Anda di halaman 1dari 17

Gerakan Aceh Merdeka

Disusun Oleh :

Kelas : XII MIPA 2


Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat
serta kasih-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah yang berjudul
“Gerakan Aceh Merdeka” selesai tepat pada waktunya.

Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang Gerakan Aceh Merdeka”.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
terutama orang tua, guru pembimbing, dan teman-teman yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan sangat berguna untuk memperbaikinya. Akhir kata penulis
meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Jakarta, 18 Agustus 2019

Penulis
Daftar Isi

Bab 1....................................................................................................................4
Pendahuluan....................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................5
C. Tujuan Penulisan...................................................................................5
Bab 2....................................................................................................................6
Pembahasan.....................................................................................................6
A. Pengertian HAM menurut para ahli....................................................6
B. Organisasi GAM.....................................................................................7
C. Pemberontakan di Aceh (1976 – 2005).................................................8
D. Kesepakatan Damai dan Pilkada Pertama........................................12
E. Kemungkinan Faktor Resolusi Damai...............................................13
Bab 3..................................................................................................................16
Penutup...........................................................................................................16
A. Kesimpulan...........................................................................................16
B. Saran......................................................................................................16
Daftar Pustaka...................................................................................................................................17
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia
yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM
adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era
reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era
reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal
pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan
orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang
lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.

Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah
yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia
sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara
utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab
bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun
Militer), dan negara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah
ini sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari HAM menurut para ahli?
2. Apa itu GAM?
3. Kapan organisasi GAM tebentuk?
4. Mengapa bisa timbul konflik antara pemerintah dan GAM?
5. Mengapa konflik ini menjatuhkan banyak sekali korban?
6. Siapa yang menyelesaikan konflik tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan adalah.
1. Mengetahui apa itu HAM menurut para ahli
2. Mengetahui apa itu GAM
3. Mengetahui kapan organisasi GAM terbentuk
4. Mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya konflik antara pemerintah
dan GAM
5. Mengetahui penyebab konflik tersebut menjatuhkan banyak sekali korban
6. Mengetahui siapa yang menyelesaikan konflik tersebut
Bab 2
Pembahasan
A. Pengertian HAM menurut para ahli
Menurut pendapat para ahli HAM dapat diartikan sebagai berikut :
1. John Locke
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara
kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat
(bersifat mutlak)
2. Prof. Koentjoro Poerbopranoto (1976)
Hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang
dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnya sehingga bersifat suci.
3. G.J. Wolhots 
Hak-hak asasi manusia adalah sejulah hak yang melekat dan berakar pada
tabiat setiap pribadi manusia, bersifat kemanusiaan.
4. Jan Materson
Anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB, merumuskan pengertian HAM
dalam “human right could be generally defines as those right which are
inherent in our nature and without which we cannot live as human being”
yang artinya HAM adalah hak-hak yang secara secara inheren melekat
dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidaka dapat hidup sebagai
manusia
5. Prof. Darji Darmodiharjo, S. H. 
Hak asasi manusia adalah dasar atau hak – hak pokok yang dibawa
manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Hak – hak
asasi itu menjadi dasr dari hak dan kewajiban – kewajiban yang lain."
6. Muladi (1996)
Mengemukakan pengertian ham secara universal,yang dirumuskan
sebagai thoserights which are inherent in our nature and without which
we cannot live as human being. Rumusan tersebut garis besarnya adalah
segala hak-hak dasar yang melekat pada diri dalam kehidupannya.
7. Jack Donnely 
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia."
8. Peter R. Baehr
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang dipandang mutlak perlu untuk
perkembangan individu.
9. Miriam Budiardjo
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh
dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan
masyarakat.

B. Organisasi GAM
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi separatis yang
memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan
ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir
sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra
National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama
hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada
tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat
sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh.
Pada 4 Desember 1976 inisiator Gerakan Aceh Merdeka Hasan di Tiro dan
beberapa pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap
pemerintah RI yang dilangsungkan di perbukitan Halimon di
kawasan Kabupaten Pidie. Diawal masa berdirinya GAM nama resmi yang
digunakan adalah AM, Aceh Merdeka. Oleh pemerintah RI pada periode 1980-
1990 nama gerakan tersebut dikatakan dengan GPK-AM. Perlawanan represif
bersenjata gerakan tersebut mendapat sambutan keras dari pemerintah pusat RI
yang akhirnya menggelar sebuah operasi militer di Provinsi Daerah Istimewa
Aceh yang dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer) pada paruh akhir 80-
an sampai dengan penghujung 90-an, operasi tersebut telah membuat para
aktivis AM terpaksa melanjutkan perjuangannya dari daerah pengasingan.
Disaat rezim Orde Baruberakhir dan reformasi dilangsungkan di Indonesia,
seiring dengan itu pula Gerakan Aceh Merdeka kembali eksis dan menggunakan
nama GAM sebagai identitas organisasinya.
Konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung hingga
pemerintah menerapkan status Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003, setelah
melalui beberapa proses dialogis yang gagal mencapai solusi kata sepakat antara
pemerintah RI dengan aktivis GAM. Konflik tersebut sedikit banyak telah
menekan aktivitas bersenjata yang dilakukan oleh GAM, banyak di antara
aktivis GAM yang melarikan diri ke luar daerah Aceh dan luar negeri. Bencana
alam gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 telah memaksa pihak-
pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan
mediasi oleh pihak internasional.
Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap
perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti
Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim
perunding Indonesiaberhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM
di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai
dilangsungkan pada 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau
oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang
beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung
dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah
Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan
pemberian amnest ibagi anggota GAM.
Meski, perdamaian tersebut, sejatinya sampai sekarang masih menyisakan
persoalan yang belum menemukan jalan keluar. Misal saja berkait dengan
Tapol/Napol Aceh yang masih berada di penjara Cipinang, Jakarta seperti
Ismuhadi, dkk. Selain juga persoalan kesejahteraan mantan prajurit kombatan
GAM yang cenderung hanya dinikmati oleh segelintir elit.

Seluruh senjata GAM yang mencapai 840 pucuk selesai diserahkan kepada
AMM pada 19 Desember 2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui
juru bicara militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer
mereka telah dibubarkan secara formal.

C. Pemberontakan di Aceh (1976 – 2005)


Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
memperoleh kemerdekaan dari Indonesiaantara tahun 1976 hingga
tahun 2005. Operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta
kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia
2004 menyebabkan diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya
pemberontakan. Amnesty International merilis laporan Time To Face The
Past pada April 2013 setelah pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan
kewajibannya sesuai perjanjian damai 2005. Laporan tersebut memperingatkan
bahwa kekerasan baru akan terjadi jika masalah ini tidak diselesaikan.
Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif lebih dipraktikkan.
Hal ini berbeda dengan penerapan Islam yang moderat di sebagian besar
wilayah Indonesia lain. Perbedaan budaya dan penerapan agama Islam antara
Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi gambaran sebab konflik
yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-kebijakan sekuler dalam
administrasi Orde Baru Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di
Aceh, di mana banyak tokoh Aceh membenci kebijakan pemerintahan Orde
Baru pusat yang mempromosikan satu 'budaya Indonesia'. Selanjutnya, lokasi
provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia menimbulkan sentimen yang meluas di
provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti
masalah yang dimiliki Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat
Aceh dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.

Tahap pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan
keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk
membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap
melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat
Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan
meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi
pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga
menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan
terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL,
perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.

Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat
terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati
yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif
massa. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang
bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie,
terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi
kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap
pemerintah pusat.

Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi


yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh.

Tahap Kedua
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan
mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafiyang mendukung
pemberontakan nasionalis melalui
"Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme".Tidak jelas
apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan
adalah tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima
pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang dilatih
oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang
berbeda-beda. Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar
1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer
Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara para
pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang
kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang
menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).

Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta
pelatihan GAM dari Libya. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi
merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan
pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan
pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.

Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM


yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan
tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi
dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer
Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini,
meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah
mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena
merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut,
penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM
membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya
ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era 1998
setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah entah dibunuh
(komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar),
ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang).

Tahap Ketiga
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawadan pemerintah pusat yang tidak
efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh
Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan
dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan
pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh
kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara
diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan
Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM
mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA)
("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara
Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan
bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai
kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum.
Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM
memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk
rasa dari daerah pedesaan ke ibu kota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM
juga mengeluarkan Deklarasi Stavangersetelah pertemuan "Worldwide
Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia. Dalam deklarasi
tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem
demokrasi.” Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini
ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang
mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan
lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan
pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah
Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk
mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan
darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer
diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan.
Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia kembali melakukan
pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya,
dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat
militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih
berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember
2004memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang
terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.
D. Kesepakatan Damai dan Pilkada Pertama
Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan
menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah
Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama
untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. Namun, bentrokan bersenjata
sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah,
pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap persdan pekerja
bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk
upaya bantuan internasional.
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia
dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia
internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya
telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut,
perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik
berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-
demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu
menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai.
Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat signifikan dalam menangnya
perdamaian di Aceh. Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM
mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah menimbulkan begitu banyak
kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di
bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi. Perundingan perdamaian tersebut
difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan
dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perundingan ini
menghasilkan kesepakatan damai ditandatangani pada 15 Agustus2005.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah
Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh)
akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan
dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian
tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh
Monitoring Mission(Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada
tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah
gubernur Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi
hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk
membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun,
pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi
Aceh akan perlu ditangani.
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan
anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan
oleh Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para
mantan anggota GAM.
E. Kemungkinan Faktor Resolusi Damai

Melemahnya posisi militer GAM


Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada
Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap
GAM. ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan
komunikasi GAM terganggu secara serius. GAM juga makin sulit berpindah-
pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang
sepenuhnya. Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada
semua komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik)
ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah
dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah. Sebelumnya, saat GAM
masih kuat, satuan tingkat sagoe-nya memiliki otonomi komando yang lebih
besar sehingga mampu melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri.
Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI,
pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM
sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan
diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak. Meski meragukan keakuratan
jumlah tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru
terhadap GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi
GAM..
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia
wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka
mengakui MoU Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah.
[82] Mantan pemimpin GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur
Aceh melalui pilkada langsung tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa
bukannya bubar, situasi GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan
lemah ditangkap militer Indonesia sehingga anggota di lapangan tidak terbebani
oleh mereka. Walaupun pasukan GAM tetap komit melanjutkan perjuangan
mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa membayangkan
mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan pemerintah
Indonesia. Kata mantan perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall
bulan Oktober 2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada
kebuntuan yang sangat merugikan”. Saat diwawancarai Jakarta Post tentang
apakah mengakui MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca
kemunduran militernya, Malik menjawab:
"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di
lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak,
tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi
perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah
dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan
melakukan hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi
semacam ini kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi
kenyataan. Inilah yang kami lakukan.”
Tekanan Internasional
Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai Helsinki
yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak
mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan
pada dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani
bulan Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat
junior.
Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada
komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh Tentang
hal ini, Malik berkata:
“Kami melihat dunia tidak memedulikan keinginan kami untuk merdeka,
jadi kami berpikir selama proses [negosiasi ini] bahwa [otonomi dan
pemerintahan sendiri] itulah solusi terbaik yang ada di hadapan kami.”
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran
pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para
petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut
kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh
komunitas internasional.

Pergantian Kepemimpinan Indonesia 2004

Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil


Presiden Jusuf Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004,
pemilu langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum
pemilu langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan
Indonesia, yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer
mustahil tercapai dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis
keras yang percaya bahwa GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya
SBY dan Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi
pertama.
Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri
dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan
terintegrasi" berupa penyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap
GAM. Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian, juga mendukung
dimulainya kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat
militer masih diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih
berlangsung). Saat itu, Kalla, melalui orang kepercayaannya, mendekati
komandan GAM di lapangan sekaligus pemimpinnya di Swedia. Posisi presiden
dan wakil presiden Indonesia yang lebih memilih jalur negosiasi sebagai solusi
pemberontakan Aceh memberikan jalan untuk mencapai keberhasilan dialog
perdamaian Helsinki.
Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan
Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan
perjanjian resmi. Selain itu, ia menyebut penunjukan Kalla menjadi pengawas
delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting, dikarenakan status
Kalla yang merupakan ketua umum Golkar, partai mayoritas di DPR saat itu,
sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR
lainnya.
Bab 3
Penutup
A. Kesimpulan

B. Saran
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai