Anda di halaman 1dari 15

GERAKAN ACEH MERDEKA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Lokal

MAKALAH

Dosen Pengampu : Nur Mentari Jantisiana, M.Pd

Oleh:

Dzikrul Hakim Al-Maryat

NIM : 17.01.021

PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS PERSATUAN ISLAM

BANDUNG

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................. 1


B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 2
C. TUJUAN MAKALAH …………………………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………….…… 3

A. LATAR BELAKANG PEMBERONTAKAN GAM…….. ……………………. 3


B. PENGARUH YANG DITIMBULKAN DENGAN ADANYA PEMBERON-
TAKAN GAM …………………………………………………………...……….. 4
C. TOKOH YANG BERPERAN DALAM PEMBERONTAKAN GAM ……….. 5
D. UPAYA YANG DILAKUKAN PEMERINTAH INDONESIA UNTUK ME-
NGATASI PEMBERONTAKAN GAM ………………………………………... 8

BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………………. 12

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 13


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gerakan Aceh Merdeka atau sering kali disebut dengan GAM adalah sebuah organisasi

yang dianggap separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh yang merupakan daerah yang sempat

berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Republik Indonesia.

Tujuan utama GAM  adalah ingin NAD berpisah dengan NKRI. Gerakan ini dipimpin oleh

Hasan Di Tiro yang bermukim di Swedia dan berwarganegaraan Swedia. Di dalam situasi antara

GAM dan pemerintah, masyarakat  NAD lah yang menjadi korban karena terjadi konflik antara

GAM dan pemerintah sehingga para anggota GAM sering melakukan penculikan dan penarikan

pajak terhadap para masyarakat NAD bahkan juga sering terjadi perang, sehingga para

masyarakat NAD menjadi resah. Untuk itu para masyarakat NAD meminta agar pemerintah

segera menyelesaikannya.

Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara pemerintah pusat melancarkan dua

strategi yaitu otonomi khusus ( untuk aspek agama, ekonomi, dan politik ) bagi masyarakat sipil

yang ada di NAD. Selain itu pemerintah juga mengadakan perundingan yang di kenal dengan

sebutan COHA (Cessation of Hostilities Agreement),  yang hanya berlangsung antara Desember

2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia

menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM

sekali dan untuk selamanya.

Pembahasan ini juga tidak terlepas dari ketahanan nasional, karena hakekat Ketahanan

Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan
menggambarkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan

negara dalam mencapai tujuan nasional. Selain itu merupakan pengaturan dan penyelenggaraan

kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan

nasional.

B. Rumusan Masalah

1.   Bagaimana latar belakang yang menimbulkan pemberontakan GAM ?

2. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya pemberontakan GAM?

3. Siapa saja tokoh yang berperan dalam pemberontakan GAM?

4. Upaya apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi pemberontakan

GAM ?

E. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang yang menimbulkan pemberontakan

GAM

2. Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya pemberontakan GAM.

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berperan dalam pemberontakan GAM

4. Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi

pemberontakan GAM.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pemberontakan GAM

GAM atau Gerakan Aceh Merdeka lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada

masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap

gagasan formalisasi Islam di Indonesia. Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan

ideologi Islam yang terbuka. Bagi Darul Islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga

tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat

dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh.

Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam di Aceh, keinginan Aceh untuk

melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Perubahan ini

terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh Indonesia, sehingga memaksa orang

Aceh lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita. Yang menjadi menarik adalah GAM yang

melanjutkan tradisi perlawanan Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih

dahulu digunakan oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih

nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya.

Hal yang mempengaruhi munculnya GAM berikutnya adalah  faktor ekonomi, yang

berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan

sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era

Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki

kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang

menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu
kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada

1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial

ekonomi masyarakat Aceh.

Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah Orde

Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang bisa

berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka

kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat dan GAM bisa terus

bertahan. Pada masa Orde Baru GAM memainkan dua wajah yaitu satu wajah perlawanan

( dengan pola-pola kekerasan yang dilakukan ), dan strategi ekonomi-politik yang dimainkan

(dengan mengambil uang pada proyek-proyek pembangunan).

B. Pengaruh yang Ditimbulkan Dengan Adanya Pemberontakan GAM

` Pemberontakan yang telah tejadi didaerah Aceh (pemberontakan GAM) memiliki

pengaruh yang besar tehadap kondisi-kondisi yang ada. Konflik yang berlangsung di Aceh telah

menimbulkan dampak yang parah terhadap berbagai komponen masyarakat sipil Aceh.

Pemberontakan tersebut menimbulkan korban jiwa dan kerusakan fisik terhadap warga

Aceh. Ribuan orang yang dicintai (orang tua, istri, suami dan anak-anak) telah gugur mengalami

penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim piatu. Ribuan orang telah kehilangan tempat

tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Lebih jauh dari

itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses terhadap hukum, sementara sebagian besar

lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi.  

Beberapa pengaruh  lainnya yang di timbulkan dengan adanya pemberontakan GAM

terhadap ketahanan nasional Indonesia yaitu pengaruhnya yang masuk dalam berbagai aspek
kehidupan bernegara, yang paling tampak terutama terhadap kesatuan dan persatuan yang secara

otomatis akan menimbulkan perpecahan lalu akan memotivasi daerah lain yang mempunyai

keinginan memberontak di saat pemerintah sedang mengurusi masalah masalah GAM. Ratusan

sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses pendidikan yang ada diwilayah tersebut.

Kerusakan sarana pendidikan dan pemerintahan serta infrastruktur lainnya tersebut terjadi dalam

jumlah yang cukup besar. Gerakan separatis di Aceh telah banyak melibatkan penggunaan

sumberdaya nasional, dan akibatnya telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak

kecil.

C. Tokoh yang Berperan Dalam Pemberontakan GAM

Tahap pertama, kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama

dengan keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan

kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap melatar belakangi adalah terhadap praktik

agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-

kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi

pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan

perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia

yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas

Arun.

` Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas.

Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan

GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri,

hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten
Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada

keluarga di Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.

Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah

menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan, dipenjara, atau

dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi. [10] Para pemimpinnya

seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri

GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri

dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi

Tahap kedua, tokohnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pada tahun 1985,

di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil keuntungan dari kebijakan

Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui "Mathaba Melawan

Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme" Tidak jelas apakah Libya kemudian telah

mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para serdadu

GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang

dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang

berbedabeda Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000

sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa

mereka berjumlah 600-800. Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini

adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak

Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).

Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan

GAM dari Libya. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan
terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan

personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.

Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah

Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-

pemberontakan di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan

gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena

merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh

kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika

militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir

era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.

Tahap ketiga, tokohnya adalah Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan

Panglima GAM Abdullah Syafi'i. Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah

pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh

Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar

dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan

yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah

tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati

Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen

pedesaan di seluruh Aceh.

Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras

diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003

meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan
keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer

diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan

Human Rights Watch, militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia

dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di

tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini

masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004

memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam

terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.

D. Upaya yang Dilakukan Pemerintah Indonesia untuk Mengatasi Pemberontakan

GAM

Berbagai upaya telah dijalankan Pemerintah di Aceh, baik di masa Orde Baru maupun

Era Reformasi melalui jeda kemanusiaan sampai gelar operasi militer, belum mampu mengakhiri

konflik secara sempurna dan belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam kerangka

penyelesaian konflik Aceh secara menyeluruh. Tuntutan memisahkan diri dari NKRI semakin

kental, bahkan lebih sebagai akumulasi kekecewaan dari pada sebuah pencarian solusi. 

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa masalah konflik Aceh merupakan masalah yang

multi kompleks dan multi dimensional, akumulasi dari persoalan politik, ekonomi, sosial budaya,

hankam dan kemanusiaan yang bersumber dari ketidakadilan, sehingga penyelesaian masalah

Aceh diharapkan dapat diselesaikan secara komprehensif, menggunakan pendekatan

multi dimensi dan tidak hanya bersifat jangka pendek (ad-hoc) tetapi juga jangka panjang.

Dalam penyelesaian masalah separatis di Aceh, Pemerintah Republik Indonesia bertekad

menyelesaikan secara damai, komprehensif, bermartabat, berkeadilan dan menyeluruh dalam


bingkai NKRI. Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam kurun

waktu terakhir ini secara intensif melakukan perundingan informal di Helsinski yang difasilitasi

oleh Crisis Management Inisiative. Dengan berpedoman pada Memorandum of Understanding

(MoU) antara Pemerintah RI dengan GAM yang di tanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005

di Helsinki sebagai langkah nyata Pemerintah RI dengan negara Uni Eropa dan negara ASEAN

akan menandatangani MoU tentang keikutsertaan Aceh Monitoring Mission (AMM) sehingga

diharapkan upaya damai dapat diwujudkan secepatnya.

Selain itu, berbagai upaya penanggulangan GAM yang merupakan disintregasi bangsa.

Berikut ini adalah upaya – upaya yang dilakukan , antara lain :

1. Kebijakan :

a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk

bersatu.

b. Pemberdayaan norma dan nilai budaya Aceh dalam penyelenggaraan pemerintah di

NAD.

c. Membangun desain ekonomi menuju masyarakat NAD yang adil dan sejahtera.

d. Mencegah munculnya konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa melalui

implementasi tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Penegakkan

Hukum secara benar.

e. Menegakkan syariah Islam di Propinsi NAD

2. Upaya

Bidang Ideologi Politik

a. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air, serta rasa

persaudaraan agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan masyarakat NAD.


b. Menciptakan iklim politik nasional yang damai, saling kooperatif dan demokratis

agar stabilitas politik bisa terjaga. 

c. Menyusun peraturan perundang-undangan yang lebih tegas, jelas dan adil terhadap

semua pihak yang berkepentingan.

d. Memelihara persebaran penduduk yang proporsional dengan kondisi topografi dan

posisi astronomis dalam rangka deteksi dini untuk pengamanan wilayah negara.

Bidang Ekonomi

a. Pola pemenuhan kebutuhan pokok, melalui implementasi pengembangan

usaha/industri kecil dan menengah.

b. Realisasi program khusus pengentasan kemiskinan.

c. Menciptakan pola distribusi antar kabupaten / kota.

d. Menilai ulang sistem dan prosedur administrasi dana manajemen pembangunan

otonomi khusus NAD.

e. Pola investasi melalui penggerakkan kembali roda perekonomian daerah.

f. Mempercepat operasiona-lisasi status Sabang sebagai Pelabuhan Bebas.

Bidang Sosial Budaya

a. Melakukan pendekatan-pendekatan kultural.

b. Menampilkan seni budaya Aceh sebagai sebuah pra-konsepsi wilayah Propinsi NAD.

c. Mengembalikan kewenangan adat kepada masyarakat.

d. Memunculkan kembali adat istiadat Aceh yang sudah mulai sirna.


Bidang Pertahanan dan Keamanan

a. Merumuskan kembali peran dan tanggung jawab semua komponen bangsa dalam

menghadapi separatisme.

b. Melakukan upaya-upaya intelijen, teritorial yang dilakukan oleh satuan TNI dan Polri

yang profesional.

c. Merumuskan kembali gelar kemampuan dan kekuatan TNI dan Polri sesuai dengan

situas dan kondisi NAD. 

d. Melaksanakan keseimbangan penerapan hukum.

Bidang Agama

a. Membentuk qanun-qanun sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan NAD.

b. Memberdayakan tokoh-tokoh agama dalam negosiasi konflik.

c. Mendekati pihak ulama untuk merebut hati masyarakat.

d. Menciptakan hukum di NAD yang mengakomodir syariah islam.


BAB III

KESIMPULAN

Timbulnya konflik Aceh tidak hanya dari sudut pandang polotik yaitu paska berhentinya

perlawanan Darul Islam di Aceh, keinginan Aceh untuk melakukan Islamisasi di Indonesia

menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Selain itu minimnya rasa persatuan dan kesatuan yang

dimiliki oleh masyarakat Aceh sehingga mereka dengan gencar ingin membebaskan diri dari

NKRI. Selain itu, kondisi ekonomi juga ikut memicu terjadinya pemberontakan di Aceh.

Begitu banyak dampak yang diakibatkan dengan adanya pemberontakan tersebut.

Masyarakat yang awalnya tidak terlibat dengan pemberontkan itu akhirnya ikut juga merasakan.

Misalnya, banyak yang kehilangan keluarga tercinta, sarana dan prasarana juga ikut hacur,

supremasi hukum tidak ditegakkan lagi dan lain sebagainya.

Dengan adanya masalah ini dapat disimpulkan beberapa upaya yang dilakukan untuk

meminimalisir kejadian – kejadian seperti itu terulang kembali, antara lain :

1. Persatuan sebagai landasan untuk mencapai ketahanan nasional.

2. Dari kesatuan pandangan akan didapat ketahanan nasional yang kuat. Dengan adanya

kesamaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat maka dengan mudah

pemerintah dapat menentukan politik dan strategi nasional.

3. Perwujudan dan fasilitasi berbagai forum dan wacana-wacana sosial politik yang

dapat memperdalam pemahaman mengenai pentingnya persatuan bangsa, mengikis

sikap diskriminatif, dan menghormati perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Basyar, Hamdan. 2008. Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Nurhasim, Moch. Dkk. 2003. Konflik Aceh: Analisis Atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik,
Kepentingan dan Upaya Penyelesaian. Jakarta: Proyek Pengembangan Riset
Unggulan/Kompetitif LIPI.

Nurhasim, Moch. 2008. Konflik Dan Intergrasi politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian Tentang
Konsensus Normatif Antara RI-GAM Dalam Perundingan Helsinki. Jakarta: P2P LIPI.

Anda mungkin juga menyukai