Anda di halaman 1dari 2

Nama : Miranti Riswati

NIM : 022002007002
Kelompok 6 - Ketahanan Nasional

GERAKAN ACEH MERDEKA

Kronologi Gerakan Aceh Merdeka


Konflik yang terjadi di Aceh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perbedaan pendapat tentang
hukum Islam, ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh, dan peningkatan jumlah
orang Jawa di Aceh. Dalam konflik tersebut, GAM melalui tiga tahapan, yaitu tahun 1977,
1989, dan 1998. Sebelumnya, pada 4 Desember 1976, pemimpin GAM, Hasan di Tiro
bersama beberapa pengikutnya melayangkan perlawanan terhadap pemerintah RI.
Perlawanan tersebut mereka lakukan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.
Sejak saat itu, konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung.
1976-1977
Setelah terjadi pernyataan dari Hasan Tiro di tahun 1976, milisi GAM mulai melakukan
gerakan gerakan represif. Perlawanan yang terjadi melalui teknik gerilya itu menewaskan
milisi GAM dan juga masyarakat sipil. Walau begitu, gerakan milisi GAM berhasil
digagalkan oleh pemerintah pusat dan kondisi bisa dinetralisir.
1989-1998
GAM kembali melakukan aktivitas setelah mendapatkan dukungan dari Libya dan Iran
berupa peralatan militer. Pelatihan perang yang didapat di luar negeri menyebabkan
perlawanan mereka tertata dan terlatih dengan baik sehingga sulit dikendalikan. Hal ini
membuat pemerintah merasakan munculnya ancaman baru, yang kemudian menjadi alasan
ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pembakaran desa-desa yang
diduga menampung anggota GAM dibakar, dan militer Indonesia menculik dan menyiksa
anggota tersangka tanpa proses hukum yang jelas. Diyakini terjadi setidaknya 7.000
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama pemberlakuan DOM di Aceh.
1998
Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan
presiden memberi peluang bagi GAM membangun kembali kelompok mereka. Presiden BJ
Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan memutuskan menarik pasukan dari
Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk mempersiapkan serangan berikutnya.
Konflik yang berlangsung di Aceh telah menimbulkan dampak yang parah terhadap berbagai
komponen masyarakat sipil Aceh. Ribuan orang yang dicintai (orang tua, istri, suami dan
anak-anak) telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim.
Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan
mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses pendidikan. Lebih
jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses terhadap hukum, sementara
sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi.

Penyelesaian
Pada 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami besar menimpa Aceh. Kejadian
ini memaksa para pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan
mediasi oleh pihak internasional. Selanjutnya, tanggal 27 Februari 2005, pihak GAM dan
pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli 2005, setelah
berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai
dengan GAM di Vantta, Finlandia. Pada tanggal 15 Agustus 2005 perjanjian damai pun
ditandatangani oleh kedua belah pihak di Helsinki, Finlandia. Proses perdamaian selanjutnya
dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima
negara ASEAN. Semua senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19
Desember 2005. Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan
Dawood, menyatakan bahwa sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan
secara formal. Dengan bantuan fasilitator dari sebuah lembaga Internasional akhirnya
perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia berhasil dicapai.
Fase tersebut menandakan kembalinya Aceh kepangkuan ibu pertiwi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dibawah naungan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah
ideologi bangsa Indonesia dari Sabang sampai Mereuke.
Pancasila telah menjadi semangat baru bagi masyarakat Aceh dan para mantan GAM dalam
menata kembali kehidupan mereka dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan
negara Republik Indonesia, Ini terjadi karena distribusi kekayaan yang tidak merata dan
pemerintahan sentralistik. Penentangan terhadap nasionalisme Indonesia merupakan reaksi
GAM terhadap diskriminasi dan distribusi kekayaan yang tidak merata antara pusat dan
daerah.
Pancasila yang digali dan dirumuskan para pendiri bangsa ini adalah sebuah rasionalitas kita
sebagai bangsa majemuk, multi agama, multi bahasa, multi budaya, dan multi ras, yang
bergambar dalam Bhineka Tunggal Ika. Kebinekaan Indonesia harus dijaga sebaik
mungkin. Kebhinekaan yang kita inginkan adalah kebhinekaan yang bermartabat. Untuk
menjaga kebhinekaan yang bermartabat itulah, maka berbagai hal yang mengancam
kebinekaan harus ditolak. Namun dengan kebhinekaan tersebut hingga saat ini bangsa
Indonesia belum memiliki identitas kebudayaan yang jelas. Selama ini Indonesia hanya
memiliki identitas semu yang belum mantap tetapi dipaksakan seolah-olah menjadi ciri khas
kebudayaan. Hal inilah yang mengakibatkan peselisihan dan menimbulkan konflik.

Anda mungkin juga menyukai