sehingga di Indonesia banyak tumbuh
perkebunan-perkebunan. Lihat Kartodirdjo, Sartono & Surjo, Djoko (1991),
Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
3 Ricklefs, M.C., (1981), Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, hlm. 236.
4 Steenbrink, Karel A. (1986), Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam
Kurun Moderen, Jakarta : LP3ES, hlm. 24.
5 Ibid.

4
terjadi internalisasi nilai-nilai budaya lokal pribumi dengan nilai-nilai
dasar Islam. Atas dasar nilai agama Islam yang seperti itulah
kemudian pribumi dapat dibedakan dengan penjajah. Islam identik
dengan pribumi.6
Pendidikan yang dilakukan Belanda ternyata berhasil
membawa sekelompok kaum pribumi pada kebudayaan Barat
dengan nilai-nilai yang “sekular”. Kemunculan kelompok ini dapat
dilihat pada saat perumusan dasar negara Republik Indonesia ketika
menjelang kemerdekaan. Ada dua kelompok yang berbeda dalam hal
perumusan dasar negara. Kedua kelompok tersebut adalah pertama
nasionalis sekular dan nasionalis islami. Nasionalis sekular
menghendaki agar agama tidak dijadikan sebagai dasar negara,
sedangkan nasionalis islami menghendaki agar agama (Islam)
dijadikan dasar negara.7
Perdebatan antara kaum nasionalis islami dan nasionalis
“sekular” merupakan suatu bukti, betapa perguruan tinggi
merupakan suatu lembaga yang strategis dalam membangun
perubahan di masa yang akan datang. Para perumus dasar negara
sebagian besar merupakan produk dari pendidikan tinggi zaman
Belanda. Bahkan dari produk pendidik tinggi inilah, yang kemudian
mereka menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ketika Indonesia
merdeka.
Pada masa awal kemerdekaan kondisi politik Indonesia belum
begitu stabil. Ketidakstabilan ini terjadi disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal. Faktor internal disebabkan oleh adanya
konflik kepentingan baik bersifat politik maupun ideologi, terutama
kepentingan dari partai-partai politik. Sedangkan faktor eksternal
adalah masih adanya keinginan Belanda untuk kembali menjajah

6 Noer, Deliar, (1980), Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta :


LP3ES, hlm.8.
7 Tentang pedebatan dasar negara antara nasionalis “sekular” dan nasionalis
Islami, baca Anshar, Endang Saifuddin i, (1983), Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan
Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami Dan Nasionalis “Sekular”
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949, Bandung : Pustaka.

5
Indonesia, sehingga antara Belanda dengan Indonesia sering terjadi
ketegangan. Ketegangan tersebut harus diselesaikan baik melalui
perang fisik (konflik militer) dan melalui berbagai perundingan-
perundingan.
Kondisi politik yang demikian itu, sangat mewarnai gerak
langkah HMI. Secara ideologis, HMI menempatkan diri Islam sebagai
dasar dari organisasi. Pada awalnya kelahiran HMI memiliki misi
bagaimana kampus yang “sekular” diberikan nilai-nilai keislaman
atau “islamisasi” kampus secara kultural. Misi ini penting, karena
memiliki nuansa perubahan ke masa depan. Sejarah telah mencatat,
betapa banyak para pemimpin bangsa dicetak dari dunia kampus.
Diharapkan dengan adanya nilai-nilai keislaman, akan mampu
melahirkan para pemimpin yang peduli pada kehidupan kegamaan
(Islam).
Islam ditetapkan sebagai dasar organisasi, tidak berarti
komitmen kebangsaan HMI menjadi hilang. Ketika pada tahun awal
berdirinya, HMI ikut serta dengan komponen bangsa Indonesia
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Anggota-anggota HMI
ikut memanggul senjata melawan Belanda pada saat Belanda
melakukan agresi militernya yang pertama 20 Juli 1947.
Peristiwa penting lainnya yang sangat mewarnai gerak langkah
HMI adalah ikut sertanya kader-kader HMI dalam penumpasan
pemberontakan PKI di Madiun 1948. Pada tanggal 18 September
1948 tokoh-tokoh PKI memproklamasikan berdirinya “Republik
Sovyet Indonesia”. Tindakan ini merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap negara Republik Indonesia yang berdaulat. Sehingga
pemerintah pusat melakukan penumpasan dengan mengirimkan
pasukan yang berasal dari Divisi Siliwangi. Pemberontakan ini
berhasil ditumpas oleh satuan tentara Siliwangi. Dalam penumpasan
tersebut, beberapa anggota HMI diikutsertakan bersama tentara
Siliwangi. Tokoh-tokoh HMI yang ikut penumpasan yaitu Akhmad
Tirtosudiro, Hartono dan Amin Alamsyah. Mereka membentuk

6
Corps Mahasiswa yang bertugas membantu tentara Siliwangi dalam
penumpasan PKI.8
Keterlibatan HMI dalam penumpasan PKI Madiun 1948, akan
menentukan sejarah HMI di masa-masa berikutnya. Walaupun pada
tahun 1948, PKI ditumpas tetapi pada saat Pemilu I 1955 PKI muncul
menjadi salah satu partai yang memiliki pendukung yang cukup
besar. PKI termasuk empat partai besar pemenang pemilu. Keempat
partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI. PKI berada di
peringkat keempat dari keempat partai besar tersebut, dengan
dukungan suara sebanyak kurang lebih enam juta.9
Besarnya pengaruh PKI disebabkan oleh kemampuan PKI
dalam membangun jaringan, dari mulai tingkat atas sampai ke
bawah. Pada masyarakat bawah terutama kaum buruh dan petani.
Jaringan ini merupakan sarana yang sangat efektif dalam
penggalangan massa. Dengan menggunakan jargon-jargon
pembelaan kepada kaum miskin, PKI berhasil banyak mendapat
dukungan dari kelompok-kelompok yang tertekan secara ekonomi,
seperti kaum buruh dan petani.
PKI mencoba menyusup ke dalam berbagai lapisan-lapisan
masyarakat yang dianggap strategis. Lembaga kemahasiswaan
termasuk salah satu wadah yang digarap oleh PKI. Salah satu
lembaga kemahasiswaan yang jelas-jelas merupakan jaringan PKI
adalah Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Melalui
jaringan ini, PKI berusaha merebut posisi startegis dalam lembaga-
lembaga kemahasiswaan di kampus seperti Dewan-Dewan
Mahasiswa. Berbagai cara dilakukan oleh PKI untuk menendang
musuh-musuhnya di lembaga kemahasiswaan.
Salah satu musuh terpenting PKI adalah HMI. HMI dianggap
musuh karena secara ideologis sangat bertentangan. Islam dan

8 Sitompul, Agussalim, (1986), Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (Th.


1947-1975), Surabaya : Bina Ilmu, hlm. 33.
9 Feith, Herbert, (1971), The Indonesian Elections of 1955, Ithaca : Modern Project
Southeast Asia Program Cornel University, hlm. 65.

7
komunisme adalah ideologi yang saling bertentangan. Islam adalah
sebuah sistem ajaran yang bersumber dari wahyu Tuhan. Sedangkan
komunisme yang berakar dari ajaran marxisme menolak eksistensi
Tuhan. Komunisme menganggap agama sebagai candu masyarakat.
Konsepsi Nasakom yang dikeuluarkan oleh Sukarno
memberikan peluang yang besar bagi PKI dalam melakukan
politiknya. Melalui Nasakom Sukarno mencoba mengumpulkan
kekuatan-kekuatan revolusioner dari kelompok nasionalis, agama
dan komunis. Konsepsi ini sangat sulit dilaksanakan, mengingat
antara agama dan komunis tidak bisa disatukan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin dimana konsepsi Nasakom
diberlakukan, hanya tinggal tiga kekuatan politik yang masih eksis
yaitu Sukarno, PKI dan ABRI khususnya Angkatan Darat. Secara
umum partai-partai politik sudah tidak memiliki kekuatan. Masyumi
dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan oleh Sukarno. Kedua
partai ini menentang kebijakan Sukarno. Ada juga sumber yang
menyatakan bahwa dibubarkannya kedua Partai ini, dikarenakan
kuatnya pengaruh PKI terhadap Sukarno. Masyumi dan PSI
merupakan musuh PKI.
Walaupun bukan merupakan partai politik, HMI dimata PKI
merupakan musuh yang cukup diperhitungkan. Dengan berbagai
cara, PKI menuntut agar HMI dibubarkan. Dalam berbagai
kesempatan PKI mencoba melakukan provokasi, dengan
membangun citra yang negatif tentang HMI.HMI disebut sebagai
kekuatan yang anti revolusi, dituduh terlibat pemberontakan DI/TII
antek Masyumi dan citra negatif lainnya. Puncak aksi pembubaran
HMI oleh PKI yaitu ketika saat berlangsungnya penutupan Konggres
III CGMI di Jakarta pada tanggal 29 September 1965. Pada
kesempatan ini D.N. Aidit meminta kepada Presiden Sukarno agar
HMI dibubarkan.
Hal yang menarik, ternyata Sukarno tidak mau membubarkan
HMI. Bahkan Sukarno mengatakan apabila CGMI kontar-
revolusioner, maka CGMI akan dibubarkan. Aksi pembelaan dari

8
kalangan luar terhadap HMI cukup banyak. Pembelaan bukan hanya
saja dari kalangan Islam, tetapi juga dari kalangan non-Islam. ABRI
khususnya Angkatan Darat sangat membela HMI. Bagi kalangan
ABRI, dengan dibubarkannya HMI akan semakin memudahkan
meluasnya gerak langkah PKI. Sebab pada saat itu, HMI sebagai
organisasi ekstra universiter cukup menguasai kekuatan kampus
melalui Dewan-Dewan Mahasiswa. Sedangkan PKI sendiri berusaha
keras untuk menguasai kampus.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa kampus memiliki arti
yang strategis dalam membangun perubahan ke depan. Dominannya
HMI di kampus, bagi PKI merupakan kekuatan yang membahayakan
bagi strategi PKI ke depan. Apalagi, HMI merupakan organisasi
independen, sangatlah sulit bagi PKI untuk membubarkannya.
Apabila HMI berada di bawah naungan satu organisasi, bagi PKI
akan lebih mudah membubarkannya. PKI tinggal menuntut
pembubaran induk organisasinya, sebagaimana pembubaran PSI dan
Masyumi.
Dengan berbagai cara yang dilakukan oleh PKI agar HMI
dibubarkan ternyata tidak menjadi kenyataan. HMI tetap berdiri
sebagai sebuah organisasi ekstra-unversiter dengan jumlah anggota
yang cukup banyak. Hampir di semua daerah di Indonesia berdiri
cabang-cabangnya. Hal yang terjadi sebaliknya yaitu PKI dibubarkan
sebagai organisasi yang terlarang setelah peristiwa Gerakan 30
September (Gestapu).

9
10
BAB II
LATAR BELAKANG
SEJARAH BERDIRINYA HMI

2.1. Situasi Organisasi Umat Islam Pada Masa Awal


Kemerdekaan
Kehadiran Islam di bumi Nusantara ini, banyak membawa
perubahan dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia.
Kedatangan Islam ke Nusantara ini adalah sebagai kekuatan
pembebas yang positif dan konstruktif. Islam mengajarkan sistem
persamaan, persatuan di kalangan rakyat dan Islam mengangkat
harkat derajat rakyat.10 Dengan ajaran demikian, Islam telah
berinternalisasi dengan tatanan nilai kehidupan yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Islam telah menjadikan
masyarakat indonesia sebagai suatu masyarakat yang egalitarian,
strata sosial yang berlaku sebelumnya dengan sendirinya berubah.
Keegalitarianan Islam yang telah terrefleksi dalam strata sosial
kehidupan masyarakat Indonesia, membuat masyarakat Indonesia
memberikan reaksi dalam bentuk perlawanan, ketika hadirnya
penjajahan bangsa asing di Indonesia. Islam adalah agama yang anti
penindasan. Hadirnya penjajahan bangsa asing bagi umat Islam
dianggap sebagai suatu penindasan terhadap fitrah manusia yang
memiliki hak kebebasan sebagai hak asasi manusia, sehingga ketika
bangsa Belanda maupun Jepang menjajah Indonesia, pengertian

10 Tanzil, Hazil, Ed., (1984), Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta : Sinar Harapan,
hlm. 293.

11
Islam selalu identik dengan pribumi atau masyarakat Indonesia.
Keislaman yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu kehidupan
dalam masyarakat yang majemuk. Implikasi dari sebuah masyarakat
majemuk, di Indonesia terdapat berbagai organisasi massa Islam
yang berdiri sebelum kemerdekaan, seperti Nahdatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, PERTI, Syarikat Islam (SI), Jamiatul Al Washliyah,
Al Irsyad, PERSIS dan lain sebagainya.
Dari seluruh organisasi Islam yang ada, dalam pemikirannya
tentang Islam dapat dikatagorikan menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok “tradisional” dan “ Modernis”. Antara dua kelompok ini
kadang-kadang terjadi perselisihan yang dapat mengancam
persatuan umat. Hal yang diperselisihkan terutama di seputar
masalah “furu‟iyah” (cabang agama) seperti tentang qunut subuh,
tahlilan, pelafalan usholi dalam awal shalat dan lain sebagainya.
Dibalik sering terjadinya perselisihan faham, organisasi-
organisasi Islam ini bila menghadapi tantangan yang sama terutama
menyangkut keberlangsungan umat Islam secara keseluruhan,
mereka mau bersama-sama bersatu dalam bentuk sikap politik, baik
pada masa penjajahan maupun pada saat setelah kemerdekaan. Pada
masa penjajahan Belanda lahir MIAI (Majelis Islam „ala Indonesia)
sebagai perwujudan kesadaran politik umat Islam secara kolektif.
Organisasi ini lahir pada tanggal 21 September 1937, sebagai sebuah
badan federasi yang diprakarsai oleh Mas Mansur (Muhammadiyah),
KH. Abdul Wahab Chasbullah (NU) dan KH. Akhmad Dahlan (non-
partai).
Bagi umat Islam perjuangan melawan penjajah merupakan
salah satu implementasi dari ajaran agama Islam yaitu berjihad
melawan kebathilan dalam bentuk penindasan. Dengan demikian
tercapainya kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17
agustus 1945, bagi umat Islam merupakan suatu kemenangan besar
dengan tercapainya kemerdekaan, sebab kemerdekaan ini
merupakan salah satu indikator keberhasilan menumpas kebathilan
yaitu penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing terhadap bangsa

12
Indonesia. Masalah kehidupan kenegaraan Indonesia pada awal
kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari konstelasi kehidupan umat
Islam sebagai kelompok mayoritas yang mendiami bumi Nusantara
ini. Islam sebagai agama yang universal, di dalamnya memberikan
tuntunan ajaran, bahwa tidak ada pemisahan antara praktek
kenegaraan dengan praktek peribadahan kesehariaan.
Pada masa menjelang kemerdekaan, para tokoh pemimpin
Islam dihadapkan pada suatu tantangan yang sama, yaitu mereka
bergulat dalam perumusan ideologi negara Indonesia. Usaha yang
dilakukan oleh para pemimpin Islam yang membawa aspirasi politik
Islam yaitu dengan merumuskan Islam sebagai suatu ideologi dalam
dalam praktek kenegaraan yang mereka lakukan dalam sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Badan ini bersidang pertama kali pada tanggal 29 Mei
sampai dengan 1 Juni 1945. Dalam sidang ini dibicarakan tentang
rumusan dasar negara Indonesia. Tampil dalam sidang ini yaitu
Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno yang menyampaikan
pidatonya tentang rumusan dasar negara. Sidang berakhir tanggal 1
Juni 1945, dengan tidak menghasilkan kesepakatan secara bulat
tentang rumusan mana yang mesti dijadikan dasar negara Indonesia.
Kemudian dibentuk Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang
yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin,
Achmad Subardjo, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso,
Abdulkahar Muzakir, Wachid Hasjim dan Agus salim. Panitia Kecil
ini dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Pembicaraan dasar
negara dalam Panitia Sembilan terjadi suatu perdebatan yang hangat
antara kelompok Nasionalis “Islami” dan nasionalis “Sekuler”.11
Pengertian nasionalis “Islami” menunjuk pada para Nasionalis yang
komitmen pada pandangan bahwa negara dan masyarakat harus
diatur oleh Islam sebagai agama dalam arti luas, bukan hanya

11 Anshari, Endang Saefudin, Piagama Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsesus
Nasioanl Antara nasionalis Islami Dan nasioanlis “Sekuler” Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945-1959, Bandung : Pustaka.

13
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga
hubungan antara manusia dengan manusia, sikap manusia terhadap
lingkungannya, alam dan lain sebagainya,12 Sebab Islam memandang
aktivitas Muslim dalam segala bidang kehidupan dan penghidupan,
baik materi maupun spiritual adalah dalam rangka ibadah kepada
Allah Swt.13 Islam tidak memandang adanya suatu pemisah antara
kehidupan duniawi dan ukhrowi yang bersifat dikotomis. Negara
dapat dikatagorikan sebagai urusan dunia akan tetapi tidak bisa dari
tuntutan agama. Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat)
bangsa, untuk mencapai tujuan, jadi negara bukanlah tujuan,
melainkan sebagai alat. Bagi setiap muslim negara adalah untuk
merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan
mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, kesejahteraan
dunia dan ukhrowi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan
alam lingkungannya.14 Institusi kekuasaan bersama negara
diperlukan Islam sebagai instrumen yang efektif untuk
merealisasikan ajaran-ajarannya dalam konteks sejarah.15 Istilah
Nasionalis “sekuler” dalam pengertian ini tidaklah menunjukkan,
bahwa orang-orang dalam katagori ini sebagai pribadi dalam
sekularis tanpa perhatian dan ketaatan apapun terhadap agama.
Akan tetapi sekular-nya adalah dalam sikap politik yang
memisahkan antara agama dan negara atau tidak membawa dalam
praktek kenegaraan. Tokoh-tokoh yang termasuk Nasionalis
“Islam” adalah H. Agus Salim, Wachid Hasjim, Abudulkahar
Muzakir dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan yang termasuk
Nasionalis “sekuler” yaitu Soekarno, Achmad Subardjo, Mohammad

12 Ibid, hal. 8.
13 Anshari, Endang Saefudin, (1986), Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Islam dan Ummatnya, Jakarta : CV. Rajawali, hlm. 237.
14 Ibid, hal. 167
15 Maarif, Syafii, “Kedudukan Negara dalam Perspektif Doktrin Islam”.
disampaikan dalam seminar Tentang Konsep Negara dalam Islam diselenggarakan
oleh Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Indinesia, 18 Oktober 1987.

14
Hatta, Muhammad Yamin dan A.A. Maramis seorang kristen
moderat.
Perdebatan perumusan ideologi tersebut dapat diakhiri pada
tanggal 22 Juni 1945 dengan tercapainya kompromi yang melahirkan
Piagam Jakarta. Hasil keputusan ini dapat diterima oleh kedua belah
pihak (Nasionalis IsIami dan Nasionalis Sekuler), khususnya bagi
kalangan Islam ada rasa kepuasan, karena dalam sila pertama dari
piagam Jakarta tercantum pernyataan keislaman secara tertulis yaitu
“ Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi
Pemeluk-Pemeluknya”. Tercetusnya Piagam Jakarta ini merupakan
“Jalan Tengah” untuk menjembatani pihak “Nasionalis” dan
“Islam.16
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya
mampu berusia 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari
tujuh kata dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia bagian
timur dianggap sebagai diskriminatif terhadap golongan agama
lain.17 Perubahan ini terjadi pada saat sidang PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945, sila pertama yang berbunyi “ Ketuhanan Dengan
Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”
diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusi
Indonesia, tidaklah mengundurkan semangat perjuangan politik
umat Islam Indonesia di alam kemerdekaan ini. Umat Islam
memandang bahwa tercapainya kemerdekaan ini, bukanlah berarti
perjuangan telah selesai. Umat Islam tidaklah tinggal diam, mereka
selalu berusaha mengisi kemerdekaan ini sebagai implementasi dari
ajaran agama, sebab kemerdekaan itu merupakan rahmat yang
sangat besar yang dianugrahkan oleh Allah Swt.

16 Boland, B.J., (1985), Pergumulan Islam Di Indonesia 1945-1970, Jakarta :


GrafitiPres, hlm. 219.
17 Hatta : Mohammad, (1979), Memoir, Jakarta : Tintamas, hlm. 452-458.

15
Pada masa awal kemerdekaan Umat Islam membentuk suatu
kekuatan baru dalam bidang politik, yaitu dengan membentuk suatu
partai politik baru yang menjadi wadah aspirasi politik umat Islam
secara keseluruhan. Maka bertempat di Gedung Madrasah Muslimin
Muhammadiyah, Jalan Tamansari No. 68 Yogyakarta, tepatnya pada
tanggal 7 November 1945 diadakan muktamar I Umat Islam
Indonesia, yang dihadiri hampir oleh semua tokoh berbagai
organisasi Islam.18 Dalam muktamar ini berhasil memutuskan :
1. Mendirikan partai politik Islam yang bernama MASYUMI
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
2. MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak
boleh mendirikan partai lain kecuali MASYUMI
3. MASYUMI- lah yang akan memperjuangkan nasib ummat
Islam di bidang politik.19
Pada awal berdirinya MASYUMI benar-benar menjadi wadah
aspirasi politik umat Islam secara keseluruhan. Partai Islam seperti
PSII, PII lebur dan berfusi di dalamnya, sedangkan organisasi sosial
keislaman seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PUI, AL-
Jamiatul Washliyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh menjadi
anggota istimewa.
Sebelum tahun 1947, MASYUMI dalam sepak terjangnya
memperlihatkan adanya suatu kekompakan antar partai dan
organisasi Islam yang ada di dalamnya. Hal ini nampak sekali dalam
distribusinya kepengurusan pertama pengurus besar. Ketua Majelis
Syoro adalah Hasyim Asy‟ari dan salah seorang wakil ketua adalah
puteranya Wahid Hasyim (keduanya dari NU); H. Agus Salim (PSII),
Syekh Djamil Djambek (salah seorang dari “pembeharu” Islam di

18 Noer : Deliar, (1981), Partai-Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta : Grafiti Pers
hlm. 47.
19 Pusat KAPU MASYUMI, MASYUMI Pendukung Republim Indonesia, Jakarta,
tanpa tahun terbit , hlm . 13.

16
Sumatera ) dan masih banyak lagi para pemimpin Islam yang
mewakili golongannya.20
Adanya berbagai organisasi sosial dan partai politik Islam
dalam tubuh MASYUMI, tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya berbagai konflik kepentingan, baik kepentingan individu
maupun golongan, sehingga hal ini dapat menimbulkan MASYUMI
menjadi keropos di dalamnya dan partai akan lemah dalam
menghadapi kekuatan dari luar. Keadaan ini memang benar-benar
terjadi dalam tubuh MASYUMI. Pada bulan Juli 1947, PSII keluar
dari MASYUMI, karena pada saat itu MASYUMI menolak masuk
Kabinet Amir Syarifudin. PSII kemudian menyatakan sebagai partai
tersendiri dan mewakilkan utusannya dalam kabinet Amir
Syarifudin.21 Sikap PSII benar-benar bertentangan dengan ikrar 7
November 1945. Setelah itu pada bulan Mei 1952 NU keluar dari
MASYUMI..22 NU sebagai organisasi Islam memiliki massa yang
sangat besar. Dengan keluarnya NU dari MASYUMI membawa
dampak yang sangat besar bagi kekuatan MASYUMI, Penyebab
keluarnya NU dari MASYUMI karena MASYUMI terlalu didominasi
oleh kelompok “reformis”.23 Yang dimaksud dengan golongan
reformis adalah muslim yang lebih banyak berlatar belakang
pendidikan “Barat” dan pola pemikirannya tentang Islam banyak
terpengaruh oleh ide pembaharuan dari Wahabi dan Muhammad
Abduh dari Mesir, yaitu yang menekankan pada penggunaan ijtihad
secara bebas.24 Sedangkan golongan tradisional adalah Muslim yang
lebih banyak berlatar belakang pendidikan pesantren dan
berpandangan bahwa ijtihad itu hanya boleh dilakukan oleh orang-
orang tertentu saja yaitu mereka yang memiliki pengetahuan ajaran

20 Boland, B.J., Op. Cit., hlm. 45.


21 Noer, Deliar, Op. Cit., hlm. 54.
22 Maarif, Syafii, Op. Cit., hlm. 37.
23 Ibid, hlm. 30.
24 Tanja, Victor, (1982), Himpunan Mahasiswa Islam Sejarah dan kedudukannya di
Tengah Geraka-Gerakan Muslim Pembaharu, Jakarta : Sinar Harapan, hlm. 34.

17
Islam secara mendalam dan menyeluruh, tidak semua Muslim bebas
melakukan ijtihad. Dalam hal ini, NU termasuk kelompok
terdisisonal.

2.2. Situasi Perguruan Tinggi Dan Kemahasiswaan Sebelum


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lahir
Situasi Perguruan Tinggi yang akan penulis bahas hanya
terbatas di kota Yogyakarta saja, mengingat kota ini merupakan
kota bersejarah bagi HMI yaitu tempat dilahirkannya HMI dalam
suasana Republik Indonesia masih berusia muda yaitu dua tahun
setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Selain itu pula, kota Yogyakarta
sangat dikenal sebagai kota “pelajar” yang telah banyak melahirkan
para cendikiawan yang berperan dalam pembangunan nasional.
Pada saat berdirinya HMI, Perguruan Tinggi yang ada di
Yogyakarta meliputi:
1. Sekolah Tinggi Islam (STI), yang didirikan di Jakarta pada
tanggal 8 juli 1945. Setelah pindah ke Yogyakarta berganti
nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal
20 Mei 1948. Dari fakultas agamanya dijadikan PTAIN dan
Akademi Dinas Islam tanggal 26 September 1951. PTAIN dan
Akademi Dinas Islam (ADIA) yang berdiri tahun 1957 di
Jakarta kemudian digabung menjadi Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Al Jamiah., Yang berkedudukan di Yogyakarta.
Diresmikan oleh Mentri Agama KH. Wahib Wahab pada
tanggal 12 Rabiul Awwal 1380 H bertepatan dengan 24
Agustus 1960.
2. Universitas Gajah Mada, ketika itu berstatus swasta milik Balai
Perguruan Tinggi Gajah Mada, yang didirikan di Gedung
DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan Malioboro pada

18
tanggal 17 Pebruari 1946 dan dinegerikan pada tanggal 19
September 1949.25
3. Akademi Kepolisian
4. Sekolah Tinggi Teknik.26
Perguruan Tinggi yang ada saat itu merupakan warisan dari
zaman kolonial Belanda, sehingga sistem pendidikannya pun berbau
“Barat” . Pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial
Belanda terhadap kaum pribumi pada masa politik etis bertujuan
untuk menarik kaum pribumi pada pola budaya “Barat”.27 Sistem
pendidikan Barat adalah bersifat “sekuler” dengan “mendangkalkan
agama”.28 Konsekwensi logis bagi kehidupan kemahasiswaan adalah
memperlihatkan adanya kecenderungan kehidupan ”sekuler”.
Mahasiswa calon intelektual atau cendikiawan akan memiliki sikap
tidak peduli terhadap nilai-nilai keagamaan.
Sebelum HMI lahir, di Yogyakarta terdapat organisasi
kemahasiswaan yang cukup besar dan berpengaruh, yaitu
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), dengan keanggotaannya
berasal dari tiga perguruan tinggi yaitu Sekolah Tinggi Islam (STI),
Sekolah Tinggi Teknik, dan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada.29
Akibat warisan dari sistem pendidikan Barat, maka kehidupan PMY,
memperlihatkan adanya suatu kehidupan yang “sekular”. Dalam
segala aktifitas kemahasiswaan, PMY tidak memperhatikan kegiatan-
kegiatan keagamaan mahasiswa, ceramah-ceramah keagamaan tidak
pernah dilaksanakan, tidak memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk melaksanakan shalat Maghrib di tengah-tengah
berlangsungnya perkuliahan yang dimulai dari jam 16.30-20.30.30

25 Perpustakaan HMI IAIN Suka, Majalah Ukhuwah, no. 1/1 November 1973,
Yogyakarta, hlm 7.
26 Sitompul, Agussalim, (1976), Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (Th.
1947-1975), Surabaya : Bina Ilmu, hlm.16.
27 Nasution (1987), Sejarah Pendidikan Indonesia, Bandung : Jemarrs, hlm.16.
28 Sitompul, Agussalim, Op. Cit., hlm.16.
29 Ibid , hlm.12.
30 Sitompul, Agussalim, ibid, hlm.17.

19
Tidak terlaksananya aspirasi keagamaan ini, sebenarnya
merupakan alasan kuat bagi mahasiswa yang peduli terhadap
agama untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berdiri
sendiri terpisah dari PMY. Tetapi karena bangsa Indonesia pada saat
itu sedang menghadapi Belanda yang selalu merongrong
kemerdekaan Republik Indonesia, maka mendirikan organisasi
mahasiswa sendiri pada saat itu belum memungkinkan. Seluruh
potensi bangsa termasuk potensi mahasiswa mesti digalang dalam
menghadapi Belanda. Aspirasi Islam dalam dunia kemahasiswaan,
akhirnya terwujud dengan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) di Yogyakarta pada tanggal 5 Pebruari 1947. Kelahiran HMI
bermaksud agar mahasiswa sebagai calon intelektual atau sarjana,
diharapkan kelak menjadi sarjana atau inteelektual yang islami yaitu
muslim yang memiliki kepedulian terhadap Islam sebagai praktek
ibadah dalam segala aspek akktifitas kehidupan sehri-sehari.

2.3. Gagasan Untuk Mendirikan HMI


Ada beberapa kondisi yang menjadi ide dasar latar belakang
lahirnya HMI. Kondisi tersebut adalah, pertama, datangnya penjajah
atau orang Barat seperti Portugis, Inggris, dan Belanda. Di samping
mereka menjajah untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia,
sekaligus bangsa Barat ini membawa missi atau Zending Kristen
serta kebudayaan Barat. Kebudayaan Barat yang datang ini bersifat
“sekular” artinya ada suatu pemisahan antara agama dan praktek
kehidupan lainnya yang tidak ada hubungan langsung dengan
Tuhan. Kedua, situasi umat Islam dirasakan masih memperlihatkan
hilangnya ”ruh” Islam yaitu semangat ijtihad, sehingga umat Islam
larut pada sikap ”kejumudan” yaitu kebekuan dalam pengembangan
berpikir, hal inilah yang membuat umat Islam tertinggal dari umat
lainnya. Ketiga, sebagai akiabat negatif ”warisan” pendidikan
kolonial Belanda yaitu kehidupan Perguruan Tinggi yang besifat
”sekular”, terlihat adanya keadangkalan dalam pemahaman,

20
penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam berbagai aspek
kehidupan.31
Ide lahirnya HMI, lahir dari seorang mahasiswa tingkat I
sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta yang bernama Lafran Pane.
Dia merasa prihatin melihat situasi dan kondisi kemahasiswaan
sebagaimana dikemukakan pada bahasan sebelumnmyaa. Pada
mulanya tidaklah mudah bagi Lafran Pane untuk mengajak teman-
temannya sesama mahasiswa mengungkapkan idenya tersebut.
Tidak banyak mahasiswa yang memberikan respon positif terhadap
ide Lafran Pane tersebut. Berkali-kali Lafran Pane mengadakan tukar
pikiran mengenai gagasannya tersebut baik dengan para mahasiswa,
bahkan dengan Rektor STI yaitu Prof. Abdulkahar Muzakir. Rektor
STI sangat menyetujui terhadap gagasan Lafran Pane tersebut, hanya
dengan saran agar tidak mencampuri urusan politik.32

Gambar 1:
Lafran Pane penggagas pendiri HMI
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Lafran_Pane

31 Sitompul, Agussalim Ibid, hlm.19.


32 Sitompul, Agussalim, Op. Cit., hlm . 19

21
Walaupun tidak banyak dukungan dari para mahasiswa
terhadap ide Lafran Pane, ia tetap bersikeras dan bertekad organisasi
ini harus berdiri. Ide tersebut akhirnya diwujudkan dalam ruangan
kuliah STI di Jalan Setyodiningrat 30 (sekarang Jalan P. Senopati)
Yogyakarta. Pada saat itu tepatnya hari Rabu tanggal 5 Pebruari 1947
sedang berlangsung perkuliahan tafsir dari Bapak Husen Yahya.
Lafran Pane meminta izin kepada Bapak Husen Yahya untuk
mengadakan rapat. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Bapak
Yahya, kemudian Lafran Pane memimpin rapat dan ia menyatakan
bahwa:
1. Hari ini adalah rapat pembentukan suatu organisasi mahasiswa
Islam di mana anggaran dasarnya sudah siap
2. Pada hari ini bukan lagi mepersoalkan perlu atau tidaknya
mendirikan organisasi islam.
3. Di antara saudara boleh ada yang tidak setuju atau boleh ada
yang setuju, pada hari ini juga organisasi Islam secara formal
harus berdiri karena persiapannya sudah matang.33
Rapat berjalan dengan lancar, sebelum Maghrib tiba pada
tanggal 5 Pebruari 1947 atau bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul
Awwal 1336 H para peserta rapat dengan disaksikan oleh Bapak
Husen Yahya, berhasil mengambil keputusan:
1. Menetapakan berdirinya organisasi yang bernama Himpunan
Mahasiswa Islam atau disingkat HMI dengan tujuan:
a. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia
b. Menegakan dan mengembangkan agama Islam
2. Mengesahkan Anggaran Dasar HMI
3. Membentuk pengurus HMI, dengan susunan sebagai berikut:
Ketua : Lafran Pane
Wakil Ketua : Asmin Nasution

33 Sitompul, Agussalim, ibid, hlm . 20.

22
Penulis I : Anton Timur Jaelani
Penulis II : Karnoto
Bendahara I : Dahlan Husen
Bendahara II : Maisaroh Hilal
Anggota : Suwali, Yusdi Ghazali, dan Mansyur
4. Sekertariat HMI dipusatkan di Asrama Mahasiswa, Jalan
Setyodiningrat 5 ( jalan P. Senopati 5, Sekolah asisten Apoteker-
sekarang).34
Organisasi ini didirikan bersifat independen artinya bukan
merupakan bagian dari satu organisasi atau partai politik tertentu.
Hal ini harus ditafsirkan, bahwa HMI bukannya bercuci tangan dari
segala masalah politik. HMI dengan tegas menyatakan aktif dalam
perjuangan yang menyangkut kepentingan umat Islam atau
kepentingan masyarakat, nusa, bangsa dan agama Islam dalam
bidang-bidang yang sesuai dengan statusnya sebagai organisasi
mahasiswa.35

2.4. Reaksi Terhadap Berdirinya HMI


Berdirinya HMI menimbulkan reaksi, baik dari kalangan Islam
sendiri maupun dari kalangan organisasi yang tidak beridentitaskan
Islam. Walaupun proses berdirinya teramat sederhana, akan tetapi
HMI pada saat itu memberikan dampak yang besar, mengingat saat
itu Negara Republik Indonesia masih berusia muda yaitu dua tahun
setelah kemerdekaan, sehingga diperlukan adanya kekuatan potensi
mahasiswa untuk berperan dalam mempertahankan kemerdekaan
republik Indonesia.
Pada saat itu masih nampak pula adanya persaingan ideologi
antar partai yang cukup tajam dalam elit pemerintahan, sehingga hal
ini menimbulkan polarisasi dalam kehidupan politik kemahasiswaan,

34 Sitompul, Agussalim, ibid, hlm. 20.


35 Ibid, hlm. 21.

23
karena setiap partai menggalang kekuatan mahsiswa untuk
memperoleh dukungan yang besar demi ”survive-nya” partai.
Perserikatan Mahasiswa Yogya (PMY) saat itu merupakan
organisasi mahasiswa yang terbesar dan berpengaruh di Yogyakarta.
PMY saat itu didominasi oleh orang-orang ”sosialis”. Partai yang
berkuasa pada akhir tahun 1946 yaitu partai Sosialis. Partai yang
sedang berkuasa ini selalu berupaya mempengaruhi organisasi-
organisasi kemahasiswaan untuk mendapatkan dukungan. PMY
sebagai organisasi kemahasiswaan berhasil diselusupi oleh pengaruh
sosialis.
Sudah barang tentu dengan berdirinya HMI, bagi PMY
merupakan suatu tandingan, terutama dalam masalah ideologi yang
berdampak pada keanggotaan. HMI adalah organisasi yang
berideologi Islam. Kehadiran HMI akan membuat PMY kehilangan
pengaruh dan keanggotaan, karena saat itu mahasiswa yang
beragama Islam merupakan kelompok mayoritas, sehingga tidak
menutup kemungkinan para mahasiswa yang beragama Islam akan
lari dari PMY, dan masuk menjadi anggota HMI. Milano Akhmad
yang saat itu menjadi ketua PMY yang berkiblat ke Partai Sosialis
(PS), ia sering hadir dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Islam.
Dalam pertemuan-pertemuan tersebut ia sering bersikeras
menentang dan menolak HMI dan menuduh HMI sebagai pemecah
belah mahasiswa.30 Reaksi dari PMY tidak membuat HMI bubar,
akan tetapi HMI massih tetap ”survive”.
Dari kalangan organisasi Islam pun timbul reaksi terhadap
HMI. Reaksi dari organisasi Islam tidak bersifat Ideologis, akan tetapi
hanya kekurangmengertian saja. Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII) menuduh HMI pemecah belah pemuda dan umat Islam.31 Atas
tuduhan GPII, menurut Lafran Pane sebagai pemrakarsa dan pendiri
HMI, persoalan bukan tidak setuju terhadap MASYUMI yang telah

30 Sitompul,.Agussalim,ibid, hlm. 27.


31 Ibid, hlm. 28.

24
berhasil menghimpun kekuatan umat Islam di Indonesia, tetapi
penting menurut pendapatnya, bahwa organisasi mahasiswa yang
didirikan harus bersifat independen.32
Selain dari GPII, reaksi timbul pula dari Pelajar Islam Indonesia
(PII), walaupun organisasi ini lahir setelah HMI. Di kalangan PII ada
juga yang menjadi anggota GPII, sehingga hal ini sangat berpengaruh
atas sikap PII terhadap HMI. Dalam kongres I PII di Solo tanggal 14
sampai 16 Juli 1947, Lafran Pane turut hadir atas nama HMI, akan
tetapi tidak diberikan kesempatan untuk berbicara atas nama HMI.
Dalam kongres ini HMI dianggap tidak ada.
Adanya perubahan sikap dari PII terhadap HMI, terjadi pada
Konfrensi Besar I PII di Ponogoro pada tanggal 4 sampai 6 November
1947. Dalam konfreensi ini masalah HMI” menjadi agenda acara
konfërensi. Lafran Pane diberikan kesempatan untuk berbicara
masalah maksud dan tujuan didirikannya HMI. Dalam kesempatan
ini Lafran Pane menyatakan:
”Kemahsiswaan adalah lapangan perjuangan yang harus
diperhatikan oleh umat Islam. Karena harus ada lembaga yang
khusus mengurus masalah kemahsiswaan ini. Islam
mengajarkan adanya pembagian kerja dari berbagai aspek
kemasyarakatan. GPII dan PII tidak bisa menggarap
kemahasiswaan ini, karena bukan lapangannya. Antara GPII,
PII dan HMI harus ada pembagian tugas sesuai dengan
bidangnya masing-masing. GPII menggarap lapangan pemuda,
PII menggarap di lapangan pelajar dan HMI mengurus
kemahasiswaan, yang mempunyai ciri lain dari bidang pemuda
maupun pelajar. Apa yang digarap GPII, PII dan HMI satu
sama lain tidak ada persaingan, apalagi pertentangan. Satu
dengan yang lainnya saling mengisi, sama-sama bertujuan
untuk syiar, kemulyaan, ketinggian agama Islam menuju
Baldatun thoyyibatun warobbun ghoffur (bahasa arab). Demi untuk

32 Sitompul, Agussalim ibid, hlm. 23.

25
kepentingan agama, bangsa dan negara Republik Indonesia.
Walaupun dalam Senat mahsiswa STI ada urusan
kemahasiswaan dimana ketua III kebetulan saya, dan PMY
telah duduk Amin Syakri pendiri PII dan Suyono, toh
semuanya itu masih kurang sekali, sebagai alat mengajak
mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam
agar kelak mereka sebagai seorang calon sarjana, tokoh
masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan
penuntun tegas dunia dan akhirat, akal dan kalbu, iman dan
ilmu pengetahuan yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan
di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat
membahayakan, karena sistem pendidikan Barat. Islam harus
dikembangkan serta disebarluaskan di kalangan masyarakat di
luar STI. Apalagi PMY, secara tegas menyatakan berdasarkan
non-agama. Inilah maksud dan tujuan didirikan HMI bukan
untuk memecah belah ummat Islam dan pemuda Islam, tetapi
untuk mempersatukannya.33
Dengan keterangan dari Lafran Pane, maka terjadi perubahan
sikap dari PII terhadap HMI. Dan sejak itu PII dan GPII sudah dapat
memahami dan menerima hakekat maksud dan tujuan didirikannya
HMI.

33 Sitompul, Agussalim, ibid, hlm. 30.

26
Gambar 2:
Konferda HMI Badko Jatim di Madiun. Duduk depan kiri ke kanan :
mas A Malik Fajar, cak Nurcholis Madjid, dr. Thamrin Syam (pidato),
Samsul Hadi dan Masrani. Di belakang kiri ke kanan : Sri Subekti,
Maisaroh, Etty Syuhada, Rukmi Oetomo
Sumber :
https://sinergynews.id/malik-fadjar-sumur-tanpa-dasar-taman-laut-
tanpa-tepi/

Lahirnya HMI membawa sejarah baru dalam perjalanan umat


Islam di Indonesia. HMI sebagai organisasi kader dalam gerak dan
langkahnya tidak melepaskan diri dari konteks keindonesiaan dan
keislaman. Kontek keindonesiaan nampak terlihat dalam tujuan
pertama kali HMI didirikan yaitu mempertahankan negara Republik
Indonesia serta mempertinggi derajat bangsa Indonesia. Sedangkan
konteks keislaman nampak dalam kalimat ”menegakkan dan
mengembangkan ajaran Islam”, HMI telah mampu
menginternalisasikan Islam sebagai suatu sistem ajaran agama,
dengan keindonesiaan sebagai suatu sistem kehidupan masyarakat
dalam kehidupan sebuah negara.

27
Dengan dijadikannya Islam sebagai sebuah ideologi organisasi,
HMI sejak awal berdirinya telah mampu mengantisipasi faham
komunis yang bersifat sekular sebagai akibat warisan dari penjajah.
Komunis adalah ideologi yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan
pola kehidupan masyarakat Indonesia yang religius yang telah lama
kuat mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Dengan demikian,
kelahiran HMI bukan hanya membawa sejarah baru bagi umat Islam
saja, akan tetapi bagi bangsa Indonesia secara luas khususnya bagi
dunia kemahasiswaan.

28
BAB III
SIKAP PKI TERHADAP HMI

3.1. Strategi PKI Dalam Mencapai Kekuasaan Politik


Sebelum penulis membahas sikap PKI terhadap HMI secara
terinci, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang strategi PKI
dalam mencapai kekuasaan politik di Indonesia. Hal ini perlu
dikemukakan karena sikap PKI terhadap HMI merupakan bagian
dari proses perjuangan PKI dalam mencapai kekuasaan di Indonesia.
PKI adalah partai komunis yang dalam hal ajarannya
bersumber dari Marxisme. Marxisme adalah suatu paham atau isme
yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan dikembangkan oleh
pengikut-pengikutnya sebagai satu kesatuan ajaran filsafat atau isme
di dunia. Adapun intisari dari pokok-pokok ajaran marxisme ialah
Materialisme-Filsafat (MF), Materialisme-Dialektika (MD),
Materialisme-Historia (MDH) sebagai komponen-komponennya serta
ekonomi dan sosialisme ilmiah. Sedangkan apa yang disebut
Materialisme-Historis atau Historis-materialisme ialah penterapan
materialisme-dialektik di dalam sejarah dan kehidupan masyarakat.1
Pandangan Karl Marx tentang sejarah ini lazim dikenal dengan
istilsah Historis-Materialisme, atau tafsiran sejarah materialistis yang
pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1 Aidit, D.N, (1964), Tentang Marxisme, Jakarta: Akademi Ilmu Sosial, sebagaimana
dikutip oleh Ismaun, (1972), Tindjauan Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik
Indonesia (dalam rangka tjita-tjita Sedjarah perjuangan kemerdekaan), Bandung : Carya
Remadja, 1972, hlm. 102.

29
Pertama : bahwa sejarah kemasyarakatan dan kemanusiaan
adalah perkembangan formasi-formasi dari suatu
formasi sosial ekonomis menjadi yang lain dan yang
meningkat.
Kedua : bahwa keseluruhan kemanusiaan itu sejak dahulu kala
hingga sekarang telah melalui 4 formasi sosial, yaitu:
1. Formasi komunal yang primitif (5550-1800 SM)
2. Formasi perbudakan (1800 SM-474 M)
3. Formasi feodal (476 M-1650 M)
4. Formasi kapitalis (dimulai sejak tahun 1650 M
sedangkan keseluruhan umat manusia itu dewasa
ini hidup tingkatan sejarahnya)
5. Formasi sosialisme, menuju ke
6. Formasi komunisme
Ketiga : bahwa dalam melalui formasi-formasi ini berturut-turut
terdapat suatu hukum perkembangan sejarah yang
merupakan suatu keharusan tidak dapat dielakkan oleh
manusia (historiscche Notwendigkeit).2
Sejarah perkembangan manusia menurut Marxisme adalah
sejarah perjuangan kelas. Setiap perubahan fase tersebut berdasarkan
adanya gerak dialektika yang berpangkal pada faktor produksi.
Dalam sejarah pertumbuhan umat manusia ini, senantiasa terdapat
dua masyarakat yaitu kelas tertindas dan kelas penindas atau suatu
kelas yang dieksploitasi dan kelas yang mengeksploitasi. Pada zaman
perbudakan, kelas penindas adalah para master (majikan, sang tuan),
sedang yang tertindas adalah para budak yang menjual tenaganya.
Di masa feodalisme, yang menindas adalah kaum tanah (land-lord)
yang kaya raya dan yang ditindas adalah para petani gurem, buruh
tani yang mengerjakan sawah atau kawasan milik para tuan tanah
itu. Kemudian, ketika proses obyektif sejarah umat manusia bergerak

2 Ibid, hlm. 101 – 102.

30
dari feodalisme ke kapitalisme, juga terdapat dua kelas, yaitu kelas
kapitalis sebagai penindas dan kelas proletariat sebagai tertindas.
Sedangkan pada zaman sosialisme, kelas-kelas itu masih ada, tetapi
perbedaannya tidak lagi terlalu tajam, karena adanya suatu
kediktaktoran yang dinamakan diktaktor proletariat. Dalam
kediktatoran ini, para diktator secara kolektif menguasai negara
dengan mengatasnamakan kaum proletar untuk mengikis habis sisa-
sisa kelas penindas, yang terdiri dari kaum borjuis kecil.3 Masyarakat
komunis yang dicita-citakan oleh Marx yaitu masyarakat yang tidak
ada kelas sosial, manusia dibebaskan dari keterikatannya pada
pemilik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan paksaan.
Untuk mencapai masyarakat komunis, masyarakat yang bebas dari
paksaan itu, harus dilakukan dengan jalan paksaaan dan kekerasan,
yaitu dengan perebutan kekuasaaan oleh kaum buruh dari tangan
kapitalis.4 Atas dasar teori Historis-Materialisme, menurut Marx
perkembangan masyarakat yang tidak ditentukan oleh ”Ide Yang
Mutlak” atau oleh kekuatan ghaib dari alam, tetapi oleh kekuatan
benda atau materi, terutama kekuatan ekonomi dan perbandingan-
perbandingan ekonomi.5
Dengan demikian kalau kita bandingkan dengan pandangan
ajaran agama, bahwa Marxisme tidak mempercayai adanya kekuatan
ghaib atau adanya Tuhan sebagai suatu kekuatan di luar batas
kemanusiaan, sehingga ajarannya bersifat atheis. Marxisme tidak
meyakini kebenaran-kebenaran dari tiap kejadian. Agama
dinyatakan sebagai candu masyarakat. Semua agama menurut
Marxisme adalah alat dari kelas yang berkuasa untuk
mempertahankan penghisapan mereka atas kaum buruh dan untuk
melemahkan kaum buruh. Tuhan yang maha kuasa hanyalah

3 Rais, M. Amien, (1987), Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung : Mizan,
hlm. 102
4 Budiardjo, Meriam, (1983), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia, hlm.
82-83.
5 Huselbos, J, Komunisme Pengaduan, Djandji atau Antjaman. Jakarta : PT.
Pembangunan, tanpa tahun terbit, hlm. 25.

31
bayangan dalam angan-angan manusia mengenai ketidakkuasaanya
terhadap alam dan perimbangan-perimbangan ekonomi yang dibuat
mereka sendiri. Tuhan adalah kehinaan yang tidak dapat diucapkan.
Agama ialah suatu bentuk tekanan ruhani, yang digunakan terhadap
massa rakyat dan yang emnjadi tambahan bagi penindasan mereka
disebaabkan pekerjaan, kekuarangan, dan kesepian. Lenin
mengatakan bahwa Marxisme adalah materialisme oleh sebab itu
Marxisme memusuhi agama.6
Komunisme adalah partai yang memiliki jaringan internasional
dengan kiblatnya yaitu Uni Sovyet dan Republik Rakyat China
(RRC). Dalam membentuk komunisme internasional (Komintern),
kedua negara tersebut (RRC dan Sovyet), selalu berupaya untuk
menyebarluaskan paham komunisnya ke negara-negara lain. Isi
ajaran komunis yang disusupkan ke negara-negara terjajah sebagai
akibat kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat terhadap bangsa-
bangsa Asia-Afrika, yaitu bahwa komunisme tidak hanya anti
kapitalisme, akan tetapi juga anti kolonialisme dan imperialisme.
Dengan tema seperti inilah komunisme dangan mudah menyusup
masuk ke negara-negara terjajah atau negara-negara yang masih baru
merdeka seperti halnya Indonesia.
Setiap usaha-usaha kudeta yang dilakukan oleh kaum komunis
dalam suatu negara, tidak terlepas dari kendali Sovyet dan RRC
sebagai ”imamnya”. Kenyataan ini telah terjadi atau terbukti dalam
catatan sejarah Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, PKI telah dua
kali melakukan pemberontakan, yaitu pada tahun 1948 di Madiun
dan tahun 1965 yang dikenal dengan Gerakan Tiga Puluh September
(G.30.S/PKI). Ketidakterlepasan gerakan komunis dari ”imamnya”
tersebut, terlihat ketika Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
yang memegang tampuk pemerintahan di Indonesia bersedia
berunding dengan Belanda (Perjanjian Renville). Hal ini dilakukan,
karena Uni Sovyet dan Amerika Serikat (AS) termasuk Belanda

6 Ibid, hlm. 128-131.

32
masih sebagai sekutu yang menang dalam Perang Dunia II. Tetapi
kemudian mereka (komunis) mengubah sikap dan menentang
perjanjian Renville yang telah ditandatanganinya. Perubahan sikap
ini sejalan dengan garis komunis internasional, yaitu pada masa
sebelum dan saat perang dunia II. Kaum komunis menempuh
”strategi kanan” dengan bersekutu dengan AS dan sekutunya untuk
menghadapi kaum Fasis dan Nazi Jerman, Italia dan Jepang.7 Setelah
perang dunia II, kaum komunis tidak bersekutu lagi dengan AS dan
sekuktunya. Kaum komunis mengubah strategi yang disebut dengan
”garis Zhanov”, yang membagi dunia menjadi dua blok komunis dan
kapitalis.8 Begitu pula dalam pemberontakan tahun 1965, PKI banyak
dibantu oleh RRC.

Gambar 3 :
Muso salah seorang pemimpin PKI sejak masa Belanda
Sumber :
https://rumahinfo.my.id/gerakan-komunis/

7 Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSKIK), (1983), Rangkaian Peristiwa


Pemberontakan Komunis Di Indonesia, Jakarta : PT. Yudha Gama Corporation,
Jakarta, hlm. 5.
8 Ibid, hal. 5.

33
Pada masa penjajahan Belanda, kaum komunis pernah
melakukan pemberontakan di tahun 1926, yang berakhir dengan
kegagalan dan berhasil ditumpas oleh pemerintah kolonial Belanda.
Muso salah seorang pemimpin pemberontakan berhasil meloloskan
diri dan pergi ke Uni Sovyet. PKI berdiri secara illegal pada tahun
1935 di Surabaya, baru kemudian pada tanggal 21 Oktober 1945
muncul secara terang-terangan. Bulan Agustus 1948 Muso datang
kembali ke Indonesia dengan membawa garis baru bagi kaum
komunis Indonesia dengan perubahan-perubahan besar bagi
komunis Indonesia.9 Muso berhasil menggabungkan Partai Buruh
pimpinan Stiadji dan Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifudin,
SOBSI, STI dan Pesindo menjadi Front Demokrasi Rakyat (FRD).10
Di bidang politik Muso mengecam kebijaksanaan pemerintah
dan strategi perjuangan pemerintah, menganggap revolusi Indonesia
bersifat defensif, karena itu akan mengalami kegagalan. Ia
menyarankan agar dibentuk Front Persatuan Nasional.11 Muso
mengadakan pembaharuan struktur organisasi politbiro PKI, di
dalam sekretariat umum antara lain duduk Muso dan Amir
Syarifudin menjabat sebagai sekretaris urusan pemerintahan.

9 Djoened, Marwati &, Notosusanto, Nugroho, (1984), Sejarah Nasional Indonesia VI,
Jakarta : PN. Balai Pustaka, hlm. 153.
10 LSIK, Op. Cit., hlm. 28
11 Merdeka, 16 Agustus 1948, dkutip oleh Djoened, Marwati &, Notosusanto,
Nugroho, & Op.Cit., hlm. 154

34
Gambar 4 :
Amir Sjarifudin salah satu pimpinan PKI segenerasi Muso
Sumber:
https://www.kompas.com/skola/read/20

Dalam kampanye politiknya, Muso menuduh pemerintah


Hatta membawa Republik Indonesia pada ”Penjajahan Baru Dalam
Bentuk Lain”.12 Amir Syarifudin yang menjadi pimpinan FDR,
menuntut jatah kursi lebih banyak dalam Kabinet Hatta yang baru
terbentuk pada tanggal 29 Januari 1948. Tetapi Hatta hanya memberi
jatah dua kursi bagi FDR. Sodoran Hatta ini tidak diterima oleh
Amir Syarifudin, dan sebaliknya permintaan dari Amir Syarifudin
tidak dikabulkan oleh Hatta. FDR tidak henti-hentinya selalu
memberikan kecaman kepada pemimpin pemerintahan.

12 Djoened, Marwati &, Notosusanto, Nugroho, Ibid, hlm. 154.

35
Gambar 5:
Alimin salah satu tokoh PKI zaman kolonial Belanda
Sumber :
https://www.merdeka.com/alimin/profil/

Pertualangan politik ini meningkat menjadi insiden-insiden di


kota Solo, insiden terjadi antara simpatisan FRD/PKI dengan lawan-
lawan politiknya juga dengan TNI. Setelah terjadi insiden-insiden di
Solo, pada tanggal 18 September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI
memperoklamasikan berdirinya ”Republik Sovyet Indonesia”.13
Dengan demikian pecahlah pemberontakan PKI di Madiun. Kaum
pemberontak dapat menguasai kota Madiun dan Radio Gelora
Pemuda. Muso menyerang pemerintah, dengan menyatakan bahwa
Soekartno-Hatta telah menjalankan pilitik kapitalis terhadap Belanda
dan Inggeris yang hendak menjual tanah airnya kepada kaum
kapitalis.14

13 Ibid, hlm. 155.


14 Merdeka, 21 September 1948. Dikutip Djoened, Marwati &, Notosusanto,
Nugroho, ibid, hlm. 155.

36
Dengan pecahnya pemberontakan di Madiun, maka
pemerintah mengambil tindakan penumpasan. Dengan Gerakan
Militer (GOM) I yang dilancarkan oleh Angkatan Perang, dalam
waktu dua minggu, pada tanggal 30 September 1948 jam 16.15 WIB
di kota Madiun dapat direbut kembali.15
Dalam penumpasan PKI di Madiun, Aktivis HMI turut serta.
Beberapa hari setelah pemberontakan Madiun, wakil ketua PB HMI
Akhmad Tirtosudiro mengambil over alih kepemimpinan
Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang
merupakan wadah federasi organisasi-organisasi ekstra-universiter,
HMI termasuk di dalamnya. Suripno sebagai ketua PPMI, terlibat
dalam pemberontakan PKI Madiun. Melalui PPMI Akhmad
Tirtosudiro, Hartono dan Amin Alamsyah ketiganya dari HMI,
membentuk Corps Mahasiswa. Hartono sebagai komandannya,
Akhmad Toirtosudiro sebagai wakil komandan dan kepala Staff
Amin Alamsyah. Corps Mahasiswa yang berintikan HMI sebagai
kesatuan tempur, bertugas memasang ranjau, intelegen, penerangan,
duduk dalam staff, setelah menggerakan seluruh tenaga maupun
kekuatan bersama-sama dengan kesatuan Siliwangi dari Jawa Barat
menyerbu Madiun menumpas PKI.16

15 Djoened, Marwati &, Notosusanto, Nugroho , ibid, hlm. 155.


16 Sitompul, Agusalim, Op. Cit., hlm. 33.

37
Gambar 6:
Akhmad Tirtosudiro salah seorang anggota PKI yang ikut
menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948
Sumber :
https://yakusaaa.blogspot.com/2017/11/achmad-tirtosudiro

Selama tahun 1950 keadaan PKI berada dalam kegelapan dan


kekacauan, setelah mendapat pukulan dalam peristiwa Madiun
bulan September 1948. Pemimpin-pemimpin lama yang masih
tinggal seperti Tang Ling Djie, Alimin, Ngadimin, Wikana tidak
mampu memberikan kepemimpinan yang segar dalam membentuk
kembali partai. Pemimpin muda yang lebih dinamis yakni Aidit dan
kawan-kawannya lalu mengambil alih pimpinan partai pada bulan
Januari 1951. Pemimpin baru Aidit dan kawan-kawannya,
berdasarkan pengalaman Cina komunis berdasarkan analisa yang
diajukan Muso pada tahun 1948 sekembalinya dari Sovyet-Rusia, lalu
mengembangkan strategi Persatuan Front Nasional yang benar.
Strategi tersebut berdasarkan aliansi atau perserikatan kerjasama
antara kelompok yakni (1) buruh, (2) petani, (3) borjuasi kecil, (4)
borjuasi nasional. Strategi Aidit dan kawan-kawannya itu
berdasarkan asumsi, bahwa Indonesia pada masa itu masih

38
merupakan ”suatu negeri semi-kolonial dan semi-feodal”. PKI
berpendapat bahwa karena persetujuan KMB dengan Belanda maka
imperialisme Belanda masih mempunyai kontrol atas Indonesia.17
Program yang dikeluarkan oleh CC-PKI pada bulan April
menerangkan, bahwa Revolusi Indonesia ”ditujukan terhadap
imperialime, feodalisme, dan borjuasi komprador”. Adapun
kekuatan-kekuatan pendorong revolusi Indonesia menurut PKI
adalah 4 kelompok sebagaimana tersebut di atas. Menurut program
pertanian bulan November 1951, maka petani merupakan kekuatan
revolusioner itu terbagi atas (1) petani kaya, (2) petani menengah, (3)
petani miskin, (4) buruh tani. Pada tahun 1957 Aidit menjelaskan apa
yang dimaksud borjuasi kecil yakni meliputi ”lain daripada petani”
seperti ”kaum miskin” di kota, kaum intelektual, pedagang kecil
pekerja kerajinan tangan, nelayan dan lain-lain. Borjuasi ini terbagi
atas dua kelompok, yakni (1) borjuasi komprador, (2) borjuasi
nasional. Borjuasi komprador bersikap pro Barat, atau tidak tegas
anti Barat dan anti komunis. Sedangkan borjuasi nasional ialah
mereka yang tegas anti Barat dan tidak habis-habisan anti komunis.
Menurut Aidit dan kawan-kawannya, kelas buruh, tani, borjuasi
kecil, dan borjuasi nasional mesti bersatu dalam wadah Front
Persatuan Nasional. Landasannya ialah persekutuan antara buruh
dan petani. Kelas buruh harus memimpin Front Persatuan Nasional.
Hanya strategi inilah yang mewujudkan pemerintah demokrasi
Indonesia.18
Dalam usaha membina partai dan memperoleh dukungan
massa yang sebanyak-banyaknya, Aidit dan kawan-kawannya
mengembangkan suatu gambaran atau citra tentang diri PKI
sedemikian rupa, sehingga menarik hati masyarakat. Aidit bersama
kawan-kawannya berusaha menjuruskan propaganda dan kegiatan
partai hingga timbul hingga di luar bahwa PKI adalah:

17 Anwar, Yozar, (1982), Protes Kaum Muda, Jakarta : PT. Variasi Jaya-Kartini Group
hlm.119.
18 Anwar, Yozar, ibid, hlm. 121.

39
1. Suatu partai nasional
2. Suatu partai yang anti-kolonialisme
3. Suatu partai yang bersimpati pada agama
4. Suatu partai yang bertanggung jawab
5. Suatu partai yang menentang penggunaan kekerasan dalam
mencapai tujuan-tujuan politik
6. Partai yang membela tegas demokrasi.19
Pada awal tahun 1951 PKI tidak memiliki citra tersebut di atas,
karena akibat peristiwa Madiun tahun 1948, tatkala PKI menyerang
pemerintah pusat RI, selagi berperang melawan Belanda dan tatkala
PKI membunuh banyak santri. Karena itu tugas pertama Aidit dan
kawan-kawannya ialah memberikan suatu persepsi kepada
masyarakat, bahwa pemberontakan di Madiun bukanlah suatu
”pemberontakan yang anti nasional sifatnya”. Menurut interpretasi
yang baru diberikan oleh Aidit dan kawan-kawannya pada tahun
1950, bahwa peristiwa di Madiun menjadi suatu peristiwa berdarah,
tatkala ”Presiden Suekarno memerintahkan disingkirkannya kaum
komunis, yang karena itu terpaksa berjuang membela diri”. Pada
tahun-tahun kemudian ”versi” di atas ”diperhalus” dengan
mengatakan, bahwa peristiwa Madiun diprovokasi oleh Hatta,
Sukiman, dan Natsir, sedangkan nama Soekarno dihilangkan.20
Pengorganisasian PKI semakin rapih, jaringannya mulai dari
tingkat pusat sampai ke daerah, yaitu:
1. CC (Comite Central atau Central Comite), sebutan organisasi
tingkat pusat
2. CDB (Comite Daerah Besar), tingkat II (propinsi)
3. CS (Comite Seksi), tingkat III (Kabupaten)
4. CSS (Comite Sub Seksi), tingkat IV (Kecamatan)
5. CRD (Comite Resort Daerah), tingkat V (Kelurahan)
6. CR (Comite Resort), tingkat VI (Pedukuhan).21

19 Ibid, hlm. 121.


20 Ibid, hlm. 124.
21 LSIK,Op.Cit., hlm. 40.

40
PKI mampu melakukan mobilisasi dengan mendirikan
organisasi di bawahnya dalam berbagai sektor, seperti Barisan Tani
Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI),
Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), Pemuda Rakya, Gerakan Wanita
Indonesia (GERWANI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Semua
organisasi bawahannya ini oleh PKI dijadikan sebagai kekuatan
revolusioner dalam menggalang massa.
Kemampuan PKI dalam merngorganisir secara rapih, setelah
berantakan akibat pemberontakan di Madiun tahun 1948, telah
mengantarkan PKI menjadi partai besar dalam Pemilu I tahun 1955.
Hasil pemilu I tahun 1955, PKI tampil menjadi alah satu partai yang
besar sebagai pemenang pemilu, yaitu PNI, MASYUMI, NU, dan
PKI. Dengan pendukung enam juta orang, merupakan jumlah yang
besar, PKI kembali memperlihatkan agresifitasnya dalam percaturan
politik di Indonesia.
Pada tahun 1950-an, situasi politik Indonesia banyak
memberikan peluang bagi PKI untuk menanamkan dan
memperbesar pengaruhnya dalam tubuh pemerintahan dan di
lingkungan masyarakat luas.22 Landasan doktrin perjuangan PKI
untuk usaha mengkomunikasikan Indonesia dikenal dengan sebutan
Metode Kombinasi Tiga Bentuk

22 Natosusanto, Nugroho, Ed, (1985), Tercaopainya Konsensus Nasional 1966-1969,


Jakarta : PN. Balai Pustaka, hlm. 1

41
Gambar 7 :
Suasana Pemilu Tahun 1955
Sumber :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190416191822-34-
386915/foto-pemilu-1955-tonggak-sejarah-demokrasi-indonesia

Perjuangan (MKTB) yang dikeluarkan PKI pada tahun 1955


pada sidang Pilitbiro yang isinya yaitu:
1. Perjuangan gerilya di desa yang pelakunya terdiri atas buruh
tani dan tani miskin.
2. Perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota
terutama oleh kaum buruh transportasi
3. Pekerjaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata.23
Ketimpangan dan kerawanan social merupakan kondisi yang
memberikan peluang bagi PKI untuk melaksanakan aksi-aksi
sepihak. Sering terjadi bentrokan-bentrokan di daerah-daerah yang
sengaja dihidupkan oleh PKI. Keadaan seperti ini dapat mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk menanggulangi kondisi yang

23 Natosusanto, Nugroho, Menegakkan Wawasan Almamater, Jakarta : Universitas


Indonesia Press, hlm. 100.

42
rawan tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957
berpidato dengan judul Menyelamatkan Revolusi Indonesia. Dalam
konsepsi ini, Presiden Soekarno mengisyaratkan akan
dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, perlu dibentuk Kabinet
Gotong Royong dan sebuah Dewan Nasional yang di dalamnya akan
duduk wakil-wakil dari semua golongan fungsional.24 Konsepsi ini
memberikan keuntungan bagi PKI.

Gambar 8:
Gambar-gambar partai peserta Pemilu 1955
Sumber :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190416191822-34-
386915/foto-pemilu-1955-tonggak-sejarah-demokrasi-indonesia

Dalam sidang konstituante yang merupakan hasil pemilu 1955,


tidak tercapai kesepakatan untuk merumuskan Undang-Undang
Dasar yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar
Sementara tahun 1950. Maka pada tanggal 5 Juli 1955, presiden

24 Soekarno, Menyelamatkan Republik Indonesia, Jakarta, 1957, hlm. 11. Sebagaiaman


dikutip oleh Nugroho, Op. Cit, hlm. 2.

43
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang berisi antara lain
kembali ke UUD 1945. Dalam suasana kembali ke UUD 1945,
Presiden Soekarno mempertegas kembali konsepsinya melalui pidato
tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul Penyelamatan Kembali Revolusi
Kita. Pidato tersebut diserahkan kepada Panitia Kerja Dewan
Pertimbangan Agung, agar dirumuskan menjadi Garis-Garis Besar
Haluan Negara. Yang memimpin panitia kerja dalah D.N. Aidit.
Dengan kedudukan seperti ini Aidit dimanfaatkan oleh PKI untuk
menyusupkan program-programnya ke dalam program nasional
melalui program GBHN yang dirumuskan. GBHN yang dirumuskan
itu diberi nama Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).25
D.N. Adit berhasil mensistematiskan Manifestasi politik (Manipol)
berdasarkan tesis PKI yaitu Masyarakat Indonesia dan Revolusi
Indonesia (MIRI).
Pada pertengahan tahun 1960-an, sebagai pelaksana dari
Manipol, Presiden Soekarno mengadakan perubahan struktur
pemerintahan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS), DPA dan Front Nasional. Front Nasional dimaksudkan
sebagai penggerak masyarakat tetapi dalam kenyataannya kemudian
jauh menyimpang dari maksud semula, karena keadaan ini sempat
dipengaruhi oleh orang-orang PKI.26 Konsepsi gotong royong
berkembang menjadi gotong royong Nasionalis, Agama dan
Komunis (NASAKOM).
Seorang politisi PKI mempunyai kedudukan yang cukup kuat
di bawah perlindungan Soekarno. Tahun 1960 MASYUMI sebagai
lawan politik berat PKI dari kalangan agama oleh Pesiden Soekarno
dibubarkan dengan surat keputusan Presiden No. 200/1960 tanggal
17 Agustus 1960, dengan tuduhan penghalang revolusi, terlibat
dalam pemberontakan PRRI dan PERMESTA. Dibubarkannya
MASYUMI bagi PKI merupakan suatu kemenagan secara politis.

25 Notosusanto, Nugroho, ibid, hlm. 3.


26 Notosusanto, Nugroho, ibid, hlm. 3.

44
MASYUMI dengan demikian tersingkirkan secara legal dari tubuh
pemerintahan.
Lawan politik PKI yang sangat kuat adalah ABRI khususnya
Angkatan Darat (AD). Kaum komunis selalu berusaha menguasai
angkatan bersenjata, sebab dengan demikian mereka akan mudah
merebut kekuasaan negara. Untuk melemahkan posisi ABRI, PKI
selalu melakukan politik adu domba antar angkatan, antar kesatuan
dalam satu angkatan, antara pimpinan dengan bawahan, dan antara
perwira dengan bawahan.27 Dalam tubuh ABRI pun PKI melakukan
infiltrasi, sesuai dengan program MKTB khususnya nomer 3, yaitu
perjuangan intensif di kalangan angkatan bersenjata, sehingga ada
beberapa perwira ABRI yang berhasil dibina oleh PKI.
Untuk melakukan suatu coup diperlukan adanya kekuatan
bersenjata, maka D.N. Aidit dalam pidatonya pada tanggal 14 Januari
1965 mengusulkan kepada pemerintah agar buruh dan petani
dipersenjatai. Usul D.N. Aidit ini oleh beberapa perwira khususnya
dari Angkatan Darat tidak disetujui, sehingga perwira-perwira yang
menentang usul Aidit tersebut, menjadi korban penculikan ketika
PKI melakukan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965.
Ketidakberhasilan PKI dalam mengusulkan agar buruh dan
petani dipersenjatai, PKI kemudian mendiskreditkan ABRI dengan
mengeluarkan fitnahan dalam bentuk Isyu Dewan Jendral. Di kalangan
tubuh Angkatan Darat menurut PKI terdapat Dewan Jenderal yang
bertujan menilai kebijaksanaan Presiden Soekarno. PKI mengisyukan
bahwa Dewan Jendral akan mengadakan coup. Sebagai tandingan
Dewan Jendral, PKI menciptakan apa yang disebut ”perwira-perwira
yang berpikiran maju” yang tetap mempertahankan dan membela
politik Republik Indonesia. Perwira-perwira yang berpikiran maju
tersebut yang kelak akan mendahului kudeta” Dewan Jenderal”.28
Menjelang akhir bulan September 1965, persiapan pemberontakan

27 Notosusanto, Nugroho, ibid, hlm. 16.


28 Notosusanto, Nugroho, ibid, hlm. 23.

45
sudah hampir matang. Berbarengan dengan itu, PKI semakin
mendeskreditkan TNI AD di kalangan masyarakat luas. Surat kabar
Harian Rakyat, berulang-ulang menyindir TNI AD dengan istilah
kapitalis birokrat (Kabir).29 Dengan menyebarkan isyu yang
memburuk-burukkan TNI AD, PKI mengharapkan agar rakyat
membenci TNI AD dan meyokong PKI. Apabila keadaan ini sudah
tercapai, maka akan memudahkan PKI untuk melakukan coup. Maka
pada tanggal 30 September 1965, PKI melakukan kudeta dengan
terlebuh dahulu melakukan penculikan kemudian membunuhnya
secara keji terhadap tujuh orang perwira AD yang dianggap
penghalang atau musuh utama PKI. Ketujuh perwira tersebut
dibunuhnya di luar batas prikemanusiaan di Lubang Buaya dekat
Lapangan Udara Halim Perdanakusumah. PKI menyatakan gerakan
tersebut dengan sebutan Gerakan Tiga Puluh September, dengan
tujuan ingin menyelamatkan negeri dari kudeta ”Dewan Jenderal”.
Gerakan Tiga Puluh September ini, ternyata merupakan usaha
kudeta yang dilancarkan oleh PKI, dengan maksud merebut
kedaulatan negara Republik Indonesia yang sah. Gerakan ini
merupakan gerakan anti-revolusioner. Dalam waktu relatif singkat
gerakan ini dapat ditumpas oleh ABRI di bawah pimpinan Letjend
Soeharto.

3.2. Penyusupan PKI Terhadap Organisasi Kemahasiswaan


Organisasi kemahasiswaan merupakan salah satu wadah yang
sangat strategis untuk menggalang suatu kekuatan. Arti nilai
strategis dari suatu organisasi kemahasiswaan ialah organisasi ini
merupakan wadah yang menghimpun kekuatan intelektual dan
massa. Sebagai wadah yang dapat dijadikan penggalangan kekuatan,
organisasi kemahasiswaan tidak lepas dari penyusupan PKI.
Setiap partai atau organisasi massa selalu berupaya
membentuk organisasi mahasiswanya untuk menggalang kekuatan

29 Notosusanto, Nugroho, ibid, hlm. 23.

46
pada tingkat mahasiswa. Pada awal kemerdekaan dan periode tahun
1950-an, persaingan ideologi antar partai begitu tajam. Diantara
mereka saling berebutan pengaruh. Implikasi dari keadaan seperti
itu, maka kehidupan kemahsiswaan pun terkotak-kotak dengan
berbagai ideologi. Dalam menggalang kekuatan mahasiswa, pada
awal mulanya PKI bersikap lain tidak seperti partai-partai lain yang
secara langsung terang-terangan mendirikan organisasi
kemahasiswaan sebagai onderbau-nya. PKI tidak secara langsung,
terang-terangan mendirikan organisasi kemahasiswaan sebagai
onderbow-nya, yang pertama kali dilakukan oleh PKI ialah dengan
penyususpan langsung terhdap organisasi kemahasiswaan yang non-
komunis digiring ke ideologi komunis.30
Wadah organisasi kemahasiswaan pada awal mula
kemerdekaan yang merupakan federasi dari organisasi ekstra-
universiter, yaitu Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
(PPMI), didirikan di kota Malang pada tanggal 8 Maret 1947 oleh
empat organisasi mahasiswa lokal dan tiga organisasi mahasiswa
berdasarkan keagamaan dan berluang lingkup nasional. Organisasi
tersebut adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan
Mahsiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Perhimpunan
Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI), Perhimpunan Mahsiswa
Kedokteran Hewan (PMKH) Bogor, Persyerikatan Mahasiswa
Yogyakarta (PMY), Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), dan
Masyarkat Mahasiswa Malang (MMM).31 PPMI cukup berpengaruh
dalam percaturan politik Nasional pada tingkat mahasiswa.
PKI berhasil meyusupkan kadernya ke dalam tubuh PPMI,
yaitu dengan terpilihnya Suripno sebgai ketua PPMI. Suripno
berhasil membawa PPMI IUS (International Union of Student), sebuah
organisasi mahasiswa yang berhaluan komunis yang berpusat di Uni

30 Marta, Ahmaddani G., et.al., (1985), Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah
Perjuangan Bangsa, Jakarta : Kurnia Esa, hlm. 272-273.
31 Ibid, hlm. 251.

47
Sovyet atau Moskow.32 Dengan fasilitas PPMI, Suripno sering
menghadiri konprensi-konprensi komunis di luar negeri, bahkan
pada tahun 1948 Suripno pulang dari luar negeri, ke Indonesia
dengan membawa gembong PKI yang sempat meloloskan diri ketika
PKI melakukan pemberontakan pda tahu 1926 terhdap pemerintah
Kolonial Belanda, yaitu Muso. Tokoh inilah yang menjadi otak
pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.
Pada tahun 1956 PKI secara langsung mengorganisir
organisasi-organisasi mahasiswa lokal seperti Consentrasi
Mahasiswa Bandung, Consentrasi Mahasiswa Yogyakarta, dan
Gerakan Mahasiswa Bogor, digabung menjadi suatu wadah yang
bernaung di bawah PKI, yaitu Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI). CGMI dan beberapa organisasi mahasiswa yang
condong ke ”kiri” berhasil menendang lawan politiknya, yaitu
dengan memecat keanggotaan HMI dalam tubuh PPMI pada tanggal
21 Oktober 1964,33 padahal HMI termasuk salah satu organisasi
mahasiswa ekstra yang turut mendirikan PPMI.
Selain PPMI sebagai wadah federasi organisasi mahasiswa
ekstra universiter, kalangan organisasi mahasiswa intra universiter
pada tahun 1956 membentuk suatu wadah federasi yang diberi nama
Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Wadah ini pada mulanya
berdiri, bertujuan untuk menetralisir dari aktivitas-aktivitas
mahasiswa yang terlalu cenderung pada politik praktis. Akan tetapi
dalam kenyataanya, MMI tidak bisa menghindari dari aktivitas-
aktivitas politik praktis, sebab para mahasiswa ekstra universiter
banyak yang aktif dalam MMI melalui Dewan-dewan dan Senat-
senat mahasiswa. CGMI berusaha mempengaruhi MMI, untuk
menendang lawan politiknya terutama HMI. Dalam berbagai
pertemuan, CGMI melalui MMI menyarankan agar Dewan-dewan
dan Senat-senat Mahasiswa dibersihkan dari unsur HMI. GMNI yang
merupakan organisasi underbow-nya PNI, berhasil diselusupi oleh

32 LSIK, Op.Cit., hlm, 55


33 Martha, Ahmaddani G., et.al.,Op. Cit.,hlm. 303.

48
PKI sebagaimana yang terjadi dalam tubuih PNI sebagai ”bapaknya”.
Dalam tubuh GMNI pecah menjadi dua, yaitu GMNI ASU (Ali
Surachman) yang condong ke komunis dan GMNI OSA-USEP (Osa
Maliki-Usep Ranuwiharjo) yang bersih dari pengaruh komunis.
Dalam tubuh PPMI, sikap GMNI ASU senada dengan CGMI, yaitu
menuntut pembubaran HMI dan mendukung dipecatnya HMI dari
keanggotaan PPMI. Organisasi kemahasiswaan yang berorientasi ke
kmunis, habis riwayatnya secara legal bersamaan dengan
dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 oleh Letdjen
Soeharto sebagai pengembang SUPERSEMAR.

3.3. Aksi Pembubaran HMI oleh PKI


Golongan agama merupakan lawan politik bagi PKI, sebab
komunisme menganggap agama sebagai candu masyarakat dan
ideologi komunis sangat bertentangan dengan agama. Kaum
komunis berpandangan, bahwa selama kaum agama masih ada,
selama rakyat masih percaya kepada Tuhan, dan dewa-dewa, kaum
komunis tidak dapat berkuasa mutlak.34 Dengan pandangan seperti
ini, maka kaum komunis selalu berusaha melenyapkan kaum agama.
Duduknya kader-kader PKI dalam lembaga Pemerintahan seperti
D.N Aidit, H.M. Lukman dan Nyoto, merupakan peluang yang
sangat strategis bagi PKI dalam permainan politiknya pada tingkat
pemerintahaan. Keluarnya konsepsi NASAKOM (Nasionalis, Agama,
dan Komunis ) dari Soekarno merupakan kondisi yang banyak
memberikan keuntungan bagi PKI. Melalui konsepsi NASAKOM,
Soekarno menggalang kekuatan revolusioner dari kalangan
nasionalis, agama dan komunis. Konsepsi ini memang merupakan
cita-cita Soekarno yang dicetuskan pada tahun 1926.35 Tahun 1960
MASYUMI yang merupakan partai Islam terbesar dan sangat
menentang konsepsi NASAKOM,

34 Puskopad Dam III/17 Padang, (1966), Kisah Terror ”G.30. S” Seri Ke-II Dokumen-
Dokumen Gestapu, Padang : Srana Dwipa, hlm. 13.
35 Martha, Ahmaddani G., et.al.,Op. Cit.,hlm. 323

49
dibubarkan oleh Soekarno, dengan tuduhan anti-revolusioner,
terlibat pemberontakan PERMESTA dan PRRI. Dibubarkannya
MASYUMI, merupakan kemenangan bagi PKI secara politis pada
tingkat pemerintahan.

Gambar 9:
Masyumi partai yang dibubarkan oleh Sukarno
Sumber :
https://republika.co.id/berita/qjioz2328/jalan-terjal-dari-
kebangkitan-kembali-partai-masyumi

Walaupun MASYUMI telah bubar, bukan berarti musuh PKI


dari kalangan Islam telah lenyap. Kehadiran Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), bagi PKI merupakan perintang yang sangat besar dalam
mencapai cita-cita perjuangan PKI. HMI merupakan organisasi
mahasiswa Islam yang cukup tangguh untuk diperhitungkan,
mengingat organisasi ini sejak awal berdirinya, secara ideologis
menentang paham komunis dan dalam perjalanan sejarahnya, HMI
pernah ikut serta bersama ABRI menumpas pemberontakan PKI di
Madiun tahun 1948, yaitu melalui Corps Mahasiswa yang dibentuk

50
oleh Akhmad Tirtosudiro yang saat itu sebagai wakil PB HMI, dan
beberapa anggota HMI lainnya. Bebarapa hal lainnya merupakan
kekuatan HMI, sehingga diperhitungkan olek PKI yaitu, pertama,
merupakan organisasi mahasiswa yang memiliki kapasistas
intelktual sebagai konsekwensi logis dari suatu golongan terpelajar
yang terpilih sehingga dapat dijadikan bagian dari kekuatan
organisasi. Kedua, memiliki kekuatan ideologis, yaitu Islam yang
terang-terangan sangat bertentangan dengan PKI sehingga dapat
dijadikan tameng dalam menghantam ideologi komunis. Ketiga,
statusnya sebagai organisasi kader, yang dipersiapkan menjadi kader
umat dan kader bangsa. Keempar, calon sarjana, dan kelima, memiliki
kekuatan masssa dan pendukung yang relatif besar baik dari
kalangan Islam sendiri maupun dari kalangan non-Islam yang
simpati terhadap perjuangan HMI.

Gambar 10 :
Aidit dan organisasi-organisasi PKI menuntut agar HMI dibubarkan
dengan aksi Ganyang HMI
Sumber :
https://nusantaranews.co/rekam-jejak-pro-pki-direktur-utama-tvri-
yang-baru/

51
Sebagai sebuah organisai mahasiswa yang berideologi Islam
dan membawa missi Islam, HMI tidak luput dari aksi-aksi
penggayangan PKI yang menghendaki agar HMI dibubarkan.
Tuduhan dan fitnahan yang ditujukan terhadap HMI oleh PKI,
dengan harapan akan timbulnya anti pati dari pihak pemerintah atau
masyarakat terhadap HMI, yaitu HMI di tuduh kontra revolusi, anti
pancasila, anteks MASYUMI, terlibat PRRI, agen CIA dan
sebagainya. Dalam suatu dokumen rahasia PKI, terdapat suatu peta
atau Plan 4 tahun, dalam dokumen ini HMI termasuk musuh PKI
yang harus segera dibubarkan. Di dalam program PKI yang
dikeluarkan pada tanggal 23 Desember 1963 dapat disimpulkan,
bahwa pengaruh PKI di lingkungan mahasiswa sukar
dikembangkan, berbeda dengan dunia pelajar dan pemuda, karena
itu tuntutan pembubaran terhadap HMI tidak saja menjadi program
CGMI, tetsapi juga merupakan program PKI.36
Tujuan dari penggayangan PKI terhadap HMI yaitu:
1. Memotong kader ummat Islam dan bangsa Indonesia yang
akan dicetak oleh HMI.
2. Menguasai perguruan tinggi, untuk berusaha menguasai masa
depan bangsa.
3. Memecahbelah kekuatan mahasiswa sebagai angkatan muda
khususnya dan kekuatan bangsa pada umumnya.
4. Mematangkan situasi dan cheking-up kader-kader CGMI, PKI
untuk mempersiapkan gerakan kontrak
revolusi/GESTAPU/PKI. 37

Aksi penggayangan hampir terjadi pada tiap kesempatan.


Selain masuk dalam Peta Plan 4 tahun PKI, secara konsepsional
usaha PKI untuk melenyapkan HMI yaitu dengan keluarnya salah
satu keputusan Konggres CGMI di Salatiga bulan Juni 1961, yang

36 Sulastomo, (1989), Hari-Hari Yang Panjang 1963-1966, Jakarta : CV. Haji


Masagung, hlm. 11.
37 Pegurus HMI Cabang Yogyakarta, Laporan Tahunan HMI Cabang Yogyakarta
Periode 1965-1966, Yogyakarta.

52
berisi melikwidasi HMI. Penggayangan pada perguruan tinggi,
terjadi seperti pada kasus di fakultas humum Universitas Brawijaya
Cabang Jembar. Di fakultas ini, HMI dilarang berdiri, dengan
didasarkan kepada surat keputusan Sekretaris Jurusan No. 2 /64/
tanggal 12 Mei 1963.38 Alasan pelarangan tersebut adalah HMI
dituduh terlibat PRRI/PERMESTA. Andi Sile, DI/TII Kartosuwiryo,
terlibat dalam percobaan pembunuhan Presiden Soekarno, Agen
CIA, Subversif. Sekretaris Fakultas Hukum yang mengeluarkan SK
tersebut dalah Prof. Ernest Untrecht, SH. Pelarangan HMI di Fakultas
Hukum UNBRA merupakan bagian dari penggayangan terhadap
HMI oleh PKI, ternyata Prof. Ernest Untrecht, SH ini , adalah kader
PKI. Untrecht dalam setiap perkuliahan selalu menjelek-jelekkan
Islam. Tindakan Untrecht ini tidak konstituational dan tidak
beralasan. Rektor Universitas Brawidjaya H. Doel Arnowo, dalam
penerimaan sebagai rektor baru di Malang pada tanggal 20 Mei 1964,
antara lian menyatakan, bahwa pelarangan HMI di Universitas
Brawidjaya tidak benar, bahkan H. Doel Arnowo mengharapkan
agar HMI berkembang eksistensinya.39 Pada tanggal 4 Juli 1964,
keluarlah instruksi Presiden No.08/1ns/64 yang berisi mengeluarkan
Prof. Ernest Untrecht, SH dari lingkungan universitas Brawidjaya
dan mengambil langklah-langkah untuk meningkatkan HMI sebagai
alat revolusi.40
Aksi penggayangan dilakukan pula oleh PKI atau pers yang
berafiliasi dengan PKI. Dengan cara memeberitakan yang tidak
benar, yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya dengan
tujuan mendeskriditkan HMI. Pada bulan Maret 1965, di Malang
diadakan Konprensi Kerja Wartawa Indonesia. Diantara hasil
keputusannya, yaitu menuntut pembubaran HMI dan SOSKSI
(Sentral Organisasi Kerja seluruh Indonesia).41 Pada tanggal 7 Maret

38 Sititompul, Agussalim, Op. Cit.,hlm. 45


39 Sulastomo, Op.Cit., hlm.14
40 Ibid, hlm, 14
41 Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 28 Desember 1964.

53
1965 di Pendopo Kabupaten Malang diadakan rapat umum
peringatan HUT ke-19 PWI. Acara rapat batal karena terjadi
keributan. Penyebab ini dituduhkan kepada HMI sebagai biang
keladinya, HMI dituduh melakukan teror pada acara tersebut dan
banyak jatuh korban dari keributan tersebut. Demikian berita yang
disampaikan oleh para PKI.42 Tuduhan terhadap HMI tidaklah
benar. Persoalan yang sebenarnya adalah, tidak dapat berlangsung
rapat umum HUTke-19 di Malang, yaitu sebelum rapat dilakukan
ada sekelompok pemuda yang menyatakan yell-yell ”ganyang HMI,
ganyang Islam”. Beberapa pemuda melihat kejadian tersebut,
menemui ketua PWI pusat A. Karim DP, yang meminta untuk
mencegah teriakan yang menghina HMI dan umat Islam. Keadaan
menjadi panas, sulit diatasi, akhirnya rakyat yang ada pada saat itu
sebagai umat Islam merasa tersinggung dan terhina,mereka marah
dan mengadakan tindakan reaktif, dengan melempar kursi, batu
sehingga ada yang luka-luka. Kemudian turun pihak yang berwajib
untuk mengamankan keadaan. Ternyata sekelompok pemuda yang
mengeluarkan yell-yell menghina agama Islam dan HMI adalah
anggota Pemuda Rakyat dan CGMI. Kemarahan timbul dari rakyat,
tidaklah atas instruksi dari organisasi massa atau partai tertentu
termasuk HMI.43
Di Kepatihan Yogyakarta pada tanggal 25 Februari 1965,
diadakan rapat umum menyeongsong peringatan Konprensi Asia
Afrika (KAA) dan solidaritas perjuangan rakyat Vietnam, yang
diselenggarkan oleh Front Pemuda Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), di halaman kantor Pemerintah DIY. Dalam rapat tersebut HMI
tidak diundang hadir. Panitia peringatan dasawarsa KAA
mengirimkan surat ke HMI cabang Yogyakarta yang
ditandatanganimoleh Oemar Sanusi (GPM) dan L.H. Simajuntak
(Pemuda Rakyat). Surat yang dikirimkan berisi, bahwa HMI dilarang
hadir. Isi surat itu jelas-jelas merupakan aksi sepihak yang hendak

42 Harian Nasional, Yogyakarta, 9 Maret 1965.


43 Harian Duta Masyarakat.11 Maret 1965.

54
mendeskriditkan HMI dan tidak beralasan atas tidak boleh hadirnya
HMI. Sebagaimana organisasi yang berhak menghadiri acara
tersebut, atas izin Dam Rem 072, Wakil Kilda, Jaksa Tinggi Pengganti
dan Wakil Ketua Front pemuda, maka HMI emasuki ruangan, secara
tiba-tiba timbul teriakan brutal dan provokatif dari CGMI, Pemuda
Rakyat, IPPI yang menyeruakan ”Ganyang HMI ! “, Bubarkan HMI
!”. Pada mulanya utusan HMI tidak memberikan reaksi apa-apa atas
teriakan tersebut. Akan tetapi HMI yang selalu menjungjung tinggi
organisasi dan agama Islam, merasa terhina atas teriakan tersebut.
Kemudian utusan HMI meneriakan, ”Hidup HMI !”. akibatnya
terjadi keributan dan sempat mengganggu jalanya acara. Kemudian
HMI diikuti oleh Ormas Islam lainya meninggalkan acara tersebut
secara tertib.44 Kejadian tersebut oleh PKI diberitakan tidak sesuai
dengan fakta yang sebenarnya, dengan tujuan mendeskriditkan HMI.
HMI dituduh sebagai penyebab utama kejadian tersebut.
Di Kalimantan Barat oleh Komando Aksi Front Nasional
Pemuda untuk solidaritas Nefo dan penggayangan penetrasi
kebudayaan imperialis/Manikebu. Mengadakan gerakan
pengumpulan buku-buku yang beridentitas USIS (Dinas Penerangan
Amerika Serikat), buku-buku karangan ST.Alisyahbana, Idrus, H.B.
yasinserta buku-buku karangan gembong/konseptor Manikebu
lainya, dari masyarakat Kalimantan Barat. Buku-buku/ majalah yang
menurut Front Pemuda itu ”haram”, disusun sedemikian rupa dan
menjadi kotak-kotak besar dan masing-masing diberi huruf yang
kemudian seluruhnya menjadi kalimat ”BUBARKAN HMI”. Pada
waktu memeringati hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1965 di
hadapan massa pengunjung rapat umum, Gubernur Kepala Daerah
Kalimantan Barat (Pontianak) J.C. Oevang Oeray, telah membakar
hangus tumpukan tersebut yang berbentuk tulisan ”BUBARKAN

44 HMI Cabang Yogyakarta, Siaran Khusus ”Kepatihan Affair 25 Februari 1965”, 28


Februari 1965.

55
HMI”.45 Pembakaran buku tersebut menggambarkan secara simbolis,
bahwa HMI harus bubar di Kalimantan Barat.
Aksi teror dari PKI dilakukan tidak hanya dalam bentuk
perang mulut saja, kadang-kadang sampai pada bentrokan fisik.
Penggayangan yang dilakukan PKI terhadap HMI dalam dunia
kemahasiswaan, yaitu dengan cara mengeluarkan atau mencatat
keanggotaan HMI dari PPMI yang terjadi pada tahun 1964, padahal
HMI termasuk salah satu organisasi mahasiswa ekstra universiter
yang mebnjadi pendiri PPMI sebagai wadah atau badan federasi
organisasi ekstra universiter. Dari tahun1947 sampai dengan tahun
1961, HMI selalu memimpin PPMI. Dalam organisasi intra
universiter pun, PKI berupaya membersihkan Dewan-dewan dan
Senat-senat Mahasiswa dari unsur HMI. Puncak penggayangan PKI
terhadap HMI, yaitu ketika berlangsungnya penutupan Konggres III
CGMI di Istora Senayan Jakarta 29 September 1965, D.N. Aidit pada
kesempatan tersebut meminta kepada Presiden Soekarno agar HMI
dibubarkan. Kepada anggota CGMI Aidit berkata, gahwa jika CGMI
tidak mampu menghadapi HMI, lebih baik memakai sarung saja.46
Tuntutan PKI ini oleh Presiden Soekarno tidak dikabulkan, bahkan
Soekarno menyatakan yang membuat PKI terpukul, yaitu bahwa
CGMI kontra revolusioner akan dibubarkan.
Aksi penggayangan PKI terhadap HMI, tidaklah membuat
HMI mundur. Bahkan HMI semakin ”besar” sebab penggayangan
terhadap HMI berarti pula penggayangan terhadap umat Islam yang
merupakan kelompok mayoritas penghuni bumi nusantara ini, sebab
HMI merupakan bagian dari umat Islam dan anak kandung umat.
Masalah yang dihadapi oleh HMI berarti merupakan permasalahan
umat Islam, oleh sebab itu sepantasnyalah HMI banyak
pendukungnya. HMI merupakan wadah perjuangan umat Islam,
dalam rangka menegakkan kebenaran di muka bumi ini. HMI masih

45 Harian Bintang Timur,Jakarta, 31 Mei 1965.


46 Sulastomo, Op. Cit., hlm 19.

56
bisa Survive sampai sekarang. Dipalu makin maju, diarit makin
bangkit dan disundang semakin semangat.

3.4. Pembelaan Dari Kalangan Non-HMI


Keislaman dan keindonesiaan, merupakan ruang lingkup dari
aktivitas perjuangan MHI, sebagaimana tujuan pertama kali HMI
didirikan pada tahun 1947. Dalam memperjuangkan Islam, HMI
tidak menafikan kebangsaan. Keislaman dan keindonesiaan berpadu
dalam suatu tatanan niali-nilai perjuangan HMI. Karakteristik seperti
inilah yang membuat HMI banyak yang membela, ketika digayang
oleh PKI. Dukungan tersebut datang, baik dari kalangan Islam atau
kalangan non-Islam baik yang bersifat individu atau golongan.
Kader HMI selain kader umat Islam, juga merupakan kader
bangsa. Layak kiranya, Jenderal Sudirman, seorang Panglima Besar
Republik Indonesia, ketika memberikan sambutannya pada acara
Dies Natalis I HMI yang dilaksanakan di Bangsal Kepatihan
Yogyakarta pada tanggal 6 Februari 1948, mengartikan HMI yaitu
(H)arapan (M)asyarakat (I)ndonesia. Dengan pernyataan seperti ini,
bahwa HMI dipandang dari kacamata orang yang simpati terhadap
HMI, ternyata HMI bukan hanya pejuang umat Islam saja, akan
tetapi HMI merupakan pula pejuang bangsa yang siap memebela
Negara Republik Indonesia dari rongrongan pihak-pihak tertentu
yang hendak merebut kedaulatan Negara Republik Indonesiayang
sah, seperti halnya rongrongan dari PKI.

57
Gambar 11 :
Jenderal Ahmad Yani termasuk pimpinan Angkatan Darat yang
membela HMI
Sumber :
https://www.kompas.com/skola/read/2020/09/30/090000669/jen
deral-ahmad-yani-kesayangan-sukarno?page=all

Menteri Panglima Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani, salah


seorang Perwira Tinggi Angkatan Darat yang menjadi sasaran
pembunuhan PKI, ketika menerima Panitia Prabakti mahsiswa HMI
Jakarta raya menyatakan, bahwa ia mengetahui betul HMI adalah
alat perjuangan bangsa yang aktif dan kontruktif. Dalam kesempatan
menerima kunjungan Wakil PB HMI di rumahnya di Bulan
Ramadhan 1348 H, dengan terlebih dahulu mendengar laporan dari
PB HMI, yang melaporkan situasi HMI di seluruh Indonesia,
kemudian Jenderal Ahmad Yani menyatakan, bahwa ia sangat
merasakan dan prihatin apa yang dirasakan atau dihadapi HMI pada
saat itu, yaitu HMI selalu dirongrong dan diganyang PKI, bahkan
beliau menyatakan pula dalam jangka waktu berikutnya tidak
menutup kemungkinan PKI akan merongrong Angkatan Darat.

58
Oleh sebab itu ia menyerankan agar terus diringkatkan
kewaspadaan.47 perkiraan Jenderal Ahmad Yani kelak menjadi suatu
kenyataan, dengan terjadinya gestapu dan ia sendiri menjadi salah
seorang korban penggayangan PKI dari kalangan Angkatan Darat.
Presiden Soekarno yang selalu dirongrong oleh PKI, meminta
agar Soekarno membubarkan HMI. Kehendak PKI ini tidak
dikabulkan, sebagai organisasi mahasiswa Islam yang dinamis dapat
merupakan atau menjadi kekuatan yang revolusioner dengan segala
aktivitasnya. Melalui surat Presiden No.295/K/1964 tanggal 22 Juli
1964 telah menyetujui usaha Latihan Kader Da‟wah (LDMI) HMI di
Bandung, yang diselenggarakan pada tanggal 23 Juli sampai 3
Agustus 1964. Soekarno meminta kepada HMI agar tetap
menyalakan apinya Islam. Dalam sambutannya yang diwakilkan
kepada Brigjend Sucipto, SH, pada pertemuan HMI se-Badan
Koordinasi Sumatera di Medan pada Bulan Agustus, meyatakan
kepada HMI yaitu,”GO A Head (Jalan Terus HMI),”. Dengan
pernyataan seperti ini membuktikan, bahwa presiden Soekarno tidak
memnghendaki pembubaran HMI, ia justru mendukung
kerevolusioneran HMI sebagai wadah atau alat perjuangan.48
Adanya pelarangan anggota HMI untuk dipilih menjadi
Pengurus Badan Keluarga Mahasiswa Universitas Gajah Mada,
menurut Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan sikap yang
kurang beralasan, ia meyatakan bahwa HMI berhak turut serta.
Jenderal Abdul Haris Nasution, Perwira Tinggi Angkatan Darat yang
lolos dari penculikan PKI, ketika menerima delegasi PB HMI
menyatakan bahwa HMI merupakan alat perjuangan bangsa, harus
maju sebagai pelopor sesuai dengan bidangnya untuk mengisi Nation
dan charakter building mempelopori menjadi manusia Pancasila.49
Pada saat berlangsungnya Konprensi Islam Asia-Afrika di
Bandung pada tanggal 4 dan 13 maret 1965, sekelompok anggota PKI

47 Harian Suara Islam, Jakarta, 24 Oktober 1965.


48 Harian Karyawan, Jakarta, 19 Agustus 1964
49 Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 4 Juni 1965

59
dan simpatisannya melakukan demontrasi besar-besaran dan
menyatakan pembubaran HMI. Umat Islam yang saat itu hadir
merasa terhina atas demontrasi tersebut. Di saat yang genting itu,
ketika berlangsungnya konprensi, partai dan organisasi Islam
mengeluarkan pernyataan atas demontrasi tersebut, untuk membela
umat Islam. Pernyataan tersebut dikenal dengan ”Deklarasi Umat
Islam Bandung”, tanggal 12 Maret 1965. Deklarasi tersebut terdiri
dari 6 pasal, yang ditandatangani oleh KH. Idham Khalid, HM.
Subchan ZE (NU), Aruji Kartawinata, H. Anwar Corkroaminoto
(PSII), KH. Ahmad Badawi, Prof. KH. Farid Ma‟ruf
(Muhammadiyah), OK.H.Azis, MJ. Zaenudin (AL Jami‟atul
Washliyah) dan Warnoto Dwijoyowono (GASBINDO), yang dalam
pasal IV menegaskan:
Bahwa setiap rongrongan terhadap golongan atau sebagian
umat Islam, dianggap sebagai rongrongan terhadap umat Islam
secara keseluruhan dan karena itu harus dihadapi dengan persatuan
umat Islam yang bulat.50
Musyawarah Nasional generasi Muda Islam (GEMUIS) di
Jakarta pada tanggal 19 sampai dengan 26 Desember 1954, yang
dihadiri oleh segenap pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam seluruh
Indonesia. Dalam pernyataan yang ke-3 mengenai HMI
memutuskan:
1. HMI tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan partai/
organisasi manapun.
2. Masalah yang dihadapi HMI tidak bisa dipisahkan dari
masalah umat Islam secara keseluruhan.
GEUMIS Jakarta, atas nama 25 organisasi anggotanya, tanggal
20 Maret 1965, yang diwakili Yusuf Hasyim (wakil pemuda Islam),
Sumarno (wakil pelajar Islam), Isnanu Chalid (wakil mahasiswa
Islam), dalam menghadapi berbagai masalah baik dalam maupun
luar negeri, pada pasal 12 menyatakan:

50 Laporan Tahunan HMI Cabang Yogyakarta periode 1964-1966.

60
“Menegaskan kembali keputusan Munas GEUMIS tentang
HMI, bahwa masalah masalah HMI tidak dapat dipisahkan dengan
umat Islam secara keseluruhan. HMI mempunyai hak hidup di
dalam negara Republik Indonesia, sebagaimana organisasi lain.51

Gambar 12 :
Aksi Pembelaan terhadap HMI oleh GEMUIS
Sumber :
https://yakusaaa.blogspot.com/2017/11/fase-fase-sejarah-
perjuangan-hmi.html

GEMUIS Jakarata Utara, menanggapi keputusan KOTRAR


(Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi) tentang HMI,
bahwa GEMUIS Jakarta Utara akan tetap mempertahankan HMI
sampai titik darah penghabisan dengan tidak mengharapkan mati di
tempat tidur.
Pada tanggal 13 September 1065, Presiden Soekarno
menganugerahkan ”Bintang Maha Petera” kelas II kepada menteri
Koordinator/ Wakil Ketua MPRS Mayjend Waluyo Puspoyudo dan

51 Harian Suara Islam, Jakarta, 22 September 1965.

61
kepada Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS/ Ketua CC PKI
yaitu Dipo Nusantara Aidit di Istana Merdeka. Bersamaan dengan
penganugerahan Bintang Maha Putera untuk Aidit, Generasi Muda
Islam (GEMUIS) Jakarta Raya dengan ribuan massa pemuda, pelajar,
mahasiswa, Islam mengadakan demontrasi di depan kantor dan PB
Front Nasional. Maksudnya untuk menyatakan solidaritas terhadap
perjuangan dan hak hidup HMI. Diantara banyak sekian spanduk,
ada satu diantaranya yang sangat mengharukan perasaan dan kalbu
yaitu spanduk yang dibawa oleh anggota-anggota Himpunan
mahasiswa Islam sendiri, yang berbunyi:

”LANGKAHI MAYATKU SEBELUM GANYANG HMI”

Pernyataan GEMUIS yang ditandatangani masing-masing oleh


A. Muid (Wakil Pemuda), Husen Umar Sastranegara (Wakil Pelajar),
dan Saifudin Aruji Kartawinata (Wakil Mahasiswa), berisi 8 pasal,
yang antara lain menyatakan dengan tegas akan tetap membela HMI
sampai titik darah penghabisan dari rongrongan kaum agama Islam
phobie. HMI merupakan alat perjuangan umat Islam dan bangsa
Indonesia, serta memohon kepada Presiden agar HMI diberikan
kebebasan untuk bergerak.52
Pernyataan dukungan atau pembelaan atas penggayangan PKI
terhadap HMI dari berbagai pihak, merupakan indikator, betapa
besar peranan HMI dalam menghadapi kekuatan PKI di Indonesia.
Selain itu pula betapa dibutuhkan kehadiran HMI sebagai alat
perjuangan dalam menghadapi kekuatan PKI, yang hendak
merongrong kedaulatan Republik Indonesia yang sah, apalagi PKI
akan mengubah dasar negara Pancasila menjadi komunis. Sikap ini
jelas-jelas sangat bertentangan dengan kondisi masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat yang sebagian besar bahkan hampir seluruhnya
masyarakat beragama. Pancasila sebagai tatanan nilai yang lahir dari

52 Harian Suara Islam, Jakarta, 14 September 1965.

62
nilai-nilai hidup jiwa bangsa Indonesia, oleh sebab itu kehadiran
ideologi komunis sulit diterima oleh masyarakat Indonesia.
Tampilnya HMI dalam panggung sejarah perjuangan bangsa
Indonesia, membuktikan bahwa HMI sebagai organisasi mahasiswa
Islam yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan bangsa dalam
pengertian yang lebih luas, tidaklah bersifat primoldial atau tertutup
dari kehidupan bangsa Indonesia.

63
64
BAB IV
PERAN HMI DALAM MENGHADAPI
KEKUATAN PKI

4.1. Ideologi dan Misi HMI


Sejak awal berdirinya, HMI telah menyatakan sebagai sebuah
organisasi yang independen dan Islam dijadikan sebagai Ideologi
yang dianut oleh organisasi., dengan demikian HMI dalam
pemahaman Islamnya tidak mendasarkan suatu maszhab tertentu.
Akan tetapi dalam politik pemikirannya, HMI cenderung sebagai
kelompok pembaharu. Untuk memahami bagaimana HMI
memberikan pemahaman Islam sebagai suatu sistem ajaran yang
universal, dapat kita baca dalam sebuah tulisan yang merupakan
buah pikiran dari kalangan tokoh-tokoh HMI, yaitu Nurcholish
Madjid, Sakib Mahmud dan Endang Saefudin Anshari. Tulisan
tersebut disusun menjadi sebuah buku yang diberi nama Nilai Dasar
Perjuangan (NDP). NDP merupakan perumusan ajaran-ajaran pokok
Islam, yaitu nilai-nilai dasarnya sebagaimana tercantum dalam Al-
Qur‟an dan As Sunnah. NDP pada mulanya merupakan kertas kerja
PB HMI periode 1966-1969 pada kongres HMI di Malang, yang
kemudian mendaparkan pengesajhan dan dijadikan salah satu materi
dalam training-training pengkaderan dalam lingkungan HMI. Dalam
kongres ke-16 HMI di Padang, nama NDP diubah menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK). Perubahan nama ini, tidaklah banyak
mengubah isi.

65
Masalah pertama yang dibahas dalam NIK adalah masalah
dasar-dasar kepercayaan. Bentuk kepercayaaan merupakan
kebutuhan manusia. Manusia diharuskan memiliki kepercayaan
yang benar. Kepercayaan akan melahirkan tata nilai. Nilai-nilai ini
kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan secara
turun temurun dan mengikat masyarakat untuk perkembangan
peradaban dan kemajuan, maka manusia harus meninggalkan setiap
keprcayaan dan tata nilai yang akan menghambat peradaban dan
perkembangan kemajuan, dan harus menganut kepercayaan yang
sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber
dan pangkal itu adalah harus kebenaran itu sendiri. Kepercayaan
merupakan asal dan tujuan kenyataan. Kebenaran yang mutlak
adalah Tuhan Allah.

Gambar 13 :
Nurcholish Madjid salah seorang perumus Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) HMI dan pernah menjadi Ketua Umum PB HMI
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid

Perumusan syahadat yang pertama yaitu, tiada Tuhan selain


Allah, mengandung pengertian peniadaan segala bentuk
kepercayaan dan pengecualian pada satu kepercayaan yang benar

66
yaitu Allah. Manusia harus tunduk dan pasrah kepada kekuasaan
Allah yang disebut dengan Islam. Tuhan itu mutlak adanya akan
tetapi manusia tidak dapat mengetahui hakekat Tuhan karena
keterbatasan yang ada pada manusia. Untuk memahami tentang
adanya Tuhan, maka diperlukan suatu pengetahuan yang tidak
bertentangan dengan akal. Pengetahuan itu adalah wahyu yaitu
pengajaran atau pemberitahuan langsung dari Allah. Wahyu oleh
Tuhan diberikan kepada orang-orang terpilih yaitu para nabi. Wahyu
Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW. Rasulullah
terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Qur‟an, yang merupakan
kumpulan atau kompulasi dari segala keterangan mengenai alam
dan manusia sampai pada hal-hal yang ghaib yang sulit diketahui
oleh manusia. Alam ini diciptakan untuk manusia bagi keperluan
perkembangan peradabannya, maka alam dapat dan harus dijadikan
objek penelitian guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (Sunatullah)
yang berlaku di dalamnya, kemudian manusia memanfaatkan alam
sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri. Manusia ditumbuhkan
dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya.
Manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas segala
perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia di dunia ini membentuk
rentetan peristiwa yang disebut ”sejarah”. Di dalam proses sejarah
itu terdapat suatu hukum yang menguasainya yaitu Sunatullah,
hukum yang menguasai alam. Hukum dasar alami dari segala yang
ada ialah ”perobahan dan perkembangan” , sebab segala sesuatu itu
akan rusak (berubah) kecuali Tuhan. Di dalam memenuhi tugas
sejarah manusia harus selalu berorientasi pada kebenaran, dan untuk
itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran, oleh karena itu
kehidupan yang baik adalah yang disemangati iman dan disertai
oleh ilmu. Bidang iman dan percabangannya menjadi wewenang
wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang
manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam
kehidupan manusia di dunia. Untuk memperoleh pengetahuan
tentang kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan

67
kehidupannya ini sebagaimana adanya, tanpa melekatkan kualitas-
kualitas bersifat ketuhanan, sebab alam diciptakan dalam wujud
yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Sikap
mempertuhankan (saklarisasi) haruslah hanya ditujukan kepada
Tuhan sendiri yaitu Allah Yang Maha Esa.36
Pengertian dasar tentang kemanusiaan dinyatakan, bahwa
dalam diri manusia memiliki suatu sifat fitrah yaitu sifat yang
membuat manusia selalu berkeinginan suci dan secara kodrati selalu
cenderung pada kebenaran (hanief). Tujuan hidup manusia adalah
kebenaran atau kebenaran yang terakhir yaitu Allah Yang Maha Esa.
Kehidupan manusia dinyatakan dalam kerja atau amal
perbuatannya. Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti
sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang
konkrit. Nilai hidup manusia tergantung pada nilai kerjanya. Hidup
yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh
dan sempurna yang di didalamnya manusia dapat mewujudkan
dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan
keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia
yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-
kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan, baik yang
mengenai alam maupun masyarakat yang hidup bejuang dalam arti
yang seluas-luasnya. Dia diliputi oleh semangat mencari kebenaran,
keindahan dan kebaikan. Dia adalah aktif, kreatif, dan kaya akan
kebijaksanaan. Dia berpengetahuan luas dan berfikir bebas,
berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran
dari mana pun datangnya. Dia adalah manusia yang toleran dalam
arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaaf. Seorang
masnusia sejati adalah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan
suatu keseluruhan. Baginya tidak ada pembagian (dikhotomi) antara
kegiatan-kegiatan jasmani dan rohani, probadi dan masyarakat,
agama dan politik dalam kesatuan kerja yang tunggal pancaran

36 Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, (1986), Nilai Identitas Kader, Jakarta,
Jakarta : PBHMI, hlm. 8-11

68
langsung dari kecenderungannya yang suci dan murni. Hidup secara
fitrah ialah berkerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani
yang hanief atau suci.37
Masalah kemerdekaan manusia (ikhtiar) dan keharusan
universal dinyatakan, bahwa kemerdekaan harus diciptakan untuk
pribadi dalam bentuk hidup ditengah alam dan masyarakat.
Kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan tidaklah berarti
manusia selalu dan dimana saja merdeka, adanya batas-batas
kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu
dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang
menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun
masyarakat mnusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula
tergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu
mengakibatkan adanya ”keharusan universal” atau kepastian umum
atau ”taqdir”.
Hubungan antara kemerdekaan pribadi dan keharusan
universal bukanlah hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti
peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan
adanya kepastian umum akan taqdir hanyalah pengakuan adanya
batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu pernyataan yang positif
dari kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya usaha yang
bebas dan bertanggung jawab. Usaha yang bebas dan bertanggung
jawab itu dinamakan ikhtiar, artinya pilihan merdeka. Ikhtiar adalah
kegiatan merdeka dari manusia, juga berarti kegiatan dari manusia
merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana
manusia tidak diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh
keinginannya sendiri dan kecintaanya pada kebaikan. Kegiatan
merdeka berarti perbuatan manusia yang mengubah dunia dan
nasibnya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau

37 Ibid, hlm. 13-14.

69
takdir, namum manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai
peran aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.38
Bebicara masalah individu dan masyarakat dinyatakan, bahwa
manusia sebagai mahluk sosial, tidak mungkin memenuhi
kemanusiaanya dengan baik tanpa beerada di tengah sesamanya
dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu. Dalam masyarakat itulah
kemerdekaan asasi diwujudkan. Dengan adanya kemerdekaan
pribadi, maka timbul perbedaan-perbedaan antar satu pribadi
dengan yang lainya. Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah
kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil
ialah kehidupan ekonomi sosial dan kultural menghendaki
pembagian kerja yang berbeda-beda. Pemenuhan suatu bidang
kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan
sekalipun hanya sebagian anggota saja. Sejalan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-
tiap orang harus diberikan kesempatan untuk memilih dari beberapa
kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke
lingkungan lainnya. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh
kemerdekaan orang lain. Harga diri manusia terletak pada adanya
tanggung jawab pribadi dan kebebasannya sebagimana juga adanya
hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai
kawan harus menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.
Manusia mengenal dirinya sebagai mahluk yang nilai dan
martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan hanya jika ia mempunyai
kemerdekaan, tiada saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi
juga untuk memperbaiki sesama hubungan manusia dalam
ligkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah
kesetiakawanan, kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan
persamaan dan penghormatan bagi setiap orang.39
Masalah lain yang dibahas yaitu keadilan sosial dan ekonomi.
Yang harus menegakkan keadilan yaitu masyarakat sendiri. Tetapi

38 Ibid, hlm. 15-16.


39 Ibid, hlm. 20-21.

70
dalam prakteknya diperlukan adanya suatu kelompok dalam
masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya
senantiasa mengadakan kegiatan usaha menegakkan keadilan itu
dengan jalan menganjurkan sesuatu yang bersifat kekuasaan.
Kualitas terpenting yang harus dipunyainya ialah rasa kemanusiaan
yang tinggi sebagai pancaran dan kecintaannya yang tak terbatas
kepada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup.
Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat atau
setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya
memimpin masyarakat. Memimpin ialah menegakkan keadilan,
menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam
waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaanya sebagai manifestsi kesadaran akan
tanggung jawab sosial.
Maksud semula dan fundamental dari didirikannya negara dan
pemerintah ialah melindungi manusia yang menjadi warga
megranya dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan
harga diri sebagai manusia. Pada dasarnya masyarakat dengan
masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah
dan memimpin dirinya sendiri. Menegakkan keadilan mencakup atas
keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan yang tak
mengenal batas (hawa nafsu). Kewajiban dari negara sendiri dan
kekuatan-kekuatan sosial, untuk tidak saja menguasai serta
mengatasi kemerosotan sosial itu, tetapi juga untuk menjunjung
tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia.
Menegakkan keadilan ialah amanat rakyat kepada pemerintah yang
mesti dilaksanakan. Perwujudan menegakkan keadilan yang ter
penting dan berpengruh ialah menegakkan keadilan di bidang
ekonomi penbagian kekayaaa diantara anggota masyarakat.
Keadilan memebuat agar setiap orang memperoleh bagian
yang wajar dari kekayaaan atau rizki. Pemerintah yang tidak
menegakkan keadilan adalah merupakan perwujudan dari adanya
kedzaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku kedzaliman itu,

71
sedang orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya.
Pertentangan antara kaum kaya dan miskin menjadi pertentangan
antara kaum yang menjalankan kedzaliman dengan yang didzalimi.
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan
oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme seseorang mudah dapat
merasa orang-orang yang mempertahankan hidupnya karena
kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah,
berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerja dan
hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan
mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi
kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Maka menegakkan
keadilan ialah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata
masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan
yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat
(amar ma‟ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala
bentuk penindasan terhadap manusia kepada kebenaran asasinya
dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Menegakkan keadilan bukan
saja amar ma‟ruf nahi munkar, tetapi juga melalui pendidikan yang
intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan
menyadari secara mana adanya Tuhan.
Zakat adalah penyelesaiaan terakhir masalah perbedaan kaya
dan miskin. Zakat dipungut dari orang-orang kaya dalam jumlah
prosentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin. Zakat
dikenakan atas harta yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja.
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagimana harta kekayaan itu
dipeorleh, juga diterapkan sebagaimana menggunakan harta
kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hak itu tidak
betentangan dengan kepentingan masyarakat. Seseorang dibenarkan
menggunakan harta kekayaannya dalam batas-batas tertentu, yaitu
dalam batas tidak kurang tetapi yang tidak melebihi rata-rata
pengunan dalam masyarakat. Penggunaan yang berlebihan, tabzier
atau israf beretentangan prikemanusiaan. Kemewahan selalu

72
mnejadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam
masyarakat yang berakibat destruktif.40
Hubungan antara kemnusiaan dan ilmu pengetahuan
dinyatakan, bahwa manusia yang kreatif dan merdeka ialah yang
bergerak. Gerak itu tidak lain gerak maju ke depan (progresif). Dia
adalah dinamis, tidak statis. Dia adalah bukan seorang trasdisionil,
apalagi reksioner. Dia menghendaki perubahan yang terus menerus
sejalan dengan arah maju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencari
kebenaran-kebenaran selama hidupnya. Kebenaran itu menyatakan
dirinya dan diketemukan di alam dan sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan
menemukan kebenaran-kebenaran itu. Dengan menggunakan
kekuatan intelegensinya dan dibimbing dengan hati nuraninya,
manusia dapat menemukan kebenaran-kebernaran itu merupakan
tonggak sejarah yang pasti ditemukan oleh manusia, yaitu ketika
mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan amal saleh. Hanya mereka
yang dibimbing ilmu pengetahuan dapat bejalan di atas kebenaran-
kebenaran yang menyampaikannya pada kepatuhan tanpa reserve
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan iman dan keluasan ilmu
pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tinggi41
Missi HMI tidak lepas dari dunia kemahasiswaan dan
keislaman. HMI menjadikan Islam sebagai identitas organisasi, maka
Islam bagi HMI merupakan sumber inspirasi dalam menetapkan
tujuan dan usaha organisasi. Dasar motivasi yang paling dalam bagi
HMI, ajaran agama. Karena Islam adalah agama fitrah, maka pada
dasarnya tujuan missi HMI juga merupakan tujuan dari kehidupan
manusia yang fitri yaitu yang tunduk pada fitrah kemanusiaanya.
Tujuan kehidupan manusia yang fitrah adalah kehidupan yang
menjamin adanya kesejahteraan material dan spiritual. Kesejahteraan

40 Ibid, hlm. 22-26.


41 Ibid, hlm. 27-28

73
seperti termaksud akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja
kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi kepercayaan yang benar.
Bentuk kehidupan ideal secara sederhana yaitu kehidupan yang adil
dan makmur. Untuk menciptakan kehidupan yang demikian
diperlukan adanya kesadaran Mahasiswa Islam Indonesia untuk
merealisasikan nilai-nilai Ketahanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yan adail dan beradab, serta menjadikan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dalam rangka pengabdian lepada Allah SWT.
Perwujudan dari pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa
amal saleh atau kerja kemusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan
terlaksana secara benar dan sempurna bila dibekali dan didasari oleh
iman dan ilmu pengetahuan. Karena tujuan HMI tidak lain adalah
membentuk manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta
mampu memenuhi tugas kerja kemanusiaan (amal saleh).
Pengabdian dalam bentuk amal saleh inilah pada hakekatnya tujuan
hidup manusia, sebab melalui kerja kemanusiaan manusia akan
mendapat kebahagiaan.
Untuk melaksanakan missinya, HMI menuntut anggotanya
berkreatifitas atau disebut juga kualitas insan cita HMI. Kualitas
insan cita tersebut adalah kualitas insan akademis, insan pencipta,
insan pengabdi dan insan yang bernafaskan Islam dan kualitas insan
yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan
makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Sebagaimana diungkapakan
dalam Bab II, bahwa HMI pada awal kelahirannya bahkan sampai
sekarang sifatnya independen, yaitu bukan merupakan organisasi
yang berada di bawah naungan suatu organisasi atau partai politik
tertentu. Indepedensi yang dimaksud sesuai dengan pernyataan
ajaran Islam, bahwa menurut fitrah kejadiannya menusia diciptakan
dalam keadaan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi
adalah hak asasi yang tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari
kemerdekaan itu. Sebagai organisasi Islam yang memiliki sifat
indepedensi, maka harus memiliki sifat yang cenderung kepada
kebenaran (hanief); bebas, merdeka dan terbuka; obyektif, rasional

74
dan kritis; progresif dan dinamis; demokrasi, jujur, dan adil. Sebagai
organisasi kader, HMI mempersiapkan para anggotanya sebagai
kader umat Islam dan sebagai kader bangsa yang siap membangun
umat dan bangsa Indonesia. Sebagai calon sarjana, anggota HMI
dengan ilmu yang diperolehnya dapat dijadikan alat perjuangan
dengan missi Islamnya. Dalam kehidupan nasional, HMI secara
organisatoris berpatisipasi aktif, konstruktif dan kreatif dalam
menghadapi masalah-masalah perjuangan bangsa secara
keseluruhan.

4.2. Sikap HMI Terhadap Aksi PKI


Sebagaimana diungkapakan dalam Bab III, PKI begitu gencar
melakukan teror atau aksi penggayangan terhadap HMI. Aksi
penggayangan yang timbul dari PKI ini sering mendatangkan
bentrokan, baik berupa perang mulut, bahkan kadang-kadang
sampai bentrokan fisik. Kondisi pada saat itu banyak memberikan
peluang bagi PKI untuk melakukan teror terhadap lawan-lawan
politiknya, termasuk didalamnya HMI. Konsepsi NASAKOM yang
dicetuskan oleh Soekarno, tidaklah mampu menciptakan iklim yang
harmonis dari seluruh kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat
itu dengan latar belakang ideologi yang berbeda-beda. Kenyataan
yang terjadi sebaliknya, di bawah selimut NASAKOM itu terdapat
ketegangan yang besar, khususnya antara Islam dan komunis.
Ketegangan itu semakin meningkat karena tahun-tahun kebelakang
Partai Komunis telah memperoleh kemenangan-kemenangan, dan
bulan demi bulan telah memperkuat kedudukannya.42
Sebagai organisasi mahsiswa, HMI pada awal berdirinya sudah
menyatakan diri bukan organisasi politik. Akan tetapi karena kondisi
politik di seputar tahun 1964-1966 dengan timbulnya aksi-aksi
penggayangan dari PKI terhadap HMI, mau tidak mau dalam
kapasitasnya sebagai organisasi mahasiswa harus menerjunkan diri

42 Boland, B.J., Op.Cit.,hal. 109.

75
dalam politik praktis . Apalagi lawan yang dihadapinya sangat berat
yaitu PKI, sebagai organisasi politik yang sangat kuat pada saat itu
baik ditinjau dari segi ideologinya maupun dukungan massa.
Islam sebagai ideologi HMI, dapat dijadikan tameng untuk
melawan kekuatan PKI. Selain itu pula Isalan sebagai suatu sistem
ajaran, memeberikan kekuatan spiritual yang mendasar bagi
perjuangan HMI. HMI yakin Islam sebagai sebuah ideologi yang
memiliki kebenaran yang mutlak, akan mampu mengalahkan
kebathilan yang akan menyesatkan kehidupan manusia yaitu
komunisme. Indepedensi yang merupakan sifat HMI memberikan
peluang bagi HMI untuk lebih bebas bergerak dalam menghadapi
tantangan yang sangat berat dari PKI. Dengan kondisi seperti ini
akan membuat organisasi ini menjadi mandiri, matang dalam
bersikap dan berpikir. Idepedensi akan membuat organisasi ini
mandiri, artinya lepas dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar
yang hendak menghambat perjuangan HMI. Walaupun demikian,
HMI bukan berarti tercabut dari umat atau tertutup, HMI adalah
kader umat sekaligus kader bangsa. Sebagai organisasi mahsiswa
yang independen, membuat HMI banyak ”bapaknya” yang
memberikan inspirasi dan dukungan yang sangat berharga dalam
perjuangan HMI. Seperti dekatnya HMI dengan tokoh-tokoh
Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, MASYUMI, PSII, dan lain-
lain. Dengan demikian HMI adalah organisasi mahsiswa milik
seluruh Islam.
HMI dalam memahami Islam tidaklah secara sempit. Islam
dipahami bukan hanya urusan individu saja, akan tetapi Islam
memiliki dimensi sosial kemasyarakatan. Dalam tujuan pertama kali
HMI didirikan pada tahun 1947, mengandung pengetian, bahwa
HMI tidak hanya berorientasi pada keislaman semata, tetapi
memperlihakan pula dimensi keindonesiaanya. Dengan demikian
bagi HMI melawan PKI bukan hanya kewajiban agama saja, tetapi
juga meupakan kewajiban membela negara sebagai warga negara
Indonesia yang cinta akan bangsanya.

76
Kalau diamati sejak awal mula berdirinya, HMI telah
mengantisipasi komunis sebagai sebuah ideologi yang sangat
membahayakan bagi keberlangsungan hidup umat manusia,
khususnya bangsa Indonesia. Kehidupan dunia kemahasiswaan pada
saat awal berdirinya HMI, yaitu memperlihatkan sikap yang
cenderung tidak peduli pada nilai-nilai keagamaan atau sekuler.
Selain itu pula, paham komunis begitu kuat merasuk dalam
kehidupan dunia kemahsiswaan, khususnya dalam tubuh
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sehingga ketika HMI
lahir, PMY begitu keras menolaknya. Kelahiran HMI, diantaranya
bertujuan untuk menggiring mahasiswa agar memiliki sikap yang
peduli terhadap nilai-nilai ajaran agama dalam berbagai sektor
kehidupan.
Awal mula keterlibatan HMI secara nyata dalam menghadapi
kekuatan PKI, yaitu ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun 18
September 1948, Ketua PPMI/Wakil PB HMI Ahmad Tirtosudiro
membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan membantu pemerintah
menumpas pemberontakan PKI di Madiun, dengan mengarahkan
anggota CM ke gunung-gungung, memperkuat aparat pemerintah.
Secara konseptual, sikap HMI dalam menghadapi PKI, yaitu pada
kongres ke-5 HMI di Medan tahun 1957, telah memutuskan dan
menyatakan ”bahwa komunisme bertentangan dengan Islam”, dan
menyerukan kepada lapisan masyarakat yang sudah menyatakan
penolakannya terhadap komunis untuk bersama-sama melakukan
penentangan.43
Keterlibatan HMI dalam penumpasan pemberontakan PKI di
Madiun tahun 1948, melahirkan dendam kesumat dari PKI untuk
membubarkan HMI. Sikap itu dilakukan oleh PKI disekitar tahun
1964-1966, yaitu dengan cara melakukan penggayangan terhadap
HMI dengan gencar dan menghendaki HMI dibubarkan, dengan
melakukan berbagai fitnah. Hal tersebut dilakukan oleh PKI, karena

43 Sitompul, Agussalim, “Sejarah Perjuangan HMI”, Makalah disampaikan dalam


Latihan Kader I HMI, Yogyakarta, 28 September 1989.

77
PKI memperkirakan, apabila PKI gagal melakukan kudeta pada
tanggal 30 September 1965, kemungkinan besar HMI akan tampil
kembali ikut menumpas PKI seperti yang dilakukan HMI pada
pemberontakan PKI di Madiun 1948. Oleh sebab itu sebelum PKI
melakukan Gestapu, HMI mesti dilenyapkan dahulu. Sikap yang
dilakukan HMI dalam menghadapi aksi-aksi PKI pada saat itu,
dengan cara melakukan lobi-lobi politik dengan para pejabat yang
dianggap sama-sama anti PKI, dilakukan oleh PB HMI secara intensif
melalui berbagai kalangan dan tokoh-tokoh yang bersimpati pada
perjuangan HMI, baik kalangan militer, politisi,dan tokoh-tokoh
agama. Kemampuan HMI melakukan lobi-lobi politik dengan
kalangan atas, tidaklah lepas dari peran yang dimainkan oleh para
alumni HMI yang duduk dalam jabatan penting pemerintahan,
seperti Dahlan Ranuwiharjo yang pada waktu itu sebagai anggota
DPR; Ahmad Tirtosudiro seorang Perwira Angkatan Darat; Ismail
Raharjo seorang pejabat di kejaksaaan agung; Ahmad Sanusi, Ismail
Hasan Matarem dan Norman Razak. Para alumni ini dalam tubuh
HMI duduk sebagai Dewan Pertimbangan dan Penasehat PB HMI,
dengan tugas memberikan pertimbangan dan nasehat kepada PB
HMI baik diminta maupun tidak.44 Dengan demikian keberadaan
alumni ini, merupakan bagian dari kekuatan HMI, yang membuat
HMI tetap survive.

44 Sulastomo, Op. Cit., hlm. 17.

78
Gambar 14 :
Bung Karno menerima kunjungan Pengurus Besar HMI
Sumber :
https://tilik.id/2021/02/05/soekarno-saya-akan-membubarkan-
hmi/

Demontrasi yang sering dilakukan oleh CGMI dan Pemuda


Rakyat, oleh HMI diimbangi juga dengan demontrasi. Pertimbangan
demontrasi ini tidak hanya sebatas sampai pada ”perang” mulut saja,
bahkan kadang-kadang membawa pada bentrokan fisik. Terkadang
bilamana perlu HMI melakukan ofensif demontrasi menyerang
tokoh-tokoh yang dianggap pro PKI, misalnya HMI melancarkan
demontrasi untuk meretool profesor Priyono, yang waktu itu adalah
Menteri P dan K, yang dianggap pro PKI. Demikian juga pada forum-
forum yang memungkinkan peranan HMI untuk membendung
kekuatan PKI, tanpa ragu lagi HMI masuk ke dalam forum tersebut.
Front Nasional misalnya, yang menghimpun semua kekuatan sosial
politik, baik partai politik maupun golongan karya /profesi, bersama
organisasi lainnya, HMI bergabung dalam sekber Golkar, bahkan

79
ketua umum PB HMI mendapat kepercayaan selaku ketua sekber
Golkar.45
Untuk mengantisipasi keadaan yang semakin hangat sebagai
akibat teror-teror yang sering dilakukan oleh PKI, PB HMI
mengambil kebijaksanaan yang tertuang dalam singkatan PKI
(Pengamanan Organisasi, Konsolidasi organisasi dan Integrasi
Ummat). Pengamanan organisasi, yaitu dalam suasana di tengah
tuntutan yang sangat kuat kaum komunis untuk pembubaran HMI,
masalah pengamanan organisasi sangat penting. Konsolidasi
organisasi sangat penting, mutlak diperlukan dengan kerapian sikap
dan penggalangan potensi, guna menghadapi lawan. Integrasi umat,
perlu dilakukan sebagai organisasi mahasiswa Islam modal
pendukung utama ialah potensi umat, baik parpol Islam maupun
organisasi Islam lainya, misalnya Muhammadiyah, Al Washliyah,
Nahdatul Ualama dan yang lainnya tanpa upaya mencari dukungan
dari kekuatan politik lainnya.46 Selain itu pula PB HMI dalam
menghadapi penggayangan PKI, dengan mengeluarkan sikap:
1. Strategi HMI:
Menyelamatkan dan memelihara potensi HMI sebagai alat
perjuangan ummat dan bangsa
2. Policy HMI:
Menempatkan HMI pada keseimbangan kekuatan politik non
HMI serta selalu mengeliminir yang ditujukan kepada HMI
3. Posisi HMI, pada saat itu posisi HMI defensi aktif, tetapi dalam
waktu menjelang pecahnya Gestapu/PKI, HMI mengadakan
counter attack/offensif.47
Dengan demikian HMI dalam menghadapi aksi penggayangan
dari PKI, tidaklah bersikap diam. Sikap tersebut dilakukan baik
secara konsepsional maupun bersifat fisik. Selain itu pula, untuk

45 Ibid, hlm. 12.


46 Ibid,hlm. 13
47 Sitompul, Agussalim, Op. Cit., hlm. 57.

80
menyusun kekuatan, HMI melakukan konsolidasi baik yang bersifat
ke dalam maupun ke luar.

4.3. Meletusnya Gerakan 30 September 1965


Konsepsi NASAKOM yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno,
tidaklah membawa penyelesaian politik pada kerukunan nasional.
Dalam selimut NASAKOM itu terdapat ketegangan antara kekuatan
komunis dan anti komuis. Dari ketegangan ini, tidaklah menutup
kemungkinan pada suatu saat akan timbul suatu ledakan. Ternyata
dalam waktu berikutnya timbul ledakan tersebut, yaitu terjadinya
usaha kudeta oleh PKI, yang hendak merebut kekuasaan negara
Republik Indonesia yang sah. Gerakan ini dinamakan Gerakan 30
September (Gestapu) yang berhasil digagalkan oleh ABRI. Kudeta ini
merupakan bagian dari proses yang panjang yang dilakukan oleh
PKI setelah gagalnya pemberontakan di Madiun 1948. Dalam
peristiwa Gestapu ini, PKI melakukan penculikan terhadap para
Perwira TNI AD, yang kemudian dibunuhnya secara keji di Lubang
Buaya di luar batas-batas prikemanusiaan. Para perwira tersebut,
adalah Men. Pangad Ahmad Yani, Mayjend Haryono M.T., Mayjend
S. Parman, Mayjen Suprapto, Brigjend D.I. Panjaitan, Brigjend Sutoyo
Siswomiharjo dan Lettu Tandean, sedang Jenderal A. H. Nasution
lolos dari penculikan dan pengawal pribadinya Lettu Tandean
ditangkap karena oleh para penculik dianggap Nasution. Ade Irma
Suryani Nasution ketika PKI melakukan penculikan, terkena sasaran
peluru dan beberapa saat kemudian puteri Nasution tersebut
meninggal di rumah sakit.
Gerakan 30 September ini secara fisik militer dipimpin oleh
Letnan Kolonel Unutung. Gerakan ini dibagi dalam tiga pasukan,
dengan tugas masing-masing. Yang bergerak menculik dan
membunuh para Jenderal Angkatan Darat diberi nama pasukan
Pasopati. Pasukan teritorial dengan tugas utama menduduki gedung
RRI dan gedung Telekomunikasi diberi nama pasukan Bima Sakti,
dan pasukan yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan di Lubang

81
Buaya diberi nama pasukan Gatotkaca.48 Pada malam harinya tanggal
30 September 1965, pasukan Bimasakti berhasil menduduki studio
RRI, Gedung Pusat Komunikasi dan Bangunan Tugu Nasional.
Pada hari Jum‟at tanggal 1 Oktober 1965, rakyat Indonesia
dikejutkan oleh siaran berita dari RRI studio Jakarta, Letnan Kolonel
Untung mengumumkan, bahwa Gerakan 30 September yang
dipimpinannya adalah gerkan Intern Angkatan Darat. Gerakan yang
dilancarkannya hanya ditujuka kepada beberapa orang jenderal
”Kontra Revolusi” yang menjadi anggota ”Dewan Jenderal”, yang
merencanakan sebuah kudeta menjelang hari Angkatan Bersenjata
pada tanggal 5 Oktober 1965 yang akan datang. Dikatakan pula
bahwa beberapa jenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi dan
objek vital lainnya telah dikuasai. Sedang Presiden Soekarno selamat
dalam lindungan Gerakan 30 September, sebagai kelanjutan dari
tindakan ini, dibentuk sebuah ”Dewan Revolusi” baik di pusat
maupun di daerah-daerah. Siaran ini disampaikan pada jam 07.15
WIB, dan sempat mengagetkan masyarakt luas. Kemudian pada jam
14.00 keluar kembali pengumuman berikutnya, yaitu tentang
susunan Dewan Revolusi yang terdiri dari 45 orang. Keputusan
Dewan Revolusi no.2/1965 menetapkan bahwa pangkat yang
tertinggi Angkatan bersenjata Republik Indonesia adalah Letnan
Kolonel, mereka yang berpangkat di atas Letnan Kolonel diharuskan
menyatakan kesetiaanya kepada Dewan Revolusi seara tertulis dan
setelah pernyataan itu ia berhak memakai pangkat Letnan Kolonel.
Dewan Revolusi juga menetapkan, bahwa Bintara dan Tamtama dari
semua angkatan ABRI yang menjalankan Gerakan 30 September
dinaikkan pangkatnya satu tingkat, bagi para Bintara dan Tamtama
yang mengikuti gerakan pembersihan terhadap ”Dewan Jenderal”
pangkatnya dinaikkan dua tingkat, dari pada pangkat tanggal 30
September.49

48 Notosusanto, Nugroho & Djoened, Marwati, Op. Cit., hlm. 389.


49 G. Martha, Ahmaddani, et.al., ibid, hlm.343.

82
Gambar 15 :
Mayjend Suharto memimpin pengangkatan mayat tujuh orang
perwira AD yang dibunuh dan dimasukan ke dalam sumur kecil
di Lubang Buaya Jakarta
Sumber :
https://www.republika.co.id/berita/okx95j396/sumur-tua-dan-
secarik-data-ulama-kebangkitan-umat-6

Mendengar siaran RRI tersebut, masyarakat dibuat menjadi


bingung, mereka tidak banyak mengetahui kejadian yang
sebenarnya. Kemudian rakyat memperoleh informasi yang
sebenarnya yaitu melalui siaran RRI pada jam 21.00, Panglima
Kostrad Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan pernyataan, bahwa
telah terjadi adanya pengkhianatan oleh apa yang menamakan
dirinya ”Gerakan 30 September dan tentang selamatnya
PYM/Pemimpin Besar Revolusi, selanjutnya dikemukakan, bahwa
(1) telah ada kerjasama dan koordinasi penuh antara AD, AL, dan
Angkatan Kepolisian untuk menumpas ”Gerakan 30 September”, (2)
orang-orang ”Gerakan 30 September” telah mengambil kekuasaan
negara dari Presiden, (3) mereka telah melakukan penculikan

83
terhadap perwira tinggi.50 Dengan keluarnya pernyataan dari
Pangkostrad tersebut, maka rakyat mengetahui, bahwa telah terjadi
usaha kudeta dari PKI yang hendak merebut kedaulatan negara
Republik Indonesia yang sah, dan hendak merubah dasar negara dari
Pancasila ke Komunis.

4.4. HMI Dalam Wadah KAMI Menuntut Pembubaran PKI


Pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 yang
berhasil digagalkan oleh ABRI, menimbulkan reaksi dari masyarakat
yang sangat anti komunis. Dengan peristiwa tersebut rakyat
disadarkan, bahwa PKI pada masa jayanya begitu agresif melakukan
teror dan penggayangan terhadap lawan-lawan politiknya, seperti
halnya HMI. Ternyata dibalik keagresifan itu semua, PKI mempunyai
tujuan yang sangat bertentangan dengan perikehidupan bangsa
Indonesia, yaitu PKI hendak merebut kedaulatan negara Republik
Indonesia yang sah dan hendak menggantikan dasar negara
Pancasila menjadi komunis, dengan anti klimaksnya yaitu
pemberontakan pada tanggal 30 September 1965.
Himpunan Mahasiswa Islam sebagai salah satu organisasi yang
pernah diganyang oleh PKI, sangat mendukung upaya yang
dilakukan oleh ABRI untuk menumpas Gerakan 30 September/ PKI
berserta ormas-ormasnya, bahkan siap membantu dengan terjun
langsung. Di pagi hari 1 Oktober 1965 anggota PB HMI Ekky
Syahrudin dan Darmin P. Siregar dari HMI cabang Jakarta menemui
Pangdam V Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumash di
Markas Kostrad, untuk mneyampaikan beberapa hal disekitar
terjadinya Gestapu/PKI, yaitu:
1. Arsitek dan dalang Gerakan 30 September itu PKI.
2. Oleh karena itu G.30. S itu adalah persoalan politik, maka
penyelesaiannya juga secara politik, karena itu perlu

50 Martha, Ahmaddani G., et.al., ibid, hlm.343.

84
dikerahkan kekuatan untuk menumpasnya dan supya
dipimpin oleh partai NU.
3. Gerakan 30 September itu perlu segera ditindak, dengan
membubarkan biang keladinya.
4. HMI akan mengerahkan segala daya dan kekuatan, untuk
membantu pemerintah dan ABRI, untuk menumpas ludas
gerakan kontra revolusi G.30.S. berserta antek-anteknya.
Secara resmi PB HMI dengan pernyataan no. 2125/B/sek/1965
tanggal 4 Oktober 1965, yang ditandatangani oleh DR. Sulastomo
sebagai Ketua Umum dan Mar‟ie Muhammad sebagai Sekertaris
Jenderal, menyatakan sikap tegas PB HMI mengutuk Gestapu/PKI,
dan kerelaan berkorban membantu sepenuhnya ABRI guna
menumpasnya.51
PPMI yang merupakan wadah kekuatan organisasi mahasiswa
ekstra yang berskala nasional, setelah terjadinya peristiwa
Gestapu/PKI menjadi lesu, karena organisasi ini menjelang peristiwa
Gestapu telah didominasi oleh kekuatan komunis, sehingga banyak
para anggota dan pengurusnya terlibat dalam peristiwa Gestapu.
Implikasinya, PPMI tidak mampu mengantisipasi keadaan dan tidak
memiliki sikap yang jelas atas peristiwa Gerakan 30 September.
Akibatnya organisasi-organisasi mahasiswa yang anti gestapu/PKI
antara lain HMI, PMKRI, SOMAL, PMII dan yang lainya mendesak
kepada pimpinan PPMI untuk segera mengadakan kongres.52
Desakan dilakukan disertai dengan surat-surat pernyataan. Selain itu
pula dalam rapat-rapat presidium PPMI tanggal 20 sampai 23
Oktober 1965, yang dihadiri oleh anggota-anggota presidiumnya
yang termasuk MMB,PMB, dan PMKRI, usaha ini ditolak oleh GMNI
ASU (Ali Surachman), dan dengan kawan-kawannya dengan dalih
menunggu ”penyelesaian politik” dari Bung Karno.

51 Agussalim Sitompul, Op.Cit., hal.74


52 Ahmaddani G. Martha, et. al., Op.Cit., hal.354

85
Untuk menaggulangi keadaan, terutama dalam menghadapi
penggayangan terhadap Gestapu/PKI, diperlukan adanya wadah
yang menghimpun semua kekuatan organisasi mahasiswa yang anti
komunis, karena PPMI sudah tidak banyak diharapkan lagi. Apalagi
dalam hal ini HMI memiliki kepentingan yang sangat besar dalam
menghadapi kekuatan PKI, sedangkan pada sisi lain, HMI sendiri
telah dipecat dari keanggotaan PPMI sebagi ulah PKI yang sangat
benci terhadap HMI. Maka pada tanggal 25 Oktober 1965 Menteri
PTIP Brigjend dr. Syarif Thayeb mengadakan pertemuan dengan
mengundang orfanisasi-organisasi kemahasiswaan, yang bertempat
di rumahnya Jalan Imam Bonjol Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh
seluruh organisasi mahasiswa, kecuali CGMI, Perhimi dan Germindo
tidak hadir. Dalam pertemuan ini dr. Syarif Thayeb menyarankan
supaya semua organisasi mahasiswa menyatukan diri dalam aksi.
Dia mengusulkan agar dibentuk kesatuan aksi mahasiswa Indonesia
(KAMI), dengan tujuan;
1. Mengamankan dan mengamalkan Pancasila
2. Anti kepada Nekolin serta segala bentuk penjajahan
3. Membantu ABRI menumpas G.30.S/PKI.53
Menteri PTIP menyatakan, bahwa HMI mempunyai peluang
untuk menjadi pendukung pertama organisasi mahsiswa baru ini
yang merupakan wadah kekuatan mahasiswa dalam penggayangan
PKI. Dalam KAMI Menteri PTIP menyarankan agar HMI tidak
menduduki posisi pertama di tingkat nasional. Menurut pendapat dr.
Syarif Thayeb, yang perlu dipertimbangkan oleh HMI ialah faktor
politik dan psikologis, yaitu pertama, selama ini HMI sudah berada di

53 Wibisono, Christianto, (1970), AksiTritura Kisah Sebuah Patnership 10 Djanuari-11


Maret 1966, Jakarta : Departemen Hankam Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata,
hlm. 20.

86
luar PPMI, kedua, selama ini juga HMI baru lolos dari ujian politik
terutama pembubaran oleh PKI.54
Terjadinya diskusi yang cukup tajam dan panjang dalam
pembentukan KAMI ini, karena adanya perbedaaan pendapat.
Perbedaan pendapat ini dapat digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Kelompok pertama HMI dan SOMAL yang berpendapat
supaya dibentuk wadah baru dan PPMI supaya dibubarkan.
2. Kelompok kedua GMNI c.s. menghendaki agar PPMI tetap
dipertahankan serta disempurnakan sepenuhnya saja.
3. Kelompok ketiga adalah kelompok kompromi dari pendapat
pertama dan kedua.55
Dari pertemuan ini ternyata menghasilkan kompromi, PPMI
untuk sementara tetap dipertahankan, tapi suatu wadah baru
dibentuk demi gerak yang sama dalam menggayang Gestapu/PKI.
Nama wadah baru tersebut, yaitu ”Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia” (KAMI), dengan tujuan:
1. Mengamankan dan mengamalkan Pancasila
2. Anti kepada Nekolin serta segala bentuk penjajahan
3. Membantu ABRI menumpas G.30.S/PKI.
Dengan demikian terbentuklah KAMI pada tanggal 25 Oktober
1965, dengan kepengurusan terdiri dari ketua periodik yaitu Zmroni
BA (PMII), yang didampingi ketua-ketua, Cosmos Batubara (PMKRI),
Elyas (SOMAL), David Napitupulu (Mapancas), sedangkan sebagai
sekretaris yaitu Nazar Nasution (HMI) dan Djoni Harjasumantri
(IMADA).56
Dengan terbentuknya KAMI, maka kekuatan mahasiswa
menjadi ”patner” ABRI dalam menggayang atau menumpas PKI.
Langkah pertama KAMI melakukan aksi massa berupa rapat umum
di halaman Universitas Indonesia pada tanggal 3 November 1965.

54 Sulastomo, Op. Cit., hlm 36.


55 Christianto Wibisono, Op. Cit., hlml .2.
56 Marta, G. Ahmaddani, et.al., Op.Cit., hlm. 358.

87
Setelah rapat selesai, massa melanjutkan demontrasi ke depan
Departemen PTIP dan Front Nasional. Semangat massa tinggi dan
bergelora. Mereka membawa pernyataan yang mendukung
sepenuhnya Menteri PTIP untuk membubarkan CGMI, Perhimi, HIS,
Perguruan Tinggi/ Akademi PKI dan menuntut supaya
dibubarkan.57
Perekonomian masyarakat Indonesia di seputar 1965 sangat
memprihatinkan, tingkat inflansi mencapi 575%. Pemerintah tidak
mampu mengatasi kelesuan ekonomi. Upaya yang dilakukan
pemerintah yaitu dengan pemotongan uang, yang tadinya bernlai
Rp. I000,00 (seribu rupiah) turun menjadi nilai Pp.1,00 (satu rupuah)
uang baru. Selain tiu pula melaksanakan penaikan harga-harga
minyak tanah atau bahan bakar. Harga bensin dinaikkan menjadi
empat kali lipat dari Rp. 250,00, minyak tanah dari Rp.150,00 menjadi
RP.400,00. Ongkos pos dan telekomunikasi dinaikkan sepuluh kali
lipat mulai dari tanggal 3 Jnuari 1966. Tarif kereta api naikkan 500%.
Tarif ongkos bis PPD dari Rp.250,00 menjadi RP. 1.000,00.58 Upaya
pemerintah ini, tidaklah membuat perekonomian rakyat semakin
baik.
Terhadap kebijaksanaan pemerintah terebut, KAMI
mengeluarkan pernyataan pada tanggal 6 Januari 1966 yang
mendesak, agar keputusan-keputusan tentang kenaikan harga dan
tarif ditinjau kembali. Pernyataan yang ditanda tangani oleh ketua
periodik Zamroni BA dan Sekretaris Djoni Sumarja Hardasumantri
meminta perhatian Waperdam III, Chaerul Saleh dan menteri-
menteri yang menjadi konseptor kenaikan harga.59
Jawaban dari pihak pemerintah tersebut, menimbulkan
kemarahan dari Front Pemuda. Mereka melancarkan demontrasi
pada tanggal 8 Januari 1966. Aksi ini diikuti oleh organisasi-
organisasi antara lain pemuda Anshar, Pemuda Muhammadiyah,

57 Ibid, hlm. 360.


58 Ibid, hlm. 367.
59 Wibisono, Christianto, Op.Cit., hlm.12

88
GAMKI, Pemuda Marhaen, GSNI, Pemuda Katolik dan organisasi
mahasiswa lainnya. Mereka mengantarkan delegasi presidium Front
Pemuda yang dipimpin oleh Yahya Ubed, SH menuju gedung
Sekretaris Negara di Jalan Veteran. Demontrasi tersebut merupakan
awal perjuangan Tritura, karena sekalipun tidak terang-terangan
menyebut Tritura, tapi dalam tuntutan Front Pemuda tergambarkan
tuntutan demikian. Front Pemuda menyampaikan pernyataan
kepada Waperdam III Chaerul Saleh yang menyatakan bahwa secara
prinsipil tidak dapat membenarkan kebijaksanaan ekonomi
keuangan negara secara menyeluruh dan mendalam yang terbukti
peraturan-peraturannya hanyalah suatu kebijaksanaan inflasi gaya
baru, yang keseluruhannya memperlihatkan kenaikan harga dan tarif
yang berlipat-lipat. Karena itu mendesak pemerintah untuk
mencabut semua kenaikan tarif yang hakekatnya adalah pemajakan
luar biasa presentasenya kepada kaum buruh, pegawai, prajurit, dan
rakyat kecil pada umumnya. Front Pemuda kemudian menyatakan,
bahwa semua ini merupakan suatu bukti ketidakcakapan beberapa
pembantu Presiden yang diserahi tanggung jawab untuk meminpin
dan mengatur perekonomian dan keuangan negara Indonesia.
Karena itu agar kabinet Dwikora disempurnakan lebih kompak, lebih
kompeten dan didukung oleh rakyat banyak, serta segera kabinet
dipulihkan dengan membersihkannya dari oknum-oknum
Gestapu/PKI dan orang-orang plin-plan.60
Waperdam III Chaerul Saleh memberikan jawaban yang tidak
jelas dan hal ini menjadikan makin bertambahnya kemarahan dan
ketidakpuasaan di kalangan generasi muda khususnya dan
masyarakat pada umunya yang anti komunis. Aksi Front Pemuda ini
mendapatkan sorotan dari KAMI, bahkan Front Pemuda mendorong
KAMI untuk lebih tegas berbuat. Presidium KAMI kemudian
mengadakan rapat. Masalah yang dibahas dibagi dua, yaitu, pertama,
perjuangan secara konseptual, Kedua perjuangan melalui aksi

60 G. Martha, Ahmaddani, et. al., Op. Cit., hl 368.

89
massa.61 Secara konsepsional adalah melalui seminar ekonomi di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Dalam acara ini
diharapkan ahli-ahli ekonomi akan mengupas ekonomi bangsa secara
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara massa, perlu
disususn tema perjuangan yang dimengerti oleh rakyat. Pembagian
tugas pun dilakukan. Ketua Presidium pusat KAMI Zamroni akan
tampil di depan seminar ekonomi FE UI. Cosmas Batubara akan
membacakan pernyataan di depan apel massa, di halaman Fakultas
Kedokteran UI. Rapat menugaskan Sevrinas Suardi dan Ismed
Hadad untuk menyusun pernyataan tersebut. Firdaus Wadjdi Ketua
Presidium KAMI Jaya yang juga Ketua Umum HMI Cabang Jakarta,
ditugaskan menghubungi Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo
di Cijantung, dan diminta untuk tampil di depan massa mahasiswa.
Ternyata Sarwo Edhie menyanggupinya, walaupun ia menyadari
akan menghadapi resiko sebagai fungsionaris ABRI tampil di depan
massa mahasiswa yang cenderung berlawanan dengan arus
kebijakasanaan Pemerintah pada saat itu. Pernyataan selesai disusun
cukup panjang dalam menjelaskan kondisi objektif masyarakat serta
ketidakpuasan generasi muda. Dalam pernyataan tersebut
ditekankan pada kesimpulan, (1) Bubarkan PKI, (2) Retool Kabinet, (3)
Turunkan Harga. Pernyataan ini kemudian dukenal dengan sebutan
Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura.62
Tanggal 10 Januari 1966 bertepatan dengan bulan Puasa,
dilaksanakan apel massa mahasiswa di halaman Fakultas Kedokteran
UI, degan penuh semangat untuk menghadapi tantangan bangsa dan
negara. Kolonel Sarwo Edhie pada kesempatan ini tampil dan terjadi
dialog dengan massa. Pada kesempatan ini Sarwo Edhie menyatakan,
bahwa tahun 1965 adalah tahun fitnahnya PKI, semua yang tidak
setuju dengan PKI dituduh komunistefphobie, setan-setan, kabir-
kabir, munafik-munafik. Mereka mencap dan menuduh semena-
mena, ABRI pun difitnah dengan tuduhan Dewan Jenderal.

61 Ibid, hal 368.


62 ibid, hlm. 369.

90
Fithnahan PKI tersebut sangat keji dan kotor, selain fitnah yang
busuk itu, mereka juga menyiarkan hanya PKI lah partai besar, tetapi
mereka tidak tahu, bahwa partai besar itu pun akan hancur lebur,
karena mengingkari Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara.
Bertahun-tahun mereka mempersiapkan rencana Coup, tapi berkat
kerja sama rakyat dan ABRI, dalam waktu singkat dapat ditumpas.63
Selesai acara resmi di halaman FK-UI, maka massa mulai
bergerak. Mula-mula tujuannya adalah Departemen PTIP di jalan
Pegangsaaan Timur, kemudian menuju Gedung Sekretariat Negara
di jalan Veteran Merdeka, sambil berteriak ”Ganyang PKI !”. Ketika
massa sampai di Gedung Sekretariat Negara, Waperdam III Chaerul
Saleh tidak ada di tempat. Mereka menolak untuk diterima oleh
Brigjend Polisi Djunarso. Mereka bersikeras ingin bertemu langsung
dengan Waperdam III Chaerul Saleh, sehingga mereka lebih baik
menunggu sampai datangnya Menteri, karena waktu itu kebetulan
bulan puasa, sehingga massa yang sebagain besar beragama Isalam
melakukan puasa. Suasana terkesan, tatkala mereka yang beragama
Islam melakukan shalat Dzuhur bersama di pingir-pinggir jalan
Nusantara (sekarang jalan Juanda) dengan beralaskan koran. Mereka
berjuang menuntut keadilan dan kebenaran, tapi juga tidak lupa
meninggalkan kewajiban agama.
Sementara itu delegasi demontrasi mendatangi rumah
Waperdam III Chaerul Saleh di jalan Teuku Umar. Chaerul Saleh
baru pulang masih letih, tetapi delegasi meyakinkan betapa perlunya
kehadiran menteri di depan massa mahasiswa dan akhirnya Chaerul
Saleh menyanggupinya. Sekitar jam 16.00 Chaerul Saleh datang ke
Sekneg yang disambut oleh mahasiswa dengan yell-yell revolusioner.
Di ruang kerja Waperdam, Comnas Batubara yang ditunjuk sebagai
juru bicara atas nama massa menyampaikan tuntutan yang
dituangkan dalam resolusi Tritura secara lisan meminta
pertanggungjawaban Waperdam III yang mengurus soal-soal

63 ibid, hlm. 370.

91
ekonomi. Para demonstran mendengarkan jawaban dari Waperdam
III, yang pada pokoknya menekankan, bahwa kebijaksanaan itu
bukan keputusan sendiri, tetapi keputusan kabinet yang diambil oleh
Presiden Soekarno, karena itu usulan dari massa tersebut akan
disampaikan kepada Presiden.64 Massa kemudian bubar dengan rasa
tidak puas.
Demontarasi timbul di mana-mana hampir di tiap-tiap kota di
Indonesia. Dengan melihat situasi seperti ini, Pengurus Besar HMI
perlu menetapkan sikap yang tegas, sebab peran anggota-anggota
HMI di dalam demontrasi tersebut sangat besar, kalau tidak
dikatakan sebagian besar, hampir di tiap-tiap kota dalam setiap
demontrasi anggota HMI selalu menjadi pionernya. Oranmg dengan
demikian sangat mudah membaca sikap HMI dari demontrasi
tersebut, walau demontrasi tersebut tidak mengatasnamakan HMI
secara organisatoris. Oleh sebab itu pada bulan Desember 1965 di
Pasar Minggu, diadakan rapat pleno yang dihadiri lengkap oleh
anggota pleno PB HMI. Dalam rapat tersebut dibicarakan, siapa
sebenarnya yang menjadi sasaran demontrasi. Para peserta rapat
banyak yang mengusulkan agar yang menjadi sasaran demontrasi
adalah Bung Karno. Dr. Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI
menanggapi usulan dari peserta rapat tersebut, memberikan
beberapa pertimbangan demi kepentingan nasional. Petimbangan
yang ia lontarkan yaitu, pertama, sekiranya HMI akan ikut
melangkah menjadikan Bung Karno sebagai sasaran demontrasi,
kekuatan-kekuatan lain manakah yang dapat jalan. Di dalam
pertimbangan Sulastomo, dari segi politik, pendukung Bung Karno
pada waktu itu masih ada dan kuat. Prubahan sasaran demontrasi
dari PKI ke Bung Karno, tidak mustahil akan terjadi konflik nasional
yang lebih besar dan mungkin juga menjadi terbuka. Dan karena itu
bagi pendukung Bung karno (dan juga mungkin Bung karno sendiri)

64 Wibisono, Christianto, Op. Cit., hal. 18.

92
adalah merupakan situasi tanpa pilihan, maka segalanya akan tentu
dipertaruhkan. Apa yang terjadi sudah tentu sulit dibayangkan.
Kedua, dan ini memiliki nilai yang amat prinsipil apakah
dengan cara demikian pengertian kepala pemerintah (Presiden) perlu
ditempuh ? Dan layakkkah HMI ikut dalam gerakan seperti itu ? ada
juga yang berpendapat bahwa tidak ada salahnya HMI ikut serta
dalam gerakan seperti itu, seperti halnya yang terjadi dibeberapa
negara lainnya. Tatapi untuk Indonesia khususnya HMI, Sulastomo
berpendapat lain. Pergantian seperti itu, akan membawa presiden
yang tidak baik dari segi kehidupan berbangsa dan berkonstitusi.
Ketiga, bagaimana sikap ABRI ? Sulastomo tidak yakin (belum
yakin) kalau ABRI pada waktu itu sudah berpikir untuk
mengarahkan bidiknya ke Bung Karno. Dan apa artinya, kalau
perjuangan seperti itu kalau tidak didukung oleh ABRI ? tidak
mustahil justeru HMI akan berhadapan dengan ABRI.
Keempat, dalam pandangan Sulastomo, betapa pun Bung Karno
adalah pemimpin yang besar dan telah banyak berjasa bagi bangsa
dan negara. Memang Sulastomo jengkel juga, mengapa Bung Karno
tidak bersedia juga membubarkan PKI, menurut Sulastomo, Bung
Karno sesungguhnya telah terjebak pada perangkapnya sendiri.
Beliau sudah terlanjur masuk perangkap PKI, dengan mempercayai
PKI sebagai kekuatan progresid-revolusioner dan pancasilais. Dan
untuk mengubah pandangan seperti itu, sudah barang tentu teramat
sulit, di samping mungkin Bung Karno menganggap, bahwa beliau
dapat mengendalikan PKI. Nyatanya yang terjadi sebaliknya.
Kelima, akibat yang paling jelek yang mungkin terjadi, selain
belum tentu ”menang”, bisa saja Bung Karno akan memebubarkan
HMI, sebagaiman juga ternyata KAMI dibubarkan oleh Bung Karno.
Adanya seperti itu sudah barang tentu menghapus segala upaya
yang selama ini dilakukan untuk menyelamatkan HMI.65

65 Sulastomo, Op.Cit.,hlm..46.

93
Rapat berjalan cukup panas dengan keluarnya lontaran-
lontaran dari Sulastomo selaku Ketua PB HMI. Akhirnya forum
menerima pertimbangan-pertimbangan yang dilontarkan oleh
Sulastomo, yaitu yang menjadi sasaran demontrasi bukan Bung
Karno tetapi PKI.
Pada tanggal 15 Januari 1966 Presiden Soekarno mengundang
KAMI untuk menghadiri sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor.
Maka berduyu-duyunlah massa mahasiswa. Karena tidak ada
penyelesaian politik, maka berrtekad tidak akan pulang sebelum ada
keputusan PKI dibubarkan oleh Pemerintah. Untuk menenagkan
massa mahasiswa, Mayjend Soeharto dan Cosmas Batubara serta
Zamroni dengan memanjat tembok pagar, kemudian menjelaskan
kepada massa mahasiswa bahwa PKI telah bubar. Dengan
pengumuman tersebut akhirnya massa menjadi tenang dan
kemudian mereka pulang.
Hal yang membuat situasi semakin panas, pada tanggal 16
Januari 1966, Waperdam I Dr. Subandrio mengumumkan
dibentuknya ” Barisan Soekarno”, yang akan menandingi aksi-aksi
KAMI. Dr. Subandrio menuduh mahasiswa yang berdemontrasi
berprilaku melampaui batas kesopanan dan tidak sesuai dengan
ahlak Indonesia. Menteri Penerangan Ahmadi mengadakan rapat
dikediamannya jalan Tirtayasa Kebayoran Baru pada tanggal 17
januari 1966 yang dihadiri oleh para pembantunya. Dalam rapat itu
diputuskan dibentuknya ”Barisan Soekarno”, untuk mengimbangi
demontrasi KAMI yang dianggap sebagai usaha pendongkelan
terhadap Soekarno. Kekuatan ini mulai bergerak dengan
megeluarkan pamflet-pamflet gelap yang menantang aksi-aksi
KAMI. Beberapa anggota ”Barisan Soekarno” dan ternyata memiliki
kartu anggora GMNI-ASU (Ali Surachman), GERMINDO, dan UBK
(Universitas Bung Karno).salah satu langkah untuk memprsempit
ruang gerak KAMI, bahkan mematikannya, yaitu dengan keluarnya
pengumuman dari Penguasa Perang Daerah V/ Jaya, yang berisi
melarang di daerah Jakarta, penyelenggaraan demontrasi dalam

94
bentuk apapun, demi menjaga dan terpeliharanya suasana tenang
dan tertib dalam rangka pengamanan guna mencapai tujuan
revolusi.66
Pada tanggal 18 Januari 1966, KAMI untuk kedua kalinya
diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Negara. Delegasi KAMI
terdiri dari Presidium Pusat, KAMI Jaya dan KAMI UI yaitu Cosmas
Batubara, Zamroni, David Napitupulu, Elyas, Djoni Sumarja, Tomy
Wangke, Firdaus Wadji, Liem Bian Koen, Abdul Gafur, dan Suwarto.
Dalam pertemuan ini delegasi memberikan penjelasan sebenarnya
tentang aksi-aksi mahasiswa. Aksi tersebut bukan ditujukan kepada
diri Bung Karno, melainkan tertuju kepada keinginan membubarkan
PKI dan merombak kabinet yang tidak mampu mengemban
AMPERA. Bung Karno mengerti isi hati mahasiswa, tetapi tidak
setuju dengan cara vandalisme materil dan vandalisme mental.
Megenai pembubaran PKI, menurut Bung Karno, Wait and See, soal
penurunan harga, para menteri sedang membahasnya.67
Walaupun ada larangan untuk berdemontrasi yang berlaku
sejak tanggal 16 Januari 1966, para mahasiswa tetap melakukan
demontrasi, bahkan lebih besar, bukan hanya kalangan mahasiswa
saja yang berdemontrasi, tetapi para pelajar yang tergabung dalam
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dengan
pemimpinya yaitu M. Husni Thamrin seorang aktivis Pelajar Islam
Indonesia (PII) yang juga anggota HMI Komisariat Fakultas Syariah
IAIN SUKA Yogyakarta. Pada tanggal 23 Februari 1966 massa
demontrasi menuju ke Sekretariat Negara (Sekneg), memprotes
pembongkaran kabinet Dwikora yang tidak memberikan kepuasan
kepada rakyat, sebab Jenderal Nasution, Laksamana R.E. Martadinata
dan Aruji Kartawinata dikeluarkan, sedangkan unsur-unsur PKI dan
orang-orang plin-plan masih tetap bercokol di dalam kabinet.68

66 Anwar, Yozar, (1982), Angkatan 66: Sbuah Catatan Harian mahasiswa, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1982, hlm. 40.
67 Martha, Ahmaddani G., et. al., Op. Cit, hlm. 377.
68 Ibid, hlm.381.

95
Gambar 16 :
Aksi Demontrasi menuntut pemubaran PKI
Sumber :
https://batam.tribunnews.com/2020/08/16/terjadi-pasca-g30spki-
inilah-kronologi-demonstrasi-tritura-yang-diserukan-
mahasiswa?page=all

Pada tanggal 25 Februari 1966, terjadi demonstrasi besar-


besaran, dengan tujuan untuk menggagalkan pelantikan Kabinet di
Istana Negara. Pagi-pagi massa sudah mulai bergerak. Jalan-jalan
menuju Istana penuh dengan massa demontrasi. Ban-ban mobil
dikempeskan, lalu mobil-mobil dilintangkan di tengah jalan.
Akibanya lalu lintas macet, sehingga banyak menteri yang akan
menuju Istana harus terpaksa berjalan kaki atau diangkut dengan
helikopter. Aksi-aksi seperti ini dikenal dengan sebutan ”Parlemen
Jalanan”. Melihat kondisi yang semakin memanas itu, para pengawal
Istana mengayunkan senjatanya untuk menghadapi massa yang
berdemonstrasi. Secara tiba-tiba pengawal Istana mengayunkan
senjatanya kearah massa berdemontrasi dalam bebrapa menit.
Mendengar suara tersebut, massa bertiarap dan berlindung. Dalam
insiden itu jatuh korban dari pihak massa, yaitu Arief Rahman
Hakim seorang mahasiswa Kedokteran UI dan Zubaedah (anggota

96
PII) pelajar SMP. Keduanya tewas akibat terkena tembakan senjata
dari pengawal Istana.69 Zubaedah dikuburkan secara diam-diam
sedangkan Arif Rahman Hakim disemayamkan dahulu di aula UI.
Keterharuan rakyat tergambarkan, ketika mayat Arief Rahman
Hakim sebelum dikebumikan, Nurcholis Madjid (anggota HMI
Cabang Ciputat) memberikan khutbah Ju‟mat yang membuat jemaah
melelehkan air mata. Di tengah-tengah berkabung dengan
meninggalnya Arief Rahman Hakim dan Zubaedah, lahir
kebijaksanaan pemerintah yang sangat mengejutkan dan
mengecewakan massa saat itu, yaitu berdasarkan keputusan
KOGAM No. 041/Kogam/1966 tanggal 25 Februari 1966, yang berisi
membubarkan organisasi mahasiswa KAMI di seluruh Indonesia dan
mahsiswa dilarang berkumpul lebih dari 5 orang.70
Walaupun secara hukum KAMI dibubarkan dan ada larangan
untuk berkumpul lebih dari 5 orang, semangat perjuangan mereka
tidak pudar. Aksi tritura semakin gencar dilaksanakan. Kini KAPPI
tampil ke depan menggantikan aksi-aksi di jalan raya. Di bulan Maret
1966, aksi tritura semakin bergolak dan meningkat, pelajar-pelajar
SMA, SMP, bahkan SD yang jumlahnya lebih besar dari KAMI
semuanya turun ke jalan raya berdemontrasi menyuarakan tritura.
Mereka memberikan prioritas kepada penggayangan menteri PDK
yang baru Drs. Sumarjo yang disinyalir beridikasi Gestapu/PKI.71
Jawaban lain terhadap dibubarkannya KAMI, adalah
pembentukan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim dengan
kekuatan 7 batalyon tempur, yang diresmikan tanggal 4 Maret 1966,
dengan komandanya Fahmi Idris (Ketua Umum HMI Cabang Jakarta
1968-1969).72 Di Yogyakarta dibentuk Laskar Ampera Aris Margono,
nama seorang demonstran yang gugur dalam perjalanan perjuangan
Tritura. Laskar ini baru dibentuk pada tanggal 14 mei 1966, yang

69 Wibisono, Christianto, Op. Cit., hlm. 68-69


70 Ibid, hlm. 77.
71 Sitompul, Agussalim, Op. Cit., hlm 78.
72 Wibisono, Christianto, Op. Cit., hlm. 82-83.

97
dipelopori oleh para anggotan HMI. Berturut-turut komandanya
ialah Padamulia Lubis (Ketua HMI Cabang Yogyakarta 1965-1966),
Syahril STB Tanjung (Ketua HMI Cabang Yogyakarta 1968-1969) dan
Asfudin Panjaitan. Ketiga-tiganya pernah menjadi pasukan inti
(PATI) Komando Operasi Bakti (Kobra) HMI Cabang Yogyakarta,
yang dibentuk pada tahun1964. Di Bogor tahun 1967, diadakan
pertemuan Laskar Ampera Seluruh Indonesia, semua komandannya
ialah anggota HMI. Pertemuan ini telah memutuskan dengan
mengangkat Fahmi Idris sebagai Koordinator Laskar Ampera
Seluruh Indonesia.73

Gambar 17:
Aksi Tritura yang salah satunya tuntutan turunkan harga
Sumber :
https://idschool.net/sma/isi-tritura-dan-latar-belakang-yang-
melandasinya/

73 Sitompul, Agussalim, Op. Cit., hlm. 78-79.

98
Pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka Jakarta diadakan
Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Di luar Istana, di
selruruh kota jakarta demonstrasi sedang berlansung dengan hangat.
Di tengah-tengah sedang berlangsungnya sidang Kabinet, Ajudan
Presiden Soekarno menyampaikan informsai tentang gawatnya
situasi terutama yang paling mengejutkan yaitu adanya pasukan-
pasukan liar tanpa tanda pengenal mondar-mandir di depan Istana.
Mendengar informsi tersebut, Soekarno jadi panik, kemudian
Presiden Soekarno dengan menggunakan pesawat helikopter menuju
Istana Bogor dengan meninggalkan ruang sidang. Kepergian
Soekarno kemudian disusun oleh Waperdam I dan III, yaitu Dr.
Subandrio dan Chaerul Saleh. Sidang ditutup oleh Waperdam II Dr.
J. Leimena, yang kemudian ia pun menyusul Soekarno ke Bogor.74
Setelah sidang ditutup, tiga perwira tinggi yaitu Mayjend
Basuki Rahmat, Brigjend M. Yusuf dan Brigjend Amir Mahmud
membicarakan situasi dengan perginya Presiden ke Bogor dengan
meninggalkan suatu sidang kabinet yang sedang berjalan. Mereka
khawatir, bahwa presiden akan semakin terpengaruh oleh
pandangan PKI melalui Waperdam I Dr. Subandrio. Ketiga perwira
tesebut bersepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor
dengan motivasi yaitu agar Presiden Soekarno tidak merasa terpencil
dan supaya yakin bahwa ABRI khususnya TNI Angkatan Darat,
tetap siap sedia mengatasi keadaan asal diberi kepercayaan penuh.
Sebelum berangkat ke Bogor ketiga perwira tersebut meminta izin
kepada atasan yaitu Menteri/Panglima Kopkamtib. Pada waktu itu
Jenderal Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di
rumah, niat ketiga perwira tersebut oleh Soeharto disetujui.75
Setibanya di Bogor ketiga perwira tersebut mengadakan
pembicaraan dengan Presiden Soekarno yang didampingi oleh Dr.

74 Martha, Ahmaddani G., et.al.Op. Cit., hlm 395.


75 Yusuf, M,., ” Pengalaman Saya Dengan Supersemar”, Pedoman, 17 Maret 1973.
Sebagaimana dikutip oleh Notosusanto, Nugroho & Djoenoed, Marwati, Op. Cit.,
hlm. 421.

99
Subandrio, Dr. J. Leiman, dan Dr. Chaerul Saleh. Ketiga perwira
tersebut menyampaikan laporan bahwa Angkatan Darat tidak
sanggup mengatasi keadaan dan menjamin keselamatan Presiden,
bila Presiden tidak memberikan wewenang luas dan kekuasaaan
penuh kepada Menpangad dalam mengatasi keadaan. Setelah
melakukan diskusi selama beberapa jam, yang diikuti pula oleh
ketiga Wakil Perdana Menteri dan Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa, Yakni Brigjen Sabur, oleh Presiden Soekarno
kemudian diputuskan mengeluarkan sebuah Surat Perintah kepada
Menteri/panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto. Oleh ketiga
perwira tinggi, ketiga wakil Perdana Menteri serta Brigjend Sabur
disusunlah rumusan Surat Perintah yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Surat
perintah ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno dengan ucapan
”Bismillahirrohmanirrohim”. Isi surat perintah tersebut, adalah
memberikan wewenang penuh kepada Jenderal Soeharto untuk
mengambil tindakan yang dianggap perlu unutk menjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi. Dari
Bogor ketiga perwira tinggi tersebut langsung menemui Jenderal
Soeharto untuk menyampaikan Surat Perintah Sebelas Maret.76
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto
keesokan harinya (lewat tengah malam tanggal 11 Maret) sesudah
menerima Surat Perintah Sebelas Maret tersebut dari ketiga Perwira
Tinggi, adalah membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya yang
bernaung dan berlindung atau seazas dengan PKI di seluruh
Indonesia, berlaku sejak tanggal 12 Maret 1966. Tindakan kedua yang
dilakukan Jenderal Soeharto, adalah dikeluarkannya Keputusan
Presiden No.5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang
menteri yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G. 30. S./PKI
atau memperlihatkan itikad tidak baik dalam rangka penyelesain
masalah itu. Para menteri yang ditetapkan adalah, Dr. Subandrio,

76 G. Martha, Ahmaddani, et.al.Op. Cit., hal 395-397.

100
Chaerul Saleh, IR. Surachman, IR. Setiadi Reksoprojo, Oei Tjae Tat,
SH, Yusuf Muda Dalam, Mayjend Achmadi, Drs, Achadi, Sumardjo,
Armunarto, Sutomo Martoptradopo, Astrawinata, SH, J. Tumakaka,
Mayjend dr. Sumarno, dan Letkol Sjafei. Untuk kelancaran tugas
pemerintah, kemudian diangkat 5 orang menteri kehormatan
(Menko) ad Interim yang bersama-sama akan menjadi Presidium
kabinet. Mereka adalah Sultan hamengkubuwono IX, Adam Malik,
Dr. Ruslan Abdul Gani, Dr. K.H. Idam Khalid dan Dr. J. Leimena,
juga beberapa orang Menteri ad Interim diangkat sampai
dibentuknya kabinet Baru.77
Dengan di kelaurkannya SUPERSEMAR tersebut, yang
kemudian disusul dengan tindakan Jenderal Soeharto membubarkan
PKI beserta ormas-ormasnya, dan penahanan 15 orang menteri yang
dianggap terlibat Gestapu/PKI, bagi rakyat Indonesia yang anti
komunis merupakan kemenagan yang sangat besar. Perjuangan aksi
Tritura, dua point telah tercapai. Biang keladi kekacauan negara yaitu
PKI berhasil diruntuhkan aksi-aksi KAMI dan KAPPI tidaklah sia-sia,
mereka telah berhasil menegakkan kebenaran dan menyingkirkan
kebatilan. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, tidak terlepas
dari perjuangan KAMI, yang di dalamnya terdapat mahasiswa
sebagai inti kekuatan. Dalam struktur masyarakat, mahasiswa dapat
digolongkan ke dalam kelas menengah. Implikasi dari sebuah kelas
menengah, dalam aktivitas kesejarahan mahasiswa memiliki dua
peran pokok, yaitu, pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap
penyimpangan yang terjadi di beberapa aspek kehidupan
masyarakat, dan kedua¸ yaitu sebagai pencetus kesadaran masyarakat
luas akan problem yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk
menrima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung
oleh masyarkat sendiri, sehingga masyarakt berubah ke arah
kemajuan.78 Dua peran pokok tersebut telah dimainkan oleh HMI

77 Notosusanto, Nugroho & Djoenoed, Marwati, Op. Cit., hlm. 413-414.


78 Sanit, Arbi, (1989), Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa Refleksi dan Gagasan
Alternatif, Jakarta : Lingkungan Studi Indonesia, hlm. 31.

101
baik dalam wadah KAMI maupun di luar KAMI dalam menggalang
kekuatan mahasiswa.
Keterlibatan HMI dalam aksi-aksi KAMI, merupakan suatu
bukti, bahwa HMI sebagai organisasi Islam memiliki kepedulian
yang sangat besar terhadap masalah kehidupan negra, terutama
ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat Indonesia, sebagai akibat dari aksi-aksi sepihak yang
dilancarkan oleh PKI, yang hendak merebut kekuasaan Negara
Republik Indonesia yang sah. Ada tiga kekuatan dalam tubuh HMI,
pertama, kekuatan massa. Dalam aksi-aksi KAMI, anggota HMI boleh
disebut paling banyak yang terlibat. Kedua, kekuatan intelektual
sebagai konsekuensi logeis dari sebuah organisasi mahasiswa.
Intelektualise yang melekat dalam diri mahasiswa, membuat
mahsiswa berfikir kreatif-objektif terhadap permasalahan-masalahan
yang dihadapi dengan wawasan keilmuan yang mereka miliki.
Dengan pengetahuan yang sistematik tentang masalah masyarakat
dan politik di samping tentang masalah yang menjadi bidang
spesialisasinya, mendorong mahasiswa untuk mengadakan penilaian
dan menentukan sikap tentang kehidupan politik yang
mengelilinginya.79 Karakteristik yang ada ada golongan intelektual
adalah memiliki idealisme yang membuat mahsiswa sebagai suatu
kekuatan dinamis. Ketiga, kekuatan ideologi yaitu Islam. Ideologi
memiliki nilai strategis di dalam proses pemecahan masalah,
pembentukan kesadaran dan sikap serta penyususnan strategi
perjuangan yang secara keseluruhan mewarnai tingkah laku politik
mahasiswa. Ideologi menajamkan ilmu yang telah mereka pelajari
untuk dipergunakan sebagai pisau analisas terhadap suatu
kehidupan masyarakatnya. Ideologi menyadarkan mereka akan
hakekat permasalahan yang diadapi bangsanya karena susunan
masyarakat yang tergambar di dalam ideologi, dijadikan patokan
untuk menilai perkembanan yang sedang terjadi. Selanjutnya hasil

79 Ibid, hlm.30

102
penilaian itu dijadikan dasar untuk menentukan sikap terhadap
situasi. Lalu berdasarkan kombinasi di antara pemahaman dan
kesadaran akan situasi masyarakat dengan susunan mayarakat ideal
itulah ditetapkan strategi dan taktik perjuangan.80 Islam sebagai
ideologi HMI, telah mampu tampil sebagai suatu kekuatan yang
dinamis, progresif dan revolusioner dalam mneghadapi kekuatan
ideologi komunis yang dianut oleh PKI. Ketiga kekuatan itulah yang
disertai indepedensi HMI yang memeberikan kekuasaan bergerak,
karena tidak ada kekuatan lain yang mengendalikan HMI, membuat
HMI mandiri sehingga matang dalam sikap dan bertindak
menghadapi kekuatan PKI.

80 Ibid, hlm 48.

103
104
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Artikel


Aidit, D.N, (1964), “Tentang Marxisme”, Jakarta : Akademi Ilmu
Sosial, dalam Ismaun, (1972), Tindjauan Pantjasila Dasar Filsafat
Negara Republik Indonesia (dalam rangka tjita-tjita Sedjarah
Perjuangan Kemerdekaan), Bandung : Carya Remadja, 1972
Anshari, Endang Saifuddin, (1983), Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan
Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami Dan
Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
1945-1949, Bandung : Pustaka.
Anshari, Endang Saefudin, (1986), Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran
Tentang Islam dan Ummatnya, Jakarta : CV. Rajawali.
Anwar, Yozar, (1982), Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa,
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Anwar, Yozar, (1982), Protes Kaum Muda, Jakarta : PT. Variasi Jaya-
Kartini Group
Boland, B.J., (1985), Pergumulan Islam Di Indonesia 1945-1970, Jakarta
: GrafitiPres,
Budiardjo, Meriam, (1983), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT.
Gramedia.
Feith, Herbert, (1971), The Indonesian Elections of 1955, Ithaca :
Modern Project Southeast Asia Program Cornel University.
Huselbos, J, Komunisme Pengaduan, Djandji atau Antjaman. Jakarta :
PT. Pembangunan, tanpa tahun terbit.

105
Hatta, Mohammad, (1979), Memoir, Jakarta : Tintamas.
HMI Cabang Yogyakarta, “Siaran Khusus Kepatihan Affair 25
Februari 1965”, 28 Februari 1965.
Kartodirdjo, Sartono & Surjo, Djoko (1991), Sejarah Perkebunan Di
Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
Laporan Tahunan HMI Cabang Yogyakarta periode 1964-1966
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSKIK), (1983),
Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis Di Indonesia, Jakarta:
PT. Yudha Gama Corporation.
Maarif, Syafii, “Kedudukan Negara dalam Perspektif Doktrin Islam”.
disampaikan dalam Seminar Tentang Konsep Negara dalam Islam
diselenggarakan oleh Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam
Indonesia, 18 Oktober 1987.
Marta, Ahmaddani G., et.al., (1985), Pemuda Indonesia Dalam Dimensi
Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta : Kurnia Esa.
Marwati Djoened &, Nugroho, (1984), Sejarah Nasional Indonesia VI,
Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Merdeka, 16 Agustus 1948., Djoened, Marwati &, Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta : Balai
Pustaka, hlm. 154
Merdeka, 21 September 1948. dalam Djoened, Marwati &,
Notosusanto, Nugroho , Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta
: Balai Pustaka, hlm. 155.
Nasution (1987), Sejarah Pendidikan Indonesia, Bandung : Jemarrs.
Niel, Robert van, (1984), Munculnya Elite Modern di Indonesia,:
Jakarta : Pustaka Jaya.
Noer, Deliar, (1980), Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942,
Jakarta : LP3ES,
Noer : Deliar, (1981), Partai-Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta :
Grafiti Pers

106
Notosusanto, Nugroho, Ed, (1985), Tercapainya Konsensus Nasional
1966-1969, Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Notosusanto, Nugroho, (1985), Menegakkan Wawasan Almamater,
Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, (1986), Nilai Identitas
Kader, Jakarta, Jakarta : PBHMI.
Pengurus HMI Cabang Yogyakarta, Laporan Tahunan HMI Cabang
Yogyakarta Periode 1965-1966, Yogyakarta.
Perpustakaan HMI IAIN Suka, Majalah Ukhuwah, no. 1/1 November
1973, Yogyakarta.
Puskopad Dam III/17 Padang, (1966), Kisah Terror ”G.30. S” Seri Ke-II
Dokumen-Dokumen Gestapu, Padang : Srana Dwipa.
Pusat KAPU MASYUMI, MASYUMI Pendukung Republik Indonesia,
Jakarta, tanpa tahun terbit
Rais, M. Amien, (1987), Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta,
Bandung : Mizan.
Ricklefs, M.C., (1981), Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press
Sanit, Arbi, (1989), Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa Refleksi dan
Gagasan Alternatif, Jakarta : Lingkungan Studi Indonesia.
Soekarno, “Menyelamatkan Republik Indonesia”, Jakarta, 1957,
dalam Djoened, Marwati &, Notosusanto, Nugroho, Sejarah
Nasional Indonesia VI.
Sulastomo, (1989), Hari-Hari Yang Panjang 1963-1966, Jakarta : CV.
Haji Masagung.
Sitompul, Agussalim, (1986), Sejarah Perjuangan Himpunan
Mahasiswa Islam (Th. 1947-1975), Surabaya : Bina Ilmu.
Sitompul, Agussalim, (1976), Sejarah Perjuangan Himpunan
Mahasiswa Islam
(Th. 1947-1975), Surabaya : Bina Ilmu.

107
Sitompul, Agussalim, “Sejarah Perjuangan HMI”, Makalah
disampaikan dalam Latihan Kader I HMI, Yogyakarta, 28 September
1989.
Steenbrink, Karel A. (1986), Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan
Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta : LP3ES.
Tanja, Victor, (1982), Himpunan Mahasiswa Islam Sejarah dan
kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu,
Jakarta : Sinar Harapan.
Tanzil, Hazil, Ed., (1984), Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta :
Sinar Harapan,
Wibisono, Christianto, (1970), Aksi Tritura Kisah Sebuah Patnership 10
Djanuari-11 Maret 1966, Jakarta : Departemen Hankam Pusat
Sejarah Angkatan Bersenjata.
Yusuf, M,., ” Pengalaman Saya Dengan Supersemar”, Pedoman, 17
Maret 1973. dalam Notosusanto, Nugroho & Djoenoed,
Marwati, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta :Balai Pustaka,
hlm. 421.

B. Koran
Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 28 Desember 1964.
Harian Nasional, Yogyakarta, 9 Maret 1965.
Harian Duta Masyarakat.11 Maret 1965.
Harian Bintang Timur,Jakarta, 31 Mei 1965.
Harian Suara Islam, Jakarta, 24 Oktober 1965.
Harian Karyawan, Jakarta, 19 Agustus 1964
Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 4 Juni 1965
Harian Suara Islam, Jakarta, 22 September 1965.
Harian Suara Islam, Jakarta, 14 September 1965.

108

Anda mungkin juga menyukai