DISUSUN OLEH :
Novia (H061211071)
Muhlis (H061211078)
DEPARTEMEN GEOFISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang lebih indah selain ucapan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia sehingga makalah tentang
“Dampak Dinamika Sosial Budaya Terhadap Sumber Daya Laut” ini dapat
terselesaikan. Dalam penyusunan ini tak lepas dari berbagai kendala yang
menghambat penyusunan. Namun berkat bantuan dan motivasi dari berbagai
pihak, sehinggga kendala dan halangan tersebut teratasi.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
memicu perubahan social. Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri
(internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa
setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti
pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun
persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada
gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang
harus menata kembali kehidupan mereka.
Perubahan ini juga membawa dampak negatif pada kehancuran moral
(moral damage) yang dapat dijumpai di daerah perkotaan yang sebagian besar
masyarakat menganggap bahwa dampak negatif ini merupakan hal yang wajar.
Padahal apabila dampak negatif ini tidak segera diatasi mungkin dampak negatif
pembangunan dan perubahan sosial akan lebih berkembang dibandingkan dampak
positif yang diperoleh. Perubahan social budaya ini juga berdampak pada
pengelolaan SDL (Sumber Daya Laut). Ini menjadi masalah yang cukup besar
bagi bangsa Indonesia, karena semua kekayaan hayati dan berbagai manfaat yang
di dapatkan dari laut dan jika ini mengalami perubahan maka apa yang akan
terjadi? Masalah-masalah inilah sehingga kami memilih judul ini untuk makalah
kami. Dan kami memberikan suatu informasi tentang dinamika social budaya, dan
dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya laut.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui tentang dinamika sosial budaya
2. Mengetahui ap aitu SDL (Sumber Daya Laut)
3. Mengetahui pengaruh dari dinamika sosial budaya terhadap pengelolaan
SDL
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
alam, energi dan modal, pengaturan tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru
yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi dan dibuatnya produk-
produk baru) dan Discovery (Penemuan baru)
Dari ke lima tahapan diatas, tidak selalu sampai pada tahap kelima
kebudayaan itu telah berubah. Tetapi ada yang sampai pada tahap ke tiga ataupun
ke empat. Namun semua pergeseran atau perubahan tersebut adalah merupakan
dinamika sosial dan budaya yang terjadi dikalangan masyarakat kita.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan
gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu
terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin
mengadakan perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi,
cara dan pola pikir masyarakat.
Faktor internal seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru,
terjadinya konflik atau revolusi.
Faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
4
Berikut adalah dampak positif dan negatif dari dinamika sosial antara lain
sebagai berikut:
Dampak positif :
1. Tingkat pendidikan di dalam masyarakat menjadi lebih merata.
2. Profesionalisme jadi lebih terjaga.
3. Komunikasi juga informasi masuk jauh lebih cepat dan mudah.
4. Pembangunan lebih terjamin dalam berbagai bidang.
Dampak negatife :
1. Sikap individualistis muncul.
2. Nilai kebersamaan perlahan memudar.
3. Sikap saling tidak percaya hadir di tengah masyarakat.
4. Perhatian atas budaya lokal dan nasional perlahan memudar utamanya
bagi generasi muda.
Adapun beberapa contoh dinamika sosial antara lain sebagai berikut:
1) Pertumbuhan Penduduk, merupakan suatu fenomena secara global.
Dimana mayoritas setiap negara di dunia ini mengalaminya. Namun hanya
sebagian negara saja yang mengalami defisit jumlah penduduk hampie setiap
tahunnya. Dengan adanya perkembangan penduduk mempunyai implikasi sosial
yang sangat luas, misalnya saja seperti; adanya urbanisasi, kemudian kemiskinan,
konflik sosial dan lain sebagainya. Maka oleh karena itu, dalam suatu studi yang
berhubungan dengan dampak sosial terhadap perkembangan penduduk menjadi
sangat begitu penting. Adapun rancangan model yang diterapkan dalam studi
dinamika penduduk dapat mengarahkan terhadap tren perubahan dengan secara
reguler. Contohnya saja, hampir setiap sepuluh tahun terjadi perkembangan
penduduk pada suatu negara bahkan hingga mencapai 5%. Sehingga pada, 10
tahun atau 100 tahun kemudian sudah dapat kita diprediksikan berapa jumlah
penduduknya dengan asumsi semua variabel konstant.
2) Segregasi Sosial, merupakan sebuah proses yang mana penduduk
mengalami pembagian kelompok. Kemudian pada masyarakat yang sedang
mengalami segregasi, maka meraka akan membentuk suatu kelompok kecil yang
disesuaikan dengan karakteristiknya. Contohnya, di dalam suatu daerah atau kota,
dimana karakteristik dari warga mempunyai kulit yang bewarna hitam, dan
5
rumahnya saling berdekatan antara satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya
mereka membentuk suatu kelompok.Sedangkan pada warga yang berkulit kuning
akan membentuk kelompok tersendiri. begitupun juga dengan warga kulit putih
yang akan bergerombol dan membentuk kelompoknya sendiri. Makan dengan
adanya Contoh ini merupakan salah satu bentuk segregasi sosial yang dapat
ditinjau dari tempat tinggalnya dan dengan berdasarkan ras atau warna pada
kulit. Dimana bahwa segregasi ialah merupakan suatu proses kumulatif sebab
mempunyai titik mulainya. Ketika berlangsungnya proses suatu perubahan yang
terjadi sejak awal seringkali tidak pernah disadari, sehingga kemudian mulai
bermunculan pemukiman yang tersegregasi.
3) Polarisasi Kelompok Sosial Masyarakat, Dalam hal ini dapat kita
dideskripsikan sebagai sebuah proses saling terpecah-belahnya unit masyarakat
dan berubah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Apabila diperhatikan
memang mempunyai kesamaan dengan segregasi sosial. Adapun perbedaanya,
dimana pada polarisasi ini ialah merupakan suatu pola pembagian dari kelompok
dengan secar terang-terangan atau saling berhadapan satu sama
lainnya. Contohnya saja seperti, suatu warga kota yang dianggap mempunyai nilai
atau kekayaan maka mereka akan membentuk kelompok sendiri. Sedangkan pad
warga yang miskin yang ada di kota yang sama juga akan membentuk kelompok
sendiri. Maka dalam hal ini menyebabkan akan nampak terlihat jelas kontras
antara warga kaya dan miskin di satu kota. Tentunya bisa sobat contohsaol.co.id
semua bayangkan pada penduduk yang tingga di daerah ibu kota Jakarta yang
mana antara mereka yang tinggal di sebuah kawasan elit dengan penduduk yang
bertempat di bantaran kali. Sehingga dengan kondisi tersebut tentunya sudah
dapat sobat pahami perbedaan yang ada.
6
mulai dari pelaut, nelayan komersial, pemanen kerang, ilmuwan Dll. Juga
digunakan untuk berbagai kegiatan baik rekreasi, penelitian, industri, dan kegitan
lain yang bersifat komersial.
Secara umum, sumber daya kelautan terdiri atas :
a. Sumber daya dapat pulih (renewableresources), Sumberdaya dapat
pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan
budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture).
b. Sumber daya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan
tambang/galian, minyak bumi dan gas.
c. Jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.
Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena
selama ini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola sumber daya yang
ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas negeri ini.
Beberapa contoh kebiasaan kebiasaan masyarakat pesisir yang kami dapat
dari beberapa sumber yaitu:
a. Desa Pantai Harapan
Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki ritual yang
berhubungan dengan usaha mereka sebagai nelayan dalam memanfaat akan
sumberdaya laut. Ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat
yakni (Stefanus Stanis, 2005):
1) Bito Berue, merupakan suatu tradisi adat yang dilakukan oleh nelayan
setempat sebelum menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan
di pantai dengan menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya
masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (Aho Male), lalu darahnya
dioles disekeling sampan/juku baru.
2) Lepa Nua Dewe, tradisi ini dilakukan untuk melepas pukat yang
ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini
merupakan alat tangkap tradisional masyarakat setempat untuk menangkap ikan
serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu selalu muncul
diperairan laut daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
7
3) Bruhu Brito, merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan
setempat sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain
tembang.
4) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan
kepada ”leluhur di laut” dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat
berkumpul dan memberikan hasil tangkapan yang banyak. Semua jenis upacara
adat tersebut di atas dilakukan oleh tua adat laut yang dalam bahasa masyarakat
setempat disebut Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya sangat patuh dan
taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang menarik di sini adalah meskipun
tradisi-tradisi setempat lebih banyak pada usaha penangkapan, namun dalam ritual
tersebut diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap dalam
jumlah yang sangat banyak. Jika hasil tangkapan terlalu banyak, maka akan
membawa resiko berupa sakit atau bencana lainnya di laut. Selain itu, adanya
tradisi tersebut, masyarakat nelayan setempat selalu tercipta hubungan kerjasama
yang harmonis dalam semangat gotong royong, tidak saling bersaing dalam usaha
penangkapan, termasuk tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap yang
dimiliki oleh sesama nelayan. Juga diakui bahwa adanya tradsi ini dapat
menciptakan adanya kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan
memanfaatkan hasil-hasil laut secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya
laut.
b. Desa Wulandoni
Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa
Wulandoni selalu melaksanakan acara ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum
melepas pukat baru. Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan
melakukan acara ritual terlebih dahulu dengan acara toto. Ritual,
tradisi toto biasanya dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh tuan tanah (tua
adat) setempat yang disapah dengan Lewo Tanah Alap (Stefanus Stanis, 2005).
Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan
penyembelian ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat
dengan berjalan melingkari pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah
disembeli dimasak dengan cara dibakar, dan bersama dengan material lainnya
(pisang, jangung titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan sesajen sebelum
8
dimakan bersama. Makna penting dari ritual ini adalah agar alat tangkap (pukat)
dapat memberikan hasil yang baik bagi usaha mereka (Stefanus Stanis, 2005).
Melalui dari sumber (Stefanus Stanis, 2005) diperoleh gambaran bahwa
keraifan yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak semata-mata bermakna
untuk mendapat hasil yang berlimpah, namun ritual semacamini biasa dilakukan
untuk menjaga keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
Makna lainnya adalah dalam acara semacam ini mencerminkan ikatan
sosial dan kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan
dan ikatan sosial diantara masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali
dari pukat baru tersebut harus dibagi dan diberikan kepada para janda-janda dan
jumpo-jumpo (Stefanus Stanis, 2005).
Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat)
sangat tinggi, karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian. Tua Adat
juga dihargai, jika sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar
seperti lumba-lumba, pari, penyu dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut
dipotong, nelayan yang menemukan harus terlebih dahulu menghubungi Lewo
Tanah Alap, selanjutnya ikan tersebut dibagi-bagi dengan syarat Lewo Tanah
Alap harus mendapat kebagian bagian kepala dan jantung dari ikan
tersebut (Stefanus Stanis, 2005).
c. Di Lamalera
Menurut Stefanus Stanis, 2005., adapun kebiasaan-kebiasaan yang terjadi
di Lamarela yaitu:
1) Upacara Tobu Nama Fatta’ ; adalah upacara di mana para Tua Adat
Lamalera berkumpul bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’)
sejenis rumah ibadat orang Katolik yang berukuran kecil yang dibangun persis di
pinggir pantai Lamalera. Dalam upacara Tobu Nama Fatta dibicarakan hal-hal
yang prinsip yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu juga dalam
upacara Tobu Nama Fatta, dapat dijadikan semacam forum evaluasi terhadap
berbagai kegiatan, hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan
sebelumnya serta upaya-upaya dan strategi yang harus diantisipasi dan dihadapi
nelayan pada musim penangkapan sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat
9
akan mengahdap Tuan Tanah Lamalera untuk meminta restu sehingga Leffa
Nuang dapat dimulai.
2) Misa Arwah; merupakan kebaktian secara Katolik yang dipimpin
oleh Pastor (Pendeta Katolik) yang bertujuan untuk mendoakan semua arwah
leluhur yang meninggal di laut dan upacara misa ini dilaksanakan sehari sebelum
kegiatan melaut (biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 30 April).
3) Misa Leffa; adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon
berkat serta perlindungan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa (Ama rera wulan
tana ekan) selama Leffa Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan
memberkati semua perahu (tena/peledang), perlengkapan perahu serta semua
nelayan yang siap melaut. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal
1 Mei.
4) Tena Fulle; adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang)
tertentu yang dipercayakan untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang
didahuli dengan upacara ritual adat memberi makan kepada arwah leluhur
bertempat di pinggir pantai dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata Molang). Bagi
masyarakat nelayan Lamalera aktivitas Leffa Nuang merupakan suatu aktivitas
yang sangat sakral dan memiliki resiko yang sangat tinggi, oleh karena itu dalam
kehidupan sehari-hari hubungan antara personal dalam komunitas masyarakat
harus dijaga agar tetap harmonis. Tidak boleh terdapat perselisihan antara nelayan
atau kelompok masyarakat bahkan dalam keluarga tidak boleh terjadi
pertengkaran antara suami – istri maupun dengan anak. Keharmonisan tersebut
diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelum melaut, karena mereka
sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau pertengkaran Arwah Leluhur
dan Allah Yang Mahakuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan
rahmat serta rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangat percaya jika semua
tahapan-tahap secara adat maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta
terjadi pertengakaran atau perselisihan maka dalam aktivitas melaut akan
mengalami resiko yang dapat bersifat fatal, karena yang mereka hadapi ikan paus
yang merupakan makhluk paling besar penghuni laut. Suasana kerjasama antara
nelayan, pantangan seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi nelayan
Lamalera.
10
d. Desa Wailolong
e. Desa Lebewala
Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten
Lembata mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
alam laut dan pesisir. Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang
mengatur masyarakat setempat adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu
tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil
laut secara bebas (Stefanus Stanis, 2005).
Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan
dukundukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan
melakukan ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah
11
kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali
wilayah perairan tersebut. (Stefanus Stanis, 2005).
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah
Desa Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara
hukum yakni berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan
kambing jantan besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat
dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini
cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang
secara bebas. (Stefanus Stanis, 2005).
12
fenomena eksploitasi sumberdaya secara berlebih dan komersialisasi dengan
segala dampak negatifnya bagi kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan
sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan emik). Konteks birokrasi
melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah juga menyumbang kepada perubahan-
perubahan keputusan dan prilaku nelayan melalui respons-respons ide dan sikap-
sikap (menerima atau menolak). Motorisasi perahu dan adopsi gae (istilah Bugis)
atau rengge (istilah Makassar) sejenis pukat apung raksasa (purse seine) yang
merupakan teknik tangkap andalan untuk ikan pelagik (terutama layang) di
Sulawesi Selatan. Sebetulnya diperkenalkan oleh dan melalui jalur promosi
pemerintah di tahun 1970-an.
Selanjutnya, mengarahkan dinamika budaya bahari Indonesia.
Meskipun dinamika budaya bahari komuniti-komuniti nelayan di Indonesia
selama ini tidak atau masih sangat kurang mendapat pengarahan dari pemerintah,
namun tampak di mana-mana suatu proses dinamika berlangsung cukup pesat.
Tanpa memandang rendah beberapa kearifan lokal masih tersisa, antara lain
seperti sasi (Maluku), panglima laut di Aceh, pengelolaan komunal tradisional di
Kapuas Hulu (Kalimantan), teknik rumpon nelayan Mandar (Sulawesi Selatan),
lembaga kerjasama pengelolaan modal ponggawa-sawi (Sulawesi Selatan),
ternyata bahwa proses dinamika, modernisasi dan globalisasi banyak membawa
dampak-dampak negatif berupa kemiskinan ekonomi sebagian terbesar penduduk
nelayan tradisional skala kecil, konflik-konflik antar kelompok-kelompok
nelayan, terkurasnya populasi sumberdaya laut, kerusakan ekosistem laut,
terutama terumbu karang.
Hal ini adalah akibat dari suatu proses dinamika komuniti-komuniti
nelayan yang kurang terarahkan secara bijak, mereka itu “closed to the stone, far
from the throne” menurut Pujo Semedi (2000) atau untuk nelayan Bugis,
Makassar. Selanjutnya apa yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak berkepentingan
seperti pemerintah, kalangan akademisi, LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga
donor? ialah menemukan arah-arah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan
lingkungan laut secara berkelanjutan, berwawasan lingkungan, untuk
kesejahteraan bersama masyarakat.
13
Tumbuhkan pandangan dan kesadaran bahwa
sumberdaya laut rentan terhadap ancaman perilaku-perilaku tertentu, jadi tanpa
perlakuan bijak kondisi sumberdaya laut akan menjadi semakin
berkurang/terbatas, manusia harus arif dan bertanggung jawab dalam perilaku
pemanfaatan sumber daya laut, mengubah pandangan budaya dan praktek akses
terbuka/bebas ke penguatan hak-hak pemilikan.
Menumbuhkan dan revitalisasi kelembagaan-kelembagaan tradisional
yang menekankan moral pemerataan atau keadilan dalam kesempatan berusaha
dan pembagian hasil, pembentukan institusi baru, penguatan atau revitalisasi
sistem-sistem tradisional yang potensil berkaitan dengan pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Dalam wujud teknologi
perlu pengembangan teknologi perikanan tangkap ramah
lingkungan, pengembangan teknologi budidaya dan semi-budidaya, teknologi
pascapanen, serta membangun institusi pasar lokal, regional, nasional dan global
yang tidak semata dikendalikan kekuatan-kekuatan eksternal.
Karena budaya bahari adalah pragmatis, segala contoh nyata yang memberikan
makna praktis bagi mereka niscaya akan dinilai tinggi dan diperebutkan.
Ketahanan ekonomi adalah merupakan suatu kondisi dinamis kehidupan
perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, kekuatan nasional
dalammeghadapi serta mengatasi segala tantangan dan dinamika perekonomian
baik yang datangdari dalam maupun luar negara Indonesia, dan secara langsung
maupun tidak langsungmenjamin kelangsungan dan penigkatan perekonomian
bangsa dan negara republik Indonesia yang telah diatur berdasarkan UUD 1945.
Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan
perekonomianbangsa yang mampu memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan
dinamis, menciptakankemandirian ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi,
dan mewujudkan perekonomianrakyat yang secara adil dan merata. Dengan
demikian, pembangunan ekonomi diarahkankepada mantapnya
ketahanan ekonomi melalui suatu iklim usaha yang sehat sertapemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang dan jasa, terpeliharanyafungsi
lingkungan hidup serta menigkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian
global.Ketahanan ekonomi hakikatnya merupakan suatu kondisi kehidupan
14
perekonomianbangsa berlandaskan UUD 1945 dan dasar filosofi Pancasila, yang
menekankankesejahteraan bersama, dan mampu memelihara stabilitas ekonomi
yang sehat dan dinamisserta menciptakan kemandirian perekonomian nasional
dengan daya saing yang tinggi.
Potensi bidang kelautan cukup besar meliputi sektor perikanan,
pelayaran,pariwisata bahari, perkapalan, jasa pelabuhan serta sumberdaya mineral
bawah laut.Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi kelautan
akan tetapidiperlukan keterpaduan kebijakan publik di bidang kelautan. Karena
sektor kelautanmenjadi potensi yang sangat strategis untuk didorong sebagai
mainstream pembangunanperekonomian nasional.Kekayaan sumberdaya pesisir
dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupaguna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarangtanpa
mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian
besartingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru
menempatistrata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan
masyarakat darat lainnya.Dengan upaya peningkatan SDM masyarakat pesisir
(nelayan) maka perekonomian akanmeningkat, sehingga ketahanan ekonomi akan
semakin baik.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Yanti Heriyawati, E. H. (2016). Kearifan Lokal Hajat Laut. Isbi Bandung, 1(3); 1-
8.
17