Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

ANCAMAN DALAM INTERGRASI NASIONAL


GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM)

Disusun oleh :
Amanda Putria Nasir
Amnesti Aziza Asisella
Anya Sausan Maharani
Chaerunesa Amaliani
Cindy Huriyahsyah
XI IPA 7
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keanekaragaman bangsa Indonesia merupakan sebuah potensi dan
tantangan tersendiri. Disebut sebagai sebuah potensi, karena membuat
bangsa kita menjadi bangsa yang besar dan memiliki kekayaan yang
melimpah baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya yang dapat
menarik minat para wisatawan asing untuk mengunjungi Indonesia dan
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Selain itu, kebhinekaan bangsa Indonesia juga merupakan sebuah


tantangan bahkan ancaman. Adanya kebhinekaan membuat penduduk
Indonesia mudah berbeda pendapat dan mudah tumbuhnya perasaan
kedaerahan yang sempit sehingga sewaktu-waktu bisa menjadi ledakan yang
akan mengancam integrasi nasional atau persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu, semua warga negara harus mewaspadai segala bentuk
ancaman yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

1.2 Rumusan Masalah


 Pengertian Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
 Latar Belakang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
 Kronologi Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
 Penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

1.3 Tujuan
 Menjelaskan pengertian Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
 Menjelaskan latar belakang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
 Menjelaskan kronologi Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
 Menjelaskan penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
BAB II
ISI

2.1. Pengertian

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu ancaman serius


terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia, terutama dalam dua tahun
terakhir. Keberadaan GAM dengan kekuatan yang seperti sekarang tentu
tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kemunculan dan periode awal
gerakannya, karena pada waktu itulah pondasinya dibangun. Oleh sebab itu,
masalah GAM tidak akan dapat ditangani dengan baik tanpa menelaah
periode awalnya. Dengan mengkaji periode tersebut, diharapkan dapat
diketahui sebab-sebab kelahirannya, ideologi, taktik dan strategi, para
pendukung, tujuan, dan tahapan aksi yang akan mereka lakukan.

2.2. Latar Belakang


Konflik yang berlangsung di Aceh ini diakibatkan karena beberapa
hal, yang meliputi perbedaan pendapat mengenai hukum Islam,
ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh, serta peningkatan
jumlah orang Jawa di Aceh.

Konflik GAM ini terjadi dalam tiga tahapan, yaitu pada tahun 1977,
1989, dan 1998. Namun sebelumnya, pada 4 Desember 1976, pemimpin
GAM, Hasan di Tiro bersama beberapa pengikutnya melayangkan
perlawanan terhadap pemerintah RI. Awal perlawanan itu mereka lakukan di
perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie, hingga akhirnya konflik
antara pemerintah RI dengan GAM terus berlanjut.

2.3. Kronologi
1) Tahun 1976 - 1977
Pada 4 Desember 1976, inisiator Gerakan Aceh Merdeka,
Hasan di Tiro dan beberapa pengikutnya mengeluarkan pernyataan
perlawanan terhadap pemerintah RI yang dilangsungkan di perbukitan
Halimon di kawasan Kabupaten Pidie. GAM pertama kali
mengibarkan
bendera perang dengan melakukan gerilya, yang pada akhirnya
mengalami kegagalan karena berhasil dinetralisir oleh pemerintah
pusat.
2) Tahun 1997 - 1998
GAM kembali melakukan aktivitas setelah mendapatkan dukungan
dari Libya dan Iran berupa peralatan militer. Pelatihan perang yang
didapat di luar negeri menyebabkan perlawanan mereka tertata dan
terlatih dengan baik sehingga sulit dikendalikan. Hal ini membuat
pemerintah merasakan munculnya ancaman baru, yang kemudian
menjadi alasan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM).
Pembakaran desa-desa yang diduga menampung anggota GAM
dibakar, dan militer Indonesia menculik dan menyiksa anggota
tersangka tanpa proses hukum yang jelas. Diyakini terjadi setidaknya
7.000 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama pemberlakuan
DOM di Aceh.
3) Tahun 1998
Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya Presiden
Soeharto dari jabatan presiden memberi peluang bagi GAM
membangun kembali kelompok mereka. Presiden BJ Habibie pada 7
Agustus 1998 mencabut status DOM dan memutuskan menarik
pasukan dari Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk
mempersiapkan serangan berikutnya.
4) Tahun 2002
Pada tahun 2002, kekuatan militer dan polisi di Aceh semakin
berkembang dengan jumlah pasukan menjadi sekitar 30.000. Setahun
kemudian, jumlah pasukan semakin meningkat hingga menyentuh
angka 50.000 personil. Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi juga
berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh milisi GAM yang
mengakibatkan jatuhnya ribuan korban dari pihak sipil.
5) Tahun 2003
Pada 19 Mei 2003, Aceh dinyatakan sebagai daerah dengan status
darurat militer. Hal ini dilakukan setelah Presiden Megawati
Soekarnoputri, menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003
tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
berlaku mulai Senin tanggal 19 Mei 2003 pukul 00.00 WIB. Usaha
pemerintah yang ditempuh melalui kekuatan militer di Aceh juga mulai
terlihat hasilnya pada tahun 2003.

2.4. Penyelesaian
Pada 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami besar
menimpa Aceh. Kejadian ini memaksa para pihak yang bertikai untuk
kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak
internasional. Selanjutnya, tanggal 27 Februari 2005, pihak GAM dan
pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17
Juli 2005, setelah berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia
berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantta, Finlandia.
Penandatanganan kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang bernama Aceh
Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN.
Semua senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19
Desember 2005. Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara
militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer Tentara
Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan secara formal.

Anda mungkin juga menyukai